Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kelainan mata yang diakibatkan oleh infeksi virus herpes simpleks
meliputi bleparitis, konjungtivitis, keratitis, uveitis, dan glaukoma sekunder.
Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh
infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Di negara-negara barat
90% dari populasi orang dewasa dilaporkan memiliki antibodi terhadap herpes
simpleks.(1)   Namun demikian, hanya kurang dari 1% yang menimbulkan
kelainan pada mata.(2) Sebagian besar bersifat subklinis dan tidak terdiagnosis.
Frekuensi keratitis herpes simpleks di AmerikaSerikat sebesar 5% di
antara seluruh kasus kelainan mata.(3) Di Negara-negara berkembang insidensi
keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun.
(4)
Di Tanzania 35-60% ulkus kornea disebabkan oleh keratitis herpes
simpleks.(5)
Keratitis herpes simpleks dapat merupakan infeksi primer dan
bentuk kambuhan. Kelainan akibat infeksi primer biasanya bersifat
epitelial dan ringan. Gejala-gejala klinis keratitis herpes simpleks kambuhan
tergantung
  berat ringannya daerah yang terkena. Dibedakan atas bentuk lesi epitelial,
(6)
ulserasi trophik, stromal, iridosiklitis, dan trabekulitis. Namun demikian
secara umum gejalanya meliputi: mata merah, nrocos, penglihatan kabur,
adanya infiltrat maupun defek kornea dan yang sangat spesifik adanya
insensibilitas kornea.
Diagnosis keratitis herpes simpleks kadang-kadang sulit dibedakan dengan
kelainan kornea yang lain. Dalam hal ini pemeriksaan laboratorium perlu
dilakukan untuk membedakan dengan keratitis lain, misalnya keratitis bakteri,
 jamur, dan trauma kimia. Pemeriksaan laboratorium yang sangat mendukung

1
konfirmasi diagnosis adalah pemeriksaan cuplikan debridement kornea dengan
immunofl  uore  e   scent assay maupun DNA probe s.
Pengobatan keratitis herpes simpleks makin marak semenjak 
ditemukannya idoksunidina pada tahun 1962, kemudian diikuti dengan
  penemuan vidarabina; namun ternyata kedua obat tersebut bersifat
toksik terhadap set kornea normal. Penemuan obat-obat anti viral terus
berkembang dengan ditemukannya asiklovir, gansikiovir, dan penggunaan
interferon tetes mata.
Beberapa permasalahan yang mungkin dijumpai dalam penanganan
keratitis herpes simplek antara lain: kekambuhan yang berulang, resistensi
antiviral, tingkat keparahan penyakit pada saat mendapat pelayanan kesehatan
yang memadai, dan kemungkinan semakin meningkatnya jumlah kasus.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang pembuatan
diagnosis maupun penatalaksanaan keratitis herpes simpleks serta pengalaman
 praktis dalam penggunaan antiviral. Diharapkan informasi ini akan menambah
wawasan para klinisi dalam menangani keratitis herpes simpleks.

1.2. Tujuan

Penulisan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai gejala,


diagnosis dan penatalaksanaan keratitis herpes simpleks.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Mata


A. Ro   ngga Orbita
R o  ngga orbita merupakan suatu rongga yang dibatasi dinding
tulang dan berbentuk seperti pyramid bersisi empat dengan puncak menuju
kearah foramen optik. Masing-masing sisi tulang orbita berbentuk lengkung
seperti buah peer (jambu) yang menguncup kea rah apeks dank anal
optic. Dinding medial rongga orbita kanan berjalan kurang lebih
sejajar dengan dinding medial rongga orbita kiri dan berjarak 25 mm pada
orang dewasa. Di bagian belakang rongga orbita terdapat tiga lubang,
yaitu:
1. Foramen optik yang merupakan ujung bagian orbita kanal optic yang
member jalan kepada saraf optic, arteri oftalmik dan saraf simpatik.
2. Fisura orbita superior yang dilalui vena oftalmik, serat-serat saraf untuk
otot-otot mata (N III, N IV, N VI) serta cabang pertama
saraf trigeminal.
3. Fisura orbita inferior yang dilalui cabang ke-II N V, nervus maksilaris
serta arteri infraorbita yang merupakan sensorik untuk daerah
kelopak mata bawah, pipi, bibir bagian atas, dan gigi bagian atas.(6)

B. Bola Mata
Bola mata terdiri atas:
1. Dinding bola mata
a. Sklera
Merupakan jaringan ikat kolagen, kenyal dan tebal kira-kira 1
mm. Di bagian posterior bola mata saraf optic menembus sclera
dan tempat tersebut disebut lamina kribosa. Bagian luar sclera

3
 berwarna putih dan halus, dilapisi kapsul tenon dan bagian depan
oleh konjungtiva. Di antara stroma sclera dan kapsul tenon
terdapat episklera. Bagian dalamnya berwarna coklat dan kasar dan
dihubungkan dengan koroid oleh filament-filamen jaringan
ikat yang berpigmen, yang merupakan dinding luar ruangan
supra koroid.(6,7)

 b. Kornea
Dinding bola mata bagian depan ialah kornea yang
merupakan jaringan yang jernih dan bening, bentuknya
hamper sebagai lingkaran dan sedikit lebih lebar pada arah
transversal (12 mm) dibanding arah vertikal. Batas kornea dan
sclera disebut limbus. Tebal kornea berkisar 0.6-1.0 mm dan
terdiri atas 5 lapisan yaitu epitel, membrana bowman, stroma,
membran descemet, dan endotel.

Gambar 2.1. Anatomi Kornea

Epitel
E  pitel kornea merupakan lapisan paling luar kornea dan
  berbentuk epitel pipih berlapis tanpa tanduk. Bagian terbesar 

4
ujung saraf kornea berakhir pada epitel ini. Setiap gangguan
epitel akan memberikan gangguan sensibilitas kornea berupa rasa
sakit atau mengganjal. Daya regenerasi epitel cukup besar sehingga
apabila terjadi kerusakan, aan diperbaiki dalam
 beberapa hari tanpa membentuk jaringan parut.
Membrana Bowman
Terletak di bawah epitel dan merupakan suatu membrane
tipis yang homogeny dan terdiri atas susunan serat kolagen kuat
yang mempertahankan bentuk kornea. Bila terjadi kerusakan
 pada membrane bowman maka akan berakhir dengan
terbentuknya jaringan parut.
Stroma
Merupakan lapisan paling tebal dari kornea dan terdiri dari
atas jaringan kolagen yang tersusun dalam lamel-lamel dan
  berjalan sejajar dengan permukaan kornea. Diantara serat-serat
kolagen ini terdapat matriks. Stroma bersifat higroskopis yang
menarik air dari bilik mata depan. Kadar air di dalam stroma
kurang lebih 70%. Kadar air di dalam stroma relative yang
diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh epitel.
Apabila fungsi sel endotel kurang baik maka akan terjadi
kelebihan kadar air sehingga timbul edem kornea. Serat di dalam
stroma demikian teratur sehingga memberikan gambaran kornea
yang transparent atau jernih. Bila terjadi gangguan susunan serat
di dalam stroma seperti edema kornea dan sikatriks kornea akan
mengakibatkan sinar yang melalui kornea terpecah dan kornea
terlihat keruh.
Membran Descement
Merupakan suatu lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat,
tidak berstuktur dan bening. Terletak di bawah stroma, lapisan ini
merupakan pelindung atau barier infeksi dan masuknya
 pembuluh darah.

5
kerucut lebih banyak. Daerah papil saraf optik terutama terdiri
atas serabut saraf optik dan tidak mempunyai daya
 pengelihatan.(7)

Gambar 2.3 Anatomi Mata


2.2. Keratitis
A. Definisi
Keratitis adalah suatu keadaan dimana kornea mata yang
merupakan bagian terdepan bola mata mengalami suatu inflamasi.
Kondisi ini seringkali ditandai dengan rasa yang sangat nyeri dan
kemudian dapat berkembang menjadi photofobia atau rasa silau bila
terkena cahaya.9

B. Gejala dan Tanda


Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa sangat nyeri,
rasa silau, penurunan visus mendadak, discharge kornea dan mata
merasa kelilipan.

C. Klasifikasi
1. Keratitis Superfisial
a. Keratitis herpes simpleks superficial

9
 b. Keratitis herpes zoster 
c. Keratitis vaksinina
d. Keratitis flikten
e. Keratitis Sika
f. Keratitis Lepra
2. Keratitis Profunda
a. Keratitis Interstitial
 b. Keratitis Sklerotikans

2.3. Keratitis Herpes Simpleks


A. Definisi
Keratitis yang disebabkan oleh virus herpes simpleks. Virus ini
menempati manusia sebagai host, dan merupakan parasit intrasellular obligat
yang dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga
mulut, vagina dan mata.
Penularan herpes simpleks dapat terjadi melalui kontak dengan
cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, dan alat kelamin yang
mengandung virus.

Gambar 2.5 keratitis herpes simpleks

B. Bentuk Infeksi
Keratitis herpes simpleks dibagi dalam 2 bentuk yaitu epithelial
dan stromal, pada yang epithelial terjadi akibat pembelahan virus di
dalam sel epitel yang mengakibatkan kerusakan pada sel epitel dan

10
membentuk tukak kornea yang suferficial. Pada stromal terjadi suatu
reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi
antigen antibody yang menarik sel radang ke dalam stroma. Sel radang
ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus, tetapi juga
akan merusak jaringan stroma di sekitarnya. (6,7)

C. Gejala dan Tanda


Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat
primer dan rekuren. lnfeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise,
limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan
2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat
unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral
khususnya pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer dapat terjadi pada
setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25
tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki
 pada umur 40 tahun ke atas.
Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: nrocos,
fotofobia, injeksi perikornea, dan penglihatan kabur. Berat ringannya
gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,
  berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini
harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipoastesi
kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat
 pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa,
dan keratitis kronik. Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3
minggu pasca infeksi primer.7 Dengan mekanisme yang tidak jelas,
(10)
virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion otonom.
Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n. trigeminus, dan
(11)
ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-
akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai
tempat berlindung virus herpes simpleks.(4) Beberapa kondisi yang
  berperan terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi

11
11. Stevens i, Cook M. Latent herpes simplex virus in sensory ganglia, Perspect
Virol 1971;8: 1720.

12. Barringer JR.  Herpes simplex virus infection of nervous tissue in animal and
man, Pro Med Virol 1975; 20: 15.

13. Tullo AB, Eastly DL, Hill Ti, Blyth WA. Ocular herpes simplex and the
establishment of latent infection, Trans Ophthalmol Soc UK 1982: 102: 158.

14. Krcmer I, Wagner A, Shmeal D, Yussim A, Shapira Z. Herpes simplex


keratitis in renal transplant patient, BrJ Ophthalmol 1991; 75: 946.

15. Shuster ii, Kaufman HE, Nesbur HB. Statistical analysis of the rate
of recurrence of herpes virus ocular epithelial disease, Am I Ophthalmol.
1981: 91: 32831.

16. Suhardjo, Agni AN. Penggunaan asiklovir salep mata 3% untuk pengobatan
keratitis herpetika, Medika 1992; 11: 258.

17. Grayson M. Diseases of the Cornea, 2nd ed. London: CV Mosby Co. 1983.

18. E pstein RI  ,


Wilhelmus K R.  Dendritic keratitis, will wiping it off wipe it
out, in TA Deutsch (ed): Ophthalmic Clinical Debates, Year Book Med.
Publ., Chicago 1989. pp. 8590.

19. Kenyon K R,  Fogle JA, St one DL, Stark WL. Re  generation of corneal
epithelial basement membrane following thermal cauterization. Invest
Ophthalmol Vis Sci, 1977; 16: 2925. 16. Porrier R H, Kingham JJ, deMiranda
P. Annel M. Intra ocular antiviral penetration, Arch Ophthalmol. 1982; 100:
19647.

20. Meyers-Elliot RH  , Pettit TH. Maxwel A. Viral antigens in the immune ring of 
herpes simplex stromal keratitis, Arch Ophthalmol. 1980; 98: 98790.

21. Foster CS, Duncan J. Penetrating keratoplasty for herpes simplex keratitis.
AmJ Ophthalmol. 1981; 92: 3369.

22. Collum LMT, Benedict-Smith A, Hilary lB. Ra  ndomized double.blind


trial acyclovirand idoxuridine in dendritic corneal ulceration, Br J
Ophihalniol. 1980; 64: 7669.

23. Kaufman HE. Herpes simplex in ophthalmology, in F.C. BloW (ed): Herpes
Simplex Infections of the Eye, vol. l,chap. 12. New York: Churchill
Livingstone Inc., 1984. pp. 15360.

23
24. Cohen EJ, Laibson PR.  Corneal transplantation in herpes simplex keratitis, in
FC Blodi (ed): Herpes Simplex Infections of the Eye, vol. I, chap. 11. New
York: Churchill Livingstone Inc., 1984. pp. 14752.

25. Collum LMT, Logan P. R ovenschott T. Acyclovir in herpetic disciform


keratitis, Br I Ophthalmol. 1983; 67: 1158.

26. Poiler SM, Patterson A, Kho P. A comparison of local and systemic


acyclovir in the management of herpetic disciform keralitis. Br J Ophthalrnol.
1990; 74: 2835.

27. McGill JL. Olgivie M. Viral drug resistence in herpes simplex ulceration. in P
Trevor R oper (ed): VIth Congress of the European Society for Ophthalmology,
London, 1980. pp. 814.

28. Charles SJ. Gray ii. Ocular herpes simplex virus infections: reducesensitivity
to acyclovir in primary disease, BrJ Ophthalmol. 1990; 74: 2868.

29. Shiota H. Treatment of herpetic eye diseases. Abstr. XIlIth Congress of AI


Kyoto. 1991.

30. Sundinacher R.  The role of interferon in prophylazis and treatment


of dendritic keintitis. In: FC Blodi (ed): Herpes Simplex Infections of
the Eye, vol. I, chap. 10. New York: Churchill Livingstone Inc.. 1984. pp.
12946

24

Anda mungkin juga menyukai