Anda di halaman 1dari 2

Artikel : http://pencerahnusantara.

org/news/masalah-gizi-dalam-
analisis-sosial-budaya

MASALAH GIZI DALAM ANALISIS SOSIAL BUDAYA

22 June 2017. Oleh Pencerah Nusantara

Gizi berperan penting dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, khususnya dalam
memastikan lahirnya individu yang berkualitas. Selaras dengan butir kedua Sustainable
Development Goals (SDGs) yang disepakati oleh 153 negara anggota PBB, termasuk
Indonesia, pentingnya peningkatan status gizi masyarakat dituangkan oleh Presiden Joko
Widodo dalam Nawacita poin ke-lima.

Sebagai masalah kesehatan masyarakat, menangani masalah gizi tidak dapat hanya
dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya
masalah gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, kemiskinan, kurangnya persedian
pangan, sanitasi yang buruk, minimnya pengetahuan gizi dan pola asuh anak, serta perilaku
buruk dalam mengonsumsi makanan di kalangan masyarakat. Pola konsumsi makanan sendiri
sangat dipengaruhi oleh budaya setempat.

Berbeda lokasi berbeda pula cara masyarakat mendefinisikan makanan dan kecukupan gizi
serta menentukan pola makan. Orang Jawa belum merasa makan sebelum makan nasi, orang
Papua terbiasa makan berat dengan makan sagu. Tidak jarang masyarakat kita menganggap
kalau belum mengonsumsi nasi belum dianggap makan.

Pola pikir masyarakat masih beranggapan bahwa kebutuhan makan adalah dengan
memakan makanan yang tinggi atau kaya karbohidrat tanpa mempertimbangkan kecukupan
gizi yang seimbang ini menunjukkan bahwa aspek sosial budaya masih mendominasi
perilaku dan kebiasaan makan yang masyarakat Indonesia.

Sementara masalah gizi terjadi di banyak tempat di berbagai daerah di Indonesia, hanya
sebagian pihak yang memandangnya sebagai fenomena sosial. Sebagian lain masih
menganggap hal ini sebagai fenomena kesehatan semata. Tidak banyak yang menyadari
luasnya dimensi masalah gizi dapat meliputi masalah lingkungan dan ketersediaan pangan,
pola asuh dan pendidikan, kondisi ekonomi dan budaya.

Faktor budaya memengaruhi siapa yang mendapat asupan makanan, jenis makanan yang
didapat dan banyaknya. Sangat mungkin karena kondisi budaya dan kebiasaan ini seseorang
mendapatkan asupan makanan lebih sedikit dari yang sebenarnya ia butuhkan.  Di Indonesia,
sebagian besar masyarakat menganut sistem patriarki. Dalam sistem patriarki, garis keturunan
diambil dari seorang Ayah (laki – laki), status sosial laki – laki lebih tinggi daripada
perempuan. Konsekuensinya, ayah lebih sering diutamakan memakan makanan yang telah
disajikan oleh Ibu. Sesederhana ayah lah yang paling sering mendapatkan jatah makanan
lebih dulu di meja makan. Bahkan, beberapa daerah di Indonesia mengharuskan pemisahan
antara makanan yang harus disajikan untuk Ayah dan anggota keluarga yang lain. Kondisi
budaya seperti ini turut berkontribusi pada kondisi gizi anak dan ibu hamil di dalam keluarga
karena semua sistem keluarga patriarki berhubungan erat dengan ketidaksetaraan gender.

Dari gambaran di atas, terlihat betapa kebiasaan makan tidak dapat dilepaskan dari nilai –
nilai sosial budaya masyarakat. Sementara kebiasaan makan sangat erat kaitannya dengan
upaya pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Kurangnya asupan gizi akan
meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi dan berbagai penyakit kronis yang pada
gilirannya akan mengurangi produktivitas dalam bekerja dan berkontribusi kepada
masyarakat.

 Memahami keterkaitan antara kebiasaan makan, pola makan, sistem keluarga dan
pengolahan makanan dapat membantu tenaga kesehatan, penyusun kebijakan dan program
kesehatan dalam memahami kondisi gizi dan kesehatan masyarakat Indonesia secara lebih
menyeluruh. Dengan demikian penyusunan strategi kebijakan dan program-program upaya
peningkatan status gizi masyarakat dapat lebih tepat guna dan sasaran. Apabila ini tercapai,
secara bertahap transformasi kesehatan lebih dari 250 juta menuju arah yang positif akan
tercapai.

Anda mungkin juga menyukai