Anda di halaman 1dari 30

MODUL

EKSTRAKURIKULER JURNALISTIK
SMK NEGERI 1 JANAPRIA

PEMERINTAH NUSA TENGGARA BARAT


DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SMK NEGERI 1 JANAPRIA
TH. 2019/2020

1
EKSTRAKULIKULER JURNALISTIK VISI DAM MISI

Visi :
Menjadi Media Bersuara Warga SMK Negeri 1 Janapria Yang Mampu
Berpikir Kritis, Berkarya, Kratif, Inovatif dan Berintegritas
Misi:
1. Menjadikan Ekskul Jurnalistik Sebagai Wadah Mengasah, Melataih
Kemampuan Dan Keterampilan Leterasi Siswa-Siswi
2. Terampil Dalam Mengemukakan Informasi, Opini, Berita Dan
Buah Pikiran Dalam Bentuk Lisan Maupun Tulisan
3. Mencetak Jurnalis Sekolah Yang Nasionalis, Realistis Dan
Berintegritas Sesuai Kode Etik Jurnalistk
4. Menjadi Eskul Yang Santi, Menyenangkan Dan Berkarya
Motto
Tebarkan sayap, Perluas manfaat

2
A. PROGRAM KERJA
a. Program Umum
Secara umum, ekskul Jurnalis memiliki 4 program, yaitu :
Program Unggulan, Program jangka pendek, Program jangka
menengah dan Program jangka panjang.
1. Program Unggulan
Program kerja yang menjadi unggulan ekskul Jurnalis, diantaranya :
No Jenis Kegiatan
1. Penerbitan Majalah atau bulletin sekolah
2. Meng-upgrade mading sekolah dan blog resmi ekskul jurnalistik
3. Terlibat secara langsung dalam mendokumentikan kegiatan sekolah
maupun masyarakat
4. Mengadakan kerja sama yang intens dengan seluruh organisasi dan
ekskul di SMK Negeri 1 Janapria
5. Mengadakan lomba antar kelas ( The Best Writer of the Month/ Year)
6. Mengadakan diskusi pelatihan, kepemimpinan dan public speaking
7. Mengunjungi kantor berita, telivisi maupun radio

b. Program Jangka Pendek


Program jangka pendek merupakan program organisasi yang hanya
berfokus dalam kehidupan organisasi sehari-hari, atau minimal satu kali dalam
satu semester. Berikut program-programjangka pendek organisasi ekskul Jurnalis :
 Mengadakan Kajian Materi satu kali setiap minggu
 Mengadakan pelatihan satu kali dalam 2 minggu
 Membuat artikel-artikel berita untuk ditempel di Majalah Dinding
 Mengadakan bedah buku/ diskusi mengenai isu-isu terbaru yang ada minimal
1 bulan
 Selalu meng-update berita-berita terbaru dalam website atau blog organisasi
 Membantu seluruh pihak di SMK Negeri 1 Janapria  dalam mengabadikan
setiap momen atau kegiatan sekolah
 Menjalin kerja sama antar organisasi, baik di SMK Negeri 1 Janapria
maupun di luar sekolah
 Menyampaikan aspirasi siswa kepada pihak sekolah serta
memperjuangkannya
4
c. Program Jangka Menegah
Program jangka menengah adalah program yang dilaksanakan secara
umum dalam satu tahun kepengurusan. Berikut program jangka menengah ekskul
Jurnalis
 Mengadakan pelatihan liputan, broadcast maupun reportase di beberapa kantor
media cetak, stasiun radio dan TV di tingkat kabupaten maupun kota.
 Mengadakan pelatihan kepemimpinan
 Mengadakan pelantikan Dewan Pengurus baru
 Mengadakan pembelajaran komputer mengenai cara-cara penulisan yang baik
dan editing foto di laboratorium computer
 Mengadakan “Journalist Award”
 Mengadakan angket organisasi mengenai segala permasalahan siswa dan
sekolah
 Mengadakan pengumuman “The Top Website”
 Peluncuran KARYAKU (Majalah Sekolah) setiap 4 bulan sekali
 Study Banding
 Study Tour
d. Program Jangka Panjang
Program jangka panjang adalah program yang merupakan usaha-usaha menuju
tujuan dimasa depan atau memiliki efek yang besar bagi tahun-tahun mendatang.
Adapun program jangka panjang ekskul Jurnalis adalah :
 Mentargetkan pembelajaran online di SMK Negeri 1 Janapria  pada tahun
2020 dengan cara membuat website resmi setiap mata pelajaran dan organisasi
 Membuat website organisasi atau website sekolah sebagai bahan dokumen
masa mendatang
 Mengupayakan kepemilikan komputer organisasi untuk keperluan dokumen
dan karya tulis siswa
 Mengupayakan kepemilikan Majalah Dinding untuk diupdate setiap
minggunya
 Mengupayakan kepemilikan Sekretariat Organisasi serta fasilitas ekskul
jurnalistik

5
 Mentargetkan KARYAKU (Majalah Sekolah) lebih baik dan lebih profesional
di masa mendatang serta bisa bersaing dengan majalah-majalah umum yang
lain
B. PERATURAN ORGANISASI
Seluruh anggota jurnalistik diwajibkan mengikuti seluruh peraturan berikut ini
1. Aktif mengikuti seluruh kegiatan yang ada didalam program kerja ekskul
jurnalistik
2. Menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan jabatan masing-masing
3. Mencerminkan citra diri sikap yang positif baik dilingkungan sekolah maupun di
luar sekolah
4. Tahu dan paham kode etik jurnalistik/pers
C. STRUKTUR ORGANISASI
Berikut susunan pengurus ekstrakulikuler jurnalistik SMK Negeri 1 Janapria
Keteranga
No Nama Anggota Kelas Jabatan
n
Penanggung Jawab Kepala
1 H. Abdul Wahid, S.Pd
Sekolah
2 Hamzani, S.Pd Pembina
3 Irman Saputra X Multimedia Pimpinan Redaksi
4 Putri XII Multimedia Sekertaris
5 Ema XII Multimedia Bendahara
6 Ramdian Kusuma Wardani XII Multimedia Redaktur Pelaksana
7 Sumantri X Perhotelan Koordinator Liputan
8 Ayi Junika X Tata Boga Reporter
9 Tsya Aurel X Perhotelan Reporter
10 Dini Ardianti X Tataboga Reporter
11 Evi rosdiana X Tataboga Reporter
12 Ulaimi X Tataboga Reporter
13 M. sopian hadi XII Multimedia Fotografer
14 Ena Marlina X Multimedia Sekretaris Redaksi
Riset, Pustaka dan
15 Anisa XII UPW
Dokumentasi
Riset, Pustaka dan
16 Wiradi X UPW
Dokumentasi
Riset, Pustaka dan
17 Intan apriliana
Dokumentasi
Riset, Pustaka dan
18 Sopia arista
Dokumentasi
19 Ardian Sasmi Wijaya XII Multimedia Desain Grafis
20 Fahrurozi XII Multimedia Desain Grafis

D. DESKRIPSI TUGAS/ JABATAN

6
1. Pimpinan Redaksi
 Tugas
Bertanggungjawab terhadap isi redaksi penerbitan
Bertanggungjawab terhadap kualitas produk penerbitan
Memimpin rapat redaksi 
Memberikan arahan kepada semua tim redaksi tentang berita yang akan dimuat
pada setiap edisi.
2. Redaktur Pelaksana
 Tugas 
Bertanggung jawab terhadap mekanisme kerja redaksi sehari-hari
Memimpin rapat perencanaan, rapat cecking, dan rapat terakhir sidang redaksi
Membuat perencanaan isi untuk setiap penerbitan
Bertanggung jawab terhadap isi redaksi penerbitan dan foto
Mengkoordinasi kerja para redaktur atau penanggungjawab rubrik/desk
Mengkoordinasikan alur perjalanan naskah dari para redaktur ke bagian
setting atau layout.
Mengkoordinator alur perjalanan naskah dari bagian setting atau lay out ke
percetakan

3. Koordinator Liputan
 Tugas
Memeriksa,mengedit, dan menyempurnakan naskah sesuai dengan penulisan
bahasa Indonesia yang baik dan benar
Menyesuaikan naskah yang sudah diedit dalam bahasa Indonesia ke dalam
Bahasa Jurnalistik
Mengubah pengulangan kata-kata yang sama dalam satu tulisan, sehingga kalimat
dalam naskah menjadi bervariasi. 
Mengedit penggunaan logika bahasa, alur naskah
Menyeragamkan style penulisan masing-masing redaktur, sehingga gaya
penulisan seluruh naskah menjadi sama
Memeriksa naskah kata per kata, penggunaan titik, koma, tanda seru, titik dua.

7
Mengedit penggunaan kata yang berasal dari bahasa asing, bahasa daerah, bahasa
slank sehingga mudah dimengerti pembaca.
Mengusulkan dan menulis suatu berita dan foto yang akan dimuat untuk edisi
mendatang
Berkoordinasi dengan fotografer dan riset foto dalam pengadaan foto untuk setiap
penerbitan
4. Reporter
 Tugas
Mencari dan mewawancarai sumber berita yang ditugaskan redaktur atau atasan
Menulis hasil wawancara, investasi, laporan kepada redaktur atau atasannya
Memberikan usulan berita kepada redaktur atau atasannya terhadap suatu
informasi yang dianggap penting untuk diterbitkan
Membina dan menjalin lobi dengan sumber-sumber penting di berbagai ekskul
maupun kegiatan
Menghadiri acara press conferensi yang ditunjuk redaktur, atasannya, atau atas
inisiatif sendiri.
5. Fotografer
 Tugas 
Menjalankan tugas pemotretan yang diberikan redaktur atau atasannya 
Melakukan pemotretan sumber berita, suasana acara, aktivitas suatu objek, lokasi
kejadian, gedung, dan benda-benda lain
Mengusulkan konsep desain untuk cover majalah
Menyediakan foto-foto untuk mendukung naskah, artikel, dan berita
Mengarsip foto-foto, atau compact disk bagi kamera digital
Melaporkan setiap kegiatan pemotretan kepada atasan
Mempertanggungjawabkan setiap pengambilan objek foto , baterai, atau compact
disk yang telah digunakan kepada organisasi.
6. Sekretaris Redaksi
 Tugas 
Menata dan mengatur undangan dari instansi, perusahaan, atau lembaga yang
berkaitan dengan pemberitaan

8
Menghubungi sumber berita atau instansi untuk pendaftaran, konfirmasi, atau
pembatalan undangan, wawancara, dan kunjungan kerja
Menyimpan salinan kartu pers dan foto untuk mensuport kebutuhan kerja para
wartawan dalam meliput satu acara yang mengharuskan membuat tanda pengenal
seperti menyiapkan
Menyediakan peralatan kerja redaksi seperti tape, batu baterei, kaset, alat tulis,
dan note book
Menata keperluan keuangan redaksi: uang perjalanan, uang saku, uang rapat.
Mengatur jadwal rapat redaksi: rapat perencanaan, rapat cheking, rapat final.
7. Riset, Pustaka dan Dokumentasi
 Tugas
Mencari data-data, artikel, tulisan yang dibutuhkan untuk sebuah penulisan oleh
reporter, redaktur, redaktur pelaksana, dan Pemimpin Perusahaan. 
Mencari dan menata buku-buku yang berkaitan dengan tugas dan kerja para
wartawan
Menata majalah, surat kabar, dan tabloid setiap hari dan menyimpannya dengan
baik sesuai aturan
Melakukan kerja sama dengan bagian riset dan dokumentasi perusahaan lainnya
seperti barter majalah, koran, tabloid, dan buku.
Mengusulkan suatu berita kepada redaksi bila dalam melaksanaan tugas
menemukan data-data atau informasi penting
8. Desain Grafis
 Tugas
Merancang cover atau kulit muka
Membuat dummy atau nomor contoh sebelum produk di cetak dan dijual ke pasa
Mendesain dan melay out setiap halaman dengan naskah, foto, dan angka-angka
Mengatur peruntukan halaman untuk naskah
Menulis judul berita,anak judul, caption foto, nama penulis pada setiap naskah
Menulis nomor halaman, nama rubrik/desk, nomor volume terbit, hari terbit, dan
tanggal terbit pada setiap edisi
9. Sosialisasi/ Humas & Publisher, Promosi dan Sirkulasi
 Tugas

9
Diantaranya adalah:
a) Merancang pesan tematik agar pesan yang disampaikan oleh organisasi
memiliki keseragaman/ keterkaitan pesan.
b) Melakukan segmentasi media, dimana seorang humas harus mampu
memformulasikan keseimbangan saling dukung  antara media cetak dan
online.
c) Menjaga reputasi organisasi melalui pemanfaatan kekuatan pesan dan atau
kombinasinya.
d) Mengoptimalkan promosi berita terbaru melalui berbagai Social Media dan
Social Bookmark (Facebook, twitter, digg,  dll). 
e) Bertanggung jawab keluar dan ke dalam atas segala aktivitasnya sebagai
divisi penunjang produktivitas bidang  keredaksian dengan
melakukankoordinasi dengan Pemimpin Redaksi, Kepala Deputi atau
perwakilan dan Divisi  Keuangan dan Iklan dapat melakukan perekrutan
personil untuk tugas-tugas dibidang tata usaha.
f) Mempunyai hubungan luas dibidang bisnis lainnya / lobi dan kemitraan
dalam bidang usaha untuk melaksanakan  kegiatan perusahaan pers dan
penerbitan.
g) Bertugas menyebarluaskan Media massa yakni dalam bidang pemasaran
(Marketing) atau penjualan. Bagian ini  merupakan bagian komersial
meliputi sirkulasi / distribusi iklan dan promosi.
h) Bertanggung jawab kepada Pemimpin Perusahaan.
10. Pracetak
 Tugas
Membawa naskah yang sudah disetujui pemimpin redaksi ke percetakan untuk
dicetak
Mengawasi proses pencetakan di percetakan
Menerima kondisi produk dalam keadaan baik dari percetakan
Bersama dengan bagian distribusi, segera mengedarkan produk tersebut
ke sekolah dan lingkungan sekitarnya

MATERI UMUM ESKUL JURNALISTIK

10
1. Pengertian dan Sejarah singkat Jurnalistik
Sebelum menerangkan Sejarah Jurnalistik sebaiknya mengetahui dahuli pengertian
jurnalistik itu sendiri. Secara Umum Pengertian Jurnalistik adalah proses, teknik dan
ilmu pengumpulan, penulisan, penyuntingan dan publikasi berita. Jurnalistik atau
Kewartawanan berasal dari kata Journal yang berarti catatan harian atau catatan
mengenai kejadian sehari-hari, atau diartikan dengan surat kabar. Kata Journal berasal
dari bahasa Latin dari kata Diurnalis, yang berarti orang yang melakukan pekerjaan
jurnalistik. Jadi Secara Etiomologis (asal Usul Kata/istilah kata), jurnalistik adalah
laporan tentang peristiwa sehari-hari yang saat ini kita kenal dengan istilah "berita"
(news). Sedangkan secara singkat/sederhana adalah kegiatan yang berhubungan dengan
pencatatan atau pelaporan setiap hari. Sedangkan menurut Kamus, Pengertian jurnalistik
adalah kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis untuk surat kabar, majalah,
atau berkala lainnya. Menurut Lesikom Kominikasi, pengertian jurnalistik adalah
pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting, dan menyebarkan berita dan karangan
untuk surat kabar, majalah dan media massa lainnya misalnya radio dan televisi.
a. Pengertian Jurnalistik Menurut Para Ahli
Selain pengertian jurnalistik diatas, terdapat beberapa para ahli/tokoh-tokoh
yang mendefinisikan pengertian jurnalistik. Pengertian jurnalistik menurut para ahli
adalah sebagai berikut...
Amar dan Sumadiria: Pengertian Jurnalistik adalah kegiatan mengumpulkan,
mengolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya/
Adinegoro: Pengertian Jurnalistik menurut Adinegoro adalah semacam kepandaian
karang mengarang yang pokoknya memberi perkabaran pada masyarakat dengan
selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya.
A.W. Widjaya: Pengertian Jurnalistik menurut A.W. Wijaya merupakan suatu
kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun
alasannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang aktual dan
factual dalam waktu yang secepat-cepatnya.
F.Fraser Bond: Pengertian jurnalistik menurut F.Fraser Bond adalah segala bentuk
yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati.

11
M.Ridwan: Menurutnya, pengertian Jurnalistik adalah suatu kepandaian praktis
mengumpulkan, mengedit berita untuk pemberitaan dalam surat kabar, majalah, atau
terbitan terbitan berkala lainnya.
Summanang: Menurunya, pengertian jurnalistik adalah segala sesuatu yang
menyangkut kewartawanan.
Onong U. Efendi: Jurnalistik adalah teknik mengelola berita sejak dari mendapatkan
bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada khalayak.
Erik Hodgins (Redeaktur Majalah Time): Menurutnya pengertian jurnalistik
adalah pengiriman informasi dari sini ke sana dengan benar, seksama, dan cepat,
dalam rangka membela kebenaran dan keadilan.
Roland E. Wolseley: Menurunya, Pengertian Jurnalistik adalah pengumpulan,
penulisan, penafsiran, pemrosesan, dan penyebaran informasi umum, pendapat
pemerhati, hiburan umum secara sistematis dan dapat dipercaya untuk diterbitkan
pada surat kabar, majalah, dan disiarkan di stasiun siaran.
Ensiklopedia Indonesia: jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan
penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara teratur,
dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.
Bentuk-bentuk jurnalistik terbagi dalam 3 bagian besar antara lain sebai
berikut..
a. Media Cetak
b. Media elektronik auditif
c. Audio Visual
d.
b. Sejarah Singkat Jurnalistik Indonesia
Awal mulanya, sejarah jurnalistik diawali dari komunikasi antar manusia yang
bergantung dari mulut ke mulut. Catatan sejaarah yang berkaitan dengan penerbitan
media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Getenberg.
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda.
Sebagian pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan kewartawanan sebagai
alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timoer, Java Bode, Bintang Barat, dan
Medan Prijaji terbit. Pada masa kedudukan Jepang mengambil alih kekuasaan,
dimana setiap korang dilarang. namun pada akhirnya ada lima media yang mendapat

12
izin terbit: Sinar Baru, Asia Raja, Suara Asia, Tjahaja, dan Sinar Matahari. Dan
semenjak kemerdekaan Indonesia yang membawa keuntungan bagi kewartawanan.
Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media
komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asia Games IV, peemrintah memasukkan
proyek televisi. Sejah tahun 1962 tersebut Televisi Republik Indonesia hadir dengan
teknologi yang layar hitam putih.
Di Era Presiden Soeharto, media massa banyak dibatasi. Seperti kasus Majalah
Tempo dan Harian Indonesia Raya merupakan dua contoh bukti sensor dalam
kekuasaan Era Soeharto. Kontrol yang dipegang oleh PWI (Departemen Penerangan
dan persatuan Wartawan Indonesia). Dari situasi tersebut muncullah Aliansi Jurnalis
Independen yang mendeklarasikan diri di Wiswa Sirna Galih, Jawa Barat. Sebagian
dari aktivitasnya berada di sel tahanan.
Sejarah kemerdekaan Pers/jurnalis beradap di titik saat Soeharto di gantikan
oleh BJ Habibie. Disaat itulah banyak media massa yang muncul dan PWI bukan
satu-satunya organisasi profesi. Kegiatan kewartawanan diatur oleh UU Pers No. 40.
Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers dan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002
yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI.
2. Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Aji, Majlis Kode Etik
a. Kode Etik Jurnalistik
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia
yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk
memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan
meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers
itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung
jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers
menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka
untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan
moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan

13
publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan
Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,


berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan


tugas jurnalistik.

Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,


tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah.

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan


susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan
embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Pasal 8

14
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka
atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit,
agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah,
miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya,


kecuali untuk kepentingan publik.

Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru
dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan
atau pemirsa.

Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.

Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan
dan atau perusahaan pers.

b. Kode Etik AJI


Aliansi Jurnalis Independen percaya bahwa kemerdekaan pers dan hak publik
atas informasi merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Dalam menegakkan
kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik atas informasi, anggota AJI wajib
mematuhi Kode Etik sebagai berikut :
a. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
b. Jurnalis selalu menguji informasi dan hanya melaporkan fakta dan pendapat
yang jelas sumbernya.
c. Jurnalis tidak mencampuradukkan fakta dan opini.

15
d. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang berkaitan dengan
kepentingan publik.
e. Jurnalis memberikan tempat bagi pihak yang tidak memiliki kemampuan dan
kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka.
f. Jurnalis mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam
peliputan, pemberitaan serta kritik dan komentar.
g. Jurnalis menolak segala bentuk campur tangan pihak manapun yang
menghambat kebebasan pers dan independensi ruang berita.
h. Jurnalis menghindari konflik kepentingan.
i. Jurnalis menolak segala bentuk suap.
j. Jurnalis menggunakan cara yang etis dan profesional untuk memperoleh berita,
gambar, dan dokumen.
k. Jurnalis segera meralat atau mencabut berita yang diketahuinya keliru atau tidak
akurat disertai dengan permintaan maaf kepada publik.
l. Jurnalis melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi secara proporsional.
m. Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk
mencari keuntungan pribadi.
n. Jurnalis tidak menjiplak.
o. Jurnalis menolak praktik-praktik pelanggaran etika oleh jurnalis lainnya.
p. Jurnalis menolak kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam
masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama,
pandangan politik, orang berkebutuhan khusus atau latar belakang sosial
lainnya.
q. Jurnalis menghormati hak narasumber untuk memberikan informasi latar
belakang, off the record, dan embargo.
r. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban
kejahatan seksual, dan pelaku serta korban tindak pidana di bawah umur.
s. Jurnalis menghormati privasi, kecuali untuk kepentingan publik.
t. Jurnalis tidak menyajikan berita atau karya jurnalistik dengan mengumbar
kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan psikologis serta kejahatan seksual.
u. Jurnalis menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, tidak beritikad buruk,
menghindari fitnah, pencemaran nama dan pembunuhan karakter.

16
3. Dewan Pers
1. Dewan pers adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang berfungsi untuk
mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia. Dewan Pers
sebenarnya sudah berdiri sejak tahun 1966 melalui Undang-undang No. 11 Tahun
1966 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pers, tetapi pada saat itu Dewan Pers
berfungsi sebagai penasehat Pemerintah dan memiliki hubungan secara struktural
dengan Departemen Penerangan. Seiring berjalannya waktu Dewan Pers terus
berkembang dan akhirnya memiliki dasar hukum terbaru yaitu Undang-Undang No.
40 Tahun 1999 tentang Pers. Sejak saat itu, Dewan Pers menjadi sebuah lembaga
independen. Pembentukan Dewan Pers juga dimaksudkan untuk memenuhi Hak
Asasi Manusia (HAM), karena kemerdekaan pers termasuk sebagai bagian dari
HAM. Dewan Pers memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik.
Sebagai lembaga independen, Dewan Pers tidak memiliki perwakilan dari
Pemerintah pada jajaran anggotanya
2. Tugas dan fungsi dewan pers
Menurut Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Pers, Dewan Pers berfungsi sebagai
berikut:[3][4]
 Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
 Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
 Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
 Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
 Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
 Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan
di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
 Mendata perusahaan pers.

Dewan Pers bersifat mandiri dan tidak ada lagi bagian pemerintah di
dalam struktur pengurusannya. Otoritas Dewan Pers terletak pada keinginan redaksi
serta perusahaan media pers untuk menghargai pendapat Dewan Pers serta
mematuhi kode etik jurnalistik juga mengakui segala kesalahan secara terbuka.

4. JURNALISTIK DAN SASTRA


17
PENDAHULUAN
Khalayak umum seringkali menjumpai istilah jurnalisme, jurnalistik dan jurnalis.
Sepintas kelihatan sama, yakni berkaitan dengan apa yang sering disebut dunianya
wartawan. Tetapi, mereka tidak sedikit yang justru bingung dan sulit membedakan
makna dari tiga istilah tadi.

Gampangnya, jurnalisme dapat diartikan secara umum sebagai ”dunia kewartawanan”,


sedangkan jurnalistik adalah “ketrampilan/kecakapan menjadi wartawan”, adapun
”jurnalis” menjadi sebutan lain dari ”si wartawan”.

Kalau menengok sejarahnya, maka dunia kewartawanan dalam teori klasik mengambil
dari bahasa latin kuno yang asalnya kata ”Diurna” lantaran konon di zaman Yunani kuno
ada media massa pertama bernama ”Acta Diurna”.

Kata ”Diurna” tersebutlah yang kemudian oleh masyarakat Eropa disebut menjadi
”Journal” dalam bahasa Inggris, atau ”Jurnal” (bahasa Belanda), atau ”de Journale”
(bahasa Perancis). Bagi masyarakat Indonesia istilah Jurnal lebih dikenal akrab, yang
maknanya antara lain ”laporan”.

Namun, dunia kewartawanan mensyaratkan bahwa jurnal (laporan) yang dibuat oleh
wartawan yang memiliki ketrampilan/kecakapan harus dipublikasikan melalui sarana
yang pada gilirannya disebut media massa. Sementara itu, laporannya tersebut dikenal
sebagai ”berita” (news).

Berita inilah yang membedakan dengan berbagai jenis laporan lainnya. Berita harus
dipulikasikan melalui media massa, atau ada sarana yang membuat publik
mengetahuinya. Bahkan, berita harus memiliki sifat ”menyajikan sesuatu yang baru” atau
setidak-tidaknya menyangkut ”hal baru untuk menjelaskan sesuatu yang sebelumnya
telah diketahui umum”. Itu sebabnya, berita disebut juga ”news” (bahasa Inggris) yang
merupakan kosa kata latin ”nuvo” yang artinya ”baru”.

18
Pada prakteknya, khalayak juga senantiasa menantikan apa yang disebut berita lantaran
ingin mengetahui tentang sesuatu yang baru. Kalau media massa gagal menyajikan unsur
kebaruan, maka masyarakat sering menyebut sajiannya ”berita basi”.

Sementara itu, wartawan yang memiliki ketrampilan/kecakapan dalam prosesnya


membuat berita disebut juga sedang melakukan ”peliputan” atau sering disebut juga
”reporting” (bahasa Inggris). Makna dan pada prakteknya, reporting sama dengan
”jurnal”.

Kemudian, wartawan yang melakukan proses peliputan masing-masing memiliki bidang


sesuai dengan kebijakan lembaga media massa tempatnya bekerja. Secara umum,
wartawan melakukan proses peliputan dengan melakukan wawancara, menelaah data,
dan mencari informasi lain yang disajikannya dalam bentuk tulisan.

Hasil liputannya itulah yang kemudian disajikan sesuai karakter masing-masing media
massa. Dalam media cetak (press) dikenal dengan sebutan berita tulis atau berita foto
(kalau berupa gambar), sedangkan di radio mendapat sebutan berita suara (audio).
Adapun di televisi disebut tayangan berita suara dan gambar (audio visual).

Dalam perkembangannya sejauh ini, wartawan juga sering melakukan liputan khusus
yang disebut liputan selidik (investigative reporting) lantaran ada topic tertentu dalam
penilaian pemegang kebijakan di satu media massa dianggap perlu dilaporkan secara
khusus. Misalnya, kasus penyalahgunaan wewenang Presiden Nixon di Amerika Serikat
(AS) yang dikenal dengan sebutan “Watergate”, atau skandal sex Presiden AS, Bill
Clinton dengan sekretaris magang bernama Monica Lewinsky yang sempat menyita
perhatian publik dunia.

Peliputan Selidik (investigative reporting) dan Jurnalistik Sastra (literacy journalism)


hingga saat ini posisinya sering ditempatkan secara dilematis atau mendua, di antara
sesuatu yang dianggap hebat dan dicerca.

19
Banyak orang –termasuk di kalangan pers—menempatkan peliputan selidik sebagai
pekerjaan yang hebat karena proses dan hasil kerja yang harus ditempuh oleh wartawan
sebagai pelaku liputan relatif sulit, memakan waktu dan dana. Bahkan, wartawan yang
terlibat seringkali harus berhadapan dengan apa yang dinamakan “konflik kepentingan”
(conflict of interest) dari berbagai pihak.

Konflik kepentingan itulah yang membuka peluang bahwa proses dan hasil kerja dari
peliputan selidik menjadi sering dicerca anggota masyarakat –juga oleh para wartawan
lain—karena dampak dari berita yang dipublikasikan senantiasa “memakan korban”,
bahkan tanpa ampun.

Oleh karena itu ada sejumlah “kalimat mutiara” tentang peliputan selidik, antara lain:

“Wartawan peliputan selidik memiliki kecenderungan seperti ikan piranha, mereka akan
mengejar apa saja yang mengeluarkan darah.” (Ben J. Wattenberg)

“Jurnalisme tidak bekerja seperti senapan. Jurnalisme bekerja lebih mirip mortir.”
(Murray Kempton)

Salah satu contoh dari peliputan selidik hingga saat ini adalah keberhasilan Bob
Woodward dan Carl Bernstein yang “memakan” Presiden Amerika Serikat (AS) Richard
Nixon, sehingga harus “rela” mundur dari kursi kepresidenan, dan digantikan oleh
Gerald Ford pada 9 Agustus 1974. Padahal, upaya Woodward dan Bernstein untuk
mengungkap kasus “Watergate” dimulainya pada medio Juni 1971.

Usai peliputan selidik itu, dunia pers –terutama di AS—seperti kerasukan apa yang
dinamakan “menggugat kembali kebebasan pers atas dasar liberalisme informasi.”
Apalagi, di AS sejak awal 1970 pertumbuhan industri pers menimbulkan persaingan
yang makin tajam. Dan, peliputan selidik adalah salah satu resep untuk meraih oplah
terbesar. Repotnya, insan pers di sejumlah negara –termasuk di Indonesia– ada yang
berkiblat tentang kebebasan pers di AS secara hitam putih, sehingga sering terkesan
membabi-buta.

20
Padahal, peliputan selidik telah berlangsung sejak lama. Peliputan semacam itu dalam
sejarah pers dunia sudah ada jauh sebelum era Woodward dan Bernstein. Oleh karena
itu, masyarakat umum dan kalangan pers sering melontarkan, “Peliputan selidik dalam
perjalanannya demi kepentingan publik atau justru kepentingan bisnis pers?.”

PELIPUTAN BERMETODA ILMIAH


Professor Leonard Sellers, Guru Besar Ilmu Komunikasi/Jurnalistik di Universitas San
Fransisco (AS), mengemukakan: “Wartawan peliputan selidik adalah wartawan yang
berusaha menyingkapkan informasi yang sengaja ditutup-tutupi, karena informasi
tersebut melanggar hukum atau etika.”

Berdasarkan dari pendekatan yang diajukan oleh Prof. Sellers, maka terkesan bahwa
peliputan selidik tidaklah terlampau sulit. Padahal, banyak wartawan sulit menjalaninya.
Bahkan, tak sedikit pula para pemimpin redaksi yang sangat selektif untuk menugasi
wartawannya melakukan liputan selidik, dan mereka menyerahkan hal ini kepada yang
benar-benar ahli.

Pada kenyataan di lapangan jurnalistik, wartawan liputan selidik sedikit-banyak atau


terasa ataupun tidak harus memahami dan menjalani tahapan yang dari pendekatan ilmu
pengetahuan dikenal dengan istilah Metoda Ilmiah.
Wartawan peliputan selidik sah-sah saja bergaya “cuek” (acuh tak acuh) dan tahapan
kerjanya terkesan serabutan. Namun, jika ditilik lebih jauh lagi, mereka justru menjalani
satu kaidah metoda ilmiah yang antara lain memiliki tahapan:
 Mencari/mendapatkan masalah.
 Memfokuskan permasalahan inti melalui observasi/wawancara.
 Menyusun hipotesa/asumsi untuk menentukan motif dan latar belakang masalah
inti.
Mengkaji, memilah, dan menyusun keterkaitan data/informasi.
 Menulis hasil temuannya dengan kaidah jurnalistik.

21
Dalam menjalani metoda tersebut, wartawan peliputan selidik sering berhadapan dengan
sejumlah bahaya berupa sulitnya mencari nara sumber yang mau “buka mulut”, namun
ada kalanya banyaknya nara sumber yang terlalu ingin memberikan informasi tanpa nilai
apapun.
Banyaknya nara sumber –terutama di bidang politik, atau politik-ekonomi– yang ingin
“berbagi” informasi, bagi warawan tersebut perlu diwaspadai karena mereka lebih
banyak yang sekedar mencari kepentingan pribadi. Sementara itu, nara sumber bernilai
cenderung tersembunyi di antara hiruk-pikuknya gosip yang terus berhembus.
Selain itu, nara sumber penting untuk mengungkap permasalahan dalam peliputan selidik
seringkali merasa harus sembunyi karena merasa memiliki banyak informasi, namun
mereka “tidak memiliki restu” dari pihak yang lebih tinggi.

Istilah “dengan restu” (by authority) itulah yang dicatat William L. Rivers dan Cleve
Mathews dalam buku “Ethics for the Media” terbitan Prentice-Hall Inc, New Jersey,
(AS) pada tahun 1988 sebagai sesuatu yang justru mengawali keberanian pers AS untuk
menembus birokrasi informasi dengan menerapkan apa yang kemudian dikenal sebagai
Peliputan Selidik (Investigative Reporting).

Awalnya, Benjamin Harris di tahun 1690 menerbitkan artikel pertama dan terakhirnya
bertitelkan “Public Occurrences, Both Foreign and Domestic” yang intinya melontarkan
kritik tentang keberadaan paham kolonialisme di Amerika.

Artikel tersebut membuat marah para petinggi, termasuk “General Court of


Massachusetts” (setingkat Gubernur Jenderal zaman kolonial Belanda) sehingga surat
kabar Benjamin Harris dibreidel dengan alasan “meresahkan masyarakat”.

Keadaan semacam itu berlangsung cukup berkepanjangan di AS, sehingga pada tahun
1721 James Franklin –kakak kandung Benjamin Franklin (1706-1790) ilmuwan dan
penulis yang pernah menjadi Presiden AS—menerbitkan surat kabar “New England
Courant” yang sejak terbit sudah menyuarakan sikap oposan kepada Pemerintah AS
dengan alasan “demi tegaknya jurnalisme perjuangan.”

22
Akibat dari sikap tersebut, James Franklin sempat mendekam di penjara untuk beberapa
lama. Namun, sikapnya ibarat “bensin dalam api semangat pers AS” karena
perkembangan pers bebas dengan pola peliputan selidik kian menjamur. Bahkan,
wartawan mulai mengembangkan pola pemberitaan yang cepat, akurat, lengkap, dan
cenderung “memakan korban.”

Sekalipun demikian, gaya kebebasan pers ala “cowboy” seringkali menjadi “kebablasan”
(keterusan) dan meresahkan. Oleh karena itu, Presiden AS Theodore Roosevelt pada
tahun 1906 pernah melontarkan kritik: “Penulis yang sibuk mengais-ngais keburukan
masyarakat hingga lupa untuk melihat keadaan sekelilingnya.”

Roosevelt, yang juga penulis dan petualang di alam bebas, melontarkan kritik tersebut
kepada David Graham Phillip yang secara berseri menulis tentang sejumlah keburukan
anggota senat yang dituangkan dalam artikel bertitel “The Treason of the Senate.”

Gejala perdebatan tersebut ditangkap oleh Webster –pakar bahasa, penulis kamus—yang
menuliskan istilah “muckrake” untuk mengartikan: “mencari-cari, menyoroti, atau
menunjukkan adanya korupsi, dengan bukti nyata atau hanya berdasarkan dugaan, oleh
publik dan badan usaha.”

Sementara itu, kalangan pers AS pada era Roosevelt justru banyak yang membenarkan
sikap presidennya yang lebih menyukai sistem pengawasan pers secara seimbang dengan
mengutamakan kepentingan semua pihak. Kala itu, Roosevelt memang dikenal sebagai
Presiden AS yang dekat, bahkan akrab dengan pers. Buktinya, semua anggota Korps
Wartawan Kepresidenan AS dapat bermain-main dengan cucu Roosevelt di Gedung
Putih.

Namun, banyak wartawan AS yang kemudian –pasca-Roosevelt—berpendapat: “Kini


masalahnya sudah berubah. Apakah semua Presiden bisa akrab dengan pers seperti
Roosevelt?”

23
Bahkan, secara lebih tegas Joseph Alsop pernah mencatat: “Semua pemerintahan
menyebarkan dusta, bahkan beberapa di antaranya berdusta lebih banyak daripada yang
lain.” Inilah salah satu puncak ungkapan jenis pekerjaan di kalangan wartawan peliputan
selidik di AS.

Sementara itu, Albert L. Hester selaku wartawan senior dan pakar ilmu komunikasi dari
Universitas Georgia (AS) yang menaruh minat terhadap perkembangan pers di negara-
negara berkembang mengemukakan bahwa peliputan selidik cenderung lebih sulit
dilakukan bila sistem pers menjadi bagian yang erat menyatu dengan pemerintahan
nasional.

“Meskipun di Dunia Ketiga pers terpisah dari pemerintah nasional, namun ide untuk
benar-benar melakukan ‘penyelidikan; menjadi sesuatu yang selalu mengernyitkan
kening,” catatnya dalam buku “Handbook for Third World Journalists”, terbitan The
Center for International Mass Communication Training and Research, Universitas
Georgia, pada 1987.

Walaupun demikian, menurut Hester, peliputan selidik di negara berkembang tetap dapat
dilakukan. Bahkan, wartawan peliputan selidik di negara berkembang seringkali
memiliki kegigihan yang tak kalah dibanding rekan mereka di negara yang lebih mapan.

Lebih jauh, Hester membedakan peliputan selidik dengan peliputan biasa. Hal itu
disusunnya atas dasar bahwa peliputan selidik adalah:

Biasanya dilakukan dengan pikiran bahwa hasilnya akan menimbulkan satu tindakan
dengan asumsi dasar: “Perubahan harus dilakukan.” Namun, peliputan selidik ada
kalanya justru memperteguh apa yang sudah dilakukan dan dihargai oleh masyarakat.

Biasanya format laporan (tertulis maupun foto) peliputan selidik lebih panjang dan
memerlukan waktu penyelesaian lebih panjang, serta dana lebih banyak.

24
Biasanya peliputan selidik memerlukan kesatuan pendapat di kalangan manajemen
lembaga pers dimana wartawan peliputan selidik bekerja. Hal ini banyak berkaitan
dengan risiko tanggung jawab yang pada akhirnya harus ditanggung.

Biasanya peliputan selidik juga menyangkut “paket promosi” dari media massa sebagai
satu bagian dari wujud pers industrialis.

Biasanya peliputan selidik akan memanfaatkan pula foto dan illustrasi guna
mempermudah pemahaman masyarakat untuk menerima sesuatu yang sulit diterima akal,
atau dengan kata lain mengungkap fakta, data, dan informasi dengan berbagai cara agar
hasil liputan menjadi akurat dan lengkap.

Biasanya para redaktur dan penananggungjawab peliputan selidik lebih melibatkan


wartawan terbaiknya, karena kegiatan ini senantiasa dianggap berisiko dan memerlukan
kreativitas tinggi.

Al Hester dalam serangkain catatannya itu paling tidak menyiratkan bahwa mereka yang
terlibat dalam peliputan selidik –wartawan, redaktur, hingga pemimpin redaksi–
senantiasa sepakat bahwa yang mereka kerjakan adalah kerja tim (team work) yang
penuh risiko yang memeras keringat, menghabiskan waktu dan dana.

Selain itu, peliputan selidik senantiasa mementingkan “proses” dan “hasil” dalam posisi
yang sama pentingnya, sehingga mereka yang terlibat harus benar-benar orang yang
terlatih bekerja di bawah tekanan (under pressure person).

Peliputan selidik di negara berkembang, dalam penilaian Hester, terbuka peluangnya bila
temanya berkaitan dengan permasalahan lingkungan hidup –seperti pencemaran,
pemanfaatan pestisida, dan kebakaran hutan— ancaman musnahnya kebudayaan
pribumi, urbanisasi, kedudukan kaum wanita, serta keluarga berencana.

PELIPUTAN SELIDIK BERETIKA

25
Wartawan peliputan selidik bernama Brit Hume pada tahun 1973 pernah berkomentar
bahwa pekerjaan yang dilakukannya lebih banyak untuk mengungkap sejumlah
“kebusukan” berkaitan dengan dusta dan korupsi. “Kebusukan itu harus dibongkar. Demi
kepentingan masyarakat umum dan demi kepentingan kita sendiri,” tegasnya.

Dalam upaya mengungkapkan “kebusukan” tersebut, wartawan peliputan selidik pada


tahap awal seringkali harus berhadapan dengan “konflik batin” akibat “konflik
kepentingan”. Kepentingan di antara “kepentingan pribadi”, “kepentingan lembaga pers-
nya”, “kepentingan publik”, dan “kepentingan nara sumber.”

Konflik semacam itu akan dengan mudah muncul, karena wartawan peliputan selidik
lebih banyak harus “membuka sesuatu yang ditutup-tutupi”. Oleh karena itu, mereka
untuk membuka kasusnya seringkali harus mendapatkan infomasi mulai dari cara
“meminta”, “membeli”, “memaksa”, atau bahkan “mencuri” -nya.

Berangkat dari pekerjaan semacam itulah, wartawan peliputan selidik dituntut memiliki
“etika di dalam maupun di luar etika”. Hal tersebut dapat diartikan bahwa mereka harus
memiliki kreativitas untuk melakukan kegiatan pencarian data/informasi secara sah, dan
bila harus melanggarnya, maka harus pula memiliki kreativitas lain guna menutupinya
sekaligus mencari alasan yang jauh lebih cerdas dari kemungkinan tuduhan yang akan
datang.

Untuk lebih memahami posisi tugas yang beretika di dalam maupun di luar etika, maka
sejumlah wartawan peliputan selidik berpegang ke pendapat Edward R. Murrow:

“Agar meyakinkan, kita harus dapat dipercaya.


Agar dipercaya, kita harus dapat diandalkan.
Agar diandalkan, kita harus jujur.”

Sikap “meyakinkan, dipercaya, diandalkan, dan jujur” itulah yang sering diperankan oleh
wartawan peliputan selidik. Dalam hal ini, mereka biasanya dengan mudah pula menilai
apakah nara sumber yang ditemuinya memiliki kredibilitas atau tidak, berkompeten atau

26
tidak, bahkan memiliki informasi penting atau tidak. Hal inilah yang oleh banyak orang
disebut bahwa wartawan adalah penonton sekaligus pemain dari karakter kemanusiaan.
Apalagi bagi wartawan peliputan selidik.

Dalam memainkan peran yang meyakinkan, dapat dipercaya, diandalkan, dan jujur, maka
wartawan peliputan selidik dituntut mampu menempatkan dirinya bukan hanya sekedar
“journalist” alias pelapor suatu peristiwa atas dasar kejadian/fakta. Namun, ia dituntut
pula mampu menempatkan diri sebagai “agent” untuk menggali data/informasi penting,
sekaligus menjadi “lobbyist” yang mampu bergaul dengan nara sumber penting.

Agar posisinya lebih luwes, wartawan peliputan selidik dalam mencari bahan
berita/karangan khas/foto juga perlu memahami sejumlah kesepakatan dengan nara
sumbernya. Kesepakatan itu antara lain berupa:

On the Record. Dalam hal ini wartawan dapat mengutip semua hal tentang nara sumber
dan segala informasi yang dikemukakannya.

On Background. Dalam hal ini wartawan dapat mengutip semua hal menyangkut
informasi yang diberikan nara sumber, namun jati diri nara sumber harus benar-benar
dilindungi dengan alasan tertentu. Biasanya, wartawan cukup menyebutkan: “menurut
sumber di Departemen X, ..”

On Deep Background. Dalam hal ini wartawan hanya dapat mengutip inti dari informasi
yang didapatkan, tanpa dapat mengutip dalam kalimat langsung –dengan tanda kutip—
informasi itu. Sementara itu, jati diri nara sumber harus dilindungi.

Off the Record. Dalam hal ini wartawan mendapatkan informasi yang sama sekali tidak
boleh dipublikasikan dalam bentuk apapun. Bahkan, wartawan tersebut terikat etika
untuk tidak mengembangkan informasi yang didapatkannya itu.

Empat kesepakatan di antara wartawan dengan nara sumbernya itu menjadi bagian etika
pers yang senantiasa dijunjung tinggi. Dalam peran penuh “ikatan” –demikian wartawan

27
sering menyebutnya—itu dapat diartikan sebagai “harga mati”.Namun demikian, pada
perkembangannya banyak wartawan yang justru membatasi dirinya “hanya menerima
kesepakatan nomor satu (On the Record) dan nomor dua (On Background)”, serta
meninggalkan dua kesepakatan berikutnya. Mereka dengan berani langsung mengatakan,
“Maaf, saya punya informasi lain” manakala ada nara sumber yang ingin menerapkan
kesepakatan ketiga (On Deep Background) atau bahkan kesepakatan keempat (On the
Record).

Mengapa wartawan itu bersikap demikian? Situasi dan kondisi semacam itu dilakukan oleh
wartawan peliputan selidik untuk menghindari menerima informasi subyektif yang
mengecoh. Oleh karena, kesepakatan untuk membuat berita hanya dengan mengetahui latar
belakang tanpa ada nara sumber yang jelas menjadi “hal tercela, dan mengurangi
kredibilitas” dari kaidah nilai-nilai jurnalistik bagi wartawan profesional. Hal ini pula yang
antara lain melatarbelakangi sebagian besar Kantor Berita untuk menghindari publikasi
berita tanpa nara sumber yang jelas.

“Katakanlah kebenaran, tetapi dengan membengkokkannya,” demikian pendapat Emily


Dickinson menanggapi tentang pekerjaan politikus dan petugas hubungan masyarakat. Dan,
hal ini pula yang senantiasa diwaspadai oleh wartawan peliputan selidik.

PELIPUTAN SELIDIK BERSASTRA

Dalam manajemen media massa modern ada istilah “proses dan hasil” peliputan selidik
menempati posisi yang sama penting, karena keduanya adalah rangkaian pekerjaan yang
penuh risiko dengan azas “demi kebenaran pers yang mengutamakan kepentingan publik”.

Bahkan, di kalangan pers ada guyonan sarkatis: “Jika saja ada orang lembaga pers yang
menilai proses dan hasil pekerjaan peliputan –apalagi peliputan selidik— tidak dalam posisi

28
penting, maka bisa dipastikan dia bukanlah bagian dalam sistem kerja jurnalistik atau bidang
keredaksian, atau pun loper yang meneriakkan berita penting di keramaian jalan.”

Guyonan ala pers itu timbul, antara lain sebagai dampak dari pers industri yang seringkali
menempatkan segi menarik keuntungan –sebagai bagian “hasil kerja” —menjadi lebih
penting dibanding susah payahnya para wartawan –sebagai bagian “proses kerja” —
berjungkir balik mecari bahan berita/karangan khas/foto.

Selain itu, pers dalam tatanan industri cenderung semakin menempatkan kolom iklan sebagai
unsur pendapatan yang menopang kehidupan karyawan di organisasi pers bersangkutan.
Padahal, sejarah pers belum pernah mencatat ada media massa khusus iklan, karena pariwara
semacam itu justru hadir bila publik menyukai berita yang disajikan media massa.

Kecintaan publik terhadap media massa, antara lain karena mereka merasa mendapatkan
informasi yang tepat, berkaitan dengan kepentingan mereka, ada informasi baru,
memberikan hiburan, bahkan berisikan tentang berita-berita yang jujur. Dalam situasi dan
kondisi semacam inilah peliputan selidik mendapatkan tempat, bahkan terhormat. Kenapa?
Oleh karena, manusia secara naluriah tidak suka dibohongi, sehingga mereka ingin
mengetahui rahasia orang lain.

Dalam kondisi penuh persaingan itu pula, wartawan –terutama wartawan liputan selidik—
mendapat “beban” tambahan, yaitu bagaimana senantiasa dapat bekerja demi kepentingan
organisasi media massanya sekaligus membuktikan diri bahwa dirinya sebagai “orang
lapangan”-lah yang paling tahu tentang makna “demi kepentingan publik”.

Bagi wartawan peliputan selidik permasalahan terakhir yang tak kalah rumitnya dengan
proses pencarian bahan berita/karangan khas/foto-nya adalah bagaimana menuangkan tulisan
dari berbagai informasi penting.

Pola penulisan hasil peliputan selidik cenderung menjadi karangan khas (feature) karena
mengutamakan kedalaman, berlatar belakang, dan memeras segala kemampuan berbahasa –
terutama memainkan “diksi” atau pilihan kata—agar hasil karyanya dapat lebih dicerna
publik, sekalipun permasalahan yang dikemukakan relatif rumit.

29
Banyak orang –termasuk wartawan pemula—beranggapan bahwa peliputan selidik
senantiasa bertema dan mengundang permasalahan besar atau mengandung kontraversi,
sehingga penulisannya pun lebih sulit.

Padahal, wartawan peliputan selidik akan lebih mudah menulis laporannya dengan lebih
mengutamakan permasalahan kecil. Dengan kata lain, mereka justru memilih permasalahan
yang terdekat dengan kepentingan umum.

“Think globally, act locally” (berpikir kesejagatan, bertindak lokal). Hal inilah yang lebih
sering diikuti oleh wartawan peliputan selidik. Mereka berangkat menggali gagasan
penulisan dari permasalahan keseharian, walaupun informasi yang mereka miliki bisa
berdampak luas.

Tatkala harus mengemukakan permasalahan berat dengan bahasa ragam jurnalistik, maka
wartawan tersebut akan lebih mudah jika mereka memanfaatkan perkalimatan bergaya
bertutur, ada anekdot, memainkan alur cerita klimaks dan anti klimaks, sehingga pembaca
seakan berhadapan dengan novel yang berangkat dari cerita asli.

Dari gejala semacam itulah, kalangan pers dan sejumlah pengamat mereka menyebut adanya
Jurnalistik Sastra (literacy journalism).

Wai Lan J. To yang bekersama dengan Albert L. Hester menulis dan menyunting buku
bunga rampai “Handbook for Third World Journalist” (1987) berpendapat bahwa jurnalistik
sastra adalah salah satu upaya sistem pers untuk memperluas ruang lingkup dan keterampilan
jurnalistik mereka setelah bergerak ke arah peliputan selidik.

Jurnalistik sastra di AS, menurut dia, dapat ditelusuri sampai ke tahun 1937 manakala Edwin
H. Ford menyusun buku bertitelkan “A Bibliography of Literacy Journalism” terbitan
Burgess Publishing Company, Minneapolis (AS).

Ford mencatat bahwa jurnalistik sastra dapat dirumuskan sebagai tulisan yang masuk dalam
“kawasan senja” (batas akhir) yang memisahkan sastra dari jurnalisme. “Jurnalisme sastra
adalah penghubung surat kabar dan sastra.”

30
Pada gilirannya, masyarakat AS pada era 1960-an menyebut langgam jurnalistik sastra
sebagai Jurnalistik Baru (new journalism). Mereka agaknya lupa bahwa sejarah persnya
melalui Edwin H. Ford sudah pernah menyebut kaidah yang sama.

Norman Sims dalam buku bunga rampai “The Literacy Journalists” terbitan Ballentine
Books, tahun 1984, menulis bahwa jurnalistik sastra ataupun jurnalistik baru –seperti disebut
pada era 1960-an– tidak dirumuskan oleh kritikus, namun para penulisnya sendiri sudah
menyadari bahwa karya mereka memerlukan pendalaman struktur, “suara”, dan ketelitian.

Dalam pengertian yang lebih mudah, pendapat Sims itu menunjukkan bahwa dasar dari
jurnalistik sastra tidak berbeda dengan peliputan selidik, yaitu memiliki metoda ilmiah yang
bertujuan memaparkan satu permasalahan kepada publik setelah menjalani kajian
pembenaran. Kalangan pers mengenal salah satu bagian metoda ilmiahnya adalah “check
and rechek” (periksa dan periksa lagi).

Secara terpisah, dalam penilaian Wai Lan J. To , di China jenis jurnalistik sastra juga
berkembang relatif baik. Masyarakat pers China menyebutnya “Bao Gao Wen Xue” (literacy
journalism atau jusrnalistik sastra).

Sebagaimana di AS, jurnalistik sastra di China juga merupakan proses kreatif para wartawan
untuk mengungkap permasalahan yang perlu diketahui oleh publiknya dengan cara
penyampaian menggunakan gaya bersastra. “Mereka menggunakan langgam sastra untuk
mengungkapkan fakta aktual bernilai berita,” catat Wai Lan J. To.

Paling tidak, keberadaan peliputan selidik dan penuturan berlanggam jurnalistik sastra
adalah upaya pers untuk memuasi kepentingan publiknya yang senantiasa haus akan
kebenaran dan kejujuran, seperti juga kalimat bijak berikut ini:

“Seiring dengan pers yang bertanggung jawab, harus ada pembaca yang bertanggung
jawab.” (Arthur Hays Suzberger)

“Pers selalu merangsang keingintahuan. Tak seorang pun pernah meletakkannya tanpa rasa
kecewa.” (Charles Lamb)

31

Anda mungkin juga menyukai