Anda di halaman 1dari 92

Web Publishing ISSN 2088-7590

Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi


JTMGB

Volume 11 Nomor 2 Agustus 2016

Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia


Society of Indonesian Petroleum Engineers

Jakarta
JTMGB Vol. 11 No. 2 Hal. 47-118 ISSN 2088-7590
Agustus 2016
Keterangan gambar cover :
Cynthia Dougherty, “Hydraulic Fracturing Applicability of the Safe Drinking Water Act and Clean
Water Act”, EPA, US Environmental Protection Agency,” 7 April 2010.
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi JTMGB

ISSN 0216-6410 Volume 11 Nomor 2 Agustus 2016

Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi adalah majalah ilmiah diterbitkan setiap kwartal
yang menyajikan hasil penelitian dan kajian sebagai kontribusi para professional ahli teknik
perminyakan indonesia yang tergabung dalam Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia
(IATMI) dalam menyediakan media komunikasi kepada anggota IATMI pada khususnya dan
mensosialisasikan dunia industri minyak dan gas bumi kepada masyarakat luas pada umumnya.

KEPUTUSAN KETUA UMUM IATMI PUSAT


NO: 003/SK/IATMI/III/2015

Penanggung Jawab : Ir. Alfi Rusin


Pemimpin Redaksi : Ir Raam Krisna
Redaktur Pelaksana : Ir. Andry Halim
Peer Review : Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar (Enhanced Oil Recovery)
Prof. Dr. Ir. Pudjo Sukarno (Integrated Production System)
Prof. Dr. Ir. Doddy Abdassah, PhD. (Reservoir Engineering)
Dr. Ir. RS Trijana Kartoatmodjo (Production Engineering)
Dr. Ir. Arsegianto (Ekonomi & Regulasi Migas)
Dr. Ir. Bambang Widarsono (Penilaian Formasi)
Dr. Ir. Sudjati Rachmat, DEA (Well Stimulation and Hydraulic
Fracturing)
Dr. Ir. Sudarmoyo, SE, MT (Penilaian Formasi)
Dr. Ir. Ratnayu Sitaresmi (Penilaian Formasi - CBM)
Dr. Ir. Sugiatmo Kasmungin (Reservoir Engineering)
Dr. Ing. Ir. Bonar Tua Halomoan Marbun (Drilling Engineering)
Suryono Adisoemarta, PhD. (Petroleum Engineering)

Senior Editor : Ir. Junita Musu, M.Sc.


Ir. Ida Prasanti
Ir. Chairatil Asri

Sekretaris : Ir. Bambang Pudjianto (IATMI)


Layout Design : Alief Syahru Syaifulloh, S.Kom. (Sekretariat IATMI)
Sirkulasi : Abdul Manan, A.Md. (Sekretariat IATMI)

Alamat Redaksi: Patra Office Tower Lt.1 Ruang 1-C


Jl. Jendral Gatot Subroto Kav. 32-34
Jakarta 12950 – Indonesia. Tel/Fax: +62-21-5203057
website: https://iatmi.or.id email: pusat@iatmi.or.id

Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi (ISSN 0216-6410)


diterbitkan oleh Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia, Jakarta
Didukung oleh Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi JTMGB

ISSN 0216-6410 Volume 11 Nomor 2 Agustus 2016

DAFTAR ISI

Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic
Fracturing
Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S .................................................................................... 47 - 64

Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment


for Coalbed Methane Reservoir
Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel .................................................................................. 65 - 84

Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar
Rekahan dan Panjang Setengah Rekahan
Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan .......................................................... 85 - 102

Studi Komparasi Injektivitas CO2 Dibawah MMP dan Diatas MMP pada Lapangan “X”
Steven Chandra .................................................................................................................. 103 - 110

Estimasi Tekanan Tercampur Minimum Melalui Pengukuran Tegangan Antar Muka


Menggunakan Metode Pendant Drop
Muslim dan A.K. Permadi ................................................................................................ 111 - 118
KATA PENGANTAR

JTMGB Edisi Agustus 2016

Para Pembaca JTMGB yang budiman,

Dirgahayu Republik Indonesia ke-71. Merdeka!

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya kami
kembali bisa menjumpai para pembaca dengan aneka materi bacaan ilmiah yang tersaji dalam Majalah
Ilmiah JTMGB Volume 11 Nomor 2 Edisi Agustus 2016.

Dalam rangka ikut merayakan Ulang Tahun RI ke-71, kami menyajikan 5 (lima) tulisan ilmiah dengan
berbagai topik menarik. Dalam bidang produksi disajikan 3 tulisan yang membahas teknik-teknik
baru, dimana artikel pertama menyajikan pembahasan pembuatan model Geomechanic dan design
Hydraulic fracturing lapisan yang akan di fract dengan metode Artificial Intelegence, yang dapat
meminimalkan biaya fract.

Artikel kedua, membahas penerapan Metode stimulasi hydraulic fracturing dengan desain proppant
optimum pada lapangan CBM bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sumur dan juga
mempercepat proses dewatering.

Tulisan lain di bidang produksi, mengkaji pengaruh dari parameter panjang setengah rekahan dari
hydraulic fracturing dan hydraulic fracture spacing terhadap aspek produksi dan reservoir lapangan
shale gas, serta menentukan hubungan kedua parameter tersebut dalam penentuan Intial Gas In Place
(IGIP).

Di bidang reservoir menyajikan pembahasan metode miscible injection, yaitu injeksi fluida yang akan
bercampur dengan fluida reservoir membentuk suatu komponen baru yang viskositasnya lebih rendah
dan efisiensi penyapuannya lebih tinggi yang dapat diterapkan pada reservoir tekanan rendah.

Di bidang EOR, disajikan tulisan yang membahas bagaimana memperkirakan Tekanan Tercampur
Minimum (TTM) melalui pengukuran tegangan antar muka atau interfacial tension (IFT) dengan
menggunakan metode pendant drop, dimana penentuan TTM ini merupakan faktor penting dalam
perencanaan injeksi gas CO2 untuk mendapatkan perolehan minyak yang maksimum.

Kami berharap, edisi JTMGB Agustus 2016 ini dapat menambah dan melengkapi referensi para
pembaca. Selamat menikmati...

(Alfi Rusin)
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi
ISSN 0216-6410 Date of issue: 2016-11-21
The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.

Sudjati Rachmat (Institut Teknologi Bandung) Sudjati Rachmat (Institut Teknologi Bandung)
Andri Taufik S (PT Pertamina EP) Evans Immanuel (Institut Teknologi Bandung)
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Comprehensive Study of Optimum Proppant Design
Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed
Artificial Neural Network of Shear Sonic Data Methane Reservoir
Prediction for Hydraulic Fracturing Design Studi Komprehensip tentang Perancangan Propan
JTMGB. Agustus 2016, Vol. 11 No. 2, p 47-64 Optimum pada Stimulasi Hydraulic Fracturing untuk
Gas Methan Batubara
Untuk memperkirakan sifat geomekanik lapisan JTMGB. Agustus 2016, Vol. 11 No. 2, p 65-84
bawah permukaan diperlukan data kecepatan geser/shear
stress sebagai dasar perhitungan, namun dalam prakteknya Coal Bed Methane (CBM) development has
shear sonic tidak termasuk dalam data log yang diperoleh increased dramatically over the last decades. Coalbed
tetapi yang ada hanya data sonic compressional. Di methane gas production is viewed as a new and
samping pengukuran data secara langsung, metode significant energy source that promise of relatively clean
Artificial Intelegence (AI) saat ini telah digunakan secara and stable gas supply to complement with the world’s
luas untuk tujuan prediksi. Setelah jaringan dilatih, growing energy demand . Even though there are some
jaringan tersebut dapat membuat prediksi berdasarkan similarities between coal seam and conventional gas
pembelajaran sebelumnya, dari input data baru dengan reservoir, production scheme of a CBM well exhibit
set pola yang sama. Sehingga pada penulisan ini, korelasi different processes.
empiris dengan metode AI melalui software ANFIS Hydraulic Fracturing treatment is often used
digunakan untuk memperkirakan kecepatan gelombang to increase productivity of a low permeability wells.
geser (shear sonic/wave velocity) berdasarkan input data Fracture is generated hydraulically by pumping down
GR, RHOB, DT, dan NPHI. fracturing fluid above the formation breakdown pressure,
Terdapat 2423 input data per kedalaman yang and then the established fracture is kept open by using
dapat digunakan untuk selanjutnya dilakukan sorting proppants. Therefore, the optimum proppant design is
dan normalisasi data. Data utama yang dijadikan crucial in obtaining the required fracture conductivity.
sebagai training/pelatihan merupakan 70-90 persen dari This stimulation treatment is applied on CBM wells
total input data atau sekitar 1695 data dan data testing/ which aims to increase the well productivity, and
pengujian sekitar 10-15 persen dari total data yang therefore accelerating the dewatering process. Due to the
berhasil dikumpulkan dan diseleksi atau sekitar 363 data. characteristic difference between coalbed methane and
Hasil pemodelan ANFIS menunjukan untuk memperoleh conventional gas reservoirs, largely accepted norms in
error terkecil adalah dengan menggunakan cra sebesar the hydraulic fracturing inadequate to address problems
0,3 dan epoch sebanyak 50, dengan hasil RMSE training associated with hydraulic fracture stimulation in CBM
sebesar 0,11701 dan RMSE testing sebesar 0,078915. reservoirs.
Pengaruh ketidaksediaan data input terhadap hasil RMSE In this study, the optimum proppant design in
(Root Means Square Error) testing yaitu data DT sonic hydraulic fracturing treatment for CBM well is analyzed.
compresional dengan nilai RMSE testing paling besar Parameters that are used to examine the optimum proppant
sebesar 0.09005 sehingga data ini sangat diperlukan design are proppant type, proppant concentration, and
dalam perhitungan shear sonic. proppant size distribution. Simulations are run using
Pada akhirnya hasil output data shear sonic dari P3D geometry model to model fracture propagation in
pemodelan ANFIS dapat dipakai untuk membuat model order to obtain fracture half length, fracture width, and
Geomechanic dan design Hydraulic fracturing lapisan fracture conductivity. This study also examine coal
yang akan kita fract, sehingga dapat meminimalkan biaya mechanic properties which distinct it from conventional
fract di lapangan X. gas reservoir, which is low Young’s modulus and high
Poisson’s ratio value and their effect on hydraulic
Kata Kunci: artificial intelegence, adaptive neuro fracturing treatment design.
fuzzy inference system (ANFIS), shear sonic, model
geomekanik, design hydraulic fracturing. Keywords: Hydraulic Fracturing, CBM, Proppant.
Rayner Susanto (Institut Teknologi Bandung) Steven Chandra (Institut Teknologi Bandung)
Doddy Abdassah (Institut Teknologi Bandung) Studi Komparasi Injektivitas CO2 Dibawah MMP
Dedy Irawan (Institut Teknologi Bandung) dan Diatas MMP pada Lapangan “X”
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Comparative Study of Miscible and Immiscible
Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Injection of CO2 for Field “X”
Panjang Setengah Rekahan JTMGB. Agustus 2016, Vol. 11 No. 2, p 103-110
Sensitivity Analysis of Hydraulic Fracturing Scenario
in Shale Gas Simulation Model: Fracture Spacing and Seiring dengan meningkatnya praktek CO2
Fracture Half Length - EOR sebagai upaya lanjutan dari Carbon Capture
JTMGB. Agustus 2016, Vol. 11 No. 2, p 85-102 and Storage (CCS), injeksi karbon dioksida ke formasi
merupakan upaya lanjutan dalam meningkatkan produksi
Pengembangan reservoir gas non konvensional migas. Praktik umum yang saat ini dilakukan di Negara-
sangat berkembang di Amerika Utara. Shale gas negara Amerika Utara dan Eropa, injeksi karbon dioksida
merupakan salah satu jenis hidrokarbon non konvensional dilakukan diatas MMP (Minimum Miscibility Pressure)
yang utama dikembangkan di sana. Shale mempunyai yaitu tekanan minimum dimana karbon dioksida akan
karakteristik yang unik sehingga membutuhkan bercampur dengan fluida reservoir membentuk suatu
penanganan yang berbeda dengan hidrokarbon fluida dengan komposisi baru dari komponen asal fluida
konvensional. Karakteristik tersebut berupa permeabilitas yang viskositasnya lebih rendah dan efisiensi pendesakan
yang sangat rendah, terdapat rekahan berukuran mikro, lebih tinggi. Metode ini disebut miscible injection, yaitu
dan sensitivitas terhadap fluida kontak. Proses hydraulic injeksi fluida yang akan bercampur, namun metode ini
fracturing merupakan salah satu proses stimulasi yang kurang popular dilakukan di Indonesia dikarenakan
seringkali dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas kondisi reservoir di Indonesia pada umumnya bertekanan
sumur gas pada lapangan shale gas. Oleh karena rendah (700 psi, 360 K) jauh dibawah MMP karbon
itu, sangatlah penting untuk mengetahui lebih dalam dioksida yaitu di kisaran 1500 -2000 psi. Metode
pengetahuan mengenai proses hydraulic fracturing ini. yang umum di Indonesia adalah immiscible injection,
Dalam sebuah proses hydraulic fracturing shale yaitu karbon dioksida diinjeksikan sebagai pendorong
gas, terdapat banyak parameter yang memegang peranan fluida reservoir tanpa harus bercampur secara kimiawi.
penting dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam Penelitian dalam karya tulis ini menggunakan sampel
studi ini, akan dilakukan proses analisis pengaruh dua core sintetis yang merupakan representasi dari Lapangan
dari berbagai parameter tersebut. Tujuan dari tulisan “X” dimana lapangan ini bisa merepresentasikan
ini adalah untuk menjelaskan pengaruh dari parameter kondisi reservoir di Indonesia pada umumnya, dengan
panjang setengah rekahan dari hydraulic fracturing dan menginjeksikan karbondioksida dibawah MMP dan di
hydraulic fracture spacing terhadap aspek produksi dan atas MMP. Dari penelitian yang telah dilakukan, injeksi
reservoir lapangan shale gas, serta menentukan hubungan tidak tercampur memberikan hasil yang belum seoptimal
kedua parameter tersebut dalam penentuan IGIP. Selain injeksi tercampur tetapi cocok dilakukan jika injeksi
itu, tulisan ini juga menjelaskan alur dalam penentuan tercampur menjadi tidak ekonomis akibat keharusan
persamaan untuk mencari recovery factor, plateu time, memakai kompresor yang lebih besar.
dan IGIP dari reservoir shale gas yang dimodelkan.
Dalam studi kasus ini akan dilakukan skenario kombinasi Kata Kunci: karbondioksida, MMP, injeksi tak
antara kedua parameter yang disebut di atas. Studi kasus bercampur, injeksi tercampur, EOR.
ini mengambil data dari sebuah lapangan shale gas di
Amerika yang berasal dari publikasi - publikasi yang telah
dirilis. Studi ini menggunakan software perminyakan
untuk mengolah data dan membuat model lapangan shale
gas.

Kata Kunci: hydraulic fracturing, shale gas, hydraulic


fracturing spacing, half fracture length.
Muslim (Universitas Islam Riau) dibandingkan dengan metode slim tube test. Studi ini
A.K. Permadi (Institut Teknologi Bandung) menggunakan dua sampel minyak yaitu Sampel A dan
Estimasi Tekanan Tercampur Minimum Melalui Sampel B dimana Sampel A mempunyai API gravity
Pengukuran Tegangan Antar Muka Menggunakan lebih tinggi dari Sampel B.
Metode Pendant Drop Hasil studi menunjukkan bahwa TTM yang
Minimum Miscibility Pressure Estimation through diperoleh adalah sebesar 1611 psia pada temperatur
Interfacial Tension Test Using Pendant Drop Method 60oC dan sebesar 1777 psia pada temperatur 66oC
JTMGB. Agustus 2016, Vol. 11 No. 2, p 111-118 untuk Sampel A. Sedangkan untuk Sampel B TTM
yang dihasilkan adalah sebesar 1918 psia dan 2072
Penentuan tekanan tercampur minimum (TTM) merupakan psia masing-masing pada temperatur yang sama seperti
faktor penting dalam perencanaan injeksi gas CO2 untuk digunakan pada Sampel A. Besaran API gravity sangat
mendapatkan perolehan minyak yang maksimum dari suatu berpengaruh terhadap besaran TTM yang dihasilkan.
lapangan atau reservoir. Slim tube test merupakan suatu Semakin tinggi API gravity maka semakin rendah TTM
metode untuk menentukan TTM yang telah diakui oleh dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini, API gravity
industri. Namun demikian, terdapat beberapa kekurangan yang tinggi menyebabkan CO2 lebih mudah terlarut
dalam menggunakan metode ini antara lain membutuhkan dan tercampur dengan minyak. Perkiraan TTM melalui
waktu yang lama dan memerlukan banyak sampel untuk pengukuran tegangan antar muka menggunakan metode
mendapatkan nilai TTM yang diinginkan. pendant drop sangat menguntungkan untuk dilakukan
Studi ini bertujuan untuk memperkirakan karena dapat menghemat waktu, sampel, dan biaya yang
TTM melalui pengukuran tegangan antar muka atau dikeluarkan untuk mendapatkan harga TTM.
interfacial tension (IFT) menggunakan metode pendant
drop. Metode ini membutuhkan waktu yang relatif lebih Kata Kunci: Tekanan tercampur minimum, CO2,
cepat dan memerlukan sampel yang relatif lebih sedikit pendant drop, tegangan antar muka.
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk
Perancangan Hydraulic Fracturing

Artificial Neural Network of Shear Sonic Data Prediction for


Hydraulic Fracturing Design

Sudjati Rachmat1 dan Andri Taufik S2


1sudjati@bdg.centrin.net.id
1Teknik Perminyakan ITB, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, Tel. +6222-2504955
2PT. Pertamina EP, Jl. Prof. Dr. Satrio Kav. 164, Jakarta 12950, Tel. +6221-59974000

Abstrak

Untuk memperkirakan sifat geomekanik lapisan bawah permukaan diperlukan data kecepatan geser/
shear stress sebagai dasar perhitungan, namun dalam prakteknya shear sonic tidak termasuk dalam data log
yang diperoleh tetapi yang ada hanya data sonic compressional. Di samping pengukuran data secara langsung,
metode Artificial Intelegence (AI) saat ini telah digunakan secara luas untuk tujuan prediksi. Setelah jaringan
dilatih, jaringan tersebut dapat membuat prediksi berdasarkan pembelajaran sebelumnya, dari input data baru
dengan set pola yang sama. Sehingga pada penulisan ini, korelasi empiris dengan metode AI melalui software
ANFIS digunakan untuk memperkirakan kecepatan gelombang geser (shear sonic/wave velocity) berdasarkan
input data GR, RHOB, DT, dan NPHI.
Terdapat 2423 input data per kedalaman yang dapat digunakan untuk selanjutnya dilakukan sorting
dan normalisasi data. Data utama yang dijadikan sebagai training/pelatihan merupakan 70-90 persen dari total
input data atau sekitar 1695 data dan data testing/pengujian sekitar 10-15 persen dari total data yang berhasil
dikumpulkan dan diseleksi atau sekitar 363 data. Hasil pemodelan ANFIS menunjukan untuk memperoleh
error terkecil adalah dengan menggunakan cra sebesar 0,3 dan epoch sebanyak 50, dengan hasil RMSE
training sebesar 0,11701 dan RMSE testing sebesar 0,078915. Pengaruh ketidaksediaan data input terhadap
hasil RMSE (Root Means Square Error) testing yaitu data DT sonic compresional dengan nilai RMSE testing
paling besar sebesar 0.09005 sehingga data ini sangat diperlukan dalam perhitungan shear sonic.
Pada akhirnya hasil output data shear sonic dari pemodelan ANFIS dapat dipakai untuk membuat model
Geomechanic dan design Hydraulic fracturing lapisan yang akan kita fract, sehingga dapat meminimalkan
biaya fract di lapangan X.
Kata kunci: artificial intelegence, adaptive neuro fuzzy inference system (ANFIS), shear sonic, model
geomekanik, design hydraulic fracturing.

Abstract

To estimate subsurface properties of geomechanics data required shear velocity/shear stress as a basis for
calculation, but in practice it is not included in the well log data obtained, but there are only sonic compressional
the data. Nowadays we can measure the sonic shear directly into the well by entering the logging tool so that
the data obtained can be used to create more accurate models Geomechanic. In addition methods of Artificial
Intelligence (AI) is now widely used for predictive purposes. Once trained network, the network is able to make
predictions based on previous learning, from the input of new data with the same set of patterns. So at this writing,
the empirical correlation with AI through software ANFIS method used to estimate the speed of shear wave (shear
sonic/wave velocity) based on the input of data GR, RHOB, DT, and NPHI.
There are 2423 data input by the depth that can be used for further sorting and data normalization. The
main data used as training about 70-90 percent of the total input of data or 1695 data and the data testing about
10-15 percent of the total data collected and selected, or about 363 data. ANFIS modeling results show to get the
smallest error is to use cra of 0.3 and epoch of 50, with the results of RMSE of 0.11701 and 0.078915 for testing.
The influence of the absence of the input data on the results of RMSE (Root Means Square Error) testing is DT
sonic compresional data with RMSE most testing value of 0.09005 so that this data is needed to calculate shear
sonic.

47
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
48

In the end the result of shear sonic data output of ANFIS modeling can be used to model and design
Geomechanic for Hydraulic fracturing will we fract layer, so as to minimize fract costs in the field X.
Keywords : artificial intelligence, adaptive neuro fuzzy inference system (ANFIS), shear sonic, geomechanics
models, design of hydraulic fracturing.

I. PENDAHULUAN memperkirakan kecepatan gelombang geser dari


parameter fisik batuan (Castagna et al.). Namun,
Lapangan X merupakan lapangan korelasi ini telah dikembangkan untuk wilayah
penghasil minyak yang terletak pada lingkungan tertentu dan penggunaannya di lapangan lain
pengendapan deltaic sehingga dalam satu terdapat ketidakpastian.
sumur memiliki layer-layer reservoir yang Namun dalam beberapa tahun terakhir,
banyak namun berukuran tipis. Secara litologi metode Artificial Intelegence (AI) telah digunakan
reservoirnya tersusun atas sandstone dan strik- secara luas untuk tujuan prediksi. Setelah jaringan
strik berupa limestone dan memiliki permeabilitas telah dilatih, jaringan tersebut dapat membuat
yang rendah. Di antara zona-zona prospek prediksi berdasarkan pembelajaran sebelumnya,
reservoir juga ditemukan litologi shale dan coal. tentang output berdasarkan pada input data
Untuk meningkatkan productivity baru dengan set pola yang sama. Sehingga pada
dan keekonomisan suatu sumur diperlukan penulisan ini, akan digunakan korelasi empiris
kegiatan Hydraulic Fracturing dalam rangka dengan metode AI untuk memperkirakan
meningkatkan permeabilitasnya. Seperti yang kecepatan gelombang geser (shear wave velocity/
kita ketahui, Hydraulic Fracturing sangat cocok shear sonic) berdasarkan input data log petrofisika.
untuk diterapkan pada zona reservoir yang tebal
sehingga dapat leluasa untuk menghindari water Hydraulic Fracturing di Sumur X-01
bearing zone dan meningkatkan perolehan
minyaknya. Untuk menghindari kegagalan pada Untuk mengoptimasi produksi maka
reservoir yang tipis tersebut, sangat penting untuk dilakukan pekerjaan hydraulic fracturing pada
mengetahui dan mengukur dengan tepat fract sumur X-01 yang disebabkan reservoir sandstone
geometri yang terbentuk berupa height growth pada sumur tersebut memiliki tight permeability.
dan fracture length sehingga terhindar dari water Dan untuk memperoleh hasil design fracturing
bearing zone dan coal. yang lebih akurat maka sebelumnya dilakukan
Kemampuan untuk menentukan model run logging sonic scanner sampai kedalaman
Geomechanic batuan yang akan kita Fract yaitu 1163 m. Data sonic scanner yang berupa shear
sifat mekanika batuan, local stress regime dan sonic kemudian diolah untuk mendapatkan profil
stress barrier, akan menghasilkan Fract Geometri stress dan mekanika batuan (Young Modulus dan
yang akurat. Pada kasus Hydraulic Fracturing di poison ratio) lapisan target.
sumur X-01 Lapangan X, penggunaan data shear Berdasarkan data Well Diagram sumur
sonic sebelum melakukan pekerjaan Hydraulic X-01 pada Lampiran Gambar 1 terdapat dua
Fracturing sangat berguna dalam menentukan kandidat lapisan untuk dilakukan Hydraulic
lapisan target yang akan dikerjakan karena dapat Fracturing, yaitu lapisan D-07 dan D-12.
mengestimasi model fracture geometry yang Namun setelah melakukan run logging sonic
lebih akurat dari setiap kandidat lapisan yang scanner untuk memperoleh data shear sonic,
akan dilakukan hydraulic fracturing. dapat terlihat bahwa dari simulasi fract geometry
Berdasarkan studi yang sudah ada, untuk lapisan D-07 menghasilkan fracture half length
memperkirakan sifat mekanik lapisan bawah sebesar 102 ft, dengan height sebesar 100 ft
permukaan diperlukan data kecepatan geser/ di mana mengenai zona air di 2800 ft / 854 m,
shear sonic sebagai dasar perhitungan (Zoback, kemudian lapisan D-12 menghasilkan fracture
2007). Namun, dalam prakteknya shear sonic half length sebesar 149 ft, effective dengan
tidak termasuk dalam data log yang diperoleh height sebesar 141 ft masih berada pada area
tetapi yang ada hanya data sonic compressional. shale dan pasir contain di zona D-12. Geometri
Penggunaan berbagai macam korelasi empiris fracture kedua lapisan tersebut tersaji pada
telah diteliti selama dekade terakhir untuk Lampiran Gambar 3 dan 4.
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing
(Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.) 49

Setelah mendapatkan data shear sonic (pada kesalahan minimum yang dicapai) untuk
dengan run logging sonic scanner, maka dari semua pola yang dipelajari, hal ini sesuai dengan
hasil simulasi model fract lapisan D-12 lebih anggapan menemukan error terendah dalam
optimistik dibandingkan dengan lapisan D-07. proses mengenali sekelompok obyek pola yang
Hal ini disebabkan karena: dipelajari. Gambar 1. menunjukkan komponen
• Dari simulasi model, fract growth dari neuron.
lapisan D-07 ke arah atas tidak tercover
oleh ketebalan sand tersebut sehingga
menembus zona air.
• Stress anomali pada lapisan D-12 tidak
ada perbedaan, sedangkan pada lapisan
D-07 terdapat perbedaan berupa straight
elbow yang besar.
Setelah dilakukan hydraulic fracturing
hasil fracture properties di lapisan D-12 interval
1158 – 1164 m adalah propped fracture half
length: 114,2 ft / 34,8 m, fracture height:
56,4 ft / 17,2 m dan FCD – Dimensionless
Conductivity: 9,8. Fract geometry lapisan D-12 Gambar 1. Komponen Neuron.
setelah hydraulic fracturing ditunjukan pada
Lampiran Gambar 5. Gain production yang Sinapsis menghubungkan antara neuron
dihasilkan adalah Nett 40 bopd dengan FOI – yang satu dengan neuron yang lain, dimana setiap
Fold of Increase: 2,5. Berdasarkan perhitungan sinapsis memiliki bobot masing-masing (w).
IPR sebelum fracturing diperoleh AOFP sebesar Penjumlah (Ʃw) dan adder/bias (b)
23 bfpd dan setelah fracturing menjadi AOFP bertugas menjumlahkan sinyal input yang telah
sebesar 72 bfpd. Performa produksi dan hasil diberi bobot (w) berdasarkan bobot pada sinapsis
perhitungan IPR sumur tersebut dapat dilihat neuron tersebut.
pada Lampiran Gambar 6. Neuron adalah unit yang berfungsi untuk
memproses informasi yang merupakan dasar
II. TEORI DASAR dari operasi neural network untuk menghasilkan
output.
Jaringan Saraf Tiruan (Artificial Neural Network) Fungsi aktivasi adalah fungsi yang akan
digunakan untuk memproses input menjadi
Secara biologis jaringan saraf terdiri output yang diinginkan. Fungsi sigmoid (Gambar
dari neuron-neuron yang saling berhubungan. 2) membatasi output neuron dalam rentang antara
Neuron merupakan unit struktural dan fungsional 0 hingga 1. Fungsi ini didefinisikan pada fungsi
dari sistem saraf, mempunyai kemampuan matematis sebagai berikut :
untuk mengadakan respon bila dirangsang
dengan intensitas rangsangan yang cukup kuat. ................................................... (1)
Respon neuron bila dirangsang dengan adalah
memulai dan menghantarkan impuls. Jaringan
saraf tiruan merupakan gabungan sejumlah
elemen yang memproses informasi dari input
sehingga memberikan suatu informasi keluaran.
Sekelompok obyek dipelajari oleh sistem belajar
dengan tujuan untuk mengenali bentuk pola
setiap bentuk tersebut. Proses ini dilakukan
dengan cara melatih sistem belajar (train neural
network) melalui pemberian bobot dan bias
pada hubungan antar simpul. Hasil yang dicapai
adalah didapatkannya sekelompok bobot dan bias Gambar 2. Fungsi sigmoid.
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
50

Tahap Latih/Training reservoir dan pengamatan geofisika. Respon


amplitudo seismik tergantung sifat dari kecepatan
Tahap ini merupakan tahap pembelajaran gelombang P (Vp), kecepatan gelombang S (Vs),
yang dilakukan oleh jaringan. Parameter pada dan density (ρ) dalam batuan reservoir berpori.
jaringan dirubah-rubah berdasarkan data yang
dimasukkan agar menghasilkan output yang Hooke’s Law
diinginkan. Perubahan parameter - parameter
diharapkan mampu menyelesaikan masalah- Untuk gelombang amplitudo yang kecil
masalah yang sejenis, tidak overfitting maupun sekali, hukum empiris Hooke menyatakan
underfitting. hubungan stress - strain. Stres didefinisikan
sebagai besarnya gaya per satuan luas. Unit SI
Tahap mundur adalah pascal (Pa), tetapi lebih sering terjadi
pada industri minyak menggunakan psi (pound
Pada proses ini dilakukan algoritma EBP per inci persegi). Persamaan stres adalah :
(Error Backpropagation) dimana pada setiap layer
dilakukan perhitungan error untuk melakukan .................................................................. (4)
update parameter-parameter ANFIS. Pada layer
terakhir dilakukan perhitungan error dengan
rumus differensial dari perhitungan MSE yaitu: Strain adalah perubahan/deformasi yang
diinduksi dalam batuan yang disebabkan oleh
stress. Tiga konstanta elastis yang paling umum
.............................................. (2)
digunakan untuk kuantitatif menggambarkan
kekuatan batuan adalah shear (μ), bulk (K), dan
(E) modulus Young. Penjelasan mengenai hal ini
Nilai yd adalah output aktual, dan nilai dapat dilihat pada Gambar 3.
y adalah output ANFIS. Setelah persamaan (2)
dideferensial maka menghasilkan persamaan (3)
berikut:
.......................................................... (3)

Setiap epoch dari jaringan adalah satu kali


tahap maju dan satu kali tahap mundur dilakukan.
Pada tahap mundur, error rates dipropagasikan
balik sampai lapisan input dan parameter premis
Gambar 3. Hubungan stress – strain dari pengukuran
dirubah hingga error terkecil. laboratorium.

Tahap Uji/Testing Persamaan Kecepatan

Tahap uji yang dilakukan untuk Tidak seperti density, yang hanya
mengetahui apakah ANFIS dapat mengenali pola membagi massa dengan satuan volume,
dengan memberikan input yang mungkin berbeda kecepatan melibatkan deformasi batuan sebagai
dengan input pada tahap dan latih. Dataset yang fungsi dari waktu. Berikut adalah persamaan
ada dibagi menjadi data latih data uji dengan untuk kecepatan dengan modulus bulk dan
komposisi yang berbeda. Pada tahap ini, jaringan modulus geser. Jika modulus bulk batuan dalam
hanya berjalan satu kali tahap maju untuk setiap gigapascals (GPa) dan density dalam gm/cc (gm/
rangkaian data yang dimasukkan. cm3), maka kecepatan dinyatakan dalam km/s.

Geomekanik dan Fisik Batuan ............................................................... (4)


........................................... (5)
Fisika batuan adalah ilmu yang
.............................................................. (6)
mempelajari hubungan antara sifat fisik batuan
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing
(Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.) 51

.............................................................. (7) ...................................(10)

Modulus Elasticity dan Poisson Ratio

Modulus elastisitas adalah konstanta


yang menggambarkan perilaku linear material.
Hubungan antara stress (σx) terhadap elongasi
(εx) bisa digambarkan sebagai hukum Hooke di
mana koefisien E disebut Modulus Young.

.......................(8)

Tipe lain dari modulus elastisitas adalah


menggambarkan perpanjangan lateral. stress (σx)
akan meningkatkan lebar sampel yang disebut
elongasi lateral (εy = εz = (D-D’) / D). Rasio εy
dan εz disebut Poisson’s ratio dan didefinisikan
Gambar 5. Principal stress dalam batuan.
sebagai,
Data dari LOT dan rekah hidrolik dapat
............(9)
digunakan untuk menentukan tegangan utama
minimum. Hal ini dapat dilakukan dengan
Ilustrasi Poisson ratio terlihat pada Gambar 4. mengasumsikan kegagalan tarik/tensile failure
selama LOT atau rekah hidrolik. Deformasi pada
Tegangan utama (Principal Stress) formasi dapat terjadi secara alami dalam massa
batuan melalui tekanan tektonik yang dihasilkan
In-situ keadaan stress bumi dapat dari proses geologi masa lalu dan sekarang. Stress
dimodelkan sebagai tiga tegangan normal yang horizontal di formasi dapat dijelaskan dengan
disebut tegangan utama. Tiga stress utama adalah persamaan:
Stress vertikal (Sv), Stress maksimum horizontal
(SH max) dan Stres minimum horizontal (SH
min). Stress utama tersebut berarah tegak lurus ..................(11)
satu sama lain. Seperti pada Gambar 5.
untuk minimum stress horizontal, dan

.................(12)

untuk maximum stress horizontal.

III. PEMODELAN ANN

Gambar 4. Ilustrasi Poisson ratio. Pemodelan ANFIS

Stress vertikal atau stress overburden Pemodelan Artificial Neural Network


adalah stress yang arahnya vertikal ke permukaan (ANN) menggunakan software ANFIS dalam
bumi yang dipengaruhi oleh massa lithostatik. hal ini output target yang akan dianalisa adalah
Untuk menentukan stress vertikal adalah data shear sonic yang berasal dari run logging
menghitung integral dari density batuan (ρ) dari sonic scanner di sumur X-01 terhadap input data
permukaan ke kedalaman target. Persamaan well log sumur X-01 yaitu Gammay Ray, NPHI,
stress vertikal adalah : RHOB, dan Sonic compressional. Penelitian akan
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
52

terdiri dari tujuh tahap, yaitu: Data utama yang dijadikan sebagai training/
1. Akuisisi data pelatihan merupakan 70-90 persen dari total input
2. Persiapan data data atau sekitar 1695 data. Dari sekian banyak
3. Persiapan pemodelan ANFIS data training yang diambil alangkah lebih baik jika
4. Input data ke ANFIS dapat mewakili keseluruhan input data yang ada
5. Generate FIS yang keanggotaanya merupakan data yang berbeda
6. Training / pelatihan FIS dari data testing, dan tidak dapat dipergunakan
7. Menguji Pasca Pelatihan FIS kembali sebagai data testing. Sedangkan sekitar 10-
15 persen dari total data yang berhasil dikumpulkan
Akuisisi dan Persiapan data dan diseleksi atau sekitar 363 data sebagai data
testing merupakan data dari berbagai sebaran baik
Sesuai bahasan yang dimaksud bahwa di awal, ditengah dan diakhir. Sehingga data testing
parameter shear stress sumur minyak X-01 akan cukup mewakili dari berbagai segmental.
di jadikan obyek penelitian, terkait dengan data
parameter faktual yang akan dikumpulkan. Data Tabel 1. Data Initial Well Log (sebagian).
yang dianggap lengkap dan dapat mewakili
analisa target penelitian yang akan difokuskan,
untuk bisa menghasilkan akurasi hasil penelitian
yang tinggi. Data composite well log dan data
sonic scanner Sumur X-01 diambil dari data *.las
untuk mengetahui nilai parameter-parameter
dengan interval depth setiap 0,5 ft. Parameter
yang digunakan sebanyak 5 parameter yang
terbagi atas 4 parameter sebagai input data yaitu
Gamma Ray, Sonic, RHOB dan NPHI, sedangkan
1 parameter sebagai output data yaitu shear sonic. Tabel 2. Data Initial Hasil Filter.
Dari sekian banyak data yang ada terlebih dahulu
dilakukan filter data untuk memperoleh data yang
berkualitas sehingga tidak mengganggu dalam
proses data. Dari hasil filter data diperoleh 2423
point data terhadap kedalaman yang dikumpulkan
dalam excel file, seperti pada Tabel 1.
Dikarenakan begitu variasinya besaran
kelima data perameter tersebut, maka untuk
lebih memudahkan dan meningkat kualitas hasil
olahan ANFIS nantinya, maka perlu dilakukan
normalisasi, dengan angka minimalnya nol Untuk kedua hasil pembagian kategori
‘0’ dan angka maksimalnya satu ‘1’. Rumus baik data training ataupun testing, 4 kolom
normalisasi yang dilakukan adalah: pertama merupakan data input dan kolom terakhir
merupakan data output/target.
Berikut sebagian data training dan testing
yang siap untuk di export ke dalam bentuk file
Dimana V’ merupakan nilai normalisasi notepad (*.txt) ditunjukan pada Tabel 3 & 4.
dari nilai nyata sebelumnya sebagai V. Min A Ada dua proses loading data ke dalam
merupakan nilai minimum dari input data sedangkan ANFIS Matlab, melalui GUI dan command
max A merupakan nilai maksimum dari input data. window. Untuk yang melalui GUI ANFIS
Selanjutnya ke semua data yang ternormalisasi di Matlab, maka proses transfer ke notepad perlu
sorting dimana akan didasarkan pada nilai shear dilakukan. Sementara kalo pemodelan melalui
sonic dari terkecil hingga terbesar. Hasil sebagian commad window (script atau m-file), seluruh data
contoh data yang telah ternormalisasi dan di sorting dalam bentuk matriks tersebut langsung di copy
ditunjukan pada Tabel 2. ke dalamnya.
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing
(Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.) 53

Tabel 3. Data Training. awal, maka ANFIS akan diterapkan dengan beberapa
data yang perlu dimasukkan seperti epoch, minerror
dan optimization method. Artinya penggunaan/
penyatuan dua metoda pembelajaran pada ANFIS.
Pada penelitian ini yang digunakan adalah
metode backpropagation. Error tolerance adalah
akibat yang timbul pada saat program menemui
kesalahan. Sehingga engine akan melakukan
iterasi ulang untuk mencari error terkecil pada
sejumlah epochs yang ditentukan. Epochs adalah
Tabel 4. Data Testing. moment waktu yang digunakan sebagai titik
acuan. Dalam penelitian ini error tolerance yang
digunakan adalah 0, sedangkan epochs-nya dicari
pada nilai optimum berapa.

Training

Langkah selanjutnya dari pemrosesan data


training/pelatihan adalah dengan memulainya
melakukan training pada model yang akan
dibuat. Pelatihan ini akan mengatur parameter-
Persiapan Pemodelan ANFIS parameter fungsi keanggotaan dan menampikan
error selama pelatihan, yaitu selisih keluaran
Penelitian kali ini menggunakan software FIS dengan data training. Gambar 7 merupakan
MatlabTM 2013 dengan metode ANFIS. Lalu contoh hasil training pada Epochs 50 Cra 0,3.
kita buka anfisedit kemudian kita pilih load data
Aktual
lalu type data untuk data training dan testing. Anfis
Pada Gambar 6 diperlihatkan editor anfis untuk
memasukkan data kedalam kerangka pemodelan
yang akan kita buat.

Gambar 7. Hasil Training Epochs 50 Cra 0.3

Menguji Pasca Pelatihan ANFIS

Setelah melakukan pelatihan FIS,


selanjutnya perlu melakukan pengujian pada
Gambar 6. Anfis Editor Load Data Training. data testing yang sudah disiapkan untuk melihat
seberapa akurat ANFIS melakukan prediksi
Generate ANFIS terhadap kehadiran data diluar data training tadi.
Gambar 8 merupakan plot antara data testing
Untuk memberikan pelatihan lanjutan output hasil ANFIS dan aktual, sehingga dapat
terhadap data input yang sudah menggunakan FIS diketahui nilai error yang dihasilkan.
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
54

Gambar 9. Plot Nilai Error pada Cra 0,3.


Gambar 8. Plotting dan Testing Error Output ANFIS vs Aktual.
Tabel 6. Nilai epoch min pada berbagai cluster radius, cra.
IV. HASIL ANALISA

Dari simulasi pemodelan ANFIS


akan dilakukan analisa hasil simulasi untuk
memperoleh output yang terpercaya.

Analisa overfitting pada ANFIS Dapat dirangkum dalam Tabel 6 nilai


‘epoch’ yang diperlukan untuk mendapat RMSE
Setelah dilakukan training dan testing data testing yang terkecil/minimal agar tidak terjadi
dari ANFIS dengan menggunakan nilai cra dan overfitting pada masing-masing nilai cra, yang
epoch yang bervariasi maka didapat nilai error/ dinotasikan dengan epoch min.
kesalahan pada model. Semakin kecil nilai error,
model yang dibuat keakuratannya semakin baik. Analisa Penetapan nilai cra (cluster radius)
Semakin banyak epochs yang digunakan
nilai training error terus mengecil namun nilai Nilai ‘cra’ radius ini menentukan
testing error sedikit demi sedikit terus membesar, besar area cluster, semakin kecil radius yang
ini menunjukan bahwa telah terjadi overfitting diberikan, biasanya akan menyebabkan genfis
selama training. Overfitting terjadi karena proses menghasilkan lebih banyak cluster dalam data
training memaksa output dari ANFIS untuk (dan menghasilkan banyak rule). Sebaliknya
menyamai dengan training output data, sehingga semakin besar radius yang diberikan biasanya
pada saat dilakukan uji data dengan testing data akan menyebabkan genfis menghasilkan lebih
yang belum pernah dilatihkan sebelumnya maka sedikit cluster menghasilkan lebih sedikit rule.
nilai testing error akan semakin membesar. Oleh Dari hasil pengujian data dengan berbagai
karena itu, untuk menghindari masalah overfitting epochs dan cra diperoleh nilai RMSE testing
sebaiknya dipilih ANFIS yang menghasilkan terkecil dari masing-masing cra sehingga dapat
nilai testing error minimum, dan bukan nilai diketahui pula berapa cra optimal yang dapat
training error minimum. Tabel 5 dan Gambar 9 menghasilkan nilai error (RMSE testing) terkecil.
menunjukan contoh hasil simulasi pada cra 0,3. Nilai RMSE testing terkecil pada masing-masing
Tabel 5. Nilai Error Dengan Berbagai Epochs pada Cra 0,3. cra ditunjukan pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai RMSE testing terkecil pada berbagai nilai


cluster radius cra.

0,3 50 0,11701 0,078915


Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing
(Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.) 55

Dari analisa diatas, ternyata nilai Tabel 9. Pengaruh Ketidaksediaan Data Input
cra optimum yang bisa diaplikasi pada
proses pemodelan ANFIS ini adalah dengan
menggunakan cra sebesar 0,3 dan epoch sebanyak
50, dengan hasil RMSE training sebesar 0,11701
dan RMSE testing sebesar 0,078915. Sehingga
hal ini dapat meningkatkan akurasi prediksi Rangkuman hasil testing error pada
output dengan input data yang lainnya. setiap ketidaksediaan data input dapat dilihat
pada Tabel 9 berikut:
Analisa Pengaruh Variable Input Terhadap Dari Tabel 9 diatas dapat dilihat bahwa
Output ketidaksediaan data DT Compresional memiliki
nilai Root Means Square Error (RMSE) testing
Analisa ini untuk mengetahui variable yang paling besar sebesar 0,09005. Semakin
input mana yang berpengaruh terhadap nilai besar nilai RSME testing-nya maka data input
output/target sehingga jika tidak terdapat tersebut semakin penting dan sangat berpengaruh
variable input tersebut sampai sejauh mana akan terhadap hasil data output pemodelan ANFIS.
mempengaruhi keakuratan hasil. Dalam hal ini Sehingga variable input yang paling berpengaruh
pengujian terhadap pengaruh tiap variable input terhadap penentuan nilai output/target adalah
dilakukan dengan penghilangan 1 variable setiap data DT Compresional kemudian data GR, data
data input untuk mengetahui variable mana yang NPHI, dan terakhir data RHOB.
menghasilkan nilai testing error terbesar pada
cra optimum yang sama yaitu 0,3. Keekonomian
Hasil dari pengujian testing error dengan
penghilangan input data DT compresional dapat Apabila tidak melakukan pekerjaan run
dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 10 bahwa logging sonic scanner untuk memperoleh data
ketidaksediaan data DT compresional memiliki shear sonic langsung ke dalam sumur, maka
nilai Root Means Square Error (RMSE) testing total biaya pekerjaan yang dibutuhkan adalah
sebesar 0,09005 pada cra 0,3 dan epoch 400.
Untuk hasil simulasi pengaruh setiap data lainnya
dapat dilihat pada Lampiran.
Tabel 8. Nilai error dengan no DT data pada cra 0,3.

Gambar 11. Perhitungan Keekonomian Tanpa Biaya Sonic


Gambar 10. Plot nilai error dengan no DT data pada cra 0,3. Scanner
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
56

USD 2828,70. Dengan hasil produksi yang sama, 3. Apabila analisa pemodelan ANFIS untuk
maka perhitungan keekonomian yang dihasilkan penentuan shear sonic dapat digunakan
adalah NPV sebesar USD 209.000, IRR sebesar untuk menggantikan pengambilan langsung
103,25% dan POT 0,49 tahun (dapat dilihat pada data shear sonic ke dalam sumur, maka pada
Gambar 11). pekerjaan Hydraulic fracturing di sumur
Perbandingan nilai keekonomian dapat X-01 selisih yang dapat diperoleh adalah
dilihat dari Tabel 10 bahwa apabila analisa NPV sebesar USD 21.000, IRR sebesar
pemodelan ANFIS untuk penentuan shear 22,02%, dan POT lebih cepat 0,06 tahun.
sonic ini dapat digunakan untuk menggantikan Nilai keekonomisan tersebut akan kurang
pengambilan langsung data shear sonic ke dalam lebih sama pada sumur lainnya di lapangan X,
sumur, maka selisih yang dapat diperoleh adalah sehingga pekerjaan yang dilakukan menjadi
NPV sebesar USD 21.000, IRR sebesar 22,02%, lebih ekonomis.
dan POT lebih cepat 0,06 tahun.
VI. SARAN
Tabel 10. Perbandingan Nilai Keekonomian Pekerjaan
Sonic Scanner Beberapa hal yang dapat dikembangkan
lebih lanjut dalam studi ini antara lain:

1. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan


meng-update pengambilan data shear sonic
pada karakteristik sumur yang berbeda
dengan melakukan pengukuran alat logging
ke dalam sumur sehingga menambah variasi
V. KESIMPULAN data untuk meningkatkan akurasi hasil/output
pemodelan ANFIS di lapangan tersebut.
Kesimpulan dari hasil analisis studi ini : 2. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan
memperbanyak input data yang lain tidak
1. Dari hasil analisa simulasi ANFIS dengan 4 hanya 4 data input saja dan melakukan
input data (GR, RHOB, sonic compressional, analisa data yang berpengaruh terhadap nilai
dan NPHI) yang telah dilakukan terhadap shear sonic, agar lebih meningkatkan akurasi
output data shear sonic, dapat dilihat bahwa hasil/output pemodelan ANFIS di lapangan
nilai cra optimum yang bisa diaplikasi pada tersebut.
proses pemodelan ANFIS ini adalah dengan 3. Membandingkan pemodelan menggunakan
menggunakan cra sebesar 0,3 dan epoch ANFIS dengan studi korelasi penentuan
sebanyak 50, dengan hasil RMSE training nilai shear sonic yang lain sehingga bisa
sebesar 0,11701 dan RMSE testing sebesar ditentukan metode mana yang paling cocok
0,078915. Sehingga untuk model penentuan digunakan untuk lapangan tersebut.
nilai output shear sonic di lapangan X, dapat
dilakukan dengan model ANFIS tersebut. VII. DAFTAR SIMBOL
2. Dari hasil analisa simulasi ANFIS yang telah
dilakukan dapat dilihat bahwa variable input σ = stress (psi)
yang paling berpengaruh terhadap penentuan ε = strain
nilai output/target shear sonic adalah data F = gaya (pound)
sonic compressional kemudian kemudian A = luas daerah (in2)
data GR, data NPHI, dan terakhir data RHOB. μ = shear modulus (GPa)
Ketidaksediaan data DT sonic compresional K = bulk modulus (GPa)
memiliki nilai Root Means Square Error E = Young modulus (GPa)
(RMSE) testing yang paling besar sebesar ʋ = Poisson ratio
0,09005. Sehingga data sonic compressional ρ = densitas (gr/cm3)
sangat diperlukan sebagai dasar perhitungan Vp = kecepatan gelombang-P (m/s)
nilai kecepatan geser/shear sonic. Vs = kecepatan gelombang-S (m/s)
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing
(Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.) 57

Δtp = travel time compressional (ms/ft) Sukmono,Sigit. 2003. Rock Physics Basis. Seismic
Δts = travel time shear (ms/ft) Courses. Institut Teknologi Bandung, 2003.
Sv = stress vertical (psi) Singh et al., 2012, R. Singh, A. Kainthola, T.N. Singh.
σh = stress horizontal minimum (psi) Estimation of elastic constant of rocks using an
σH = stress horizontal maximum (psi) ANFIS approach. Appl. Soft Comput., 12 (2012),
Pp = pore pressure (psi) pp. 40–45.
Xf = panjang setengah rekahan (ft) Brocher, 2005. T.M. Brocher. Empirical relations
GR = log gamma ray (API) between elastic wavespeeds and density in the
RHOB = log density (gr/cm3) earth’s crust. Bull. Seismol. Soc. Am., 95 (2005),
DT = sonic compressional (μs/ft) pp. 2081–2092.
NPHI = neutron log Carroll, 1969, R.D. Carroll. The determination of
V = nilai nyata data acoustic parameters of volcanic rocks from
V’ = nilai normalisasi data compressional velocity measurements. Int. J.
NPV = nett present value (USD) Rock Mech. Min. Sci., 6 (1969), pp. 557–579.
IRR = rate of return (%) Castagna et al., 1985, Castagna, J.P., Batzle, M.L.,
POT = pay out time (tahun) Eastwood, R.L. 1985. Relationships between
compressional-wave and shear-wave velocities
VIII. REFERENSI in elastic silicate rocks. Investigations in
Geophysics, vol. 50, No.4 pp. 571–581.
Hunt, B., Lipsman, R., Rosenberg, J., Coombes, K., Castagna et al., 1993, Castagna, J.P., Batzle, M.L.,
Osborn, K., Stuck, G., Cambridge University Kan, T.K. 1993. Rock physics-The link between
Press. (2001): A Guide To Matlab For Beginneers rock properties and AVO response. In: Castagna,
and Experienced Users. J.P., and Backus, M., (Eds.), Offset-dependent
Jain, A. K., Mao, J., & Mohiuddin, K. M. (1996). reflectivity-Theory and practice of AVO analysis:
“Artificial Neural Networks : A Tutorial”. Investigations in Geophysics, vol. 8, pp. 135–171.
Michigan: IEEE. Wadhwa et al., 2010, R.S. Wadhwa, N. Ghosh, Ch.
Siang, J.J., “Jaringan Syaraf Tiruan & Pemrograman Subba-Rao. Empirical relation for estimating
Menggunakan Matlab”, Penerbit Andi, 2004. shear wave velocity from compressional wave
Zoback, Mark .D. 1988. Reservoir Geomechanics. velocity of rocks. J. Ind. Geophys. Union, 14 (1)
Cambridge University Press. Cambridge, UK. (2010), pp. 21–30.

LAMPIRAN

Gambar 1. Peta Lokasi Lapangan X di Daratan Kalimantan Timur.


JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
58

Gambar 2. Well Diagram Sumur X-01.

Gambar 3. Fract Geometry Lapisan D-07 setelah run sonic scanner.


Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing
(Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.) 59

Gambar 4. Fract Geometry Lapisan D-12 setelah run sonic scanner.

Gambar 5. Fract Geometry Actual Lapisan D-12.

Gambar 6. Hasil perhitungan IPR sumur X-01 Lapisan D-12.


JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
60

Tabel B.1 Nilai Error dengan berbagai Epochs pada Cra 0,1.

Gambar B.1 Plot Nilai Error pada Cra 0,1.

Tabel B.2 Nilai Error dengan berbagai Epochs pada Cra 0,2.
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing
(Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.) 61

Gambar B.2 Plot Nilai Error pada Cra 0,2.

Tabel B.3 Nilai Error dengan berbagai Epochs pada Cra 0,35.

Gambar B.3 Plot Nilai Error pada Cra 0,35.


JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
62

Tabel C.1 Nilai Error dengan No GR Data pada Cra 0,3.

Gambar C.1 Plot Nilai Error dengan No GR Data pada Cra 0,3.

Tabel C.2 Nilai Error dengan No RHOB Data pada Cra 0,3.

Gambar C.2 Plot Nilai Error dengan No RHOB Data pada Cra 0,3.
Artificial Neural Network pada Prediksi Shear Sonic Data untuk Perancangan Hydraulic Fracturing
(Sudjati Rachmat dan Andri Taufik S.) 63

Tabel C.3 Nilai Error dengan No NPHI Data pada Cra 0,3.

Gambar C.3 Plot Nilai Error dengan No NPHI Data pada Cra 0,3.

Gambar D.1. Biaya Sonic Scanner & MEM Sumur X.


JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 47-64
64

Gambar D.2. Biaya Pekerjaan Fracturing Sumur X.


Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing
Treatment for Coalbed Methane Reservoir

Studi Komprehensip tentang Perancangan Propan Optimum pada Stimulasi


Hydraulic Fracturing untuk Gas Methan Batubara

Sudjati Rachmat1 dan Evans Immanuel2


1sudjati@bdg.centrin.net.id
(1)(2)Institut Teknologi Bandung

Teknik Perminyakan ITB, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, Indonesia. Tel. +6222-2504955

Abstract

Coal Bed Methane (CBM) development has increased dramatically over the last decades. Coalbed
methane gas production is viewed as a new and significant energy source that promise of relatively clean and stable
gas supply to complement with the world’s growing energy demand . Even though there are some similarities
between coal seam and conventional gas reservoir, production scheme of a CBM well exhibit different processes.
Hydraulic Fracturing treatment is often used to increase productivity of a low permeability wells.
Fracture is generated hydraulically by pumping down fracturing fluid above the formation breakdown pressure,
and then the established fracture is kept open by using proppants. Therefore, the optimum proppant design is
crucial in obtaining the required fracture conductivity.This stimulation treatment is applied on CBM wells which
aims to increase the well productivity, and therefore accelerating the dewatering process. Due to the characteristic
difference between coalbed methane and conventional gas reservoirs, largely accepted norms in the hydraulic
fracturing inadequate to address problems associated with hydraulic fracture stimulation in CBM reservoirs.
In this study, the optimum proppant design in hydraulic fracturing treatment for CBM well is analyzed.
Parameters that are used to examine the optimum proppant design are proppant type, proppant concentration,
and proppant size distribution. Simulations are run using P3D geometry model to model fracture propagation
in order to obtain fracture half length, fracture width, and fracture conductivity. This study also examine coal
mechanic properties which distinct it from conventional gas reservoir, which is low Young’s modulus and high
Poisson’s ratio value and their effect on hydraulic fracturing treatment design.
Keywords: Hydraulic Fracturing, CBM, Proppant.

Abstrak

Pengembangan lapangan Coal Bed Methane (CBM) telah meningkat secara dramatis dalam
beberapa decade terakhir. Produksi coalseam gas dipandang sebagai suatu sumber energy yang signifikan
dan terbarukan yang menjanjikan suplai gas bersih dan stabil untuk mengimbangi permintaan energy dunia
yang semakin bertambah. Meskipun lapangan CBM memiliki beberapa kesamaan dengan lapangan gas
konvensional, skema produksi lapangan CBM memiliki proses-proses yang berbeda.
Perekahan Hidrolik seringkali digunakan untuk meningkatkan produktivitas sumur-sumur dengan nilai
permeabilitas kecil. Rekahan dibentuk dengan memompakan fluida perekah ke dalam sumur melebihi tekanan
rekah reservoir, dan rekahan yang terbentuk dijaga agar tetap terbuka menggunakan proppant. Maka dari itu,
desain proppant yang optimum sangatlah krusial untuk memperoleh konduktivitas rekahan yang diinginkan.
Metode stimulasi ini diterapkan pada lapangan CBM dan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sumur dan
juga mempercepat proses dewatering. Oleh karena perbedaan karakteristik antara reservoir CBM dan reservoir
gas konvensional, banyak norma-norma yang berlaku pada proses perekahan hidrolik pada umumnya, tidak
sesuai untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi pada proses perekahan hidrolik pada lapangan CBM.
Pada studi ini, dianalisa desain proppant optimum pada sebuah proses perekahan hidrolik pada lapangan
CBM. Parameter-parameter yang digunakan untuk meninjau desain proppant optimum antaralain jenis proppant,
konsentrasi proppant, dan distribusi ukuran proppant. Simulasi dilakukan dengan menggunakan model geometri
P3D untuk memodelkan perambatan rekahan dalam rangka memperoleh nilai panjang rekahan, lebar rekahan,
dan konduktivitas rekahan. Studi ini juga membahas karakteristik lapangan CBM yang membedakannya dengan

65
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
66

reservoir gas konvensional, yaitu nilai Young’s modulus yang rendah dan nilai Poisson’s ratio yang tinggi, dan
efek kedua parameter tersebut terhadap desain perekahan hidrolik yang optimal.
Kata kunci: Perekahan Hidrolik, CBM, Proppant.

I. INTRODUCTION 1.2 Objectives

1.1 Background The primary objectives of this study are:


1. To know the effect of hydraulic fracturing
Methane adsorbed to the surface of coal treatment in CBM well.
is a very old issue with some new commercial 2. To know rock mechanical features of CBM
ramification.1 Back then, all of the gas that was formations, such as Young’s Modulus and
produced was flared or vented. Over the past Poisson’s Ratio and their effect on hydraulic
decade, however, there has been a growing fracturing treatment design.
awareness of the vast potential for recovery of 3. To know the proppant type, concentration,
methane gas from coal seams.2 Coal Bed Methane and size effect on fracture conductivity and
(CBM) development has increased dramatically well productivity.
over the last decades. Coalbed methane gas 4. To determine the optimum proppant design in
production is viewed as a new and significant hydraulic fracturing treatment for CBM well
energy source that promise of relatively clean E-66.
and stable gas supply to complement with the
world’s growing energy demand . 1.3 Scope and Limitations
Coalbed methane production contains
different mechanism than conventional gas The scope of this study has been limited
reservoirs production. Most of the pore space in to determine the optimum proppant selection
the cleat system is water saturated, and methane design in Hydraulic Fracturing treatment on its
is adsorbed on the surface of the coal matrix. capability to reach the optimum FCD for typical
To produce this gas, the pressure in the cleat homogenous CBM reservoir using a simulation
system must be reduced to the critical desroption software FracCADE 5.1. The limitation of this
pressure. Hydraulic fracturing treatment has study is based on the input parameters for the
been an option in dewatering the coal seam, simulator. The availability of input data may vary
which caused a decrease of pressure in the cleat depend on the real-condition data of CBM wells
system. around the world. This study uses pseudo-three-
Due to the characteristic difference dimensional model to simulate the developed
between coalbed methane and conventional fracture during treatment and does not focus on
gas reservoirs, largely accepted norms in the the fracture propagation model generation that
hydraulic fracturing inadequate to address applies in CBM wells.
problems associated with hydraulic fracture
stimulation in CBM reservoirs. Experience has 1.4 Research Methodology
shown that the design and execution of fracture
treatments in coal seams is not straightforward. The methodology in this study are as follows:
High injection pressures, complex fracture
systems, screenouts and the production of
proppant and coal fines after the treatment
are typical problems facing the operator.2,3
Therefore, a precise proppant could significantly
affect the fracture conductivity. This study
focuses on proppant selection and injection
process during a hydraulic fracturing simulation
in a CBM reservoir to achieve an optimum
productivity. Figure 1. Study Workflow Chart.
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir
(Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel) 67

To conduct this comprehensive study,


the selected proppant samples are simulated
using software FracCade 5.1. The reservoir data
and fracture parameters used in the simulation
obtained from a CBM field in Indonesia.

II. THEORY

2.1 Coal Bed Methane

2.1.1 Coal Bed Methane Formation

Coalbed methane reservoir is distinct


from a typical sandstone or other conventional gas
reservoir mainly because its ability to adsorb gas.
During coalification (the process in which plant
material transform into coal) large quantitites
of methane-rich gas are generated and stored
within coal matrix and its surface. Because coal
has such a large internal surface area, it can store
surprisingly large volume of methane-rich gas,
six or seven times as much gas as a conventional Figure 3. Coal Ranks based on TOC (Schweinfurth, 2009).
natural gas reservoir of equal rock volume can
hold.4 During the progression of coalification
Coalbed formation could last for million from peat to anthracite, an order of magnitude
years and ranked according to its carbon content. more methane and water may be generated.
As geological processes apply pressure to Methane can be formed via both biogenic and
dead biotic material over time, under suitable thermogenic process. In biogenic process, organic
conditions, its metamorphic grade increases material is decomposed by microorganism to
successively into several coal ranks shown in produce CO2 and methane. Biogenic process
figure 2. exist when the material formed as lignite until
sub-bituminous, while in anthracites form will be
exist thermogenic process. Under this condition,
coal will produdce carbon-rich gas, such as
methane (90%), carbon dioxide, and water.5

2.1.2 Mechanical Properties

The mechanical properties of coal are


significantly different from conventional rocks.
Conventional reservoir rocks typically have a
value of Young’s Modulus in the range of 3 to 6
million psi. It is not uncommon to see laboratory
measured values of Young’s Modulus for coal in
the range of 100,000 to 1,000,000 psi.2 Young’s
Modulus which is also known as the elastic
modulus, is a mechanical property of linear
elastic solid materials. It defines the relationship
between stress (force per unit area) and strain
Figure 2. Burial History Coal Bed Methane (Ref: http:// (proportional deformation) in a material. Young’s
www.stovesonline.co.uk/stove/img/coal-formation.jpg). modulus E, can be calculated by dividing the
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
68

tensile stress σ(ε) by the extensional strain ε. (σxx ), vertical strain (εxx ), and horizontal strain
(εyy ) as shown in the figure.
.................................... (1)

Where

E is the Young’s modulus (modulus of elasticity)


F is the force exerted on an object under tension
A0 is the actual cross-sectional area through
which the force is applied
ΔL is the amount by which the length of the object
changes Figure 4. Uniaxial Loading (Economides, 2002).
L0 is the original length of the object

Young’s modulus and Poisson’s ratio are 2.1.3 Gas Storage and Production Mechanism
the mechanical properties of rock most often
reported.6 Poisson’s ratio, also known as the Coalseam gas, which is the natural gas
coefficient of expansion on the transverse axial, stored in the coal seams at depths of 300-1000m
is the negative ratio of transverse to axial strain. underground typically consist of methane (CH4),
By definition it is a dimensionless number. On carbon dioxide (CO2), and nitrogen (N2). Unlike
a cylindrical sample, the Poisson’s ratio explains much natural gas from conventional reservoirs,
the increase in circumference due to the applied coalbed methane contains very little heavier
uniaxial stress.7 Poission’s Ratio (V), can be hydrocarbons such as propane or butane, and no
calculated by: natural-gas condensate. It often contains up to a
few percent carbon dioxide.
................. (2) Another characteristic that distinct coal
seams from other reservoir is their dual porosity
and dual permeability system that is composed
Where of a porous matrix (primary porosity) surrounded
by a larger scale fracture system known as cleat
v = resulting Poisson’s ratio (secondary porosity). Instead of contained in the
εtrans = transverse strain (negative for axial cleat system, most coalseam gas is adsorbed on
tension, positive for axial compression) the surface of the coal matrix and trapped inside
εaxial = axial strain (positive for axial tension, the primary porosity. Gas storage in primary
negative for axial compression) porosity is controlled by adsorption which makes
up to around 90-95% of the Gas in Place.9
The Poisson’s ratio of a stable, isotropic,
linear elastic material cannot be less than −1.0 or
greater than 0.5 because of the requirement for
Young’s modulus, the shear modulus and bulk
modulus to have positive values. Most materials
have Poisson’s ratio values ranging between 0.0
and 0.5. Poisson’s ratio for coal spans a narrow
range of 0.34 to 0.37 which is high compared to
most rocks (0.25).8
Figure 4 is a schematic representation of a
static experiment with uniaxial loading. The two
parameters obtained from such an experiment are
the Young’s modulus (E) and the Poisson ratio
(v). They are calculated from the vertical stress Figure 5. Dual Porosity System in Coal (Ali, 2008).
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir
(Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel) 69

Although coal porosity may be only 2% Table 1. Differences between CBM and gas sands.
in the cleat system, it may have a storage capacity
for methane in the micropores equivalent to
that of a 20% porosity sandstone of 100% gas
saturation at the same depth. A large surface area
necessarily exists for adsorption.10
Secondary porosity does not give
significant contribution to the methane storage
mechanism, even though some free gas may
exist in the cleat system. Cleat system main
contribution is to transport the methane trapped
in primary porosity during coalbed methane
production scheme. Most of the cleat system in
coal bed methane reservoirs is water saturated.
To produce the gas, the pressure in the cleat
system must be reduced to cause the gas to desorb
from the surface of the coal to the cleat system
and diffuse through the coal matrix. Normally,
significant volumes of water must be produced
in order to lower the pressure in the cleat system 2.2 Hydraulic Fracturing
until a critical pressure is reached to liberate the
desorbed gas in the coal surface.2 2.2.1 Fracturing Objectives
Coal bed methane reservoirs exhibit
a different production scheme from other In coalbed methane gas production scheme,
conventional reservoir. While production from the initial gas recovery is very low with high
conventional reservoir is governed by diffusion, water production. In this situation, a fluid made of
production in CBM reservoirs rely on desroption.3 predominantly water and sand with a small number
Because gas desorption is the primary source of of chemical additives, is pumped down the well
production, the gas flow rate from a coal seam bore. The fluid is directed into an isolated section
may increase with time. It is not uncommon for of the coal under pressure to create additional
maximum gas flow rates to occur months or even pathways (fractures) to help accelerate dewatering
years into the production history of a coal bed process and extract the gas. This is called hydraulic
methane well. fracture stimulation, or hydraulic fracturing.
There are two basic reasons for fracturing
a well: to increase the rate or productivity and/or
to improve the multimate recovery. Additionally,
other wells may also be fractured to aid in
secondary recovery operations and to assist in the
injection or disposal of waste water.6

2.2.2 Fracturing Pressure

In hydraulic fracturing, sufficient pressure


must be applied to initially break down or fracture
the formation and enough pressure must continue
Figure 6 CBM production scheme (Ref: http://spec2000.
to be imposed to allow the fracture to continue
net/17-speccbm.htm) to grow o propagate. Normally, more pressure is
required to initially break down a formation than
The differences between a CBM reservoir is required to propagate a fracture. Once fracture
and conventional reservoir gas production is is formed, the fluid in the fracture acts as a wedge,
shown below:11 forcing the fracture to grow.
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
70

2.2.3 Fracture Orientation

In many applications of hydraulic


fracturing it is essential to ascertain, if at all
possible, the orientation of the fracture. The first
question to be answered regards whether or not
the fracture is vertical or horizontal. Generally,
horizontal fractures are preferred, but in deeper
formation they are, as will be evident, most often
vertical.6

Figure 7. Fracturing Pressure Profile (Shechter,1992).

Pressure behavior during a fracturing


treatment is illustrated by Fig. 7. The fluid
injection rate is constant, except that at some time
injection is stopped to obtain the instantaneous
shut in pressure. The bottomhole pressure is
shown versus time from initial injection of fluid
until the treatment has been completed. The
surface pressure is, of course, different from the
bottomhole pressure because of the weight of the
fluid and the friction losses in the wellbore. The
critical portions of the pressure history shown in
Fig. 7 are: Figure 8. Principle stresses on a rock body (Schechter, 1992)

• Breakdown Pressure: the pressure required Figure 8 illustrate stresses work on a


to break down the formation and initiate rock body, which in this case σz > σy > σx. The
fracture. principle apparently governing the orientation of
• Propagation Pressure: the pressure required a fracture is that the crack opens and widens in an
to continually enlarge the fracture. orientation requiring the least work. The crack is
• Instantaneous Shut-in Pressure: the pressure shown to be perpendicular to σx, the smallest of
that is required to just hold the fracture open. the three principle stresses.
Thus, it may be postulated that fractures
If PBISIP is the instantaneous shut- should occur along planes normal to the least
in pressure measured at the surface, then the principal stress. Since the fracture gradient for
bottomhole shut-in pressre (PBISIP) is given by: deeper formations is often much smaller than the
weight of overburden, these fractures are vertical.
PBISIP = PISIP + ρgD ........................................ (3) The equation describing an elastic body are:

Where D is the formation depth. This ..... (5)


equation is precise because when flow is stopped,
the friction pressure vanishes. Where p is the formation pressure, G is
The bottomhole pressure required to the shear modulus, and v is Poisson’s ratio. Since
maintain a fracture divided by the reservoir depth the fracture which opens vertically must act
(D) is defined as fracture gradient (FG). Thus, against the stress σx , it is possible to identify σx
as PBISIP . This is the pressure necessary to hold
FG = PBISIP / D .................................................... (4) the fracture open.
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir
(Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel) 71

2.2.3 Fracture Geometry Modelling pressure in a layered stress environment. The


stress intensity factor is calculated at the top
There are several phenomena involved and the bottom of the fracture and set equal to
in hydraulic fracturing. While it is difficult to the fracture toughness of the materials resulting
analyze the effect of each fracture parameter in a unique height and position of the crack with
individually, an attempt has been made by Geir respect to the stress field.
Hareland in 1993, utilizing a three dimensional, As shown in Figure Z, the stress intensity
three stress layer model. factor at the top of the crack is given by the
The most widely used models not following equation:
involving numerical simulations are the PKN
and KGD. These are two dimensional fracture .................. (6)
propagation models where fracture width and
length are functions of the continuity, elasticity,
and fluid flow equations. The fracture height Where:
is uniform along the length of the fracture. a = half height of fracture
To simulate vertical and lateral propagation, KIc* = stress-intensity factor
integrated pseudo-three-dimensional models P(y) = net fracture pressure distribution
have been developed. These models are so called opening the fracture
because the actual fracture dimensions are not
explicitly determined in three-dimensional space, The net fracture pressure distribution is given by:13
but several fracture height and width assumptions
are made.12 P(y) = Pw - σ3 for - a ≤ y ≤ - b3 ,
These assumptions are constant, linear, P(y) = Pw - σ1 for - b3 ≤ y ≤ b2 ,
and parabolic fracture height propagation along P(y) = Pw - σ2 for b2 ≤ y ≤ a ,
the length of the fracture and constant averaged
width. The basic concept of this pseudo three With an additional geometry constraint of b3 =
dimensional model is the same as the PKN model, h - b2.
but the fracture height depends on the position
along the fracture and time. Newtonian Fluid

If the fracturing fluid is assumed to be


Newtonian, the fracture area at any time t is given
by:

...... (7)

The area A(t) is then expressed in terms


of the assumed height variation.
If it is assumed that a fracture has a
Figure 9 Fracture in Three-Layered Stress Medium constant height the fracture area is given by:
(Hareland, 1993)
A(t) = L(t) * h .......................................................... (8)
Hareland in 1993 proposed that the
fracture height in a layered medium can be If it is assumed that the fracture has a
calculated if material property variations in each linear height variation along the length of the
stress layer are neglected and the vertical pressure fracture, the area is given by:
distribution in the fracture is assumed constant.
The analysis is a calculation of the equilibrium ....................................... (9)
height of a hydraulic fracture for a given internal
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
72

If it is assumed that the fracture height Fracture pressure can then be determined by:
variation is parabolic along the length of the
fracture, the area is given by:

..................................... (10)
............................... (18)

The fracture width at the wellbore is a


function of fracture length and is given by: Again for different fracture height
variations the values of γ is as follows.
For constant fracture height:
..................................... (11)

γ= 1
The required fracturing pressure at the
wellbore for each fracture height variation is For a linear fracture height variation:
calculated using the following expression:
............................................... (19)
...................... (12)

For a parabolic fracture height variation:


Where;
For constant height fracture:

γ = 1 ......................................................................... (13)

For a linear fracture height variation:

................................................ (14)
....... (20)

For a parabolic fracture height variation:


2.3 Proppant

2.3.1 Proppant Overview


................. (15)
After the injection of fracturing fluid into
the fractures terminated, established fractures
Non-Newtonian Fluids begin to close because the release of the hydraulic
pressure. To prop the fractures open, the fractures
For non-Newtonian fracturing fluids, must be filled with materials that oppose earth
fluid is assumed to behave in conformance with stresses which is called proppant. To successfully
the power law. prop the fractures, the material must be strong
enough strong enough to bear the closure stress,
........................................................... (16) otherwise the conductivity of the (crushed)
proppant bed will be considerably less than the
design value (both the width and permeability
The fracture width can then be determined by: of the proppant bed decrease). Other factors
considered in proppant selection are size, shape,
composition, and, to a lesser extent, density.
The two main categories of proppants are
naturally occurring sands and manmade ceramic or
......................... (17) bauxite proppants. Sands are used for lower-stress
applications, in formations approximately 8,000
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir
(Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel) 73

ft and (preferably, considerably) less. Manmade 2.3.3 Fracture Conductivity


proppants are used for high-stress situations in
formations generally deeper than 8,000 ft. For high Fracture length and dimensionless fracture
permeability fracturing, where a high conductivity
conductivity are the two primary variables that
is essential, using high-strength proppants may be
control the productivity index of a fractured well.
justified at practically any depth.14 Dimensionless fracture conductivity is a measure
of the relative ease with which produced fluids
2.3.2 Closure Stress flow inside the fracture compared to the ability
of the formation to feed fluids into fracture. It is
In the course of proppant selection, it calculated as the product of fracture permeability
is necessary to estimate the magnitude of the and fracture width, divided by the product of
closure stress acting on the proppant. The most reservoir permeability and fracture length.
common equation used to estimate the closure
stress is known:

............................... (21)

Where:
Sh = absolute horizontal stress
Sv = absolute vertical stress
v = Poisson’s ratio
α = Biot’s constant (typically a value
between 0.7 - 1)
Pp = reservoir pore pressure

Figure 10 and 11 summarized Fracture Figure 12. Notation for fracture performance (Economides,
conductivity of various proppant types to specific 2002).
closure stress.
For a vertical well intersecting a
rectrangular vertical fracture that penetrates
fully from the bottom to the top of the
rectangular drainage volume, the performance
is known to depend on the penetration ratio in
the X direction,

................................................................. (22)

Figure 10. Fracture conductivity for various proppants And on the dimensionless fracture
(Economides, 2002). conductivity,

.............................................................. (23)

Where:
Ix = Penetration ratio
CfD = dimensionless fracture conductivity
Xf = fracture half length
Xe = side length of the square drainage area
k = formation permeability
Figure 11. Closure Stress for various proppants kf = proppant pack permeability
(Economides, 2002). w = average (propped) fracture width
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
74

2.3.4 Proppant Number


........................................ (28)

Economides et al. in 2002 proposed a


methodology named Unified Fracture Design Where dp is the diameter of the proppant particle
(UFD) that generates optimum fracture design and Øf is the porosity of the packed, multilayer
for any kind of reservoir. In unified fracture bed of proppant particles. As a fair approximation
design, where both low and high permeability and in the absence of experimental data, Øf ≈
formations are considered, the best single variable 0.32 - 0.38 (Schechter, 1992).
to characterize the size of a created fracture is
the volume of proppant placed in the productive
horizon, or “pay”. Proppant Number, Nprop is
given by:

.......................................... (24)

......................................................... (25)
Figure 13. Sketch depicting various proppant arrangements
(Schechter, 1992).
Where:
Nprop = proppant number 2.4 Fractured Well Productivity
Kf = effective proppant pack permeability
k = formation permeability Hydraulic Fracturing treatment will create
Vprop = propped volume in the pay (two a conductive path that accommodate reservoir
wings, including void space between fluids to flow. Therefore, the productivity index
proppant grains) of a fractured well must be significantly higher
Vres = drainage volume than a non-fractured well. Apparently, the
productivity of fractured wells depend on two
With optimal dimensionless fracture steps: (1) receiving fluids from formation and (2)
conductivity determined, the optimal fracture transporting the received fluid to the wellbore.15
length and width are set and they represent the The relative importance of each of the steps
only ones for which the fracture must be designed: can be analyzed using the concept of fracture
conductivity (FcD).
.................................. (26) The fold of increase of productivity of a
well can be expressed as:

.................................. (27)
.............................................. (29)

Where
Vf is the volume of one propped wing, Where Sf is the equivalent skin factor
Vf = Vprop / 2 due to stimulation Valko et al. (1997) established
a correlation between fracture conductivity and
equivalent skin factor:
2.3.4 Proppant Permeability
.... (30)
Final fracture permeability is strictly a
function of the diameter of the proppant particles
used in the treatment. According to the Blake- Where
......................................................... (31)
u = ln (CfD)
Cozeny equation:6
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir
(Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel) 75

III. Simulation 3.2 Proppant Design

In this study, fracCade 5.1 is used to To determine the effect of proppant


simulate hydraulic fracturing stimulation in design in a hydraculic fracturing treatment, this
a CBM well. The P3D model is used to model stage is done by doing sensitivity analysis over
fracture propagation in order to obtain fracture half several proppant types, concentrations, and sizes
length, fracture width, and fracture conductivity. using FracCADE 5.1.
In order to identify the effect of proppant This stage is done by doing sensitivity
design in hydraulic fracturing stimulation in a analysis over several proppant samples using
CBM well and generate the optimum proppant FracCADE 5.1. Four proppant samples that
design, the simulation process is breakdown into represent four different proppant types (sand,
several integrated scenarios as shown in figure 14. resin-coated sand, ceramic, and resin-coated
ceramic) are used as propping agents in hydraulic
fracturing simulations. The essential indicator
to be concerned is dimensionless fracture
conductivity (CfD) as the result of each proppants
performance, as it represents the fracture
performance.
Dimensionless fracture conductivity
(CfD) is related to well productivity index. Fold of
increase in well productivity (J/J0) then calculated
using equation 29 in Microsoft Office Excel.
The proppant sample which gives the best
productivity will be advanced to the next stage
(proppant concentration sensitivity). This is done
by adding proppant concentration and inspecting
its effect to well productivity.
In the third stage, the best proppant types
from stage first with corresponding best proppant
concentration from second stage is used as a base
case. The effect of proppant size distribution to
well productivity is then examined.
Figure 14. Simulation Process Flowchart. Table 2. Hydraulic Fracturing Base Case.

3.1 Base Model

This study is based on CBM Well E-66 in


Indonesia. Well E-66 parameters that is used in
the simulation and base case scenario parameters
is summarized in Appendix A and Appendix B
respectively.
Due to their characteristic difference with
conventional gas reservoirs, largely accepted
norms in the hydraulic fracturing may not
suitable to address problems associated with
hydraulic fracturing treatment in CBM reservoirs.
Regarding to the base model, this study will
define some critical CBM reservoir parameters
that distinguish hydraulic fracturing treatment
design in CBM wells and conventional gas wells.
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
76

IV. Result and Analysis

4.1 Base Case Design Hydraulic Fracturing

A simulation is done to determine the


effect of the hydraulic fracturing on a CBM well
using FracCADE 5.1. The established fracture
result is summarized in table 2.
From the base case design, the established
fracture has dimensionless effective conductivity
value of 3.7. By using equation (29), the fold of Figure 15. Stress-Strain diagram of Ductil & Brittle
increase in well productivity index is determined. Materials (Ref: http://www.slideshare.net/HarisRafiq1/
stressstrain-curve-shear-force-and-bending-moment).
The application of hydraulic fracturing stimulation
treatment in Well E-66 can increases its productivity
up to 2.030485 fold. Young’s modulus is a ’stiffness’
Productivity index is a measure of the well measurement of a material. Materials having
potential or ability to produce and is a commonly high Young’s modulus value are categorized as
measured well property. If productivity index of brittle materials, while materials having lower
a well increase, the cumulative production over a Young’s modulus value are categorized as ductile
period of time increases as well. This leads to a materials.
faster reservoir pressure decline, and ultimately From figure 15 shown that brittle
enhance the dewatering process. materials are indeed stonger, because there is little
strain for a high stress, but they tend to fracture
4.2 Young’s Modulus and Poisson’s Ratio suddenly after the load exceeds materials yield
Sensitivity point. They do not enter plastic region as there is
little or almost no plastic deformation.
Young’s Modulus and Poisson’s Ratio On the other side, ductile materials
are two parameters that are most reported in rock have the ability to absorb energy exposed on
typing. The sensitivity result of both Young’s them. Even though having lower yield point
Modulus and Poisson’s ratio by FracCade 5.1 as that those of brittle materials, ductile materials
shown below: do not fracture easily. After passing the elastic
region, there is a section when deformation
Table 3. Young’s Modulus Sensitivity Result.
occurs in plastic region. Therefore, to fracture
ductile materials, more mechanical energy is
needed.
For a given loading, the stresses in layers
with low Young’s Modulus are normally less than
those in layers with high Young’s Modulus. Stiff
Table 4. Poisson’s Ratio sensitivity result. Layers take up more loading, and tend to magnify
or raise (concentrate) the stresses, whereas soft
layers take up little of the loading, and tend to
surpress the stresses.16
Poisson’s ratio is the coefficient of
expansion on the transverse axial. When
a material is compressed in one direction,
From the simulation, it is known that it usually tends to expand in the other two
Young’s Modulus and Poisson’s Ratio have directions perpendicular to the direction of
effects to the established fracture geometry. compression. From table 3, it can be inferred
Lower value of Young’s modulus tends to give a that Lower Poisson Ratio tends to give deeper
wider but shallow fracture. This phenomenon can fracture geometry, even though the effect is not
be described by figure 15. as significant as Young’s modulus.
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir
(Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel) 77

Table 5. Mechanical Properties of various rocks.

Coal formations have a lower value Figure 17. Complex Fracture system in CBM formations
of Young’s modulus than other conventional (Reynolds, 2005).
sandstone formation. Most of them also have a
typical Poisson’s ratio of 0.35 to 0.45 which is 4.3 Proppant Type Sensitivity
higher than those of sandstone formations. This
leads to different fracture geometry established This stage is done by doing sensitivity
by hydraulic fracturing treatment in those analysis over several proppant samples using
formations. FracCADE 5.1. Four proppant samples that
The low value of Young’s modulus will represent four different proppant types (sand,
result in the creation of very wide hydraulic resin-coated sand, ceramic, and resin-coated
fractures. Field experience shown that the ceramic) are used as propping agents in hydraulic
creation of long hydraulic fractures is extremely fracturing simulations.
difficult, as abnormally high treating pressure is The fracturing fluid used is YF104D w/0.5
needed. lb/k (water based) by adding additive CrossLink
Gel. The proppant concentration is set to 5 PPA
and all of the proppant samples are in the same
size-range, 20/40 mesh.The sensitivity result is
shown in table 5.

Table 6. Proppant type sensitivity result.

Based on the simulation, creamic type


proppant technically gives the highest fracture
Figure 16. Effect of Young’s Modulus and Poisson’s ratio conductivity value. Naplite boost the well
to Fracture Geometry (Gudmundsson, 2011).
productivity by 2.2 fold. This is mainly caused
by the high compressive stress ceramic type
Additionally, the fracture systems that proppant yield.
are created during fracturing in a CBM formation The closure pressure in Well E-66 is 2695
is very complex. Not only are multiple vertical psi. As shown in table 5, at this pressure resin-
fractures often created, but fractures propagating coated proppant gives lower conductivity than
in multiple directions can be quite common due non-resin coated proppants. From literature study,
to the presence of the cleat system.2 resin coated proppants have a higher compressive
Reynolds in 2005 proposed if multiple strength which should lead to a higher fracture
fractures are growing, the net pressure is related conductivity, but in this case, it turned out to be
to the number of fractures by the following low.
equation:17 This phenomenon happened due to the
value of proppant permeability itself. Figure 18
Pnet = ( ns ) 0.5
.................................................. (32) shows the value of each proppant’s permeability
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
78

Figure 18. Various Proppant Sample Permeability accoding to fracture closure pressure.
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir
(Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel) 79

Figure 18. Graded Proppant Injection Schedule. (Proppant Size Index: 6=16/20 Naplite 8 PPA; 5=12/18 Naplite 8 PPA;
3=20/40 Naplite 8 PPA).

in relationship to closure stress. Resin-coated samples are in the same size-range, 20/40 mesh.
proppants tend to have a lower value of The sensitivity result is shown in table 6.
permeability than non resin-coated proppants. As
a consequence, the conductivity created is lower. Table 7. Proppant concentration sensitivity result.
At higher pressure, non-resin coated
starts to embedded ,and, or crushed. This leads
to a reduction of fracture conductivity. At
this condition, resin-coated proppants which
have higher compressive strength give good
performance.

4.4 Proppant Concentration Sensitivity The best proppant sample in this scenario
is Naplite with 8 PPA concentration. It raise the
In this stage, the fracturing fluid used well productivity by 2.44 fold, which is 10.48%
is YF104D w/0.5 lb/k. The proppant type used higher than the well productivity established by
is ceramic (NAPLITE) and all of the proppant placement of 5 PPA Naplite.
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
80

Simulation result shows that established to proppant size. Bigger proppant size
fracture conductivity is proportional to injected accommodates wider fracture, therefore higher
proppant concentration. This result matches fracture permeability value. Economides (2000)
equation (24) proposed by Economides. showed that during hydraulic fracturing in cases
If the concentration of the proppant is where an induced fracture is propped by a partial
lower, the distance between proppant particles is monolayer of large-sized proppant particles,
longer, and consequently , there is excessive rock larger permeability would be reached than the
deformation between the particles due to normal situation where the fracture is fully packed with
stresses, which would decrease the fracture small-sized, multilayer proppants.
permeability as shown in figure 19.18 The The highest well productivity is given by
decrease in permeability will result in decrease 12/18 mesh-sized Naplite, which enhances the
of well productivity as well. productivity index by 2.55 fold.

4.5.1 Graded Proppant Placement

Traditionally, low permeability wells have


been stimulated by creating large fractures and
filling them with mono-sized proppant particles
during hydraulic fracturing. In this simulation,
the effect of graded proppant size placement is
evaluated.

Table 9. Graded Proppant Simulation Result.

Figure 19. Fracture Deformation (Bedrikovetsky, 2012).

4.5 Proppant Diameter Sensitivity


Graded size proppant placement enhances
In this stage, the fracturing fluid used the fractured Well E-66 productivity even higher
is YF104D w/0.5 lb/k. The proppant type to 2.57 fold compared to the traditional mono-
used is ceramic (NAPLITE) and the proppant layer 12/18 sized proppant that only enhances the
concentration is set to 8 PPA. The sensitivity well productivity by 2.55 fold.
result is shown in table 7. In this case, the diameter of proppants
injected into the fracture increases gradually,
Table 8. Proppant Diameter Sensitivity Result. from the finer to bigger proppants. The optimal
pumping schedule and proppant size distribution
generated for gradual proppant injection is
summarized in figure 20. Since the size of
proppants determines the stimulation radius,
finer proppants would penetrate deeper into the
reservoir and maximize the stimulation radius.
Mesh is often used in determining the Alternatively, bigger size proppant is injected in
particle-size distribution of a granular material. the near wellbore area to create wider conductive
Mesh size is inversely proportional with grain path. In other words, small mono-sized proppants
size. The higher mesh value indicated finer provide non-optimal near wellbore permeability,
grains. A mesh size of 20/40 means the granular and large mono-sized proppants lead to a non-
size is between 20 and 40 mesh. optimal stimulation radius.19 The phenomenon
From the simulation, it is indicated of graded proppant placement is depicted by
that fracture conductivity value is proportional figure 21.
Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir
(Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel) 81

conductivity, while finer proppant grains lead


to optimum stimulation radius.
6. The optimum proppant design in this study is
Naplite with 8 PPA concentration and graded
proppant size placement. This proppant
design could increase Well E-66 productivity
index by 2.574 fold.

Recommendation

1. This study may be continued with other


parameter sensitivity, such as NPV, IRR,
and other economical aspects to know the
feasibility of hydraulic treatment in CBM
wells technically and economically.
2. This study may be continued and applied
Figure 21. Graded Proppant Placement (Bedrikovetsky,
to a heterogenous CBM reservoir model to
2012). increase the design’s accuracy.
3. A mathematical model of graded proppant
placement could be studied further.
V. Conclusions and Recommendation

Conclusions VI. REFERRENCES

After doing comprehensive simulations Lea, James F. 2008. Gas Well Deliquification, 2nd
and sensitivity analysis, the conclusion of this Edition. United Kingdom: Gulf Professional
study can be summarized as follows: Publishing.
1. Hydraulic fracturing treatment could enhance Holditch, S.A. 1988. Enhanced Recovery of Coalbed
CBM productivity, hence accelerate the Methane Through Hydraulic Fracturing. 63rd
dewatering process in CBM wells. Annual Technical Conference and Exhibition,
2. Due to their characteristic difference, different Houston, SPE 18250.
treatment conditions apply to hydraulic Valencia, K.L., Chen, Z., Rahman, S.S. 2005. Design
fracturing in CBM wells than conventional gas and Evaluation of Hydraulic Fracture Stimulation
reservoirs. Having a low Young’s Modulus and of Gas and Coalbed Methane Reservoirs Under
high Poisson’s Ratio value make it is hard to Complex Geology and Stress Conditions.
prop long fracture in CBM formations, hence International Petroleum Technology Conference,
higher treatment pressure is needed. Qatar, IPTC 10795.
3. Proppant types affects fracture conductivity. Nuccio, Vito. 2000. Coal-Bed Methane: Potential and
Proppant permeability and compressive strength Concerns. Denver: U.S. Geological Survey, MS
are two major factors in selecting the optimum 939
porppant in a hydraulic fracturing treatment. Rogers, R., Ramurthy, M., Rodvelt, G., Mullen,
Proppant samples with higher permeability tend Mike. 2007. Coal Bed Methane – Principles
to generate higher fracture conductivity. and Practices, 3rd Edition 2007, Oktibbeha
4. Conductivity of established fracture is Publishing Co., LLC, Starkville, MS.
proportional to proppant concentration. If the Schechter, Robert S. 1992. Oil Well Stimulation. New
concentration of proppants injected is low, the Jersey: Prentice-Hall, in.
distance between proppant grains is longer and Fintland, Trygve Westlye. 2011. Measurements of
their ability to keep the fracture open decrease. Young’s Modulus on Rock Samples at Small
5. Proppant size distributions affect the Amplitude And Low Frequency. Norway:
fracture conductivity significantly. Larger Norwegian University of Science and Technology.
size proppants give better near-wellbore Greenhalgh S.A., Emerson D.W. (1986) Elastic
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
82

properties of coal measure rocks from the Natural Cleats for Gas Production From Coal
Sydney Basin, New South Wales. Exploration Beds by Graded Proppant Injection. SPE Asia
Geophysics 17 , 157–163. Pacific Oil and Gas Conference and Exhibition,
Shi, J.Q., and Durucan, S. 2003. Part 1. Paper 0341 Perth, SPE 158761.
Mangudumalau, S.M. 2014. Sensitivity Studies to Keshavarz, A., Khanna, A., Hughes, T., Boniciolli,
Select the Optimum Hydraulic Fracturing Design M., Cooper, A., and Bedrikovetsky, P. 2014.
for Coalbed Methane Reservoir. Graduate Thesis. Mathematical Model for Stimulation of CBM
Fekete. 2014. CBM Properties Reservoirs During Graded Proppant Injection.
Hareland, G., Rampersad, P., Dharaphop,J., SPE/EAGE European Unconventional
Sasnanand,S. 1993. Hydraulic Fracturing Design Conference and Exhibition, Austria, SPE 167758.
Optimization. Eastern Regional Conference & Ali, M., Sarkar, A., Sagar, R., Klimentos, T., Basu,
Exhibition, Pittsburgh, SPE 26950. I. 2008. Cleat Characterization in CBM wells
Rahman, M.M., and Rahman, M.K. 2010. A review of for completion Optimization. 2008 Indian Oil
Hydraulic Fracture Models and Development of and Gas Technical Conference and Exhibition,
an Improved Pseudo -3D Model for Stimulating Mumbai, SPE 113600.
Tight Oil/Gas Sand. Demarchos, A.S., Chomatas, A.S., Economides, M.J.,
Economides, M.J., Oligney, R.E. and University of Houston, Mach, J.M., Wolcott, D.S.,
Valko,P.P.:”Unified Fracture Design, Orsa Press, Yukos. 2004. Pushing the Limits in Hydraulic
Houston, 2002a. Fracture Design. SPE International Symposium
Guo, Boyun., Lyons, William C., and Ghalambor, and Exhibition on Formation Damage Control,
Ali: Petroleum Production Engineering A Lousiana, SPE 86483.
Computer Assisted Approach. Elsevier Science Economides, M.J., University of Houston, Wang,
& Technology Books. 2007. X., XGAS. 2010. SPE International Symposium
Gudmundsson, Agust. 2011. Rock Fractures in and Exhibition on Formation Damage Control,
Geological Processes. United Kingdom: Louisiana, SPE 127870.
Cambridge University Press. Halliburton. 2008. Coalbed Methane: Principles and
Reynolds, M.M., Shaw, J.C. 2005. Optimizing Practice.
Hydraulic Fracturing Treatments for CBM Ma, Y. Z., Holditch, S.A. 2016. Unconventional Oil
Production Using Data From Post-Frac Analysis. and Gas Resources Handbook Evaluation. United
Petroleum 6th Canadian International Petroleum Kingdom: Gulf Professional Publishing.
Conference, Canada, PAPER 2005-13. Schweinfurth, S.P. 2009. An Introduction to Coal
Bedrikovetsky, P., Keshavarz, A., Khanna, A., Kenzie, Quality. US Geological Survey, Professional
K.M., and Kotousov, A. 2012. Stimulation of Paper 1625-F

APPENDIX A
WELL E-66 COMPLETION DATA

Well Completion Data


Comprehensive Study of Optimum Proppant Design in Hydraulic Fracturing Treatment for Coalbed Methane Reservoir
(Sudjati Rachmat dan Evans Immanuel) 83

Tubing Data

Casing Data

Perforation Data

Hole Survey

Mechanical Fluid Data

Rheology Power Law


JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 65-84
84

Zone Properties

Zone 1

APPENDIX A
WELL E-66 COMPLETION DATA

BASE CASE DATA


Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas:
Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah Rekahan

Sensitivity Analysis of Hydraulic Fracturing Scenario in Shale Gas Simulation


Model: Fracture Spacing and Fracture Half Length

Rayner Susanto1, Doddy Abdassah2 dan Dedy Irawan3


1immanuel.rayner@hotmail.com (+49-176-2019-6305);
2abdassah@tm.itb.ac.id (+62-812-2049-804);
3di@tm.itb.ac.id (+62-821-1506-0699).
(1)(2)(3)Institut Teknologi Bandung

Teknik Perminyakan ITB, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, Indonesia.

Abstrak

Pengembangan reservoir gas non konvensional sangat berkembang di Amerika Utara. Shale gas
merupakan salah satu jenis hidrokarbon non konvensional yang utama dikembangkan di sana. Shale mempunyai
karakteristik yang unik sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda dengan hidrokarbon konvensional.
Karakteristik tersebut berupa permeabilitas yang sangat rendah, terdapat rekahan berukuran mikro, dan
sensitivitas terhadap fluida kontak. Proses hydraulic fracturing merupakan salah satu proses stimulasi yang
seringkali dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas sumur gas pada lapangan shale gas. Oleh karena itu,
sangatlah penting untuk mengetahui lebih dalam pengetahuan mengenai proses hydraulic fracturing ini.
Dalam sebuah proses hydraulic fracturing shale gas, terdapat banyak parameter yang memegang
peranan penting dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam studi ini, akan dilakukan proses analisis
pengaruh dua dari berbagai parameter tersebut. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan pengaruh
dari parameter panjang setengah rekahan dari hydraulic fracturing dan hydraulic fracture spacing terhadap
aspek produksi dan reservoir lapangan shale gas, serta menentukan hubungan kedua parameter tersebut dalam
penentuan IGIP. Selain itu, tulisan ini juga menjelaskan alur dalam penentuan persamaan untuk mencari
recovery factor, plateu time, dan IGIP dari reservoir shale gas yang dimodelkan. Dalam studi kasus ini akan
dilakukan skenario kombinasi antara kedua parameter yang disebut di atas. Studi kasus ini mengambil data
dari sebuah lapangan shale gas di Amerika yang berasal dari publikasi - publikasi yang telah dirilis. Studi ini
menggunakan software perminyakan untuk mengolah data dan membuat model lapangan shale gas.
Kata Kunci: hydraulic fracturing, shale gas, hydraulic fracturing spacing, dan half fracture length.

Abstract

Unconventional gas reservoir developments in North America are improving nowadays. Shale gas
is one majority type of unconventional hydrocarbons which has been developed there. Shale has unique
characteristics which cause necessarity of different treatments compared with conventional hydrocarbons. The
characteristics include very low permeability, many fractures with micro size, and sensitivity of contact fluids.
Hydraulic fracturing is a stimulation process which needed to improve gas well productivity in shale gas fields.
Because of that, it’s really important to gather more information about this hydraulic fracturing process.
In a shale gas hydraulic fracturing process, there are many parameters which have important roles and
affect each other. In this study, there’s an analytical process to observe the effect of two of those parameters.
The purpose of this study is to explain the effect of half-fracture length of hydraulic fracturing and hydraulic
fracture spacing to production and reservoir aspects in a shale gas field and to find connection between
those two parameters in the determination of IGIP. Beside that, this study explains the process in determining
equations to find recovery factor, plateu time, and Initial Gas In Place of modeled shale gas reservoir. There
are combination scenarios of those two parameters in this study mentioned one the above. The information
data in this study is gathered from publication about a shale gas field in USA. This study uses petroleum
softwares to calculate reservoir data and make computerial model of shale gas field.
Keywords: hydraulic fracturing, shale gas, hydraulic fracturing spacing, and half fracture length.

85
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
86

I. PENDAHULUAN Hidrokarbon non konvensional yang satu ini


mempunyai potensi yang cukup besar untuk
Dunia saat ini sangat haus akan energi. dimanfaatkan. Di Amerika, potensi sumber
Kecenderungan peningkatan kebutuhan dunia daya shale gas diperkirakan sebesar 500 sampai
akan energi tidak mempunyai tanda-tanda 1000 Tcf. Beberapa lapangan seperti Barnett dan
akan adanya penurunan di masa depan. Dunia Marcellous terbukti telah sukses dimanfaatkan
saat ini telah sampai pada tahap di mana mulai untuk memenuhi kebutuhan energi gas di
terjadi kekurangan cadangan energi hidrokarbon Amerika. Pada Gambar 1, dapat dilihat peta
dalam memenuhi kebutuhan energi dunia yang persebaran lapangan shale gas yang terdapat di
sangat besar dan terus meningkat tajam. Dr. M. Amerika.
King Hubbert menyatakan bahwa laju produksi Berbeda dengan lapangan hidrokarbon
hidrokarbon mengikuti bell-shaped curve. konvensional pada umumnya, lapangan
Sehingga terdapat masa di mana laju produksi hidrokarbon non konvensional, seperti shale
hidrokarbon mencapai titik puncak dan akhirnya gas membutuhkan penanganan yang khusus.
mengalami penurunan. Periode ini disebut Shale gas mempunyai permeabilitas yang
sebagai peak oil, yaitu keadaan di mana laju sangat kecil. Agar dapat dilakukannya proses
produksi hidrokarbon lebih kecil dibandingkan produksi dalam skala komersil pada lapangan
dengan penemuan cadangan hidrokarbon baru. shale gas diperlukan adanya proses stimulasi
Penjelasan mengenai Peak Oil dapat dilihat pada seperti hydraulic fracturing untuk meningkatkan
Gambar 2. permeabilitas pada rekahan sehingga gas dapat
mengalir keluar.

Gambar 1. Peta persebaran lapangan shale gas di Amerika.

Permasalahan tersebut memicu seluruh Gambar 2. Bell-Curved Shape (Peak Oil).


negara di dunia berlomba - lomba untuk menjadi
yang pertama dalam pengusahaan berbagai jenis II. TEORI DASAR
energi baru. Di Indonesia, proses eksploitasi
energi tak terbaharukan masih tergantung penuh Pembentukan Shale Gas
pada jenis hidrokarbon konvensional, seperti
minyak dan gas bumi. Berbeda halnya pada Shale adalah batuan klastik berbutir halus
negara maju seperti USA dan Canada, jenis yang dihasilkan dari konsolidasi silt dan clay.
hidrokarbon non konvensional seperti shale gas Materi organik yang terendapkan di dalam batuan
dan CBM telah dikembangkan sejak beberapa shale mengandung kerogen yang mengalami
dekade terakhir. pematangan akibat tekanan overburden dan
Shale gas merupakan gas yang dihasilkan suhu, menjadikannya sebuah batuan induk
dari formasi shale yang kaya akan bahan organik yang menghasilkan serta mengekspulsikan
dan merupakan source rock sekaligus reservoir. hidrokarbon. Shale gas reservoir merupakan
Gas tersebut tersimpan di dalam ruang kosong batuan induk yang menarik hidrokarbon yang
yang terdapat di dalam pori batuan shale. dihasilkannya. Gas berasal dari proses adsorbsi
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah
Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan) 87

materi organik serta free gas yang terjebak di interest atau untuk mengurangi kerusakan pada
dalam pori-pori materi organik dan di dalam lubang sumur. Proses hydraulic fracturing tidak
matriks materi anorganik. secara fisik memperbesar lubang sumur, tetapi
memperbesar jari-jari pengurasan disekitar
Produksi Shale Gas lubang sumur.

Produksi shale gas dapat terjadi dengan


tiga cara :
• Berasal dari gas yang terdesorpsi keluar dari
konten organik dan kemudian tersimpan
dalam rekahan alami yang terdapat pada
shale bed.
• Gas yang teradsorbsi ke dalam shale itu
sendiri.
• Proses desorpsi dari kerogen secara langsung.

Untuk memperbesar luas permukaan


dari reservoir shale untuk melepas gas, maka
dilakukan pemboran sumur horizontal dan proses
hydraulic fracturing.
Gambar 3. Proses Hydraulic Fracturing.
Hydraulic Fracturing

Pengertian

Teknik hydraulic fracturing merupakan


metode yang umum digunakan pada
pengembangan dalam dunia perminyakan dalam
beberapa dekade terakhir. Hydraulic fracturing
adalah proses pemompaan campuran air dengan
proppant dan bahan kimia ke dalam lubang
sumur dengan tujuan untuk membentuk atau
melebarkan rekahan sehingga gas dapat keluar
dari formasi batuan. Proppant adalah partikel
kecil seperti pasir yang menjaga agar rekahan
Gambar 4. Proses Hydraulic Fracturing 3 dimensi.
yang baru terbentuk tetap terbuka sehingga gas
dapat mengalir keluar dari sumur. Proses ini
disebut juga sebagai fracking atau hydrofracking. Jenis Hydraulic Fracturing
Dengan terbentuk rekahan, luas permukaan dari
formasi semakin besar dan rekahan menyediakan Beberapa jenis dari hydraulic fracturing
jalur konduktif yang mengalirkan gas yang telah dikembangkan untuk digunakan pada
terbebas menuju ke lubang sumur. Hal ini kondisi yang berbeda-beda. Metode yang
menyebabkan hydraulic fracturing secara efektif
terkenal adalah high-volume hydraulic fracturing
meningkatkan laju fluida yang dapat diproduksi
(HVHF) dan slick water fracturing. Pada
dari reservoir. Penjelasan mengenai proses ini
metode ini, jutaan galon air bersih setiap sumur
dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. dikontaminasi dengan tambahan aditif kimia
yang sangat beracun. Teknik ini menggabungkan
Tujuan air dengan aditif kimia, yaitu friction reducer
sehingga proses pemompaan dapat dilakukan
Hydraulic fracturing mempunyai tujuan lebih cepat ke dalam formasi. Water fracturing
utama sebagai proses stimulasi pada zona tidak menggunakan polimer untuk menebalkan
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
88

dan jumlah proppant yang digunakan lebih untuk menjaga agar rekahan tetap terbuka
sedikit daripada ketika menggunakan gel. Slick setelah pelepasan tekanan fracturing.
water fracturing bekerja dengan sangat baik pada • Gelling Agents: meningkatkan viskositas fluida
reservoir dengan permeabilitas rendah. Teknik untuk membentuk transportasi proppant.
ini telah menjadi alat utama yang digunakan pada • Biocides: membunuh bakteri yang merusak
produksi hidrokarbon non konvensional seperti gelling agent.
pada lapangan Barnett. • Breaker: menurunkan viskositas dari fluida
fracturing, setelah proses fracturing, untuk
Pertimbangan meningkatkan flowback.
• Aditif Fluid-Loss: menurunkan leakoff dari
Terdapat beberapa pertimbangan yang fluida fracturing ke dalam batuan.
dalam mendesain proses hydraulic fracturing • Anti-Korosi: melindungi senyawa logam
pada sumur tertentu. Contohnya adalah dalam sumur
karakteristik formasi, seperti permeabilitas, • Friction Reducer: mengurangi friksi agar
porositas, tekanan reservoir, kekerasan batuan, tekanan dan laju alir dapat ditingkatkan.
sensitivitas air, kelarutan asam. Semua itu adalah
faktor desain yang penting. Faktor lainnya adalah Aspek Lingkungan
volume, viskositas fluida, laju injeksi dan ukuran
dan tipe proppant. Terdapat beberapa masalah lingkungan
Dalam beberapa tahun terakhir, sekitar yang diakibatkan oleh proses hydraulic fracturing.
70-80% dari proses hydraulic fracturing Beberapa masalah yang mungkin terjadi:
menggunakan propping agent yang merupakan • Limbah CO2 yang dihasilkan akibat
fluida water-based pembawa proppant. Terdapat pembakaran hidrokarbon, yaitu metana yang
beberapa kelebihan dalam mengunakan fluida merupakan komponen utama dari gas bumi
water-based. Kelebihan tersebut berhubungan mengakibatkan efek rumah kaca. Seperti kita
dengan keamanan dan dengan ketersediaan ketahui bersama bahwa gas CO2 merupakan
bahan kimia, mengurangi tekanan friksi pipa penyebab utama peningkatan temperatur
ketika injeksi, mengontrol fluid loss pada formasi. iklim dunia. Beberapa well head mempunyai
Tetapi salah satu kerugian dari fluida water-based kebocoran metana sebesar 9% dari total output.
adalah efek potensial pada formasi yaitu swelling • Pengaruh terhadap bentang alam akibat
dan migrasi mineral clay. diperlukannya area yang cukup luas untuk
. pembentukan sumur-sumur, drilling pads, dan
Proses Kerja infrastruktur penunjang proses eksploitasi.
Kebutuhan akan area ini akan menganggu
Pada umumnya, proses hydraulic habitat liar dan lingkungan sekitar.
fracturing mempunyai tiga fase. Pertama, • Jumlah air yang diperlukan untuk operasi
memompa fluida dengan campuran bahan hydrofracturing sangatlah besar. Pada daerah
kimia agar terbentuknya rekahan baru. Kedua, tertentu, penggunaan air yang besar dapat
memompa fluida dengan proppant agar rekahan mengakibatkan rusaknya ekosistem air dan
yang baru terbentuk dapat terganjal sehingga tidak kurangnya ketersedian air untuk penggunaan
langsung tertutup kembali. Ketiga, memompa aktivitas lainnya. Jumlah air yang digunakan
keluar fluida kimia dan proppant yang tertinggal di sampai dengan 7 juta galon untuk setiap sumur.
sumur. Teknik ini kadang menggunakan beberapa • Fluda flowback yang dihasilkan dari operasi
kombinasi dari fase pertama dan kedua dari ketiga hydrofracturing, mengandung material
fase dalam bentuk mutiple atau coba-dan-ulangi. berbahaya bagi kehidupan bila tidak dilakukan
proses treatment secara baik dan benar.
Aspek Kimia Hydraulic Fracturing
Penentuan IGIP dan RF Shale Gas
Berikut ini adalah bahan kimia yang
dipakai dalam proses hydraulic fracturing: Berikut ini persamaan untuk menentukan
• Proppant: partikel, seperti pasir, berfungsi initial gas in place (IGIP) dan recovery factor
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah
Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan) 89

(RF) dari shale gas: Simulasi Reservoir Shale Gas

Sorbed Gas In Place Beberapa pilihan metode telah dievaluasi


_
untuk menentukan pendekatan desain grid dan
Gs = 1359,7 A h ρ Gsc .......................................... (1) model porositas mana yang mendapatkan hasil
terbaik. Cara terbaik untuk membuat model
Free Gas In Place Volume yang akurat dan efisien adalah dengan: (1)
menggunakan metode dual permeability untuk
43560 A h Øɛ Sg merepresentasikan semua jaringan rekahan
_____________ ....................................... (2) pada daerah terstimulasi dan tidak, dan (2)
Gf =
Bg
secara lokal menghaluskan grid pada daerah
Gas Formation Volume Factor : terstimulasi dengan menggunakan desain grid
secara logaritma. Pendekatan ini adalah metode
Bg= [ Psc
_____________
Zsc (Tsc + 460)
][
z (T + 460)
__________
P
]
....... (3) DK-LS-LGR. Metode ini digunakan untuk
memodelkan reservoir shale gas yang dilakukan
Initial Shale Gas In Place (IGIP): proses hydraulic fracturing.

IGIP = Gf + Gs .................................................... (4)

Sorbed Gas Recovery Factor


_
GsL P
fsg = 1 - __________ ......................................... (5)
Gci (PL + P)
Free Gas Recovery Factor
zi P
ffg = 1 - ______ .................................................. (6)
Pi z
Cadangan

Cadangan = fsg x Gs + ffg x Gf ......................... (7) Gambar 5. Periode aliran transien dan pseudo steady state (PSS)

Gambar 6. Reference Grid dan Simplified Grid.


JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
90

Dari Gambar 6, dapat dilihat bahwa skin. Istilah aliran non-Darcy diadaptasi oleh
simplified grid merepresentasikan jaringan industri migas untuk mendeskripsikan tambahan
rekahan pada daerah yang distimulasi oleh proses penurunan tekanan yang diakibatkan aliran
hydraulic fracturing pada sumur shale gas. turbulen. Berikut ini adalah persamaan untuk
Model ini telah divalidasi sebagai mencari D factor:
pendekatan dual permeability untuk memodelkan.
Kelebihan dari pendekatan tersebut adalah: β = 1,88 (10-10) (k)-1,47 (Ø)-0,53 ...................... (9)
• Sifat dual permeability dapat diperhitungkan,
baik di dalam maupun di luar daerah
β T γg
[
F = 3,161 x 10-12 __________
μgw h2 rw
] .................... (10)
terstimulasi (hal ini sangat penting pada
beberapa skenario shale gas di mana
permeabilitas rekahan cukup signifikan). Parameter akhir yang dihitung adalah faktor D,
• Variasi dalam intensitas rekahan dapat dengan persamaan sebagai berikut:
diakomodasi tanpa diperlukannya proses Fkh
_______ ...................................................... (11)
variasi ukuran grid block. D=
1422 T
Pressure Drawdown
Kompresibilitas
Terdapat berbagai metode untuk dalam
menentukan Initial Gas In Place (IGIP) dari Kompresibilitas merupakan salah satu
suatu reservoir. Salah satu caranya adalah dengan sifat petrofisika dari batuan. Kompresibilitas
menggunakan metode pengujian formasi, yaitu adalah perubahan volume diakibatkan oleh
tes Pressure Drawdown ketika periode Pseudo perubahan tekanan. Dalam sebuah reservoir,
Steady State (PSS). Periode ini terjadi ketika umumnya terdapat tiga jenis fluida, yaitu minyak,
melewati periode transien dan transien lanjut. air, gas. Setiap fluida tersebut termasuk batuan
Kondisi PSS terjadi ketika nilai dP/dT = konstan. reservoir mempunyai nilai kompresibilitas
Gambar 5. menunjukkan periode PSS. Berikut masing-masing. Persamaan untuk mencari
ini persamaan yang digunakan: kompresibilitas total dari reservoir tersebut
QB adalah
____ ................................................. (8)
Vp = 0,0418
β Ct
Ct = Co So + Cg Sg + Cw (1 - So - Sg ) + Cr .. (12)
Nilai 0,0418 merupakan konstanta yang
digunakan pada reservoir minyak. Nilai konstanta
ini bergantung dari jenis fluida reservoir. Koesfisien Kompresibilitas Isotermal
Selain menggunakan analisis ketika
periode PSS, kita juga dapat melakukan proses Koefisien kompresibilitas isotermal
analisis ketika periode transien lanjut berlangsung. gas atau disebut sebagai kompresibilitas gas
Bila hasil keduanya tidak sama, maka nilai yang didefinisikan sebagai:
didapat ketika periode PSS lebih representatif.
Cg= -
__
V
ǝV
1 ____
ǝP T
( )
............................................. (13)
Faktor Aliran Turbulen

Semua persamaan matematik yang Untuk gas ideal,


digunakan selama ini didasarkan pada asumsi 1
bahwa kondisi aliran laminar terjadi ketika proses Cg= -
P
_____
nRT
( -
nRT
_____
P2
) =
__
P
..................... (14)
aliran terjadi. Ketika aliran radial, kecepatan
aliran meningkat ketika mencapai lubang sumur.
Peningkatan kecepatan ini dapat menyebabkan Untuk gas nyata,
aliran turbulen di sekitar lubang sumur dan 1 ____
menyebabkan tambahan penurunan tekanan, Cg= -
1 __
__
P Z
ǝZ
ǝP
( ) .......................................... (15)
terutama pada fasa gas, diakibatkan oleh efek
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah
Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan) 91

LINEST permeabilitas rekahan, porositas matriks dan


porositas rekahan. Persebaran sifat petrofisika
Persamaan yang berasal dari program tersebut dilakukan dengan menggunakan software
Microsoft Excel ini mempunyai fungsi untuk Petrel versi tahun 2008 dengan menggunakan
menghitung data statistik dari sebuah garis
dengan menggunakan metode least square.
Metode ini menghitung garis lurus linear yang
paling merepresentasikan data yang ada, sehingga
didapatkan persamaan multilinear. Bentuk dasar
dari persamaan yang dihasilkan program ini adalah:

y = m1x1 + m2x2 + m3x3 + ... + b ............... (16)

Sedangkan bentuk syntax yang diinput dalam


program adalah sebagai berikut:

LINEST (y diketahui, x diketahui, konstanta, status)

Gambar 7. Model simulasi reservoir pada program CMG


III. MODEL RESERVOIR (tampak atas).

Penjelasan Umum Model

Analisis hydraulic fracturing dilakukan


dengan menggunakan software CMG versi tahun
2008 dalam membuat model reservoir. Model yang
digunakan merupakan model simplified grid dan
mempunyai luas permukaan reservoir sebesar 4000
x 3400 ft. Model ini dibagi menjadi dimensi grid
cell sebanyak 99 x 17 x 1. Persebaran besar dari
grid cell yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Dimensi grid cell.

Gambar 8. Spesifikasi bentuk sumur (tampak samping).

Letak dari hasil proses hydraulic


fracturing terletak pada grid cell yang berukuran
1 ft. Pada bagian ini akan dimanipulasi parameter
permeabilitas rekahan untuk dimensi I, J dan K
menjadi sebesar 2000 md. Pada Gambar 7. dapat
dilihat tampilan dari model reservoir tersebut
dari bagian atas.

Sifat Petrofisika

Model reservoir ini bersifat heterogen


isotropik. Sifat petrofisika yang dimodelkan Gambar 9. Spesifikasi hydraulic fracturing dengan HFS
secara heterogen berupa permeabilitas matriks, 1500 ft.
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
92

digunakan untuk menentukan persebaran porositas


matriks dan fracture dengan permeabilitas matriks
dan fracture adalah sebagai berikut:

kmatriks = Ø ....................................... (17)


_________
matriks
300
krekahan = Ørekahan .......................................... (18)

Gambar 13 sampai 16 menampilkan


persebaran sifat petrofisika pada software CMG
setelah dilakukan proses pendistribusian normal.

Gambar 10. Spesifikasi hydraulic fracturing dengan HFS


750 ft.

Gambar 13. Persebaran porositas matriks.

Gambar 11. Spesifikasi hydraulic fracturing dengan HFS


375 ft.

Gambar 14. Persebaran permeabilitas matriks dimensi I, J & K.

Gambar 12. Spesifikasi hydraulic fracturing dengan HFS


187,5 ft.

sistem pendistribusian normal. Setelah model


heterogen dibuat pada software PETREL,
dilakukan proses ekspor ke dalam model yang
terdapat pada software CMG. Persamaan yang Gambar 15. Persebaran porositas rekahan.
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah
Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan) 93

aliran non-Darcy. Nilai faktor D dapat dihitung


dengan menggunakan Persamaan 9 sampai 11.
Berikut ini nilai dari faktor D yang digunakan:

Sensitivitas

Dalam proses pemodelan dengan


menggunakan software CMG ini dilakukan uji
Gambar 16. Persebaran permeabilitas rekahan dimensi I, J & K.
sensitivitas terhadap dua jenis parameter, yaitu
Input Data panjang setengah rekahan (Xf) dan hydraulic
fracture spacing. Dalam studi kasus ini akan
Proses hydraulic fracturing dilakukan di dilakukan proses kombinasi antara kedua
lapangan shale gas X yang terletak di Amerika. sensitivitas tersebut.
Input data untuk studi ini berada di Tabel 2 yang
diperoleh dari studi literatur. Hydraulic Fracture Spacing
Tabel 2. Input data untuk software.
Terdapat empat jenis kasus yang
digunakan dalam pemodelan dengan
menggunakan parameter ini. Jarak hydraulic
fracture spacing yang digunakan adalah sebagai
berikut:
Tabel 3. Hydraulic Fracture Spacing.

Spesifikasi Sumur Panjang Setengah Rekahan (Xf)


Sumur yang digunakan merupakan sumur Untuk parameter yang satu ini, terdapat
deviasi dengan sumur vertikal terlebih dahulu 9 kasus yang digunakan dalam pemodelan ini.
dari permukaan sampai kedalaman 150 ft yang Panjang setengah rekahan yang digunakan adalah
merupakan titik tengah dari net pay reservoir sebagai berikut:
tersebut, dilanjutkan dengan sumur horizontal
sepanjang 1500 ft. Gambar 8 menunjukkan Tabel 4. Panjang setengah rekahan (Xf)
spesifikasi sumur yang lebih detil.

Perforasi

Letak perforasi dari sumur yang


digunakan adalah dari (86,9,1) sampai dengan
(14,9,1) yang merupakan panjang dari ujung ke
ujung sumur horizontal yang digunakan. Sebagai
data input di bagian perforasi, dimasukkan pula
nilai faktor D yang merepresentasikan pengaruh
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
94

Kedua parameter tersebut selanjutnya Tabel 6. Produksi Kumulatif.


akan dikombinasikan satu dengan yang lainnya
sehingga menjadi sejumlah 36 skenario (9 x 4).

IV. STUDI SENSITIVITAS I

Studi sensitivitas pertama ini mempunyai


tujuan untuk melihat pengaruh dari kedua
parameter, yaitu panjang setengah rekahan (Xf)
dan hydraulic fracture spacing terhadap aspek
produksi dan reservoir dari model ini yang
direpresentasikan dalam parameter recovery
factor dan plateu time.

Umur Produksi

Model reservoir shale gas ini diproduksi


selama 50 tahun, yaitu dari tanggal 1 Januari Tabel 7. Recovery Factor.
1901 sampai dengan tanggal 1 Januari 1951.
Umur produksi tersebut ditetapkan berdasarkan
umur lapangan shale gas pada umumnya yang
cukup lama (lebih dari 30 tahun).

Constraint Produksi

Terdapat 2 jenis constraint yang


digunakan dalam proses simulasi ini adalah:
Tabel 5. Daftar Constraint Produksi.

Tabel 8. Plateu Time.


Constraint yang pertama, yaitu Qprod
ditentukan dengan cara mencari nilai terbesar
dari laju alir rata-rata dari semua skenario
yang digunakan dengan menggunakan hanya
constraint tekanan bawah sumur sebesar 600
psia. Laju alir rata-rata terbesar yang didapat
sebesar 1,25 MMSCFD. Selanjutnya dilakukan
proses penambahan besar laju alir menjadi
1,3 MMSCFD. Hal ini bertujuan agar kita
dapat melihat lama plateu time untuk setiap
skenarionya. Constraint kedua merupakan
sebagai pembatas.
Dalam studi ini, parameter yang
ditinjau dari skenario-skenario tersebut adalah
produksi kumulatif, recovery factor (RF),
plateu time, dan laju alir rata - rata. Berikut ini
yang didapatkan:
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah
Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan) 95

Tabel 9. Laju Alir Rata - Rata.

Gambar 20. Plot antara Recovery Factor dan Xf dengan


Hydraulic Fracture Spacing sebesar 1500 ft.

Pada Gambar 21 dapat dilihat hubungan


antara laju alir dengan waktu untuk setiap skenario
yang dilakukan. Sedangkan pada Gambar 24
sampai 31 terdapat plot setiap skenario secara
individu. Skenario yang mempunyai plateu time
paling panjang adalah skenario dengan kombinasi
panjang setengah rekahan terbesar dan hydraulic
fracture spacing terkecil, yaitu dengan Xf = 1700
ft dan HFS = 187.5 ft.

Gambar 17. Plot antara Recovery Factor dan Xf dengan


Hydraulic Fracture Spacing sebesar 187,5 ft.

Gambar 21. Plot antara laju alir dengan waktu.

Gambar 18. Plot antara Recovery Factor dan Xf dengan


Hydraulic Fracture Spacing sebesar 375 ft.

Gambar 19. Plot antara Recovery Factor dan Xf dengan


Hydraulic Fracture Spacing sebesar 750 ft. Gambar 22. Plot antara produksi kumulatif dengan waktu.
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
96

Gambar 23. Plot antara Recovery Factor, Xf dan Hydraulic


Fracture Spacing.
Gambar 26. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir,
tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas
I (HFS = 750 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft, dan 700 ft ).

Gambar 24. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir,


tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas
I (HFS = 1500 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft, dan 700 ft ).

Gambar 27. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju


alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi
sensitivitas I (HFS = 750 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300
ft, 1500 ft, dan 1700 ft ).

Gambar 25. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju


alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi Gambar 28. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir,
sensitivitas I (HFS = 1500 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300 tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas
ft, 1500 ft, dan 1700 ft ). I (HFS = 375 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft, dan 700 ft ).
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah
Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan) 97

Gambar 31. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju


alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi
sensitivitas I (HFS = 187,5 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300
ft, 1500 ft, dan 1700 ft ).

Gambar 29. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju


alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi
sensitivitas I (HFS = 375 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300
ft, 1500 ft, dan 1700 ft ).

Gambar 32. Plot antara tekanan bawah sumur (Pwf) dengan


waktu pada studi kasus II.

Gambar 30. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir,


tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas
I (HFS = 187,5 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft, dan 700 ft ).

Gambar 33. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju


alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi
sensitivitas II (HFS = 1500 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft,
dan 700 ft ).
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
98

Gambar 36. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju


alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi
sensitivitas II (HFS = 750 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300
ft, 1500 ft, dan 1700 ft ).

Gambar 34. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju


alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi
sensitivitas II (HFS = 1500 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300
ft, 1500 ft, dan 1700 ft ).

Gambar 37. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju


alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi
sensitivitas II (HFS = 375 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft,
dan 700 ft ).

Gambar 35. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju


alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi
sensitivitas II (HFS = 750 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft,
dan 700 ft ).

Gambar 38. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju


alir, tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi
sensitivitas II (HFS = 375 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300
ft, 1500 ft, dan 1700 ft ).
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah
Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan) 99

PT = -0,01479 HFS + 0,013856 Xf + 9,1529 .... (20)

dengan R sebesar 0,767

V. STUDI SENSITIVITAS II
Gambar 39. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir,
Studi sensitivitas kedua ini mempunyai
tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas
tujuan untuk menganalisis hubungan antara
II (HFS = 187,5 ft dan Xf = 100 ft, 300 ft, 500 ft, dan 700 ft ).
kedua parameter tersebut, yaitu panjang setengah
rekahan (Xf) dan hydraulic fracture spacing
terhadap penentuan Initial Gas In Place (IGIP)
dari model reservoir yang dibuat. Persaman dasar
yang akan kita gunakan adalah sebagai berikut:
C Q
______
IGIP = ................................................ (21)
m Ct
Persamaan tersebut dapat dirubah menjadi:
IGIP Ct m
_________
C= ................................................ (22)
Q
Sebagai pertimbangan, besar IGIP yang
dihasilkan oleh software CMG adalah sebesar
5,997 x 1010 SCF.

Umur Produksi

Model reservoir shale gas ini diproduksi


selama 150 tahun, yaitu dari tanggal 1 Januari
Gambar 40. Variasi Plot antara produksi kumulatif, laju alir, 1901 sampai dengan tanggal 1 Januari 2051.
tekanan bawah sumur dengan waktu untuk studi sensitivitas Umur produksi tersebut ditetapkan berdasarkan
II (HFS = 187.5 ft dan Xf = 900 ft, 1100 ft, 1300 ft, 1500 ft, umur lapangan shale gas pada umumnya yang
dan 1700 ft ). cukup lama (lebih dari 30 tahun). Tujuan lainnya
adalah agar fasa pseudo-steady state dari produksi
Bila kita tinjau pada Tabel 7, skenario setiap kasus dapat terlihat dengan baik dan jelas
dengan kombinasi panjang setengah rekahan sehingga dapat mengurangi kesalahan paralaks
terbesar dan hydraulic fracture spacing terkecil, dalam menarik garis linear.
yaitu dengan Xf = 1700 ft dan HFS = 187,5 ft
memperoleh recovery factor terbesar, yaitu 73,4%. Constraint Produksi
Dengan menggunakan program
Excel, yaitu LINEST, didapatkan persamaan Terdapat 2 jenis constraint yang digunakan
untuk menentukan recovery factor dengan dalam proses simulasi ini adalah:
menggunakan kedua parameter tersebut, yaitu
Tabel 10. Daftar Constraint Produksi.
panjang setengah rekahan (Xf ) dan jarak hydraulic
fracture spacing sebagai variabel dalam korelasi
tersebut. Persamaan yang diperoleh adalah
sebagai berikut:

RF = -0,0116 HFS + 0,01134 Xf + 16,37 ......... (19) Constraint yang pertama, yaitu Qprod,
ditentukan sebesar 10.000 SCFD dengan tujuan agar
dengan R sebesar 0,918 plateu time dari semua skenario dapat berlangsung
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
100

lebih dari waktu produksi, yaitu 150 tahun. Karena nilai kemiringan yang dihasilkan
Constraint kedua sebesar 14,7 psia bertujuan untuk mempunyai nilai negatif, maka kita mengambil
mengantisipasi bahwa nilai Pwf tidak mungkin nilai absolut dari kemiringan tersebut. Berikut
bernilai kurang dari Patm = 1 atm = 14,7 psia. ini adalah kemiringan dari setiap skenario yang
Proses pertama yang dilakukan adalah didapatkan:
penentuan nilai kompresibilitas total dari
Tabel 12. Kemiringan (slope).
setiap skenario. Persamaan untuk menentukan
kompresibilitas gas yang dipakai adalah Persamaan
15. Setelah didapat nilai kompresibilitas gas untuk
setiap skenario, maka selanjutnya akan ditentukan
kompresibilitas total. Dalam model reservoir ini,
hanya terdapat satu jenis fluida saja, yaitu gas (Sg
= 1). Hal ini disebabkan karena model tersebut
belum mencapai water gas contact (WGC). Oleh
karena itu, Persamaan 12 akan berubah menjadi:

Ct = Cg + Cr ........................................................ (23)

Nilai kompresibilitas batuan yang dipakai


sebesar 9,9974 x 10-7 1/psi. Berikut ini hasil dari
kompresibilitas total untuk setiap skenario:
Tabel 11. Kompresibilitas Total.
Setelah mendapatkan parameter
kompresibilitas total dan kemiringan dari setiap
skenario, maka langkah selanjutnya adalah mencari
nilai konstanta untuk setiap skenario dengan
menggunakan persamaan. Berikut ini adalah
konstanta dari setiap skenario yang didapatkan:
Tabel 13. Konstanta.

Proses kedua yaitu mencari nilai


kemiringan (slope) dari setiap skenario. Prinsip
yang dilakukan untuk mencari kemiringan adalah
sebagai berikut:

Misal terdapat dua titik koordinat:


A : (x1, y1)
B : (x2, y2) Seperti halnya pada studi sensitivitas
pertama, digunakan program Excel, yaitu LINEST
maka kemiringan dari kedua titik tersebut adalah: untuk mencari persamaan konstanta. Persamaan
y2 - y1 yang didapat adalah sebagai berikut:
______ ........................................................ (24)
m=
x2 - x1
C = 3,7 x 10-4 Xf + 5,62 x 10-6 HFS + 2,035 ..... (25)
Sentivitas Skenario Hydraulic Fracturing pada Model Simulasi Shale Gas: Jarak Antar Rekahan dan Panjang Setengah
Rekahan (Rayner Susanto, Doddy Abdassah dan Dedy Irawan) 101

dengan nilai R sebesar 0,9145 VIII. DAFTAR SIMBOL



Persamaan 25 di atas kemudian dimasukkan A = luas daerah (ft2)
ke dalam Persamaan 21, sehingga menjadi: Bg = formation volume factor gas (cuft/scf)
C = konstanta (dimensionless)
IGIP = (3,7 x 10-4 Xf + 5,62 x 10-6 HFS + 2,035) Ct = kompresibilitas total (1/psi)
Q Co = kompresibilitas minyak (1/psi)
( ____ ) ..................................................... (26) Cw = kompresibilitas air (1/psi)
m Ct Cr = kompresibilitas batuan (1/psi)
F = koefisien non-Darcy (psi2/cp/(MSCF/
hari)2)
VI. KESIMPULAN fsg = fractional sorbed gas recovery (fraksi)
ffg = fractional free gas recovery (fraksi)
Kesimpulan dari hasil analisis studi ini: Gci = initial gas content of storage capacity
(scf/ton)
1. Semakin besar parameter panjang setengah Gf = volume gas bebas (scf)
lengan, maka semakin besar nilai recovery Gs = volume sorbed gas in place (scf)
factor dan plateu time yang didapatkan. Gsc = adsorbed gas storage capacity (scf/ton)
2. Semakin kecil parameter hydraulic fracture GsL = Langmuir storage capacity (scf/ton)
spacing, maka semakin besar recovery factor h = ketebalan (ft)
dan plateu time yang didapatkan. HFS = hydraulic fracturing spacing (ft)
3. Persamaan penentuan recovery factor dan IGIP = initial gas in place (ft3)
initial gas in place (IGIP) yang diperoleh k = permeabilitas (md)
dari program excel, yaitu LINEST yang kmatriks = permeabilitas matriks (md)
ditentukan cukup akurat. Nilai keakuratan krekahan = permeabilitas rekahan (md)
dari persamaan tersebut adalah sebesar m = kemiringan (psi/hari)
91,79%, dan 91,45%, dengan tingkat error Pi = tekanan awal (psia)
sebesar 8,21%, dan 8,55%. PL = tekanan Langmuir (psia)
4. Persamaan penentuan plateu time yang Psc = tekanan pada kondisi standar (psia)
diperoleh dari program excel, yaitu LINEST PT = Plateu Time (hari)
yang ditentukan kurang akurat. Nilai RF = Recovery Factor (%)
keakuratan dari persamaan tersebut adalah Sg = saturasi gas (fraksi)
sebesar 76,76%, dengan tingkat error sebesar So = saturasi minyak (fraksi)
23,24% Sw = saturasi air (fraksi)
T = temperatur (oF)
VII. SARAN Tsc = temperatur pada kondisi standar (oF)
Qg = laju alir gas (ft3/hari)
Beberapa hal yang dapat dikembangkan x = variabel pertama
lebih lanjut dalam studi ini antara lain: Xf = panjang setengah rekahan (ft)
y = variabel kedua
1. Menambahkan data persebaran porositas z = z factor pada P (dimensionless)
dan permeabilitas aktual dari lapangan shale zi = z factor awal (dimensionless)
gas. zsc = z factor pada kondisi standar
2. Menambahkan data nyata spesifikasi sumur (dimensionless)
yang terdapat di lapangan shale gas. μgw = viskositas gas (cp)
3. Memodifikasi persamaan untuk menentukan γg = specific gravity gas
recovery factor dengan menambah parameter β = parameter turbulen
lainnya sebagai variabel. Ø
_ɛ = porositas efektif (fraksi)
4. Menambahkan aspek perencaaan pengembangan ρ = densitas rata-rata (gr/cm3)
lapangan yang lebih spesifik dan aspek
keekonomian.
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 85-102
102

IX. REFERENSI Production Performance Using an Integrated


Approach” paper SPE 96917 presented at the
Cipolla, C.L.:”Reservoir Modeling and Production 2005 SPE Annual Technical Conference and
Evaluation in Shale-Gas Reservoirs”, paper IPTC Exhibition, Dallas, Texas, October 9-12, 2005.
13185 presented at the International Petroleum Cipolla, C.L.:”Modeling Well Performance in Shale-
Technology Conference, Doha, Qatar, December Gas Reservoirs”, paper SPE 125532 presented at
7-9, 2009. the 2009 SPE/EAGE Reservoir Characterization
Cipolla, C.L.:”Reservoir Modeling in Shale-Gas and Simulation Conference, Abu Dhabi, UAE,
Reservoirs”, paper SPE 125530 presented at October 19-21,2009.
the 2009 SPE Eastern Regional Meeting, West Abdassah, Doddy:”Analisis Transien Tekanan”,Institut
Virginia, USA, September 23-25, 2009. Teknologi Bandung, Bandung, 1997.
Browning, John, et.al.:”Barnett Shale Production Abdassah, Doddy:”Teknik Gas Bumi”, Institut
Outlook”, Bureau of Economic Geology, Teknologi Bandung, Bandung, 1998.
University of Texas, Austin. Siagian, Ucok: ”Diktat Kuliah Fluida Reservoir”,
Frantz Jr., J.H, et.al.:”Evaluating Barnett Shale Institut Teknologi Bandung, Desember, 2002.
Studi Komparasi Injektivitas CO2 Dibawah MMP dan Diatas MMP pada
Lapangan “X”

Comparative Study of Miscible and Immiscible Injection of CO2 for Field “X”

Steven Chandra
stevenchndra@live.com
Institut Teknologi Bandung Teknik Perminyakan ITB, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, Indonesia.

Abstrak

Seiring dengan meningkatnya praktek CO2 - EOR sebagai upaya lanjutan dari Carbon Capture and
Storage (CCS), injeksi karbon dioksida ke formasi merupakan upaya lanjutan dalam meningkatkan produksi
migas. Praktik umum yang saat ini dilakukan di Negara-negara Amerika Utara dan Eropa, injeksi karbon
dioksida dilakukan diatas MMP (Minimum Miscibility Pressure) yaitu tekanan minimum dimana karbon
dioksida akan bercampur dengan fluida reservoir membentuk suatu fluida dengan komposisi baru dari komponen
asal fluida yang viskositasnya lebih rendah dan efisiensi pendesakan lebih tinggi. Metode ini disebut miscible
injection, yaitu injeksi fluida yang akan bercampur, namun metode ini kurang popular dilakukan di Indonesia
dikarenakan kondisi reservoir di Indonesia pada umumnya bertekanan rendah (700 psi, 360 K) jauh dibawah
MMP karbon dioksida yaitu di kisaran 1500 -2000 psi. Metode yang umum di Indonesia adalah immiscible
injection, yaitu karbon dioksida diinjeksikan sebagai pendorong fluida reservoir tanpa harus bercampur secara
kimiawi. Penelitian dalam karya tulis ini menggunakan sampel core sintetis yang merupakan representasi dari
Lapangan “X” dimana lapangan ini bisa merepresentasikan kondisi reservoir di Indonesia pada umumnya,
dengan menginjeksikan karbondioksida dibawah MMP dan di atas MMP. Dari penelitian yang telah dilakukan,
injeksi tidak tercampur memberikan hasil yang belum seoptimal injeksi tercampur tetapi cocok dilakukan jika
injeksi tercampur menjadi tidak ekonomis akibat keharusan memakai kompresor yang lebih besar.
Kata Kunci: karbondioksida, MMP, injeksi tak bercampur, injeksi tercampur, EOR.

Abstract

Due to the increasing demand of Carbon capture and Storage in the world, CO2 injection by means of
EOR is regarded as the potential way to increase oil recovery. Normal practices in Northern America and European
countries practice CO2 injection above MMP (Minimum Miscibility Pressure), which means the minimum pressure
where carbon dioxide and reservoir fluid mix readily, forming a composite substance where the viscosity is reduced
and increase in sweep efficiency is observed. This method, called miscible injection, is not popular in Indonesia, due
to the state of reservoir in Indonesia (700 psi and 360 K) which is below. The MMP of CO2, approximately 1500-
2000 psi. The method of immiscible injection is more common in Indonesia, where injected carbon dioxide act as
driving force without having to mix chemically with the reservoir fluid. The research for this paper is conducted by
utilizing core sample from field “G”, which can be assumed to be able to represent current condition of Indonesian
reservoir by injecting CO2 below and above MMP. From the results of laboratory testing, it is known that immiscible
injection performs less remarkable compared to miscible injection, but the former process can be considered should
the economics of the project cannot allow expenses for bigger, more expensive compressor.
Keyword: carbon dioxide, MMP, miscible injection, immiscible injection, EOR.

I. DASAR TEORI yang murah untuk meningkatkan produktivitas


suatu lapangan minyak khususnya lapangan
Penggunaan gas karbondioksida sebagai minyak dengan komponen intermediate (sedang)
gas injeksi untuk meningkatkan perolehan minyak dengan tidak terlalu banyak komponen ringan.
sudah dilakukan dalam jumlah besar di Amerika Beberapa keunggulan metode injeksi gas
Utara pada awal tahun 1980 yang dilakukan di karbondioksida adalah sumber yang relative lebih
Bravo Dome, New Mexico. Penggunaan gas banyak, pengolahan dan transportasi yang mudah,
karbondioksida dianggap sebagai suatu solusi serta pemakaian yang cukup luas di industri.

103
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 103-110
104

Namun injeksi gas karbon dioksida ke reservoir Dalam proses injeksi karbon dioksida ke
produktif juga menimbulkan masalah khususnya reservoir sendiri ada 2 mekanisme umum yang
pada masalah kebocoran gas kepermukaan akan dibahas dan diteliti dalam karya ilmiah
yang bias menimbulkan masalah sosial. Jarrell ini yaitu injeksi tercampur dan tak bercampur.
et al (2002) mempublikasikan bahwa saat ini Mekanisme Injeksi Tercampur pada dasarnya
kurang lebih terdapat 4100 sumur injeksi dengan injeksi karbon dioksida akan mencapai kondisi
penambahan produksi mencapai 313000 BOPD tercampur dengan melewati mekanisme
dengan menggunakan CO2 - EOR. Saat ini dengan multiple-contact miscibility. Pada multiple–
semakin oleh pihak swasta maupun pemerintah, contact miscibility terjadi percampuran daripada
jumlah proyek CO2 - flooding di dunia akan 2 minyak dan karbon dioksida yang tidak
semakin bertambah, sehingga diperlukan insentif- langsung bercampur melainkan melalui beberapa
insentif tertentu untuk mendorong pemanfaatan kontak untuk bercampur sampai minyak yang
sumber karbondioksida dari industri seperti dari kaya akan karbondioksida tidak lagi berpisah.
pembangkit listrik, buangan pabrik, dan lain- Kondisi ini akan tercapai pada saat melewati
lain untuk dimanfaatkan dalam meningkatkan Minimum Miscibility Pressure (MMP). Karbon
perolehan migas baik di Indonesia dioksida awalnya kondensasi pada minyak
dan membuat minyak lebih ringan, sedangkan
Mekanisme Injeksi Karbon dioksida komponen yang lebih ringan pada minyak akan
teruapkan menuju fasa kaya akan karbondioksida
Secara kimiawi, gas karbon dioksida dan akan meningkatkan densitasnya sehingga
adalah suatu zat dengan ikatan kimia kovalen berperilaku seperti minyak dan akan lebih mudah
yang terdiri dari dua atom oksigen dan 1 atom larut dalam minyak. Pada proses bercampurnya
karbon. Secara fisis, gas karbon dioksida karbon dioksida dengan minyak terjadi transfer
merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak massa sampai tercapai pencampuran sempurna.
berasa serta bersifat asam dalam larutan dengan Selama oil displacement terjadi gradasi pada
air. Gas karbon dioksida cenderung mengalami komposisinya dari murni karbon dioksida menuju
perubahan fasa menyublim dan kondisi minyak seperti diilustrasikan pada Gambar 2.
superkritikal dicapai pada 7,38 MPa, 300,1 K.
dalam injeksi karbon dioksida ke reservoir saat
ini umum digunakan karbon dioksida dalam fasa
super kritikal dimana diagram fasa gas karbon
dioksida terlampir pada Gambar 1. Pertimbangan
penggunaan fasa ini adalah kompresibilitas
tinggi sehingga meningkatkan efisiensi aliran,
dan mempermudah dalam proses transportasi.

Gambar 2. Skematik satu dimensi bagaimana karbondioksida


tercampur dengan minyak.

Mekanisme Injeksi Tak Bercampur


ketika tekanan reervoir tidak mencukupi untuk
bercampurnya karbondioksida dan minyak,
terjadilah penyapuan dengan kondisi minyak dan
karbondioksida yang tak bercampur. Mekanisme
utama yang terjadi pada proses ini adalah: (1)
mengembangnya fasa minyak, minyak tersaturasi
dengan kabondioksida; (2) berkurangnya
viskositas pada minyak yang mengembang dan
campuran karbondioksida; (3) ekstraksi pada
Gambar 1. Diagram Fasa gas Karbondioksida. komponen ringan pada hidrokarbon menuju
Studi Komparasi Injektivitas CO2 Dibawah MMP dan Diatas MMP pada Lapangan “X”
(Steven Chandra ) 105

fasa karbon dioksida; (4) pendesakan oleh fluida Pengukuran daripada MMP dengan
dengan tekanan. Kombinasi daripada mekanisme slim-tube test sendiri dapat memerlukan biaya
tersebut memungkinkan minyak yang tersisa pada yang cukup mahal. Maka dari itu terdapat pula
reservoir untuk termobilisasi dan terproduksi. cara memprediksi MMP dengan menggunakan
Namun pada umumnya, effisiensi yang didapat mathematical model dan Korelasi MMP
oleh injeksi karbon dioksida tak bercampur akan Termodinamik. CO2 Thermodynamic MMP.
lebih rendah daripada injeksi tercampur.
Pemakaian Korelasi untuk Prediksi MMP
Penentuan MMP dengan Pengujian
Laboratorium Menurut Holm dan Josendal, karbon
dioksida mencapai kondisi tercampur dengan
Pada studi kali ini, penentuan MMP minyak secara dinamik ketika densitas dari
dilakukan dengan slim-tube test. Pengukuran karbondioksida cukup tinggi untuk menguapkan
CO2 Thermodynamic MMP yang ditunjukan komponen C5 sampai C30 daripada hidrokarbon.
oleh metode ini menghasilkan 1D displacement Mereka menemukan bahwa densitas karbon
dengan tingkat pencampuran yang sangat rendah. dioksida pada termiodinamik MMP berkisar
Slim-tube terbuat dari stainless steel, umumnya antara 0,40 sampai 0,65 g/cm3. Mereka juga
memiliki diameter luar ¼ inchi dan memiliki menemukan bahwa MMP termodinamik
panjang 40 ft. Dengan pasir sebagai media berkaitan dengan berat molekul rata-rata dari C5+
berporinya. Tes dimulai dengan pasir yang telah pada temperatur dan tekanan reservoir.
disaturasi oleh minyak pada temperatur konstan.
Tekanan diatur oleh backpressure regulator
dan displacement pada minyak terukur sebagai
perolehan. Tidak ada air yang digunakan. High-
pressure sight glass menunjukan fasa pada
slim-tube. Dibawah kondisi MMP ditunjukan
gelembung-gelembung pada karbon dioksida.
Ketika karbon dioksida tercampur dengan minyak
maka hanya satu fasa yang mengalir. Akan dibuat
plot pada setiap tekanan dimana perolehan
minyak pada 1,2 Hydrocarbon Pore Volumes
daripada karbon dioksida yang diinjeksikan Gambar 4. Korelasi Termodinamik MMP dikembangkan
seperti Gambar 3 yang ditunjukan dibawah ini. oleh Mungan pada temperatur tertentu dan minyak dengan
berat molekul untuk komponen C5+ yang membutuhkan
tekanan lebih tinggi untuk bercampur.

Gambar 3. hasil simulasi 1D dengan model homogen yang Gambar 5. Korelasi MMP CO2 sebagai fungsi dari
diinjeksikan gas karbondioksida. kehadiran C5 - C30
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 103-110
106

Ketika y2 < 0,2 dan 300K < TR < 410K

Untuk CO2, αi = 18,9 psi/K

Untuk CO2, N2, αi = 10,5[1/8+103 y2 /(TR - Tci )]

Untuk CO2/CH4, αi = 10,5[1/8+102 y2 /(TR - Tci )]

I = C11 + C21M + C31M 2 + C41M 3 + (C12 + C22 )p2

Dimana:

C11 = -11,73 ,
C21 = 6,313x10-2,
Gambar 6. Korelasi Densitas CO2 pada MMP sebagai
C31 = -1,954x10-4,
fungsi dari kehadiran C5 - C30
C41 = 2,502x10-7,
C12 = 0,1362 ,
Selain Holm dan Josendal berbagai C22 = 1,138x10-5, dan
korelasi pun dibuat untuk mencari nilai MMP, C13 = -7,222x10-5,
berikut adalah korelasi-korelasi tersebut: I = 2,22K - 25,84 + 0,66K-2,
K = Watson K Factor,
Korelasi Glaso 9 Pci = injection gas critical pressure, pcia
M = number average molecular weight of oil,
ρmm β = 0,285 ,
Tci = injection gas critical temperature, K,
= 810,0 - 3,404 MC7+ Mi = molecular weight injection gas,
p = API gravity, and
+ [1,700 x 10-9 MC7+ 3,73e (786,8 MC7+ )]T y2 = mole fraction CO2 impurity.
-1,052

Dan, Kandungan yang tidak murni dari karbon


dioksida yang diinjeksikan pun akan memberikan
ρmm dampak pada hasil korelasi, maka dari itu terdapat
beberapa koreksi terhadap hal tersebut seperti
= 2947,9 - 3,404 MC7+ ditunjukan Gambar 7.

II. PERMASALAHAN
+ [1,700 x 10-9 MC7+ 3,73e (786,8 MC7+ -1,052)]T
Injeksi gas karbondioksida secara
- 121,2 fRF
kontinu pada umumnya dilakukan dengan
metode injeksi terlarut yaitu dimana tekanan
Dimana:
karbondioksida dibuat diatas MMP (Minimum
Miscibility Pressure) dari formasi yang
MC7+ = berat molekul dari C7+ pada STO
bersangkutan, dengan MMP ditentukan dari
T = temperature, oF, dan
pengujian sample core batuan formasi. Injeksi
fRF = %mol C2 sampai C4 pada fluida
jenis ini umum dipraktekkan di Amerika Utara,
reservoir
dimana tekanan reservoir yang cukup tinggi
akan sangat membantu karbondioksida mencapai
MMP tanpa perlu kompresi yang memakan biaya
Korelasi Johnson dan Pollin4
tinggi, sehingga keekonomian proyek tidak
terlalu terganggu. Keadaan demikian tidak terjadi
ρmm - ρci = αi (TR - Tci ) + 1 ( βM - Mi )2
di Indonesia, dimana rata-rata tekanan reservoir
Studi Komparasi Injektivitas CO2 Dibawah MMP dan Diatas MMP pada Lapangan “X”
(Steven Chandra ) 107

akan dikorelasikan dengan persamaan Yelling-


Metcalfe untuk verifikasi hasil. Selanjutnya
akan dilakukan injeksi tercampur dan tidak
tercampur untuk sampel core yang ada, dengan
memperhitungkan recovery dan tekanan injeksi
yang berbeda-beda.

IV. HASIL DAN ANALISIS

Dalam penelitian ini digunakan tiga sampel


core sintetis dari bahan kapur untuk menyerupai
core lapangan yang bersifat karbonat. Masing-
masing core akan diperiksa nilai porositasnya
dengan menggunakan metode saturasi, penentuan
permeabilitas dengan menggunakan alat PERL-
200. Pengukuran sifat-sifat fisik fluida akan
dilakukan dengan hydrometer untuk pengukuran
API gravity, pengukuran viskositas menggunakan
Ostwald viscometer dan dan peralatan lain yang
Gambar 7. Koreksi ketidakmurnian karbondioksida karena relevan. Tiga buah sampel core yang tersedia
H2S dan SO2. pada awalnya akan disaturasi dengan paraffin
untuk menentukan porositas dengan pengukuran
di lapangan minyak Indonesia umumnya relatif pada picnometer menunjukkan densitas air suling
rendah (900 psia). Tekanan yang relative rendah sebesar 0,92 gr/cc, dengan hasil pengukuran
ini akan sangat menyulitkan proses injeksi terlarut sebagai berikut.
dikarenakan ongkos kompresi yang tinggi beserta
kebutuhan listrik dan peralatan permukaan Tabel 1. Pengukuran Densitas Paraffin Untuk Saturasi Core
lainnya, sehingga mengurangi keekonomian Pengukuran Dimensi Core Core No Panjang Lebar: 1 2,52
proyek. Untuk itu penulis mengusulkan dalam cm 1,71 cm; 2 2,55 cm 1.75 cm: 3 2,56 cm 1,74 cm.
publikasi ini, metode injeksi tak tercampur
dengan tekanan karbondioksida yang relative
lebih rendah, sehingga karbondioksida tidak
terlarut dalam minyak melainkan hanya berfungsi
sebagai tenaga pendorong saja.

III. METODOLOGI

Penelitian Dalam penelitian ini,


digunakan model reservoir pada Lapangan “X” Tabel 2. Penentuan Dimensi Core Uji.
yang merupakan lapangan yang telah beroperasi
selama kurang lebih 30 tahun, dimana secara
umum lapangan ini memiliki litologi karbonat
dengan perlapisan batu pasir dan fluida yang
dihasilkan berupa minyak ringan. Dikarenakan
kesulitan dalam memperoleh core dan sampel
fluida asli dari sumur “X”, penulis menggunakan
core sintetik dan fluida reservoir berasal dari Sampel core yang diuji memiliki nilai
lapangan lain yang sifat fisiknya mendekati. permeabilitas rata rata 30 mD dan porositas 15%,
Penentuan MMP dilakukan dengan menggunakan dimana cukup representative untuk mewakili
peralatan slim tube, dimana core disaturasi data lapangan yang diperoleh dari report PVT,
dengan minyak sampel dan brine. Hasil MMP ini fluida reservoir sendiri menggunakan minyak
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 103-110
108

yang sifatnya hampir mendekati dengan contoh Untuk tekanan injeksi akan dilakukan
lapangan yaitu, dengan beberapa tahap tekanan sampai ke
tekanan MMP dengan nilai step sebesar 100 psi.
Tabel 3. Penentuan Porositas Core dengan Metode Saturasi. Hasil injeksi ditampilkan dibawah ini:
Tabel 7. Pengujian Pendesakan Core #1.

Tabel 4. Penentuan Permeabilitas Sampel Core.

Tabel 8. Pengujian Pendesakan Core #2.

Tabel 5. Sifat fisik fluida reservoir.

Tabel 9. Pengujian Pendesakan Core #3.


Pada tahapan selanjutnya setiap core
dimasukkan ke dalam peralatan slim tube
apparatus dengan saturasi fluida reservoir untuk
melakukan pengukuran MMP, dengan hasil
sebagai berikut (grafik regresi terlampir):

Tabel 6. Hasil Pengukuran MMP Core.

V. DISKUSI

Dalam penelitian ini digunakan paraffin


Pada tahapan selanjutnya, dilakukan CO2 cair sebagai fluida saturasi pada core, dimana
flooding pada masing-masing core, dimana pada sifat core yang terbuat dari batu kapur (chalk),
penelitian ini digunakan gas karbon dioksida jenis membuat penggunaan air sebagai fluida saturasi
food grade, dikarenakan sangat sulit mencari gas tidak cocok karena air akan melarutkan sebagian
karbondioksida dengan polutan gas sulfide yang kapur sehingga pengukuran parameter fisik
merepresentasikan keadaan di lapangan. Injeksi core menjadi tidak akurat, sedangkan paraffin
karbondioksida ini akan mengukur perolehan tidak akan mengalami reaksi apapun dengan
minyak dari core dengan flooding selama 2 hari, sampel core. Dari hasil pengujian petrofisika
dan fluida minyak yang didesak akan diukur sampel core diperoleh nilai-nilai yang cukup
dalam gram, dan akan ditentukan perolehannya masuk akal, dengan range porositas di sekitar
dengan metode Volumetric. 15 % dan permeabilitas di 30 mD, sekalipun
Studi Komparasi Injektivitas CO2 Dibawah MMP dan Diatas MMP pada Lapangan “X”
(Steven Chandra ) 109

demikian nilai-nilai ini masih belum cukup hasil lebih baik jika dibandingkan dengan
merepresentasikan keadaan di reservoir yang injeksi tidak tercampur (immiscible) dengan
mengandung gerowong dan sebagainya, namun perbedaan rata-rata sebesar 15%.
masih mendekati data yang terekam di reservoir. • Injeksi tidak tercampur layak dipertimbangkan
Pada pengukuran untuk menentukan Minimum untuk lapangan tua yang tidak memungkinkan
Miscibility Pressure, diperoleh hasil yang secara keekonomian untuk memakai
relative homogen sehingga bisa disimpulkan compressor berkapasitas besar.
bahwa core memiliki kualitas dan material yang
cukup merata. Sekalipun demikian hasil ini harus VII. REFERENSI
dikalibrasi kembali dengan kondisi alat yang ada.
Dari pengujian pendesakan untuk masing-masing Sourisseau, D.K.2000. Surface Facilities
core, yang bisa diobservasi dari masing-masing consideration for injecting sour gas and acid gas.
test adalah terjadinya lonjakan yang cukup besar SPE 87265. Society of Petroleum Engineering.
(10-15%) dari pengujian injeksi tak tercampur Calgary,Canada.
dengan injeksi tercampur, dimana hasil ini Nimtz, M et al. 2010. Modelling of the CO2 process
disebabkan oleh perbedaan sifat fisis campuran and transport chain system. Chemie-der-erde-70.
karbondioksida-minyak yang mengurangi Elsevier. Cottbus , Germany.
viskositas, meningkatkan rasio mobilitas, dan Mito, S et al. 2008. Case study of geochemical
mengurangi efek kebasahan karena pada core reactions at the Nagaoka CO2 injection site,
karbonat pada umumnya sifatnya adalah oil-wet. Japan. Elsevier. Kyoto, Japan.
Injeksi yang memberikan hasil yang relative Han, D.H. et al. 2009. CO2 velocity measurement
baik terjadi di dekat tekanan pelarutan (MMP) and temperature model on carbonate reservoir.
yaitu near miscible injection, dengan selisih Geophysics Vol 75 No 3. Houston, Texas.
hanya sekitar 10%. Kondisi ini bisa membantu DNV RP- J202. 2006. Design and operation of CO2
menjelaskan bahwa injeksi hampir tercampur pipeline. Oslo, Norway
bisa meningkatkan perolehan secara signifikan, Jarrel , M.P. et al. 2002. Practical Aspects of CO2
namun masih belum sebaik injeksi tercampur. Flooding. SPE. Houston, Texas.
PT Elnusa Drilling Services. 2012. Final Well Report
VI. KESIMPULAN Sumur “J”.
Gunter, W.D. 2014. Personal correspondences
Dalam percobaan laboratorium dengan Satoh, Tohru. 2014. JAPEX Research Center. Personal
data lapangan X, diperoleh beberapa hal penting: correspondences.
• Sampel core yang dipakai memiliki porositas Enviro Energy.2008. Recommended practices for
rata-rata 15% dan permeabilitas rata-rata 30 CO2 pilot test in China. Alberta, Canada.
md. Podgurny, Dave et al. 2014.Alberta Research Council.
• Tekanan tercampur minimum (MMP) rata- Personal correspondences.
rata dari sampel core sebesar 1391 Psi. Asikin, Ariesty. 2013. Preliminary geologic study on
• Dari hasil percobaan core flooding, injeksi feasibility of CO2 injection in field “G”. Teknik
tercampur (miscible) akan memberikan Geofisika ITB. Bandung, Indonesia.
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 103-110
110
Estimasi Tekanan Tercampur Minimum Melalui Pengukuran Tegangan Antar
Muka Menggunakan Metode Pendant Drop

Minimum Miscibility Pressure Estimation through Interfacial Tension Test Using


Pendant Drop Method

Muslim1 dan A.K. Permadi2


1muslim@eng.uir.ac.id;
2asepkpermadi@tm.itb.ac.id
1Universitas Islam Riau, Jl. Kaharuddin Nasution No. 113, Pekanbaru, Riau;
2Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, Indonesia

Abstrak

Penentuan tekanan tercampur minimum (TTM) merupakan faktor penting dalam perencanaan injeksi
gas CO2 untuk mendapatkan perolehan minyak yang maksimum dari suatu lapangan atau reservoir. Slim
tube test merupakan suatu metode untuk menentukan TTM yang telah diakui oleh industri. Namun demikian,
terdapat beberapa kekurangan dalam menggunakan metode ini antara lain membutuhkan waktu yang lama dan
memerlukan banyak sampel untuk mendapatkan nilai TTM yang diinginkan.
Studi ini bertujuan untuk memperkirakan TTM melalui pengukuran tegangan antar muka atau
interfacial tension (IFT) menggunakan metode pendant drop. Metode ini membutuhkan waktu yang relatif
lebih cepat dan memerlukan sampel yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan metode slim tube test. Studi
ini menggunakan dua sampel minyak yaitu Sampel A dan Sampel B dimana Sampel A mempunyai API gravity
lebih tinggi dari Sampel B.
Hasil studi menunjukkan bahwa TTM yang diperoleh adalah sebesar 1611 psia pada temperatur 60oC
dan sebesar 1777 psia pada temperatur 66oC untuk Sampel A. Sedangkan untuk Sampel B TTM yang dihasilkan
adalah sebesar 1918 psia dan 2072 psia masing-masing pada temperatur yang sama seperti digunakan pada
Sampel A. Besaran API gravity sangat berpengaruh terhadap besaran TTM yang dihasilkan. Semakin tinggi
API gravity maka semakin rendah TTM dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini, API gravity yang tinggi
menyebabkan CO2 lebih mudah terlarut dan tercampur dengan minyak. Perkiraan TTM melalui pengukuran
tegangan antar muka menggunakan metode pendant drop sangat menguntungkan untuk dilakukan karena
dapat menghemat waktu, sampel, dan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan harga TTM.
Kata kunci: Tekanan tercampur minimum, CO2, pendant drop, tegangan antar muka.

Abstract

Minimum miscibility pressure (MMP) determination is an important factor for a successful CO2
injection plan in order to obtain maximum oil recovery from a field or reservoir. The method of slim tube test
has been used and well accepted by industry for determining the MMP. However, the method still has some
limitations in nature; for example it requires much time and samples to obtain the required MMP.
This study is aimed to estimate the MMP through an interfacial tension (IFT) test by using the method
of pendant drop. The method is relatively quicker and requires less samples compared to those required by the
slim tube test. In this study, two samples were used namely Sample A and Sample B where Sample A has higher
API gravity.
The result shows that the MMP for Sample A was obtained as 1611 psia and 1777 psia at the
temperature of 60oC and 66oC, respectively. Meanwhile, for Sample B it was obtained as 1918 psia and
2072 psia for the same temperatures used for Sample A, respectively. The API gravity affects the MMP
significantly. The higher the API gravity the lower the MMP and vice versa. In this case, the API gravity
makes the CO2 to dissolve and be miscible with oil more easily. The estimation of MMP through an interfacial
tension test using pendant drop method provides advantages because it saves time, use less samples, and
requires less cost.
Keywords: Minimum miscibility pressure, CO2, pendant drop, interfacial tension test.

111
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 111-118
112

I. PENDAHULUAN menemukan metode ini untuk menentukan TTM,


peneliti lain telah melakukan beberapa pengujian
Berbagai metode yang dapat digunakan lanjutan dengan menggunakan metode ini seperti
untuk menentukan tekanan tercampur minimum yang dilakukan oleh Nobakth dkk (2008); Jessen
(TTM) telah dikembangkan. Metode yang dan Orr Jr (2008); Ayirala dan Rao (2006); dan
telah sering digunakan antara lain slim tube Hawthorne dkk (2014). Dalam studi ini, sampel
test (Yellig dan Metcalfe, 1980; El-Sharkawy, minyak yang digunakan berasal dari salah
1996), korelasi (Johnson dan Pollin, 1981), satu lapangan minyak yang berada di Formasi
rising bubble apparatus (Christiansen and Air Benakat, Cekungan Sumatera Selatan.
Kim, 1987), vanishing interfacial tension test Penggunaan metode ini dapat mempercepat
(Rao, 1997), dan simulasi numeric (Ahmed, penentuan TTM yang diperlukan. Selain itu,
2000). Namun, berbagai metode tersebut di atas pengukuran TTM ini sangat penting sebagai
memiliki kekurangan masing-masing seperti langkah awal sebelum melakukan injeksi gas
yang telah disampaikan oleh beberapa peneliti CO2 di lapangan yang akan sedang direncanakan.
sebelumnya. Jarrel dkk (2002) dan Johns dkk Lake (1989), menyampaikan bahwa injeksi
(2000) mengungkapkan bahwa metode slim tube CO2 dengan mekanisme tercampur (miscible)
test memerlukan waktu yang lama dan banyak dapat memberikan tambahan perolehan minyak
sampel minyak untuk mendapatkan nilai TTM sebesar 10-20% dan dengan mekanisme injeksi
yang ingin diketahui. TTM yang dihasilkan tidak tercampur (immiscible) dapat memberikan
dari pengukuran rising bubble apparatus sangat perolehan minyak sebesar 5-10% dari cadangan
subjektif dan kasar (Thomas dkk, 1994; Farzad minyak awal atau original oil in-place (OOIP).
dan Amani, 2012). Penentuan TTM menggunakan
simulasi memerlukan input data yang berkualitas II. METODOLOGI
tinggi dan over tuning yang berlebihan akan
memberikan dampak negatif terhadap TTM yang Metode yang digunakan untuk
dihasilkan (Lee and Reitzel, 1982; Firoozabadi menentukan TTM dalam studi ini adalah uji
and Khalid, 1986. laboratorium menggunakan peralatan goniometer
Di antara metode penentuan TTM yang produksi dari Ramehart Ltd. Perkiraan TTM akan
telah diterapkan hingga saat ini dan terbukti diperoleh dari hasil plot antara tegangan antar
telah memberikan hasil yang signifikan serta muka antara CO2 dan minyak pada temperatur
penyimpangan yang tidak terlalu jauh dari metode 60oC dan 66oC. Sampel minyak yang digunakan
slim tube adalah metode vanishing interfacial berasal dari salah satu lapangan minyak yang
tension test (VIT). Metode ini dikembangkan oleh berada di Cekungan Sumatera Selatan. Tabel 1
Rao (1997). Pada prinsipnya, VIT adalah penentuan menunjukan informasi tentang sampel minyak
TTM yang dilakukan dari hasil pengukuran yang digunakan selama pengujian berlangsung.
tegangan antar muka atau interfacial tension Tabel 2 dan 3 memberikan informasi tentang
(IFT) antara CO2 dan minyak menggunakan komposisi sampel minyak yang digunakan.
metode pendant drop atau sessile drop. Metode Gas CO2 yang digunakan mempunyai tingkat
ini sangat efektif untuk menentukan TTM dengan kemurnian sebesar 99,99%. View cell yang
cara melakukan plot IFT terhadap tekanan. Pada digunakan mampu menahan tekanan hingga 3.000
saat tegangan antar muka sama dengan nol psia dan temperatur 300oC. Diameter cell adalah
maka tekanan pada kondisi tersebut diasumsikan 30 cm dan tingginya 60 mm. Panjang jarum yang
sebagai TTM. Salah satu kelebihan metode ini digunakan adalah 50 mm dan diameternya adalah
adalah singkatnya waktu yang diperlukan untuk 0,91 mm. Jarum tersebut ditempatkan di dalam
mendapatkan nilai TTM serta tidak diperlukannya view cell untuk mengalirkan minyak hingga di
jumlah sampel minyak yang banyak selama ujung jarum saat pengukuran tegangan antar
pengujian berlangsung (Ayirala dan Rao, 2006). muka dilakukan. Gambar 1 menunjukkan ilustrasi
Studi ini melakukan kajian tentang peralatan yang digunakan selama eksperimen.
penentuan TTM melalui pengujian tegangan Eksperimen untuk menentukan TTM dilakukan
antar muka antara CO2 dan minyak menggunakan melalui tiga tahap kegiatan yaitu pra-eksperimen,
metode pendant drop. Setelah Rao (1997) eksperimen, dan pasca eksperimen.
Estimasi Tekanan Tercampur Minimum Melalui Pengukuran Tegangan Antar Muka Menggunakan Metode
Pendant Drop (Muslim dan A.K. Permadi) 113

Kegiatan pra-eksperimen meliputi Kegiatan pasca eksperimen meliputi


pembersihan view cell dan tubing line pembersihan tubing line dan view cell, serta oil
menggunakan toluene dan gas nitrogen. Semua chamber menggunakan toluene dan gas nitrogen.
tubing line yang digunakan dalam eksperimen ini Semua prosedur ini harus dilakukan untuk
harus dibersihkan untuk menghindari terjadinya menjaga peralatan tetap bersih dan menghindari
penyumbatan saat minyak dialirkan menuju kerusakan akibat tertinggalnya sisa minyak pada
view cell. View cell tersebut harus dibersihkan peralatan yang digunakan. Langkah terakhir yang
dari sampel minyak yang tersisa atau lengket dilakukan setelah kegiatan eksperimen selesai
pada dinding kaca (window glass). View cell adalah membuat plot tegangan antar muka hasil
harus dipanaskan sesuai temperatur yang proses dari program yang ada di dalam komputer
telah ditentukan yaitu 60oC dan 66oC. Sampel terhadap tekanan pada temperatur yang telah
minyak dituangkan ke dalam oil chamber yang ditentukan. Setelah plot tegangan antar muka
mempunyai kapasitas maksimal 100 ml. CO2-minyak diperoleh, hasil plot tersebut
Kegiatan eksperimen dimulai dengan digunakan untuk memperkirakan TTM dengan
memompakan air menggunakan Isco Pump asumsi TTM sama dengan tekanan pada saat
160D menuju oil chamber. Laju alir pompa tegangan antar muka sama dengan nol.
yang diberikan sebesar 0,1-0,5 cc/menit.
Tekanan pengujian dilakukan mulai dari 700 III. HASIL EKSPERIMEN
psia sampai 2.500 psia. Pengukuran tegangan
antar muka dilakukan pada setiap tekanan Hasil eksperimen memberikan harga
yang diberikan dan temperatur yang konstan. TTM untuk Sampel Minyak A dan B pada
Tekanan yang dihasilkan dari pompa harus temperatur yang ditetapkan sesuai dengan kondisi
lebih besar dari tekanan yang ada di dalam di lapangan yaitu 60oC dan 66oC. Gambar 2, 3,
view cell. Hal ini dilakukan untuk menjaga 4, dan Gambar 5 menunjukan TTM pada masing-
agar minyak dapat mengalir hingga ke ujung masing temperatur. TTM yang diperoleh untuk
jarum di dalam view cell. Tekanan di dalam Sampel Minyak A dengan API gravity 41,38
cell dihasilkan dari gas CO2 yang diinjeksikan dan temperatur 60oC dan 66oC adalah masing-
ke dalamnya menggunakan Isco Pump 260D. masing 1611 dan 1777 psia. Sedangkan untuk
Sebuah valve dan back pressure diletakkan di Sampel Minyak B dengan API gravity 20 TTM
antara oil chamber dan view cell. Back pressure yang dihasilkan pada temperatur yang sama
digunakan untuk mengantisipasi tekanan balik adalah 1918 dan 2072 psia.
dari view cell dan valve digunakan untuk
mengontrol laju alir minyak yang akan dialirkan IV. PEMBAHASAN
hingga ke ujung jarum. Pengukuran tegangan
antar muka dilakukan secara komputerisasi Eksperimen yang dilakukan dalam
menggunakan software DROPimage yang sudah studi ini telah berhasil mengukur tegangan
tersedia dalam paket alat uji dari Ramehart Ltd. antar muka antara CO2 dan minyak. Hasil
Pada saat butiran atau tetesan minyak sudah eksperimen tersebut dapat digunakan untuk
sampai di ujung jarum dan keadaannya sudah memperkirakan TTM untuk sistem CO2-
stabil selama beberapa saat (sekitar 30 sampai minyak dimaksud. Eksperimen yang dilakukan
60 detik), kemudian dilakukan pengambilan menggunakan dua jenis sampel minyak yang
gambar secara otomatis dengan menggunakan masing-masing mempunyai API gravity berbeda.
kamera yang sudah tersedia pada peralatan Sampel Minyak A yang mempunyai API gravity
tersebut. Program yang ada di dalam komputer 41,38 menghasilkan TTM yang lebih kecil
akan menghitung nilai tegangan antar muka dibandingkan dengan TTM yang diperoleh untuk
secara geometris berdasarkan gambar yang Sampel Minyak B yang mempunyai API gravity
diperoleh serta beberapa input data lainnya 20 pada temperatur yang sama. Gambar 2 dan 4
seperti bahan jarum yang digunakan serta ataupun Gambar 3 dan 5 memberikan informasi
densitas minyak yang digunakan. Pengambilan tentang harga TTM yang berbeda untuk sampel
gambar dilakukan sebanyak tiga kali untuk minyak dengan API gravity yang berbeda. Dengan
mendapatkan hasil yang optimal. demikian, dapat disimpulkan bahwa API gravity
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 111-118
114

sangat berpengaruh terhadap TTM. Harga API tersebut tidak dapat digunakan untuk menentukan
gravity yang tinggi pada suatu sampel minyak TTM dari sampel minyak yang digunakan. Plot
menggambarkan jumlah komponen ringan yang tegangan antar muka antara CO2 dan minyak
tinggi yang terkandung di dalam sampel minyak terhadap tekanan yang diperoleh dari eksperimen
tersebut. Keadaan ini menyebabkan gas CO2 lebih ini sesuai dengan pola yang pernah dikemukakan
mudah untuk tercampur dengan sampel minyak. oleh Jessen dan Orr Jr (2008). Mereka
Sebaliknya, harga API gravity suatu sampel menyebutkan bahwa jika tekanan meningkat
minyak memberikan informasi jumlah komponen maka pada suatu harga tekanan tertentu plot
berat yang tinggi yang terkandung di dalam tegangan antar muka terhadap tekanan akan
sampel minyak tersebut. Jumlah komponen berat menyimpang atau mengalami deviasi dari trend
dapat pula dilihat dari berat molekul heptana plus data pada harga tekanan yang lebih rendah.
untuk masing-masing sampel minyak. Semakin Setelah titik data penyimpangan maka penurunan
banyak komponen berat yang terkandung dalam tegangan antar muka selanjutnya menjadi
sampel minyak akan menyebabkan semakin relatif lebih kecil (ditunjukkan oleh perubahan
tinggi tekanan yang diperlukan agar CO2 bisa kemiringan kurva menjadi lebih kecil) walaupun
tercampur di dalam sampel minyak tersebut. tekanan tetap ditingkatkan.
Argumentasi ini bersesuaian dengan apa yang Penurunan tegangan antar muka antara
pernah dikemukakan oleh Mungan (1981). CO2 dan minyak pada saat awal terjadi secara
Mungan menyebutkan bahwa berat molekul drastis dan fenomena ini diakibatkan oleh
minyak dapat mempengaruhi besaran TTM hasil keadaan di mana CO2 terlarut secara perlahan ke
pengukuran di laboratorium. dalam minyak. Ketika tekanan dinaikkan secara
Sesuai dengan keadaan di lapangan, kontinyu maka harga densitas gas CO2 akan
eksperimen dalam studi ini menggunakan mendekati harga densitas minyak. Jika perbedaan
dua harga temperatur yaitu 60oC dan 66oC. densitas antara kedua fluida semakin kecil maka
Temperatur yang tinggi mengakibatkan CO2 tegangan antar muka kedua fluida tersebut akan
lebih sulit untuk terlarut atau tercampur ke dalam semakin kecil pula. Namun demikian, keadaan
sampel minyak. Agar bisa terlarut atau tercampur tercampur (miscible) tidak dapat langsung terjadi
maka diperlukan tekanan, yaitu TTM, yang lebih dalam eksperimen ini. Hal ini disebabkan oleh
besar. Kenaikan temperatur yang mengakibatkan karena masih ada komponen berat yang tertinggal
meningkatnya TTM tersebut dapat dilihat pada di dalam minyak. Hal inilah yang menyebabkan
Gambar 2 dan 3 ataupun Gambar 4 dan 5. Untuk nilai tegangan antar muka hasil eksperimen tidak
Sampel Minyak A, kenaikan temperatur 6oC dapat mencapai nol. Agar diperoleh nilai tegangan
meningkatkan TTM sebesar 166 psia. Sementara antar muka sama dengan nol perlu dilakukan
itu untuk Sample Minyak B kenaikan temperatur teknik ekstrapolasi dari plot yang diperoleh.
6oC meningkatkan TTM sebesar 154 psia. Efek
dari kenaikan temperatur terhadap TTM juga V. KESIMPULAN
telah dilaporkan sebelumnya oleh Yellig dan
Metcalfe (1980). Kesimpulan dari studi ini dapat dijabarkan
Perkiraan TTM melalui pengukuran sebagai berikut:
tegangan antar muka menggunakan metode 1. Perkiraan TTM melalui pengukuran
pendant drop relatif lebih cepat dan sederhana. tegangan antar muka antara CO2 dan minyak
Seperti terlihat pada Gambar 2, 3, 4, dan Gambar menggunakan metode pendant drop telah
5, TTM dapat diperkirakan dari plot antara berhasil dilakukan dalam studi ini.
tegangan antar muka antara CO2 dan minyak 2. Tegangan antar muka antara CO2 dan minyak
terhadap tekanan. Harga TTM dapat ditentukan tidak dapat mencapai harga nol atau kondisi
pada saat IFT sama dengan nol. Penarikan garis tercampur tidak dapat terjadi pada eksperimen
ekstrapolasi harus dilakukan pada saat sebelum dalam studi ini. Namun demikian, perkiraan
terjadinya deviasi data (ditunjukkan oleh garis TTM dapat dilakukan dengan melakukan
tebal) pada gambar-gambar tersebut. Pada daerah ekstrapolasi data. Ekstrapolasi tersebut
di mana telah terjadi deviasi data (ditunjukkan harus dilakukan sebelum terjadi deviasi atau
oleh garis putus-putus) pada gambar-gambar penyimpangan data.
Estimasi Tekanan Tercampur Minimum Melalui Pengukuran Tegangan Antar Muka Menggunakan Metode
Pendant Drop (Muslim dan A.K. Permadi) 115

3. Kenaikan tekanan menyebabkan perbedaan observations of CO2/oil interactions at reservoir


densitas antara CO2 dan minyak menjadi lebih conditions”, Energy Procedia, Vol. 63, pp. 7724-
kecil. Oleh karena itu maka nilai tegangan 7731.
antar muka antara kedua fluida menjadi lebih Jarrell, P.M., Fox, C.E., Stein, M.H., dan Webb,
kecil. S.L., 2002. Practical Aspects of CO2 Flooding.
SPE Monograph Series, Society of Petroleum
4. Densitas heptana plus dan temperatur sangat
Engineers, Richardson, TX.
berpengaruh terhadap nilai TTM yang diukur Jessen, K. dan Orr Jr., F.M., 2008. “On interfacial
pada eksperimen dalam studi ini. Semakin tension measurements to estimate minimum
tinggi densitas heptana plus maka semakin miscibility pressures”, SPE Reservoir Evaluation
tinggi pula nilai TTM yang terukur. Demikian & Engineering Journal, Vol. 11, No. 5, pp. 933-
pula, semakin tinggi temperatur maka 939.
semakin tinggi pula tekanan yang dibutuhkan Johnson, J.P. dan Pollin, J.S., 1981. “Measurement
untuk mencapai keadaan tercampur. and Correlation of CO2 Miscibility Pressures”,
Paper SPE 9790 presented at the SPE Symposium
UCAPAN TERIMA KASIH on EOR, Tulsa, April 5-8.
Johns, R.T., Sah, P. dan Solano, R., 2000. “Effect
of dispersion on local displacement efficiency
Para penulis mengucapkan terima kasih
for multicomponent enriched-gas floods above
dan menyampaikan penghargaan yang tinggi the MME”, Paper SPE-64725-MS presented at
kepada EOR Laboratory, Department of Energy the International Oil and Gas Conference and
and Mineral Resources Engineering, Sejong Exhibition, Beijing, China, 7-10 November.
University, Korea, atas pemakaian peralatan dan http://dx.doi. org/10.2118/64725-MS.
material eksperimen untuk keperluan studi ini. Lee, J.I. dan Reitzel, G.A., 1982. “High pressure,
dry gas miscible flood Brazeau River Nisku oil
REFERENSI pools”, Journal of Petroleum Technology, Vol.
34, No. 11, pp. 2503-2508.
Ahmed, T., 2007. EOS and PVT Analysis. Gulf Metcalfe, R.S., 1980. “Effects of Impurities on
Publishing Co., Houston, Texas. MMP and MME Levels for CO2 and Rich Gas
Ayirala, S.C. dan Rao, D.N., 2006. “Comparative Displacements”, Paper SPE 9230 presented at
evaluation of a new MMP determination the SPE ATCE, Dallas, Sept. 21-24.
technique”, Paper SPE-99606-MS presented Mungan, N., 1981. “Carbon dioxide flooding
at the SPE/DOE Symposium on Improved Oil fundamental,” Journal of Canadian Petroleum
Recovery, Tulsa, OK, 22-26 April. http://dx.doi. Technology, vol. 20, no. 1, pp. 87-92.
org/10.2118/99606-MS. Nobakth, M., Moghadam, S. dan Gu, Y., 2008.
Christiansen, R.L. dan Haines, H.K., 1987. “Rapid “Determination of CO2 minimum miscibility
measurement of minimum miscibility pressure pressure from measured and predicted
with the rising-bubble apparatus”, SPE Reservoir equilibrium interfacial tensions,” Industrial &
Engineering, Vol. 1, No. 4, pp. 523-527. Engineering Chemistry Research, Vol. 47, No.
El Sharkawy, A.M., 1996. “Measuring CO2 MMP: 22, pp. 8918-8925.
Slim tube or Rising Bubble Method?” Energy Rao, D.N., 1997. “A new technique of vanishing
and Fuel, 10, 3. interfacial tension for miscibility determination”,
Farzad, I. dan Amani, M., 2012. “An analysis of Fluid Phase Equilibria, Vol. 139, No. 1-2, pp.
reservoir production strategies in miscible and 311-324.
immiscible gas injection projects”, Advances in Thomas, F.B., Zhou, X.L., Bennion, D.B. dan
Petroleum Exploration and Development, Vol. 3, Bennion, D.W., 1994. “A comparative study of
No. 1, pp. 18-32. RBA, P-X, multicontact and slim tube results”,
Firoozabadi, A. dan Khalid, A., 1986. “Analysis and Journal of Canadian Petroleum Technology, Vol.
correlation of nitrogen and lean-gas miscibility 32, No. 2, pp. 17-26.
pressure”, SPE Reservoir Engineering, Vol. 1, Lake, L.W., 1989. Enhanced Oil Recovery. Prentice
No. 6, pp. 575-582. Hall, NJ.
Hawthorne, S.B., Miller, D.J., Gorecki, C.D., Yellig, W.F. dan Metcalfe, R.S., 1980. “Determination
Sorensen, J.A., Hamling, J., Roen, T.D., Harju, and Prediction of CO2 Minimum Miscibility
J.A. dan Melzer, L.S., 2014. “A rapid method Pressure”, SPE Journal of Petroleum Technology,
for determining CO2/oil MMP and visual 32, 1.
JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 111-118
116

LAMPIRAN

Tabel 1. Sifat fisik sampel minyak dan kondisi reservoir.

Tabel 2. Komposisi Sampel Minyak A.

Sifat heptana plus:


Densitas minyak @ 60/60oF 0,8308
Berat molekul 142,73
Estimasi Tekanan Tercampur Minimum Melalui Pengukuran Tegangan Antar Muka Menggunakan Metode
Pendant Drop (Muslim dan A.K. Permadi) 117

Tabel 3. Komposisi Sampel Minyak B.

Sifat heptana plus:


Densitas minyak @ 60/60oF 0,9397
Berat molekul 206,66

Gambar 1. Peralatan eksperimen untuk penentuan tegangan antar muka CO2-minyak.


JTMGB, Vol. 11 No. 2 Agustus 2016: 111-118
118

Gambar 2. TTM pada temperatur 60oC untuk Sampel Minyak A.

Gambar 3. TTM pada temperatur 66oC untuk Sampel Minyak A.

Gambar 4. TTM pada temperatur 60oC untuk Sampel Minyak B.

Gambar 5. TTM pada temperatur 66oC untuk Sampel Minyak B.


UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada para Mitra Bestari yang telah mengevaluasi, mereview dan
memberikan saran perbaikan tulisan-tulisan yang dimuat di majalah Jurnal Teknologi Minyak dan
Gas Bumi (JTMGB) edisi penerbitan Volume 11 Nomor 2, Agustus 2016.

1. Prof. Dr. Ir. Pudjo Sukarno


2. Prof. Dr. Ir. Septoratno Siregar
3. Dr. Ir. RS Trijana Kartoatmodjo M.Sc.
4. Dr. Ir. Ratnayu Sitaresmi
5. Dr. Ing. Ir. Bonar Tua Halomon Marbun
INDEKS

A K
adaptive neuro fuzzy inference system (ANFIS) karbon dioksida 103, 104, 105, 106, 108
47, 48, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57 koefisien gesek 1, 2, 3, 4, 5
artificial intelegence 47, 48 korelasi 23, 29, 31, 32, 37, 38, 39, 40, 42, 43, 44

B L
Buckling 1, 2, 5 Laju Alir Produksi 17, 18, 20, 21

C M
carbon dioxide 67, 68, 103, 115 Minimum miscibility pressure 37, 44, 103, 104,
CBM 65, 66, 67, 69, 75, 76, 77, 81, 82, 86 106, 109, 111, 115
CO2 27, 33, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, miscible injection 103, 109
67, 68, 88, 103, 104, 105, 106, 108, 109, 111, 112, MMP 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 111, 115
113, 114, 115, 117 model geomekanik 47
computerized model 7, 8 model komputerisasi 7
correlation 21, 23, 37, 44 model Palmer and Mansoori 23, 25, 27, 29

D N
design hydraulic fracturing 47, 76 numerical simulation 37
Drag 1, 2, 3, 4, 5, 6
Drilling with casing 1, 2, 5, 6 O
Optimisasi 7, 9, 12, 13, 15
E Optimization 7, 8, 15, 16, 44
EOR 103, 104, 115
equation of state 37, 40 P
Palmer and Mansoori model 23, 27
F pendant drop 111, 112, 114
Friction factor 1 perekahan hidrolik 7, 8, 9, 11, 12, 14, 15, 65, 66
persamaan keadaan 37, 38, 39, 40, 42, 44
G Production Rate 17
geomechanics models 48 Proppant 65, 66, 67, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 79,
80, 81, 82, 87, 88
H
half fracture length 85 R
hydraulic fracturing 7, 8, 16, 47, 48, 49, 51, 53, rasio perubahan permeabilitas 23, 25, 29, 30, 31, 32
55, 56, 65, 66, 69, 70, 71, 74, 75, 76, 77, 80, 81, ratio of permeability change 23
82, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 101 rekahan vertikal 7, 10
hydraulic fracturing spacing 85, 101
S
I shale gas 85, 86, 87, 88, 89, 90, 93, 94, 99, 101,
immiscible injection 103 102
injection falloff test 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, shear sonic 47, 48, 49, 51, 52, 55, 56
33, 34, 35 simulasi numerik 25, 37, 38, 39, 40, 42, 43
injeksi tak bercampur 103, 104 software 7, 8, 13, 15, 26, 28
injeksi tercampur 103, 104, 105, 107, 109 stress-dependent permeability 23, 24, 25, 26, 27,
interfacial tension test 111, 112 28, 32
T
tegangan antar muka 111, 112, 113, 114, 115, 117
Tekanan tercampur minimum 37, 38, 44, 109,
111, 112
Torque 1, 5, 6
Torsi 1, 2, 4, 5

V
vertical fract 8, 16

W
Water Coning 17, 18, 20, 21
JURNAL TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI
PEDOMAN PENULISAN

ISI DAN KRITERIA UMUM

Naskah makalah ilmiah (selanjutnya disebut ”Naskah”) untuk publikasi di Jurnal Teknologi Minyak
dan Gas Bumi (JTMGB) dapat berupa artikel hasil penelitian atau artikel ulas balik/tinjauan (review) tentang
minyak dan gas bumi, baik sains maupun terapan. Naskah belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang
diajukan pada majalah/jurnal lain.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai kaidah masing-masing bahasa yang
digunakan. Naskah harus selalu dilengkapi dengan Abstrak dalam Bahasa Indonesia dan Abstract dalam Bahasa
Inggris. Naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman penulisan JTMGB akan dikembalikan ke
penulis oleh redaksi untuk diperbaiki.

FORMAT

Umum. Seluruh bagian dari naskah termasuk judul abstrak, judul tabel dan gambar, catatan kaki, dan daftar
acuan diketik satu setengah spasi pada electronic-file dan print-out dalam kertas HVS ukuran A4. Pengetikan
dilakukan dengan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 point.

Setiap halaman diberi nomor secara berurutan termasuk halaman gambar dan tabel. Hasil penelitian atau ulas
balik/tinjauan ditulis minimum 5 halaman dan maksimum sebanyak 15 halaman, di luar gambar dan tabel.
Selanjutnya susunan naskah dibuat sebagai berikut:

Judul. Pada halaman judul tuliskan judul, nama setiap penulis, nama dan alamat institusi masing-masing
penulis, dan catatan kaki, yang berisikan terhadap siapa korespondensi harus ditujukan termasuk nomor
telepon dan faks serta alamat e-mail jika ada.

Abstrak. Abstrak/abstract ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak
berisi ringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah tanpa harus memberikan keterangan terlalu
terperinci dari setiap bab. Abstrak tulisan bahasa Indonesia paling banyak terdiri dari 250 kata, sedangkan
tulisan dengan bahasa Inggris maksimal 200 kata. Kata kunci/keywords ditulis di bawah abstrak/abstract dan
terdiri atas tiga hingga lima kata.

Pendahuluan. Bab ini harus memberikan latar belakang yang mencukupi sehingga pembaca dapat memahami
dan dapat mengevaluasi hasil yang dicapai dari penelitian yang dilaksanakan tanpa harus membaca sendiri
publikasi-publikasi sebelumnya, yang berhubungan dengan topik yang bersangkutan.

Permasalahan. Bab ini menjelaskan permasalahan yang akan dilakukan penelitian ataupun kajian.

Metodologi. Berisi materi yang membahas metodologi yang dipergunakan dalam menyesaikan permasalahan
melalui penelitan atau kajian.

Hasil dan Analisis. Hanya berisi hasil-hasil penelitian baik yang disajikan dengan tulisan, tabel, maupun
gambar. Hindarkan penggunaan grafik secara berlebihan bila dapat disajikan dengan tulisan secara singkat.
Batasi penggunaan foto, sajikan yang benar-benar mewakili hasil penemuan. Beri nomor gambar dan tabel
secara berurutan. Semua gambar dan tabel yang disajikan harus diacu dalam tulisan.

Pembahasan atau Diskusi. Berisi interpretasi dari hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yang
dikaitkan dengan hasil-hasil yang pernah dilaporkan.

Kesimpulan dan Saran. Berisi kesimpulan dan saran dari isi yang dikandung dalam tulisan. Kesimpulan atau
saran tidak boleh diberi penomoran.

Ucapan Terima Kasih. Bila diperlukan dapat digunakan untuk menyebutkan sumber dana penelitian dan
untuk memberikan penghargaan kepada beberapa institusi atau orang yang membantu dalam pelaksanaan
penelitian dan atau penulisan laporan.
JURNAL TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI
PEDOMAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA

Acuan.
Acuan ditulis dan disusun menurut abjad. Beberapa contoh penulisan sumber acuan:

Jurnal
Hurst, W., 1934. Unsteady Flow of Fluids in Oil Reservoirs. Physics (Jan. 1934) 5, 20.
Buku
Abramowitz, M and Stegun, I.A., 1972. Handbook of Mathematical Functions. Dover Publications,
Inc., New York.
Bab dalam Buku
Costa, J.E., 1984. Physical geomorphology of debris flow. Di dalam: Costa, J.E. & Fleischer, P.J.
(eds), Developments and Applications of Geomorphology, Springer-Verlag, Berlin, h.268-317.
Abstrak
Barberi, F., Bigioggero, B., Boriani, A., Cavallini, A., Cioni, R., Eva, C., Gelmini, R., Giorgetti, F.,
Iaccarino, S., Innocenti, F., Marinelli, G., Scotti, A., Slejko, D., Sudradjat, A., dan Villa, A., 1983.
Magmatic evolution and structural meaning of the island of Sumbawa, Indonesia-Tambora volcano,
island of Sumbawa, Indonesia. Abstract 18th IUGG I, Symposium 01, h.48-49.
Peta
Simandjuntak, T.O., Surono, Gafoer, S., dan Amin, T.C., 1991. Geologi Lembar Muarabungo, Sumatera.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Prosiding
Marhaendrajana, T. and Blasingame, T.A., 1997. Rigorous and Semi-Rigorous Approaches for the Evaluation
of Average Reservoir Pressure from Pressure Transient Tests. paper SPE 38725 presented at the SPE
Annual Technical Conference and Exhibition, San Antonio, Oct. 5–8.
Skripsi/Tesis/Disertasi
Marhaendrajana, T., 2000. Modeling and Analysis of Flow Behavior in Single and Multiwell Bound ed
Reservoir. PhD dissertation, Texas A&M University, College Station, TX.
Informasi dari Internet
Cantrell, C., 2006. Sri Lankan’s tsunami drive blossom: Local man’s effort keeps on giving. Http://
www.boston.com/news/local/articles/2006/01/26/sri_lankans_tsunami_drive_blossoms/[26 Jan 2006]
Software
ECLIPSE 100 (software), GeoQuest Reservoir Technologies, Abbingdon, UK, 1997.

Naskah sedapat mungkin dilengkapi dengan gambar/peta/grafik/foto. Pemuatan gambar/peta/grafik/foto selalu


dinyatakan sebagai gambar dan file image yang bersangkutan agar dilampirkan secara terpisah dalam format
image (*.jpg) dengan ukuran minimal A4 dan minimal resolusi 300 dpi, Corel Draw (*,cdr), atau Autocad
(*,dwg). Gambar dan tabel diletakkan di bagian akhir naskah masing-masing pada halaman terpisah. Gambar
dan tabel dari publikasi sebelumnya dapat dicantumkan bila mendapat persetujuan dari penulisnya.

PENGIRIMAN
Penulis diminta mengirimkan satu eksemplar naskah asli beserta dokumennya (file) di dalam compact disk
(CD) yang harus disiapkan dengan program Microsoft Word. Pada CD dituliskan nama penulis dan nama
dokumen. Naskah akan dikembalikan untuk diperbaiki jika persyaratan ini tidak dipenuhi. Naskah agar
dikirimkan kepada:
Redaksi Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi
d.a. Patra Office Tower Lt. 1 Ruang 1C
Jln. Jend. Gatot Subroto Kav. 32-34
Jakarta 12950 – Indonesia
Pengiriman naskah harus disertai dengan surat resmi dari penulis penanggung jawab/korespondensi
(corresponding author) yang harus berisikan dengan jelas nama penulis korespondensi, alamat lengkap untuk
surat-menyurat, nomor telepon dan faks, serta alamat e-mail dan telepon genggam jika memiliki. Penulis
korespondensi bertanggung jawab atas isi naskah dan legalitas pengiriman naskah yang bersangkutan. Naskah
juga sudah harus diketahui dan disetujui oleh salah satu penulis dan atau seluruh anggota penulis dengan
pernyataan secara tertulis.
ISSN 021664101-2
ISSN 0216-6410

9 7 7 0 2 1 6 6 4 1 0 1 4

Anda mungkin juga menyukai