Anda di halaman 1dari 21

MEKANISME EFEKTOR IMUN

Disusun Oleh:

Dwinto Saktian Putra A 173


Riza Maulida A 173 003
Yosy Murniaty Elisabet Pasaribu A 173 026

Dosen Pengampu : Drs. Saeful Hidayat, MS., Apt

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


BANDUNG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang
mengandung mikroba patogen di sekelilingnya. Mikroba tersebut dapat
menimbulkan penyakit infeksi pada manusia. Mikroba patogen yang ada bersifat
poligenik dan kompleks. Oleh karena itu respons imun tubuh manusia terhadap
berbagai macam mikroba patogen juga berbeda. Umumnya gambaran biologik
spesifik mikroba menentukan mekanisme imun mana yang berperan untuk
proteksi. Begitu juga respon imun terhadap bakteri khususnya bakteri
ekstraselular atau bakteri intraselular mempunyai karakteristik tertentu pula.

Infeksi yang terjadi pada manusia normal umumnya singkat dan jarang
meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia memiliki
suatu sistem yaitu sistem imun yang melindungi tubuh terhadap unsur-unsur
patogen. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas,
melindungi tubuh dari infeksi bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel yang sehat
dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Sistem imun yang sehat
adalah jika dalam tubuh bisa membedakan antara diri sendiri dan benda asing
yang masuk ke dalam tubuh. Biasanya ketika ada benda asing yang memicu
respons imun masuk ke dalam tubuh (antigen) dikenali maka terjadilah proses
pertahanan diri.
Sistem imun merupakan mekanisme pertahanan tubuh sebagai
perlindungan dari bahaya berbagai bahan dalam lingkungan yang dianggap asing
bagi tubuh seperti bakteri, virus, jamur, parasit dan protozoa (Abbas et al., 2015;
Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Ketika daya tahan tubuh lemah maka agen
infektif akan dengan mudah menembus pertahanan tubuh dan menyebabkan
penyakit.
Sistem imun tubuh terdiri dari banyak komponen. Semua komponen
tersebut akan bekerja serentak manakala tubuh mendapat serangan dari penyakit
yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh . Sistem imun yang bertugas
mengatur keseimbangan, dengan menggunakan komponennya yang beredar
diseluruh tubuh, sehingga dapat mencapai sasaran yang jauh dari pusat. Untuk
melaksanakan fungsi imunitas, didalam tubuh terdapat suatu sistem yang disebut
dengan sistem limforetikuler. Sistem limforetikuler merupakan jaringan atau
kumpulan sel yang letaknya tersebar diseluruh tubuh, misalnya didalam sumsum
tulang, kelenjar limfe, limfa, timus, sistem saluran napas, saluran cerna dan
beberapa organ lainnya. (Tizard, 2004; Rabson dkk., 2005).
Sistem imun dapat dibagi menjadi menjadi dua yaitu sistem imun
nonspesifik dan sistem imun spesifik. Mekanisme imunitas spesifik timbul atau
bekerja lebih lambat dibanding imunitas non spesifik. Pembagian sistem imun
dalam sistem imun spesifik dan non-spesifik hanya dimaksudkan untuk
mempermudah pengertian saja. Sebenarnya antara kedua sistem imun tersebut
terjadi kerja sama yang erat, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Pada
makalah ini akan dijelaskan tentang sistem imun spesifik dan sistem imun
nonspesifik, pembagian serta mekanisme kerja masing-masing secara ringkas.
Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila kedalam tubuh
terpapar suatu zat yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing. Konfigurasi
asing ini dinamakan antigen atau imunogen dan proses serta fenomena yang
menyertainya disebut dengan respons imun yang menghasilkan suatu zat yang
disebut dengan antibodi. Jadi antigen atau imunogen merupakan potensi dari zat-
zat yang dapat menginduksi respons imun tubuh yang dapat diamati baik secara
seluler ataupun humoral. Dalam keadaan tertentu (patologik), sistem imun tidak
dapat membedakan zat asing (non-self) dari zat yang berasal dari tubuhnya sendiri
(self), sehingga sel-sel dalam sistem imun membentuk zat anti terhadap jaringan
tubuhnya sendiri. Kejadian ini disebut dengan Autoimmun (Abbas dkk., 2007;
Baratawijaya, 2010)
1.2. Tujuan
Untuk mengetahui sistem imun pada tubuh, yaitu sistem imun non-spesifik
maupun sistem imun spesifik, mekanisme kerja masing-masing sistem imun serta
interaksi antar kedua sistem imun tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Imun


Kata imun berasal dari bahasa Latin immunis yang berarti bebas dari
beban (Benjamini et al., 2000). Dahulu imunitas diartikan sebagai daya tahan
realtif hospes terhadap mikroba tertentu (Bellanti, 1985). Sistem imun adalah
semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya
sebagai perlindungan terhadap bahaya yang ditimbulkan berbagai bahan dalam
lingkungan hidup yang dianggap asing bagi tubuh (Baratawidjaja, 2000;
Benjamini et al., 2000). Mekanisme tersebut melibatkan gabungan sel,
molekul, dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi yang
disebabkan oleh berbagai unsur patogen yang terdapat di lingkungan sekitar
kita seperti virus, bakteri, fungus, protozoa dan parasit (Kresno, 1996;
Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Sedangkan reaksi yang dikoordiansi oleh
sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut dengan
respon imun (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).
Sistem imun memiliki tiga fungsi yaitu fungsi pertahanan (melawan
patogen, fungsi homeostasis (mempertahankan keseimbangan kondisi tubuh
dengan cara memusnahkan sel-sel yang sudah tidak berguna) dan pengawasan
(surveillance). Pada fungsi pengawasan dini (surveillance) sistem imun akan
mengenali sel-sel abnormal yang timbul di dalam tubuh dikarenakan virus
maupun zat kimia. Sistem imun akan mengenali sel abnormal tersebut dan
memusnahkannya. Fungsi fisiologis sistem imun yang terpenting adalah
mencegah infeksi dan melakukan eradikasi terhadap infeksi yang sudah ada
(Abbas et al., 2014).
Respon imun ada dua yaitu imunitas alamiah atau nonspesifik/
natural/innate/native/nonadaptif dan imunitas dapatan atau spesifik/adaptif/
acquired.
Gambar 1.Mekanisme imunitas bawaan dan imunitas adaptif (Abbas et al., 2014)
Mekanisme imunitas bawaan merupakan pertahanan awal melawan
infeksi. Sedangkan respon imun adaptif timbul setelahnya dan dimediasi
oleh limfosit dan produknya. Antibodi mengeblok infeksi dan
mengeliminasi mikroba, eradikasi mikroba ekstrasel dilakukan oleh sel T.
Kinetika respon imun bawaan dan adaptif berbeda tergantung dari jenis
infeksinya.

a. Respon imun nonspesifik


Respon imun nonspesifik merupakan imunitas bawaan (innate imunity)
dimana respon imun terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh
sebelumnya tidak pernah terpapar oleh zat tersebut (Kresno, 1996). Imunitas
nonspesifik berperan paling awal dalam pertahanan tubuh melawan mikroba
patogen yaitu dengan menghalangi masuknya mikroba dan dengan segera
mengeliminasi mikroba yang masuk ke jaringan tubuh (Abbas et al., 2014).
Respon imun jenis ini akan selalu memberikan respon yang sama terhadap
semua jenis agen infektif dan tidak memiliki kemampuan untuk mengenali
agen infektif meskipun sudah pernah terpapar sebelumnya. Yang termasuk
dalam respon imun nonspesifik adalah pertahanan fisik, biokimia, humoral dan
seluler (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).
b. Respon imun spesifik
Respon imun spesifik merupakan respon yang didapat dari stimulasi
oleh agen infektif (antigen/imunogen) dan dapat meningkat pada paparan
berikutnya. Target dari respon imun spesifik adalah antigen, yaitu suatu
substansi yang asing (bagi hospes) yang dapat menginduksi respon imun
spesifik (Benjamini et al., 2000). Antigen bereaksi dengan T-cell Receptor
(TCR) dan antibodi. Antigen dapat berupa molekul yang berada di permukaan
unsur patogen maupun toksin yang diproduksi oleh antigen yang bersangkutan.
Ada tiga tipe sel yang terlibat dalam respon imun spesifik yaitu sel T, sel B
dan APC (makrofag dan sel dendritik) (Benjamini et al., 2000). Respon imun
spesifik meliputi aktivasi dan maturasi sel T, sel mediator dan sel B untuk
memproduksi antibodi yang cukup untuk melawan antigen (Kresno, 1996).
Pada hakekatnya respon imun spesifik merupakan interaksi antara bebagai
komponen dalam sistem imun secara bersama-sama.
Respon imun spesifik terdiri dari respon imun seluler (cell-mediated
immunity) dan respon imun humoral. Perbedaan kedua respon imun tersebut
terletak pada molekul yang berperan dalam melawan agen infektif, namun
tujuan utamanya sama yaitu untuk menghilangkan antigen (Benjamini et al.,
2000). Respon imun seluler diperlukan untuk melawan mikroba yang berada di
dalam sel (intraseluler) seperti virus dan bakteri. Respon ini dimediasi oleh
limfosit T (sel T) dan berperan mendukung penghancuran mikroba yang berada
di dalam fagosit dan membunuh sel yang terinfeksi. Beberapa sel T juga
berkontribusi dalam eradikasi mikroba ekstraseluler dengan merekrut leukosit
yang menghancurkan patogen dan membantu sel B membuat antibodi yang
efektif (Abbas et al., 2015).
Agen infektif yang berada di luar sel dapat dilawan dengan respon imun
humoral. Respon ini dimediasi oleh serum antibodi, suatu protein yang
disekresikan oleh sel B (Benjamini et al., 2000). Sel B berdiferensiasi menjadi
satu klon sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke
dalam darah serta membentuk klon sel B memori (Kresno,1996). Sel B
menghasilkan antibodi yang spesifik untuk antigen tertentu. Antibodi ini
berikatan dengan antigen membentuk suatu kompleks antigen-antibodi yang
dapat mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut
(Kresno, 1996).

Gambar 2. Pengenalan epitop pada sel B

Respon imun humoral ada dalam darah dan cairan sekresi seperti
mukosa, saliva, air mata dan ASI. Elemen lain yang berperan penting dalam
respon imun humoral adalah sistem komplemen. Sistem komplemen diaktivasi
oleh reaksi antara antigen dan antibodi. Ketika aktif sistem komplemen akan
melisiskan sel target atau meningkatkan kemampuan fagositosis sel fagosit
(Benjamini et al., 2000).
Interaksi respon imun seluler dengan humoral disebut antibody
dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC) karena sitolisis baru terjadi bila
dibantu antibodi. Dalam hal ini antibodi berfungsi melapisi antigen sasaran
sehingga sel NK dapat melekat pada sel atau antigen sasaran dan
menghancurkannya (Kresno,1996).
Imunitas seluler ditengahi oleh sekelompok limfosit yang berdiferensiasi
di bawah pengaruh timus (Thymus), sehingga diberi nama sel T. Cabang efektor
imunitas spesifik ini dilaksanakan langsung oleh limfosit yang tersensitisasi
spesifik atau oleh produk-produk sel spesifik yang dibentuk pada interaksi antara
imunogen dengan limfosit-limfosit tersensitisasi spesifik. Produk-produk sel
spesifikasi ini ialah limfokin-limfokin termasuk penghambat migrasi (migration
inhibition factor = MIF), sitotoksin, interferon dan lain sebagainya yang menjadi
efektor molekul-molekul dari imunitas seluler.

2.2. Imunomodulator
Imunomodulator adalah berbagai macam bahan baik rekombinan,
sintetik maupun alamiah yang merupakan obat-obatan yang digunakan dalam
imunoterapi yang dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang
fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan
(Baratawidjaja, 2000). Pengaruh senyawa tersebut terhadap respon imun dapat
tergantung pada dosis, rute pemberian dan waktu pemberian. Imunoterapi
merupakan suatu pendekatan pengobatan dengan cara merestorasi,
meningkatkan atau mensupresi respon imun.
Ada dua cara mekanisme kerja dari obat imunomodulator yaitu up
regulation (menguatkan sistem imun tubuh/imunostimulasi dan imunorestorasi)
dan down regulation (menekan reaksi sistem imun yang berlebihan atau
imunosupresi) (Baratawidjaja, 2000). Imunostimulasi adalah cara memperbaiki
fungsi sistem imun menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut.
Bahan yang dapat menginduksi atau meningkatkan sistem imun disebut dengan
imunomostimulan, yang diperlukan pada pengobatan penyakit infeksi,
imunodefisiensi dan keganasan (kanker). Imunorestorasi adalah suatu cara
mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan
berbagai komponen sistem imun, seperti immunoglobulin dalam bentuk
immune serum globulin (ISG), hyperimmune serum globulin (HSG), plasma,
transplantasi sumsum tulang, jaringan hati, timus, plasmaferesis, dan
leukoferesis (Baratawidjaja, 2000). Imunosupresi merupakan tindakan
menekan respon imun. Senyawa yang dapat menekan respon imun disebut
dengan imunosupresan. Penekanan sistem imun diperlukan pada beberapa
kondisi misalnya transplantasi organ dan penyakit inflamasi yang menimbulkan
kerusakan atau gejala sistemik seperti autoimun atau auto inflamasi
(Baratawidjaja, 2000).

2.3. Makrofag
Sel fagosit mononuklear adalah sel efektor yang berperan penting dalam
imunitas nonspesifik maupun imunitas spesifik. Sel fagosit mononuklear yang
paling dominan adalah makrofag. Makrofag berperan penting dalam pertahanan
hospes karena memproduksi sitokin yang menginisiasi dan meregulasi
inflamasi.
Makrofag akan memakan dan menghancurkan mikroba, serta
membersihkan jaringan yang mati dan menginisiasi proses perbaikan jaringan
(Abbas et al., 2014). Makrofag berperan dalam imunitas nonspesifik melalui
aksi fagositosis mikroba dan produksi sitokin yang selanjutnya akan
mengaktifkan mediator-mediator inflamasi. Sedangkan dalam imunitas spesifik
makrofag berperan sebagai efektor yang mengekspresikan protein mikroba
yang telah difagosit kepada sel T. Selanjutnya sel T akan menstimulasi
makrofag untuk menghancurkan mikroba tersebut. Pada permukaan makrofag
terdapat reseptor untuk antibodi yang apabila diduduki oleh antibodi akan
memicu fagositosis makrofag (Abbas et al., 2015).
Sel ini berasal dari sel induk pluripoten yang mengalami diferensiasi
menjadi sel pre-monosit yang meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke
dalam sirkuasi untuk selanjutnya berdiferensiasi menjadi monosit matang
(Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Monosit adalah fagosit yang
didistribusikan secara luas di organ limfoid dan organ lainnya, berperan sebagai
APC yang akan mengenal dan menyerang mikroba dan sel kanker,
memproduksi sitokin, mengarahkan pertahanan sebagai respon terhadap
infeksi, remodeling dan perbaikan jaringan (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).
Sel monosit yang matang akan bermigrasi ke berbagai jaringan untuk
berdiferensiasi menjadi makrofag jaringan spesifik dengan berbagai fungsi.
Makrofag yang hidup dalam jaringan sebagai makrofag residen (fixed
macrophage) berbentuk khusus tergantung jaringan yang ditempati, misalnya
di usus (makrofag intestinal), kulit (sel dendritik atau sel Langerhans), paru
(makrofag alveolar, sel Langerhans), hati (sel Kuppfer), otak (sel mikroglia),
ginjal (sel mesangial), jaringan ikat (histosit), tulang (osteoklas) dan cairan
peritoneum (makrofag peritoneal) (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).
Makrofag memiliki dua fungsi utama yaitu menelan dan
menghancurkan agen infektif yang masuk ke dalam tubuh serta mengambil
antigen dan memprosesnya untuk kemudian menyajikan antigen tersebut pada
permukaannya kepada sel T. Fungsi makrofag yang kedua disebut dengan
Antigen Presenting Cell (APC). Makrofag dan monosit dapat hidup lama,
mempunyai beberapa granul dan melepas berbagai bahan di antaranya lisozim,
komplemen, interferon dan sitokin yang semuanya berkontribusi dalam
pertahanan nonspesifik maupun spesifik.

Gambar 3. Tahapan fagositosis mikroba oleh sel fagosit (Abbas et al., 2014).
Mikroba yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan reseptor
sel fagosit kemudian membran sel fagosit akan mengelilingi mikroba
yang terikat tadi dan pada akhirnya mikroba akan dicerna di dalam
fagosom. Di dalam sel fagosit terjadi fusi antara fagosom dan lisosom
membentuk fagolisosom. Sel fagosit menghasilkan ROS, NO dan
enzim lisosomal dalam fagolisosom sehingga menyebabkan mikroba
mati.

Makrofag yang teraktivasi adalah makrofag yang memiliki kemampuan


membunuh mikroba yang lebih berkembang dibanding makrofag yang tidak
aktif (Coligan et al., 2010). Makrofag diaktivasi oleh berbagai rangsangan
misalnya LPS (Lipopolisakarida) yang dihasilkan bakteri, IFN-γ yang
diproduksi oleh sel NK dan aktivasi TLR (Toll-like Receptor) oleh ligan
PAMPs (Pathogen Associated Molecular Patterns) (Baratawidjaja &
Rengganis, 2009; Coligan et al., 2010). Makrofag yang aktif dapat menangkap,
memakan dan mencerna antigen eksogen, seluruh mikroba, partikel tidak larut
dan bahan endogen seperti sel pejamu yang cedera atau mati karena makrofag
akan menghasilkan NO, TNF dan IL-12 (Coligan et al., 2010). Penghancuran
mikroorganisme atau antigen terjadi dalam beberapa tingkat yaitu kemotaksis,
menangkap, memakan, fagositosis, memusnahkan dan mencerna
(Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Fagositosis merupakan proses ingesti
partikel yang dilakukan oleh sel fagosit. MAF (Macrophage Activating Factor)
adalah kemoatraktan untuk makrofag (Bellanti, 1985). Fagositosis yang efektif
pada invasi dini antigen dapat mencegah terjadinya infeksi. Sel fagosit juga
berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik. Aktivitas fagositosis
makrofag dapat ditentukan dengan menghitung indeks dan kapasitas
fagositosisnya.

2.4. Limfosit
Limfosit merupakan turunan dari sel darah putih (leukosit) yang
berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh dalam melawan berbagai
penyakit infeksi. Limfosit berasal dari sel induk ploripoten yang berdiferensiasi
melalui jalur limfoid di dalam hati, sumsum tulang, dan timus sehingga

menjadi beberapa kelas utama (Kresno, 1996). Limfosit terdiri atas sel T (T H,

TC, TR), sel B dan sel NK (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Sel T
berdiferensiasi di dalam timus, sedangkan sel B berdiferensiasi di dalam
sumsum tulang belakang dan organ limfoid perifer. Pada burung sel B
berdiferensiasi dalam bursa Fabricius (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Sel
B mengalami maturasi menjadi sel plasma, atau sel B memori di bawah
+
pengaruh makrofag. Sel T dibedakan menjadi sel TH (CD4 ) yang dapat
+
mengenali antigen, sel T supresor yang mengatur dan sel TC (CD8 ) yang
+
langsung memusnahkan zat asing. Beberapa sel CD4 termasuk dalam subset
sel T spesial karena berfungsi mencegah atau membatasi respon imun, yaitu

limfosit T regulatori (TR) (Abbas et al., 2014). Sel NK termasuk dalam


kelompok limfosit granuler besar yang memiliki banyak sitoplasma, granul
plasma azurofilik, pseudopodia dan nukleus eksentris (Baratawidjaja &
Rengganis, 2009).

Limfosit mampu mengenali antigen secara spesifik karena mempunyai


reseptor pada permukaannya yang mampu mengenal antigen tertentu. Reseptor
tersebut pada sel T disebut dengan TCR dan surface immunoglobulin (sIg) pada
sel B (Kresno, 1996). Limfosit B memiliki protein marker surface
immunoglobulin M (sIgM), sedangkan marker protein pada limfosit T adalah
+ +
limfosit TC berupa CD8 dan limfosit TH berupa CD4 (Shen & Louie, 2005).
+
Sel T CD4 memiliki peran yang sangat penting dalam imunitas spesifik yaitu
+
membantu APC dan T CD8 memulai respon imun spesifik. Secara umum
limfosit yang teraktivasi akan segera membelah/berproliferasi dan
mengekspresikan serta memproduksi sitokin yang dapat mengaktivasi
proliferasi limfosit dalam organ limfoid (Baratawidjaja, 2000; Delves et al.,
2011). Respon proliferasi limfosit terhadap antigen hanya terjadi jika pasien
sudah diimunisasi dengan antigen, sudah sembuh dari infeksi mikroorganisme
yang mengandung antigen, atau sudah divaksinasi.
Selain aktivitas fagositosis makrofag, perubahan respon imun dapat
diukur dari jumlah proliferasi limfosit. Uji proliferasi limfosit dapat dilakukan
dengan mengukur kemampuan limfosit yang ditempatkan pada short-term
tissue culture untuk membentuk suatu koloni proliferasi ketika distimulasi oleh
molekul asing, antigen atau mitogen secara in vitro (Anonim, 2000). Salah satu
metode yang dapat digunakan dalam uji proliferasi limfosit adalah MTT
reduction. Penentuan sel dengan metode MTT biasanya digunakan untuk
mengukur pertumbuhan sel sebagai respon terhadap adanya mitogen, stimulasi
antigenik, growth factor dan reagen lain yang memicu pertumbuhan sel, untuk
studi sitotoksisitas dan dalam derivasi kurva pertumbuhan sel (Anonim, 2007).
Di dalam mitokondria sel hidup terdapat enzim mitokondria
dehidrogenase yang dapat memotong cincin tetrazolium pada MTT (3-(4,5-
dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetra-zolium bromide) dan membentuk kristal
ungu formazan. Absorbansi dari larutan berwarna ungu tersebut dapat
dikuantifikasi dengan pengukuran panjang gelombang 500-600 nm.
Peningkatan jumlah sel ditunjukkan dengan peningkatan jumlah formazan
MTT yang terbentuk dan peningkatan absorbansi.

2.5. Antibodi
Antibodi atau yang disebut juga imunoglobulin merupakan molekul
glikoprotein yang terdiri atas komponen polipeptida sebanyak 82-96% dan
selebihnya karbohidrat (Kresno, 1996). Antibodi dibentuk oleh sel B sebagai
respon atas adanya antigen yang bersifat imunologik masuk ke dalam tubuh
dan berperan dalam respon imun humoral. Antibodi yang terbentuk bersifat
spesifik terhadap antigen. Interaksi antara antigen dengan membran antibodi
pada sel B naive, menyebabkan terjadinya respon imun humoral. Setelah
disekresikan ke dalam sirkulasi darah dan cairan mukosal, antibodi akan
menetralkan dan mengeliminasi mikroba dan toksin mikroba yang berada di
luar sel inang (Abbas et al., 2014).
Antibodi memiliki dua fungsi yaitu fungsi netralisasi (mengikat antigen)
dan fungsi efektor yang diperantarai antibodi (Kresno, 1996). Fungsi efektor
terdiri atas netralisasi mikroba atau produknya yang toksik, aktivasi sistem
komplemen, opsonisasi antigen, lisis sel target dan hipersensitivitas tipe segera.
Molekul antibodi dibentuk sel B dalam dua bentuk yaitu sebagai reseptor
permukaan antigen dan sebagai antibodi yang disekresikan ke dalam cairan
ekstraseluler. Pengikatan antigen harus disertai dengan fungsi efektor sekunder
agar antigen terikat kuat dengan imunoglobulin. Fungsi efektor sekunder yaitu
memacu aktivasi komplemen dan merangsang pelepasan hitamin oleh basofil
atau sel mast. Opsonisasi antigen oleh imunoglobulin memudahkan APC
memproses dan menyajikan antigen kepada sel T.

Gambar 4. Respon imun primer dan sekunder sel B (Abbas et al., 2014). Antigen
X dan Y akan menginduksi produksi antibodi yang berbeda, yang
merefleksikan spesifisitas antibodi tersebut. Respon sekunder terhadap
antigen X lebih cepat dan besar dibandingkan dengan respon primer dan
berbeda dengan respon primer terhadap antigen Y. Level produksi antibodi
dinyatakan sebagai nilai arbitrari dan bervariasi tergantung tipe antigen
yang memapar. Setelah imunisasi, repon imun primer akan muncul 1-3
minggu sedangkan respon imun sekunder muncul akan muncul 2-7 hari
tetapi kecepatannya sangat dipengaruhi oleh antigen dan sifat imunisasi.

Antibodi/imunoglobulin dapat ditemukan dalam berbagai cairan tubuh


seperti darah, air mata, saliva dan ASI. Imunoglobulin memiliki 5 kelas utama
yaitu IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE. Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan
perbedaan struktur kimia yang mengakibatkan perbedaan sifat biologis maupun
fisik. Imunoglobulin memiliki dua bentuk yaitu sIg dan Ig. Perbedaannya
adalah pada domain terminal-C, di mana sIg memiliki bagian transmembran
dan bagian intrasitoplasmik yang lebih pendek (Kresno, 1996).
Kadar antibodi dalam darah dapat meningkat karena adanya respon
primer dan respon sekunder terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh.
Salah satu cara yang digunakan untuk mendeteksi antibodi atau antigen dalam
sampel ialah dengan Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Metode
ELISA dapat dikelompokkan menjadi ELISA langsung, ELISA tidak langsung,
ELISA antibody-sandwich, ELISA double antobody-sandwich, ELISA direct
cellular dan ELISA indirect cellular (Coligan et al., 2010). Prinsip dasar
ELISA adalah bahwa suatu antibodi dapat mengenali satu epitop tertentu secara
spesifik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang kemudian
divisualisasikan dengan cara menambahkan antibodi kedua yang
dikonjugasikan dengan enzim. Pemaparan substrat pada kompleks tadi akan
menghasilkan warna yang dapat diukur intensitasnya.

2.6. Interaksi Sistem Imun Non-Spesifik dengan Sistem Imun Spesifik


Imunitas non-spesifik berperan sebagai pertahanan pertama terhadap agen
infeksius, dimana mikroorganisme patogen akan dihancurkan sebelum
berkembang biak dan sebelum menimbulkan infeksi. Apabila pertahanan pertama
tidak dapat mencegah infeksi sehingga menimbulkan penyakit, maka sistem imun
spesifik akan diaktivasi. Penyembuhan melalui respon imun spesifik akan
meninggalkan memori imunologi yang spesifik sehingga infeksi selanjutnya
dengan agen infeksius yang sama tidak akan menimbulkan penyakit (Darwin,
2005).
Sistem kekebalan tubuh non-spesifik menyediakan sinyal, yang
bersamasama dengan proliferasi antigen spesifik dan aktivasi limfosit T dan B,
menyebabkan sinyal dari sistem imun non-spesifik meningkatkan dan memodulasi
respon imun spesifik. Sistem kekebalan tubuh non-spesifik memainkan peran
sebagai adjuvant pada aktivasi sistem kekebalan tubuh spesifik (Engelhardt,
2009).
Gambar 5. Stimulasi yang terbentuk dari respon imun non-spesifik kepada respon
imun spesifik (Abbas et al., 2000 dalam Engelhardt, 2009).
BAB III
KESIMPULAN

Sistem imun tubuh terdiri dari banyak komponen. Semua komponen


tersebut akan bekerja serentak manakala tubuh mendapat serangan dari penyakit
yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh.

Tubuh dalam melindungi diri dari serangan mikroorganisme patogen


terutama virus dengan cara mengembangkan sistem pertahanan tubuh. Sistem
pertahanan tubuh dapat diaktifkan dengan memberikan suatu senyawa yang dapat
digunakan untuk meningkatkan respon immun yang disebut immunomodulator.

Immunomodulator adalah senyawa yang dapat meningkatkan mekanisme


pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik. Immunomudulator
dapat mengaktifkan respon immun yang non spesifik yaitu makrofag, sel NK,
interferon, interleukin (IL)1 dan IL6, dan respon immun yang spesifik yaitu
limfosit T, limfosit B dan IL2.
DAFTAR PUSTAKA

Kresno, S. B., 1991, Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium, Edisi


Kedua, 16,130, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Kresno, S. B., 1996, Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium, Edisi


Ketiga, 5, 11, 25, 30-33, 74, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.

Kresno, S.B., 2001, Imunologi: Diagnosis dan prosedur Laboratorium Edisi


IV, Fakultas Kedokteran UI Press, Jakarta.

Nurrochmad A., Lukitaningsih E., Meiyanto E., 20100, Anti cancer activity of
rodent tuber Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume on human breast
cancer T47D cells. Int J Phytomedicine: 138-46.

Nwanjo, H.U., 2007, Studies on The Effect of Aquous Extract of Phyllanthus


niruri Leaf on Plasma Glucose Level and Some Hepatospecific
Markers in Diabetic Wistar Rats. Internet J. Lab. Med., 2(2). 1-9.

Nworu C. S., Akah P. A., Okoye F. B., Proksch P., Esimone C.O., 2010, The
effect of Phyllantus niruri aqueous extract on the activation of murine
lymphocytes and bone –derived macrophages, Immunol Invest., 39
(3):246-67.

Reynelda, J. S., 2013, Akvititas Immunostimulan kombinasi Ekstrak Etanolik


Herba Meniran (Phyllantus niruri Linn.), Umbi Keladi Tikus
(Typhonium flagelliforme) (Lodd.), dan Daun Sirih Merah (Piper
crocatum) Terhadap Fagositosit Makrofag Secara In Vitro, Skripsi,
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Robinson T, 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, ITB, Bandung

Roitt, I.M. & Delves, P.J., 2008, Roitt’s Essential Immunology, Tenth Edition,
Blackwell Science Ltd, Osney Mead Oxford OX2 OEL.

Stites, D.P. & Terr, A.I., 1990, Basic and Clinical Immunology, Seven Edition,
Appleton and Lange, U.S.A.

Sudewo, B., 2005, Basmi Penyakit dengan Sirih Merah, 22, 35-36, Agromedia
Pustaka, Jakarta.

Sudarmadji, S. & Suhardi, 1996, Analisis Bahan Makanan dan Pertanian,


Liberty, Yogyakarta.

Suprapto, 2006, Tubuh Kebal dengan Herba. http://www.depkes.go.id, 5


Januari 2012

Syamsuhidayat, S.S. & Hutapea, J.R., 1991, Inventaris Tanaman Obat


Indonesia, edisi kedua, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Syariefa, E., 2006, Resep Sirih Wulung untuk Putih Merona Hingga Kanker
Ganas, Trubus, 434, 88.

Tjay, T. H. & Rahardja, K., 2002, Obat-obat Penting Khasiat dan


Penggunannya, PT. Elex Media Computindo, Jakarta.

Trubus, 2010, Herbal Indonesia Berkhasiat Bukti Ilmiah dan Cara Racik,
Trubus,8:436-440.
Vania, 2014, Wawancara atau komunikasi pribadi dengan penulis, 28
Februari 2014.

Voight, R., 1984, Buku pelajaran Teknologi Farmasi Edisi Kelima,


diterjemahkan oleh Soendani Noerono, 1994, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Wagner, H. & Bladt, S., 1984, Plant Drug Analysis: A Thin Layer
Chromatography Atlas, Secon edition, Springer Verlag, Berlin.

Wang, K., Saito, S., Bisikirska, B., Alvarez, M., Rajbhandari, P., et al, 2009,
Genome-wide identification of post-translation modulators of
transcription factor activity in human B cells. Nature Biotech. 27:829.

Windi, 2010, Keladi Tikus Untuk Kanker, htpp://www.keladitikus.net/khasiat


dan manfaat, 12 April 2014.

Anda mungkin juga menyukai