Anda di halaman 1dari 26

BAB I PENDAHULUAN

Keratitis Herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Dinegara-negara barat 90% dari populasi orang dewasa memiliki antibodi terhadap virus herpes simpleks. Namun demikian, hanya kurang dari 1% yang mengalami kelainan pada mata. Sebagian besar bersifat subklinis dan tidak terdiagnosis. Sekitar 500.000 orang di Amerika Serikat menderita penyakit herpes simpleks mata. Sekitar 20.000 kasus baru dari keratitis herpes okular terjadi setiap tahunnya di AS, dan lebih dari 28.000 mengalami reaktivasi. Biasanya hanya mempengaruhi satu mata dan merupakan salah satu penyebab kebutaan kornea yang paling sering di AS. Keratitis herpes simpleks dapat merupakan infeksi primer dan bentuk kambuhan (rekurens). Infeksi primer biasanya terjadi pada orang yang tidak mempunyai antibodi terhadap virus herpes simpleks, yaitu pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Sedangkan infeksi herpes kambuhan terjadi pada seseorang yang telah mempunyai antibodi terhadap virus herpes simpleks dan dicetuskan oleh berbagai keadaan seperti demam, daur haid, dan sinar ultraviolet. Gejala klinis biasanya mirip dengan konjungtivitis sehingga

menyamarkan diagnosis infeksi herpes simpleks. Infeksi dapat sembuh sendiri. Jika infeksi aktif, dapat mempengaruhi kornea lebih luas, dan gejala yang ditimbulkan lebih berat. Gejala reaktivasi antara lain mata nyeri, penglihatan kabur, kemerahan dan fotofobia. Terapi keratitis herpes simpleks bertujuan untuk menghentikan replikasi virus di kornea dan mengurangi kerusakan akibat peradangan. Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial, karena virus berlokasi di dalam epitel. Agen antivirus topikal yang sering dipakai yaitu idoxuridine, trifluridine, vidarabin, dan acyclovir. Terapi bedah keratoplasti 1

penetrans diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan pasien yang mempunyai sikatrik kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah infeksi non-aktif. Infeksi herpes rekurens pasca bedah timbul akibat trauma bedah dan penggunaan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA

Gambar 1. Anatomi kornea Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, transparan, tembus cahaya dan menutupi bola mata sebelah depan. Bentuknya hampir sebagai lingkaran dan sedikit lebih lebar pada arah transversal (12 mm) dibanding arah vertikal. Batas kornea dan sklera disebut limbus. Tebal kornea (0.6-1.0) mm terdiri atas lima lapisan, yaitu: 1. Epitel 2. Membran Bowman 3. Stroma 4. Membran Descement 5. Endotel 3

Gambar 2. Penampang melintang kornea 1. Epitel Epitel kornea merupakan lapisan paling luar kornea dan berbentuk epitel berlapis gepeng tanpa tanduk. Epitel berasal dari ektoderm permukaan. Bagian terbesar ujung saraf kornea berakhir pada epitel ini. Setiap gangguan epitel akan memberikan gangguan sensibilitas kornea berupa rasa sakit atau mengganjal. Daya regenerasi epitel cukup besar, sehingga apabila terjadi kerusakan epitel, akan diperbaiki dalam beberapa hari tanpa membentuk jaringan parut. 2. Membran Bowman Membran Bowman yang terletak dibawah epitel merupakan suatu membran tipis yang homogen terdiri atas susunan serat kolagen kuat yang mempertahankan bentuk kornea. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi. Apabila terjadi kerusakan pada membran Bowman maka akan berakhir dengan terbentuknya 4

jaringan parut. 3. Stroma Lapisan paling tebal dari kornea dan terdiri atas jaringan kolagen yang tersusun dalam lamel-lamel dan berjalan sejajar dengan permukaan kornea. Diantara seratserat kolagen ini terdapat matriks. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air dari bilik mata depan. Kadar air di dalam stroma relatif tetap sekitar 70% yang diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan epitel. Apabila fungsi sel endotel kurang baik, maka akan terjadi kelebihan air sehingga timbul sembab kornea (edema kornea). Serat di dalam stroma teratur sehingga menampilkan gambaran kornea yang jernih atau transparan. Bila terjadi gangguan dari serat di dalam stroma seperti edema kornea dan sikatriks kornea akan mengakibatkan sinar yang melalui kornea terpecah dan kornea terlihat keruh. 4. Membran Descement Merupakan suatu lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat, tidak teratur dan bening. Terletak di bawah stroma. Lapisan ini merupakan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah. 5. Endotel Terdiri atas satu epitel yang merupakan jaringan terpenting untuk mempertahankan kejernihan kornea. Sel endotel adalah sel yang mengatur cairan didalam stroma kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi sehingga bila terjadi kerusakan, endotel tidak akan normal lagi. Endotel dapat rusak atau terganggu fungsinya akibat trauma bedah dan penyakit intraokular. Usia lanjut akan mengakibatkan jumlah endotel berkurang. Kornea tidak mengandung pembuluh darah, jernih dan bening. Selain sebagai dinding, juga berfungsi sebagai media penglihatan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea yaitu sekitar 40-50 dioptri. Kornea dipersarafi oleh N. V (nervus trigeminus). Dalam keadaan normal kornea adalah transparan. Transparansi ini disebabkan oleh tidak adanya pembulih darah dan jaringan kornea yang strukturnya seragam; serta berfungsinya mekanisme pompa sel endotel. 5

Gangguan transparansi kornea pada dasarnya disebabkan oleh gangguan pada tiga hal tersebut diatas, yaitu: Tumbuhnya vaskularisasi kedalam jaringan kornea. Gangguan pada integritas struktur jaringan kornea. Misalnya oleh adanya kelainan congenital dan herediter, infeksi kornea, ulkus kornea dan komlikasinya. Edema kornea yang pada dasarnya disebabkan oleh disfungsi endotel. Penyakit kornea yang serius karena penanganan yang tidak sempurna atau terlambat akan mengakibatkan gangguan penglihatan permanen berupa penglihatan yang kabur hingga kebutaan. HSV adalah anggota virus herpes keluarga, Herpesviridae, yang menginfeksi manusia. Kedua HSV -1 dan -2 adalah menular. Mereka dapat disebarkan ketika orag yang terinfeksi adalah memproduksi shedding virus. Kadang-kadang, virus menyebabkan gejala sangat ringan atau atipikal. Namun, seperti virus dan neuroinvasive Neurotropik, HSV-1 dan -2 bertahan dalam tubuh dengan menjadi laten dan bersembunyi dari sistem kekebalan tubuh yaitu dalam sel tubuh saraf. Setelah atau infeksi awal, beberapa orang yang terinfeksi mengalami episode reaktivasi virus. Saat itu, virus dalam sel saraf menjadi aktif dan diangkut melalui saraf akson pada kulit, dimana virus bereplikasi dan menyebabkan luka baru. 2.2 DEFINISI Keratitis Herpes simpleks adalah peradangan kornea akibat infeksi Herpes Simpleks Virus (HSV). HSV adalah parasit intraseluler obligat yang menempati manusia sebagai host. HSV merupakan virus rantai ganda yang termasuk kedalam famili herpesviridae. Mengandung 3 komponen pembentuk utama. Bagian inti yang mengandung DNA virus, membran sel dan kapsid. Tegument terletak diantara kapsid dan selubung serta berbagai protein yang dikirim ke dalam sel yang terinfeksi selama fusi. Virus ini termasuk golongan virus herpes yang antara lain beranggotakan virus varicella zoster, virus sitomegali dan virus Epstein barr. Ada 2 tipe virus herpes simpleks berdasarkan perbedaan antigen dan 6

sitopatologi yang timbul pada jaringan, yaitu herpes simpleks tipe 1 dan 2. HSV tipe 1 (HSV-1) infeksinya terutama pada daerah orofasial dan ocular, sementara HSV tipe 2 (HSV-2) umumnya ditularkan melalui hubungan seksual dan menyebabkan penyakit genitalia. HSV-2 jarang namun dapat menginfeksi mata melalui kontak orofasial dengan lesi genitalia dan secara tidak sengaja ditularkan kepada neonatus ketika neonatus lahir secara normal pada ibu yang terinfeksi HSV-2.

Gambar 3. Struktur HSV 2.3 EPIDEMIOLOGI Di negara barat 90% dari populasi orang dewasa dilaporkan rnemiliki antibodi terbadap herpes simpleks. Namun demikian, hanya kurang dari 1% yang menimbulkan kelainan pada mata. Sebagian besar bersifat subklinis dan tidak terdiagnosis Frekuensi keratitis herpes simpleks di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus kelainan mata. Sekitar 500.000 orang di AS menderita penyakit herpes simpleks mata. Sekitar 20.000 kasus baru dari herpes okular terjadi di AS setiap tahunnya, dan lebih dari 28.000 mengalami reaktivasi. Biasanya hanya terjadi pada satu mata dan merupakan salah satu penyebab kebutaan kornea paling umum di AS. Di Negara-negara berkembang insidensi keratitis herpes simpleks berkisar 7

antara 5,9-20,7 per 100.000 orang tiap tahun. Di Tanzania 35-60% ulkus kornea disebabkan oleh keratitis herpes simpleks. Keratitis herpes simplek dapat terjadi sepanjang tahun, kasus pada laki laki kurang lebih dua kali perempuan, masa inkubasi 2 hari hingga 2 minggu. Keratitis herpes simpleks didominiasi oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke atas. 2.4 KLASIFIKASI Keratitis herpes simpleks berdasarkan mekanisme kerusakannya terbagi atas 2 bentuk, yaitu: a. Tipe epitelial Bentuk epitelialnya ialah bentuk dendritik. Terjadi akibat pembelahan virus di dalam sel epitelial yang mengakibatkan kerusakan epitel dan membentuk tukak (ulkus) kornea superfisial yang biasanya menetap lebih dari 1 tahun. b. Tipe stromal Terjadi akibat reaksi imunologi tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu terjadi reaksi antigen-antibodi yang menarik sel radang ke dalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga untuk merusak jaringan stroma disekitarnya. Bentuk ini dapat sembuh sendiri setelah beberapa minggu sampai bulan. Biasanya infeksi herpes simpleks ini berupa campuran antara epitel dan stroma. Hal ini sangat berkaitan dengan pengobatan dimana pada epithelial dilakukan terhadap virus dan pembelahan virus, sedangkan pada tipe stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya. Keratitis herpes simpleks terdapat dua bentuk, yaitu: a. Infeksi Primer Merupakan suatu infeksi pada seseorang yang tidak mempunyai antibodi terhadap herpes simpleks. Biasanya terdapat pada usia 6 bulan sampai 6 tahun. Dapat terjadi tanpa gejala klinik atau dengan gejala klinik yang ringan, dapat pula berupa erupsi kulit atau anogenital. Kelainan primer di mata berupa:

Vesikel di kelopak mata atau margo pelpebra Konjungtivitis folikularis Keratitis pungtata superficial yang dapat berkembang menjadi liniaris, fasikularis dan dendritikus. Terdapat pula pembesaran dari kelenjar preauricular

Terjadinya infeksi primer menyebabkan pembentukan antibodi dalam tubuh. Infeksi primer ini dapat sembuh atau menjadi infeksi laten (carrier virus), yang sewaktu-waktu dapat kambuh bila terdapat trigger mechanism seperti demam, haid, terkena sinar ultraviolet, sinar matahari dan stres psikis. Adanya antibodi dalam badan tidak mencegah kekambuhan, tapi dapat mengubah manifestasi di kulit dan konjugtiva, tetapi tidak di kornea. Kalau pada serangan pertama mengenai konjungtiva dan kornea, maka pada serangan kekambuhan konjugtiva tidak diserang lagi. Setelah infeksi primer, virus tersembunyi di salah satu tempat di badan, diantaranya di radix dan ganglion dorsalis. b. Infeksi Rekuren (kekambuhan) Merupakan infeksi pada seseorang yang telah mempunyai antibodi terhadap virus herpes simpleks dan dicetuskan oleh berbagai trigger mechanism. Kelainannya di mata dapat berupa kelainan epitel dan stromal, meliputi: Ulkus denditikus Ulkus geografik Keratitis intersisial (termasuk keratitis profunda ulseralis) Keratitis disiformis (termasuk keratitis profunda non ulseralis) Uveitis

Dengan adanya pencetus, maka virus yang bersembunyi akan berkembang baik, menjadi aktif dan menimbulkan serangan kekambuhan. Karateristik untuk keratitis herpes simpleks adalah bentuk dendrit.

2.5 PATOFISIOLOGI

Ketidakseimbangan imunitas penderita dapat menyebabkan terjadinya aktivasi virus herpes dan selanjutnya dapat menimbulkan keratitis. Kondisi imunosupresi dapat terjadi akibat penggunaan kortikosteroid sistemik yang menimbulkan aktivasi keratitis herpes simpleks. Pada infeksi virus mula-mula kadar IgM meningkat, kemudian kadar IgG dalam darah juga meningkat dan akhimya tampak antibodi IgA dalam sekresi mukosa. Selanjutnya dikatakan, bahwa antibodi menghancurkan virus ekstraseluler. Virus yang bergabung dengan antibodi terutama dengan IgA akan dicegah perlekatannya dengan sel membran dan menginfeksi jaringan. Reaksi hipersensitivitas tipe II (sitotoksik) yang ditingkatkan oleh IgG antibodi memudahkan fagositosis dan netralisasi virus. Virus herpes simpleks yang stromal disertai oleh reaksi tipe IV dapat terjadi pada penderita yang rnengalami depresi sistem imun akibat penggunaan kortikosteroid, karena usia lanjut, atau karena penyakit sistemik. Keratitis disciformis dapat merupakan hasil reaksi tipe IV terhadap antigen virus herpes. 2.6 MANIFESTASI KLINIK Herpes simpleks primer pada mata jarang ditemukan, bermanifestasi sebagai blefarokonjugtivitis vesikular, kadang-kadang mengenai kornea dan umumnya terdapat pada anak-anak muda. Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti. Serangan keratitis herpes jenis rekurens umumnya dipicu oleh demam, pajanan sinar yang berlebihan terhadap cahaya sinar UV, trauma, stress psikis, awal menstruasi, atau keadaan imunosupresi lokal atau sistemik lainnya. Umumnya unilateral, namun lesi bilateral dapat terjadi pada 4-6% kasus dan paling sering pada kasus atopik. 1. Gejala Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian sentral terkena akan terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anastesi kornea umumnya timbul pada awal infeksi, gejalanya minimal dan pasien tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh-lepuh demam atau 10

infeksi herpes lain, tetapi ulkus kornea terkadang merupakan satu-satunya gejala pada infeksi herpes rekurens. 2. Lesi Lesi kornea dapat digolongkan menjadi 5 jenis, yaitu: a. Ulserasi dendritik Paling khas, yang ditandai oleh percabangan linear khas dengan tepian kabur, dan memiliki bulbus-bulbus terminalis pada ujungnya, yang akan terwarnai oleh fluoresin dan berkurangnya sensasi kornea.

11

b Gambar 4. a) Keratitis Dendritik tanpa flourescin; b) Keratitis Dendritik yang diwarnai dengan fluoresin

b. Ulserasi geografik (ameboid) Bentuk ulkus dendritik kronik dengan lesi dendritik halus yang bentuknya lebih lebar. Tepian ulkus tidak terlalu kabur. Sensasi kornea menurun seperti pada penyakit kornea lainnya. Keadaan ini terutama terjadi pada mata yang diobati dengan steroid topikal secara kurang hati-hati.

Gambar 5. Ulkus geografik

c. Keratitis trofik Terjadi jika ulkus geografik tidak mengalami penyembuhan epitel. d. Keratitis disiformis Terjadi karena hipersensitivitas terhadap virus herpes yang ditandai dengan penebalan stroma pada zona sentral dan edema epitel yang disertai iritis dan presipitat keratik.

12

Gambar 6. Keratitis Disiformis

e. Keratitis nekrotik (infiltratif) Bentuk ini jarang terjadi, tetapi sangat serius karena dapat menimbulkan perforasi dan pembentukan parut kornea. Stroma kornea menjadi seperti keju dan keruh akibat infiltrasi aktif dan destruksi. 2.7 PEMERIKSAAN

Pemeriksaan pada Kornea : 1. Uji Fluoresein Uji untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Caranya kertas fluoresein dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian diletakkan pada saccus konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu penderita diberi anestesi lokal. Penderita diminta menutup matanya selama 20 detik, kemudian kertas diangkat. Defek kornea akan terlihat berwarna hijau sebagai uji fluoresein positif. 2. Uji Fistel Uji untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran kornea. Pada 13

konjungtiva inferior ditaruh kertas fluoresein. Bila terdapat fistel kornea akan terlihat pengaliran cairan mata berwarna hijau. 3. Uji Placido Untuk melihat kelengkungan kornea. Caranya dengan memakai papan plasido yaitu papan dengan gambaran lingkaran konsentris putih hitam yang menghadap pada sumber cahaya, sedang pasien berdiri membelakangi sumber cahaya. Melalui lubang di tengah dilihat gambaran bayangan plasido pada kornea. Normal bayangan plasido pada kornea berupa lingkaran konsentris. 4. Uji Sensibilitas Kornea Uji untuk menilai fungsi saraf trigeminus kornea. Caranya dengan meminta penderita melihat jauh ke depan, kemudian dirangsang dengan kapas basah dari bagian lateral kornea. Bila terdapat refleks mengedip, rasa sakit atau mata berair berarti fungsi saraf trigeminus dan fasial baik. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis keratitis herpes simpleks kadang-kadang sulit dibedakan dengan kelainan kornea yang lain. Dalam hal ini pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk membedakan dengan keratitis lain, misalnya keratitis bakteri, jamur, dan trauma kimia. Virus herpes dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan. Pada keadaan tidak terdapat lesi dapat diperiksa antibodi HSV. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pusat-pusat penelitian adalah : 1. Mikroskop cahaya Sampel berasal dari sel-sel di dasar lesi, atau apusan pada permukaan mukosa, atau dari biopsi, mungkin ditemukan intranuklear inklusi (Lipshutz inclusion bodies). Sel-sel yang terinfeksi dapat menunjukkan sel yang membesar menyerupai balon (balloning) dan ditemukan fusi. 2. Kultur virus Sampel berasal dari cairan vesikel pada lesi (+) untuk HSV adalah cara yang paling baik karena paling sensitif dan spesifik dibanding dengan cara-cara lain. HSV dapat berkembang dalam 2-3 hari. Jika tes ini (+), 14

hampir 100% akurat, khususnya jika cairan virus dalam sel ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitoplasmik, degenerasi balon dan sel raksasa berinti banyak. Sejak virus sulit untuk berkembang, hasil tesnya sering (-). Namun cara ini memiliki kekurangan karena waktu pemeriksaan yang lama dan biaya yang mahal. 3. Mikroskop elektron Mikroskop elektron tidak sensitif mendeteksi HSV, kecuali pada kasus dengan cairan pada vesikel mengandung 108 atau lebih partikel per millimeter. 4. Pemeriksaan antigen langsung Sel-sel dari spesimen dimasukkan dalam aseton yang dibekukan. Tapi yang lebih sensitif adalah dengan menggunakan cahay elektron (90% sensitif, 90% spesifik) tetapi tidak dapat dicocokkan dengan kultur virus. 5. Serologi Menggunakan Enzyme-Linked Immunosorbent Assays (ELISAs) dan HSVII serologic assay, immunofluoresensi, immunoperoksidasi dapat mendeteksi antibodi yang melawan virus. Tes ini dilakukan secara imunologik memakai antibodi poliklonal atau monoklonal. Deteksi antigen secara langsung dari spesimen sangat potensial, cepat dan dapat merupakan deteksi paling awal pada infeksi HSV. Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif palsu dan negatif palsu. Dengan memakai antibodi monoklonal pada pemeriksaan imunofluoresensi, dapat ditentukan tipe virus. Pemeriksaan antibodi monoklonal dengan cara mikroskopik imunofluoresein tidak langsung dai kerokan lesi, sensitifitasnya 78% - 88%. Pemeriksaan dengan cara ELISA adalah pemeriksaan untuk menemukan antigen HSV. Pemeriksaan ini sensitifitasnya 95% dan sangat spesifik, tapi dapat berkurang jika spesimen tidak segera diperiksa. Tes ini memerlukan waktu 4,5 jam. Tes ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap HSV dalam serum penderita. Tes ELISA ini merupakan tes alternatif yang terbaik di 15

samping kultur karena mempunyai beberapa keuntungan seperti hasilnya cepat dibaca, dan tidak memerlukan tenaga ahli. 6. Deteksi DNA HSV Menggunakan PCR dari cairan vesikel. Cairan vesikel mengandung sel manusia dan partikel virus. PCR adalah teknik yang mendeteksi jumlah kecil dari DNA dan dapat menginformasikan bahwa virus herpes terdapat pada vesikel. 7. Kultur Virus Pada percobaabn Tzank dengan pewarnaan Giemsa atau Wright, dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. Tes Tzank dari lesi kulit dapat menunjukkan hasil yang konsisten dengan infeksi herpes virus.

2.8 DIAGNOSIS BANDING

Tabel 1. Perbedaan antara Keratitis Herpes Simpleks dan Herpes Varisella Zoster Herpes Simpleks Virus Distribusi dermatom Sakit Morfologi dendrit Lengkap Sedang Ulserasi sentral dengan lampu terminal; geografis dihadapan kortikosteroid Herpes Zoster Virus Lengkap Parah Kecil tanpa ulserasi pusat atau lampu terminal; plak lendir dendritiform terjadi kemudian 16

Kulit bekas luka Post herpetic neuralgia Atrofi iris Keterlibatan bilateral Keratitis epitel berulang Hipostesia kornea

Tidak ada Tidak ada Setengah-setengah Luar biasa Umum Sektoral atau menyebar

Umum Umum sektoral Tidak ada Jarang Bisa berat

2.9 PENATALAKSANAAN Terapi keratitis HSV hendaknya bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil replikasi efek merusak akibat respon radang. 1. Debridement Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien hars diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumnyadala 72 jam. Pengobatan tabahan dengan anti virus tpikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat. 2. Terapi obat A. Anti virus topikal Idoxuridine Sering digunakan untuk infeksi pada epitel kornea. Infeksi yang ditandai dengan timbulnya gambaran dendritik lebih memberikan 17

respon yang baik dengan menggunakan obat ini daripada infeksi pada stroma. Idoxuridine merupakan analog dari thymidine. Obat ini menghambat sintesis DNA virus dan manusia, sehingga toksik untuk epitel normal dan tidak boleh digunakan lebih dari 2 minggu. Terdapat dalam larutan1% dan diberikan setiap jam. Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Resistensi terhadap obat ini dilaporkan terdapat pada 1,5 4% kasus. Obat ini sering menimbulkan efek samping antara lain keratitis pungtata, dermatitis kontakta, konjungtivitis folikularis, dan oklusi pungtum lakrimalis. Vidarabine Suatu turunan dari adenin yang cara kerjanya dengan menghambat sintesis DNA virus pada tahap awal. Hanya terdapat dalam bentuk salep 3% yang diberikan lima kali sehari. Apabila tidak ada tanda perbaikan setelah 7 hari pemakaian atau dalam 21 hari proses reepitelisasi tidak sempurna maka pertimbangkan untuk memakai obat lain. Trifluridine Merupakan analog dari thymidine, menghambat DNA polymerase virus. Trifluridine dapat berpenetrasi dengan baik melalui kornea dan lebih manjur ( tingkat kesembuhan 95% dibandingkan dengan obat topikal yang lain. Obat ini jauh lebih efektif untuk penyakit stroma daripada yang lain. Terdapat dalam larutan 1% diberikan setiap 4 jam. Apabila tidak ada respon setelah 7 14 hari pemakaian obat ini maka dapat dipertimbangkan untuk menggunakan obat lain. Seperti Idoxuridine, obat ini sering menimbulkan reaksi toksik.

Acyclovir Obat ini merupakan derivat guanin. Di dalam sel yang terinfeksi virus herpes, acyclovir mengalami fosforilasi menjadi bentuk aktif acyclovir trifosfat, 30 100 kali lebih cepat dari pada di dalam sel 18

yang tidak terinfeksi. Acyclovir trifosfat bekerja sebagai penghambat dan sebagai substrat dari herpes secified DNA polymerase sehigga mencegah sintesis DNA dari virus lebih lanjut tapa mempengaruhi proses sel yang normal. Acyclovir oral ada manfaatnya utuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif ( aczema herpeticum ). Terdapat dalam betuk tablet 400mg 5x/hari per oral, dan topikal dalam bentuk salep 3 % yang diberikan tiap 4jam. Sama efektifnya dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek samping yang minimal. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada manfaatnya untuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study multicenter terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan keratouveitis herpes simpleks dan pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan (herpes eye disease study). B. KORTIKOSTEROID Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perporasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti virus secuukupnya untuk mengendalikan replikasi virus. 3. Bedah Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, 19

infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukanuntuk mencegah penolakantransplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens. Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft petak lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penilakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat pada keratitis herpes simplek. 4. Pengendalian infeksi keratitis herpes simpleks berulang Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira kira sepertiga kasus dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya. Setelah dengan teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan keadaan yang dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat diminum sebelum menstruasi.

2.10

KOMPLIKASI

HSV mempengaruhi semua lapisan kornea. Epitelisasi dipengaruhi oleh pengobatan antiviral topikal yang berkepanjangan, dan tingkat keparahan dan durasi secara langsung berkaitan dengan durasi penggunaan antivirus. Toksisitas topikal antivirus paling sering muncul sebagai diffuse punctata dengan injeksi konjugtiva. Keratopati neurotropic dapat berkembang pada pasien dengan infeksi herpes sebelumnya. Erosi punctata epitelial, tampak pada pewarnaan flouresin, pada keadaan yang lebih kronis tampak pula generasi epitel dan ulkus neurotropik yang merupakan ciri keratopati neurotropik. Ulkus ini dapat dibedakan dari keratitis epitel herpetik dan 20

relative tidak berubah dengan pewarnaan. Ulkus neurotropik biasanya bulat atau oval dan terletak di kornea pusat atau lebih rendah. Keratitis disiform berat atau lama dapat mengakibatkan keratopati bulosa persisten. Peradangan stroma pada umumnya, apakah intersisial atau nekrosis, umumnya mengarah ke jaringan parut kornea permanen dan astigmatisme irregular. Baik jaringan parut dan astigmatisme dapat diperbaiki dengan berjalannya waktu pada beberapa pasien. Pemakaian lensa kontak biasanya meningkatkan ketajaman penglihatan.

2.11

PROGNOSIS

Bila diobati sedini mungkin dan dengan pengobatan yang baik maka prognosisnya akan baik. Penyakit ini dapat kambuh kembali, bila terdapat bermacam-macam trigger mechanism seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Antibodi yang terbentuk dalam tubuh tidak mencegah adanya kekambuhan, hanya mengubah manifestasi di kulit dan konjugtiva, namun tidak dikornea. Tidak ada obat yang dapat mematikan virus dengan tuntas, sehingga kekambuhan dapat terjadi berulang-ulang.

BAB III KESIMPULAN Keratitis Herpes Simpleks adalah peradangan kornea akibat infeksi Herpes Simpleks Virus (HSV). Ada dua tipe virus herpes simpleks berdasarkan perbedaan antigenik dan perbedaan sitopatologi yang timbul pada jaringan, yaitu HSV tipe 1 (HSV-1) dan HSV tipe 2 (HSV-2). Infeksi HSV pada kornea lebih banyak disebabkan oleh HSV-1 (penyebab herpes labialis), tetapi beberapa kasus pada bayi dan dewasa disebabkan oleh HSV-2. Keratitis herpes simpleks berdasarkan mekanisme kerjanya dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal. Sedangkan berdasarkan akibat 21

infeksinya dapat dibedakan atas 2 bentuk, yaitu infeksi primer dan infeksi rekuren (kekambuhan). Gejala klinis yang dapat ditimbulkan pada herpes simplek primer yaitu blefarokonjungtivitis vesicular (jarang) dan biasa terjadi pada anak-anak yang dapat sembuh sendiri. Serangan keratitis herpes jenis rekurens umumnya dipicu oleh demam, pajanan sinar yang berlebihan terhadap cahaya sinar UV, trauma, stress psikis, awal menstruasi, atau keadaan imunosupresi lokal atau sistemik lainnya. Umumnya unilateral, namun lesi bilateral dapat terjadi dengan gejala iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian sentral terkena akan terjadi sedikit gangguan penglihatan. Lesi yang khas pada keratitis herpes simpleks yaitu ulkus dendritik. Selain itu juga terdapat lesi yang lain berupa ulkus geografik, keratits trofik, keratitis disiformis dan keratitis nekrotik (infiltratif). Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu dengan uji flouresin dan uji sensibilitas kornea. Sedangkan pemeriksaan penunjangnya dengan menggunakan kultur virus dan PCR. Penatalaksanaan keratitis HSV hendaknya bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, serta memperkecil replikasi efek merusak akibat respon radang. Terapinya mencakup debridemenet, obat (antivirus dan kortikosteroid), bedah dan pengendalian infeksi keratitis herpes simpleks berulang. Komplikasi dari keratitis herpes simpleks dapat berupa keratopati neurotropik, keratopati bulosa persisten, jaringan parut kornea permanen dan astigmatisme irregular. Bila diobati sedini mungkin maka prognosis yang dihasilkan akan baik. Penyakit ini dapat kambuh kembali jika terdapat trigger mechanism. Tidak ada obat yang dapat mematikan virus secara tuntas, sehingga kekambuhan dapat terjadi. Antibodi yang telah terbentuk tidak mencegah kekambuhan yang ada. DAFTAR PUSTAKA 1. Ilyas, Sidarta. 2006. Ilmu Penyakit Mata, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal 150-151. 2. James, Bruce, et al. 2003. Lecture Note On Ophtalmology, 9th Edition. USA: Blackwell Publishing. Page 71-74. 3. Jay, Woody Robert. Eye Herpes (Herpes Simplex Keratitis). American Academy Of Ophtalmology. Available at October 15 2011. http://www.emedicinehealth.com/eyeherpes/article em.htm 22

4. Vaughan & Asbury. General Ophtalmology, 17th Edition. Mc Graw-Hill. London: 2007. 5. Melvin, I Roat MD. Herpes Simplex Keratitis. Available at October 15 2011. http//www.merckmanuals.com/professional/sec09/ch102d.html 6. Vaughan, Daniel G, Asbury Tylor, dkk. 2000. Oftalmologi Umum, Edisi 14. Jakarta: Widya Medika. Hal: 131-134. 7. Ilyas, Sidarta. 2008. Sari Ilmu Penyakit Mata, Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 46-48. 8. Douglas J Coster. 2002. Fundamental of Clinical Ophtalmology- Cornea. BMJ Books. Tavistock Square, London. Page 102-107. 9. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal: 56 10. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea, San Fransisco 2006-2007 : 8-12, 157-60. 11. Ilyas, Sidarta. 2003. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

REFERAT

23

Pembimbing : Dr. Wawin Wilman, Sp.M Dr. Juniani

Disusun Oleh : Shaza Fadhilah 1102005242

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN MATA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARJAWINANGUN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI PERIODE 17 OKTOBER 2011 19 NOVEMBER 2011

24

25

26

Anda mungkin juga menyukai