Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Imun


Keutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem pertahanan yang terdiri atas
sistem imun non spesifik (natural/innate) dan spesifik (adaptive/acquired).
Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam
menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena sistem imun spesifik
memerlukan waktu sebelum memberikan responnya. Sistem tersebut disebut non
spesifik, karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu (Sudoyo et al.,
2009).
Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik
mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya.
Benda asing yang pertama timbul dalam tubuh yang segera dikenal sistem imun
spesifik, akan mensensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem imun
tersebut berinteraksi ulang dengan benda asing yang sama, maka akan dikenali
lebih cepat dan dihancurkan, oleh karena itu sistem tersebut disebut spesifik.
Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing
yang berbahaya bagi tubuh, tetapi pada umumnya terjalin kerja sama yang baik
antara antibodi, komplemen, fagosit dan antara sel T-makrofag. Komplemen turut
diaktifkan dan ikut berperan dalam menimbulkan inflamasi yang terjadi pada
respon imun (Sudoyo et al., 2009).
Sistem imun mempunyai tiga fungsi utama. Fungsi pertama adalah suatu
fungsi yang sangat spesifik yaitu kesanggupan untuk mengenal dan membedakan
berbagai molekul target sasaran dan juga mempunyai respon yang spesifik. Fungsi
kedua adalah kesanggupan membedakan antara antigen diri dan antigen asing.
Fungsi ketiga adalah fungsi memori yaitu kesanggupan melalui pengalaman
kontak sebelumnya dengan zat asing patogen untuk bereaksi lebih cepat dan lebih
kuat dari pada kontak pertama (Munasir, 2001).

4
5

2.2 Respon Imun


Secara umum, respon imun sering dibedakan menjadi respon imun seluler
dan respon imun humoral. Respon imun seluler adalah respon imun yang
terutama tergantung pada limfosit dan fagosit (makrofag), sedangkan respon imun
humoral adalah respon imun yang terutama tergantung pada antibodi. Meskipun
demikian, kedua jenis respon imun tersebut tidak mungkin dipandang secara
terpisah (Hasdianah, 2012).
Sel-sel imun sangat penting untuk inisiasi respon antibodi, sedangkan
antibodi sering berperan sebagai mata rantai yang penting pada beberapa reaksi
seluler. Respon seluler sulit terjadi tanpa adanya antibodi. Misalnya, pembentukan
kompleks antigen-antibodi selama respon imun akan mengakibatkan pelepasan
fragmen komplemen kemotaktik yang akan meningkatkan akumulasi sel pada
lokasi inflamasi. Antibodi dapat mengikatkan antigen pada sel-sel fagosit melalui
reseptor sel fagosit untuk memfasilitasi proses fagositosis. Dengan demikian,
respon imun yang terkoordinasi melibatkan isyarat antar berbagai leukosit dan sel-
sel jaringan yang berperan dalam respon tersebut (Hasdianah, 2012).
Fagositosis dapat dibagi dalam beberapa tahapan, yang pertama tahapan
adhesi. Pada tahap ini agen patogen yang masuk ke dalam tubuh akan dikenali
melalui reseptor yang berada pada bagian permukaan sel fagosit yang kemudian
akan terikat pada reseptor yang dimiliki oleh agen patogen. Setelah itu agen
patogen ditelan oleh sel fagosit dan kemudian mengirimkan sinyal yang akan
menginduksi actin polymerase yang akan menuju lokasi terjadinya kontak dengan
agen patogen. Actin polymerase menghampiri dan menarik agen patogen ke
tengah-tengah sel fagosit, kemudian terjadi tahapan digesti, dimana proses
dimulai dari maturasi fagosom yang kemudian mendekatnya lisosom ke arah
fagosom yang selanjutnya membentuk fagolisosom. Kemudian lisosom pecah dan
melepaskan enzim ke dalam fagolisosom yang bersamaan dengan letupan
respirasi. Fagolisosom merupakan zat asam, kompartemen yang akan
menyebabkan agen patogen terbunuh dan kemudian didigesti untuk persiapan
presentasi antigen (Silva, 2011).
6

2.3 Makrofag
Pada respon imun yang berperan dalam proses fagositosis adalah
makrofag. Makrofag adalah sel pembersih yang akan memakan mikroba dan
menyerahkannya kepada limfosit untuk dihancurkan melalui proses kekebalan.
Fagositosis antigen oleh makrofag juga ditingkatkan (dirangsang) oleh antibodi
dan zat lain yang dihasilkan limfosit (Hasdianah, 2012).
Makrofag ditemukan pada seluruh jaringan tubuh, makrofag juga
berfungsi sebagai penjaga tubuh terhadap agen patogen dimana agen ini sebagai
penyusup atau agen kemotaksis yang memperingatkan makrofag terhadap infeksi.
Makrofag mengikat agen patogen melalui reseptor fagositis yang kemudian
menginisiasi penyusunan kembali sitoskeletal yang berguna untuk proses
fagositosis. Ketika agen patogen telah diinternalisasi, fagosom bermaturasi dan
kemudian menjadi fagolisosom dimana agen patogen dibunuh oleh mekanisme
mikrobial yang mempunyai berbagai varietas (Silva, 2011).
Dalam mekanismenya, sistem imun juga dapat mengalami gangguan
seperti penurunan atau peningkatan fungsi imun yang berlebihan dari sistem imun
itu sendiri. Untuk menangani hal tersebut perlu adanya zat yang dapat
memodulasi fungsi dari sistem imun yang disebut imunomodulator.

2.4 Imunomodulator
Imunomodulator adalah agen yang dapat mengembalikan dan
memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang
fungsinya berlebihan (Handayani, 2010). Sistem imun terbagi atas dua jenis,
yaitu sistem imun non spesifik dan sistem imun spesifik. Mekanisme pertahanan
tubuh oleh sistem imun non spesifik bersifat spontan, tidak spesifik, dan tidak
berubah baik secara kualitas maupun kuantitas bahkan setelah paparan berulang
dengan patogen yang sama (Handayani, 2010). Menurut Sasmito et al. (2007),
imunomodulator ini terdiri dari imunostimulator (membentuk sistem imun) dan
imunosupresor (menekan sistem imun). Imunomodulator digunakan pada pasien
dengan gangguan imunitas, antara lain pada kasus keganasan Human
7

Immunodeficiency Virus (HIV), malnutrisi, alergi, dan lain-lain (Handayani,


2010).
Banyak obat-obatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang dikenal
sebagai obat tradisional, secara klinis tidak hanya mempunyai efek langsung yang
bersifat anti infeksi, namun dapat pula meningkatkan mekanisme pertahanan
alamiah maupun adaptif. Saat ini telah banyak imunomodulator yang telah
mempunyai lisensi untuk dipakai sebagai pengobatan, seperti granulocyte
stimulating factor (G-CSF), interferon dan fraksi membran sel dari bakteri.
Pemberian imunomodulator merupakan pendekatan terapi yang sangat baik,
karena efek sampingnya yang lebih ringan dibandingkan dengan efek samping
obat-obatan yang telah ada, di samping itu jarang menimbulkan resistensi pada
pengobatan penyakit infeksi (Tony, 2010).

2.5 Kasturi (Mangifera casturi)


Kasturi (Mangifera casturi) adalah tumbuhan endemik khas Kalimantan
Selatan yang keberadaannya terancam punah. Populasi taksonnya cenderung
berkurang, baik dalam segi jumlah individu, populasi dan keragaman genetiknya.
Status kelangkaan buah ini dianalisis dengan menggunakan kategori dan kriteria
tumbuhan langka menurut International Union for Concervation of Nature
(IUCN) Red List Categories 30 November 1994 (Sari, 2014). Selama ini,
masyarakat hanya memanfaatkan buahnya untuk dikonsumsi karena rasa buahnya
yang manis dan aromanya yang khas. Sedangkan bagian tumbuhan lainnya
seperti akar, batang dan daun belum banyak dimanfaatkan. Mengingat kasturi
mempunyai genus yang sama dengan binjai (tumbuhan mangga yang tumbuh di
Kalimantan) diduga tumbuhan ini juga memiliki potensi yang sama pula (Sari,
2014).
8

Gambar 2.1. Daun Kasturi (Mangifera casturi)


Sumber: Silva (2013).

Klasifikasi kasturi menurut Sari (2014), adalah sebagai berikut.


Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Famili : Anacardiaceae
Genus : Mangifera
Species : Mangifera casturi

Penelitian sebelumnya, flavonoid berpotensi sebagai antioksidan pada


pertumbuhan tumor dan dapat meningkatkan respon imun namun masih perlu
penelitian lebih lanjut (Kusmardi et al., 2007). Melalui uji fitokimia, komponen
yang diuji meliputi senyawa alkaloid, terpenoid, flavonoid, dan saponin (Sari,
2014). Senyawa-senyawa ini dapat berperan sesuai fungsinya masing-masing :
1. Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.
Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih
atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik.
9

Alkaloid sering bersifat racun bagi manusia dan banyak yang mempunyai
kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas dalam bidang
pengobatan. Alkaloid biasanya terwarna, sering kali bersifat optis aktif,
kebanyakan berbentuk kristal tapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya
nikotina) pada suhu kamar. Alkaloid memiliki kemampuan sebagai
antibakteri. Mekanisme yang diduga adalah dengan cara mengganggu
komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding
sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut
(Darsana, 2011).
2. Terpenoid
Terpenoid banyak ditemukan dalam tumbuhan sebagai minyak atsiri
yang memberi bau harum dan bau khas pada tumbuhan dan bunga. Selain itu
terpenoid juga terdapat pada jamur, invertebrata laut dan feromon serangga.
Terpenoid dari tumbuhan biasanya digunakan sebagai senyawa aromatik yang
menyebabkan bau pada eucalyptus, pemberi rasa pada kayu manis, cengkeh,
jahe, dan pemberi warna kuning pada bunga (Darsana, 2011).
Terpenoid tumbuhan mempunyai manfaat penting sebagai obat
tradisional, anti bakteri, anti jamur, dan gangguan kesehatan. Terpenoid
biasanya terdapat dalam daun dan buah yang berfungsi sebagai pelindung
untuk menolak serangga dan serangan bakteri. Terpenoid juga terdapat dalam
damar, kulit batang, dan juga getah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa senyawa terpenoid dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan
mengganggu proses terbentuknya membran dan atau dinding sel, membran
atau dinding sel tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna (Darsana,
2011).
3. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polar yang umumnya mudah larut
dalam pelarut polar seperti etanol, methanol, butanol, dan aseton. Flavonoid
merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol, senyawa fenol mempunyai
sifat efektif menghambat pertumbuhan virus, bakteri, dan jamur. Senyawa-
senyawa flavonoid umumnya bersifat antioksidan dan banyak yang telah
10

digunakan sebagai salah satu komponen bahan baku obat-obatan. Senyawa


flavonoid dan turunannya memiliki dua fungsi fisiologis tertentu, yaitu
sebagai bahan kimia untuk mengatasi serangan penyakit (sebagai anti bakteri)
dan anti virus bagi tanaman (Darsana, 2011).
Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom
karbon, dimana dua cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propane (C3)
sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat
menghasilkan tiga jenis struktur, yakni 1,3-diarilpropan atau flavonoid, 1,2-
diarilpropan atau isoflavonoid, 1,1-diarilpropan atau neoflavonoid. Istilah
flavonoid yang diberikan untuk senyawa-senyawa fenol ini berasal dari kata
flavon, yaitu nama dari satu jenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan
lazim ditemukan (Waji et al., 2009).
Senyawa-senyawa flavonoid terdapat dalam semua bagian tumbuhan
tinggi, seperti bunga, daun, ranting, buah, kayu, kulit kayu, dan akar. Akan
tetapi, senyawa flavonoid tertentu sering terkonsentrasi dalam suatu jaringan
tertentu, misalnya antoisianidin adalah zat warna dari bunga, buah, dan daun
(Waji et al., 2009).
Sebagian besar flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida,
dimana unit flavonoid terikat pada suatu gula. Flavonoid dapat ditemukan
sebagai mono-, di-, atau triglikosida, dimana satu, dua, atau tiga gugus
hidroksil dalam molekul flavonoid terikat oleh gula. Poliglikosida larut dalam
air dan hanya sedikit larut dalam pelarut organik seperti eter, benzene, dan
kloroform (Waji et al., 2009).
Para peneliti lainnya juga menyatakan pendapat sehubungan dengan
mekanisme kerja dari flavonoid dalam menghambat pertumbuhan bakteri,
antara lain bahwa flavonoid menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas
dinding sel bakteri dan mampu menghambat motilitas bakteri (Darsana, 2011)
serta berpotensi bekerja terhadap limfokin yang dihasilkan limfosit T sehingga
akan merangsang sel fagosit untuk melakukan respon fagositosis terhadap
bakteri (Kusmardi et al., 2007).
11

4. Saponin
Saponin dibedakan sebagai saponin triterpenoid dan saponin steroid.
Saponin triterpenoid umumnya tersusun dari sistem cincin oleanana atau
ursana. Glikosidanya mengandung 1-6 unit monosakarida (Glukosa,
Galaktosa, Ramnosa) dan aglikonnya disebut sapogenin, mengandung satu
atau dua gugus karboksil. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang
kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi
yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Beberapa
saponin bekerja sebagai anti bakteri dan saponin tertentu menjadi penting
karena dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan dengan hasil yang baik dan
digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan
dalam bidang kesehatan. Saponin merupakan glikosida yang larut dalam air
dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter (Darsana, 2011).
Saponin bekerja sebagai anti bakteri dengan mengganggu stabilitas
membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakteri lisis, jadi mekanisme
kerja saponin termasuk dalam kelompok anti bakteri yang mengganggu
permeabilitas membran sel bakteri, yang mengakibatkan kerusakan membran
sel dan menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel
bakteri yaitu protein, asam nukleat, dan nukleotida (Darsana, 2011).

2.6 Bakteri Staphylococcus aureus


Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat
berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur
seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak
bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37º C, tetapi membentuk
pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25º C). Koloni pada perbenihan padat
berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol,
dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang
mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi
bakteri (Kusuma, 2009).
12

Sebagian besar Staphylococcus sp. merupakan flora normal pada kulit,


saluran pernafasan, dan saluran pencernaan. Bakteri ini juga ditemukan di udara
dan lingkungan sekitar. Staphylococcus aureus yang patogen bersifat invasif yaitu
menyebar karena adanya enzim Hyaluronidase, menyebabkan hemolisis,
membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol (Kusuma, 2009).
Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya
tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler
(Kusuma, 2009).

Gambar 2.2. Bentuk mikroskopis bakteri Staphylococcus aureus (Kusuma, 2009)

Pada saluran pencernaan, gangguan yang sering terjadi yaitu keracunan.


Keracunan makanan dapat disebabkan kontaminasi enterotoksin dari S. aureus.
Waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya
tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat
menyebabkan keracunan adalah 1,0 µg/gr makanan. Gejala keracunan ditandai
oleh rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam
(Kusuma, 2009). Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat
berupa protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya :
13

1. Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap
proses fagositosis. Tes adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus
Staphylococcus dari Streptococcus (Kusuma, 2009).
2. Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat,
karena adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan
enzim tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas
penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri
yang dapat menghambat fagositosis (Kusuma, 2009).
3. Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona
hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa
hemolisin, beta hemolisin, dan delta hemolisin. Alfa hemolisin adalah toksin
yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar
koloni S. aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan
nekrosis pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang
terutama dihasilkan Staphylococcus sp. dari hewan yang menyebabkan lisis
pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah
toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek
lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba (Kusuma, 2009).
4. Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan.
Tetapi perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena
Stapylococcus sp. patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia
dan dapat di fagositosis (Kusuma, 2009)
5. Toksin eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan
matriks mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan
intraepitelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif
14

merupakan penyebab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai


dengan melepuhnya kulit (Kusuma, 2009).
6. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)
Sebagian besar S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok
toksik menghasilkan eksotoksin piogenik. Pada manusia, toksin ini
menyebabkan demam syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ
dalam tubuh (Kusuma, 2009).
7. Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap
suasana basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam
keracunan makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat
dan protein (Kusuma, 2009).

2.7 Kerangka Konsep


Mangga kasturi (Mangifera casturi) adalah mangga khas Kalimantan
Selatan. Buah mangga kasturi dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan dan
potensial untuk pengobatan berbagai penyakit termasuk penyakit yang
berhubungan dengan inflamasi. Pada tumbuhan kasturi (Mangifera casturi)
banyak mengandung flavonoid (Fakhrudin, 2013). Flavonoid berpotensi sebagai
antioksidan pada pertumbuhan tumor dan meningkatkan respon imun. Flavonoid
juga berpotensi bekerja terhadap limfokin yang dihasilkan limfosit T sehingga
akan merangsang sel fagosit untuk melakukan respon fagositosis terhadap bakteri
(Kusmardi et al., 2007). Imunostimulator merupakan agen yang dapat
mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu
(Handayani, 2010). Imunostimulator dapat meningkatkan aktivitas dan kapasitas
makrofag. Makrofag adalah sel pembersih yang akan memakan mikroba dan
menyerahkannya kepada limfosit untuk dihancurkan melalui proses kekebalan
(Hasdianah, 2012).
Kerangka konsep dan variabel-variabelnya dalam bentuk bagan dapat
dilihat pada Gambar 2.3.
15

Mangga Kasturi Kalimantan

Daun Buah

Alkaloid, Terpenoid, Flavonoid, Saponin Anti Oksidan

Meningkatkan Fungsi
Imun

Peningkatan Titer Aktivitas dan Kapasitas


Antibodi Fagositosis Makrofag

Mencit

Keterangan.
: Diteliti
: Tidak diteliti

Gambar 2.3. Kerangka Konsep

2.8 Hipotesis
1. Daun kasturi (Mangifera casturi) dapat bersifat sebagai
imunostimulator.
2. Pemberian ekstrak daun kasturi (Mangifera casturi) dapat memberikan
pengaruh terhadap peningkatan aktivitas dan kapasitas fagositosis sel
makrofag pada mencit.

Anda mungkin juga menyukai