Anda di halaman 1dari 11

HIGEIA 3 (4) (2019)

HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH


RESEARCH AND DEVELOPMENT
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia

Korelasi Meteorologi dan Kualitas Udara dengan Pneumonia Balita di Kota


Semarang Tahun 2013-2018

Halimah Tri Utami 1, Rudatin Windraswara1

1
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Pneumonia merupakan penyakit menular yang menjadi penyebab utama dan terbesar dari
Diterima 27 Juni 2019 kematian balita di dunia. Dari tahun 2013 hingga 2018, terdapat 25.038 kasus pneumonia balita di
Disetujui 21 Oktober Kota Semarang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan
2019 kejadian pneumonia di Kota Semarang tahun 2013-2018. Penelitian ini merupakan penelitian
Dipublikasikan 31 deskriptif kuantitatif dengan desain studi korelasional. Penelitian ini dilakukan di Kota Semarang
Oktober 2019 pada bulan Februari sampai bulan Juni tahun 2019 dengan menggunakan data sekunder. Analisis
________________ data menggunakan univariat dan bivariat menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil penelitian
Keywords: menunjukkan bahwa variabel yang berkorelasi adalah kelembaban udara (p=0,043), konsentrasi
Pneumonia, Meteorology, NOx (p=0,048), dan konsentrasi CO (p=0,029) dan variabel yang tidak ada korelasi adalah suhu
Air Quality, Semarang City udara (p=0,722), curah hujan (p=0,329), kecepatan angin (p=0,393), konsentrasi SOx (p=0,556),
____________________ dan konsentrasi debu (p=0,521). Simpulan dari penelitian ini ada korelasi antara kelembaban
DOI: udara, konsentrasi NOx, dan konsentrasi CO dengan pneumonia balita di Kota Semarang dan
https://doi.org/10.15294 tidak ada korelasi antara suhu udara, curah hujan, kecepatan angin, konsentrasi SOx, dan
/higeia/v3i4/31037 konsentrasi debu dengan pneumonia balita di Kota Semarang.
____________________

Abstract
___________________________________________________________________
Pneumonia is an infectious disease which is the main and biggest cause of under-five mortality in the world. In
2013 until 2018, were 25.038 cases of pneumonia in infant in the City of Semarang. The purpose of this study
was to determine the risk factor associated with pneumonia in Semarang City in 2013-2018. The type of this
study was descriptive quantitative with correlational study design. This study was conducted in the City of
Semarang in February to June 2019 with secondary data. Data analysis used univariate and bivariate with
Spearman correlation test. The result showed that there was a relationship between humidity (p=0,043), NOx
concentration (p=0,048), and CO concentration (p=0,029) with pneumonia and there was no relationship
between air temperature (p=0,722), rainfall (p=0,329), SOx concentration (p=0,061), and particulate
(p=0,521) with pneumonia. There was a correlation between pneumonia with humidity, NOx concentration,
and CO concentration and there was no correlation between air temperature, rainfal,l wind speed, SOx
concentration, and particulate with pneumonia in Semarang City.

© 2019 Universitas Negeri Semarang



Alamat korespondensi:
p ISSN 1475-362846
Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 e ISSN 1475-222656
E-mail: halimahtriutami01@gmail.com

588
Halimah, T, U., Rudatin, W. / Korelasi Meteorologi dan / HIGEIA 3 (4) (2019)

PENDAHULUAN yang meliputi suhu, kelembaban, curah hujan,


serta kecepatan angin. Perubahan suhu dan
Lingkungan merupakan agregat dari kelembaban dapat mempengaruhi kelangsungan
seluruh kondisi dan pengaruh luar yang hidup mikroorganisme patogen pneumonia.
mempengaruhi kehidupan manusia serta Misalnya bakteri Streptococcus pneumoniae
perkembangbiakan suatu mikroorganisme memiliki rentang suhu untuk tumbuh pesat
patogen. Salah satu lingkungan fisik yang dapat antara 31oC – 37oC dan Mycoplasma pneumoniae
merugikan manusia adalah kondisi iklim yang mempunyai kondisi kelembaban yang disukai
buruk. Iklim merupakan bagian dari untuk tumbuh optimal pada kelembaban <25%
meteorologi. Iklim adalah rata-rata keadaan dan >80% (Liu, 2016). Selain itu, dilihat dari
cuaca dalam jangka waktu yang cukup lama media penularan penyakit pneumonia yang
minimal 30 tahun pada suatu wilayah yang berupa udara, maka persebarannya juga dapat
cukup luas. Sedangkan cuaca adalah keadaan dipengaruhi oleh kecepatan angin (Tasci, 2018).
atmosfer pada suatu tempat dan waktu tertentu Pneumonia merupakan infeksi akut atau
yang sifatnya berubah-ubah. Sehingga peradangan yang mengenai jaringan paru
pencatatan cuaca yang dilakukan secara terus (alveoli) yang disebabkan oleh infeksi
menerus dalam jangka waktu yang lebih lama mikroorganisme patogen. Mikroorganisme
akan menunjukkan iklim suatu daerah. patogen yang paling sering menyebabkan
Unsur-unsur cuaca yang meliputi suhu, pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,
kelembaban, curah hujan, serta kecepatan angin Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan
merupakan salah satu faktor lingkungan fisik Mycoplasma pneumoniae. Pertumbuhan dan
yang berisiko mempengaruhi terjadinya perkembangbiakan mikroorganisme patogen
penyakit pneumonia (Sari, 2014). Studi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, salah
menunjukkan bahwa ada hubungan yang satunya adalah suhu dan kelembaban (John,
signifikan antara suhu udara dengan penyakit 2017).
saluran pernafasan. Suhu, kelembaban, serta Perubahan suhu dan kelembaban dapat
curah hujan akan mempengaruhi terjadinya mempengaruhi kelangsungan hidup
penyakit pneumonia dengan jalan mikroorganisme patogen pneumonia. Misalnya
mempengaruhi permeabilitas membran mukosa bakteri Streptococcus pneumoniae memiliki
dalam hidung serta resistensi kapiler. Kondisi rentang suhu untuk tumbuh pesat antara 31oC –
tersebut menyebabkan patogen pneumonia lebih 37oC dan Mycoplasma pneumoniae mempunyai
mudah masuk ke saluran pernafasan dan kondisi kelembaban yang disukai untuk tumbuh
menginfeksi manusia. Suhu yang tinggi dan optimal pada kelembaban <25% dan >80%
berkepanjangan akan mengakibatkan kelelahan, (Liu, 2016). Selain itu, dilihat dari media
meningkatkan jumlah keringat, serta penularan penyakit pneumonia yang berupa
menimbulkan gangguan daya tahan tubuh udara, maka persebarannya juga dapat
sehingga manusia rentan terhadap infeksi dipengaruhi oleh kecepatan angin (Tasci, 2018).
pneumonia (Tasci, 2018). Menurut Profil Dinas Kesehatan Provinsi
Pneumonia merupakan infeksi akut atau Jawa Tengah (2016), timbulnya penyakit
peradangan yang mengenai jaringan paru pneumonia tidak hanya disebabkan oleh agent
(alveoli) yang disebabkan oleh mikroorganisme biologi namun juga dapat disebabkan karena
patogen. Mikroorganisme patogen yang paling menghirup bahan kimia di udara. Di wilayah
sering menyebabkan pneumonia adalah perkotaan, aktivitas transportasi khususnya
Streptococcus pneumoniae, Respiratory Syncytial kendaraan bermotor merupakan sumber utama
Virus (RSV), dan Mycoplasma pneumoniae. Salah pencemaran udara yang mengakibatkan
satu faktor yang mempengaruhi kehidupan dan penurunan kualitas udara. Sekitar 85%
perkembangbiakan mikroorganisme patogen pencemaran yang terjadi disebabkan oleh
pneumonia adalah kondisi iklim suatu daerah kendaraan bermotor. Beberapa emisi yang

589
Halimah, T, U., Rudatin, W. / Korelasi Meteorologi dan / HIGEIA 3 (4) (2019)

dihasilkan oleh kendaraan bermotor antara lain sebanyak 920.136 kejadian pada tahun 2016.
partikulat, nitrogen oksida (NOx), sulfur oksida Data profil kesehatan Indonesia menunjukkan
(SOx), serta karbon monoksida (CO) (Ruslinda, bahwa persentase penemuan kejadian
2016). Emisi-emisi tersebut apabila terhirup pneumonia meningkat selama 5 tahun terakhir
dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan dari 23,42% pada tahun 2012 menjadi 65,27%
sehingga risiko terjadinya pneumonia akan pada tahun 2016. Kota Semarang merupakan
meningkat (Mahalastri, 2014). kota dengan jumlah kejadian pneumonia balita
Berdasarkan hasil penelitian yang yang cukup tinggi di Jawa Tengah. Jumlah
dilakukan oleh Fahimah (2014) menunjukkan kasus pneumonia di Kota Semarang mengalami
bahwa ada hubungan antara PM2,5 dan PM10 fluktuasi selama 5 tahun terakhir, namun
dengan kejadian pneumonia pada balita. jumlah kasus paling tinggi terjadi di tahun 2017
Particulate Matter dapat masuk ke saluran yakni sebesar 7.736 kasus meningkat dari tahun
pernafasan hingga ke alveoli, menyebabkan 2016 yang berjumlah 4.173 kasus. Tingginya
iritasi dan terjadi reaksi inflamasi atau jumlah kasus pneumonia menunjukkan bahwa
peradangan sehingga manusia akan kesulitan pneumonia menjadi masalah kesehatan
bernafas karena alveoli dipenuhi oleh cairan. masyarakat utama yang berkontribusi terhadap
Particulate Matter merupakan pencemar udara tingginya angka kematian bayi dan balita di
yang dapat bergabung bersama-sama dengan Kota Semarang.
bahan atau bentuk pencemar lainnya, salah Berdasarkan penelitian Cahyadi (2016)
satunya nitrogen oksida (NOx) dan sulfur mendapatkan hasil bahwa suhu udara,
oksida (SOx). Kondisi tersebut menyebabkan kelembaban udara, curah hujan, serta
saluran pernafasan mudah teiritasi sehingga konsentrasi partikulat memiliki hubungan yang
potensi infeksi penumonia semakin meningkat signifikan dengan kejadian ISPA di Kecamatan
(Jenko, 2012). Banjarbaru Selatan, Kota Banjarbaru pada
Adanya perubahan suhu, kelembaban, tahun 2014-2015. Penelitian Sakti (2012)
curah hujan, serta kecepatan angin tidak hanya mendapatkan hasil bahwa kualitas udara (NO2
berpengaruh pada daya tahan tubuh seseorang dan TSP) memiliki hubungan yang signifikan
dan kelangsungan hidup agent biologi, dengan kejadian ISPA di Kota Bekasi tahun
melainkan juga dapat mempengaruhi distribusi 2004-2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk
bahan kimia di udara (Achmadi, 2014). Kondisi mengetahui korelasi antara faktor meteorologi
tersebut menyebabkan manusia lebih berisiko dan kualitas udara dengan pneumonia balita di
terhadap infeksi pneumonia mengingat faktor Kota Semarang pada tahun 2013-2018, waktu
penyebab penyakit pneumonia tidak hanya dan tempat penelitian tersebut menjadi pembeda
agent biologi, tetapi juga dapat disebabkan oleh dengan penelitian yang lain.
bahan kimia, serta dipengaruhi oleh kondisi
meteorologi. METODE
Pneumonia merupakan penyakit menular
yang menjadi penyebab utama dan terbesar dari Jenis penelitian yang digunakan dalam
kematian balita di dunia. Persentase kematian penelitian ini adalah deskriptif dengan desain
balita akibat pneumonia tahun 2015 sebanyak studi korelasional. Penelitian ini dilaksanakan di
16%. Dari total kematian balita akibat Kota Semarang pada bulan Februari hingga
pneumonia, sebanyak 99% terjadi di negara bulan Juni tahun 2019 dengan menggunakan
berkembang, salah satunya Indonesia. data sekunder. Variabel pada penelitian ini
Indonesia menempati urutan ke-7 dari 15 negara terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat.
dengan angka kematian balita akibat pneumonia Variabel bebas yaitu meteorologi yang meliputi
yang tertinggi di dunia (John, 2017). suhu udara, kelembaban udara, curah hujan,
Di Indonesia, pneumonia merupakan serta kecepatan angin; dan kualitas udara yang
penyebab dari 16% kematian pada balita yaitu meliputi konsentrasi NOx, konsentrasi SOx,

590
Halimah, T, U., Rudatin, W. / Korelasi Meteorologi dan / HIGEIA 3 (4) (2019)

konsentrasi CO, serta konsentrasi debu. data menggunakan analisis univariat dan
Variabel terikat pada penelitian ini adalah analisis bivariat. Analisis bivariat dengan
kejadian pneumonia pada balita di Kota menggunakan analisis korelasi dengan uji
Semarang tahun 2013-2018. Unit analisis yang Pearson Product Moment, adapun uji alternatifnya
digunakan pada studi korelasional adalah menggunakan uji Rank Spearman.
kelompok individu, sehingga teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah HASIL DAN PEMBAHASAN
teknik totality sampling. Sampel pada penelitian
ini adalah seluruh laporan data kejadian Penelitian ini dilakukan di Kota
pneumonia tiap bulan dari bulan Januari 2013 Semarang dengan menggunakan data sekunder
sampai bulan Juni tahun 2018 yang tercatat di yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Semarang, Dinas Lingkungan Hidup Kota
Sumber data yang digunakan adalah data Semarang, dan BMKG Kota Semarang. Dari
sekunder angka kejadian pneumonia balita yang hasil uji bivariat dengan menggunakan Rank
diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Semarang, Spearman didapatkan hasil seperti pada tabel 1.
data unsur meteorologi yang diperoleh dari Berdasarkan Tabel 1 hasil perhitungan
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menggunakan uji Spearman menunjukkan
Kota Semarang, serta data kualitas udara bahwa nilai koefisien korelasi (r) dari variabel
ambien dari Dinas Lingkungan Hidup Kota suhu udara adalah -0,045 (arah korelasi negatif),
Semarang. Instrumen yang digunakan dalam yang artinya jumlah kejadian pneumonia akan
penelitian ini adalah lembar pencatatan dari menurun jika suhu udara mengalami kenaikan.
data sekunder yang telah didapatkan. Teknik Hasil uji statistik didapatkan nilai p
pengambilan data yaitu dengan menggunakan (signifikansi) dari variabel suhu udara sebesar
pedoman dokumentasi yang dilakukan dengan 0,722 (p>0,05). Dengan demikian dapat
mencari data yang berkaitan dengan penelitian disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
dan dicatat pada lembar pencatatan. Analisis yang bermakna antara kejadian pneumonia

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Analisis Bivariat Variabel Independen terhadap Variabel Dependen
Pneumonia pada Balita
Variabel Bebas Koefisien
Signifikasi (p) Jumlah (n) Keterangan
Korelasi (r)
Tidak ada hubungan
Suhu Udara -0,045 0,722 66 bermakna dengan korelasi
negatif
Ada hubungan bermakna
Kelembaban Udara 0,250 0,043 66
dengan korelasi positif
Tidak ada hubungan
Curah Hujan 0,122 0,329 66 bermakna dengan korelasi
positif
Tidak ada hubungan
Kecepatan Angin 0,107 0,393 66 bermakna dengan korelasi
positif
Ada hubungan bermakna
Konsentrasi NOx 0,222 0,048 80
dengan korelasi positif
Tidak ada hubungan
Konsentrasi SOx -0,067 0,556 80 bermakna dengan korelasi
negatif
Ada hubungan bermakna
Konsentrasi CO 0,245 0,029 80
dengan korelasi positif
Tidak ada hubungan
Konsentrasi Debu -0,073 0,521 80 bermakna dengan korelasi
negatif

591
Halimah, T, U., Rudatin, W. / Korelasi Meteorologi dan / HIGEIA 3 (4) (2019)

dengan suhu udara di Kota Semarang tahun Berdasarkan grafik perbandingan di atas,
2013-2018. angka kejadian pneumonia tertinggi yaitu 2.355
Hasil penelitian ini sejalan dengan kejadian di bulan Oktober tahun 2015 terjadi
penelitian yang dilakukan oleh Rismawati pada ketika suhu udara tercatat pada suhu 30,1oC dan
tahun 2016 yang meneliti hubungan antara angka kejadian terendah yaitu 134 kejadian di
variasi iklim dengan kejadian pneumonia di bulan Juli tahun 2014 terjadi ketika suhu udara
wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo yang tercatat pada suhu 27,8oC. Suhu tertinggi di
menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat Kota Semarang selama periode tahun 2013-2018
hubungan yang bermakna antara suhu udara terjadi pada bulan Oktober tahun 2015 dengan
dengan kejadian pneumonia (p = 0,492). suhu 30,1oC dan angka kejadian sebanyak 2.355
Menurut Syani (2015) suhu udara sangat erat kejadian. Sedangkan suhu terendah terjadi pada
kaitannya dengan pertumbuhan dan bulan Januari tahun 2015 dengan suhu 25,22oC
perkembangbiakan bakteri penyebab dan angka kejadian sebanyak 287 kejadian.
pneumonia, misalnya bakteri Streptococcus Nilai koefisien korelasi (r) dari
pneumoniae. Suhu optimum rata-rata untuk kelembaban udara adalah 0,250 (arah korelasi
pertumbuhan bakteri Strepstococcus pneumoniae positif), yang artinya jumlah kejadian
yaitu 31oC – 37oC. pneumonia akan meningkat bila kelembaban
Meskipun hasil uji statistik dalam udara meningkat. Nilai p (signifikansi) sebesar
penelitian ini menunjukkan tidak adanya 0,043 (p<0,05). Dengan demikian dapat
hubungan antara suhu udara dengan kejadian disimpulkan bahwa ada hubungan yang
pneumonia, namun secara teori suhu udara bermakna antara kelembaban udara selama
merupakan faktor risiko terjadinya pneumonia. periode tahun 2013-2018 dengan kejadian
Hal ini dapat disebabkan karena faktor pneumonia. Penelitian serupa juga dijelaskan
penyebab terjadinya pneumonia bukan hanya oleh Liu (2016) yang menjelaskan bahwa
suhu udara di luar ruangan saja, namun juga terdapat korelasi yang bermakna antara
suhu udara di dalam rumah. Menurut kelembaban udara dengan kejadian pneumonia
Dewiningsih (2018) suhu udara dalam rumah di China. Berdasarkan diagram scatter, kejadian
yang tinggi dipengaruhi oleh kepadatan hunian pneumonia lebih sering terjadi pada
rumah yang tinggi. Menurut Darmawati (2016) kelembaban 75% hingga 90% dibandingkan
suhu udara dalam rumah dipengaruhi oleh pada kelembaban 60% hingga 70%. Hal ini
beberapa faktor antara lain kepadatan hunian, sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
luas ventilasi, serta pencahayaan. Onozuka (2009) dan Mirsaeidi (2016) yang

Grafik 1. Perbandingan Kejadian Pneumonia Balita dengan Suhu Udara di Kota Semarang tahun
2013-2018

592
Halimah, T, U., Rudatin, W. / Korelasi Meteorologi dan / HIGEIA 3 (4) (2019)

Grafik 2. Perbandingan Kejadian Pneumonia Balita dengan Kelembaban di Kota Semarang tahun
2013-2018

menerangkan bahwa bakteri penyebab penyakit infeksi saluran pernafasan di Eropa


pneumonia dapat tumbuh optimum pada yang menyatakan bahwa perubahan kondisi
kelembaban <25% dan >80%, namun akan mati iklim khususnya curah hujan dapat berpotensi
pada kelembaban 60%. mempengaruhi infeksi saluran pernafasan,
Berdasarkan grafik perbandingan diatas, terutama pneumonia. Perubahan curah hujan
angka kejadian pneumonia tertinggi yaitu 2.355 dapat mempengaruhi peningkatan jumlah
kejadian di bulan Oktober tahun 2015 terjadi bakteri di udara. Curah hujan yang tinggi akan
ketika kelembaban udara tercatat pada membuat rumah menjadi lembab sehingga
kelembaban 79,0% dan angka kejadian terendah udara didalam rumah menjadi kurang baik,
yaitu 134 kejadian di bulan Juli tahun 2014 kondisi tersebut merupakan salah satu faktor
terjadi ketika kelembaban udara tercatat pada risiko terjadinya pneumonia. Selain itu,
kelembaban 74,5%. Kelembaban udara tertinggi Omonijo (2014) menjelaskan bahwa terjadinya
di Kota Semarang selama periode tahun 2013- peningkatan curah hujan akan menyebabkan
2018 terjadi pada bulan Januari tahun 2014 orang-orang cenderung berada didalam satu
dengan kelembaban sebesar 89,9% dan angka ruangan dalam waktu yang lebih lama. Kondisi
kejadian sebanyak 395 kejadian. Sedangkan tersebut menyebabkan penularan penyakit
kelembaban udara terendah sebesar 61,4% pneumonia semakin mudah dimana semakin
terjadi pada bulan September tahun 2014 padat suatu ruangan maka potensi penyebaran
dengan angka kejadian sebanyak 215 kejadian. penyakit semakin besar (Syani, 2015).
Curah hujan memiliki koefisien korelasi Menurut Badan Meteorologi Klimatologi
(r) sebesar 0,122 (arah korelasi postitif), yang dan Geofisika di Kota Semarang, curah hujan
artinya jumlah kejadian pneumonia akan dibagi dalam beberapa kriteria yaitu rendah (1-
meningkat seiring dengan meningkatnya curah 100mm), menengah (101-300mm), tinggi (301-
hujan. Hasil uji statistik didapatkan nilai p 500), dan sangat tinggi (>500mm). Kota
(signifikansi) sebesar 0,329 (p>0,05). Dengan Semarang pada periode tahun 2013-2018
demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada memiliki rata-rata curah hujan sebesar 200,9
hubungan yang bermakna antara kejadian mm (curah hujan menengah) sehingga hal ini
pneumonia dengan curah hujan di Kota menjadi sebab curah hujan kurang berpengaruh
Semarang tahun 2013-2018. terhadap kejadian pneumonia di Kota
Berbeda dengan penelitian yang telah Semarang.
dilakukan oleh Ayres (2009) yang meneliti Dilihat dari grafik perbandingan diatas,
tentang hubungan perubahan iklim dengan angka kejadian pneumonia tertinggi yaitu 2.355

593
Halimah, T, U., Rudatin, W. / Korelasi Meteorologi dan / HIGEIA 3 (4) (2019)

Grafik 3. Perbandingan Kejadian Pneumonia Balita dengan Curah Hujan di Kota Semarang tahun
2013-2018

kejadian terjadi pada bulan Oktober tahun 2015 risiko terjadinya pneumonia. Menurut dan
ketika curah hujan tercatat sebesar 0 mm dan Omonijo, (2014) pneumonia merupakan
angka kejadian terendah yaitu 134 kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan bagian
terjadi pada bulan Juli tahun 2014 ketika curah bawah yang penularannya melalui udara
hujan tercatat sebesar 185 mm. Curah hujan (airborne diseases). Persebaran mikroorganisme
tertinggi di Kota Semarang selama periode dan polutan di udara sangat dipengaruhi oleh
tahun 2013-2018 terjadi pada bulan Januari kecepatan angin. Pada kecepatan angin yang
tahun 2014 sebesar 736 mm dengan angka rendah, mikroorganisme cenderung menetap
kejadian pneumonia sebanyak 395 kejadian. pada lokasi tertentu dalam waktu yang lebih
Sedangkan curah hujan terendah sebesar 0 mm lama (Pepper, 2011 dalam (Faridl, 2017).
terjadi pada bulan September 2015 dan bulan Sebaliknya, semakin cepat angin bertiup, maka
Oktober 2015 dengan angka kejadian semakin luas persebarannya sehingga bahan
pneumonia sebanyak 215 dan 2.355 kejadian. pencemar udara tersebut tidak hanya terkumpul
Koefisien korelasi (r) dari variabel pada satu titik area (Achmadi, 2014).
kecepatan angin adalah 0,107 (arah korelasi Berdasarkan grafik perbandingan diatas,
positif), yang artinya jumlah kejadian angka kejadian pneumonia tertinggi yaitu 2.355
pneumonia akan meningkat bila kecepatan kejadian di bulan Oktober tahun 2015 terjadi
angin mengalami penurunan. Nilai signifikan ketika kecepatan angin tercatat sebesar 2,35
(p) sebesar 0,393 (p>0,05), dengan demikian km/jam dan angka kejadian terendah yaitu 134
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan kejadian di bulan Juli tahun 2014 terjadi ketika
yang bermakna antara kecepatan angin dengan kecepatan angin tercatat sebesar 2,96 km/jam.
kejadian pneumonia selama periode tahun 2013- Kecepatan angin tertinggi di Kota Semarang
2018. selama periode tahun 2013-2018 terjadi pada
Hasil penelitian ini sejalan dengan bulan April tahun 2017 dengan kecepatan angin
penelitian yang dilakukam oleh Liu, (2016) sebesar 6,7 km/jam dan angka kejadian
yang menunjukkan hasil bahwa tidak ada sebanyak 426 kejadian.
korelasi yang bermakna antara pneumonia Sedangkan kecepatan angin terendah
dengan kecepatan angin. Meskipun hasil uji terjadi pada bulan Desember tahun 2014 sebesar
statistik dalam penelitian ini menunjukkan tidak 1,63 km/jam dengan angka kejadian
adanya hubungan antara kecepatan angin pneumonia sebanyak 203 kejadian.
dengan kejadian pneumonia balita, namun Berdasarkan Tabel 1 hasil perhitungan
secara teori kecepatan angin merupakan faktor menggunakan uji Spearman menunjukkan

594
Halimah, T, U., Rudatin, W. / Korelasi Meteorologi dan / HIGEIA 3 (4) (2019)

Grafik 4. Perbandingan Kejadian Pneumonia Balita dengan Kecepatan Angin di Kota Semarang
tahun 2013-2018

bahwa koefisien korelasi (r) dari variabel ambien, maka semakin besar risiko gas NOx
konsentrasi NOx adalah 0,222 (arah korelasi untuk terhirup dan masuk ke paru-paru. Gas
positif), yang artinya jumlah kejadian NOx yang masuk ke paru-paru akan
pneumonia akan meningkat bila konsentrasi membentuk asam nitrit dan asam nitrat yang
NOx meningkat. Nilai signifikansi (p) sebesar merusak jaringan mukosa dan menyebabkan
0,048 (p<0,05), dengan demikian dapat iritasi mukosa. Akibatnya, pertahanan tubuh
disimpulkan bahwa ada hubungan yang terhadap infeksi bakteri pneumonia semakin
bermakna antara konsentrasi NOx selama menurun sehingga paru-paru mudah terinfeksi
periode tahun 2013-2017 dengan kejadian oleh agen pneumonia (Sinolungan, 2009).
pneumonia. Variabel konsentrasi SOx memiliki
Hasil penelitian ini sejalan dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0,067 (arah
penelitian yang dilakukan oleh Cesar korelasi negatif), yang artinya jumlah kejadian
(2015)yang meneliti tentang hubungan antara pneumonia akan meningkat bila konsentrasi
paparan NOx dengan kematian yang SOx mengalami penurunan. Nilai signifikan (p)
disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan di sebesar 0,556 (p>0,05), sehingga dapat
Brazil yang memperoleh hasil bahwa terdapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
hubungan yang signifikan antara NOx di rumah bermakna antara konsentrasi SOx delama
sakit dengan kejadian pneumonia pada balita di periode tahun 2013-2017 dengan kejadian
Sorocaba, Brazil. pneumonia. Hal ini tidak sejalan dengan
Begitu pula pada penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh Farisi tahun
konsentrasi NOx memiliki hubungan yang 2018 yang meneliti tentang pengaruh sulfur
signifikan dengan angka kejadian pneumonia di oksida pada udara ambien terhadap risiko
Kota Semarang. UNICEF (2016) menyatakan kejadian pneumonia di Cipayung, Jakarta
bahwa NOx memiliki peranan yang penting Timur yang menunjukkan hasil bahwa sulfur
sebagai salah satu faktor penyebab penyakit oksida berkontribusi terhadap angka kejadian
pneumonia. pneumonia pada balita di Cipayung, Jakarta
Gas NOx dalam bentuk NO akan cepat Timur. Gas SOx yang masuk ke dalam tubuh
teroksidasi menghasilkan gas NO2. Sifat racun manusia melalui paparan inhalasi, dengan sifat
yang ditimbulkan oleh gas NO2 empat kali lebih gas SOx yang iritan akan mengiritasi bagian
kuat dari pada gas NO. Paru-paru merupakan parenkim pada saluran pernafasan. Semakin
organ yang paling peka terhadap keberadaan gas banyak konsentrasi SOx yang terhirup, maka
NO2. Semakin tinggi konsentrasi NOx di udara semakin luas bagian parenkim yang teriritasi

595
Halimah, T, U., Rudatin, W. / Korelasi Meteorologi dan / HIGEIA 3 (4) (2019)

dan mengalami reaksi inflamasi. Kondisi terhadap alergen, bakteri, serta bahan iritan.
tersebut dapat mempermudah jalur masuk agen Adanya kerusakan pada silia menyebabkan
pneumonia. terjadinya penurunan fungsi silia, sehingga
Tidak adanya hubungan antara bakteri, alergen, serta bahan iritan seperti
konsentrasi SOx dengan kejadian pneumonia karbon monoksida lebih mudah masuk ke
pada balita mungkin disebabkan karena tidak dalam alveoli. Akibatnya, terjadi reaksi
adanya variasi yang signifikan pada grafik inflamasi pada alveoli yang menyebabkan
konsentrasi SOx di Kota Semarang. Grafik alveoli terisi cairan dan tidak dapat berfungsi
konsentrasi SOx di Kota Semarang cenderung seperti seharusnya (pneumonia) (Rivanda,
memiliki kisaran nilai yang relatif sama dan 2015).
stabil, sehingga analisis hubungan menunjukkan Variabel konsentrasi debu memiliki nilai
hubungan yang tidak bermakna. koefisien korelasi (r) sebesar -0,073 (arah
Menurut penelitian yang dilakukan oleh korelasi negatif), yang artinya jumlah kejadian
Istirokhatun (2016) mengenai pengaruh kondisi pneumonia akan meningkat bila konsentrasi
meteorologi terhadap konsentrasi pencemar debu mengalami penurunan. Nilai signifikan (p)
SOx di Kota Semarang didapatkan hasil bahwa sebesar 0,521 (p>0,05), sehingga dapat
faktor kecepatan dan arah angin memiliki disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
pengaruh yang paling besar terhadap bermakna antara konsentrasi debu selama
konsentrasi SOx di Kota Semarang. Selain itu, periode tahun 2013-2017 dengan kejadian
gas SOx mudah terdegradasi dan mengalami pneumonia.
perubahan di lingkungan saat terbawa angin Berbeda dengan penelitian yang
(Achmadi, 2014). Akibatnya konsentrasi SOx dilakukan oleh Fahimah (2014) yang meneliti
kurang berpengaruh terhadap angka kejadian tentang kualitas udara dengan kejadian
pneumonia di Kota Semarang. pneumonia pada balita di Kota Cimahi yang
Berdasarkan Tabel 1 hasil perhitungan menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan
menggunakan uji Spearman menunjukkan yang signifikan antara debu partikulat (PM10 dan
bahwa koefisien korelasi (r) dari variabel PM2,5) dengan angka kejadian pneumonia pada
konsentrasi CO adalah 0,245 (arah korelasi balita di Kota Cimahi. PM10 dan PM2,5
positif), yang artinya jumlah kejadian merupakan debu partikulat yang terutama
pneumonia akan meningkat jika konsentrasi CO dihasilkan oleh kendaraan bermotor. PM10 dan
mengalami peningkatan. Hasil uji statistik PM2,5 dikategorikan sebagai RPM (Respirable
menunjukkan bahwa nilai signifikansi (p) Particulate Matter) yang dapat masuk hingga ke
sebesar 0,029 (p<0,05), yang berarti ada sistem pernafasan bagian bawah (alveoli) yang
hubungan yang bermakna antara kejadian dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan
pneumonia dengan konsentrasi CO di Kota sehingga fungsi mukosilier dalam mencegah
Semarang tahun 2013-2017. masuknya kuman menjadi berkurang. Kondisi
Hasil penelitian ini sejalan dengan tersebut dapat mempengaruhi pertahanan tubuh
penelitian yang telah dilakukan oleh Tuan sehingga tubuh rentan terinfeksi agen penyakit
(2015) yang meneliti tentang studi ekologi time pneumonia. Hal tersebut yang menyebabkan
series polusi udara dan pneumonia pada balita keberadaan PM10 dan PM2,5 merupakan faktor
di Roma yang menunjukkan hasil bahwa yang mempengaruhi munculnya penyakit
terdapat hubungan antara peningkatan CO dan pneumonia (Muziansyah, 2015).
O3 dengan kejadian pneumonia di Roma. Ukuran partikel (debu) yang masuk ke
Paparan karbon monoksida dalam jangka waktu dalam paru-paru akan menentukan letak
yang lama akan merusak dinding mukosa trakea pengendapan suatu partikel. Kemenkes
yang dilapisi oleh silia. Silia merupakan salah mengkisarkan bahwa ukuran debu yang
satu barier pertahanan dalam saluran berbahaya berkisar antara 0,1 sampai 10
pernafasan yang memiliki fungsi proteksi mikron, terutama debu dengan ukuran 1-3

596
Halimah, T, U., Rudatin, W. / Korelasi Meteorologi dan / HIGEIA 3 (4) (2019)

mikron yang dapat dengan mudah masuk dan ISPA (Studi Kasus Kecamatan Banjarbaru
mengendap ke dalam alveoli (Darmawan, Selatan, Kota Banjarbaru Tahun 2014-2015).
2013). Sedangkan TSP (Total Suspended Particle) EnviroScienteae, 12(3): 302–311
Cesar, A.C.G., Jr., J.A. Carvalho, & Nascimento, L.
adalah partikel dengan ukuran diameter 0,1
F. 2015. Association Between NOx Exposure
sampai 100 mikrometer yang mencakup partikel
and Deaths Caused by Respiratory Diseases
halus fine particle), partikel kasar (coarse in a Medium-Sized Brazilian City. Brazillian
particle), dan partikel sangat kasar (supercoarse Journal of Medical and Biological Research,
particle) (Saputra, 2017). Pengukuran TSP yang 12(48): 1130–1135
dilakukan di Kota Semarang tidak dipisahkan Darmawan, A. 2013. Penyakit Sistem Respirasi
menjadi beberapa kategori ukuran partikel lagi, Akibat Kerja. JMJ, 1(1): 68–83
sehingga kondisi tersebut menyebabkan partikel Darmawati, A. T., Sunarsih, E., & Trisnaini, I. 2016.
debu kurang berpengaruh terhadap kejadian Hubungan Faktor Kondisi Fisik Rumah dan
Perilaku dengan Insiden Pneumonia pada
pneumonia di Kota Semarang mengingat
Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
ukuran partikel debu (TSP) yang sangat variatif.
Yosomulyo Kota Metro. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat, 1(7): 6–13
PENUTUP Dewiningsih, U. 2018. Faktor Lingkungan dan
Perilaku Kejadian Pnuemonia Balita Usia 12-
Berdasarkan hasil penelitian, dapat 59 Bulan. HIGEIA (Journal of Public Health
disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara Research and Development), 3(2): 453–464
kelembaban udara, konsentrasi NOx, dan Fahimah, R., Kusumowardani, E., & Susanna, D.
konsentrasi CO dengan pneumonia pada balita 2014. Kualitas Udara dengan Kejadian
Pneumonia Anak Bawah Lima Tahun (di
di Kota Semarang tahun 2013-2018; dan tidak
Pyskesmas Cimahi Selatan dan Leuwi Gajah
terdapat hubungan yang bermakna antara suhu
Kota Cimahi). Makara Journal Health Research,
udara, curah hujan, kecepatan angin, 18(1): 25–33
konsentrasi SOx, dan konsentrasi debu dengan Faridl, M. T., Sheila Widia, Stephanie, R., Fitriani,
kejadian pneumonia pada balita di Kota Y., Adrianto, B., & Kriswantoro, J. A. 2017.
Semarang tahun 2013-2018. Perbandingan Jumlah dan Keberagaman
Pada penelitian ini belum meneliti Koloni Bakteri Udara di Tempat Tinggal
variabel demografi, maka saran bagi peneliti Mayoritas Mahasiswa ITB (Tubagus Ismail,
Cisitu, Dago Asri, dan Plesiran). Mikrobiologi,
selanjutnya adalah menggunakan variabel
1–12
demografi. Data yang digunakan dalam
Istirokhatun, T., Agustini, I. T., & S. 2016.
penelitian selanjutnya disarankan menggunakan
Investigasi Pengaruh Kondisi Lalu Lintas dan
rentang waktu yang lebih panjang, misalnya 10 Aspek Meteorologi terhadap Konsetrasi
tahun. Pencemar SO2 di Kota Semarang. Jurnal
Presipitasi, 13(1): 21–27
DAFTAR PUSTAKA Jenko, Z. & J. 2012. The Effects of Particulate Matter
Air Pollution on Respiratory Health and on
Achmadi, U. F. 2014. Dasar-dasar Penyakit Berbasis the Cardiovascular System. Review Article, 51 :
Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers 190–199
Ayres, J.G., Forsberg, B., Annesi-Maesano, Dey, R., John. 2017. Save the Children : Fighting for Breath.
Ebi, K.L., Helms, P.J., Medina-Ramon, M., London: Park Communications
Windt, M., & Forastiere, F. 2009. Climate Liu, Y., Liu, J., Chen, F., Shamsi, B. H., Wang, Q.,
Change and Respiratory Disease : European Jiao, F., Qiao, Y., & Shi, Y. 2016. Impact of
Respiratory Society Position Statement. Meteorological Factors on Lower Respiratory
European Respiratory Journal, 34(2): 295–302 Tract Infections in Children. Journal of
Cahyadi, W., Achmad, B., Suhartono, E., & Razie, International Medical Research, 1(44) : 30–41
F. 2016. Pengaruh Faktor Meteorologis dan Mahalastri, N. N. 2014. Hubungan Antara
Konsentrasi Partikulat (PM10) terhadap Pencemaran Udara Dalam Ruangan dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut

597
Halimah, T, U., Rudatin, W. / Korelasi Meteorologi dan / HIGEIA 3 (4) (2019)

Kejadian Pneumonia Balita. Jurnal Berkala Masyarakat Berisiko di Sekitar Terminal Antar
Epidemiologi, 2(3): 392–403 Kota Antar Provinsi (AKAP) Kota Palembang
Mirsaeidi, M., Motahari, H., Khamesi, M. T., tahun 2016. Jakarta: Universitas Islam Negeri
Sharifi, A., Campos, M., & Schraufnagel, D. Syarif Hidayatullah
E. 2016. Climate Change and Respiratory Sari, E.L., Suhartono; & Joko, T. 2014. Hubungan
Infection. AnnalsATS, 13(8): 1223–1230 antara Kondisi Lingkungan Fisik Rumah
Muziansyah, D., Sulistyorini, R., & Sebayang, S. dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di
2015. Model Emisi Gas Buangan Kendaraan Wilayah Keja Puskesmas Pati I kabupaten
Bermotor Akibat Aktivitas Transportasi (Studi Pati. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 1(2) : 56–61
Kasus : Terminal Pasar Bawah Ramayana Sinolungan, J. S. V. 2009. Dampak Polusi Parikel
Kota Bandar Lampung). JRSDD, 3(1): 57–70 Debu dan Gas Kendaraan Bermotor pada
Omonijo, A. G., & Matzarakis, A. 2014. Pneumonia Volume dan Kapasitas Paru. Jurnal Biomedik,
Occurrence in Relation to Population and 2(1) : 65–80
Thermal Environment in Ondo State, Nigeria. Syani, F.E., Budiyono., & Mursid, R. 2015.
The African Review of Physics, 64(9): 511–525 Hubungan Faktor Risiko Lingkungan
Onozuka, D., Hashizume, M., & Hagihara, A. 2009. terhadap Kejadian Penyakit Pneumonia Balita
Impact of Weather on Mycoplasma dengan Pendekatan Analisis Spasial di
Pneumoniae Pneumonia. Thorax, 64: 507–511 Kecamatan Semarang Utara. Jurnal Kesehatan
Rivanda, A. 2015. Pengaruh Paparan Karbon Masyarakat, 3(3): 732–744
Monoksida terhadap Daya Konduksi Trakea. Tasci, S.S.; Kavalci, C.;B& Kayipman, A. E. 2018.
Majority, 4(8): 153–160 Relationship of Meteorological and Air
Ruslinda, Y., Gunawan, H., Goembira, F., & Pollution Parameters with Pneumonia in
Wulandari, S. 2016. Pengaruh Jumlah Elderly Patients. Research Article of Emergency
Kendaraan Berbahan Bakar Bensin Terhaap Medicine International, 2018 : 1–9
Konsentrasi Timbal (Pb) di Udara Ambien Tuan, T.S.; Venancio, T.S.; & Nascimento, L. F. C.
Jalan Raya Kota Padang. Seminar nasional 2015. Air Pollutants and Hospitalization due
sains dan teknologi lingkungan II, 2541–3880: to Pnemonia Among Children. An Ecological
162–167 Time Series Study. Sao Pulo Medicine Journal,
Sakti, E. S. 2012. Tinjauan Tentang Kualitas Udara 5(133) : 418–413
ambien (NO2, SO2, Total Suspended Particulate) UNICEF. 2016. One is too many : Ending Child Deaths
terhadap Kejadian ISPA di Kota Bekasi tahun from Pneumonia and Diarrhoea. New York:
2004-2011. Jakarta: Universitas Indonesia UNICEF
Saputra, A. D. 2017. Hubungan Pajanan Partikel Debu
Terhirup (PM10) terhadap Keluhan Asma pada

598

Anda mungkin juga menyukai