Dalam pengukuran VSWR untuk feeder di telkomunikasi biasanya menggunakan Produk dari
Anritsu, dalam layar anritsu diperlihatkan dalam bentuk gelombang amplitudo (wave)
SWR Meter
Standing Wave Ratio
Standing wave ratio disingkat SWR kadang-kadang disingkat dengan nama VSWR (Voltage
Standing Wave Ratio). Bila impedansi saluran transmisi tidak sesuai dengan transceiver maka
akan timbul daya refleksi (reflected power) pada saluran yang berinterferensi dengan daya maju
(forward power). Interferensi ini menghasilkan gelombang berdiri (standing wave) yang
besarnya tergantung pada besarnya daya refleksi.
Skema Rangkaian SWR Meter dan Cara Kalibrasi. Pada Transmisi Daya RF, apabila Impedansi
Saluran Transmisi tidak sesuai dengan Impedansi Beban (antenna), maka akan muncul Daya
Pantul (Reflected Power) pada saluran transmisi menuju sumber (transmitter). Daya pantul ini
akan berinterferensi dengan daya dari pemancar (Forward Power) dan menghasilkan Gelombang
Tegangan Berdiri pada saluran (Volt Standing Wave).
Nilai SWR dapat dihitung melalui perbandingan Impedansi Beban terhadap impedansi transmisi
, yaitu :
vswr =
Daftar Komponen
D1,D2 = 1N34, 1N60 (dioda germanium)
C1,C2 = 0,001 uF keramik
VR1 = 100 ohm trimpot
VR2 = 50 Kohm potensio
C3 = 0,001 uF
J1,J2 = konektor , PL259
M1 = 0 – 1 mA linear
S1 = single pole, toggle switch
L = kabel koaxial RG 58 A/U panjang 9,5cm
Konstruksi
SWR dapat dinyatakan sebagai berikut :
Konstruksi cukup sederhana, tetapi dapat diandalkan dan dapat dibuat dengan komponen yang
banyak terdapat di pasaran. Komponen utamanya adalah kabel koaxial yang sesuai dengan
saluran transmisi (RG 58 A/U, impedansi 50 ohm).
Potonglah kabel koaxial sepanjang 3,75 inch (2,54 % 3,75 = 9,5 cm) lalu ujungnya dikupas
sepanjang 1/8 inch. Tepat di tengah-tengah, koaxial dikerat dengan pisau yang tajam atau cutter.
Kupaslah konduktor luar yang berupa anyaman. Lalu isolator dikerat sehingga koduktor dalam
terlihat. Kemudian solderkan konduktor dalam dengan 100 ohm trimpot melalui sepotong kawat
kecil. Tahanan ini nantinya diatur sehingga sama dengan impedansi saluran. Jagalah agar
konduktor dalam dan luar tidak terhubung singkat (diisolasi dengan cellotape). Selanjutnya
ujung-ujung koaxial bagian luar disolder pada bagian tengah kedua konektor.
Salah satu komponen yang kritis adalah meter. Untuk ini dipakai 0 – 1 mA linier, tetapi skalanya
dikalibrasikan terhadap skala SWR. Letak variabel resistor trimpot harus di tengah-tengah
koaxial. Ini menentukan kesetimbangan titik nol.
Tegangan maju yang berupa titik imbas disearahkan oleh D1 dan melalui Low Pass Filter C1
yang kemudian dideteksi M1. Sedangkan tegangan pantul akan melalui D2 dan C2. Berilah tanda
FWD dan REF pada saklar S1, ANT, dan TX pada konektor yang sesuai.
Kalibrasi
1. Hubungan SWR meter diantara TX dan antena atau dummy load pada konektor yang
sesuai (TX ke pesawat, ANT ke antena).
2. Letakkan saklar S1 pada posisi FWD. Hidupkan pesawat TX. Jarum akan menunjuk ke
suatu angka. Aturlah VR2 sehingga jarum mencapai skala maksimum.
3. Ubah saklar pada REF. Jarum akan menunjuk ke suatu angka (misal 1,5).
4. Balikkan posisi SWR meter. TX ke antena dan pesawat ke ANT. Ulangi prosedur 2 dan
3. Jarum harus menunjuk angka yang sama (misal 1,5).
5. Bila prosedur 4 tidak tercapai putar trimpot VR1. Bila hal ini tidak menolong berarti VR1
sedikit ke kiri atau ke kanan.
6. Ulangi prosedur 1 sampai 5 berulang-ulang sampai penunjukan meter sama.
Pengukuran SWR
Kadang-kadang SWR meter tidak menunjukkan harga standing wave ratio yang sebenarnya,
terutama bila SWR jauh dari 1 : 1. Ini akibat rugi-rugi pada saluran transmisi. Hal ini dapat
dilihat pada gambar berikut.
SWR meter diletakkan dekat pemancar. Misalkan tegangan maksimum yang keluar dari TX
adalah 10 volt. Karena rugi-rugi saluran, tegangan yang sampai di antena adalah 9 volt.
Tegangan pantul dari antena 3 volt. Tegangan ini disalurkan ke TX yang juga mengalami
redaman. Sampai di TX tinggal 2,7 volt. SWR yang terbaca :
Namun bila SWR diletakkan di dekat antena, SWR yang terbaca adalah :
Ternyata kedua pengukuran berbeda. Hasil yang benar adalah 1 : 2,0. Jadi bila SWR meter
diletakkan dekat TX SWR yang sesungguhnya lebih besar daripada yang terukur. Kesalahan
akan bertambah besar bila saluran transmisinya panjang. Dalam praktek cara pertama boleh
dipakai bila SWR menunjukkan rendah (SWR 1 : 1,1) karena penambahannya sedikit. Tetapi
bila penunjukan 1 : 1,0 atau lebih segeralah pindahkan SWR meter ke dekat antena agar
penunjukannya tidak terlalu banyak meleset. Apalagi bila koaxialnya panjang sekali (20 meter
atau lebih) atur kembali matching antena anda. Selamat bereksperimen.
Umumnya, hanya dua hal yang dihitung dari penggunaan VSWR, yaitu DTF (Distance to Fault)
dan SWR (Signal Wave Ratio).
GSM 2G 900 : 890 – 960
GSM 2G 1800 : 1710 – 1880
UMTS 3G : 1980 – 2170
Standart : 2G
Band : 900
Jenis Kabel : AVA, diameter 7/8.
Panjang Feeder : 80m
Maka yang harus dilakukan adalah :
Setelah selesai menyiapkan kalibrasi, siapkan alat untuk mengukur SWR seperti flexible jumper,
connector, dummy, kunci 32’, isolasi dan rubber.
Berikut akan dijelaskan cara untuk melakukan perhitungan SWR dan DTF.
1. DTF
Setelah SWR diubah kemode DTF, dan semua peralatan untuk menghitung “measurement”
disiapkan, perhatikan bahwa biasa nya ada 4 titik yang nilai nya akan tinggi, yaitu di Marker 1,
Marker 2, Marker 3 dan Marker 4.
Marker 1 (M1) adalah perhitungan di konektor SWR.
Marker 2 (M2) adalah perhitungan di konektor Jumper.
Marker 3 (M3) adalah perhitungan di konektor Feeder.
Marker 4 (M4) adalah perhitungan di Dummy atau antenna.
Gambar DTF.
Tergantung dari Provider yang ada, batas dari limit DTF akan berbeda beda sesuai dengan aturan
dari provider tersebut. Seperti gambar diatas, limit yang digunakan adalah 1.04. Biasanya untuk
M4, jika menggunakan Dummy maka tetap menggunakan limit 1.04, sedangkan jika langsung
menggunakan antenna, limit bias lebih dari itu (1.2 lebih).
2. SWR
Penghitungan SWR biasanya sedikit lebih mudah dari pada DTF. Dibawah akan ditampilkan
salah satu contoh penghitungan SWR dengan menggunakan limit 1,25.
Gambar SWR.
Sekian dari saya mengenai pengukuran SWR dan DTF. untuk membantu kita semua dalam
membuat antena yang baik dan kita terapkan kedepannya.
PENGUKURAN KUAT MEDAN ANTENA DENGAN
FIELD STRENGTH METER
I. TUJUAN
1.1 Dapat melakukan pengukuran kuat medan antena.
1.2 Dapat menggunakan alat field strenght meter untuk mengukur kuat medan antena.
1.3 Dapat mengetahui karakteristik kuat medan antena.
PEMBAHASAN
Antena adalah sebuah konduktor yang berfungsi untuk meradiasikan energi gelombang
elektromagnetik ke udara (pemancaran), dan untuk menerima mengumpulkan energi gelombang
elektromagnetik yang ada di udara (penerima). Sebuah antena harus memiliki sensitifitas,
selektifitas dan fidelitas yang tinggi. Sensitifitas adalah kemampuan antena dalam menerima
sinyal yang lemah. Selektifitas adalah kemampuan antena untuk memilih sinyal mana yang akan
diterima. Sedangakan fidelitas adalah kemampuan antena untuk menghasilkan output sesuai
dengan informasi yang dikirimkan.
Kekuatan antena dalam mengkonsentrasi dan memfokuskan sinyal radio, satuan ukurnya
adalah dB (desiBel). Jadi ketika dB bertambah, maka jangkauan jarak yang bisa ditempuhpun
bertambah jauh. Bertambahnya dB ini dipengaruhi oleh polarisasi dari antena, dan juga seberapa
besar gain yang dimiliki oleh antena.
4.3 Tempatkan antena di atas meja praktek, dengan mengarahkannya ke daerah Cisarua, Cimahi.
4.4 Atur field strength pada posisi UHF (VHF dalam keadaan U).
4.5 Tangkap/tala field strength meter untuk siaran televisi dengan mengatur chanel UHFnya sampai
didapat jarum bergerak atau terdengar suara pada earphone.
4.6 Lakukan untuk 8 chanel yang berbeda, lalu catat kuat sinyal (dB) dan chanelnya pada tabel
pengukuran.
4.7 Bawa antena dan semua peralatan yang dibutuhkan ke lantai 3. Tangkap kembali siaran pada
langkah 4.6. Lalu catat kuat sinyalnya (dB) pada tabel pengukuran.
4.8 Aktifkan (on) attenuator apabila pembacaan kuat sinyal melebihi batas. (Kuat sinyal = Level
jarum + Attenuator).
4.9 Isi tabel pengukuran:
KUAT SINYAL (dB)
N
SIARAN CHANEL FREKUENSI DI LANTAI
O DI MEJA
3
1 PJTV 28 527 MHz 30 dB 47 dB
KOMPAS
2 34 575 MHz 35 dB 66 dB
TV/STV
3 INNOVASI TV 36 591 MHz 35 dB 65 dB
4 TVRI 40 623 MHz 15 dB 59 dB
5 TRANS TV 42 639 MHz 30 dB 45 dB
6 TRANS 7 44 655 MHz 35 dB 65 dB
7 SCTV 52 719 MHz 40 dB 66 dB
8 ANTV 58 767 MHz 30 dB 51 dB
V. KESIMPULAN
5.1 Ketika proses penalaan siaran TV di lantai 1 (di meja), kuat sinyal yang diterima (dalam dB)
tidak begitu besar. Sedangkan ketika penalaan siaran TV di lantai 3 kuat sinyal yang diterima
lebih besar daripada saat penalaan di meja.
5.2 Semakin tinggi posisi antena penerima, maka semakin besar kuat sinyal yang diterima, dan
semakin rendah posisi antena penerima, maka semakin kecil kuat sinyal yang diterima.
5.3 Agar antena menangkap sinyal lebih kuat, maka antena perlu diarahkan dengan benar dan akurat
ke arah pemancarnya (pada praktek kali ini ke arah Cisarua).
PENGUKURAN SWR PADA TRANSCEIVER
I. TUJUAN
1.1 Dapat mengoperasikan perangkat transceiver.
1.2 Dapat mengukur SWR, forward dan reflected power pada transceiver.
1.3 Dapat menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi nilai SWR.
II. PEMBAHASAN
Radio Transceiver dapat memancarkan sekaligus menerima gelombang radio. Metode
komunikasinya adalah half duplex, dimana sinyal informasi dapat mengalir dalam dua arah
secara bergantian. Dengan kata lain, waktu untuk mengirim gelombang radio (Tx) berbeda
dengan waktu untuk menerima gelombang radio (Rx). Pada saat transceiver memancarkan
gelombang radio, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya ialah SWR.
SWR (Standing Wave Ratio) adalah perbandingan antara tegangan maksimum dengan
tegangan minimum. Standing Wave Ratio ini besarnya tergantung dari besarnya arus balik
(reflection wave) pada pemancar. Semakin besar arus balik, maka SWR menjadi makin besar
pula. SWR besar terjadi bila impedansi pada kabel koaksial tidak sesuai dengan transceiver
maupun antena. Akibatnya akan timbul daya refleksi (reflected power) pada kabel yang
berinterferensi dengan daya maju (forward power). Interferensi ini menghasilkan gelombang
berdiri (standing wave) yang besarnya akan mempengaruhi kualitas dan umur pemancar.
4.3 Atur tegangan power supply sebesar 12-13,8 V, kemudian nyalakan transceiver.
4.4 Gunakan daya yang rendah (Low atau Middle) untuk pemancar.
4.5 Atur frekuensi kerja pemancar mulai dari 140 – 160 MHz (step: 1MHz).
4.6 Ukur daya forward dan daya reflected yang ditunjukkan jarum SWR meter.
4.7 Ukur nilai SWR dengan melihat perpotongan antara jarum kiri dan kanan.
4.8 Hitung nilai SWR berdasarkan persamaan lalu bandingkan dengan hasil pengukuran
menggunakan SWR meter.
4.9 Hitung nilai koefisien refleksi dengan menggunakan persamaan .
SWR KOEFISI
FOR REF PERSENTA
N FREKUEN EN
(Ei) (Er) UKU HITUN SE
O SI REFLEKS
(Watt) (Watt) R G REFLEKSI
I
1 140,000 4,50 0,10 1,40 1,35 0,022 2,22
2 141,000 5,30 0,15 1,50 1,40 0,028 2,83
3 142,000 6,00 0,25 1,55 1,51 0,042 4,17
4 143,000 4,00 0,20 1,65 1,58 0,050 5,00
5 144,000 3,50 0,10 1,65 1,41 0,029 2,86
6 145,000 4,50 0,20 1,55 1,53 0,044 4,44
7 146,000 5,50 0,08 1,30 1,27 0,015 1,45
8 147,000 5,50 0,05 1,30 1,21 0,009 0,91
9 148,000 6,00 0,35 1,70 1,64 0,058 5,83
10 149,000 3,50 0,25 1,80 1,73 0,071 7,14
11 150,000 4,50 0,20 1,60 1,53 0,044 4,44
12 151,000 5,50 0,10 1,35 1,31 0,018 1,82
13 152,000 5,50 0,55 1,95 1,92 0,100 10,00
14 153,000 3,50 0,40 2,20 2,02 0,114 11,43
15 154,000 4,00 0,50 2,20 2,09 0,125 12,50
16 155,000 5,00 0,60 2,25 2,06 0,120 12,00
17 156,000 7,20 0,90 2,20 2,09 0,125 12,50
18 157,000 4,20 0,52 2,20 2,09 0,124 12,38
19 158,000 4,00 0,45 2,10 2,01 0,113 11,25
20 159,000 4,70 0,45 2,00 1,90 0,096 9,57
21 160,000 6,00 0,50 1,85 1,81 0,083 8,33
V. KESIMPULAN
5.1 Nilai SWR pada transceiver ini bergantung pada besarnya daya pancar yang dipantulkan
kembali (reflected wave) ke perangkat. Semakin besar daya yang dipantulkan, maka semakin
besar nilai SWR nya.
5.2 Panjang saluran serta panjang antena akan mempengaruhi terhadap nilai SWR. Pada praktek ini,
panjang saluran dan antena yang digunakan hanya cocok untuk frekuensi kerja 147 MHz, karena
pada frekuensi tersebut SWR yang dihasilkan adalah paling minimum yaitu sebesar 1,3 yang bisa
dikatakan cukup baik untuk sebuah pemancar.
5.3 Kecocokan antara impedansi beban antena (ZL) dengan impedansi saluran dan output pemancar
juga mempengaruhi nilai dari SWR. Untuk itu diperlukan matching load agar impedansi beban
dengan saluran cocok.
5.4 Untuk melakukan penguran SWR pada suatu feeder line bisa menggunakan dummy load sebagai
pengganti antena. Dummy load ini berfungsi menyerap RF yang masuk kepadanya sehingga
tidak terjadi RF balik dari luar feeder line (coaxial cable), dengan demikian SWR feeder line
dapat diukur secara murni.
PENGUKURAN ANTENA MULTI ELEMEN
I. TUJUAN
1.1 Dapat mengetahui pengaruhh elemen terhadap penerimaan sinyal.
1.2 Dapat mengukur level sinyal yang diterima antena dengan variasi jumlah elemen.
1.3 Dapat merakit antena yagi.
PEMBAHASAN
Antena yagi adalah salah satu jenis antena direksional yang terdiri atas beberapa elemen
penyusun. Tiap-tiap elemennya memiliki fungsi yang berbeda-beda, diantaranya ialah elemen
pemantul, elemen peradiasi, dan elemen pengarah. Oleh karena itulah antena yagi dikatakan
sebagai antena multi elemen karena terdiri dari banyak elemen penyusunnya.
Antena multi elemen terdiri dari antena primer yang terhubung langsung dengan saluran,
dan antena sekunder yang terletak di depan dan belakang antena primer yang merupakan elemen
tambahan reflektor dan driver.
Antena yagi dipilih sebagai antena pesawat televisi karena antena ini memiliki pola radiasi
direksional, sehingga daya yang diterima lebih besar. Akan tetapi untuk mendapatkan hasil yang
maksimal perlu perlu elemen tambahan yang jumlahnya tidak sedikit. Sehingga membutuhkan
dimensi panjang yang lebih besar lagi.
III. ALAT DAN BAHAN
3.1 Antena yagi PF5000.
3.2 Antena open dipole.
3.3 RF Generator
3.4 Field Strength Meter / TV Field/
3.5 Toolkit.
V. KESIMPULAN
5.1 Penambahan elemen pada antena yagi akan mempengaruhi kuat penerimaan sinyal, karena
pemasangan elemen ini akan mempengaruhi terhadap polaradiasi antena.
5.2 Semakin banyak elemen driver yang dipasang pada antena, maka sudut radiasi (beam) akan
semakin mengecil, gain dan direktifitas antena akan besar, sehingga sinyal yang diterima akan
semakin bagus.
5.3 Penambahan elemen reflector menghasilkan gain yang lebih kecil, hal ini dapat terjadi apabila
dalam pemasangan dan ukurannya salah. Karena pemasangan reflector yang salah
mengakibatkan membesarnya minor lobe yang sebenarnya tidak diinginkan.
PENGUKURAN FREKUENSI DAN LEBAR BAND
RESONATOR LC
I. TUJUAN
1.1 Dapat mengukur besar frekuensi resonator LC dengan alat grid DIP meter.
1.2 Dapat mengukur lebar band dari resonator LC.
1.3 Dapat menggambarkan kurva respon dari resonator LC.
PEMBAHASAN
Resonansi terjadi saat besarnya reaktansi induktif (XL) pada lilitan nilainya sama dengan
besarnya reaktansi kapasitif (XC) pada kapasitor. Secara matematis, besarnya frekuensi
resonansi adalah:
Saat terjadi resonansi (XL=XC) maka harga impedansi rangakaian mencapai nilai minimun
dan arus yang mengalir mencapai maksimum. Besarnya frekuensi resonator bergantung pada
besar nilai L dan C itu sendiri. Semakin kecil nilai keduanya (L dan C) maka semakin besar
frekuensi resonator yang dihasilkan, dan semakin besar nilai L dan C maka semakin kecil nilai
frekuensi resonator yang dihasilkan.
III. ALAT DAN BAHAN
3.1 Oscilloscope
3.2 Grid DIP meter
3.3 RF Generator
3.4 Saluran RG 8
3.5 Kabel probe
3.6 L dan C
4.7 Atur frekuensi RF Generator di sekitar frekuensi yang tercatat pada langkah 4.4. Dapatkan level
di layar oscilloscope yang paling besar dan tidak cacat, catat besar level pada tabel. Catat juga
besar frekuensi yang ditunjukkan RFG pada tabel pengukuran.
4.8 Atur frekuensi RF Generator di atas (fU) dan di bawah (fL) frekuensi resonansi, yang mana
levelnya adalah 0,707 x level frekuensi resonan (level langkah 4.6). Catat frekuensi fU dan fL
pada tabel.
4.9 Isi tabel pengukuran:
V. KESIMPULAN
5.1 Besar frekuensi resonansi tergantung kepada nilai L dan C nya. Semakin kecil nilai L dan C nya,
maka semakin besar frekuensi resonansinya. Semakin besar nilai L dan C nya, maka semakim
kecil frekuensi resonansinya.
5.2 Setiap frekuensi resonator akan memiliki frekuensi lower (FL) dan frekuensi upper (FU), yang
levelnya adalah 0,707 kali dari level frekuensi resonator. FL dan FU ini akan menjadi batasan
bandwidth dari sebuah frekuensi resonator.
5.3 Semakin besar frekuensi resonator, maka semakin besar bandwidthnya. Dan semakin kecil
frekuensi resonator, maka semakin kecil bandwidthnya.
PENGUKURAN VSWR SALURAN TRANSMISI
I. TUJUAN
1.1 Dapat mengetahui VSWR dan koefisien refleksi.
1.2 Dapat menghitung nilai VSWR pada saluran.
1.3 Dapat menghitung nilai koefisien refleksi gelombang.
PEMBAHASAN
Perbandingan antara arus maksimum dengan arus minimum atau perbandingan antara
tegangan maksimum dengan tegangan minimum disebut dengan Standing Wave Ratio (SWR).
Standing Wave Ratio ini besarnya tergantung dari besarnya arus balik (reflection wave).
Semakin besar arus balik, maka SWR menjadi makin besar pula.
Adanya standing wave pada feeder line ini tidak dikehendaki, karena hal ini memberikan
indikasi adanya missmatch. Di mana impedansi saluran (Zo) tidak cocok atau tidak sama dengan
impedansi beban (ZL), akibatnya tidak semua daya dapat diserap oleh beban (dalam hal ini
antena), sebagiannya lagi akan dikembalikan sebagai reflected wave. Arus balik ini akan masuk
ke final dan ditransformasikan menjadi panas, dimana panas ini bila cukup tinggi akan dapat
merusak final.
4.3 Atur nilai frekuensi RF Generator sehingga pada oscilloscope didapat ch1 level minimum dan
ch2 level maksimum. Catat nilai level ch1 dan ch2 pada tabel.
4.4 Hitung nilai standing wave ratio. VSWR = ch2 + ch1
ch2 – ch1
4.5 Dengan tidak mengubah nilai frekuensi RF Generator pada saat langkah 4.3, ganti R 50Ω
dengan R 100Ω. Catat level ch1 dan ch2 pada tabel.
4.6 Ulangi langkah 4.4 untuk menghitung nilai standing wave ratio langkah 4.5.
4.7 Hitung nilai koefisien refleksinya. τ = VSWR – 1
VSWR + 1
4.8 Lakukan percobaan untuk saluran RG 8 dan 5C.
4.9 Isi tabel hasil pengukuran dan perhitungan di bawah ini:
Perhitungan:
1. A. RG 8 beban 50Ω
VSWR = ch2 + ch1 = 0,4 + 0,04 = 0,44 = 1,2
ch2 – ch1 0,4 – 0,04 0,36
V. KESIMPULAN
5.1 Standing Wave Ratio ini besarnya tergantung dari besar arus balik (reflection wave). Semakin
besar arus balik, maka VSWR menjadi makin besar pula.
5.2 Nilai VSWR maksimum tidak boleh lebih dari 2. Karena jika nilai VSWR=2 maka nilai
persentase refleksinya 33,3 %. Maka 1/3 bagian dari sinyal yang disalurkan akan dikembalikan
sebagai reflected wave dan akan mengakibatkan panas berlebih pada saluran. Panas berlebih
pada saluran akan cepat merusak saluran.
5.3 Nilai beban yang dipasangkan pada output saluran sangat mempengaruhi nilai VSWR. Ketika
beban yang dipasang benilai kecil, maka nilai VSWR nya semakin besar, dan koefisien
refleksinya pun semakin besar.
5.4 Besar impedansi saluran (Zo) harus sama dengan besar impedansi beban (ZL), agar semua sinyal
yang disalurkan dapat diserap oleh beban dan tidak terjadi gelombang kembali (reflected wave).
KARAKTERISTIK SALURAN λ/4
I. TUJUAN
1.1 Dapat mengetahui karakteristik saluran λ/4.
1.2 Dapat mengetahui keuntungan menggunakan saluran λ/4.
1.3 Dapat menghitung panjang saluran λ/4.
PEMBAHASAN
Impedansi seperempat gelombang, atau sering juga disebut impedansi λ/4, adalah komponen
yang digunakan untuk menunjukkan panjang dari saluran transmisi atau waveguide, persisnya
menunjukkan ¼ dari panjang gelombang (λ), dan hubungannya menyangkut juga dengan
impedansi.
Berikut adalah bagaimana karakteristik dari sebuah saluran yang panjangnya λ/4:
4.8 Buka ujung saluran tadi. Tanpa merubah frekuensi RF Generator, lihat level yang ditunjukkan
oleh oscilloscope. Catat besar level pada tabel.
4.9 Naikkan frekuensi RF Generator, sampai didapat level pada oscilloscope adalah ½ kali dari
langkah 4.8. Catat frekuensi pada tabel.
4.10 Hitung λ/4 dari frekuensi pada langkah 4.9 dengan menggunakan rumus:
λ/4 = 300
4 x frek. langkah 4.9
7,352
5C 10,2 m 3,4 MHz 0,88 V 0,88 V 5,4 MHz 13,88 m
MHz
Perhitungan:
RG 8Au
f= 300 = 300 = 0,937 MHz
4 x panjang saluran 4 x 80
5C
f= 300 = 300 = 7,352 MHz
4 x panjang saluran 4 x 10,2
V. KESIMPULAN
5.1 Saat ujung saluran di shortkan, maka ujung saluran yang satu lagi (input) akan memiliki level
yang besar. Karena ketika dishortkan, saluran λ/4 akan memiliki impedansi input maksimum (zin
= max).
5.2 Semakin panjang saluran, maka sinyal yang dapat dilalukan bagusnya adalah sinyal dengan
frekuensi yang kecil. Begitu pula sebaliknya ketika saluran semakin pendek.
5.3 Saluran λ/4 memiliki keuntungan ekonomis karena panjang saluran yang digunakannya relatif
lebih pendek dengan efisiensi sinyal yang bagus.
PERHITUNGAN VELOCITY PADA SALURAN
TRANSMISI
I. TUJUAN
1.1 Dapat mengetahui cepat rambat sinyal pada saluran transmisi.
1.2 Dapar mengukur frekuensi kerja pada saluran transmisi.
1.3 Dapat menghitung lambda kerja pada saluran transmisi.
1.4 Dapat menghitung nilai velocity pada saluran transmisi.
PEMBAHASAN
Gelombang yang merambat disepanjang saluran transmisi bisa memiliki kecepatan yang
berbeda-beda, tergantung pada jenis dan karakteristik propagasi saluran yang digunakan.
Kecepatan merambat medan elektromagnetik di sepanjang saluran transmisi juga ditentukan oleh
besarnya konstanta dielektrik dari isolator kawat penghantarnya.
Velocity factor adalah kecepatan atau kemampuan saluran dalam menyalurkan elektron.
Velocity factor atau sering juga disebut kecepatan propagasi gelombang, merupakan kecepatan
gelombang saat melewati saluran transmisi yang berhubungan dengan kecepatan cahaya (3x108
m/s). Penggunaan velocity ini sebagai ratio atau pembanding antara kecepatan cahaya dengan
kecepatan propagasi pada saluran transmisi.
*keterangan:
λ kerja = c / frekuensi kerja
velocity = λ kerja / panjang sakuran
4.8.1 Velocity RG 58 = 0,83. Maka dapat dikatakan bahwa kecepatan saluran RG 58 dalam
menyalurkan sinyal adalah 0,83 kali kecepatan cahaya, atau 83% dari kecepatan cahaya.
4.8.2 Velocity RG 8 = 0,75. Maka dapat dikatakan bahwa kecepatan saluran RG 8 dalam menyalurkan
sinyal adalah 0,75 kali kecepatan cahaya, atau 75% dari kecepatan cahaya.
4.8.3 Velocity 5C = 0,749. Maka dapat dikatakan bahwa kecepatan saluran 5C dalam menyalurkan
sinyal adalah 0,749 kali kecepatan cahaya, atau 74,9% dari kecepatan cahaya.
V. KESIMPULAN
5.1 Velocity merupakan harga yang menjadi pembanding atau rasio antara kecepatan rambat
gelombang pada saluran dengan kecepatan cahaya. Semakin besar nilai velocity saluran, maka
saluran semakin bagus dalam menyalurkan energi.
5.2 Pada percobaan ini, salurannya adalah ½ λ. Hal ini bertujuan agar sinyal input memiliki level
yang sama dengan level output saluran.
5.3 Material (bahan) dielektrik saluran mempengaruhi nilai velocity saluran. Tiap bahan memiliki
harga tetapan yang berbeda-beda.
5.4 Saluran yang baik memiliki nilai velocity 0,66 atau 0,7 atau lebih dari itu.
PENGUKURAN R SALURAN TRANSMISI
I. TUJUAN
1.1 Dapat mengetahui pengertian saluran transmisi.
1.2 Dapat mengetahui hambatan pada saluran transisi.
1.3 Dapat mengukur besar hambatan pada saluran transmisi.
1.4 Dapat menggunakan alat ukur yang digunakan.
II. PEMBAHASAN
Saluran transmisi atau transmisi line, merupakan komponen yang dipasangkan antara
perangkat pemancar dengan antena atau perangkat penerima dengan antena. Saluran transmisi
biasanya terdiri atas dua buah konduktor atau lebih. Dengan bahan konduktor itu, energi dapat
disalurkan menuju antena untuk nantinya dipancarkan ke udara. Saluran digunakan karena
antena sendiri harus ditempatkan pada tempat yang baik untuk dapat memancar (biasanya
ditempat tinggi), dan untuk menghubungkan antena dengan pemancar maka digunakanlah
saluran.
4.3 Untuk percobaan kedua, lakukan pengukuran saluran inti ke inti. Untuk lebih jelasnya rangkailah
alat dan bahan seperti berikut ini:
4.4 Ubah-ubahlah nilai dekade box, lalu amati level yang ditampilkan oscilloscope. Saat oscilloscope
menunjukkan level paling minimal, maka nilai hambatan pada dekade box dan nilai hambatan
pada saluran adalah sama.
4.5 Catat nilai hambatan yang ditunjukan dekade box pada tabel pengukuran.
4.6 Lakukan juga pengukuran nilai R untuk saluran RG 8, RG 58, 5C, dan Modul Coax.
SALURAN RG 58 RG 8 Modul Coax 5C
Ujung Short 9Ω 2Ω 17 Ω 15 Ω
Inti ke Inti 6Ω - 15 Ω 14 Ω
V. KESIMPULAN
5.1 Hambatan pada saluran sangat dipengaruhi oleh besar frekuensi yang disalurkan. Besar
frekuensi ini mempengaruhi nilai XC dan XL saluran, maka impedansi saluran (z) pun akan
berubah.
5.2 Hambatan yang besar pada saluran akan mengakibatkan sebagian energi yang disalurkan akan
tertahan di saluran, akibatnya tidak seluruh energi yang disalurkan dapat disalurkan dengan
maksimal.
5.3 Nilai hambatan saluran yang dishortkan lebih besar daripada nilai hambatan inti ke inti, karena
saat dishortkan panjang saluran menjadi 2 kali lebih panjang. Maka semakin panjang saluran,
semakin besar nilai hambatannya.
5.4 Pada rangkaian jembatan (bridge) akan seimbang atau bernilai 0 (nol) apabila R1.R3=R2.R4.
Maka ketika level oscilloscope menunjukkan minimum berarti nilai hambatan pada decade box
dan saluran adalah sama.
Pendahuluan
Dalam merancang sebuah antena terdapat tiga langkah yang dilakukan, yaitu:
1. perhitungan / perancangan
2. pembuatan (fabrikasi secara mekanis)
3. pengukuran (validasi)
Teknik pengukuran besaran antena adalah proses mengukur besaran-besaran karakteristik dari antena,
seperti diagram radiasi, gain dan direktifitas (efisiensi), impedansi, dan polarisasi. Dalam prakteknya
sebuah antena disamping harus memenuhi besaran-besaran elektris yang digariskan dalam
perancangan, antena juga harus memenuhi beberapa tuntutan non-elektris.
Skema pengukuran
1. Diagram radiasi antena
Diagram radiasi
AUT digerakkan pada permukaan sebuah bola untuk melakukan variasi terhadap sudut elevasi dan sudut
asimut. Untuk antena yang memiliki direktivitas yang sangat tinggi, cukup hanya mengukur dua buah
bidang referensi, vertikal dan horizontal.
2. Gain antena
Gain adalah karakter antena yang berkaitan dengan kemampuan antena untuk mengarahkan radiasi
sinyalnya atau menerima sinyal dari arah tertentu. Gain bukanlah kuantitas yang dapat diukur dalam
satuan fisis pada umumnya seperti watt, ohm, volt, dan lainnya, melainkan sebuah perbandingan. Oleh
karena itu satuan yang dipakai untuk gain adalah desibel.
Cara 2 antena
Menggunakan metode dua antena, dimana dalam pengukuran menggunakan dua buah antena yang
berfungsi sebagai pengukur dan AUT. Jika kedua antena ini dipisahkan sejauh R, antena pengukur
menggunakan daya pancar sebesar PT maka daya terima untuk orientasi optimal kedua antena adalah
Cara 3 antena
Jika antena yang diukur tidak identik maka dilakukan pengukuran dengan 3 kombinasi antena (a-b),
(b-c), dan (a-c).
Cara extrapolasi
Cara yang dilakukan sama dengan pengukuran dengan 3 antena ditambah penelitian kesalahan karena
medan antena, lintas ganda, dan antena tidak sejajar/beda polarisasi.
1. Mengukur SWR (standing Wave Ratio) dan jarak minimum ke-1 dari antena (koefisien pantul)
2. Mengukur impedansi secara langsung oleh kemabtan impedansi.
Karena antena harus terisolasi dari pengaruh sekelilingnya maka pengukuran harus dilakukan secara
tidak langsung yaitu pengukuran ZA+K dan ZKS kemudian dicari ZA.
Dari teori saluran transmisi dikenal impedansi load antena bisa dihitung dengan faktor refleksi yang
diketahui.
ANTENA
Antena adalah radiator gelombang elektromagnetik. Artinya, dari antena inilah gelombang
elektromagnetik dipancarkan. Gelombang elektromagnetik hanya akan muncul bila ada aliran
arus listrik yang berubah-ubah (bolak-balik), sedangkan arus listrik berasal dari gerakan elektron.
Jadi untuk membangkitkan gelombang elektromagnetik harus ada elekron yang digerakan. Itulah
sebabnya bahan baku terbaik untuk sebuah antena adalah konduktor, karena konduktor adalah
penghantar arus listrik yang sangat baik. Artinya, di dalam konduktor terdapat elektron-elektron
yang lemah ikatannya terhadap inti atom sehingga elektron-elektron ini mudah sekali digerakkan
ketika diberi tegangan listrik.
Pemancar menghasilkan tegangan listrik bolak-balik. Tegangan listrik ini berasal dari osilator
yang telah diolah menjadi sinyal pembawa dan kemudian dimodulasi. Sinyal pembawa yang
telah termodulasi ini kemudian diperkuat dengan sebuah amplifier agar memiliki daya yang
besar. Selanjutnya tegangan atau sinyal pembawa yang termodulasi dan berdaya besar ini
kemudian dikirim ke antenna untuk menggerakkan elektron-elektron di dalam antena. Elektron-
elektron ini akan bergerak secara bolak balik, karena tegangan yang diberikan juga bolak-balik.
Akibatnya arus listrik yang mengalir di antena juga bolak-balik. Arus listrik bolak-balik inilah
yang kemudian membangkitkan gelombang elektromagnetik yang terpancar ke segala arah.
1. ANTENA RESONANSI
Resonansi adalah sebuah fenomena alam dimana gelombang pantul memperkuat gelombang
utama sehingga menghasilkan daya yang lebih besar. Resonansi juga terjadi pada antena, yaitu
pada saat panjang antena tepat sama dengan ½ lamda. Perhatikan gambar (1) dimana gelombang
pertama kali muncul dari pemancar di titik A. Gelombang ini kemudian merambat melalui
antena menuju titik B. Di titik B gelombang akan bertemu dengan udara atau sebuah rangkaian
terbuka sehingga gelombang tidak bisa menjalar lebih jauh lagi. Berhubung udara memiliki
impedansi yang berbeda maka di titik B gelombang ini akan dipantulkan kembali menuju titik A.
Di titk A gelombang pantul itu bertemu dengan impedansi pemancar dan kemudian dipantulkan
lagi ke arah titik B. Demikian seterusnya sehinga gelombang ini terus terpantul secara bolak-
balik (berosilasi).
Gambar (1): Antena ber-resonansi pada panjang ½ lamda
Amplitudo gelombang pantul lama-kelamaan akan melemah akibat adanya rugi-rugi di dalam
antena. Akan tetapi setiap kali gelombang itu terpantul di titik A pada saat itu pula gelombang
berikutnya muncul dari pemancar dan sekaligus memperkuat gelombang pantul itu. Bila panjang
antena itu tepat ½ lamda maka fasa gelombang yang muncul dari pemancar akan sama persis
dengan fasa sinyal pantul. Akibatnya akan muncul gelombang berdiri (standing wave) di
sepanjang antena. Ini berarti antena beresonansi pada frekuensi gelombang itu. Pada frekuensi
resonansi inilah antena akan menghasilkan radiasi gelombang elektromagnetik yang paling
tinggi.
2. RESISTANSI RADIASI
Antena memiliki resistansi nyata (ohmik) yang akan menimbulkan panas ketika antena itu dialiri
arus listrik. Besarnya rugi-rugi dalam bentuk panas ini sebanding dengan kuadrat dari arus yang
mengalir di antena (i² Ro). Mengingat bahan baku antenna adalah konduktor maka besarnya Ro
relatif sangat kecil. Sebab konduktor adalah penghatar listrik yang baik, yang berarti
resistansinya sangat rendah. Dalam praktek Ro sering kali diabaikan.
Pada saat memancarkan gelombang elektromagnetik daya yang dipancarkan oleh antena juga
sebanding dengan kuadrat arus dikalikan dengan sebuah resistansi yang disebut dengan resistansi
radiasi (Rr), yaitu sebuah resistansi tidak nyata (imaginer) yang digunakan untuk menyatakan
besarnya daya akibat adanya arus yang mengalir di antena. Jadi besarnya daya pancar ini sama
dengan i² Rr.
Jika sebuah antena dipole ½ lamda diletakkan di ruang angkasa, maksudnya tidak ada konduktor
lain yang berada di sekitarnya, maka besarnya resistansi radiasi = 73 ohm. Tapi berhubung
kecepatan perambatan gelombang di dalam antena sedikit lebih rendah dari pada di ruang hampa,
maka resonansi gelombang di antena terjadi tidak tepat persis pada panjang ½ lamda melainkan
sedikit lebih pendek dari itu. Oleh karena itu dengan panjang ½ lamda, antena akan lebih panjang
dari panjang gelombang saat terjadi resonansi. Kelebihan panjang ini akan mengakibatkan
impedansi antena menjadi:
Z = 73 + j 42,5 ohm
Artinya kelebihan panjang akan membuat antena bersifat induktif. Ini dapat dilihat dari
munculnya bilangan imajiner positif sebesar + j 42,5 ohm. Untuk menghilangkan sifat induktif
ini biasanya dilakukan dengan cara memotong panjang antena. Atau bisa juga dengan cara
memasang kapasitor di titik pencatuannya. Pemotongan panjang antena lebih disukai dari pada
menambahkan kapasitor. Sebab memotong panjang antena jelas lebih mudah dibanding
menemukan kapasitor yang sesuai.
Sebaliknya jika lebih pendek dari panjang gelombang resonansinya, maka antena itu akan
bersifat kapasitif. Dan untuk menghilangkan sifat kapasitif ini tentu dibutuhkan induktor. Atau
bisa juga panjang antena itu ditambah. Dalam beberapa hal menambah panjang antena terkadang
justru malah lebih sulit, terutama bila ada batasan tertentu untuk panjang antena. Misalnya
antena di mobil atau radio genggam (handy tranceiver). Pada kasus seperti ini jelas akan lebih
praktis menambahkan induktor dari pada memperpanjang antena.
Cara lain yang juga sering dilakukan untuk tujuan itu adalah dengan membuat mekanisme
teleskopic pada ujung antena. Dengan cara ini maka panjang antena bisa diperpanjang atau
diperpendek dengan mudah dalam rangka untuk menghilangkan munculnya komponen reaktif
(induktif atau kapasitif).
Besarnya resistansi radiasi (Rr) dipengaruhi oleh konduktor lain yang berada di sekitar antena.
Konduktor di sekitar antena ini sering disebut dengan elemen parasitik mengingat sifatnya yang
hanya akan aktif bila terinduksi oleh antena induknya (dipole). Keberadaan elemen parasitik ini
justru sangat dibutuhkan, khususnya untuk membuat antena agar memiliki karakteristik tertentu.
Sebagai contoh misalnya antena yagi, tepatnya adalah antena Yagi-Uda (diambil dari nama dua
orang ilmuwan Jepang yang menemukan jenis antena ini di Universitas Tohoku pada tahun
1926).
Pada antena yagi terdapat elemen parasitik yang diletakkan pada jarak tertentu dari antena induk
(dipole), dan polarisasinya juga dibuat sama. Ketika terkena induksi elemen ini akan bersifat
memantulkan (sinyal yang berasal dari dipole) bila panjang elemen parasitik ini lebih panjang
dibanding dipole. Itulah sebabnya elemen ini kemudian disebut sebagai elemen pemantul atau
reflector. Sebaliknya elemen parasitik akan bersifat mengarahkan (sinyal yang berasal dari
dipole) bila panjangnya lebih pendek dari dipole, sehingga elemen ini disebut dengan elemen
pengarah atau director.
Dalam praktek, elemen parasitik akan menyebabkan resistansi radiasi dipole menjadi turun.
Sebab elemen parasitik ini umumnya diletakkan pada jarak yang cukup dekat dengan dipole.
Nilai resistansi radiasi sebenarnya bisa naik bila elemen parasitik itu diletakkan pada jarak lebih
dari 1/2 lamda terhadap dipole. Akan tetapi tujuan pemasangan elemen parasitik adalah untuk
mendapatkan gain, sedangkan gain yang besar hanya bisa diperoleh bila elemen parasitik itu
diletakkan pada jarak kurang dari 1/4 lamda dari dipole. Sekedar gambaran, reflector yang
diletakkan pada jarak 0.2 lamda dari dipole akan memberikan gain sebesar 4,7 dB, sedangkan
director yang diletakkan pada jarak 0.1 lamda dari dipole akan memberikan gain sebesar 5,5 dB.
Gambar (2) Pengaruh elemen parasitik pada antena dipole
(a) Pola radiasi akibat reflector (b) Pola radiasi akibat director
Pada jarak 0.25 lamda reflector akan membuat resistansi radiasi turun dari 73 ohm menjadi 45
ohm, dan akan turun lagi menjadi 30 ohm bila jarak reflector menjadi 0,15 Lamda. Demikian
pula dengan director; pada jarak 0,25 lamda, radiator akan membuat resistansi radiasi dipole
turun dari 73 ohm menjadi 37 ohm, lalu turun lagi menjadi 30 ohm untuk jarak 0,15 lamda dan
turun lagi menjadi 5 ohm bila jaraknya hanya 0.05 lamda.
Penambahan reflector dibelakangnya tidak akan menambah gain antena, karena elemen-elemen
di belakang reflector praktis tidak akan memantulkan sinyal ke arah depan. Sebaliknya,
penambahan jumlah elemen director akan memperbesar gain. Sebab di depan director masih
banyak sinyal-sinyal yang bisa diarahkan lagi sehingga dapat menambah gain lebih besar lagi.
Pemasangan satu reflector di belakang dipole dan empat elemen director di depan dipole dapat
menaikkan gain antena hingga 10 dB. Penambahan director yang lebih banyak akan
meningkatkan gain lebih besar lagi. Tetapi dalam praktek, gain yang bisa dicapai oleh antena
Yagi maksimum hanya sampai 20 dB saja. Bila sudah mencapai angka 20 dB maka penambahan
director praktis tidak akan menambah gain lagi.
Dengan semakin bertambahnya elemen-elemen parasitik maka resistansi radiasi dipole akan
semakin menurun. Untuk menaikkan kembali nilai resistansi radiasi (Rr) kemudian digunakan
dua buah dipole yang dilipat (folded dipole). Dengan folded dipole resistansi radiasi akan naik 4
kali lipat menjadi = 4 x 73 = 292 ohm. Angka 4 ini diperoleh dari kuadrat 2 (dua) buah dipole
yang membentuk folded dipole. Folded dipole memang disusun dari dua buah dipole dimana
kedua ujungnya dihubungkan. Penghubung ini dimaksudkan untuk mencatu arus yang berasal
dari dipole pertama ke dipole kedua. Gambar (3) memperlihatkan bentuk umum dari folded
dipole.
Selain menaikkan resistansi radiasi, bentuk konduktor pencatu dipole kedua yang melengkung
(perhatikan gambar 3) membuat folded dipole memiliki sifat yang tidak sensitif terhadap
perubahan panjang gelombang. Ini berarti folded dipole mampu beresonansi pada frekuensi yang
lebih bervariasi. Dengan kata lain, folded dipole memiliki bandwidth yang lebih lebar dibanding
dipole tunggal.
Antena Yagi dengan folded dipole banyak sekali digunakan sebagai antena penerima TV karena
memiliki gain yang besar dan bandwidth yang lebar. Gain yang besar akan memperkuat
penerimaan sinyal sehingga menghasilkan kualitas gambar yang lebih baik. Bandwidth yang
lebar membuat antena ini bisa menangkap siaran dari sekian banyak stasiun TV yang memancar
pada frekuensi yang berbeda-beda. Antenna Yagi juga mudah diproduksi secara masal sehingga
harganya bisa menjadi murah. Bila elemen-elemennya melengkung, rusak atau patah maka
karakteristik antena ini tentu akan berubah, tetapi tidak akan merusak pesawat penerima TV.
Sebaliknya di sisi pemancar, kerusakan pada elemen-elemen antena bisa berakibat fatal.
Konstruksi antena Yagi yang tidak begitu kokoh akan membuat kondisi elemen-elemennya
mudah sekali berubah (melengkung atau bahkan rusak / patah). Ketika susunan elemen-elemen
ini berubah, berarti nilai impedansinya akan ikut berubah. Impedansi antena berubah berarti
sinyal akan dipantulkan kembali ke arah pemancar. Dengan sendirinya radiasi gelombang
elektromagnetik yang dipancarkan juga akan menurun. Selanjutnya VSWR ikut naik, dan pada
angka tertentu bisa merusak power amplifier. Itulah sebabnya antena Yagi sangat jarang
digunakan pada pemancar TV karena masalah konstruksinya yang lemah, meskipun antena ini
memberikan gain yang cukup besar.
Gambar (4): Produk ELTI tipe TA-III/08-A adalah salah satu contoh antena Yagi dengan sebuah
folded dipole, 7 elemen director dan 5 elemen reflector. Sumber: www.elti.com
Konstruksi yang kokoh dan tahan cuaca justru menjadi pertimbangan utama dalam mementukan
jenis antena pemancar. Maklum antena ini akan diletakkan di atas menara. Artinya, antena akan
menghadapi berbagai macam kondisi cuaca dan letaknya yang berada di atas menara akan
mempersulit perawatannya. Oleh karena itu antena harus kokoh, tahan cuaca dan bebas
perawatan. Gain antena tidak lagi menjadi parameter penentu. Itulah sebabnya antena pemancar
hanya terdiri dari dipole dan reflector saja. Elemen director memang meningkatkan gain secara
secara signifikan, tapi mengingat konstruksinya sangat sulit dan ringkih maka penambahan
director tidak lagi dipertimbangkan.
Cara lain yang kemudian ditempuh untuk meningkatlkan gain adalah dengan menambah jumlah
reflector. Reflector-reflector itu lalu disusun secara vertikal (lihat gambar 4) atau disusun
membentuk sudut (lihat gambar 5). Dengan cara ini sinyal yang dipantulkan oleh masing-masing
reflector akan saling memperkuat ke arah depan sehingga diperoleh tambahan gain yang cukup
besar. Sebagai gambaran, reflector tunggal hanya menghasilkan gain 4,7 dB sedangkan reflector
sudut bisa menghasilkan gain hingga 8 dB. Benda atau elemen lain di belakang reflector tidak
mempengaruhi karakteristik dipole. Oleh karena itu di belakang reflector dapat dipasang rangka-
rangka penguat sehingga konstruksinya menjadi lebih kuat.
Gambar (5): Antena dengan reflector sudut
(a) Tampak Samping (b) Tampak depan
Namun konstruksi reflector sudut masih relatif rumit sehingga konstruksinya juga tidak begitu
kokoh. Itulah sebabnya reflector sudut kini sudah semakin jarang digunakan. Reflektor vertikal
adalah konstruksi yang dinilai paling kokoh, karena kostruksinya sederhana dan pabrikasinya
juga mudah. Oleh karena itu manfaat reflector ini masih tetap dipertahankan, sedangkan untuk
meningkatkan gain dilakukan dengan cara menambah jumlah dipole. Maksudnya, semula hanya
satu dipole yang dipasang di depan reflector kini ditambah menjadi dua buah dipole. Dengan
pemasangan dua dipole ini gain antena bisa naik hingga 8 dB. Selanjutnya jika jumlah dipole
ditambah lagi menjadi empat buah, maka gain antena secara keseluruhan akan naik hingga 11
dB. Gambar (6) memperlihatkan contoh antena dengan 2 dipole dan 4 dipole.
Gambar (6): Sebuah contoh antena doublet dan dual doublet.
Sumber: Antena Pemancar TV VHF, Kathrein K 52 33 5 dan Kathrein K 52 30 57
www.kathrein.de
4. ANTENA PANEL
Pada frekeunsi VHF band III (174 - 230 MHz) dimana panjang dipole 1/2 lamda berkisar antara
65 Cm hingga 85 Cm, maka antena VHF ini umumnya dibiarkan terbuka, karena di sela-sela
elemen antena masih banyak ruang kosong buat angin dan air untuk lewat. Jika antena ini ditutup
memakai kubah (radome) maka demensi kubah akan terlalu besar sehingga akan sangat berat
melawan gaya dorong angin. Makin luas penampang kubah tentu akan makin besar pula gaya
dorong angin yang diterimanya. Satu antena VHF dengan dual doublet misalnya, luas
penampangnya kira-kira = 1,3 x 2,8 m2. Gaya dorong angin yang menimpa permukaan seluas ini
harus benar-benar diperhitungkan dalam merencanakan konstruksi menara. Jika salah
perhitungan, menara bisa roboh terkena gaya dorong angin. Oleh karena itu akan lebih aman jika
antena VHF tetap dibiarkan terbuka sehingga gaya dorong angin menjadi jauh berkurang (Lihat
gambar 6).
Sebaliknya antena yang bekerja di frekuensi UHF band IV dan V (470 - 806 MHz) pada
umumnya justru sengaja ditutup. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari air hujan yang masuk
ke sela-sela elemen antena yang berukuran kecil. Sebab air hujan yang tergenang di sela-sela
elemen akan mengubah karakteristik antena. Maklum konstruksinya yang sudah demikian rapat /
padat karena ukuran dipole-nya sudah cukup pendek, yaitu sekitar 18 Cm hingga 31 Cm. Jika
ditutup dengan kubah (radome), maka luas penutupnya ini relatif kecil sehingga tidak terlalu
berat menahan angin. Satu panel antena UHF dengan dual doublet misalnya, penampang
penutupnya rata-rata sekitar 1.000 x 500 Cm2 atau kira-kira sepertujuh dari luas penampang
penutup antena VHF. Jadi tidak terlalu berat menahan angin. Sementara konstruksi dipole di
dalamnya akan terlindung dari hujan, angin atau salju.
Antena panel adalah jenis antena directional. Artinya sinyal yang dipancarkannya tidak
menyebar ke segala arah (omni directional) tetapi menuju ke arah tententu (directional). Oleh
karena itu beberapa antena panel umumnya dipasang dengan konfigurasi tertentu agar sinyal
yang dipancarkan dapat menjangkau wilayah tertentu. Gambar (8) memperlihatkan beberapa
contoh konfigurasi antena ini, sedangkan luas wilayah yang dijangkau diwakili oleh pola radiasi
yang yang dihasilkannya.
Konfigurasi A: di sini satu panel antena diarahkan ke utara dan satu panel diarahkan ke timur.
Masing-masing panel diberi catu daya RF yang sama. Maka antena yang disusun dengan
konfigurasi A akan menghasilkan pola radiasi A.
Konfigurasi B: di sini satu panel antena diarahkan ke utara, satu panel ke timur dan satu panel ke
selatan. Masing-masing panel diberi catu daya RF yang sama. Maka antena yang disusun dengan
konfigurasi B ini akan menghasilkan pola radiasi B.
Konfigurasi C: di sini satu panel antena diarahkan ke utara, selatan, barat dan timur. Masing-
masing panel diberi catu daya RF yang sama. Maka antena yang disusun dengan konfigurasi C
akan menghasilkan pola radiasi C. Dengan konfigurasi ini pancaran sinyal hampir omni
directional, artinya sinyal dipancarkan ke segala arah dengan daya pancar yang hampir sama.
Konfigurasi D: di sini arah panel sama dengan konfigurasi C tetapi dengan pemberian catu daya
RF yang berbeda. Pada arah utara dan selatan masing-masing panel diberi catu daya RF sebesar
4/10, sedangkan pada arah timur dam barat masing-masing panel diberi catu daya RF sebesar
1/10. Maka antena yang disusun dengan konfigurasi D ini akan menghasilkan pola radiasi D.
Jadi walaupun arahnya sama tetapi berhubung pemberian catu dayanya berbeda akan
menghasilkan pola radiasi yang berbeda. Pembagian catu daya RF ke masing-masing antena
dilakukan dengan menggunakan Power Divider.
Gambar (8): Contoh susunan antena untuk menghasilkan pola radiasi yang berbeda-beda.
Perbesar Gambar.
Sumber: Antena panel untuk pemancar TV UHF, Kathrein K 72 31 47 www.kathrein.de
CARA MENGUKUR SWR
Sumber artikel ini saya ambil dari postingannya Om Djoko Haryono di Facebook Group HOME BREW
PROJECT ( CB RADIO, ANTENNA, SWR, AUDIO, MICROPHONE, BOOSTER, etc )
Ternyata masih banyak yang “confused” tentang cara pengukuran SWR yang benar ( maksudnya
“Ternyata masih banyak yang belum sadar bahwa penunjukan SWR kadang bisa menipu” , dan ternyata
“Masih banyak yang bingung tentang masalah panjang coax” ). Mari kita belajar membuktikan bahwa
bacaan SWR kita yang biasanya kita pasang dibawah , dalam ruang TX seperti gambar SWR-2 kadang
benar tapi kadang juga menipu kita. Lakukanlah hal2 berikut :
001
SWR meter adalah alat untuk mengukur seberapa match impedansi ANTENNA kita dengan coax. Karena
yang diukur adalah antenna , idealnya ( pada awalnya ) pengukuran haruslah dilakukan pada antenna
( diatas tower ) seperti pada gambar SWR-1. Bahwa kemudian berkembang pengukuran dilakukan
diujung bawah coax , itu tujuannya adalah agar praktis , teknisi tidak perlu sering/repot naik turun tower.
Namun melakukan pengukuran dibawah sebetulnya lebih sulit , sebab yg diukur bukan ( langsung )
antenna. Untuk mengukur dibawah , sebetulnya lebih menuntut pengetahuan dasar yang lebih lengkap
agar teknisi/operator tahu dan memahami jika menghadapi fenomena2 tertentu.
002
Pengukuran SWR idealnya dilakukan pada sambungan antara antenna dan coax , tetapi kita juga ingin
belajar mengenal pengaruh2 jika pengukuran kita pindah & lakukan dibawah. Jadi pada percobaan ini kita
sekaligus menggunakan keduanya ( memakai 2 bh. SWR meter. Belilah ( atau pinjamlah ) 2 bh. SWR
meter YANG SAMA MERK DAN TYPENYA. Pasanglah yang 1 dibawah , didekat TX.
003
Dan pasanglah 1 bh SWR lain yang sama langsung pada antenna ( diatas tower ). Mestinya / idealnya
tersambung langsung dengan antenna , tetapi karena pada prakteknya akan sulit dilakukan , kecuali jika
kita menambahkan sepotong kabel jumper J1. Agar tidak terjadi perubahan impedansi jika ( ketika )
beban antenna masih reaktif ( salah ukuran atau belum benar nyetelnya ) maka buatlah jumper J1 yang
panjangnya kelipatan ½ lambda electric ( = effektif ). Tentukan freq. percobaan. Dengan diketahuinya
freq. maka lambda diketahui. karena lambda diketahui maka panjang coax yang ½ lamba ( atau
kelipatannya ) juga kita temukan. Kalikan nilai ½ lambda tersebut dengan nilai velocity factornya kabel
coax yg. dipakai ( tergantung jenis kabelnya ) maka ketemulah “panjang ½ lambda electric” alias
“panjang ½ lambda effektif”nya. Buatlah jumper sepanjang itu ( tetapi makin akurat jika anda kurangi
sedikit , karena panjang connector sebaiknya diperhitungkan sebagai bagian dari panjangnya kabel ).
004
Demikian juga jumper lainnya / J2 potonglah dengan cara yang sama ( tetapi panjang J2 ini kurang terlalu
berpengaruh karena posisinya sudah ada “dibelakang” rangkaian SWR meter ).
005
L adalah coax panjang yang menghubungkan SWR bawah ke SWR atas. Pertama kali cobalah dengan
panjang sembarang. Rangkaikan semua alat yg ada seperti gambar diatas. Diperlukan 2 orang untuk
mempelajari pengujian ini. 1 orang diatas tower untuk membaca SWR-1 dan orang ke 2 diruang
pemancar untuk membaca SWR-2. Keduanya saling berhubungan dengan menggunakan HT yg
frekuensinya di stel jauh dari freq. kerja TX dan antenna yg diuji. Sebetulnya untuk mempermudah
percobaan antenna bisa dipasang rendah menggunakan tiang pendek , tetapi perhitungkanlah , antenna
harus ditempat bebas , jangan terlalu dekat ke pagar, talang, tembok, tanah , pohon agar pantulan, serapan
dsb. yg terjadi tidak mempengaruhi impedansinya. Boleh rendah tetapi ditempat terbuka , misalnya untuk
band 2 meter minimal 2 lambda diatas tanah.
006
Pakailah daya pemancar yg tidak terlalu tinggi ( misalnya 5 watt ). Pertama-tama stel antenna dengan
SENGAJA pada stelan yg buruk / salah , misalnya agar SWR nya menunjuk angka tinggi ( katakanlah 1,5
: 1 ). Agar aman , semakin tinggi angka SWR yg anda sengaja pilih ( misalnya sampai 1,7 : 1 )
transmitnya pendek2 saja , yang penting teknisi yg ditower sudah sempat melihat nilai penunjukan SWR
atas.SWR disini sengaja kita stel tinggi untuk “menciptakan” beban impedansi antenna yang REACTIVE.
007
Pada kondisi tsb. teknisi yg dibawah melihat penunjukan SWR-2 yg dibawah. Apa yang diketemukan ?
Ternyata angka penunjukan SWR bawah TIDAK SAMA DENGAN SWR ATAS ( bisa lebih tinggi atau
bisa sangat rendah ). Inilah yg kita sebut sebagai PENUNJUKAN SWR YANG MENIPU.
008
Perubahan angka SWR itu terjadi akibat transformasi sepanjang kabel dan itu hanya terjadi jika antenna
reactive. Perubahannya bisa sedikit tapi bisa juga sangat besar ( tergantung dari 2 hal yaitu seberapa
mismatch / melesetnya antenna , dan berapa kelebihan panjang COAX jika dihitung dari titik “kelipatan
½ lambda effektif” yang terdekat dari posisi SWR-2 ).
009
Pada kondisi kabel yang “sedang mengalami transformasi” semacam ini , kalau setiap kali panjang coax
kita potong sedikit , maka bacaan pada SWR-2 akan berubah sedikit ( padahal / meskipun SWR-1 yang
diatas tidak berubah dan tetap menunjukkan nilai sebenarnya ). Jadi awas !! Kalau anda berkali kali
memotong memendekkan coax sampai akhirnya menemukan angka SWR-2 yang terendah ( bahkan
mungkin 1:1 ) , sebetulnya itu hanya kondisi SWR dibawah , sedangkan antennanya sendiri tetap
mismatch , dan pancaran anda tetap “terganjal” , hanya sedikit power yg berhasil lepas terpancar dari
antenna.
010
Demikianlah , saat antenna reactive kondisinya , maka PANJANG COAX AKAN MEMPENGARUHI
( “MEMALSU” / MERUBAH PEMBACAAN ) SWR DIBAWAH. Jadi kalau anda me-motong2 coax
sampai SWR turun , itu sebenarnya anda sedang menipu diri sendiri karena tanpa anda ketahui , SWR
sebenarnya di antenna masih tetap tinggi ).
011
Sekarang percobaan kedua. Teknisi yg diatas tower menyetel antenna ( dengan melihat SWR-1 ) sampai
SWR-1 terbaca minimum ( misalnya 1: 1 ). Ini artinya beban ( = antenna ) sudah berubah. Sekarang
impedansinya sudah benar-benar 50 ohm RESISTIVE.
012
Apa yang kemudian terlihat di SWR bawah ? Sekarang SWR-2 dibawah akan menunjukkan angka yang
sama dengan SWR atas yaitu 1 :1. Sekarang potonglah coax sedikit demi sedikit. Apa yang terjadi ?
Ternyata panjang coax tidak mempengaruhi. Berapa kalipun coax anda potong , SWR-2 tetap
menunjukkan 1:1. Artinya adalah : PADA BEBAN RESISTIVE , PANJANG KABEL TIDAK
MEMPENGARUHI ( kecuali terhadap losses kabelnya. Semakin panjang kabel semakin besar
lossesnya ).
013
Demikian cara membuktikan bahwa penunjukan SWR ( yang terpasang dibawah ) yang rendah itu belum
tentu baik. Kalau angka rendahnya itu angka murni maka pancaran anda akan optimal , tetapi kalau angka
rendah yg anda lihat itu adalah nilai palsu , maka sebenarnya anda telah ditipu SWR meter anda !! tanpa
anda sadari bahwa anda sedang memancar kecil atau mungkin sangat kecil meski TX anda sedang
mengeluarkan power besar.
014
Jika anda sudah menguasai perilaku antenna, coax dan SWR meter anda dengan benar , anda sudah mulai
melangkah siap untuk menjadi QRP’er yang baik , dengan power kecil mampu berkomunikasi lebih jauh.
Kalau pemancar anda bekerja pada freq. pancaran yg tetap/fixed ( misalnya pada repeater ) atau jika
pemancar anda bekerja pada freq. yang berpindah-pindah tapi dengan range yg. tidak terlalu lebar/tidak
jauh dari centre freq. tertentu , saya sarankan membuat coax dari ruang pemancar sampai ke antenna yg
panjangnya merupakan "kelipatan 1/2 lambda effektif" tersebut agar sistem yang anda bangun tersebut
KEBAL ( tidak peduli apakah antennanya atau antenna penggantinya sedang dalam kondisi REACTIVE
maupun RESISTIVE , penunjukan SWR nya akan tetap akurat menunjukkan nilai yang sebenarnya.
Tetapi pada panjang yang diluar kelipatan itu, nilai transformasi bisa naik turun berulang ulang meskipun
titik2 pengulangannya teratur dan bisa ditebak/dihitung ).
Antenna yagi UHF 4 elemen INDOOR
Untuk melengkapi pembahasan sebelumnya mengenai rahasia trik pasang parabola, ternyata ada
satu lagi yang perlu dimasukkan dalam pembahasan tersebut yakni menentukan kedalam LNB
(Low Noise Block conventer) atau alat untuk menerima sinyal pemancar yang berasal dari
satelit.
Perlu diketahui bahwa beberapa kode angka pada LNB bukan untuk menyetel titik fokus,
melainkan untuk menyetel arah iluminasi atau sorotan LNB sesuai dish yang digunakan. Selain
itu sebelum melangkah lebih dalam mengenai pembahasan ini, ada baiknya beberapa hal yang
harus diketahui mengenai antena parabola, seperti feed dish, kedalaman parabola dari permukaan
serta titik fokus yang tentunya khusus bagi yang belum mengetahuinya. Ketiga hal tersebut tentu
sangat menyangkut dengan pembahasan ini.
Pada bagian pertama, yaitu mengetahui berapa feed dish parabola. Seperti diketahui, 1 feed
sama dengan 30, 48 cm, jadi untuk menghitung diameter parabola hal ini tentu akan sangat
membantu. Untuk mengetahuinya berapa feed parabola Anda, tentu harus melakukan
pengukuran terlebih dahulu antara panjang dari sisi ke sisi satu, seperti terlihat pada gambar
dibawah.
Jika di dapatkan diameter 275 cm dish parabola, maka 275 : 30, 48 = 9,022 cm (Dibulatkan 9
feed) atau 9 X 30,48 = 274,32 cm (dibulatkan 275 cm).
Pada bagian kedua, mengukur kedalaman dish parabola dari permukaan yang tentunya juga
masuk dalam rumusan menentukan posisi LNB.
Ketiga yakni mengetahui jarak titik fokus dari dasar dish parabola hingga LNB.
Jika diketahui, diameter 275 cm (D) serta kedalaman dish parabola dari permukaan yaitu 41 cm
(T), maka jarak titik fokus adalah F = D2/16 X T.
Jika sudah mengetahui ketiga ukuran dish parabola Anda, maka akan sangat mudah untuk
menentukan berapa seharusnya kedalaman LNB C dengan menggunakan rumus F/D (X100).
Sebagai contoh jarak titik fokus (F) serta diameter (D) ukuran gambar sebelumnya.
Bagaimana bila menggunakan dish 3 feed, seperti dish Telkomvision atau Indovision yang
memiliki titik fokus hanya 58 cm serta diameter 97cm dan kedalaman LNB yang dibutuhkan
adalah (58/97 [X100] =) 59,7. Sementara angka pada LNB hanya maksimum 45. Untuk
memecahkan masalah tersebut, maka dibutuhkan braket atau dudukan LNB seperti kerucut yang
disebut Conical Scalar Ring yagn berfungsi mengcover sinyal secara maksimal pada dish yang
berukuran kecil.
Sedangkan untuk LNB Ku tipe Prime dan Offset fokus memiliki scalar ring yang berbeda pula,
dimana jenis Prime fokus mengadopsi scalar ring yang datar, sedangkan tipe offset bermodel
kerucut yang dikhususkan untuk dish kecil.