Anda di halaman 1dari 55

PROPOSAL TESIS

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS UDARA DENGAN


KEJADIAN ISPA DI KABUPATEN KOLAKA

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh gelar Magister Kesehatan Masyarakat

Disusun oleh:
Musrifa Kudus
NIM. M202101044

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
2023

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya

tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan

sekitarnya. Udara bersih yang kita hirup merupakan gas yang tidak tampak, tidak

berbau, tidak berwarna maupun berasa. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih

sudah sulit diperoleh, terutama di kota-kota besar yang banyak industrinya dan

padat lalu lintasnya (Wardana, 2014).

Perkembangan dunia industri, khususnya dibidang pertambangan dan

minerba yang sangat pesat mengakibatkan penggunaan energi terus meningkat.

Energi yang dikeluarkan oleh proses kegiatan industri mengakibatkan peningkatan

zat pencemar di udara sebagai hasil dari proses pembakaran. Zat pencemar

tersebut dapat berupa COx, NOx, SOx, maupun TSP yang dapat menurunkan

kualitas lingkungan.

Pencemaran udara dalam ruangan dapat sangat berbahaya karena

sumbernya berdekatan dengan manusia secara langsung. Di negara berkembang

masalah pencemaran udara dalam ruangan yang penting adalah pencemaran dalam

rumah karena memasak atau membakar kayu untuk pemanasan tanpa cerobong

asap yang memadai (Yulianti, 2013). Pencemaran ini dapat disebabkan oleh

karbon monoksida (CO)

Gas karbon monoksida (CO) dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna

dari pembakaran bahan bakar fosil. Nilai ambang batas zat pencemar karbon

monoksida dalam udara adalah 26 ppm. Kadar pencemar di udara selain

dipengaruhi oleh jumlah sumber pencemar, parameter meteorologi juga

mempengaruhi kadar pencemar di udara sehingga kondisi lingkungan tidak dapat

diabaikan. Kecepatan udara dan suhu udara adalah bagian dari parameter
meteorologi yang dapat mempengaruhi kadar pencemar udara di luar gedung.

Selain pencemaran di luar gedung ada juga pencemaran di dalam gedung

(Wardhana, 2001).

Di dalam suatu ruangan faktor iklim menjadi salah satu acuan yang

mempengaruhi kualitas udara di dalam ruangan meliputi temperatur/suhu dan

kecepatan udara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ciri daerah yang beriklim

tropis lembab seperti Indonesia adalah temperatur udara relatif panas yang

mencapai nilai maksimum rata-rata 27°C- 32°C, temperatur udara minimum rata-

rata 20°C-23°C, kelembaban dan kecepatan angin di dalam ruangan yang baik

apabila 0,15-0,255 ms¯¹ (Sangkertadi, 2013).

Selain faktor iklim asap rokok juga salah satu faktor penyebab terjadinya

pencemaran di dalam ruangan besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan

dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok tersebut

(Haris Dkk,2012). WHO memperkirakan setiap tahun terdapat sekitar 3 juta

kematian akibat polusi udara 2,8 juta diantaranya akibat pencemaran udara dalam

ruangan dan 0,2 juta lainnya akibat pencemaran di luar ruangan . Berdasarkan

penelitian American College of Allergies sekitar 50% penyakit disebabkan oleh

pencemaran udara dalam ruangan. Di India sekitar 500.000 perempuan dan anak-

anak tiap tahun meninggal akibat pencemaran udara di dalam ruangan dan sekitar

80% rumah tangga memakai biomassa untuk memasak (Susanto, 2012).

Berdasarkan data dari WHO menunjukkan bahwa angka kematian karena

indoor air pollution pada tahun 2008 di wilayah Asia Tenggara, negara Indonesia

merupakan peringkat ketiga setelah India dan Bangladesh. Kasus kematian akibat

indoor air pollution ini dikarenakan adanya gangguan pada sistem pernapasan

yaitu 88,3% diakibatkan cardiopulmonarydisease, 11% lung cancer dan 0,7%

respiratory infection (WHO,2011).


Banyak kota-kota di dunia dilanda oleh permasalahan lingkungan,

terutama permasalahan pencemaran udara sebagai akibat pesatnya pertumbuhan

industri dan transportasi yang sudah menjadi tuntutan di zaman seperti sekarang

ini (Soemawarto, 2004). Menurut WHO gas pencemar udara yang dihasilkan oleh

transportasi, pembuangan limbah serta industri diperkirakan menyebabkan

kematian 3,7 juta orang di dunia pada tahun 2012. Kematian tersebut disebabkan

oleh beberapa penyakit yang disebabkan oleh zat pencemar udara seperti penyakit

jantung iskemik dan stroke yang menyumbang kematian sebesar 40%, Penyakit

paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebesar 11%, kanker paru sebesar 6 %, serta

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada anak-anak sebesar 3 %.

Menurut hasil penelitian Prasetyotomo, dkk (2015) konsentrasi TSP

terbesar yang dihasilkan oleh industri pertambangan adalah 872,877 µg/Nm3

sedangkan untuk PM 2.5 yaitu sebesar 4018 µg/Nm3. Hasil tersebut telah melebihi

baku mutu yang telah ditetapkan oleh Peraturan Daerah Kabupaten Kolaka No. 8

Tahun 2001 yaitu 230 µg/Nm3. Dari hasil penelitian tersebut juga menunjukan

adanya hubungan yang kuat antara konsentrasi TSP dan PM 2.5 terhadap

kesehatan para masyarakat. Menurut hasil pengukuran Ernawati (2017) kadar

debu maksimal yang dihasilkan oleh industri pertambangan adalah 11,727 mg/m3.

Kadar debu ini telah melebihi NAB yang telah ditentukan oleh Permenaker No.

13/MEN/2011 yaitu 10 mg/m3.

Hasil observasi awal, masyarakat industri pertambangan di Kabupaten

Kolaka beraktivitas efektif selama 8-12 jam setiap harinya. Kegiatan pengolahan

pertambangan dilakukan di ruang tertutup dengan jumlah cerobong yang terbatas

(1 cerobong asap untuk 3-4 tungku). Tempat penyimpanan bahan bakar menjadi

satu dengan ruang pembakaran. Sirkulasi udara yang tidak baik menyebabkan

asap tidak sepenuhnya bisa keluar melalui cerobong, sehingga ruang pembakaran

terlihat kotor dan berdebu dan keluar melalui sela yang ada menuju lingkungan
permukiman masyarakat. Hal ini mengakibatkan peningkatan terhadap kasus

ISPA juga semakin meningkat disekitar masyarakat.

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit

berbasis lingkungan yang disebabkan oleh kualitas udara yang buruk. Penyakit ini

menjadi perhatian global karena merupakan salah satu penyebab utama kesakitan

dan kematian pada anak usia bawah lima tahun (Balita) di dunia (Shibata et al.,

2014). Menurut WHO, sebanyak 1,9 juta balita meninggal akibat ISPA tiap

tahunnya (Simoes et al., 2006). Sekitar 70% kasus ISPA terjadi di Afrika dan

Asia Tenggara (Shibata et al., 2014).

Berdasarkan penelitian epidemiologis, diperkirakan kejadian ISPA di

negara berkembang mencapai 25% pada anak yang berumur di bawah lima tahun

(Prabahar, 2017). Sementara itu, Indonesia menempati peringkat ke lima sebagai

negara dengan kejadian ISPA terbanyak di dunia (Kementerian Kesehatan RI,

2012). ISPA merupakan penyebab utama kunjungan pasien di puskesmas (40%-

60%) dan rumah sakit (15%-30%) di Indonesia (Kementerian Kesehatan RI,

2012). Menurut data Riskesdas, diketahui period prevalence kasus ISPA pada

tahun 2007 sebesar 25,5%. dan menurun menjadi 25% pada tahun 2013

(Kementerian Kesehatan RI, 2013). Proporsi angka mortalitas balita akibat ISPA

menempati urutan kedua terbesar setelah diare (Kementerian Kesehatan RI,

2012).

Sementara itu, period prevalence kasus dapat memengaruhi kesehatan

masyarakat. Pada tahun 2010 diketahui, sekitar 1,6 juta jiwa meninggal akibat

penyakit yang disebabkan oleh pencemaran udara dalam ruang (Perez-Padilla,

Schilmann, & Riojas- Rodriguez, n.d., 2010). Kelompok masyarakat yang

berisiko terkena ISPA akibat kualitas udara dalam ruang adalah wanita dan anak-

anak. Hal ini karena sebagian besar waktu wanita dan anak-anak dihabiskan di

dalam rumah.
Berdasarkan penelitian yang menghubungkan antara ISPA dan kualitas

udara dalam ruang, diketahui bahwa kualitas udara dalam ruang mempunyai

hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA (Shibata et al., 2014). Terdapat

beberapa faktor yang memengaruhi kualitas udara dalam ruang, antara lain;

faktor perilaku penghuni, faktor lingkungan dalam rumah dan luar rumah. Faktor

lingkungan dalam rumah yang berpengaruh terhadap kualitas udara, antara lain;

jenis dinding, jenis lantai, luas ventilasi, kepadatan hunian (Fitria et al., 2008) dan

pencemaran udara dalam ruang (Yuwono, 2008). Sementara faktor lingkungan

luar dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban luar ruang serta zat pencemar di udara

ambien. Pengaruh faktor perilaku penghuni seperti kebiasaan merokok dalam

rumah (Marianta, 2015), kebiasaan membuka jendela dan penggunaan bahan

bakar yang tidak ramah lingkungan (Suryani, 2015) juga dapat memengaruhi

kualitas udara dalam rumah dan berdampak bagi kesehatan penghuninya.

Apabila ditinjau dari segi lokasi, kabupaten Kolaka termasuk dalam area

yang berisiko untuk berkembangnya penyakit ISPA. Hal ini karena letak

kabupaten Kolaka yang dikelilingi Kawasan industry pertambangan yakni wilayah

selatan di kecamatan pomalaa dan utara di kecamatan wolo. Kawasan industri

memiliki kualitas udara ambien yang rendah. Hal ini terbukti dengan hasil

pengukuran kualitas udara ambien di sekitar wilayah pertambangan pomalaa

dengan parameter TSP (Total Suspended Solid) yang telah melebihi nilai baku

mutu, yaitu sebesar 411 µg/m3 per 24 jam dengan nilai baku mutu sebesar 230

µg/m3 per 24 jam (Kementerian Lingkungan Hidup, 2016). Hasil pengukuran

tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah

pertambangan di Kolaka 28,8% terpapar ISPA. Data ini didapatkan dari laporan

register MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sehat) Klinik Puskesmas Pomalaa.

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Puskesmas Pomalaa dan pemegang

program MTBS Klinik Puskesmas Pomalaa, diketahui bahwa ISPA merupakan


penyakit nomor satu pada balita.

Gambaran kejadian ISPA pada balita dan kondisi udara di lingkungan

sekitar wilayah Kabupaten Kolaka khususnya wilayah pertambangan yang

bermasalah merupakan masalah kesehatan lingkungan yang menarik untuk diteliti.

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan

Kualitas Udara Dengan Kejadian ISPA di Kabupaten Kolaka.

B. Kajian Masalah

Adanya permasalahan lingkungan di kabupaten kolaka, khususnya

pencemaran udara seperti di Kawasan industri pertambangan Pomalaa

menyebabkan menurunnya kesehatan masyarakat dan meningkatkan resiko ISPA

pada masyarakat. Menurut penelitian Dewi (2017) bahwa sebanyak 18,8%

masyarakat mempunyai kapasitas fungsi paru yang bernilai normal dan

sebanyak 81,2% masyarakat mempunyai gangguan kapasitas fungsi paru.

Berdasarkan data dari UKK (Unit Kesehatan Kerja) Puskesmas Pomalaa, pada

Januari 2022, dari total 20 masyarakat per bulan yang diperiksa, semuanya

memiliki frekuensi pernapasan lebih dari 20 kali per menit. Frekuensi pernapasan

yang lebih dari 20 kali per menit menandakan adanya penurunan keteregangan

paru dan penurunan ventilasi udara yang menyebabkan volume udara yang

masuk dan keluar terganggu. Keadaan seperti itu disebut takipnea. Takipnea

adalah gejala yang terdapat pada pneumonia, kongesti paru, edema, ataupun

kelainan dada restriktif lainnya yang berujung pada ISPA (Djojodibroto, 2015).

Menurut hasil studi pendahuluan, masyarakat yang terpapar partikel debu

dalam jangka waktu >10 tahun mempunyai risiko 15 kali lebih besar untuk

mengalami gangguan fungsi paru penyebab ISPA daripada masyarakat yang

masa kerjanya kurang dari 10 tahun (Budiono, 2007). Ketika masyarakat

bernapas, partikel yang berukuran < 6 mikron akan tertangkap disaluran

pernapasan bawah, sedangkan partikel dengan ukuran < 2,5 mikron akan
terdeposisi di alveolus. Semakin kecil ukuran partikel dan semakin besar

konsentrasinya akan memperbesar kemungkinan untuk terdeposisi di alveolus

(Djojodibroto, 2015). Selain itu, proses pembakaran nikel menyebabkan

pembentukan H2S yang merusak aroma sekitar lingkungan, sehingga cara

pengolahan bijih nikel adalm aktifitas pertambangan yang dilakukan tanpa melalui

standarisasi kesehatan, sangat bebahaya bagi kesehatan dan merugikan kesehatan

masyarakat secara periodik (Heruwati, 2002).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi pada

saluran pernafasan akut yang terjadi tidak lebih dari 14 hari yang menyerang pada

hidung hingga alveoli (WHO:2009). Penyakit ISPA pada umumnya diawali

dengan panas tinggi yang disertai dengan tenggorokan sakit atau nyeri saat

menelan, pilek, batuk kering atau berdahak (Dharmayanti & Tjandararini, 2017).

Masyarakat pesisir biasanya datang ke fasilitas kesehatan dengan kondisi infeksi

saluran pernafasan akut yang sudah cukup parah. Pada Kondisi ISPA yang ringan

biasanya masyarakat tidak memperdulikannya dan lebih banyak membiarkanya

agar sembuh dengan sendirinya. Kondisi lingkungan fisik yang kurang memadai

dan terkesan kumuh memperparah kejadian Infeksi Pernafasan Akut pada

masayarakat pesisir Kenjeran. Kondisi lingkungan pada pesisir Kenjeran

sebenarnya sudah menjadi perhatian pada pemerintah kota namun masih banyak

lokasi-lokasi yang masih terkesan kumuh dan padat. Fenomena seperti ini akan

memperparah angka kejadian pada penyakit infeksi saluran peranfasan akut

dengan perbaikan kondisi lingkungan fisik pada daerah tersebut akan sangat

penting dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan

sehingga akan menurunkan angka kejadian pada penyakit ini.

Kasus terjadinya ISPA mencapai 120 juta jiwa setiap tahunnya dan sekitar

1,4 juta orang meninggal. Sekitar 95% kematian yang disebabkan ISPA terjadi di

negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah (Sonego et al.,


2015). WHO menuturkan, ISPA merupakan salah satu penyebab kematian

tersering pada anak di negara yang sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan

empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun pada

setiap tahunnya dan sebanyak dua pertiga dari kematian tersebut terjadi pada bayi

(Wahyuningsih, Raodhah, & Basri, 2017). ISPA merupakan penyebab terpenting

morbiditas dan mortalitas pada anak (Pore dkk, 2010). Berdasarkan data WHO

Penyakit ini menyumbang 16% dari seluruh kematian anak di bawah 5 tahun,

yang menyebabkan kematian pada 920.136 balita, atau lebih dari 2.500 per hari,

atau di perkirakan 2 anak Balita meninggal setiap menit pada tahun 2015.(WHO,

2017). Berdasarkan data Laporan Rutin Subdit ISPA Tahun 2017, didapatkan

insiden (per 1000 balita) di Indonesia sebesar 20,54%. Terdapat 6.139 penduduk

pada provinsi Sulawesi Tenggara pernah terjangkit ISPA dengan Pneumonia

(Profil_Kesehatan_Indonesia, 2018). Prevalensi ISPA menurut gejala dan

diagnosis di Sulawesi Tenggarasudah mencapai 9,7% (Riskesdas, 2018). Menurut

Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara angka cakupan kejadian ISPA sudah

mencapai 40,0% hal ini masih memerlukan perhatian khusus dikarenakan masih

belum optimalnya pelaporan kejadian ISPA(Dinkes Prov. Sultra, 2021). Pada

daerah pesisir kabupaten kolaka Kejadian ISPA merupakan bagian dari 10

penyakit terbanyak dengan jumlah penderita ISPA mencapai 2364 kasus per

tahun.

Berdasarkan uraian diatas maka jelas menunjukkan bahwa banyak faktor

yang kondisi lingkungan fisik rumah yang mempengaruhi kejadian ISPA. Apalagi

kondisi lingkungan fisik pada perumahan yang ada pada daerah pesisir Kenjeran

yang terkesan kumuh dengan pondasi rumah yang masih ada di pinggiran pantai

dan kondisi lingkungan yang dipenuhi dengan hasil tangkapan dilaut yang dijemur

dengan sembarangan. ISPA merupakan salah satu penyakit dengan angka

kesakitan dan angka kematian yang cukup tinggi, maka perlu dilakukan
penanganan yang terpadu, terarah yang di tujukan pada perbaikan mutu

lingkungan. Hal ini mendasari peneliti untuk meneliti adakah kondisi lingkungan

khususnya kualitas udara mempengaruhi kejadian ISPA pada masyarakat di

kabupaten kolaka?

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan kajian masalah, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan dalam penelitian ini, yakni :

a. Bagaimana identifikasi bahaya pencemaran udara yang terjadi di Sekitar

wilayah Kabupaten Kolaka?

b. Apakah ada hubungan antara kualitas udara dengan kejadian infeksi pernafasan

ISPA pada masyarakat di Kabupaten Kolaka ?

D. Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan penelitian ini yakni untuk mengetahui hubungan

kualitas udara pada masyarakat di Sekitar wilayah Kabupaten Kolaka. Sedangkan

beberapa tujuan khususnya yakni :

1. Untuk mengidentifikasi tingkat pencemaran udara yang terjadi di Sekitar

wilayah Kabupaten Kolaka, khususnya wilayah sekitar pertambangan.

2. Untuk mengetahui hubungan antara kualitas udara dengan kejadian infeksi

pernafasan ISPA pada masyarakat di Kabupaten Kolaka.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti, diharapkan dapat menambah wawasan peneliti dan melatih

keterampilan peneliti dalam melakukan analisis risiko kesehatan lingkungan.

Selain itu juga dapat mengembangkan pola pikir peneliti yang lebih luas

dalam menganalisis pengelolaan risiko dari permasalahan kesehatan

lingkungan di industri lainnya.

2. Bagi institusi pendidikan khususnya Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat,


diharapkan dapat menjadi informasi bagi peneliti lain dalam melakukan

penelitian lebih lanjut terkait kualitas udara di Sulawesi Tenggara.

3. Bagi Institusi kerja yang menjadi sasaran penelitian, dapat melakukan

manajemen risiko dalam mengatasi masalah-masalah kesehatan dan

lingkungan.

F. Kebaruan Penelitian

Kebaruan penelitian ini dapat dilihat dari gap penelitian sebelumnya dalam

tabel berikut.

Tabel 1.1 GAP Penelitian yang relevan

No Judul Nama Tahun Rancangan Variabel Hasil


Penelitian Peneliti dan Penelitian Penelitian Penelitian
Tempat
Penelitian

1 Analisis Avita 2017, di Analisis Variabel Pedagang


Risko Falahdin Terminal Risiko bebas : tetap di
Kesehatan a Kampung Kesehatan konsentrasi Terminal
Lingkunga Rambutan Lingkungan PM 2,5 Kampung
n Paparan Variabel Rambutan
PM 2,5 terikat :
berisiko
pada Risk
Pedagang Quetient terhadap
Tetap di (RQ) penurunan
Terminal fungsi paru
Kampung akibat
Rambutan paparan PM
No Judul Nama Tahun Rancangan Variabel Hasil
Penelitian Peneliti dan Penelitian Penelitian Penelitian
Tempat
Penelitian

2,5 dalam
paparan
realtime
maupun
lifespan 30
tahun
mendatang
2 Analisis Darund 2014, di Deskriptif Variabel Konsentrasi
Kualitas ana Sekitar kuantitatif Jumlah TSP
Total Endro wilayah produksi tertintggi
Suspended Prasety pertambang Variabel yang
an Nikel
Particulat otomo; terikat : didapatkan
Kecamatan
e (TSP) Dr. Pomalaa
Kandunga ialah
Dalam Haryon Bandarharj n TSP dan sebesar
Ruangan o o Semarang PM 2,5 872,877
Pada Setiyo µg/m3sedan
Proses Huboyo gkan untuk
Pengasapa , ST, PM 2.5
n (Studi MT; yaitu
Kasus: Ir. sebesar
Sentra Mochta 4018
Pengasapa r µg/m3.
n Ikan Hadiwi Terdapatnya
Bandarhar dodo, hubungan
jo, Kota yang kuat
Semarang) antara
konsentrasi
TSP dan
PM 2.5
terhadap
akibat dari
cemaran
yang
ditimbulkan
pada proses
pengasapan
dalam hal
ini
berkaitan
No Judul Nama Tahun Rancangan Variabel Hasil
Penelitian Peneliti dan Penelitian Penelitian Penelitian
Tempat
Penelitian

dengan
kesehatan
para
masyarak
at.
3 Hubungan Estri 2003, di Cross- Variabel rata-rata
debu total Aurorin Sentra sectonal bebas : kadar debu
ruang a Industri debu total dari 10
pengasapa Rumah ruang ruang
n ikan Tangga pengasapa pengasapan
dengan Pengasapa n sebesar
gangguan n Ikan Variabel 10,93
fungsi Bandarhar terikat : mg/m3.
paru pada jo gangguan Pengasap
pengasap Semarang ikan (45
fungsi
ikan orang) yang
Banjarharj paru mengalami
o Kota gangguan
Semarang fungsi paru
tahun
2003
Cross Variabel Tidak
4 Faktor- Mei 2018, di sectional bebas : terdapat
Faktor Ermaw Sentra faktor hubungan
yang ati Industri lingkunga anatara
Berhubun Rumah n :Kadar Faktor
ngan Tangga debu, individu
dengan Pengasapa kadar CO, dan
Gambaran n Ikan kejadian
Fungsi Bandarhar fungsi paru,
Paru jo dan
(Studi Semarang dimungkink
Kasus an faktor
Masyarak lingkungan
at Sentra berpotensi
Pengasapa mempengar
n Ikan uhi
Bandarhar gambaran
jo) fungsi paru
No Judul Nama Tahun Rancangan Variabel Hasil
Penelitian Peneliti dan Penelitian Penelitian Penelitian
Tempat
Penelitian
kadar
suhu,
kadar
kelembaba
bn, luas
ventilasi,
kepadatan
ruangan
Faktor
individu
:jenis
kelamin,
umur,
status gizi,
status
merokok ,
lama
paparan
Variabel
terikat :
Gangguan
fungsi
paru

Berdasarkan beberapa penelitian diatas, maka diperoleh beberapa hal

yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah

sebagai berikut:

1. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan cross sectional

dengan melihat fenomena yang terjadi akibat dari suatu kondisi dalam hal ini

kualitas udara.
2. Variabel bebas penelitian ini adalah kualitas udara yang dignakan uuntuk

melihat pemicu gangguan pernapasan.

3. Penelitian ini dilakukan dengan klasterisasi wilayah yang tingkat resikonya

tinggi pada kejadian ISPA yakni di wilayah pertambangan kabupaten kolaka.

4. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah paparan ISPA pada masyarakat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori Variabel Terikat


2.1.1 Pengertian ISPA
ISPA adalah suatu proses inflamasi yang disebabkan oleh infeksi virus,

bakteri, infeksi mycoplasma atau aspirasi zat asing yang melibatkan sebagian atau

seluruh saluran pernafasan (Hockenberry, 2008). Menurut Kapita Selekta

Kedokteran (2014) ISPA sering disebut juga dengan Infeksi Respiratori Akut

(IRA). Infeksi respiratori akut ini terdiri dari infeksi respiratori atas akut (IRAA)

dan infeksi respiratori bawah akut (IRBA). Disebut akut, jika infeksi berlangsung

hingga 14 hari. ISPA adalah penyakit saluran pernafasan akut pada bagian atas

seperti rhiningitis, fharingitis, dan otitis serta bagian bawah seperti laryngitis,

bronchitis, bronchiolitis dan pneumonia yang berlangsung selama 14 hari

(Fadholi, 2017)

Penyakit ISPA mencakup penyakit saluran napas bagian atas (ISPaA) dan

penyakit saluran napas bagian bawah (ISPbA). ISPA bagian atas mengakibatkan

kematian anak dalam jumlah kecil tetapi dapat mengakibatkan sejumlah kecacatan

seperti otitis medis yang merupakan penyebab ketulian dan timbulnya gangguan

perkembangan serta gangguan belajar pada anak-anak. Hampir seluruh kematian

balita karena ISPA disebabkan oleh infeksi saluran nafas bawah akut (ISPbA)

yaitu pneumonia.(Tami, 2013)

ISPA ini mencakup: severe acute respiratory syndrome(sars), kasus

infeksi flu burung pada manusia, dan ISPA baru yang belum pernah dilaporkan

yang dapat menyebabkan wabah skala besar dengan morbiditas dan mortalitas

tinggi.ISPA umumnya ditularkan melalui droplet. Namun demikian, pada

sebagian patogen ada juga kemungkinan penularan melalui cara lain, seperti
melalui kontak dengan tangan atau permukaan yang terkontaminasi. Karena itu,

informasi mengenai pencegahan dan pengendalian infeksi dalam pedoman ini

dirancang untuk mencakup semua cara penularan.

2.1.2 Klasifikasi ISPA

Menurut Departemen Kesehatan RI (2008), ISPA merupakan penyakit

infeksi yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas, mulai

dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura.

Penyakit ISPA dibagi menjadi 2 jenis yaitu :

1. Infeksi saluran pernafasan akut bagian atas

Infeksi yang menyerang hidung, faring, laring hingga epiglottis.

2. Infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah

Infeksi yang menyerang dibawah epiglottis sampai alveolus. (Elsevier

Science, 2012)

Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi menurut Depkes RI (2009), sebagai

berikut :

1. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut

Infeksi yang menyerang bagian hidung sampai faring seperti pilek,

faringitis, dan otitis media.

2. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian laring

sampaialveoliseperti epiglotitis, bronkitis, bronkiolitis, laringitis,

laringotrakeitis,dan pneumonia.

Klasifikasi penyakit berdasarkan umur menurut Kemenkes RI(2011), sebagai

berikut :

1. Kelompok umur<2 bulan, dibagi atas :


a. Pneumonia berat, bila batuk disertai dengan napas cepat (fast

breathing), 10 dimana frekuensi pernapasan 60 kali/menit atau lebih,

atau adanya tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam

yang kuat (severe chest indrawing).

b. Non pneumonia, bila tidak adatarikan dinding dada bagian bawah dan

frekuensi pernapasan normal.

2. Kelompok umur 2 bulan sampai <5 tahun,dibagi atas :

a. Pneumonia sangat berat, bila batukdan mengalami kesulitan saat

bernapas yang disertai sianosis sentral, adanya tarikan dinding dada,

dan kejang.

b. Pneumonia berat, bila batuk dan mengalami kesulitan bernapas serta

ada tarikan dinding dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral.

c. Pneumonia, bila batuk dan terjadi kesukaran bernapas yang disertai

dengan napas cepat, yaitu >50 kali/menit untuk umur 2-12 bulan, dan

>40 11 kali/menit untuk umur 12 bulan sampai 5 tahun.

d. Non pneumonia, bila mengalami batuk pilek saja, tidak ada tarikan

dinding dada, tidak ada napas cepat, frekuensi kurang dari50kali/menit

pada anak umur 2-12 bulan dan kurang dari 40 kali/menit untuk umur

12 bulan sampai 5 tahun.

2.1.3 Tanda Gejala ISPA

Tanda-tanda epidemiologis :

Riwayat kesehatan terbaru pasien (dalam masa inkubasi yang diketahui atau yang

diduga) yang meliputi:

1. Baru melakukan perjalanan ke suatu daerah di mana terdapat

pasien yang diketahui menderita ISPA yang dapat menimbulkan

kekhawatiran;
2. baru mengalami pajanan kerja, misalnya pajanan terhadap hewan yang

mengalami gejala flu burung, atau

3. baru kontak dengan pasien lain yang terinfeksi ISPA yang dapat

menimbulkan kekhawatiran.

Tanda-tanda klinis Pasien yang mengalami, atau yang meninggal akibat,

penyakit pernapasan disertai demam tinggi, akut, dan belum jelas penyebabnya

seperti demam yang lebih dari 38°C disertai batuk dan sesak napas, atau penyakit

parah lainnya yang tidak jelas penyebabnya seperti ensefalopati atau diare dengan

riwayat pajanan yang mirip dengan IsPa yang dapat menimbulkan kekhawatiran

yang disebutkan di atas dalam masa inkubasi yang diketahui atau suspek

Kriteria diagnosis ISPA ini berdasarkan atas tiga bagian, yaitu waktu sakit

kurang dari 14 hari, tidak ada riwayat atopi, dan terdapat gejala ISPA baik non-

pneumonia maupun pneumonia. Subjek tergolong pada ISPA non-pneumonia bila

terdapat demam dan salah satu gejala yaitu pilek, hidung tersumbat, batuk kering,

nyeri tenggorok, suara serak, stridor, batuk berdahak, napas cepat, mengi, dan

keluar cairan telinga. Sedangkan subjek digolongkan dalam ISPA pneumonia jika

terdapat demam, batuk berdahak, dan sesak napas.(Tami, 2013)

2.1.4 Penyebab ISPA

Menurut Widoyono (2008) penyebab ISPA sendiri ada beberapa seperti

bakteri, virus, jamur, dan aspirasi. Bakteri penyebab ISPA seperti Diplococcus

pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aerus,

Haemophilus influenza, dan lain-lain. Penyebab ISPA oleh virus, antara lain

influenza, adenovirus, sitomegalovirus. Penyebab ISPA oleh jamur, antara lain

aspergilus sp., Candida albicans, Histoplasma. Selain disebabkan oleh bakteri,

virus dan jamur, ISPA juga dapat disebabkan oleh aspirasi benda asing yang dapat

mengganggu fungsi dari saluran pernafasan maupun paru-paru seperti makanan,


asap kendaraan bermotor, asap rokok, bahan bakar minyak (minyak tanah), cairan

amnion pada saat lahir, maupun benda asing (biji-bijian, mainan plastic, dan lain-

lain)

1. Faktor-Faktor Resiko ISPA (Dian Indriani, 2012)

a. Usia, Usia bayi atau neonatus, pada anak yang mendapatkan air susu

ibu angka kejadian pada usia dibawah 3 bulan rendah karena

mendapatkan imunitas dari air susu ibu (Wong’s, 2003)

b. Status gizi, merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada

anak, hal ini dikarenakan adanya gangguan respon imun (Wantania,

2008).

c. Riwayat pemberian air susu ibu (ASI), Air susu ibu mempunyai nilai

proteksi terhadap ISPA terutama pada pneumonia selama1 bulan

pertama. (Wayse, 2004)

d. Daya tahan tubuh, kekurangan dari sistem kekebalan tubuh

menempatkan anak pada resiko infeksi. (Wong’s, 2003).

e. Status sosial ekonomi, berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-

faktor lain seperti nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan

kesehatan. (Wantania, 2008)

f. Kondisi lingkungan, asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan

bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak

mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya

ISPA (Mishra, 2005)

g. Cuaca/musim, biasanya terjadi pada saat terjadi perubahan musim,

tetapi juga biasa terjadi pada musim dingin.

2.1.5 Patofisiologi Saluran Pernapasan

Saluran pernapasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring,

laring, trakea, dan paru. Laring membagi saluran pernapasan menjadi dua bagian,
yakni saluran pernapasan atas dan saluran pernapasan bawah. Setelah melalui

saluran pernafasan atas udara menjadi lembab dan hangat sehingga sesuai dengan

suhu normal pada tubuh selanjutnya udara melewati trakea dan masuk pada

saluran pernafasan bawah yaitu bronkiolus, bronkiolus respiratorius, dan duktus

alveolaris sampai alveolus. Antara trakea dan alveolus terdapat 23 percabangan

saluran udara, yang masing-masing membagi dari bronkiolus hingga alveolus

sehingga kecepatan aliran udara di dalam saluran udara kecil berkurang ke nilai

yang sangat rendah. Tiap alveolus dikelilingi oleh pembuluh kapiler paru. Di

sebagian besar daerah, udara dan darah hanya dipisahkan oleh epitel alveolus dan

endotel kapiler sehingga keduanya hanya terpisah sejauh 0,5 μm. Tiap alveolus

dilapisi oleh 2 jenis sel epitel, yaitu sel tipe 1 dan sel tipe 2. Sel tipe 1 merupakan

sel gepeng sebagai sel pelapis utama, sedangkan sel tipe 2 (pneumosit granuler)

lebih tebal, banyak mengandung badan inklusi lamelar dan mensekresi surfaktan.

Surfaktan merupakan zat lemak yang berfungsi untuk menurunkan tegangan

permukaan.

Secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di

setiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan saluran

pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk

menunjukkan berlangsungnya proses akut.

Proses terjadinya penyakit ini adalah masuknya bakteri, virus, dan jamur

kedalam tubuh manusia melalui partikel- partikel yang bercampur dengan udara.

Kuman ini akan melekat pada epitel-epitel hidung dan masuk ke saluran

pernafasan. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan

silia yang terdapat pada permukaan saluran pernafasan bergerak ke atas

mendorong virus ke arah faring atau reflek oleh laring. Jika reflek tersebut gagal

maka akan merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan.

Kerusakan tersebut menyebabkan peningkatan aktifitas kelenjar mucus sehingga


mengeluarkan mukosa yang berlebihan. Rangsangan cairan mukosa tersebut yang
akhirnya menyebabkan batuk. Adanya infeksi virus merupakan predisposisi

terjadinya infeksi sekunder bakteri. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan

sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran pernafasan

sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif.

2.1.6 Pencegahan ISPA

Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan cara :

1. menyediakan makanan yang bergizi untuk mendukung kekebalan

tubuh alami

2. pemberian imunisasi yang lengkap

3. keadaan lingkungan fisik yang baik

4. menghindari asap rokok

5. mencegah kontak pajanan dengan penderita ISPA

2.1.7 Fisiologi Saluran Pernafasan

Pada pernafasan melalui paru-paru atau pernafasan eksterna, oksigen

masuk melalu hidung dan mulut pada waktu bernafas. Udara bergerak masuk dan

keluar paru karena ada perbedaan tekanan yang terdapat antara atmosfer dan

alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Setelah itu oksigen masuk melewati

faring, laring, trakea dan pipa bronchial ke alveoli. Didalam alveoli, oksigen

berhubungan erat dengan darah dan hanya membran alveoli-kapiler yang

memisahkan antara darah dengan oksigen. Selanjutnya oksigen menembus

membran ini dan diikat dengan hemoglobin sel darah untuk selanjutnya dibawa

kejantung. Didalam paru-paru karbondioksida menjadi salah satu hasil

pembuangan metabolisme ditukar dan dilepaskan keluar melalui hidung atau


24
mulut. Pergerakan udara mengikuti gradient penurunan tekanan, yaitu mengalir

dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Oleh karena itu agar udara dapat masuk ke

alveolitekananintra-alveolus harus lebih kecil dari tekanan atmosfer sehingga

udara dapat mengalir masuk sewaktu inspirasi. Sama halnya sewaktu ekspirasi,

tekanan intra-alveolus harus lebih besar dari tekanan atmosfer agar udara dapat

mengalir keluar.(dr. Kadek Agus Heryana Putra, 2016) Proses yang kedua adalah

proses difusi gas-gas yang melintasi membrane alveoli yang tipis (tebalnya kurang

dari 0,5µm) kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan

parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer pada

permukaan laut besarnya sekitar 159mmHg namun pada waktu O2 sampai ke

trakea tekanan parsial mengalami penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena

dihangatkan dan dilembabkan oleh jalan nafas. Pada alveoli tekanan parsial

menurun kira-kira 103 mmHg karena tercampur dengan udara dalam ruang mati

anatomic pada saluran jalan napas. Hal ini menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam

alveolus, kemudian dikeluarkan ke atmosfer, yang konsentrasinya pada

hakekatnya adalah nol. Selisih CO2 antara darah dan alveolus amat kecil, namun

tetap memadai karena dapat berdifusi melintasi membrane alveolus kapiler karena

daya larutnya lebih besar dibanding O2.

2.1.8 Mekanisme Terjadinya ISPA

ISPA merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang menyebar

melalui udara atau biasa disebut airborne disease (WHO, 2007). Penyakit ini dapat

menular apabila virus atau bakteri yang terbawa dalam droplet penderita terhirup oleh

orang sehat. Droplet penderita dapat disebarkan melalui batuk atau bersin dari

penderita (Hananto & Hapsari, 2010). Proses terjadinya penyakit setelah

agent penyakit terhirup berlangsung dalam masa inkubasi selama 1 sampai 4 hari

untuk berkembang.
25
B. Tinjauan Teori Variabel Bebas

2.1.9 Kualitas Udara

Kualitas udara bisa menjadi penentu kesehatan suatu lingkungan dan

mahluk hidup di dalamnya. Udara yang sehat pastinya berdampak baik bagi

kehidupan di dalamnya, begitupula sebaliknya. Udara merupakan salah satu

sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan menjadi syarat pokok

kehidupan setiap mahluk di muka bumi. Karenanya, dibutuhkan kualitas udara

yang baik, tidak tercemar polusi, atau membahayakan kesehatan sehingga

aktivitas mahluk hidup dapat berjalan lancar. Mengutip UCAR Center for Science

Education, kualitas udara atau air quality merupakan kadar kandungan udara

berdasarkan konsentrasi polutan di lokasi tertentu. kualitas udara ini disesuaikan

dengan Indeks Kualitas Udara atau Air Quality Index (AQI). Meneruskan situs

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk mengukur kualitas udara

di berbagai wilayah di Indonesia, pemerintah telah menentukan Indeks Standar

Pencemar Udara (ISPU) sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup

Nomor: KEP 45/MENLH/1997 tentang Indeks Standar Pencemar Udara.

Parameter Kualitas Udara Indeks Standar Pencemar Udara adalah angka yang

tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di

lokasi dan waktu tertentu yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan

manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya. ISPU ditetapkan dengan cara

mengubah kadar pencemar udara yang terukur menjadi suatu angka yang tidak

berdimensi. Rentang Indeks Standar Pencemar Udara dapat dilihat pada tabel

sebagai berikut:

Kategori Rentang Penjelasan


Baik 0 - 50 Tingkat kualitas udara tidak
memberi efek buruk bagi
kesehatan manusia atau
hewan, serta tidak
mempengaruhi tumbuhan,
bangunan, dan nilai estetika
26
Sedang 51 - 100 Tingkat kualitas udara tidak
memberi efek buruk bagi
kesehatan manusia dan
hewan, namun
mempengaruhi tumbuhan
yang sensitif, serta nilai
estetika
Tidak sehat 101 - 199 Tingkat kualitas udara
merugikan manusia dan
kelompok hewan yang
sensitif, serta menimbulkan
kerusakan pada tumbuhan
ataupun nilai estetika
Sangat tidak sehat 200 - 299 Tingkat kualitas udara dapat
merugikan kesehatan pada
beberapa segmen populasi
yang terpapar
Berbahaya 300 - lebih Tingkat kualitas udara
berbahaya secara umum dan
menimbulkan kerugian
kesehatan yang serius

2.1.10 Pencemaran Udara berdasarkan TSP

Partikel mikro atau debu sering disebut sebagai agen tersendiri, namun

pada hakikatnya merupakan kumpulan berbagai macam bahan hidup atau mati.

Partikel mikro bisa berupa PM 2,5 atau PM 10 yakni partikel yang berdiameter

dibawah 10 mikron atau berdiameter dibawah 2,5 mikron. Meskipun Particulate

Matter memiliki sifat melayang di udara, namun pada akhirnya mengendap

sehingga diukur dalam ukuran Total Suspended Particulate (TSP) atau Suspended

Particulate Matter (SPM). TSP ini merupakan campuran yang sangat kompleks

dari berbagai senyawa organik dan anorganik dari yang memiliki ukuran dibawah

1 mikron hingga 500 mikron (Achmadi, 2011). Total Suspended partiuculate

adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap serta

melayang di udara.

Total Suspended particulate sangat banyak jenisnya termasuk di

dalamnya material dan partikel yang berasal dari industri, pertambangan dan

pertanian (Wardana, 2004). Secara fisik, partikulat dikatagorikan sebagai


27
pencemar udara aerosol. Debu terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu padat (solid) dan

cair (likuid). Partikulat yang terdiri atas partikel padat misalnya dust, fumes,

smoke, serta serat (Suripto, 2008).

2.1.11 Sumber dan Distribusi Pencemaran Udara

Menurut Wardhana (2004), Penyebab pencemaran udara yang

menghasilkan partikel secara umum ada 2 macam, yaitu :

a. Faktor internal (secara alamiah), yaitu :

1. Debu yang beterbangan akibat tiupan angin

2. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi

3. Proses pembusukan sampah organik

b. Faktor eksternal (karena ulah manusia), contoh :

1. Hasil pembakaran bahan bakar fosil

2. Debu atau serbuk dari kegiatan industri

3. Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara.

Selain sumber-sumber diatas, menurut Alias, et al (2007) sumber alamiah

partikel dapat berasal dari tanah, bakteri, virus, jamur, jamur, ragi, serbuk sari dan

partikel garam dari penguapan air laut. Budiyono, (2001) mengatakan bahwa

pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar yang mengandung senyawa

karbon murni atau bercampur dengan gas-gas organik seperti halnya penggunaan

mesin diesel yang tidak terpelihara dengan baik. Partikulat debu melayang juga

dihasilkan dari pembakaran batu bara yang tidak sempurna sehingga terbentuk

aerosol kompleks dari butir-butiran tar.

Partikel yang dihasilkan oleh proses pembakaran minyak berat

mengandung senyawa-senyawa berbahaya seperti V, Ni. Partikel yang dihasilkan

dengan pembakaraan batu bara, pembakaran minyak dan gas pada umumnya

menghasilkan TSP lebih sedikit. Kepadatan kendaraan bermotor dapat menambah

asap hitam pada total emisi partikulat debu yang mengandung Cu, Zn, Pb
28
(Mazzei, D'Alessandro, A, 2008).

Sumber-sumber polutan di atas, dapat menyebabkan konsentrasi partikel

di udara meningkat. Konsentrasi TSP dan PM 10 di udara dipengaruhi oleh arah

angin dan curah hujan. Kondisi cuaca yang cerah dan tidak hujan menyebabkan

konsentrasi partikel meningkat (Araújo, et al 2014). Selain itu, Kondisi keadaan

meteorologi lingkungan juga sangat mempengaruhi kedaan udara, seperti

temperatur, kelembapan, kecepatan angin dan arah angin. Keadaan cuaca seperti

cerah, berawan atau hujan juga mempengaruhi. Terjadinya fluktuasi situasi

keadaan meteorologi yang bervariasi juga dapat mempengaruhi dispersi

polutan di atmosfir (Martono dan Sulistiyani, 2004 ).

2.1.12 Mekanisme Paparan ke Manusia

Partikel masuk ke tubuh manusia melalui jalur inhalasi atau pernapasan.

Sistem pernapasan manusia memiliki beberapa mekanisme pertahanan untuk

mencegah partikel-partikel berbahaya masuk ke dalam tubuh. Seluruh saluran

napas, dari hidung sampai bronkiolus terminalis, dipertahankan agar tetap lembab

oleh selapis mukus yang melapisi seluruh permukaan. Selain itu, seluruh

permukaan pernapasan juga dilapisi oleh epitel bersilia, dengan kira-kira 200 silia

pada masing sel-sel epitel. Silia ini mampu memukul zat asing yang masuk

dengan kecepatan 10-20 kali per detik dengan mengarah ke faring, sedangkan

dalam hidung memukul ke arah bawah. Pukulan yang terus menerus

menyebabkan mukus ini lambat pada kecepatan kira-kira 1 cm/ menit ke faring.

Kemudian mukus dan partikel-partikel yang dijeratnya tertelan atau dibatukkan

keluar (Guyton & Hall, 1997).


29

Gambar 2.1 Anatomi Pernapasan Manusia


Sumber : pixabay.com/health-medicine

Mekanisme turbulensi hidung untuk mengeluarkan partikel dari udara

begitu efektif, sehingga hampir tidak ada partikel yang berukuran lebih besar dari

6 mikrometer yang masuk ke paru dalam hidung. Partikel-partikel yang dapat

masuk ke dalam paru kebanyakan berukuran 1-5 mikometer. Ukuran ini lebih

kecil daripada ukuran sel darah merah. Paru-paru sebagai organ yang

berhubungan dengan udara atmosfer memiliki mekanisme pertahanan untuk

melindungi dari pengaruh buruk yang mengenainya. Adapun mekanisme

pertahanan tubuh yang melindungi meliputi : mekanisme yang berkaitan dengan

faktor fisik, anatomik, dan fisiologik, mekanisme eskalasi mukus, mekanisme

fagositik, dan mekanisme reaksi imun. Perjalanan udara pernapasan merupakan


30

struktur yang berkelor-kelok sehingga memungkinkan terjadinya proses desposisi

partikel. Adapun mekanisme terjadinya desposisi patikel adalah:

a. Partikel berukuran >10 mikrometer tertangkap di rongga hidung, yang

berukuran 5-10 mikrometer tertangkap di bronkus dan percabangannya,

sedangkan yang berukuran <3 mikrometer dapat masuk kedalam alveoli.

b. Pada daerah yang mempunyai aliran udara turbulen, partikel besar terlempar

keluar dari jalur aslinya sehingga menabrak dinding jalan napas dan menempel

pada mukus.

c. Adanya gaya gravitasi dan sedimentasi menyebabkan kecepatan aliran udara

lamban sehingga partikel di bronkiolus dapat masuk ke dalam alveoli.

d. Adanya gerakan brown mengakibatkan partikel yang masuk kedalam alveoli

menabrak dinding permukaan alveoli dan mengendap (Djojodibroto, 2015).

2.1.13 Dampak terhadap Kesehatan

Parikulat terdiri atas berbagai ukuran mulai dari yang mikroskopik

sampai yang besar dari yang berukuran mikroskopis hingga yang dapat dilihat

dengan mata telanjang (Suripto, 2008). Debu-debu berukuran 5-10 mikron akan

ditahan oleh bagian tengah jalan pernapasan. Debu-debu patikel yang berbahaya

adalah yang berukuran kurang dari 0,1 mikron dan bermassa terlalu kecil yang

menyebabkan gerakan brown bergerak keluar masuk alveoli dan tertimbun

kedalam paru-paru (Suma'mur, 1996).

Paparan dari Total Suspended Particulate ini juga banyak yang

mengandung partikel timah hitam dalam hal ini dikenal sebagai Pb yang

sangat berbahaya bagi kesehatan dan banyak berhubungan dengan tempat kerja
31

(Ediputri, et al, 2017). Total Suspended particulate sebagai komponen dari

faktor kimia (nuisance) merupakan salah satu faktor lingkungan kerja yang

dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Pengaruh partikulat terhadap

produktivitas dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh debu

secara langsung terhadap kenyamanan kerja tentunya akan mengganggu waktu

penyelesaian kerja dan hasil masyarakatan. Paparan Total Suspended Particulate

yang melebihi nilai ambang batas akan mempengaruhi aktivitas kerja.

Sedangkan secara tidak langsung dapat menimbulkan berbagai gangguan

kesehatan seperti gangguan pernapasan, iritasi mata dan kulit yang akan

mempengaruhi produktivitas kerja karena masyarakat menderita sakit (Suma'mur,

1996).

Saat terjadi proses inspirasi pernapasan, udara yang mengandung debu

masuk ke dalam paru-paru. Debu-debu yang berukuran 5-10 mikron akan ditahan

oleh saluran pernapasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3-5 mikron

ditahan oleh saluran pernapasan bagian tengah. Partikel-partikel yang besarnya

diantara 1 dan 3 mikron akan masuk langsung ke permukaan alveoli. Debu-debu

yang berukuran kurang dari 0,1 mikron menimbulkan mekanisme yang

menyebakan debu mengendap dalam paru-paru. Bahan-bahan kimia penyusun

debu merupakan bahan yang mudah larut dalam air, maka bahan-bahan kimia

penyusun debu mudah larut dalam air kemudian larut dalam aliran darah

(Suma'mur, 1996).

Menurut Putranto dalam Thaib faktor yang mendasari timbulnya suatu

gejala penyakit pernafasaan, antara lain batuk dahak, sesak nafas dan bunyi
32

mengi. Efek debu terhadap saluran pernapasaan telah terbukti bahwa kadar debu

berhubungan dengan kejadian gejala penyakit pernapasaan terutama gejala batuk,

sesak nafas dan nyeri dada. Di saluran pernapasaan, debu yang mengendap

menimbulkan oedema paru, iritasi, bronchitis atau mengganggu kemampuan

alveoli dalam proses pertukaran gas, yang kesemuanya dapat menurunkan

kemampuan fungsi paru.

Dalam penelitian Yusnabaeti (2010) ditemukan bahwa konsentrasi PM10

mengakibatkan ISPA pada masyarakat industri mebel. PM10 merupakan salah

satu oksidan pencemar yang dapat dihisap oleh saluran pernapasan. Oksidan

adalah bahan kimia elektrofilik yang dapat memindahkan elektron dari berbagai

molekul dan menghasilkan oksidasi dari molekul-molekul tersebut. Oksidan dapat

merusak sel tubuh melalui sel parenkim paru, baik sel-sel alveolus maupun

matriksnya. Partikel PM10 terdiri dari partikel kompleks berukuran 0,1 µm–10

µm, mencakup semua ukuran virus (0,1 µm–1 µm) dan bakteri (0,5 µm–5µm).

Patogen tersebut melayang bebas dan dapat berpindah tempat di udara (Lai,

2009).

Dampak partikel terhadap kesehatan manusia dipengaruhi oleh beberapa

hal seperti status merokok, konsumsi minuman beralkohol, serta kekebelan imun

seseorang. Orang yang merokok dan mengkonsumsi alkohol lebih rentan

dibandingkan dengan orang yang tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol.

Reaksi imun yang berlebihan terhadap debu akan menimbulkan peradangan

diparu sebagai reaksi alergi (Djojodibroto, 2015).


33

2.1.14 Cara Pengukuran Kualitas Udara

Pengukurann udara di lingkungan kerja sangat dibutuhkan untuk

meningkatkan hygiene lingkungan kerja. Tujuan dari pengambilan smpel udara ini

adalah untuk mengetahui tingkat risiko paparan atau besar kecilnya risiko paparan

bagi tenaga kerja sampel. Adapun cara menentukan titik lokasi pengukuran udara

dilingkungan kerja menurut Suripto (2008) adalah:

a. Pengukuran dengan cara A

Tujuan pengukuran cara ini adalah untuk mengetahui rata-rata keadaan

atau kondisi lingkungan kerja (rata-rata kadar bahan kimia pencemar di udara

lingkungan kerja selama 8 jam kerja per hari). Oleh karena itu, pengukuran harus

dilaksanakan selama proses kerja berlangsung atau 8 jam per hari.

b. Pengukuran dengan cara B

Pengukuran cara ini dilakukan di tempat kerja yang terdapat bahan yang

sangat berbahaya dan dipancarkan dalam waktu yang singkat. Pada pengukuran

ini, diperlukan pengukukuran ulangan untuk dapat mengukur sumber bahaya

secara maksimal (Suripto, 2008).

Selain cara pengukuran yang tepat sesuai tujuan, pemilihan instrumen

pengukuran juga mempengaruhi efektifitas pengukuran udara di tempat kerja.

Adapun alat yang dapat digunakan dalam pengukuran kualitas udara dengan

indicator TSP di wilayah kabupaten kolaka adalah:

a. Impinger

Impinger adalah alat pengambil sampel debu di udara berdasarkan prinsip

“impingement” yaitu dengan suatu kecepatan cukup mengalirkan udara kepada


34

suatu halangan dan oleh karenanaya berubah arah. Keuntungan menggunakan

impinger adalah :

a) Dapat dipakai untuk menggunakan sampel berulang kali

b) Dapat digunakan untuk pemeriksaan kualitatif

c) Efisiensi tinggi untuk yang berukuran > 1 mikron tapi kecil untuk yang

berukuran < 1 mikron

Kelemahan menggunakan impinger adalah tidak dapat digunakan untuk

pengambilan sampel uap logam (Suma'mur, 1996).

Gambar 2.2 Impinger


Sumber: www.skcinc.com

b. Dust Sampler / HVS

Pada dasarnya untuk mengukur Total Suspended Particulate

menggunakan metode gravimetrik. Caranya debu yang menghambur di udara

diambil sampelnya dengan memakai dust sampler (HVS), sedang media

pengumpul debu adalah kertas saring. Kertas saring yang dapat digunakan adalah

kertas jenis fibre glass (GF) atau campuran selulosa dengan ester (MCEF) atau

dari nylon (PVC). Cara pengukurannya adalah dengan meletakkan kertas saring

pada desikator selama 24 jam. Setelah itu kertas saring akan ditimbang dengan
neraca. Selanjutnya kertas saring siap dianalisis secara kimia terkait dengan

kandungan yang ada dalam partikel debu. Dari hasil sampling, kertas saring hasil

pengukuran juga digunakan untuk menganalisis kandungan ion yang ada di

atmosfer (Suripto, 2008).

Gambar 2.3 High Volume Sampler (HVS)


Sumber: www.environmental-expert.com

C. Kajian Empiris

2.1.15 Hubungan Antar Konsep

Penyakit Infeksi Pernafasan Akut ini ditularkan melalui partikel-partikel udara

yang masuk pada saluran pernafasan dan menginfeksi tidak lebih dari 14 hari.

Penularan penyakit ini melalui partikel-partikel udara sehingga kondisi

lingkungan juga berpengaruh penting untuk kejadian penyakit infeksi ini.

Berdasarkan pendekatan komponen Critical Thinking with Nightingales’sTheory,

Selanders (1998) dalamAlligood (2006), penyakit ISPA dapat disebabkan oleh

gangguan pemenuhan kebutuhan udara,kebersihan, pencahayaan dan nutrisi.

Berdasarkan teori Nightingale yang berhubungan dengan Kebutuhan lingkungan

yaitu kebutuhan udara murni, air murni, drainase efisien, kebersihan, dan

pencahayaan.

2.1.16 Toksisitas Kualitas Udara akibat dari Total Suspended Particulate


Pencemaran udara berbentuk gas dengan jumlah yang melebihi batas

toleransi lingkungan dan masuk ke lingkungan udara dapat mengganggu

kehidupan makhluk hidup. Pencemar udara berbentuk gas adalah karbon

monoksida, senyawa belerang, senyawa nitrogen, dan chloroflouocarbon.

Pencemar udara berbentuk partikel cair atau padat. Partikel berbentuk cair berupa

titik-titik air atau kabut. Kabut dapat menyebabkan sesak nafas saat terhirup

kedalam paru-paru. Partikel dalam bentuk padat dapat berupa debu atau abu yang

mempunyai ukuran 1-200 mikrometer sampai pasir kasar dengan diameter <1

mm
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pikir Penelitian dan Kerangka Teori

Dasar pikir penelitian ini yakni didasarkan pada suatu kondisi yang

menjadi permasalahan di tengah masyarakat akibat dari kondisi lingkungan

khususnya pada kualitas udara di wilayah kabuaten kolaka terhadap fenomena

ISPA pada masyarakat. Sebagai penjabaran dasar pikir penelitian ini lebih lengkap

tersajikan dalam gambar kerangka teori berikut.

Gambar 3.1 Kerangka Teori

Sumber:
(Hananto & Hapsari, 2010), (Sinaga et al., 2009) dan (Sugihartono & Nurjazuli, 2012)

B. Bagan Kerangka Konsep


Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori di atas, penelitian ini dibatasi hanya pada

variabel-variabel yang tertera pada diagram di atas. Gambar 3.1 menunjukkan

kerangka konsep penelitian, variabel bebas adalah Kualitas Udar dan. Variabel

terikat dalam penelitian ini adalah tingkat risiko masyarakat terdampak ISPA.

C. Variabel Penelitian

Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu

kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok yang lain

(Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini variabel yang digunakan adalah:

1. ariabel Bebas

Variabel independen merupakan suatu variabel penelitian yang tidak

ketergantungan kepada variabel penelitian lainnya (Budiman,2011) Variabel ini

biasanya diamati, di ukur untuk diketahui hubungannya dengan variabel lainnya

(Setiadi,2007). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kualitas udara di

sekitar wilayah Kabupaten Kolaka.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat (dependent) merupakan suatu variabel penelitian yang

ketergantungan kepada variabel penelitian lainnya (Budiman,2011) variabel

terikat dalam penelitian ini adalah Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada

Masyarakat di sekitar wilayah Kabupaten Kolaka.


D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati ketika melakukan pengukuran secara

cermat terhadap suatu objek atau fenomena dengan menggunakan parameter yang

jelas (Hidayat, 2007). Perumusan definisi operasional pada penelitian ini

diuraikan dalam tabel sebagai berikut

Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran/Kriteria Objektif

Variable Definisi Operasional Indicator Alatukur Skala Skor


Independ Kualitas Udara adalah - Paparan TSP Lembar Nomi 1. Udara
ent : semua kondisi udara yang - Kelembaban Observasi nal Sehat (209-
Kualitas ada pada lingkungan udara 417)
Udara responden sesuai atau tidak - 2.Udara
pada syarat- syarat kualitas tidak Sehat
udara yang baik atau (0-208)
standar baku mutu udara.

Depende kejadian ISPA bagian atas  Demam Kuesioner Nomi 1. ISPA


nt : yang berlangsung sampai  Batuk dan data nal 2. Tidak
Kejadian 14 hari.  Pilek dari ISPA
Infeksi  Nyeri puskesmas
Pernafasa tenggoro Kenjeran
n Akut kan
(atas)  Suara
serak
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan cara untuk mendapatkan data yang

dibutuhkan untuk menjawab pertanyaaan dan menguji hipotesis serta sebagai alat

untuk mengendalikan variabel yang berpengaruh pada suatu penelitian. Desain

penelitian ini digunakan untuk menganalisa hubungan kualitas udara dengan

kejadian ISPA di wilayah Kabupaten Kolaka. Jenis penelitian ini adalah

observasional analitik dengan menggunakan desain penelitian cross sectional.

Penelitian cross sectional adalah penelitian non eksperimental yang mempelajari

dinamika hubungan faktor-faktor resiko dengan efek pendekatan point time,yaitu

variabel diobservasi pada satu waktu termasuk variabel faktor resiko dan variabel

efek. (Pratiknya 2007) Jenis penelitian ini menekankan pada pengukuran dan

observasi data dependen dan independent pada satu kali pada satu saat saja

sehingga tidak ada tindak lanjut. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan

studi korelasi yang digunakan untuk meneliti adanya hubungan dari suatu

fenomena dengan fenomena yang lain.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini rencana akan dilaksanakan pada bulan Maret 2023- Juni

2023 dengan mengambil lokasi penelitian yakni di Wilayah Kabupaten Kolaka,

Sulawesi Tenggara, khususnya akan berfokus pada beberapa wilayah

pertambangan dan sentra industry di Kabupaten Kolaka.

C. Populasi Dan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi merupakan objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Populasi target dalam penelitian ini

adalah seluruh masyarakat yang berada di wilayah sekitar Pertambangan Nikel


dan sentra industry di Kabupaten Kolaka. Menurut hasil survey yang telah

dilakukan oleh peneliti pada Januari 2021, industri pertambangan di wilayah

kolaka berjumlah 2 Pertambangan Nasional dan 8 Pertambangan Lokal yang telah

memiliki IUP. Total masyarakat kecamatan pomalaa berdasarkan data statistic

BPS adalah 33.344 jiwa dan berada di sekitar pertambangan mencapai 1587 jiwa..

2. Sampel Penelitian

a. Sampel udara

Sampel udara diukur dengan menggunakan Low Volume Sampler.

Langkah- langkah pengambilan sampel dimulai dari penentuan lokasi dan

penempatan peralatan pengambilan contoh uji, disesuaikan dengan SNI 16-7058-

2004 Tentang Pengukuran Kadar Debu Total di Udara Tempat Kerja. Pengukuran

dilakukan di tempat yang telah ditentukan yaitu di industri dan pertambangan:

b. Sampel masyarakat

Sampel merupakan pengasap tetap yang melakukan aktivitas bekerja di

pengasapan. Sampel diambil dengan menggunakan metode stratified random

sampling. Adapun jumlah sampel ditentukan menggunakan rumus menurut

Lameshow (1990):
𝑎
𝑍2 1 − 𝑃 (1 − 𝑃 )𝑁
𝑛= 2
𝑎
𝑑 (𝑁 − 1)+ 𝑍2 1 −
2
𝑃( 1 − 𝑃)
2

Keterangan:

𝑛 : besar sampel minimal

𝑍2 1 − 𝑎/2 : 1,96 pada tingkat kepercayaan 95 %

𝑑 : derajat presisi yang diinginkan sebesar 5% (0,05)

N : Besar populasi (1587 jiwa)

P : Estimasi Proporsi (Prevalensi) pada penelitian sebelumnya 77,4 %

(Marpaung, 2012)
𝑎
𝑍2 1 − 2 𝑃(1 − 𝑃)𝑁
𝑛=
𝑎
𝑑2 (𝑁 − 1)+ 𝑍2 1 − 2 𝑃(1 − 𝑃)

1,96 𝑥 0,774 (1 − 0,774)1587


𝑛=
0,05 (1587 − 1)+ 1,96 𝑥 0,774 (1 − 0,774)
2

1,96 𝑥 0,774 𝑥 0,226 𝑥 1587


𝑛=
(0,0025 𝑥 1586) + (1,96 𝑥 0,774 𝑥 0,226)

1,96 𝑥 0,774 𝑥 0,226 𝑥 1587


𝑛=
(0,0025 𝑥 1586) + (1,96 𝑥 0,774 𝑥 0,226)
544, 1046
𝑛=
3,9650 + 0,3428

544,1046
𝑛=
4,3078

𝑛 = 126, 3

Berdasarkan perhitungan sampel diatas, didapatkan jumlah sampel

minimal 126 masyarakat. Untuk meminimalisasi terjadinya kehilangan sampel

(dropout), maka ditambahkan 10 % dari jumlah sampel sehingga menjadi 138

sampel masyarakat.

Masyarakat yang akan dijadikan sampel adalah masyarakat yang

memenuhi kriteria inklusi, antara lain:

1) Merupakan masyarakat tetap

2) Ketika bekerja, tidak berpindah-pindah ke tempat lain

3) Termasuk dalam kategori dewasa (18-65 tahun)

4) Bersedia untuk menjadi responden.

Adapun masyarakat yang tidak dijadikan sampel/kriteria eksklusi adalah:

1) Masyarakat berpindah-pindah ke tempat lain saat bekerja

2) Tidak bersedia menjadi responden


D. Sumber dan Cara Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini berupa data kualitas udara, lama

paparan ISPA, frekuensi paparan, serta data konsentrasi udara. Data primer diperoleh dari hasil

wawancara dan pengukuran.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari pengumpulan data melalui telaah literatur. Data sekunder

yang digunakan dalam penelitian ini adalah data RFC agent TSP dan laju inhalasi masyarakat

(R). Data sekunder didapatkan dari telaah dari Environmental Protection Agency (EPA) dan

Occupational Safety and Health Administration (OSHA).

3. Instrumen Penelitian Dan Teknik Pengambilan Data

a. Instrumen Penelitian
Instrumen adalah suatu alat atau cara yang diperlukan oleh seorang

peneliti guna mengumpulkan data yang akan diolah. Dua karakteristik alat ukur

yang harus diperhatikan peneliti adalah validitas dan reliabilitas. Validitas

(kesahihan) menyatakan apa yang seharusnya diukur. Sedangkan reliabilitas

(keandalan) adalah adanya suatu kesamaan hasil apabila pengukuran

dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda (Nursalam,

2013). Data yang dikumpulkan oleh peneliti dalam bentuk kuesioner yang

berisikan :
1) Data demografi ditulis dalam bentuk kuesioner yaitu meliputi ;

umur responden, alamat responden, pendidikan terakhir responden,

pekerjaan responden,

2) Lembar Observasi yang berisi penilaian kondisi kualitas udara di

wilayah observasi berdasarkan pada Pedoman Teknis Penilaian

Kualitas Udara (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan nomor 14 tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar

Udara (ISPU) yang merupakan pengganti dari Keputusan Menteri

Lingkungan Hidup No. 45 tahun 1997 tentang Perhitungan dan

Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara. Pada

peraturan pengganti ini, tercantum bahwa perhitungan ISPU

dilakukan pada 7 (tujuh) parameter yakni PM10, PM2.5, NO2,

SO2, CO, O3, dan HC. Terdapat penambahan 2 (dua) parameter

yakni HC dan PM2.5 dari peraturan sebelumnya. Penambahan

parameter tersebut didasari pada besarnya resiko HC dan PM2.5

terhadap kesehatan manusia.


b. Teknik Pengambilan Data

Pengambilan data dalam penelitian ini meliputi:

1) Metode Wawancara

Wawancara adalah suatu metode yang digunakan untuk

mengumpulkan data, dimana peneliti mendapatkan keterangan atau

pendirian secara lisan dari seseorang sasaran penelitian (responden), atau

bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang tesebut (Notoatmodjo,

2012). Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data lama paparan,

frekuensi paparan, serta durasi paparan ISPA masyarakat.

2) Pengukuran

Pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi

Perhitungan ISPU dilakukan berdasarkan nilai ISPU batas atas, ISPU

batas bawah, ambien batas atas, ambien batas bawah, dan konsentrasi

ambien hasil pengukuran. Persamaan matematika perhitungan

ISPU sebagai berikut:

Dimana,

I = ISPU terhitung

Ia = ISPU batas atas

Ib = ISPU batas bawah

Xa = Konsentrasi ambien batas atas (µg/m3)

Xb = Konsentrasi ambien batas bawah (µg/m3)

Xx = Konsentrasi ambien nyata hasil pengukuran (µg/m3)


Tabel 2. Kategori Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)

Sebagai informasi terkait parameter PM2,5 yang merupakan

parameter pencemar udara paling berpengaruh terhadap kesehatan

manusia, baku mutu tahunan Indonesia dan beberapa negara lain dapat

dilihat pada tabel di bawah:

Tabel 3. Perbandingan baku mutu PM2,5 di beberapa negara

E. Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data

1. Teknik Pengolahan Data

Setelah proses penelitian selesai, kemudian dilakukan analisis data untuk

memperoleh hasil dari proses pengambilan data yang telah dilakukan dan

diperbolehkan untuk melengkapi data pendukung yang diperlukan.

Langkah-langkah pengolahan data dalam penelitian adalah:

a. Editing, dilakukan untuk mengecek kelengkapan data, kesinambungan, dan


keseragaman data untuk menjamin validitas data

b. Coding, dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data

c. Entry, memasukan data yang telah dilakukan coding ke dalam penelitian

untuk dianalisis.

d. Cleaning, yaitu data yang telah diperoleh dikumpulkan untuk dilakukan

pembersihan dengan mengecek data yang benar saja yang diambil sehingga

tidak terdapat data yang meragukan atau salah.

2. Analisis dan Penyajian Data

Pengolahan data pada penelitian ini mengggunakan proses digital

atau menggunakan software. Peneliti menggunakan analisa univariat dan

bivariat yang dilakukan untuk menggambarkan setiap data yang diteliti secara

terpisah melalui tabel dari masing-masing variabel dan menganalisa hubungan

dari setiap data pada variabel yang diteliti.

a. Analisis Univariat

Dilakukan untuk mendeskripsikan tiap variabel hasil penelitian

menggunakan tabel yang disertai penjelasan. (Notoatmojo,2002)

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel

dependent dan independent. Teknik analisa data pada penelitian ini

menggunakan Chi Square karena jenis data yang digunakan adalah

katagorikal

F. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti mendapatkan izin dari Puskesmas

Kenjeran dan Kelurahan Kenjeran Surabaya untuk melakukan penelitian,

khususnya pada wilayah industry dan pertambangan di Kabupaten Kolaka.

Setelah mendapatkan izin, peneliti kemudian melakukan penelitian dengan

menekankan masalah etika penelitian yang meliputi :

1. Lembar Persetujuan ( Informed Consent )


Lembar persetujuan ini diberikan dan dijelaskan kepada calon

responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria penelitian dan disertai

dengan judul penelitian serta manfaat untuk responden dengan tujuan

responden mengerti maksud dan tujuan penelitian dan tidak memaksakan

responden.

2. Tanpa nama ( Anonimity )

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan

mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data yang disertai

dengan data responden tetapi diberi kode tertentu.

3. Kerahasiaan ( Confidentiality )

Menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak akan menceritakan

tentang responden pada orang lain


DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, u. f. (2011). Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta:


Rajawali Pers.
Agency, E. P. (2017). Indoor Particulate Matter. Retrieved 05 12, 2019, from
United States Environmental Protection Agency:
https://www.epa.gov/indoor-air-quality-iaq/indoor-particulate-matter
Agency, U. E. (1999). Sampling of Ambient Air For Pm10 Concentration Using
The Rupprecht and Patashnick (R&P) Low Volume Partisol® Sampler.
Alias, M., Hamzah, Z., & Kenn, L. S. (2007). PM10 and Total Suspended
Particulates (TSP) Measurements Invariouspowerstations. The Malaysian
Journal of Analytical Sciences, , Vol 11, No 1: 255 -261.
Araújo, I. P., Costa, D. B., & de Moraes, R. J. (2014). Identification and
Characterization of Particulate Matter . sustainability ISSN 2071-1050 , 7666-
7688;.
Ardam, K. A. (2015). Hubungan Paparan dan Lama Paparan dengan Gangguan
Faal Paru Masyarakat Overhaul Power Plant. The Indonesian Journal of
Occupational Safety and Health .
Aurorina, E. (2003). Hubungan debu total ruang pertambangan dengan gangguan
fungsi paru pada pengasap ikan Banjarharjo Kota Semarang tahun 2003.
Tesis UI .
Brunner, k. T., Obiemberger, i., Jalava, p., & Hirvonen, M. R. (2010). PM
Emission From Old and Modern Biomass Combustion Systems and Their
Health Effect. 18th European Biomass Conference and Exhibition , ISBN
978-88-89407-56-5.
Budiono, i. (2007). Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru Pada Masyarakat
Pengecatan Mobil (Studi pada Bengkel Pengecatan Mobil di Kota Semarang)
. Tesis .
Budiyono, a. (2001). Pencemaaran Udara : Dampak Pencemran Udara Pada
Lingkungan. Berita Dirgantara , Vol 2 No 1.
Budiyono, a. (2001). Pencemaran Udara: Dampak Pencemaran Udara padda
Lingkungan. Berita Dirgantara .
Card, Jefrey K., et al.(2007). Male Sex Hormones Promote Vagally Mediated
Reflex Airway Responsiveness to Cholinergic Stimulation. Am J Physiol
Lung Cell Mol Physiol 292: L908–L914,
Dewi, D. M. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kapasitas Fungsi
Paru Masyarakat Pertambangan Sektor Informal Kelurahan Pomalaa. Skripsi
.
Djafri, D. (2014). Prinsip dan Metode Analisis Risiko kesehatan Lingkungan.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas .
Djojodibroto, d. (2015). Respirologi. Jakarta: EGC.
Dwicahyo, B. H. (2017). Analisis kadar NH 3 Karakteristik Individu dan Keluhan
Pernapasan Pemulung di TPA Sampah Benowo dan Bukan Pemulung di
Sekitar TPA Sampah Benowo Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.
9, No. 2 Juli 2017: 135–144 .
Dzaki, a., & Sugiri, a. (2015). Kajian Eksternalitas Industri Pertambangan.
Jurnal Teknik PWK , Volume 4 Nomor 1.
Ediputri, V.A., Andarani, P., Wardhana, I.W.,( 2017). Analisis Risiko Logam
Berat (Pb dan Cu) dalam Total Suspended Particulate (TSP) Terhadap
Kesehatan Siswa Dan Guru di Sekolah Dasar (Studi Kasus: SDN Pandean
Lamper 01 dan SDN Srondol Wetan 03). Jurnal teknik lingkungan UNDIP.

F&J - Model GAS-60810-MHV - Mega High Volume Air Sampler System.


Retrieved at 05 02 2019 from https://www.environmental-
expert.com/products/f-j-model-gas-60810-mhv-mega-high-volume-air-
sampler-system-452384

F&J - Model LV-1D - Low Volume Air Sampler (100 - 120 VAC), Retrieved at
05 02 2019 from https://www.environmental-expert.com/products/f-j-model-
lv-1d-low-volume-air-sampler-100-120-vac-9154

Ermawati, M. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gambaran


Fungsi Paru (Studi Kasus Masyarakat Pertambangan Pomalaa). Skripsi .
EPA. 1990. Exposure Factors Handbook, EPA 600/8-89/043:US Environmental
Protection Agency.
Falahdina, a. (2017). Analisis Risko Kesehatan Lingkungan Paparan PM 2,5 pada
Pedagang Tetap di Terminal Kampung Rambutan. Skripsi .
Guyton, & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Haryoto, Setyono, P., & Masykuri, M. (2014). Fate Gas Amoniak Terhadap
Besarnya Risiko Gangguan Kesehatan pada Masyarakat di Sekitar Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Putri Cempo Surakarta. Jurnal Ekosains |
Vol. VI | No. 2 | Juli 2014 .
Heruwati, e. (2002). Pengolahan Ikan Secara Tradisional : Prospek dan Peluang
Pengembangan, Jurnal. IPB, Bogor. , Volume 21 Nomor 3.
Jamilatun, S. (2008). Sifat-Sifat Penyalaan dan Pembakaran Briket Biomassa,
Briket Batubara dan Arang Kayu. Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 2, No. 2, .
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Pedoman Analisis Risiko
Kesehatan Lingkungan.
Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 8 Tahun 2001 Tentang Baku Mutu Udara
Ambeien Jawa Tengah.
Khairiyah. (2012). Analisis Konsentrasi Debu dan Keluahan Kesehatan
Masyarakat di Sekitar Pabrik Semen di Desa Kuala Indah Kecamatan Sei
Suka Kabupaten Batu Bara 2012 . Jurnal USU .
Khumaidah. (2009). Analisis yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru
pada Masyarakat Mebel PT Kota Jati Furnindo Desa Suwawal Kecamatan
Mlonggo Kabupaten Jepara. Tesis UNDIP .
Koesyanto, h. (2014). Higiene Lingkungan Kerja Perusahaan. Semarang:
Anugerah.
Kristianto. (2012). Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi.
Lai, K. m. (2009). Outdoor environments and human pathogens in air.
http://www.ehjournal.net/content/8/S1/S15 .
Maansyur. (2002). Toksikologi dan Absorbsi Agen Toksis.
Marcos Abdo Arbex, L. C. (2007). Air pollution from biomass burning and
asthma hospital. J Epidemiol Community Health , 61:395–400.
Marpaung, y. m. (2012). Pengaruh Paparan Debu Respirable PM 2,5 Terhadap
Kejadian Gangguan Fungsi Paru Pedagang Tetap di Terminal Terpadu Kota
Depok. Skripsi UI .
Martono, h., & Sulistiyani, n. (2004). Tingkat Kebisingan di DKI Jakarta dan
Sekitarnya. Media Litbang Kesehatan , Volume XIV nomor 3.
Maryono, S., & Rahmawati, P. (2013). Analisis Mutu Briket Arang Tempurung
Kelapa Ditinjau Dari Kadar Kanji. Jurnal Chemical .
Mazzei, F., D'Alessandro, A, L., & F, N. (n.d.). (2008). Characterization of
particulate matter sources in an Urban Environment. Science Of The Total
Environment 401 (2008) 81–89 .

Midget Impinger, Glass, 25 ml, with Fritted Nozzle, Retrieved o5 02 2019,from


https://www.skcinc.com/catalog/product_info.php?products_id=373
Notoatmodjo, S. (2012). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Novitasari, D.I., Wijayanti, Y. 2018. Faktor Individu, Paparan Debu, dan CO
dengan Gambaran Faal Paru Petugas SPBU. Higeia Journal of Public
Health Research and Development Vol 2 (4)

Nugroho, A. S. (2012). Hubungan Konsentrasi Debu Total dengan Gangguan


Fungsi Paru pada Masyarakat di PT. KS. Tesis UI .
OSHA. Annoted PELS. Retrieved 05 05 2019, from Occupational Safety and
Health Administration: https://www.osha.gov/dsg/annotated-pels/tablez-
1.html
Partculate Matter (PM 10 dan PM 2,5). (2017). Retrieved 05 12, 2019, from
National Pollutant Inventory: http://www.npi.gov.au/resource/particulate-
matter-pm10-and-pm25
Pearce, E. (2009). Anatomi dan Fisiolologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 5 Tahun 2018, Tentang Keselamatan
dan Kesehatan Kerja.
Prasetyotomo, D. E., Huboyo, S. H., & Hadiwidodo, M. (2015). Analisis Kualitas
Total Suspended Particulate (TSP) Dalam Ruangan Pada Proses Pengasapan
(Studi Kasus: Sekitar wilayah pertambangan nikel kecamatan pomalaa
Pomalaa).
Purnama, S. G., & Purnama, I. G. (2017). Toksikologi Lingkungan Pariwisata.
Universitas Udayana.
Rahman, A. (2007). Bahan Ajar Pelatihan Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan
Kajian Aspek Kesehatan Masyarakat dalam Studi Amdal dan Kasus-Kasus
Pencemaran Lingkungan. Depok: Pusat Kajian Kesehatan Lingkungan dan
Industri Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Rahman, A., Nukman, A., Setyadi, Akib, C. R., Sofwan, & Jarot. (2008). Analisis
Risiko Kesehatan Lingkungan Pertambangan Kapur di Sukabumi, Cirebon,
Tegal dan Tulung Agung. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 7 No1 .
Respiratory System Images. Retrieved 28 07 2019, from pixabay.com/health-
medicine
Sari, D. P., Budiono, & Astorina, N. (2017). Faktor Terkait Gangguan Fungsi
Paru Pada Masyarakat Wanita Di Pabrik Rokok Praoe Lajar Semarang,.
Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal) Volume 5, Nomor 5, Oktober 2017
(ISSN: 2356-3346) .
Sasmito, A. W., Wijayanti, A. D., Fitriana, I., & Sari, P. W. (2015). Pengujian
Toksisitas Akut Obat Herbal Pada Mencit Berdasarkan Organization for
Economic Co-operation and Development (OECD). Jurnal Sains Veteriner .
Scott, M. P. (1987). Applications of Risk Assessment Techniques To Hazardous
Waste Management. Wate Management and Research .
Shoimah, h., purnaweni, h., & yulianto, b. (2013). Pengelolaan Lingkungan di
Sentra Pertambangan Desa Wonosari. Prosiding Seminar Nasional
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013 , ISBN 978-602-
17001-1-2.
Sholihah, m., & Tualeka, A. R. (2015). Studi Faal Paru Dan Kebiasaan Merokok
pada Masyarakat yang Terpapar Debu . The Indonesian Journal of
Occupational Safety and Health, Vol. 4, No. 1 .
Silva, J. L. (2015). Characterization of particulate emissions from biomass.
Dissertação de Mestrado Universidade de Lisboa .
Siswanto, A. (1994). Toksikologi Industri. Suarabaya: Balai Kesehatan Kerja
Jawa Timur.
Sivaramasundaram, K., & Muthusubramanian, P. (2009). A preliminary
assessment of PM10 and TSP concentrations in Tuticorin, India. Air Qual
Atmos Health (2010) 3:95–102 .
Siwiendriyanti, A., Pawenang, E. T., & Widowati, E. (2016). Toksikologi Kesmas.
Semarang: Cipta Prima Nusantara.
SNI 16-7058-2004. Pengukuran Kadar Debu Total di Udara Lingkungan Kerja.
Soemawarto. (2004). Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan.
Soemirat, J. (2005). Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: UGM Press.
Sucipto, e. (2007). Hubungan Pemaparan Partikel Debu pada Pengolahan Batu
Kapur terhadap Penurunan Kapasitas Fungsi Paru. Tesis Undip .
Sugiyono. (2012). Metode Penelittian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suma'mur. (1996). Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja . Jakarta: PT Toko
Gunung Agung.
Suripto, M. (2008). Higiene Industri. Jakarta: FK UI.
Talib, A. A., Maschowskic, C., Khanaqa, P., Garra, P., -K€aufer, M. G., Wingert,
N., et al. (2018). Characterization and in vitro biological effects of ambient
air PM10 from a rural, an industrial and an urban site in Sulaimani City, Iraq.
Toxicological & Environmental Chemistry .
Thaib, Y. P., Lampus, B. S., & Akili, R. H. (2013). Hubungan Antara Paparan
Debu Dengan Kejadian Gangguan Saluran PernafasaanHubungan Antara
Paparan Debu Dengan Kejadian Gangguan Saluran Pernafasaan.
Thohyama, C. (2017). Editorial Towards Comprehensive Health Risk
Assessments of Chemicals For Occupational and Environmental Health.
Industrial Health 2017, 55, 199–200 .
Wardana, W. A. (2004). Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi.
WHO. (2014, Maret 25). 7 million premature deaths annually linked to air
pollution. Retrieved Maret 24, 2018, from WHO.org: WHO%20_
%207%20million%20premature%20deaths%20annually%20linke d%20to
%20air%20pollution.html

WHO. (2017). Particulate Matter.


WHO. (2016). Preventing disease through healthy environments.
Widowati, i. r., Febbiyana, a., Ismail, r., Fatmawati, s., & Hudaya, z. h. (2013).
Kajian Industri Pertambangan Pomalaa. Jurnal Ruang , Volume 1 Nomor 2 .
Wiley, J., & Sons, I. (2007). Risk Assessment For Environmental Health. US
America: Jossey-Bass.
Wu, J.-Z., Ge, D.-D., Zhou, J.-Z., Hou, L.-Y., Zhou, Y., & Li, Q.-Y. (2018).
Effects of particulate matter on allergic respiratory diseases. Chronic
Diseases and Translational Medicine 4 (2018) 95e102 .
Yulaekah, S. (2007). Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan Fungsi Pada
Masyarakat Industri Batu Kapur (Studi Di Desa Mrisi Kecamatan
Tanggungharjo) . Tesis
.
Yusnabaeti, Wulandari, R. A., & Luciana, R. (2010). PM10 dan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut. Makara, Kesehatan, Vol. 14, NO. 1, , 25-30.

Anda mungkin juga menyukai