Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mata merah merupakan keluhan penderita yang sering dijumpai,
Keluhan ini biasanya timbul akibat terjadinya perubahan warna bola mata
yang sebelumnya berwarna putih menjadi merah.
Pada mata normal, sklera akan terlihat berwarna putih karena sklera
dapat terlihat melalui bagian konjungtiva dan kapsul Tenon yang tipis dan
tembus cahaya. Hiperemi konjungtiva terjadi akibat bertambahnya asupan
pembuluh darah ataupun berkurangnya pengeluaran darah seperti pada
pembendungan pembuluh darah. Bila terjadi pelebaran pembuluh darah
konjungtiva atau episklera atau perdarahan antara konjungtiva dan sklera
maka akan terlihat warna merah pada mata yang sebelumnya berwarna putih.
Mata terlihat merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva
yang terjadi pada peradangan mata akut misalnya konjungtivitis, keratitis atau
iridosiklitis.
Pada konjungtiva terdapat beberapa pembuluh darah dimana jika terjadi
pelebaran pembuluh tersebut maka mata akan menjadi merah. Pembuluh-
pembuluh darah tersebut yaitu:
a. Arteri konjungtiva posterior, yang memperdarahi konjungtiva bulbi.
b. Arteri siliar anterior atau episklera yang memberikan cabang:
1. Arteri episklera masuk ke dalam bola mata dan dengan srteri siliar
posterior longus bergabung membentuk arteri sirkular mayor atau
pleksus siliar, yang akan memperdarahi iris dan badan siliar.
2. Arteri perikornea, yang memperdarahi kornea.
3 Arteri episklera yang terletak di atas sklera, merupakan bagian dari arteri
siliar anterior yang memberikan perdarahan ke dalam bola mata.
Selain melebarnya pembuluh darah, mata merah dapat juga terjadi akibat
pecahnya salah satu dari kedua pembuluh darah di atas dan darah tertimbun di

1
bawah jaringan konjungtiva. Keadaan ini disebut sebagai perdarahan
subkonjungtiva.
Mata merah dapat dibagi menjadi mata merah dengan visus normal
ataupun mata merah dengan visus menurun akibat keruhnya media
penglihatan.
Penatalaksanaan kasus mata merah dengan visus normal dan mata merah
dengan visus menurun tidak sama. Pada mata merah dengan visus normal,
tidak ada keterlibatan media refrakta sehingga penggunaan obat-obatan anti
inflamasi steroid bisa digunakan kecuali pada penyakit yang disebabkan oleh
jamur. Sedangkan penatalaksanaan kasus mata merah dengan visus menurun
yang melibatkan media refrakta seperti kornea, maka anti inflamasi steroid
tidak diberikan.

B. Rumusan Masalah
a. Apa saja diagnosis mata merah dengan visus menurun?
b. Bagaimana tatalaksana penyakit mata merah dengan visus menurun?

C. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui apa saja diagnosis
mata merah dengan visus menurun bagaimana tatalaksana penyakit mata merah
dengan visus menurun.

D. Manfaat
1. Mengetahui diagnosis banding mata merah dengan visus menurun.
2. Mengetahui Bagaimana tatalaksana penyakit mata merah dengan visus
menurun?
3. Dapat dijadikan salah satu bahan referensi dalam menunjang kegiatan
praktik dokter di lapangan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Mata
Mata atau organon visus secara anatomis terdiri dari occulus dan alat
tambahan (otot-otot) di sekitarnya. Occulus terdiri dari nervus opticus dan
bulbus occuli. Bulbus occuli terdiri dari tunika dan isi. Tunika atau selubung
terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
1. Tunika fibrosa (lapisan luar) yang terdiri dari kornea dan sklera.
2. Tunika vasculosa (lapisan tengah) yang mengandung pembuluh darah,
terdiri dari chorioidea, corpus ciliaris, dan iris yang mengandung pigmen
dengan musculus dilatator pupillae dan musculus spchinter pupillae.
3. Tunika nervosa (lapisan paling dalam), mengandung reseptor dan terdiri
dari dua lapisan, yaitu stratum pigmenti dan retina. Retina dibedakan atas
pars coeca yang meliputi pars iridica dan pars ciliaris, serta pars optica
yang berfungsi menerima rangsang dari conus dan basilus.
Sedangkan isi pada bulbus oculli terdiri dari :
a. Humor aqueous, zat cair yang mengisi antara kornea dan lensa
kristalina, di belakang dan di depan iris.
b. Lensa kristalina, meliputi capsula lentis dengan ligmentum
suspensorium lentis untuk berhubungan dengan corpus ciliaris.
c. Corpus vitreum, yaitu badan kaca yang mengisi ruangan antara lensa
dengan retina.

Gambar 1. Anatomi Mata

3
B. Diagnosis Mata Merah dengan Visus Menurun
1. Keratitis
Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan
kornea. Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman,
stroma, membran Descemet, ataupun endotel. Peradangan juga dapat
melibatkan lebih dari satu lapisan kornea.
Keratitis memberikan gejala dan tanda berupa epifora, fotofobia,
penglihatan kabur, mata merah, kdang sakit, blefarospasme dan injeksi
perikornea.
Keratitis mikrobial atau infektif disebabkan oleh proliferasi
mikroorganisme, yaitu bakteri, jamur, virus dan parasit, yang
menimbulkan inflamasi dan destruksi jaringan kornea. Kondisi ini sangat
mengancam tajam penglihatan dan merupakan kegawatdaruratan di bidang
oftalmologi.
a. Keratitis Bakterial
Keratitis bakterial jarang terjadi pada mata normal dikarenakan
adanya mekanisme pertahanan alami kornea terhadap infeksi. Faktor
predisposisi yang umum terjadi adalah penggunaan lensa kontak, trauma,
riwayat operasi kornea, kelainan permukaan bola mata, penyakit sistemik
dan imunosupresi. Di negara berkembang, streptokokus, stafilokokus dan
pseudomonas merupakan penyebab keratitis bakterial terbanyak.
Tanda dan gejala klinis keratitis bakterial bergantung kepada
virulensi organisme dan durasi infeksi. Tanda utama adalah infiltrasi epitel
atau stroma yang terlokalisir ataupun difus. Umumnya terdapat defek
epitel di atas infiltrat stromal nekrotik yang berwarna putih-keabu-abuan.
Tampilan umum lainnya adalah abses stroma di bawah epitel yang intak.
Infiltrat dan edema kornea dapat terletak jauh dari lokasi infeksi primer.
Ulserasi kornea dapat berlanjut menjadi neovaskularisasi. Jika proteinase
menyebabkan stromal melting maka akan terbentuk descemetocele (pada
keratitis ulseratif yang diakibatkan oleh P. aeruginosa akibat penggunaan
lensa kontak yang tidak hygiene). Gejala yang dikeluhkan dapat berupa

4
rasa nyeri, pembengkakan kelopak mata, mata merah atau mengeluarkan
kotoran, silau, dan penglihatan yang buram.

Gambar 2. Descemetocele Gambar 3. Keratitis Bakterial


Terapi yang diberikan biasanya berdasarkan jenis gram bakterinya.
Pada bakteri gram (-) diberikan tobramisin, gentamisin, atau polimiksin.
Sedangkan pada gram (+) diberikan cefazolin, vancomyxin, atau
basitrasin.
b. Keratitis Jamur
Keratitis jamur (keratomikosis) merupakan inflamsi yang disebabkan
oleh infeksi jamur dan menyebabkan peradangan pada kornea. Faktor
predisposisinya antara lain trauma, pemakaian lensa kontak, dan steroid
topical. Infeksi ini pertama kali menyerang epitel kornea dan stroma
kornea, endothelium dan bilik mata depan juga dapat terinfeksi pada kasus
yang berat.
Jamur yang dapat menyebabkan keratitis adalah Fusarium,
Cephalocepharium, dan Curvularia. Namun dilaporkan bahwa Aspergillus
sp. merupakan penyebab terbanyak keratitis yang timbul di seluruh dunia.
Gejala keratitis jamur umumnya tidak seakut keratitis bakterial.
Gejala awal dapat berupa rasa mengganjal di mata dengan peningkatan
rasa nyeri. Tanda klinis yang paling sering ditemukan pada pemeriksaan
lampu celah juga umum ditemukan pada keratitis mikrobial seperti
supurasi, injeksi konjungtiva, defek epitel, infiltrasi stroma, reaksi radang
di bilik mata depan atau hipopion. Tanda klinis yang dapat membantu
penegakan diagnosis keratitis jamur filamentosa adalah ulkus kornea yang

5
bercabang dengan elevasi, batas luka yang iregular dan seperti kapas,
permukaan yang kering dan kasar, serta lesi satelit. Tampilan pigmentasi
coklat dapat mengindikasikan infeksi oleh jamur dematiaceous. Keratitis
jamur juga dapat memiliki tampilan epitel yang intak dengan infiltrat
stroma yang dalam. Walaupun terdapat tanda-tanda yang cukup khas
untuk keratitis jamur, penelitian klinis gagal membuktikan bahwa
pemeriksaan klinis cukup untuk membedakan keratitis jamur dan
bakterial.
Diagnosis pasti dari keratitis jamur dapat dibuat dengan pemeriksaan
mikroskopik kerokan kornea menggunakan KOH 10% yang akan
menunjukkan adanya hifa.
Penatalaksaan pada keratitis jamur adalah pengobatan menggunakan
obat anti jamur. Dapat digunakan golongan polyene (natamycin, nystatin,
dan amphotericin B) yang bekerja dengan cara mengikat pada dinding sel
fungi dan mengganggu permeabilitas membrane jamur sehingga terjadi
ketidakseimbangan intraseluler, atau golongan azole (imidazole dan
triazole) yang dapat menghambat suntesa ergosterol pada konsentrasi
rendah dan pada konsentrasi tinggi bekerja merusak dinding sel.
Apabila terjadi perburukan atau semakin bertambahnya infeksi pada
kornea walaupun telah mendapat pengobatan anti fungi yang maksimal,
maka perlu dilakukan operasi.

Gambar 4. Keratitis jamur

6
c. Keratitis Pungtata
Keratitis pungtata merupakan keratitis yang terkumpul di daerah
membrane Bowman, dengan infiltrate berbentuk bercak-bercak halus.
Keratitis pungtata disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi
pada herpes simpleks, herpes zoster, trakoma, moluskum kontagiosum,
blefaritis neuropaaralitik, infeksi virus, dry eyes, lagoftalmus, keracunan
obat seperti neomisin, tobramisin, dan bahan pengawet lainnya. Kelainan
pada keratitis pungtata berupa:
1) Keratitis pungtata superficial
Gambarannya berupa infiltrat halus bertitik-titik pada
permukaan kornea. Merupakan cacat halus kornea superficial dan bila
diwarnai dengan fluoresin akan berwarna hijau.
Keratitis pungtata superficial dapat disebabkan sindrom dry eye,
blefaritis, keratopati lagoftalmus, keracunan obat topikal, sinar
ultraviolet, trauma kimia ringan, pemakaian lensa kontak.
Pasien akan mengeluh sakit, silau, mata merah, dan rasa
kelilipan. Penatalaksanaannya menggunakan air mata buatan,
kemudian antibiotik tetes mata seperti tobramisin, dan siklopegik.

Keratitis herpes simpleks


Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host,
merupakan parasit intraselular obligat, dapat ditemukan pada mukosa
rongga hidung, rongga mulut, dan mata. Penularan dapat terjadi
melaluikontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga mata, mulut,
alat kelamin yang mengandung virus.
Bentuk infeksi keratitis herpes simpleks ini dibagi dalam 2
bentuk yaitu epitel dan stromal; pada epitelial mengakibatkan
kerusakan sel epitel dan membentuk ukus kornea superficialis. Pada
yang stromal terjadi reaksi imunologis tubuh terhadap virus yang
menyerang reaksi antigen-antibodi yang menarik sel-sel radang
kedalam stroma. Sel radang juga mengeluarkan bahan proteolitik

7
untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stromal di
sekitarnya. Pengobatan pada yang epitelial ditujukan pada virusnya
sedangkan pada stromal ditujukan untuk menyerang virus dn reaksi
radangnya.
Gambaran klinis infeksi primer herpes simpleks pada mata
biasanya berupa konjungtivitis folikularis akut disertai blefaritis
vesikuler yang ulseratif, sertapembengkakan kelenjar limfa regional.
Kebanyakan penderita juga disertai keratitis eptelial dan dapat
mengenai stroma tetapi jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini dapat
sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu di mana daya tahan
tubuh yang sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.
Gambaran khas pada kornea adaah bentuk dendrit, akan tetapi
dapat juga bentuk lain. Secara subjektif, keratitis herpes simples
epiteliel kadang tidak dikeluhkan oleh penderita, keuhan mungkin
karena kelopak yang sedikit membengkak atau mata yang berair yang
bia sering diusap menyebabkan lecet pada kulit palpebra. Secara
objektif didapatkan iritasi yang ringan, sedikit merah, berair, dan
unilateral.
Pada serangan berulang, kornea menjadi target utama dan
menimbulkan keratitis stroma yang dapat disertai uveitis. Gambaran
pada kornea adalah lesi disformis tetapi dapat juga berbentuk yang ein
yang tidak spesifik dan lazim seperti keratitis meta-herpetika. Pada
keadaan ini pasien datang dengan keluhan mata berair, silau,
pengihatan kabur dan pada pemeriksaan didapatkan injeksi
konjungtiva dan silier.
Diagnosis banding keratitis herpes simpleks adalah keratitis
herpes zoster, vaksinia, dan keratitis stafilokokus.
Pengobatan topikan diberikan obat anti virus. Dapat pula
dilakukan kauterisasi dengan asam karbonat atau larutan yodium (7%
dan 5% dalam larutan alkohol). Tujuan kauterisasi adalah untuk

8
menghancurkan sel-sel yang sakit dan mencegah perluasan penyakuit
ini kebagian stroma atau yang lebih dalam lagi.

Gambar 5. Keratitis dendritik akibat herpes simpleks

Keratitis herpes zoster


Disebabkan oleh virus varicella-zoster. Virus ini menyerang saraf
kranial V,VII,dan VIII. Pada nervus trigemunus, bila yang diserang
pons dan ganglion gasseri, maka akan terjadi gangguan pada ketiga
cabang N V. Biasanya yang terganggua adalah cabang oftalmik.
Bila cabang oftalmik yang terserang, maka terjadi pembengkakan
kulit didaerah dahi, alis dan kelopak mata disertai kemerahan yang
dapat siertai vesikel, dapat mengalami supurasi, yang bila pecah akan
menimbulkan sikatriks.
Secara subjektif, biasanya penderita datang dengan rasa nyeri
disertai edema kulit yang tampak kemerahan pada daerah dahi, alis dan
kelopak mata serta sudah disertai adanya vesikel.
Secara objektif, tampak erupsi kulit pada daerah yang dipersarafi
cabang oftalmik nervus trigeminus. Rima palpebra tampak sempit
karena adanya pembegkakan pada kelopak atas mata. Bila kornea atau
jaringan yang lebih dalam yang terkena maka dapat timbul lakrimasi,
mata yang silau dan sakit dan penderita tampak kesakitan yang parah.
Bila infeksi mengenai jaringan mata yang lebih dalam lagi, mata dapat
menimbulkan iridosiklitis disertai sinekia iris serta menimbulkan
gaukoma sekunder.

9
Pemberian asiklovir oral maupun topikal tampak menjanjikan,
bila disertai infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik.

Keratirtis vaksinia
Keratitis vaksinia dapat terjadi akibat suatu kecelakaan atau
kompikasi imunitas terhadap variola.
Vaksinia dapat mengenai kornea dan dapat dicegah
penyebarannya dengan memberika suntikan gamma globulin intra
muskular.
2) Keratitis pungtata subepitel
Keratitis ini infiltratnya terkumpul di daerah membrana
Bowman. Biasanya bersifat bilateral dan berjalan kronis tanpa
terlihatnya gejala kelainan konjungtiva ataupun tanda radang akut.
Lebih sering keratitis pungtata subepitel terjadi pada dewasa muda.
3) Pada konjungtivitis verna dan konjungtivitis atopik ditemukan
bersama-sama papil raksasa.
4) Pada trakoma, pemfigoid, sindrom Stevens Johnson dan pasca
pengobatan radiasi dapat ditemukan bersama-sama dengan jaringan
parut konjungtiva.
d. Keratitis Filamentosa
Keratitis filamentosa adalah keratitis yang disertai adanya filamen
mukoid dan deskuamasi sel epitel pada permukaan kornea. Penyebabnya
tidak diketahui. Kelainan ini ditemukan pada sindrom mata kering,
diabetes melitus, pasca bedah katarak, dan keracunan kornea oleh obat
tertentu.
Filamen terdiri atas sel dan sisa mukoid, dengan dasar berbentu
segitiga yang menarik epitel. Epitel yang terdapat pada filament terlihat
tidak melekat pada epitel kornea. Di dekat filamen terdapat defek epitel
disertai kekeruhan epitel berwarna abu-abu.
Gejalanya dapat berupa rasa kelilipan, sakit, silau, blefarospasme,
dan epifora. Terdapat pula mata merah dan defek epitel kornea.

10
Penatalaksanaan dapat menggunakan larutan hipertonik NaCl 5% sebagai
air mata buatan. Selain itu, tindakan yang bisa dilakukan adalah
mengangkat filamen dan bila mungkin memasang lensa kontak lembek.
e. Keratitis fikten
Benjolan putih yang bermula di limbus tetapi mempunyai
kecenderungan untuk menyerang kornea.
Terdapat hiperemis konjungtiva dan memberikan kesan kurangnya
air mata. Secara subjektif, biasanya pasien datang karena ada benjoan
putih kemerahan dipinggir mata yang hitam. Apabia jaringan korne yang
terkena mata mata berair, silau dan disertai rasa sakitdan pengihatan kabur.
Secara objektif, terdapat benjolan putih kekuningan pada daerah
limbus yang dikeliingi daerah konjungtivitis yang hiperemis.
Pada anak-anak dengan gizi buruk, keratitis fikten ini dapat
berkembang menjadi tukak korne karena infeksi sekunder.
Penyembuhan pada keratitis fikten ini menyisakan jaringan parut
yang disertai neovaskularisasi kornea. Pengobatan dapat diberikan berupa
tetes mata steroid.
f. Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi
kelenjar lakrimal atau sel goblet yang berada di konjungtiva, dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan sebagai berikut:
- Defisiensi kelenjar air mata
(sindron syogren, tumor kelenjar air mata, obat-obat diuretik,
penggunaan atropin ama, usia lanjut)
- Defisiensi komponen lemak dan air mata
(bleferitis menahun, pembedahan kelopak mata)
- Defisiensi komponen musin
(SSJ, truma kimia, devisiensi vitamin A)
- Paparan air mta yang berebihan
(keratitis karena lagoftalmus, hidup didaerah yang panas dan
kering)

11
- Rusaknya mikrofili pada kornea
(trauma kimia)
g. Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang dikibatkan oleh gangguan trofik saraf,
disebut juga keratitis neuroparalitik.
Secara subjektif, penderita datang karena keluahan pembengkakan
yang kemerahan pada papebra dan keluhan lain pada bagian tubuh diluar
mata.
Secara objektif, terdapat keratitis avaskular berupa lesi pungtata
berwarna putihseperti kapur yang lama kelamaan batasnya akan mengabur
dan sekelilingnya akan berkabut.
Terhadap mikobakterium lepra diberikan diapson dan rifampisin.
Apabila terdapat deformitas palpebra yang akan mengakibatkan kerusakan
kornea dapat dilakukan koreksi pembedahan.
h. Keratitis numularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya
multipel pada dan banyak didapatkan pada petani.
Secara subjektif meneluh silau
Secara objektif, mata yang terserang terlihat merah karena injeksi
silier disertai lakrimasi.
Pemberian kortikosteroid lokal membarikan hasil yang baik yaitu
hilangnya tanda-tanda radang dan lakrimasi tetapi penyerapan infiltrat
dapat terjadi dalam waktu yang lama, sekitar 1-2 tahun.
Anamnesis
Tanda subjektif pada keratitis :
Sakit, terkecuali pada keratitis neuroparalitika, fotofobia, lakrimasi,
blefarospasme, gangguan visus.
Tanda objektif :
Injeksi perikornea dilimbus kornea. Apabila hebat juga disertai
dengan injeksi konjungtiva. Mungkin juga terdapat peradangan dari iris
dan badan siliar. Kornea edema dan terdapat infiltrat.

12
Diagnosis pada keratitis
Pemeriksaan tajam penglihatan
1. Pemeriksaan slitlamp : infiltrat di kornea. Konjungtiva hieremis
tipe siliar injection/ pericorneal injection
2. Tes plasido
Hasil (+) plasido berarti permukaan kornea tidak baik,
mungkin ada infiltrat, ulkus, sikatrik, astigmatisma.
3. Pemeriksaan bakteriologik:
Bila banyak monosit diduga akibat virus:
Leukosit PMN kemungkinan akibat bakteri
Eosinofil, emunjukkan radang akibat alergi
Limfosit, terdapat pada radang yang kronis.

2. Galukoma Akut
Glaukoma adalah neuropati optik yang disebabkan oleh tekanan
intraokular (TIO) yang relatif tinggi, ditandai oleh kelainan lapang
pandang yang khas dan atrofi papil saraf optik. Mata merah dengan
penglihatan turun mendadak biasanya merupakan glaukoma sudut tertutup
akut. Pada glaukoma sudut tertutup akut, tekanan intraokular meningkat
mendadak dan terjadi pasien dengan sudut bilik mata sempit.

Gambar 6. Glaukoma sudut tertutup akut


Anamnesa yang khas sekali pada galukoma primer sudut tertutup
akut adalah nyeri pada mata yang mendapat serangan. Nyeri dapat
berlangsung beberapa jam dan hilang setelah tidur. Selain nyeri keluhan
lain berupa melihat halo (pelangi) di sekitar lampu dan keadaan ini

13
merupakan stadium prodromal. Gejala dapat disertai penglihatan kabur,
mata merah, kornea keruh, mual dan muntah.
Pengobatan glaukoma akut harus segera dilakukan yaitu berupa
pengobatan topikal dan sistemik. Tujuan pengobatan ialah menurunkan
tekanan bola mata secepatnya dan bila tekanan bola mata normal dan mata
tenang dilakukan pembedahan. Pengobatan topikal dapat diberikan
pilokarpin 2%. Sedangkan pengobatan sistemik diberikan asetazolamid
dan manitol. Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah
iridektomi dan pembedahan filtrasi.

3. Uveitis
Uveitis termasuk dalam kelompok penyakit ocular inflammatory
disease yang ditandai dengan proses peradangan pada uvea. Uvea
merupakan bagian mata yang memiliki pigmen dan pembuluh darah serta
terbagi menjadi iris, badan silier dan koroid.
Klasifikasi uveitis yang digunakan secara luas adalah klasifikasi
menurut Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN) Working Group.
Dalam klasifikasi ini uveitis dibagi menurut lokasi proses peradangan
jaringan uvea, yaitu uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior
dan panuveitis. Istilah panuveitis digunakan pada proses inflamasi yang
terjadi pada segmen anterior, vitreus, retina dan koroid.
a) Uveitis anterior
Uveitis anterior ditandai dengan adanya dilatasi pembuluh darah
yang akan menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal
atau pericorneal vascular injection). Peningkatan permeabilitas ini
akan menyebabkan eksudasi ke dalam akuos humor, sehingga terjadi
peningkatan konsentrasi protein dalam akuos humor. Pada
pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai akuos
flare atau sel, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek
tyndal). Kedua gejala tersebut menunjukkan proses peradangan akut.

14
Keluhan pasien dengan uveitis anterior akut adalah mata sakit,
merah, fotofobia, dan penglihatan turun ringan dengan mata berair.
Perjalanan penyakitnya khas yaitu berlangsung antara 2-4 minggu.
Kadang-kadang penyakit ini memeperlihatkan gejala kekambuhan dan
menjadi menahun.

Gambar 7. Uveitis Anterior


Tujuan utama dari pengobatan uveitis anterior adalah untuk
mengembalikan atau memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila
sudah terlambat dan fungsi penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan
seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk mencegah
memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang tidak
diharapkan. Terapi yang dapat diberikan adalah midritikum
(sikloplegik). Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-ototiris
dan badan silier relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri dan
mempercepat panyembuhan. Selain itu, midriatikum sangat bermanfaat
untuk mencegah terjadinya sinekia, ataupun melepaskan sinekia yang
telah ada. Midriatikum yang biasanya digunakan adalah sulfas atropin
1% sehari 3 kali tetes. Kemudian diberikan juga anti inflamasi
kortikosteroid. Kortikosteroid topikal merupakan metode pemberian
yang paling sering dan biasanya digunakan untuk kasus-kasus uveitis
anterior.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat uveitis anterior adalah
glaukoma sekunder dan katarak komplikata.

15
4. Pterigium meradang Grade III dan Grade IV
Pterigium grade III (mencapai tepi pupil) dan grade IV (melewati
tepi pupil) yang meradang, akan memberikan manifestasi klinis berupa
keluhan mata iriftatif, merah, dan timbul gangguan penglihatan. Pada
grade III dan grade IV ini, pterigium sudah menutupi media penglihatan,
sehingga perlu dilakukan pembedahan. Namun sebelum dilakukan
pembedahan, jika terdapat peradangan maka diberikan steroid atau tetes
mata dekongestan terlebih dahulu.

Gambar 8. Pterigium

Gambar 9. Pterigium Grade IV

16
BAB III
KESIMPULAN

Mata merah merupakan keluhan yang timbul akibat terjadinya perubahan


warna bola mata yang sebelumnya berwarna putih menjadi merah. Mata terlihat
merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada
peradangan mata akut.
Klasifikasi mata merah dapat dibagi menjadi dua yakni mata merah dengan
visus normal dan mata merah dengan visus menurun.
Diagnosis banding untuk mata merah dengan visus menurun antara lain
keratitis, glaukoma akut, uveitis, dan pterigium yang meradang grade III dan
grade IV.
Penatalaksanaan kasus mata merah dengan visus normal dan mata merah
dengan visus menurun tidak sama. Penatalaksanaan kasus mata merah dengan
visus menurun yang melibatkan media refrakta seperti kornea, maka anti inflamasi
steroid tidak diberikan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF. Ilmu Penyakit


Mata Ed.III. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo.

Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy, A Revision and Applied Anatomy


for Clinical Students Eleventh Edition. Massachusetts, USA : Blackwell
Publishing, Inc .

Ilyas, Sidharta. 2006. Dasar-Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit


Mata Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Ilyas, Sidharta. 2008. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Ilyas, Sidharta., Mailangkay., Taim, Hilman., dkk. 2002. Ilmu Penyakit


Mata untuk dokter umum dan mahasiswa kedokteran. Edisi 2. Jakarta:
Sagung Seto

Sowka, J.W., Gurwood, A.S., dan Kabat, A.G. 2010. Review of


Optometry, The Handbook of Occular Disease Management Twelfth
Edition. http://www.revoptom.com/.

Vaughan, Daniel., Asbury, Taylor., Riordan-Eva, Paul. 2006. Oftalmology


Umum. Edisi 14. Jakarta: KDT

18

Anda mungkin juga menyukai