Anda di halaman 1dari 27

RINGKASAN MATERI

TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN

PEMERIKSAAN KUALITAS UDARA AMBIEN DAN PENGUKURAN


KUALITAS UDARA TEMPAT KERJA

Oleh :

Ni Putu Ayu Werdhianty NIM 2113081030

Program Studi Kimia


Jurusan Kimia
Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Pendidikan Ganesha
2022
I. PENDAHULUAN

Udara ambien merupakan udara yang berada di sekeliling manusia dan


bergerak bebas di permukaan bumi. Udara ambien dimanfaatkan manusia dalam
kehidupan sehari hari untuk menggerakkan kincir angin, membantu proses
penyerbukan, mengeringkan pakaian, dan lain-lain. Pemanfaatan udara ambien
harus dikelola secara bijaksana dengan mempertimbangkan kepentingan generasi
sekarang dan generasi yang akan datang (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No 41, 1999). Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu
udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi
kesehatan manusia. Gangguan tersebut terutama terjadi pada fungsi faal dari organ
tubuh seperti paru- paru dan pembuluh darah, iritasi pada mata dan kulit.
Pencemaran udara karena partikel debu biasanya menyebabkan penyakit
pernapasan seperti bronkhitis, asma, kanker paru-paru. Gas pencemar yang terlarut
dalam udara dapat langsung masuk ke dalam paru-paru dan selanjutnya diserap oleh
sistem peredaran darah (Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1407 tahun 2002
tentang Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara).

Polutan udara ambien yang berpotensi tinggi menyebabkan gangguan


pernapasan dan pendengaran pada manusia antara lain NO 2, SO2, CO, dan
kebisingan. Bahan pencemar NO2, SO2, CO, dan kebisingan merupakan beberapa
jenis dari polutan yang ada di udara, terutama yang dihasilkan dari pembakaran
bahan bakar fosil (Djajadiningrat, 1991 dalam Fahmi, 2019). Selain kualitas udara
ambien, kualitas udara di lingkungan kerja sama pentingnya. Kualitas udara dalam
lingkungan kerja merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kesehatan pekerja.
Menurunnya kondisi kualitas udara dalam kantor dapat menyebabkan sick building
syndrome. Kualitas udara dalam ruang sangat memengaruhi manusia karena
sebagian besar manusia menghabiskan 85-90% waktunya di dalam ruang.
Keberadaan bahan pencemar udara dihasilkan dari proses alam maupun aktivitas
manusia. Kontribusi pencemar udara akibat aktivitas manusia berasal dari sumber
pencemar tidak bergerak seperti lingkungan kerja perkantoran, industri, maupun
sumber bergerak seperti kendaraan bermotor (BBTKL dan PPM, 2009).
Berbagai bahan pencemar udara yang berasal dari sumber bergerak maupun
tidak bergerak banyak memengaruhi kualitas udara di lingkungan kerja. Bahaya
potensial dari bahan pencemar udara tersebut dapat muncul dalam bentuk yang
bervariasi dan berdampak terhadap kesehatan. Hal ini merupakan kewajiban bagi
perusahaan industri untuk melindungi pekerjanya dari risiko sakit. Pencemar udara
yang paling dominan dan memengaruhi kesehatan manusia adalah partikel, CO,
NOx, SOx, dan Hidrokarbon (Sugiarti, 2009). Adapun dampak yang ditimbulkan
dari paparan polutan tersebut berupa iritasi pada saluran pernapasan dan ganguan
pada sistem pendengaran manusia. Paparan udara ambien dalam jangka panjang
dapat menimbulkan penyakit pernapasan seperti bronkitis kronik, pembengkakan
paru- paru, pembengkakan gendang telinga dan berujung pada kematian (Akdemir,
Andac, 2011).

II. PEMBAHASAN
II.1. Pemeriksaan Kualitas Udara Ambien

Menurut PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran


Udara, udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan
troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang
dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup, dan unsur
lingkungan hidup lainnya. Unsur-unsur berbahaya yang masuk ke dalam
atmosfer dapat berupa Karbonmonoksida (CO), Nitrogendioksida (NO 2),
Sulfurdioksida (SO2), Hidrokarbon (CH), dan lain-lain. Menurut PP No. 41
Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, baku mutu udara ambien
adalah ukuran batas atau kadar zat, energi dan/atau komponen yang ada atau
yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya
dalam udara ambien. Udara yang melebihi baku mutu dapat merusak lingkungan
sekitarnya dan berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat sekitarnya.
Di London, pada tahun 1952, terjadi peningkatan jumlah kematian
penduduk akibat penyakit jantung dan paru-paru. Hal ini disebabkan oleh
kontaminasi udara oleh belerang dioksida dan partikel tersuspensi, yang
merupakan limbah buangan pabrik di Ingris pada saat itu. Kemajuan yang
dicapai dalam bidang biokimia dan toksikokinetik, toksikologi genetika,
imunotoksikologi, morfologik pada tingkat subsel, serta perkembangan ilmu
biologimolekular berperan dalam memberikan pengertian yang lebih
baiktentang sifat, tempat, dan cara kerja berbagai toksin.
Salah satu wujud perlindungan kesehatan masyarakat, ahli toksikologi
akan selalu terlibat dalam menentukan batas pajanan yang aman atau penilaian
resiko dari pajanan. Batas pajanan yang aman mencangkup ”asupan (intake)
harian yang diperbolehkan, dan ”nilai ambang batas” dari toksin yang masih
dapat ditolerir, sedangkan penilaian resiko digunakan dalam hubungan dengan
efek bahan yang diketahui tidak berambang batas atau ambang batasnya tak
dapat ditentukan. Penentuan ini merupakan penelitian menyeluruh tentang sifat
toksik, pembuktian dosis yang aman, penentuan hubungan dosis- efek dan dosis-
respon, serta penelitian toksokinetik, dan biotransformasi. Meluasnya bidang
cakupan dan makin banyaknya subdisiplin toksikologi seperti digambarkan di
atas memberikan gambaran tersendiri tentang kemajuan akhir dalam toksikologi.

II.2. Metode Uji Pengukuran kadar gas (CO, NO2, NH3, SO2, dan H2S) Udara
Ambien
II.2.1. Pengambilan Sampel Gas (Febrina, 2013)
Peralatan impinger disusun seperti pada gambar 1 kemudian ditempatkan pada titik
pengambilan sampel. Sebanyak 10 mL larutan absorber masing-masing parameter
gas (Tabel 1) dimasukkan ke dalam impinger kemudian diatur agar terhindar dari
hujan dan sinar matahari langsung.
Tabel 1. Larutan Absorber Parameter Udara Ambien (Sumber : Febrina,
2013)
No Parameter Gas Larutan Absorber
1 Nitrogen dioksida (NO2) Griess-Saltzman
2 Amoniak (NH3) KI 4%
3 Sulfur dioksida (SO2) CdSO4
4 Hidrogen sulfida (H2S) H2SO4
Pompa penghisap udara dinyalakan dan diatur dengan kecepatan aliran 2.5 L/menit.
Setelah 60 menit pompa dimatikan dan dicatat kembali kecepatan alirannya. Suhu
dan tekanan udara sekeliling sebelum dan sesudah proses pengambilan sampel juga
dicatat.

Gambar 1. Rangkaian peralatan impinger (Febrina, 2013)


a. Pengukuran kadar gas CO udara ambien
Karbon monoksida adalah salah satu gas yang tidak berwarna, tidak berbau
dan juga tidak berasa. Keberadaan CO dapat mempengaruhi kerja jantung,
sistem syaraf pusat, janin, dan semua organ tubuh yang peka terhadap
kerusakan oksigen. Reaksi pembentukan gas CO yang berasal dari
pembakaran bahan bakar fosil ialah 2C + O2 → 2CO, berdasarkan suhu yang
tinggi CO2 + C → 2CO, dan berdasarkan penguraian CO2 ialah CO2 → CO
+ O. Karbon monoksida yang terdapat di alam terbentuk dari salah satu
proses pembakaran tidak lengkap terhadap karbon atau komponen yang
mengandung karbon, reaksi antara karbon dioksida dan komponen yang
mengandung karbon pada suhu tinggi (Febrina, 2013).
• Analisis kadar gas CO (SNI 7119.10:2011)
a) Prinsip analisis kadar gas CO dengan menggunakan alat analisis gas
CO bekerja atas dasar sinar infra merah yang terabsorbsi oleh analit.
Sinar infra merah yang digunakan adalah sinar infra merah non
dipersive. Gas nol (zero gas) dan contoh uji masuk dalam sel
pengukuran dalam jumlah yang tetap dan diatur oleh katup selenoid
yang bekerja dalam rentang waktu tertentu. Pengukuran ini
berdasarkan kemampuan gas CO menyerap sinar infra merah.
Banyaknya intensitas sinar yang diserap sebanding dengan
konsentrasi CO. Dengan kondisi ini alat penganalisa akan
menggunakan modulasi yang timbul sebagai akibat terabsorbsinya
infra merah oleh contoh uji. Sinar infra merah dihasilkan oleh
sumber infra merah yang diarahkan ke tabung pengukuran,
kemudian masuk ke detektor. Energi dari sinar infra merah
dilewatkan melalui tabung pengukuran kemudian diabsorpsi oleh
contoh uji. Apabila contoh uji mengalir ke tabung, energi infra
merah yang masuk ke dalam detektor akan berfluktuasi sesuai
dengan intensitas sinar yang terabsorbsi oleh contoh uji yang
sedang diukur.
b) Di dalam detektor, terdapat membran yang dapat mengukur
fluktuasi tekanan contoh uji. Fluktuasi tekanan terjadi jika terdapat
perbedaan jumlah energi infra merah yang terabsorbsi oleh contoh
uji dan gas nol (zero gas) di dalam sel. Perbedaan ini menciptakan
fluktuasi yang ekivalen dengan perbedaan tekanan dalam membran.
Hal ini kemudian diubah menjadi sinyal fluktuasi elektrik yang
diperkuat.
c) Adapun bahan yang digunakan dalam metode ini adalah: a) gas nol
(zero gas) : N2 atau He berisi kurang dari 0,1 ppm CO; b) gas
rentang induk : gas standar CO untuk skala penuh 80 % digunakan
untuk kalibrasi rentang instrumen; dan gas rentang kerja : gas
standar CO yang diperlukan untuk uji linieritas dengan rentang 10
%; 20 %; 50 % dan 80 % dari skala penuh.
d) Peralatan yang digunakan antara lain: kantong pengumpul contoh
uji CO; dan alat ukur CO dengan detektor NDIR.

Gambar 2 - Rangkaian peralatan pengambil contoh uji CO Tedlar bag


Keterangan gambar:
A adalah aliran udara masuk; E adalah pompa vakum;
B adalah kotak hampa udara (vakum); F adalah kran buka tutup Tedlar bag;
C adalah ruang vakum; G adalah kran pengatur vakum;
D adalah Tedlar bag; H adalah kran pengatur laju alir.

b. Pengukuran kadar gas NO2 udara ambien


Nitrogen oksida (NOx) adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfer yang
terdiri dari gas nitrogen oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO 2).
Pembentukan NO dan NO2 mencakup reaksi antara nitrogen dan oksigen di
udara sehingga membentuk NO. Reaksi selanjutnya antara NO dengan lebih
banyak oksigen membentuk NO2. Persamaan reaksinya sebagai berikut:
N2 + O2 → 2NO
2NO + O2 → 2NO2
Nitrogen dioksida (NO2) merupakan bahan polutan udara terpenting, yaitu
sebagai salah satu komponen utama yang memberikan kontribusi terhadap
kualitas udara maupun kualitas air hujan (hujan asam) yang terjadi,
disamping sulfur dioksida (SO2). Sumber pencemaran gas NOx dapat
berasal dari sumber alami seperti dari aktivitas bakteri. Disamping itu,
aktivitas manusia juga merupakan penyebab terjadinya pencemaran udara
oleh gas NOx. Sumbangan terbesar dari kegiatan manusia terhadap polusi
NOx bersumber dari hasil kegiatan–kegiatan yang menggunakan proses
pembakaran pada temperatur yang cukup tinggi.
• Analisis kadar gas NO2 (SNI 7119.10:2005)
Pembuatan Deret Kurva Kalibrasi NO2. Larutan induk NO2 ditimbang
sebanyak 0.246 gram NaNO2 dalam 100 ml akuades dalam labu takar.
Larutan stok dipipet 10 ml ke dalam 1000 ml akuades. Larutan dipipet
10 ml kedalam 100 ml akuades (stok 2 μg NO2/ml). Larutan dipipet
masing–masing 0.00, 0.10, 0.20, 0.40, 0.60, 0.80, dan 1.00 ml ke dalam
labu takar 25 ml. Larutan ditepatkan volumenya dengan larutan
absorben. Larutan didiamkan selama 30 menit. Larutan diukur
serapannya pada panjang gelombang 550 nm dengan spektrofotometer.
Sampel yang berisi absorber diukur langsung serapannya dengan
spektrofotometer fortable dengan panjang gelombang 550 nm. Larutan
blanko yang digunakan ialah absorber NO2.

c. Pengukuran kadar gas NH3 udara ambien


Amoniak adalah salah satu indikator pencemar udara pada bentuk kebauan.
Gas amoniak adalah gas yang tidak berwarna, memiliki bau yang
menyengat. Biasanya, amoniak berasal dari aktifitas mikroba, industri
amoniak, perngolahan limbah dan pengolahan batu bara. Amoniak di
atmosfer bereaksi dengan nitrat dan sulfat sehingga terbentuk garam
amoniak yang sangat korosif. Amoniak yang menguap akan mencemari
udara dan mengganggu pernapasan. Titik leburnya ialah -75°C dan titik
didihnya ialah -33.7°C. Larutan amoniak sebanyak 10% dalam air
mempunyai pH 12. Sumber amoniak adalah reduksi gas nitrogen yang
berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri dan domestik.
Amoniak disintesis dengan reaksi reversibel antara hidrogen dengan
nitrogen.
• Analisis NH3 (SNI 19-7119.1-2005)
Pembuatan deret kurva kalibrasi NH3. Larutan induk NH3 1000 μg/ml
dibuat dengan ditimbang 3.18 gram NH4Cl dalam 1000 ml akuades.
Larutan induk dipipet satu ml kedalam labu takar 100 ml. Larutan
ditepatkan volumenya sampai 100 ml dengan akuades (stok 10 μg/ ml).
Larutan stok 10 μg/ml dipipet 10 ml kedalam labu takar 100 ml dan
ditepatkan volumenya dengan akuades (stok 1 μg/ ml). Larutan stok 1
μg/ml dipipet ke dalam labu takar 25 ml masing–masing 0.00, 0.20,
0.40, 0.60, 1.00, dan 1.50 ml. Masing–masing larutan ditambahkan
absorber sampai dengan 10 ml, 2 ml larutan penyangga, 2 ml larutan
kerja fenol, dan 1 ml larutan kerja hipoklorit. Larutan dihomogenkan,
dan didiamkan selama 30 menit. Masing–masing larutan diukur
serapannya pada panjang gelombang 640 nm.
Pengujian Sampel. Sampel dipipet 10 ml ke dalam labu takar 25 ml.
Larutan sampel ditambahkan 2 ml larutan penyangga, 2 ml larutan kerja
fenol, dan 1 ml larutan kerja hipoklorit. Sampel dihomogenkan dan
didiamkan selama 30 menit. Pembuatan blanko dilakukan dengan
memipet 10 ml absorber NH3 ke dalam labu takar 25 ml. Larutan
Absorber ditambahkan 2 ml larutan natrium posfat, 2 ml larutan kerja
fenol, dan 1 ml larutan kerja hipoklorit. Sampel dihomogenkan dan
didiamkan selama 30 menit. Larutan sampel dan blangko diukur pada
panjang gelombang 640 nm.

d. Pengukuran kadar gas SO2 udara ambien


Pencemaran oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh dua
komponen sulfur bentuk gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida
(SO2) dan Sulfur trioksida (SO3), dan keduanya disebut sulfur oksida (SOx).
Sulfur dioksida mempunyai karakteristik bau yang tajam dan tidak mudah
terbakar diudara, sedangkan sulfur trioksida merupakan komponen yang
tidak reaktif. Pembakaran bahan-bahan yang mengandung Sulfur akan
menghasilkan kedua bentuk sulfur oksida, tetapi jumlah relatif masing-
masing tidak dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang tersedia. Di udara SO 2
selalu terbentuk dalam jumlah besar. Jumlah SO3 yang terbentuk bervariasi
dari 1 sampai 10% dari total SOx.
Mekanisme pembentukan SOx dapat dituliskan dalam dua tahap reaksi
sebagai berikut :
S + O2 < --------- > SO2
2 SO2 + O2 <---------> 2SO3
SO3 di udara dalam bentuk gas hanya mungkin ada jika konsentrasi
uap air sangat rendah. Jika konsentrasi uap air sangat rendah. Jika uap air
terdapat dalam jumlah cukup, SO3 dan uap air akan segera bergabung
membentuk droplet asam sulfat ( H2SO4 ) dengan reaksi sebagai berikut :
SO SO2 + H2O2 ------------ > H2SO4
Komponen yang normal terdapat di udara bukan SO 3 melainkan
H2SO4 Tetapi jumlah H2SO4 di atmosfir lebih banyak dari pada yang
dihasilkan dari emisi SO3 hal ini menunjukkan bahwa produksi H2SO4 juga
berasal dari mekanisme lainnya. Setelah berada diatmosfir sebagai SO 2 akan
diubah menjadi SO3 (Kemudian menjadi H2SO4) oleh proses-proses
fotolitik dan katalitik Jumlah SO2 yang teroksidasi menjadi SO3 dipengaruhi
oleh beberapa faktor termasuk jumlah air yang tersedia, intensitas, waktu
dan distribusi spektrum sinar matahari, Jumlah bahan katalik, bahan sorptif
dan alkalin yang tersedia. Pada malam hari atau kondisi lembab atau selama
hujan SO2 di udara diaborpsi oleh droplet air alkalin dan bereaksi pada
kecepatan tertentu untuk membentuk sulfat di dalam droplet.
• Analisis SO2 (SNI 19-7119.7-2005)
a) Pembuatan deret kurva kalibrasi. Larutan induk SO2 dibuat dengan
padatan Na2S2O5 ditimbang sebanyak 0.3 gram dalam 500 ml
akuades. Larutan dipipet sebanyak 10 ml dalam 1000 ml akuades.
Larutan dipipet masing–masing dalam labu takar 25 ml sebanyak
0.00, 0.05, 0.10, 0.50, 1.00, 2.00, dan 3.00 ml. Tepatkan volumenya
hingga 10 ml dengan absorber H2S. Masing–masing larutan
ditambahkan 1 ml larutan asam sulfamat 0.6 %, 2 ml larutan
formaldehida 0.2 %, dan 2.0 ml larutan pararosanilin. Larutan
dihomogenkan dan ditepatkan volumenya sampai tanda tera dengan
akuades. Larutan didiamkan 30 sampai 60 menit. Larutan diukur
serapannya pada panjang gelombang 550 nm.
b) Pengujian sampel. Sampel dipipet 10 ml ke dalam labu takar 25 ml.
Masing–masing larutan ditambahkan 1 ml larutan asam sulfamat
0.6 %, 2 ml larutan formaldehida 0.2 %, dan 5.0 larutan
pararosanilin. Larutan dihomogenkan dan ditepatkan volumenya
sampai tanda tera dengan akuades. Larutan blanko dibuat dengan
absorber dipipet 10 ml ke dalam labu takar 25 ml. Larutan
ditambahkan 1 ml larutan asam sulfamat 0.6 %, 2 ml larutan
formaldehida 0.2 %, dan 5.0 larutan pararosanilin. Larutan
ditepatkan volumenya sampai tanda tera dengan akuades. Larutan
didiamkan 30 sampai 60 menit. Larutan diukur serapannya pada
panjang gelombang 550 nm. Konsentrasi sampel dapat dihitung
dengan rumus:
𝜇𝑔 𝜇𝑔 𝑔𝑎𝑠
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 3
= 𝑥 1000 𝑥 𝐹𝑝
𝑁𝑚 𝑉𝑜𝑙 𝑈𝑑𝑎𝑟𝑎

Keterangan:

μg gas = Jumlah gas


1000 = konversi Liter ke m3
Fp = factor pengenceran
μg/Nm3 = Satuan (microgram per normal meter kubik), dimana N menunjukkan
satuan volume hisap udara kering dikoreksi pada kondisi normal (25oC, 760
mmHg)

e. Pengukuran kadar gas H2S udara ambien


Hidrogen sulfida (H2S) merupakan gas yang dapat menghasilkan bau tidak
sedap. Gas tersebut bersifat toksik bagi manusia dan ternak, dapat
meningkatkan kerentanan terhadap penyakit, dan dapat mengganggu
efisiensi aktivitas manusia. Hidrogen sulfida diproduksi oleh pembusukan
mikrobiologi dari senyawa sulfat dan reduksi mikroba dari sulfat, uap panas
bumi, serbuk kayu, aktivitas antropogenik seperti pembakaran batu bakar
dan residu minyak bumi. Gas hidrogen sulfida yang masuk ke atmosfer
secara cepat diubah menjadi senyawa SO2 melalui reaksi berikut:
2H2S + 3O2 → 2SO2 + 2H2O
• Analisis H2S (SNI 19-7117.7-2005)
a) Standardisasi Hidrogen Sulfida (H2S) dengan Na2S2O3. Serbuk
Na2S.9 H2O ditimbang sebanyak 0.12 gram dalam kaca arloji. Serbuk
Na2S.9 H2O dilarutkan dengan akuades dalam gelas piala. Larutan
ditepatkan volumenya dengan akuades dalam labu takar 100 ml.
Larutan baku dipipet sebanyak 10 ml ke dalam Erlenmeyer. Larutan
ditambahkan 5 ml I2 0.01N, dan 5 ml HCl 0.1 N. Larutan dititrasi
dengan natrium tiosulfat 0.01N sampai warna kuning pucat. Titrasi
dihentikan lalu ditambah 2-3 indikator kanji. Titrasi dilanjutkan
kembali sampai warna biru hilang. Blanko menggunakan akuades 10
ml dan diperlakukan sama seperti larutan baku. Volume titran larutan
baku (a) dan blanko (b) dicatat kemudian dihitung konsentrasi H2S.
(𝑏 − 𝑎)𝑚𝐿 𝑥 𝑁𝑎2 𝑆2 𝑂3 𝑥 17 𝑥 1000
H2S (𝜇𝑔/𝑁𝑚3 ) =
10

Keterangan:
a = volume titran larutan baku
b = volume titran blanko
N = Konsentrasi Na2S2O3
17 = BE Na2S (1/2 BM)
10 = volume larutan baku yang dititrasi

b) Standardisasi Na2S2O3 dengan KIO3. KIO3 sebanyak 0.0900 gram


dilarutkan dalam 250 ml akuades. Larutan dipipet sebanyak 25 ml.
Larutan ditambahkan 1 gram KI, dan 10 ml HCl (1:10). Larutan
ditutup dan dibiarkan selama lima menit. Akuades dipipet 25 ml
sebagai blanko. Larutan ditambahkan 1 gram KI, dan 10 ml HCl
(1:10). Larutan ditutup dan dibiarkan selama lima menit. Larutan
dititrasi dengan Na2S2O3 0.01 N sampai warna kuning pucat.
Larutan ditambahkan 2-3 tetes indikator kanji. Titrasi kembali
sampai warna biru hilang. Titrasi dilakukan sebanyak tiga kali.
Konsentrasi Na2S2O3 dihitung dengan rumus:

𝑏 𝑥 𝑉1 𝑥 1000
N (𝑁𝑎2𝑆2 𝑂3 ) =
35,67 𝑥 250 𝑥 𝑉2

Keterangan:
b = bobot KIO3 (gram)
1000 = konversi ml ke liter
35.67 = bobot molekul KIO3 (BM KIO3/6 )
250 = volume akuades yang melarutkan KIO3
V1 = volume larutan yang dipipet
V2 = volume titran
c) Pembuatan deret kurva kalibrasi. Larutan induk H2S dibuat dengan
ditimbang 0.1200 gram Na2S dalam 100 ml akuades. Larutan
dipipet 10 ml dalam 1000 ml akuades. Larutan dipipet masing–
masing 0.00, 0.05, 0.10, 0.20, 0.50, 1.00 ml ke dalam labu takar 50
ml. Masing–masing labu ditambahkan sampai dengan 10 ml
dengan larutan absorber. Larutan ditambahkan 0.2 ml larutan test
amino, satu tetes FeCl3. Larutan dihomogenkan dan didiamkan
selama 10 menit. Larutan ditambahkan 1 tetes larutan amonium
fosfat. Larutan ditepatkan volumenya dengan akuades. Larutan
diukur serapannya pada panjang gelombang 670 nm.
d) Pengujian sampel H2S. Sampel H2S dimasukkan sebanyak 10 ml
ke dalam labu takar 50 ml. Sampel ditambahkan 0.2 ml larutan test
amino, satu tetes FeCl3. Larutan dihomogenkan dan didiamkan
selama 10 menit. Larutan ditambahkan 1 tetes larutan amonium
fosfat. Larutan ditepatkan volumenya dengan akuades. Absorber
H2S sebanyak 10 ml dipipet ke dalam labu takar 50 ml. Larutan
ditambahkan 0.2 ml test amino, satu tetes FeCl3. Larutan
dihomogenkan dan didiamkan selama 10 menit. Larutan
ditambahkan 1 tetes larutan amonium fosfat. Larutan ditepatkan
volumenya dengan akuades. Larutan diukur serapannya pada
panjang gelombang 670 nm.

II.3. KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN RI NOMOR :


1407/MENKES/SK/XI/2002 TENTANG PEDOMAN PENANGGULANGAN
DAMPAK PENCEMARAN UDARA.
Perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian yang pokok
dalam usaha dibidang kesehatan seperti dijelaskan dalam Undang-undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan antara lain perlu dilakukan di tempat umum,
lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan lingkungan
lainnya. Baku mutu udara ambien secara lengkap tersedia pada lampiran 1.
Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan mahluk
hidup dan keberadaan benda-benda lainnya. Sehingga udara merupakan sumber
daya alam yang harus dilindungi untuk hidup, kehidupan manusia dan mahluk
hidup lainnya. Hal ini berarti bahwa pemanfaatannya harus dilakukan secara
bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan
datang. Untuk mendapatkan udara sesuai dengan tingkat kualitas yang diinginkan
maka pengendalian pencemaran udara menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Pertumbuhan sektor industri pertahun masih merupakan sektor yang sangat
potensial dalam memacu pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan lapangan usaha,
namun di sisi lain juga dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan bila
tidak ditangani dengan sebaik-baiknya. Dampak negatif dimaksud antara lain
berupa pencemaran udara baik yang terjadi di dalam ruangan (indoor) maupun di
luar ruangan (outdoor) yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan
terjadinya penularan penyakit.
Di perkotaan pencemaran udara terutama bersumber dari sektor transportasi
disamping sektor industri, sedangkan di pedesaan pencemaran udara berasal dari
kebakaran hutan dan bahan bakar yang digunakan untuk memasak di dapur yang
menggunakan kayu bakar dimana hasil sisa pembakarannya dapat mengganggu
kesehatan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut dalam rangka mendorong
pelaksanaan otonomi daerah agar dapat terlaksananya pengendalian pencemaran
udara secara terintegrasi antar sektor dan program sesuai tugas, fungsi dan
kewenangan masing-masing, perlu ditetapkan suatu pedoman yang dijadikan acuan
bagi jajaran kesehatan baik di daerah Provinsi maupun daerah Kabupaten/Kota.
Secara umum tujuan dari penyelenggaraan penanggulangan dampak
pencemaran udara adalah untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif
pencemaran udara. Adapun tujuan khusus dari kegiatan tersebut meliputi :
1. Terkendalinya dampak pencemaran udara bagi kesehatan manusia.
2. Terkendalinya bahan polutan di udara yang berbahaya terhadap kesehatan
manusia.
3. Terselenggaranya jaringan informasi kualitas udara dan dampaknya
terhadap kesehatan masyarakat melalui pendekatan surveilan
epidemiologi.
Pengaruh Indeks Standar Pencemar Udara Terhadap Tiap Parameter Kualitas
Udara adalah sebagaimana dalam tabel dibawah ini.

II.5. Pengaruh Karbon Monoksida (CO) Terhadap Kesehatan

Menurut Soedomo (2001) dalam Abdullah (2018), Karbon Monoksida dapat


mempengaruhi kesehatan, yaitu tekanan fisiologikal, terutama pada penderita
penyakit jantung, dan keracunan darah. Gas CO dalam konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, bahkan juga dapat menyebabkan kematian. Gas
CO apabila terhisap ke dalam paru-paru akan mengikuti peredaran darah dan akan
menghalangi masuknya oksigen (O2) yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini dapat
terjadi karena gas CO bersifat racun metabolis, ikut bereaksi secara metabolis
dengan darah menjadi karboksihemoglobin (COHb). Ikatan karboksihemoglobin
jauh lebih stabil dari pada ikatan oksigen dengan darah (oksihemoglobin). Keadaan
ini menyebabkan darah menjadi lebih mudah menangkap CO dan menyebabkan
fungsi vital darah sebagai pengangkut oksigen terganggu.

Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi COHb di Dalam Darah Terhadap Kesehatan


Manusia Sumber (Stoker & Seager, 1972 dalam Abdullah, 2018)

Konsentrasi COHb Pengaruhnya terhadap kesehatan


dalam darah (%)
< 1,0 Tidak berpengaruh
1,0 – 2,0 Penampilan agak tidak normal
2,0 – 5,0 Pengaruhnya terhadap sistem syaraf sentral, reaksi
panca indra tidak normal, benda terlihat kabur
> 5,0 Perubahan fungsi jantung dan pulmonari
10,0 – 80,0 Kepala pening, mual, berkunang- kunang, pingsan,
kesukaran bernapas, kematian

II.6. Pengaruh NO2 (Nitrogen dioksida) terhadap Kesehatan


Gas nitrogen dioksida (NO2) merupakan polutan udara ambien bersama
unsur nitrogen monoksida (NO) yang biasanya dihasilkan dari kegiatan manusia
seperti pembakaran bahan bakar mesin kendaraan, pembakaran sampah,
pembakaran batubara dan industri. Karakteristik gas ini memiliki bau tajam dan
berwarna cokelat dimana dampaknya terhadap kesehatan terutama adalah
penurunan fungsi paru, menyebabkan sesak napas, bahkan berujung pada kematian
(Suyono, 2014 dalam Masito, 2018). Berdasarkan informasi Material Safety Data
Sheet, pajanan gas NO2 dapat menyebabkan iritasi lendir, sinus, faring,respirasi
tidak teratur, bahkan edema paru (Nitrogen dioxide MSDS Airgas, 2018). Efek
terhadap gas toksik ini bergantung pada dosis serta lamanya pajanan.
Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tiap tahun dapat berdampak pada
peningkatan NO2 dan akan memberi efek negatif pada kesehatan manusia
(Wijayanti, 2012).
Oksida nitrogen seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia. Penelitian
menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. Selama ini belum
pernah dilaporkan terjadinya keracunan NO yang mengakibatkan kematian.
Diudara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO 2 yang
bersifat racun. Penelitian terhadap hewan percobaan yang dipajankan NO dengan
dosis yang sangat tinggi, memperlihatkan gejala kelumpuhan sistim syaraf dan
kekejangan. Penelitian lain menunjukkan bahwa tikus yang dipajan NO sampai
2500 ppm akan hilang kesadarannya setelah 6-7 menit, tetapi jika kemudian diberi
udara segar akan sembuh kembali setelah 4–6 menit. Tetapi jika pemajanan NO
pada kadar tersebut berlangsung selama 12 menit, pengaruhnya tidak dapat
dihilangkan kembali, dan semua tikus yang diuji akan mati.
NO2 bersifat racun terutama terhadap paru. Kadar NO 2 yang lebih tinggi
dari 100 ppm dapat mematikan sebagian besar binatang percobaan dan 90% dari
kematian tersebut disebabkan oleh gejala pembengkakan paru (edema pulmonari).
Kadar NO2 sebesar 800 ppm akan mengakibatkan 100% kematian pada binatang-
binatang yang diuji dalam waktu 29 menit atau kurang. Pemajanan NO 2 dengan
kadar 5 ppm selama 10 menit terhadap manusia mengakibatkan kesulitan dalam
bernafas.

II.7. Pengaruh NH3 (Amoniak) terhadap Kesehatan


Amonia memiliki karakteristik tidak berwarna namun memiliki bau yang
menyengat, bersifat korosif dan sangat toksik bahkan dalam konsentrasi rendah.
Gas amonia dapat tercium pada kadar 0,003 ppm. Toksisitas kronis amonia pada
kadar >35 ppm dapat menyebabkan kerusakan ginjal, kerusakan paru-paru,
mereduksi pertumbuhan dan malfungsi otak serta penurunan nilai darah. Keracunan
NH3 melalui inhalasi menyebabkan iritasi saluran napas bagian atas disertai
batuk, sesak, jalan pernafasan terasa panas dan kering. Tanda klinis yang lebih
parah yakni penyempitan dan pembengkakan tenggorokan, menyebabkan
terjadinya penyumbatan saluran nafas bagian atas dan penumpukan cairan di
paru, yang dapat menyebabkan kadar oksigen dalam darah rendah. Jika kadarnya
tinggi dapat menyebabkan kerusakan paru bahkan kematian.
Kadar amonia yang tinggi atau diatas 50 ppm dapat mengakibatkan iritasi
pada mata dan hidung, iritasi tenggorokan, batuk, nyeri dada hingga sesak nafas.
(EPA, 2016). Efek merugikan yang paling penting dari paparan berlebihan amonia
pada manusia disebabkan oleh sifat iritasi dan korosifnya. Paparan gas amonia
menyebabkan luka bakar pada saluran pernapasan, kulit, dan mata. Amonia larut
dalam cairan yang ada di dalam kulit, selaput lendir, dan mata (ATSDR, 2004).
Kadar NH3 yang berpengaruh terhadap gangguan kesehatan adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Kadar NH3 terhadap gangguan Kesehatan (Sumber : Lubis, 2018)

II.8. Pengaruh SO2 (Sulfur dioksida) terhadap Kesehatan


Pencemaran SOx menimbulkan dampak terhadap manusia dan hewan,
kerusakan pada tanaman terjadi pada kadasr sebesar 0,5 ppm. Pengaruh utama
polutan Sox terhadap manusia adalah iritasi sistim pernafasan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau
lebih bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2
ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap
orang tua dan penderita yang mengalami penyakit khronis pada sistem pernafasan
kadiovaskular. Individu dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap
kontak dengan SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah. Kadar SO 2 yang
berpengaruh terhadap gangguan kesehatan adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Kadar SO2 terhadap gangguan Kesehatan (Sumber : Depkes RI, 2014)

II.9. Pengaruh H2S (Hidrogen sulfida) terhadap Kesehatan


Gas hidrogen sulfida merupakan gas yang tidak berwarna, sangat beracun, mudah
terbakar, dan memilki karakteristik bau telur busuk. Gas ini dapat menyebabkan
dampak yang buruk bagi kesehatan apabila manusia terus menerus menghirup gas
H2S seperti dalam jangka waktu lama sapat menyebabkan efek permanen pada
gangguan saluran pernapasan, sakit kepala, dan batuk kronis. Secara spesifik
hidrogen sulfida tidak memiliki efek kesehatan jika terkena konsentrasi lingkungan
khas hidrogen sulfida. Efek pernapasan dan neurologis jika Anda terkena
konsentrasi hidrogen sulfida yang lebih tinggi, setidaknya 100 kali lebih tinggi dari
tingkat lingkungan biasa. Efeknya dapat mencakup: iritasi mata, iritasi hidung,
iritasi tenggorokan, kesulitan bernafas pada penderita asma, sakit kepala, memori
buruk, kelelahan, dan masalah keseimbangan. Kadar H2S yang berpengaruh
terhadap gangguan kesehatan adalah sebagai berikut :
Tabel 6. Tingkat konsentrasi H2S dan efek fisik gas H2S (Sumber : American
National Standards Institute (ANSI Standard No. Z37.2-1972)
Tingkat H2S (ppm) Efek pada Manusia
0.13 Bau minimal yang masih terasa
4.6 Mudah dideteksi, bau yang sedang
10 Permulaan iritasi mata
27 Bau yang tidak enak dan tidak dapat ditoleran lagi
100 Batuk, iritasi mata, dan kehilangan rasa penciuman
setelah 2 sampai 5 menit
200-300 Ditandai dengan konjunktivitas (pembengkakan mata)
dan iritasi system pernafasan setelah 1 jam kontaminasi
500-700 Kehilang kesadaran cessasi (berhenti sejenak) system
respirasi dan kematian
1000-2000 Ketidaksadaran seketika, dengan cessasi awal
pernafasan dan kematian dalam beberapa menit.
Kematian dapat terjadi meskipun korban dibawa ke
udara terbuka
Batas kontaminasi H2S adalah nilai ambang batas yang dimaksudkan sebagai
pedoman standar paparan H2S untuk dapat bekerja dengan selamat.
1. Menurut ACGIH , TLV-TWA / Threshold Limit Value-Time Weighted
Average : didefinisikan sebagai jumlah / konsentrasi rata-rata gas dalam
ppm yang diperkenankan untuk pemaparan selama 8 jam sehari atau 40 jam
seminggu.
TLV – TWA H2S : 10 ppm
2. TLV – STEL (Treshold Limit Value – Short Term Exposure Limit ) adalah
jumlah rata-rata gas dalam ppm yang dapat diterima seseorang dalam waktu
15 menit tanpa suatu efek kesehatan jangka panjang.
TLV – STEL H2S : 15 PPM

III. PENGUKURAN KUALITAS UDARA TEMPAT KERJA


Pencemaran udara dalam ruang, meski tidak secara langsung berhubungan
dengan emisi global, namun sangat krusial untuk menentukan paparan penghuni
ruangan. Di daerah urban masalah pencemaran udara dalam ruang banyak dibahas
mengingat mayoritas masyarakat menghabiskan lebih banyak waktunya didalam
ruang kerja di perkantoran maupun industri (Kusnoputranto, 2000 dalam Sahri dan
Hutapea, 2019). The National Institute of Occupational Safety and Health
menyebutkan terdapat 5 sumber yang menjadi pencemar didalam ruangan yaitu :
Pencemaran yang berasal dari dalam gedung perkantoran antara lain asap rokok,
pestisida, bahan desain interior dan bahan pembersih ruangan, pencemaran di luar
gedung meliputi masuknya polutan dari luar gedung seperti emisi kendaran
bermotor, emisi industry, pencemaran udara akibat bahan bangunan, sebagai contoh
pencemaran formaldehid, asbes, lem, fiberglass dan lain-lain yang merupakan
komponen penyusun gedung, pencemaran udara akibat mikroba dapat berupa
protozoa, jamur, bakteri dan jenis mikroba lainnya yang biasa ditemukan di saluran
udara maupun system alat pendingin, dan pencemar lain seperti debu, gas, asap,
dan uap. Ada pula yang berasal dari tepung sari atau debu-debu yang berasal dari
hewan atau tumbuhan.
Kualitas udara dalam ruangan (Indoor Air Quality) merupakan masalah yang
perlu mendapat perhatian karena akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia.
Menurut National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) (1997)
penyebab timbulnya masalah kualitas udara di dalam ruangan pada umumnya
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kurangnya ventilasi udara (52%), adanya
sumber kontaminan di dalam ruangan (16%), kontaminan dari luar ruangan (10%),
mikroba (5%), bahan material bangunan (4%) dan lain- lain (3%). Kontaminan
kimia yang ada di dalam gedung dapat berupa gas, uap dan partikel. Keberadaan
kontimanan dapat berasal dari luar gedung atau dari aktifitas didalam gedung.
Polutan kimia yang sering dideteksi didalam ruangan antara lain :
1. Carbon dioksida (CO2) yang merupakan produk metabolic dari pernafasan
manusia dan sering dijadikan sebagai indikator umum polusi udara dalam
ruang dan juga untuk memperkirakan jumlah penghuni didalam ruang.
2. Carbon Monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), silfur dioksida (SO2).
Merupakan zat anorganik yang dibentuk dari proses pembakaran bahan
bakar. Selain itu juga ada ozone (O3) yang merupakan gas yang terbentuk
dari reaksi fotokimia dengan polutan diudara atmosfer atau polutan dari
dalam gedung.
3. Volatile organic compound (VOC) Berdasarkan (Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 48, 2016) tentang standar K3 perkantoran menjelaskan
bahwa kualitas lingkungan kerja perkantoran wajib memenuhi syarat
kesehatan yang meliputi persyaratan fisika, kimia, dan biologi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahaya fisik meliputi,
intensitas pencahayaan, temperatur, tingkat kebisingan, laju pergerakan
udara, kelembaban udara, Electromagnetic Field (EMF), dan Ultra Violet
(UV) di ruangan perkantoran. Bahaya kimia baik dalam bentuk padat, gas
maupun cair di udara ruangan perkantoran. Bahaya biologi antara lain
mikroorganisme (bakteri dan jamur) dalam udara di ruangan perkantoran.
Kualitas udara dalam ruang yang tidak memenuhi standard dapat memicu
terjadinya sick building syndrome. Sick building syndrome ditunjukkan dengan
gejala-gejala yang tidak terlalu jelas secara medis. Umumnya penderita sick
building syndrome adalah para pekerja reguler di gedung-gedung perkantoran.
Gejala yang dialami umumnya pusing, mual, rasa tidak nyaman pada mata, hidung
maupun tenggorokan yang bersamaan dengan batuk kering. Gejala yang nampak
pada kulit biasanya berupa kulit kering dan gatal- gatal. Gejala lain yang sering
dirasakan antara lain cepat merasa lelah, sensitif pada bau kurang sedap serta susah
berkonsentrasi.
Dalam proses pembangunan, peranan zat kimia sangat besar karena mutlak
diperlukan demi kelangsungan proses kegiatan, demi kesejahteraan, kemajuan dan
kemakmuran bangsa. Akan tetapi dilain pihak zat kimia tersebut dapat
menimbulkan akibat-akibat negatif yang tidak diinginkan seperti gangguan
keselamatan, kesehatan dan kenyamanan kerja serta mengakibatkan pencemaran
lingkungan maupun kerusakan peralatan kerja. Kegiatan yang menggunakan dan
memproduksi zat kimia, mengeluarkan buangan berupa zat kimia dapat
menyebabkan pencemaran udara di tempat keja dan bias berbahaya bagi tenaga
kerja. Untuk mengantisipasi efek negatif dari zat kimia yang kemungkinan terjadi
di tempat kerja, maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan
terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Salah satu upaya pencegahan
tersebut adalah menetapkan Nilai Ambang Batas zat kimia di udara tempat kerja
menjadi SNI, sehingga para pengusaha dapat mengendalikan lingkungan kerja
perusahaannya dengan mengacu pada SNI ini. Standar ini memuat daftar nama zat
kimia, nomor CAS, Nilai Ambang Batas, dan Nilai Ambang Batas campuran. Nilai
Ambang Batas campuran digunakan apabila dalam udara tempat kerja didapatkan
lebih dari 1 (satu) macam zat kimia. Satuan Nilai Ambang Batas zat kimia di udara
tempat kerja dinyatakan dalam miligram per meter kubik udara dan bagian dalam
sejuta (bds = ppm) (SNI 19-0232-2005). Adapun Nilai Ambang Batas zat kimia di
lingkungan kerja terlampir pada lampiran 2.
IV. SIMPULAN
Pencemaran udara dibagi menjadi dua yaitu pencemaran udara ambien dan
pencemaran udara di lingkungan kerja. Kualitas udara ambien dan lingkungan kerja
harus dijaga agar konsetrasi pencemar tidak melebihi dari baku mutu udara ambien
maupun nilai ambang batas zat kimia di udara lingkungan kerja.

V. DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah, F. (2018). Analisis Konsentrasi Udara Ambien CO di Jalan Alternatif
Car Free Day Kota Makassar Menggunakan Program CALINE4. Jurnal Teknik
Lingkungan, 17.
2. Airgas. Material Safety Data Sheet Nitrogen Dioxide MSDS. Available from:
URL : https://www.airgas.com/msds/001041.pdf
3. Akdemir, Andac. 2014. The Creation of Pollution Mapping and Measurement of
Ambien Concentration of Sulfur Dioxide and Nitrogen Dioxide with Passive
Sampler. Journal of Environmental Health Science and Engineering Vol. 1, No.
2, Hal: 111
4. ANSI. 1972. Acceptable Concentration of Hydrogen Sulfide. ANSI 237.2.1972.
Diakses dari https://stacks.cdc.gov/view/cdc/19388/cdc_19388_DS1.pdf (10 (10
Maret 2022)
5. ATSDR. 2004. Ammonia (NH3) CAS#7664-41-7; UN 2672; UN 2073; UN
1005. Atlanta, GA: U.S. Department of Public Health and Human Services,
Public Health Service. Diakses dari www.atsdr.cdc.gov/MHMI/mmg126.pdf [9
februari 2018]
6. BBTKL dan PPM. 2009. Situasii Kecenderungan Parameter Pencemar
Lingkungan dan Risiko Gangguan Kesehatan di Kota Surabaya Tahun 2006–
2008. Laporan. Surabaya
7. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Emisi Gas Buang Sumber Tidak
Bergerak–Bagian 7: cara Uji Kadar Hidrogen Sulfida (H2S) dengan Metode
Biru Metiden dengan Menggunakan Spektrofotometer. SNI 19.7119.7-
2005.Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
8. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Udara Ambien-Bagian 1: Cara Uji
Kadar Amoniak (NH3) dengan Metode Indofenol menggunakan
Spektrofotometer. SNI 19.7119.1-2005. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
9. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Udara Ambien-Bagian 2: Cara Uji
Kadar Nitrogen Dioksida (NO2) dengan Metode Griess-Saltzman menggunakan
Spektrofotometer. SNI 19.7119.2-2005. Jakarta:Badan Standardisasi Nasional.
10. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Udara Ambien-Bagian 7: Cara Uji
Kadar Sulfur Dioksida (SO2) dengan Metode Pararosanilin menggunakan
Spektrofotometer. SNI 19.7119.7-2005.Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
11. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. Metode Pengujian Kandungan Gas
CO di Udara dengan Menggunakan NDIR (Non Dispersive Infra Red). SNI 19-
4845-1998. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
12. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia
di udara tempat kerja. SNI 19-0232-2005. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
13. Depkes, R. I. (2014). Parameter Pencemar Udara dan Dampaknya Terhadap
Kesehatan. Diakses dari www. depkes. go. id/downloads/Udara.
14. EPA. 2016. Toxicological Profile For Hydrogen Sulfide And Carbonyl Sulfide.
Atlanta, GA : U.S. Department of Public Health and Human Services, Public
Health Service. Diakses dari https://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp114.pdf
[11 Februari 2018]
15. Fahmi, Haikal M. 2019. Analisis Kualitas Udara Ambien Di Kota Lhokseumawe.
Aceh : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
16. Febrina, R. (2013). Analisis Kualitas Udara Ambien Di Kawasan Industri Bandar
Lampung. Program Keahlian Analisis Kimia Program Diploma, Institut
Pertanian Bogor.
17. Kementerian Kesehatan RI. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1407/MENKES/ SK/XI/2002 tentang Pedoman Pengendalian
Dampak Pencemaran Udara.
18. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 51/Men/1999 tentang Nilai Ambang
Batas Faktor Kimia di Tempat Kerja.
19. Lubis, N. (2018). Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan Paparan Gas Amonia
(NH3) terhadap Gangguan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) disekitar
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Terjun Kecamatan Medan Marelan Kota
Medan Tahun 2018.
20. Masito, A. (2018). Analisis Risiko Kualitas Udara Ambien (NO2 Dan SO2) dan
Gangguan Pernapasan pada Masyarakat di Wilayah Kalianak Surabaya. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, 10(4), 394-401.
21. National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH), 1997. Indoor
Environmental Quality. http://www.cdc.gov/niosh/topics/indoo renv/. Diakses
tanggal 18 Agustus 2012.
22. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara, no. 41. 1999, pp. 1–34.
23. Sahri, M., & Hutapea, O. (2019). Penilaian Kualitas Udara Ruang pada Gedung
Perkantoran di Kota Surabaya. Journal of Industrial Hygiene and Occupational
Health, 4(1), 1-12.
24. Sugiarti. 2009. Gas Pencemar dan Pengaruhnya Bagi Kesehatan Manusia.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar.
Jurnal Chemical. 10(1).
25. Wijayanti, D., N. (2012). Gambaran dan Analisis Risiko Nitrogen Dioksida
(NO2) Per-Kota/ Kabupaten dan Provinsi di Indonesia (Hasil Pemantauan
Kualitas Udara Ambien dengan Metode Pasif di Pusarpedal Tahun 2011).
Skripsi. Universitas Indonesia. Diakses dari: http://lib.ui.ac.id (Disitasi tanggal 4
Juni 2017).
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2

Anda mungkin juga menyukai