Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Menurut Kepala Badan Kependudukan Nasional (BAKNAS) Rozy Munir,
diseluruh dunia diperkirakan 2,7 juta jiwa meninggal akibat polusi udara; 2,2 juta
diantaranya akibat indoor pollution atau polusi udara di dalam ruangan. Secara konsisten
EPA (Environmental Protection Agency of America) mengurutkan polusi dalam ruangan
sebagai urutan lima besar risiko lingkungan pada kesehatan umum.(Mu’tamirah).
Perhatian terhadap peningkatan polusi dalam ruangan meningkat sejak tahun 1980-
an (National Academy of Sciences, Majelis of Life Sciences, 1981) dan dibahas oleh
Samet et al (1987, 1988) dengan memeriksa sumber polutan indoor dan berhubungan
dengan gangguan kesehatan . Di negara-negara berkembang, masyarakat lebih banyak
menghabiskan waktu di dalam rumah daripada di luar rumah, hal ini berhubungan dengan
paparan polutan di dalam ruang. Suatu penelitian di Italia mengenai paparan polusi dalam
ruangan dikaitkan dengan adanya gejala pernafasan akut dan kerusakan fungsi paru-paru
ringan di 2 daerah yang berbeda yakni di wilayah Po Delta (pedesaan) dan Pisa
(perkotaan) menunjukkan perbedaan yang bermakna dari jenis polutan NO 2 maupun
PM2,5.Dua jenis polutan ini merupakan faktor risiko terhadap penyakit saluran
pernapasan akut.(Lidyawati Dahlan).
Penelitian dampak pencemaran dalam ruang terhadap kesehatan telah dilakukan di
Cina, sampai akhir tahun 1970 telah dipublikasi lebih dan 100 makalah. Studi
epidemiologi secara bertahap tersebut dilakukan untuk mengevaluasi dampak
pencemaran udara dalam ruang (indoor) terhadap kesehatan manusia. Pada studi ini
pemakai bahan bakar gas dianggap sebagai kontrol dan sebagai kasus pemakai bahan
bakar batubara dan pengamatan beberapa parameter fungsi imunologik anak sekolah
tingkat pertama pada pemakai bahan bakar batubara terlihat beberapa penurunan seperti
penurunan jumlah sel darah putih (13%) (p < 0,05), penurunan Iisoenzim saliva 13% dan
perubahan limposit 50%; sedang kadar COHb darah wanita pada pemakai bahan bakar

1
batubara yang menggunakan cerobong 3% dan tanpa cerobong 4,3%. (Henni
Kumaladewi Hengky).
Selain itu, di Cina juga telah dilakukan penelitian tentang efek dalam ruangan
partikulat tingkat atas terhadap kesehatan pernapasan pada usia 40-69 tahun
memperlihatkan hubungan antara partikulat dengan gejala pernapasan akut dengan batas
sebanyak 50% aerodinamika garis tengah 10 mm (PM10). (Andi Dyah Pratiwi Sam)
Menurut Bank Dunia sekitar 50% penyakit diakibatkan oleh pembakaran biomassa
sedangkan diperkirakan 2 milyar orang di dunia menggunakan bahan bakar biomassa
sebagai sumber energi domestik. Di Tanzania Menteri Energi dan Mineral
memperkirakan bahwa bahan bakar biomassa jumlahnya melebihi 90% dari penyediaan
energi utama dalam negara. Sebagian besar masyarakat tergantung dari bahan bakar
biomassa khususnya bagi masyarakat miskin yang tinggal di daerah kumuh dan daerah
pinggiran. (Hasnawati).
Pada tahun 1993-1994 telah dilakukan penelitian di kecamatan Sliyeg dan Gabus
Wetan, Indramayu pada sekelompok rumah tangga yang menggunakan bahan bakar
biomassa (kayu dan sekam padi) untuk keperluan memasak dan tungku perapian serta
bebas dari pencemaran industri. (Afnal Asrifuddin).
Di Amerika, mayoritas menghabiskan waktu sampai 90% dari waktu mereka di
ruangan termasuk 55 juta anak-anak yang terdaftar di 115.000 sekolah umum, dimana
mereka lebih sensitif terhadap kontaminan udara yang dapat meningkatkan risiko
gangguan fungsi paru-paru akibat paparan udara dalam ruangan polutan. (Musliha
Mustary).
Menurut penelitian di India oleh Pondey et.al (1989) ditemukan bahwa konsentrasi
partikel di udara, yang diukur selama memasak adalah setinggi 21.000 mg/m³. Menurut
Honicky et.al (1982) telah meneliti di Amerika Serikat bahwa 84% dari anak-anak di
rumah dengan tungku pembakaran kayu menderita satu gejala pernapasan yang parah dan
3% dari anak-anak di rumah tanpa kompor dan infeksi saluran pernapasan akut secara
global penyebab kematian anak-anak di bawah 5 tahun dan mencapai sekitar 2 juta
kematian setiap tahunnya di kelompok usia ini akibat polusi udara dalam ruangan.
(Asmawati Arif).

2
Penelitian medis (1986) di Spanyol, yang menggunakan api tebuka tinggi selama 24
jam di dalam rumah menghasilkan PM10 dari 700-1200 mg/m³ menyebabkan batuk atau
dahak di siang hari. (Rusli Maddu).
Laporan The National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) 1984
yang menyatakan bahwa sebesar 50 % penyebab pencemaran udara adalah ventilasi yang
tidak adekuat, 11 % sumber polusi udara dalam ruangan berasal dari kontaminan-
kontaminan luar ruangan. (Annice S.Situmorang).

B. RUMUSAN MASALAH
Di seluruh dunia diperkirakan 2,7 juta jiwa meninggal akibat polusi udara 2,2
juta diantaranya akibat indoor pollution atau polusi udara di dalam ruangan. Di negara
berkembang, masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah dari pada di
luar rumah, hal ini berhubungan dengan paparan polutan di dalam ruang, sedangkan
penelitian yang dilakukan di Cina menunjukkan efek dalam ruangan partikulat tingkat
atas terhadap kesehatan pernapasan pada usia 40-69 tahun memperlihatkan hubungan
antara partikulat dengan gejala pernapasan akut dengan batas sebanyak 50%
aerodinamika garis tengah 10 mm (PM10).
Di Amerika, mayoritas menghabiskan waktu sampai 90% dari waktu mereka di
ruangan termasuk 55 juta anak-anak yang terdaftar di 115.000 sekolah umum, dimana
mereka lebih sensitif terhadap kontaminan udara yang dapat meningkatkan risiko
gangguan fungsi paru-paru akibat paparan udara dalam ruangan polutan. Berdasarkan
paparan fakta di atas maka dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar polutan?
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar debu?
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi jamur?

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui kualitas udara dalam ruang hubungannya dengan kesehatan.

3
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh kadar debu (PM 2,5 dan PM10) terhadap penyakit
pernapasan.
b. Untuk mengetahui pengaruh polutan (NO2, CO dan SO2) terhadap penyakit
pernapasan.
c. Untuk mengetahui pengaruh jamur (Stachybotrys spp dan Tungau D.
pteronyssinus) terhadap penyakit pernapasan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. FAKTOR PENYEBAB MASALAH

Hasil penelitian di Tanzania tentang terjadinya penyakit pernapasan akibat


penggunaan bahan bakar didapatkan bahwa konsentrasi PM 10 pada saat sedang memasak
adalah 656,2 µg/m3 dan disaat tidak memasak 96,1 µg/m 3. Sedangkan konsentrasi NO2 pada
saat sedang memasak adalah 31,8 ppb dan CO adalah 15 ppm. Selanjutnya konsentrasi PM 10
yang diukur selama memasak di lokasi dapur yang berada didalam ruang tamu adalah 791,1
µg/m3, rumah terpisah 576,2 µg/m3 dan luar ruangan 428,6 µg/m3. Sedangkan konsentrasi
NO2 yang diukur selama memasak dilokasi dapur yang berada didalam ruang tamu adalah
23,2 ppb, rumah terpisah 16,4 ppb, dan luar ruangan 2,7ppb. Untuk CO yang diukur selama
memasak dilokasi dapur yang berada didalam ruang tamu 13 ppm, rumah terpisah 14 ppm
dan luar ruangan 16 ppm . (Hasnawati).
Penelitian tentang kualitas udara dalam ruangan di sekitar daerah kumuh Kota Delhi,
India menunjukkan bahwa dari 90 sampel yang diambil dari 1000 kluster diperoleh:
konsentrasi PM2,5 dan PM10 dalam ruangan di seuruh rumah tangga dari hasil pengukuran
diperoleh 936 µ/m³ dan 822 µ/m³ sedangkan konsentrasi PM 10 diperoleh hasil 199 µ/m³.
Hasil ini berada di atas standar yang ditentukan yaitu 150 µ/m. Konsentrasi CO bervariasi
antara 6 dan 8 mg/m³ konsentrasi CO dalam ruangan mengikat kasus penggunaan bahan
bakar kayu dan kompor minyak tanah untuk memasak, begitu pula untuk polutan SO 2
diperoleh hasil 200 µ/m³ dan NO2 sebesar 240 µ/m³. (Asmawati Arif).
Penelitian yang hampir sama dilakukan di Indramayu dan hasil yang didapatkan
bahwa kontribusi kualitas udara dari penggunaan bahan bakar terhadap terjadinya penyakit
ISPA, dimana debu RSP di ruang dapur pada kelompok kasus rata-rata 742,6 µg/ m³dan
kelompok kontrol 609,5 µg/ m³. Sedangkan di ruang tamu kelompok kasus didapatkan kadar
rata-rata debu RSP sebesar 213 µg/m dan kelompok kontrol 131 µg/ m³. Kadar debu RSP
yang direkomendasikan WHO adalah antara 6090 µg/ m³. (Henni Kumaladewi Hengky).
Selain itu, penelitian lain tentang kualitas udara yang dilakukan di Indramayu telah
menemukan beberapa pencemar udara seperti CO, NO2, SO2, NH3 dan formaldehida dalam

5
ruang, dan hal ini merupakan kontribusi tidak kecil terhadap terjadinya penyaki ISPA.
Parameter debu RSP, khususnya di ruang dapur ditemukan jauh melampaui standar WHO
yakni rata-rata 742,6 µ/m³ kelompok kasus dan 609,5 µ/m³ kelompok kontrol, sedangkan di
ruang tamu 213 µ/m³ kelompok kasus dan 137,1 µ/m³ kelompok kontrol. Tingginya kadar
debu RSP di rumah tangga ini disebabka karena di hampir semua menggunakan bahan bakar
kayu. (Afnal Asrifuddin).
Selanjutnya penelitian mengenai paparan polusi dalam ruangan dikaitkan dengan
adanya gejala pernafasan akut dan kerusakan fungsi paru-paru ringan di 2 daerah yang
berbeda yakni di wilayah Po Delta (pedesaan) dan Pisa (perkotaan) menunjukkan perbedaan
yang bermakna dari jenis polutan NO2 maupun PM 2,5. Daerah pedesaan memiliki NO2: 15
ppb dan 22 ppb di perkotaan, kemudian PM2,5: 67mg/m3 di pedesaan dan 76 mg/m3 di
perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat prevalensi gejala pernapasan akut sangat
bermakna lebih tinggi di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan. Rasio odds (OR)
atau resiko relative NO2= 1.66; CI 1,08 - 2,57 dan OR PM2.5 = 1,62; CI 1,04 - 2,51).yang
berarti bahwa NO2 dan PM2,5 secara bermakna merupakan faktor resiko terhadap Penyakit
pernapasan akut. (Lidyawati Dahlan).
Konsentrasi NO2 dan RSP ( partikel yang menutup jalan pernapasan) secara
signifikan lebih tinggi pada musim dingin daripada musim panas. Studi di Pisa
memperlihatkan seperkumpulan kadar polutan dalam gedung, RSP 77 mg/m³ pada musim
dingin dan 49 mg/m³ pada musim panas dan NO 2 21 ppb pada musim dingin dan 15 ppb
pada musim panas. (Andi Dyah Pratiwi Sam).
Selain itu, penelitian dari segi kualitas udara fisik (suhu, kelembaban, kecepatan
gerak udara dan debu) terhadap terjadinya penyakit, diperoleh gambaran di gedung
mempunyai kadar debu rata-rata 124,46 g/m3 yang berarti masih dibawah nilai ambang batas
(150 g/m3), rata-rata suhu ruangan 24,4C masih dalam suhu ideal ruang yaitu 18-26C,
kelembaban udara rata-rata 59,95% masih dalam kelembaban ideal ruangan yaitu 40-60%
serta kecepatan gerak udara ratarata 0,15 m/dtk masih dibawah batas normal (0,15-0,25
m/dtk), sedangkan kadar debu rata-rata mencapai 104,64 g/m2 masih di bawah nilai ambang
batas, suhu rata-rata 27C berarti di atas suhu ideal ruangan dan kelembaban rata-rata 55%
masih di dalam kelembaban ideal ruangan, serta kecepatan gerak udara rata-rata 0,23 m/dtk.
(Mu’tamirah).

6
Hasil penelitian pada gedung kualitas udara pada ruangan berAC diperoleh
kelembaban relatif pada lantai I adalah 64 - 68,5 % sedangkan pada lantai II adalah 73 - 80
%. Jika dibandingkan dengan Standar Baku Mutu sesuai Kep. Men.Kesehatan No 261
dimana kelembaban yang ideal berkisar 40-60 %, maka hasil pengukuran kelembaban pada 2
(dua) lantai tersebut berada di atas standar yang berarti potensial sebagai tempat
pertumbuhan mikroorganisme.Hasil pengukuran kecepatan aliran udara pada lantai Iberkisar
antara 0,04 - 0,07 m/det sedangkan pada lantai II berkisar antara 0,15 - 0,35 m/det. Menurut
Standad Baku Mutu Kep. Men. Kesehatan No 261 kecepatan aliran udara berkisar antara
0,15 - 0,25m/det. Arismunandar dan Saito (1991) menyatakan bahwa kecepatan aliran udara
< 0,1 m/det atau lebih rendah menjadikan ruangan tidaknyaman karena tidak ada pergerakan
udara sebaliknya bila kecepatan udara terlalu tinggi akan menyebabkan cold draft atau
kebisingan di dalam ruangan. Kemudian pengukuran Total koloni kuman pada lantai I adalah
1675 CFU/m3 udara sedangkan lantai II adalah 1387,5 CFU/m 3 udara. Jika dibandingkan
dengan Standar Baku Mutu Kep.Men.Kesehatan RI No : 261 /MENKES/SK/II/1998 dimana
angka kuman adalah kurang dari 700 koloni/m3 udara, maka kedua ruangan berada di atas
standar. Hasil pengukuran total koloni bakteri pada lantai I (6,87 CFU/menit) lebih tinggi
dibandingkan lantai II (3,21 CFU/menit) dan sebagian besar berjenis gram negatif batang.
Hasil pengukuran total koloni jamur pada lantai II adalah 1,94 CFU/menit dan pada lantai II
adalah 0,87 CFU/menit. Jika dibandingkan dengan standar NH dan MRC dimana total koloni
jamur adalah 150 CFU/m 3 udara, maka kedua ruangan tersebut masih berada di bawah
standar. Pada usap AC ditemukan gram positif batang dan gram negatif batang.
Pencemaryang bersifat biologis terdiri atas berbagai jenis mikroba patogen, antara lain jamur,
metazoa, bakteri, maupun virus. Penyakit yang disebabkannya seringkali diklasifikasikan
sebagai penyakit yang menyebar lewat udara (air-borne diseases) . (Annice S.Situmorang).
Penelitian lain yang menyangkut kualitas udara diperoleh hasil bahwa ozon
pengambilan sampel hampir sama untuk kedua metode, semua di bawah 0,02 ppm, yaitu di
bawah 0,12 ppm yang Kualitas Udara Ambient Nasional Standar (NAAQS) tingkat.
Independen t-test sampel tidak menunjukkan perbedaan statistik antara sampel dalam dan
luar ruangan. Spore Stachybotrys untuk mengungkapkan konten terbatas pada ruangan yang
berisi langit-langit yang terkontaminasi ubin, namun, alergis genera , termasuk Aspergillus
dan Alternaria. (Musliha Mustary).

7
B. MEKANISME PERUBAHAN LINGKUNGAN DAN TERJADINYA DAMPAK
KESEHATAN

Penggunaan bahan bakar biomassa di negara-negara berkembang sangat tinggi dan


pada umumnya mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk memasak sehingga memiliki
tingkat keterpaparan yang lebih tinggi terhadap polutan-polutan hasil penggunaan bahan
bakar biomassa. Selain itu ditunjang pula oleh adanya lokasi dapur yang berbeda-beda.
Penelitian ini mengambil sampel 83 rumah dimana semua rumah tersebut menggunakan
kayu sebagai bahan bakarnya dalam memasak. Penelitian ini diamati setiap 30 menit dari
awal memasak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi dapur tampaknya memiliki efek
terhadap semua polutan yang diamati, keculai CO, konsentrasi PM 10 dan NO2 sangat tinggi
terutama di dapur dalam ruangan yang berada diruang tamu. Hal ini disebabkan oleh banyak
faktor misalnya sumber emisi, karakteristik, cuaca dan arsitektur tempat. Tapi tingginya
variasi hasil pengamatan selama memasak ini terutama disebabkan oleh arsitektur dan lokasi
dapur dan kualitas bahan bakar yang digunakan. Kemudian didukung pula ventilasi dapurnya
yang sangat kurang dibandingkan di lokasi dapur yang lain. Keterpaparan polutan hasil
penggunaan bahan bakar biomassa ini beresiko menyebabkan infeksi penyakit pernapasan
akut (ISPA), asma, kebutaan, katarak dan lain-lain. Dalam analisis epidemiologinya dapat
dijelaskan bahwa terdapat ketidakseimbangan antara polutan, penghuni rumah dan lokasi
dapur atau antara agent, host dan environment. Dimana dalam hal ini polutan (PM10 dan NO2)
terlalu tinggi yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar biomassa menyebabkan
ketidakseimabangan itu sehingga pada akhirnya menyebabkan penyakit ISPA pada penghuni
rumah. (Hasnawati).
Tingginya konsentrasi polutan-polutan (PM, CO, NO2 dan SO2) melebihi batas
standar karena penggunaan bahan bakar (kayu dan gas) dan kompor minyak tanah dengan
ventilasi rumah yang tidak memadai sehingga kualitas udara ruangan menurun yang
berakibat pada penghuni rumah, khususnya wanita yang lebih banyak beraktivitas (memasak)
dan anak-anak yang bermain dalam rumah berdampak pada timbulnya pernapasan akut
infeksi. (Asmawati Arif). Hal tersebut ditunjang oleh penelitian yang dilakukan di Indramayu
ditemukan bahwa pada kelompok kasus kebiasaan responden selalu dan tidak selalu
membawa bayi/anak balitanya ke dapur sambil memasak lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Hal tersebut rnenunjukkan adanya hubungan kenaikan risiko antara

8
kebiasaan memasak dengan kejadian penyakit ISPA-pneumonia. (Henni Kumaladewi
Hengky).
Polutan yang spesifik di dalam rumah yaitu : Particular matter (PM), NO2,
Lingkungan perokok (ETS), formaldehyde, kandungan organik yang mudah menguap dan
kontaminasi biologi. Kesemua faktor tersebut merupakan resiko terhadap kejadian/ gangguan
pernapasan. NO2 adalah faktor yang paling penentu terhadap gejala iritasi saluran napas.
Paparan NO2 yang meningkat dapat menyebabkan saluran udara peradangan , efek pada sel-
sel darah, dan diperluas kerentanan sel epitel saluran napas cedera dari pernafasan virus.
Tingginya NO2 dalam ruangan dapat juga meningkatkan prevalensi gejala pernafasan pada
anak-anak yang sehat. Pada orang dewasa NO2 dapat menentukan gejala iritasi hidung dan
mata dan menurunkan gejala-gejala pernapasan. (Lidyawati Dahlan).
Gas NO2 merupakan polutan yang dihasilkan dari aktivitas memasak, minyak tanah
dan ruang pemanas dan asap tembakau telah terbukti menimbulkan kerusakan paru-paru
konsentrasi tinggi, NO2 dapat menembus saluran napas dan menghasilkan gejala pernapasan
yang mengganggu hidung dan mata. Selain itu, lingkungan perokok (ETS) dapat
menyebabkan kanker paru-paru dan penyakit jantung pembuluh darah. (Andi Dyah Pratiwi
Sam).
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan di Indramayu ditemukan bahwa pada
kelompok kasus kebiasaan responden selalu dan tidak selalu membawa bayi/anak balitanya
ke dapur sambil memasak lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal tersebut
rnenunjukkan adanya hubungan kenaikan risiko antara kebiasaan memasak dengan kejadian
penyakit ISPA-pneumonia. (Henni Kumaladewi Hengky).
Selain itu, Dua jenis tungau D.pteronyssinus dan D.farinae yang ditemukan
sehubungan dengan kasus pneumonia dan ISPA jumlahnya lebih banyak di rumah kelompok
kasus daripada rumah kelompok control, karena hal ini dapat menjadi factor penting
penyebab kelainan pada salran pernapasan seperti asma dan rhinitis serta 80-90% asma pada
anak dan remaja disebabkan tungau debu rumah. (Afnal Asrifuddin).
Hal lain yang ditemukan dari penelitian itu adalah Jamur yang berpengaruh terhadap
terjadinya gangguan kesehatan berupa iritasi hidung, artinya semakin banyak jumlah koloni
jamur dalam ruangan mempunyai resiko 16,463 kali lebih besar untuk dapat terjadinya iritasi
hidung. Kuman berpengaruh terhadap terjadinya gangguan kesehatan berupa mual, artinya

9
semakin banyak jumlah koloni kuman dalam ruangan mempunyai resiko 1,008 kali lebih
besar untuk dapat terjadinya mual. (Annice S.Situmorang).
Adanya pertumbuhan jamur stachybotrys spp yang diamai pada air mancur, ruang
ganti mandi, langit-langit ubin, di dalam dan berdekatan dengan ventilasi dan cahaya lampu,
spore stachybotrys spp, termasuk Aspergillus dan Alternaria diidentifikasi di seluruh
ruangan sekolah. Terjadi peningkatan prevalensi asma yang menyebabkan ketidakhadiran di
sekolah, yang menunjukkan adanya hubungan antara asma dan polusi udara dalam ruangan
termasuk asap, partkulat halus, debu tangau, stachybotrys spp. Dalam studi ini, beberapa
spesies jamur diidentifikasi penyebab alergi termasuk Aspergillus, Alternaria, Caetomium,
Cladosporium dan Fusarium, beberapa diantaranya telah dikaitkan dengan alergi rhinitis dan
asma. (Musliha Mustary).
Selanjutnya, Sick Building Syndrome (SBS) adalah kumpulan gejala yang disebabkan
karena buruknya kualitas udara dalam ruangan yang dapat menyebabkan gangguan saluran
pernapasan yang disebabkan oleh pencemaran yang dikeluarkan dari alat-alat atau bahan
yang digunakan di dalam gedung seperti karpet, pengharum ruangan, mesin foto copy dan
sumber pencemaran udara lain yang belum diukur seperti kadar gas dalam ruangan serta
tingkat mikrobiologi yang ada di system pendingin ruangan (AC). (Mu’tamirah).

C. KONSEP/PENANGGULANGAN MASALAH

1. Mengurangi penggunaan bahan bakar biomassa di dapur atau memilih bahan bakar yang
lebih aman.
2. Membuat ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan di dapur sehingga polutan-polutan
yang dihasilkan dari pembakaran biomassa tersebut bisa keluar dan bisa mengurangi
terjadinya penyakit pernapasan serta membuat ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan
baik di dapur maupun di ruang tamu sehingga polutan-polutan yang dihasilkan dari
pembakaran tersebut bisa keluar dan bisa mengurangi terjadinya penyakit pernapasan.
3. Melalui kebijakan kesehatan politik dengan cara meningkatkan penggunaan kompor
dengan cerobong asap, penggunaan bahan bakar bersih yaitu pipa gas alam terkompresi
dan dapur dengan ventilasi yang lebih baik untuk mengendalikan pencemaran udara dalam
ruangan.

10
4. Intervensi perilaku dengan cara penyebaran kesadaran untuk mengurangi paparan asap,
mengurangi emisi dari kompor dan mengubah praktek memasak akan membantu dalam
mengurangi tingkat polusi di dalam ruangan.
5. Untuk menghambat pertumbuhan jamur, semua kebocoran dalam ruangan harus
diperbaiki dan langit-langit diganti ubin dan membatasi retensi formaldehida dan
proliferasi jamur. Guna peningkatan kenyamanan penggunaan ruang dalam gedung perlu
pengaturan sistem ventilasi ruangan khususnya suhu ruangan dan kelembaban udara sesuai
dengan suhu ideal ruangan yaitu 18-26C dan kelembaban ideal dalam ruangan yaitu 40-
60% dan adanya pembersihan AC di gedung secara rutin minimal satu bulan sekali untuk
menghilangkan mikrobiologi pada sistem pendingin.
6. Guna memelihara kualitas udara di dalam gedung, perlu dilakukan pembukaan jendela-
jendela minimal satu minggu sekali, agar terjadi pertukaran udara secara alami terutama
pada saat pembersihan ruangan serta membuat ventilasi Acceptable Indoor Air Quality,
khususnya mengenai laju aliran minimum udar segar ke dalam bangunan.
7. Perlunya pengukuran kualitas fisik dan kualitas kimia udara serta mikrobiologi pada
sistem pendingin secara berkala, minimal 3 bulan sekali untuk mengetahui kadar
parameter tersebut dalam kaitannya untuk mencari penyebab lain serta Pemeriksaan
kualitas udara dalam ruangan secara berkala sesuai parameter kualitas udara (kualitas
fisik, kimia , dan mikrobiologi) agar tercipta lingkungan kerja yang sehat.
8. Disediakan ruangan khusus untuk merokok dilengkapi dengan Local Exhaust Ventilation.

11
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Kebiasaan ibu membawa bayi/ anak balitanya ke dapur sambil memasak mempunyai
risiko terkena penyakit ISPA karena kadar debu RSP sudah jauh melampaui standar
sedangkan tingginya konsentrasi polutan-polutan tersebut diatas menjadi penyebab
iritasi kualitas udara ruangan tertentu dan terukurnya beberapa pencemar udara
seperti CO, NO2, SO2, NH3dan formal dehida dalarn ruang mengindikasikan tidak
adanya pergerakan udara, dengan kata lain ventilasi kurang memenuhi syarat
sehingga memberikan kontribusi pada penyakit ISPA.
2. Kualitas udara dengan 4 parameter (suhu, kelembaban, kecepatan gerak udara dan
kadar debu) masih dibawah nilai ambang batas dan paremeter suhu masih diatas suhu
ideal ruangan.
3. Adanya pertumbuhan jamur stachybotrys spp yang ada pada air mancur, ruang ganti
mandi, langit-langit ubin, di dalam dan berdekatan dengan ventilasi dan cahaya
lampu, spore stachybotrys spp, termasuk Aspergillus dan Alternaria diidentifikasi di
setiap ruangan.

B. SARAN
1. Menekankan pentingnya kualitas dalam ruangan agar dapat mengurangi penyakit
pernapasan akut dan kadar debu RSP diturunkan dengan cara menggati bahan bakar
kayu, tidak membawa anak ke dapur dan membuat lubang ventilasi yang adekuat.
2. Mendesain dapur dengan ventilasi yang baik agar asupan udara/sirkulasi udara saat
memasak berjalan lancar
3. Mengurangi polutan-polutan udara dalam ruangan dengan penggunaan bahan bakar
yang rendah emisi.
4. Guna peningkatan kenyamanan penggunaan ruang dalam gedung perlu pengaturan
system ventilasi ruangan yaitu 18-26C dan kelembaban ideal dalam ruangan yaitu
40-60% dan dilakukan pembukaan jendela-jendela minimal satu minggu sekali, agar
terjadi pertukaran udara secara alami pada saat pembersihan ruangan.

12
5. Perlunya pengukuran kualitas fisik dan kualitas kimia serta mikrobiologi pada system
pendingin secara berkala minimal 3 bulan sekali untuk mengetahui penyebab lain
masalah SBS di gedung-gedung.
6. Untuk menghambat pertumbuhan jamur, semua kebocoran dalam ruangan harus
diperbaiki.

13
DAFTAR PUSTAKA

Afnal Asrifuddin : Sukar,dkk. Pengaruh Kualitas Lingkungan Dalam Ruang (Indoor) Terhadap
Penyakit ISPA-Pnemonia Di Indramayu, Jawa Barat. 1996. Jakarta : Peneliti Ekologi
Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI.

Andi Dyah Pratiwi Sam : Joakkola,dkk. Indoor Air Pollution and Respiratory Health In The
Elderly. 2003.European Respiratory Journal.

Annice S. Situmorang : Prasasti Indria, dkk. Pengaruh Kualitas Udara Dalam Ruangan Ber-AC
Terhadap Gangguan Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.1 No.2.

Asmawati Arif : Kulshreshta, dkk. Indoor Air Quality Assesment In and Around Urban Slums of
Delhi City, India. 2008. Journal Compilation.

Hasnawati : Matsuki Hidieki, dkk. Air Quality and Acute Respiratory Illnes In Biomass Fuel
Using Homes In Bagayoma, Tanzania. 2007.International Journal Of Environmental
Research an Public Health.

Henny Kumaladewi Hengky : Lubis, Agustina. Risiko Relatif Lingkungan Sosial dan Kimia
Terhadap Kejadian Penyakit ISPA Pneumonia Di Indramayu, Jawa Barat. 1997. Jakarta :
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI.

Keman, Soedjajadi. 2005. Kesehatan Pemukiman dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal


Kesehatan Lingkungan Vol.2 No.1.

Lidyawati Dahlan : Simoni, Marzia,dkk. Indoor Eksposure and Acute Respiratory Effects In Two
General Population Samples From A Rural and An Urban Area in Italy.2004. Journal Of
Exposure Analysis and Environmental Epidemiology.

Mu’tamirah : Utami, Cahyo. Hubungan Antara Kualitas Udara Pada Ruangan Ber-AC Sentral
dan Sick Building Sindrome Di Kantor Telkom Divre IV Jateng, DIY. 2005. Jurusan Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.

Musliha Mustary : Thomas. Kliring The Air; A model For Investigating Indoor Air Quality In
Texas Schools. 2002. Jurnal Indoor Air.

Rusli Maddu : Bruce, Nigel. Indoor Bioufuel Air Pollution and Respiratory Health : The Role Of
Counfounding Factors Among Women In Highland Guatemala. 1998. International
Epidemiological Assosiation.s

14

Anda mungkin juga menyukai