Anda di halaman 1dari 12

Mulia Ramdhan Fauzani

20/468013/PMU/10619

Peran Aktor Pembangunan melalui ICT dalam


Mengatasi Lesunya Agrarian Supply Chains
Dikumpulkan sebagai Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Teori Komunikasi Pembangunan
Dosen Pengampu:
Alia Bihrajihant Raya, SP.,M.Sc.,Ph.D.
1. Pengantar dan Konsep

a. Pengantar
Pandemi Covid-19 mengganggu supply chain di banyak negara, berimbas pada
ketidakstabilan ekonomi. Disrupsi ekonomi yang disebabkan pandemi kali ini bahkan
kerap dibandingkan dengan fase Great Depression pada periode 30-an, di mana
COVID-19 mendisrupsi perekonomian di lebih dari 170 negara. Sebelumya
perekonomian global memang digoncang oleh beberapa pandemi, seperti influenza,
ebola, flu burung, spanish flu, SARS, dan MERS. Namun, fatalitas COVID-19
mencapai tingkat yang belum pernah terjadi dalam peradaban modern. Per artikel ini
ditulis, infeksi pandemi ini mencapai X kasus. Banyak ahli telah menjuluki peristiwa
pandemi ini sebbagai bencana besar, yang secara gamblang telah memberikan
dampak negatif bagi perekonomian.
Banyak negara berkembang menggantungkan perekonomiannya pada sektor
pertanian, yang aspek vitalnya, yakni Agricultural Supply Chains(ASCs), mengalami
kelumpuhan akibat penanganan pandemi (Sharma, Shishodia, & Kamble, 2020;
Komarek, De Pinto, & Smith, 2020). Lamanya proses yang dibutuhkan untuk
menghasilkan vaksin memaksa pemerintah banyak negara untuk menerapkan
penanganan non-farmasi. Penanggulangan pandemi kemudian dijalankan melalui
social distancing yang berbagai rupa, dari penutupan sementara leisure bussiness,
pembatasan mobilitas antar-wilayah, hingga full lockdown. Menurut laporan Food and
Agriculture Organization (FAO 2020) penanganan non-farmasi tersebut berdampak
pada dua aktivitas utama ASCs, yang tak lain adalah demand dan supply bahan
makanan. Persis dikarenakan keterbatasan tersebutlah, ketahanan pangan kemudian
terancam.
COVID-19 telah menghambat impor dan ekspor hasil pertanian. Hasil tani
yang menyumbang pasokan pangan pokok dunia terdampak secara signifikan.
Pelabuhan di banyak negara dipenuhi kontainer berisi hasil tani akibat pembatasan
perdagangan antar-negara. Akibatnya, banyak pengiriman berpindah-haluan ke
pelabuhan-pelabuhan kecil, sehingga berimplikasi pada revenue loss (Hey, 2020).
Walaupun organisasi pemasok (supply chain organization) sudah berpengalaman dan
memiliki teknologi canggih, pandemi COVID-19 sangat menyulitkan mereka karena
krisis sebelumnya tak sebesar kali ini.
Pada paper ini, hendak didiskusikan bagaiamana terhambatnya supply chain
dalam pertanian dapat diperlancar kembali melalui implementasi peran aktor
komunikasi pembangunan melalui ICT.

b. Metode
Masalah yang diajukan dalam paper ini akan didekati secara kualititaif. Data
yang diperlukan adalah data-data sekunder, di antaranya artikel ilmiah dan buku yang
relevan dan memiliki kebaruan agar representasi terhadap kondisi empiris tak meleset
terlalu jauh. Analisis terhadap catatan empiris kemudian akan dibahas dengan konsep
dan teori yang relevan. Pada bagian akhir penulis akan mengajukan saran berdasarkan
simpulan yang didapatkan.

c. Konsep
i. Agricultural Supply Chains (ASCs)
ASCs merupakan seperangkat aktivitas yang berlangsung “dari ladang hingga
meja makan”, termasuk di dalamnya bertani, pengolahan, pengujian, pengemasan,
penyimpanan, pengiriman, pendistribusian, hingga pemasaran komoditas agrikultur
(Tsolakis dkk, 2014). Secara sistematis ASCs merupakan aktivitas yang melingkupi
manajemen penawaran, manajemen produksi dan pengolahan, dan manajemen
permintaan, di mana ketiganya bekerja sesuai dengan mekanisme pasar demi
kepuasan konsumen (Chandrasekaran & Raghuram, 2014). Sharma dkk. (2020)
mencacah aktivitas ASCs menjadi enam rangkai, yang satu samanya lain terjadi
secara runut. Keenamnya adalah Peng-input-an material bertani dan agrikultur
(farming and agriculture input), produksi dan bercocok-tanam (production and
harvest), penyimpanan (storage), pengolahan (processing), pengemasan (packaging),
dan distribusi & pemasaran (distribution & retail). Untuk lebih lengkapnya, Sharma
dkk, membuat sebuah model dari tahapan ASCs ( lihat bagan 1).
Karena kompleksitas operasionalnya, ASCs dapat terdisrupsi oleh hambatan-
hambatan tertentu, suatu potensi resiko yang perlu dipahami dalam rangka
mengantisipasinya seperti pada konteks COVID-19 saat ini. Pembatasan perdagangan
(restricted trade barrier) dan penutupan sementara akses ekspor memapar pasar
global hasil tani dan pasar kredit. Tingkat pertukaran uang juga menurun akibat dari
lesunya perekonomian, sehingga meningkatkan harga komoditas, terutama di negara
berkembang yang sektor agrikulturnya bercorak padat-modal. Persis karena minimnya
akses terhadap modal dan ketidakpastian akannya itulah, proses ASCs terancam dari
awal mulanya.

Bagan 1 model proses ASCs. Sumber: Sharma, Shishodia, & Kamble, 2020

Untuk menghasilkan usulan bagi pemulihan ekonomi pertanian, khususnya


ASCs, terlebih dahulu diperlukan identifikasi sumber permasalahan yang tepat. Dari
berbagai temuan penelitian, sumber permasalahan tersebut akan berdampak pada
proses ASCs di atas, yang meliputi farming and agri inputs, production and harvest,
storage, processing, packaging, dan distribution and retail. Sumber permasalahan
tersebut dikelompokan oleh Sharma dkk. (2020) ke dalam beberapa dimensi.
Dari dimensi penawaran (supply side), kualitas pemasok yang rendah,
payment default oleh pemasok terhadap penyedia jasa lain (transportasi, etc),
buruknya performa penyedia jasa logistik, kelangkaan material produksi akan
berdampak pada proses farming and agri inputs, production and harvest, storage,
packaging, hingga distribution (Meyer-Aurich & Karatay, 2019).
Dari dimensi permintaan (demand-side), kekurangan informasi tentang
permintaan pasar dan pembatasan transportasi merupakan resiko bagi fase ,
production and harvest, storage, dan distribution and retail (de Janvry & Sadoulet,
2020). Pada dimensi logistik dan infrastruktur agrikultur, terbatasnya fasilitas fisik
dan lembaga pelayanan bisa jadi sumber terganggunya fase production dan storage
(Lemaire and Limbourg, 2019).
Dari dimensi kebijakan dan peraturan, permasalahan seperti ketidakpastian
kebijakan perdagangan dan pemasaran, beserta penegakkannya, bisa berimplikasi
pada tahap farming and agri inputs (Yazdani, Gonzalez, and Chatterjee, 2019). Pada
dimensi finansial, ketidakpastian, kekurangan, dan ketidakpastian akses terhadap
bantuan kredit akan berimplikasi pada fase farming and agri inputs, processing, dan
storage (Makate et al., 2019).
Dari dimensi manajerial dan operasional, buruknya pengambilan keputusan,
perencanaan, metode penggunaan material produksi yang outdated berisiko pada
proses farming and agri inputs, harvesting, production, storage, packaging,
distribution, hingga retail (Xu & Long, 2020) Terakhir, dari dimensi politik, sebuah
krisis, perbatasan perdagangan, dan perundangan yang keliru akan memengerahui
farming and agri inputs, storage, distribution (Komarek, De Pinto, and Smith, 2020).

ii. Aktor Komunikasi Pembangunan


Definisi “aktor komunikasi pembangunan” bergantung pada paradigma yang
bekerja pada kerangka pikir seseorang. Dalam kajian komunikasi pembangunan, tiap
tradisi yang ada mengartikannya secara relatif berbeda. Secara terminologi, aktor
merupakan sebuah peran yang terlibat aktif dalam menarasikan sebuah plot.
Sedangkan itu, untuk kajian pembangunan arti aktor adalah individu yang aktif
terlibat dalam sebuah agenda sosial. Terkait dengan perbedaan pandangan masing-
masing tradisi atas definisi aktor, perdebatannya terletak pada siapa yang pada
dasarnya dan semestinya terlibat aktif dalam agenda komunikasi pembangunan,
sehingga ia sah disebut sebagai aktor.
Paradigma pertama dan yang memprakarsai komunikasi pembangunan sebagai
sebuah disiplin adalah positvisme, sebuah kerangka pikir yang menyerahkan titel
aktor dalam pembangunan kepada pihak yang tercerahkan (enlightened). Di antara
ilmuwan yang terdepan menggagas dan mempopulerkan ide ini adalah Ludwig Von
Mises, Friedrich Hayek, Milton Freedman, Wilbur Schraam, hingga Everett Rogers.
Paradigma ini memandang bahwa kualitas manusia dapat diukur, sehingga dalam
kaitannya dengan pembangunan, pihak yang dijadikan aktor adalah
individu/kelompok yang dinilai secara objektif unggul. Bersamaan dengan itu, teori
modernisasi dan pertumbuhan ekonomi (Servaes, 2012) tumbuh bersama dan saling
menguatkan positivisme. Berkaitan dengan kualitas objektif manusia versi
positivisme, teori modernisasi memandang bahwa masyarakat yang berkualitas adalah
masyarakat enlightened di era modern. Sama halnya dengan positivisme, teori ini
menilai bahwa kualitas tersebut dapat diukur secara objektif, yakni melalui empat
kriteria: kultural, teknokrasi, politik, dan ekonomi. Implikasinya pada penyerahan
peran aktor, individu/kelompok yang bergerak sebagai aktor komunikasi
pembangunan adalah mereka yang maju. Sementara itu, individu/kelompok/negara
yang terbelakang/masih berkembang ditempatkan bukan sebagai aktor, melainkan
sebagai penerima manfaat (beneficiary). Melalui bangunan asumsi tersebut, aktor
komunikasi pembangunan adalah para terpelajar, pengambil kebijakan, dan pebisnis.
Pendekatan posmodernisme memandang aktor secara kontras dari pandangan
positivisme, yakni semua pihak yang berkenaan langsung dengan sebuah
pembangunan merupakan aktor. Berkembang sejak penghujung periode 80-an,
ilmuwan mempraktikan semangat postmodernis berupa penghargaan terhadap
lokalitas dan multiplisitas. Pada implementasi program pembangunan atau penelitian,
pendekatan ini mengintegrasikan masyarakat desa dalam sebuah pembangunan pada
derajat partisipasi tertentu, sehingga warga bersangkutan juga merupakan aktor. Di
samping memberikan ruang partisipasi bagi warga, pihak lain yang berkepentingan
(stakeholder) juga ditampung dalam sebuah skema koordinasi antar-aktor, di
antaranya adalah enterprise, researcher, institution agent, dan government. Model
pentahelix dapat menggambarkan relasi antar-aktor tersebut, menunjukkan semangat
multiplisitas khas postmodernisme.
Quebral (2012) mengajukan istilah lain untuk aktor pembangunan, yakni
komunikator pembangunan. Peran tersebut tidak melekat pada otoritas, melainkan
pada fungsinya dalam memanfaatkan media komunikasi untuk pembangunan.
Seorang komunikator perlu memahami proses sebuah pembangunan dan komunikasi
serta lingkungan (konteks), di mana keduanya berkelindan. Keahliannya juga tak
terbatas pada kemampuan komunikasi dan penguasaan teknologi media yang
digunakan, namun juga memahami betul subjek dan topik yang hendak
dikomunikasikan. Selanjutnya, ia perlu menjunjung nilai keadilan dan menghargai
potensi individu untuk berkembang. Terakhir, seorang komunikator harus memahami
pengalaman penerima manfaat utama melalui pertemuan langsung.
Pentahelix adalah model pengembangan sosial-ekonomi yang mendorong
ekonomi berbasis pengetahuan untuk mengejar inovasi dan kewirausahaan melalui
kolaborasi dan kemitraan yang menguntungkan antara akademisi, pemerintah,
industri, LSM dan wirausahawan. Model Pentahelix aalah pengembangan model
Triplehelix yaitu jaringan trilateral akademisi, pengusaha, dan pemerintah yang
mengambil keuntungan dari proyek penelitan inovatif sehingga dapat dikomersialkan
(Maturbongs & Lekatompessy, 2020). Model pentahelix menambahkan LSM,
masyarakat, dan wirausahawan sebagai aktor dalam proses pembangunan masyarakat.
Semua aktor dalam model pentahelix berperan dalam mempromosikan tujuan
bersama untuk pertumbuhan dan berkontribusi pada kemajuan sosial-ekonomi
masyakarat. Inovasi terbaik dapat dicapai ketika key-actor memiliki kolaborasi dan
kemitraan yang kuat. Masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan memiliki
kedudukan dan peran penting dalam mendukung keberhasilan pembangunan
pariwisata. Mulai dari kerangka perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan
pembangunan kepariwisataan, dan untuk mendukung keberhasilan pembangunan
kepariwisataan, maka setiap upaya atau program pembangunan yang dilaksanakan
harus memperhatikan posisi, potensi, dan peran masyarakat sebagai subjek atau
pelaku pembangunan. Menurut Chamber (Fitriani et al., 2017) Paradigma baru dalam
pembangunan bersifat: people centered, participatory, empowering, and sustainable.
Pengembangan paradigma ini dimaksudkan agar dapat mengatasi permasalahan sosial
ekonomi yang pada akhirnya mengarah pada pencegahan bertambahnya angka
kemiskinan.
iii. ICT
ICT juga berperan dalam memperantarakan sebuah inovasi, dalam sebuah
agenda pembangunan. Peran yang dapat dijalankan oleh ICT terutama adalah sebagai
perantara sekaligus sebagai yang menguatkan medium perantara, seperti halnya
organisasi. Dalam mengartikulasikan kebutuhan petani (demand-articulation) ICT
dapat memfasilitasi interaksi antara stakeholder dari pihak permintaan (demand) dan
penawaran (supply), dengan bentuk platform virtual, untuk mempertemukan petani
dalam membagikan sudut pandang, pengalaman dan pengetahuan yang relevan,
untuk mengetahui betul kebutuhan dan hambatan di lapangan.
Berkaitan dengan manajemen proses inovasi, diharapkan ICT dapat
memfasilitasi interaksi berkelanjutan, pembelajaran dan kerjasama dalam mendukung
pengentasan masalah dan mengkreasikan inovasi secara bersama. Selain itu, melalui
ICT suatu networking gaya baru dapat mendukung model alternatif dalam kordinasi
dan menjalankan pembangunan dan pertanian. Ciselik dkk (2017) berpendapat bahwa
ICT dapat mendorong suatu bentuk baru pengorganisasian masyarakat dalam rangka
merespon problem kontemporer, terutama krisis lingkungan yang membutuhkan aksi
kolektif. Bennet dan Segeberg memperkenalkan istilah connective action untuk
merujuk pada sebuah bentuk beru pengorganisasian masyarakat, yang pada kasus ini
akan diusahakan melalui ICT/digital extension. Karakter dari bentuk baru
pengorganisasian tersebut diharapkan berupa yang informal dan inklusif, dan setiap
gerakannya didorong oleh kesadaran dan motivasi individu untuk terlibat dengan
individu lainnya dalam mencapai perubahan.
Gerakan-gerakan tersebut di dalamnya mengartikulasikan beberapa hal,
diantaranya agenda, sudut-pandang, pertukaran informasi, seperti memes, gambar, dan
usulan untuk bertindak, yang terutama dimungkinkan oleh penggunaan media sosial
seperti Twitter dan Facebook. Media-media tersebut dapat menyediakan kesempatan
bagi terhubungnya yang lebih personal, yang kemudian mobilisasi antar-orang terjadi
melalui jejaring pribadi terkait. Bennet dan Segeberg mendeskripsikan connective
action sebagai sebuah pengorganisasian yang bentuknya lebih luwes dan sifatnya self
organized. Organisasi ini bertentangan dengan bentuk organisasi yang konservatif,
biasanya terdapat pada manajemen organisasi formal yang sangat mementingkan
koordinasi tertulis. Pada tulisan ini akan didiskusikan bagaimana connective action
dapat menjadi katalis penyebaran inovasi.
Menurut Quebral (2012) ada beberapa fungsi yang dimiliki media komunikasi,
khususnya pada negara-negara berkembang. Pertama, media komunikasi dapat
mensirkulasikan pengetahuan yang menjadi sumber pengetahuan warga tentang suatu
kondisi, peluang, ancaman dan dinamika yang terjadi pada kelompok mereka. Kedua,
media komunikasi mampu menyediakan forum untuk mendiskusikan permasalahan
lingkup makro maupun mikro. Ketiga, media komunikasi dapat menjadi media
pembelajaran bagi warga untuk menumbuhkan ide, kemampuan, dan nilai-nilai yang
dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan. Keeempat, media komunikasi dapat
memberikan sarana bagi warga untuk memapankan konsensus yang berkaitan dengan
stabilitas kondisi hidup mereka.
2. Diskusi

Keterbatasan logistik dan infrastruktur menyebabkan kelumpuhan penyuluhan


fisik, kondisi yang membutuhkan respon tepat agar biaya operasional tani tetap
terkendali. Salah satu strategi yang cocok adalah dengan pengaplikasian ICT dan
penyajian ASCs secara virtual melalui internet of things (IoT). Penyocokan kondisi
objektif di dunia nyata dengan dunia digital adalah komponen kunci dari virtualisasi.
Kelangkaan pasokan akibat dari lockdown dapat diselesaikan dengan merestrukturasi
sistem internal, menggunakan prinsip keselamatan kerja dan pengukuran kondisi
kesehatan bagi keamanan kualitas pekerja dan produk (Ragasa & Lambrecht, 2020).
Langkah-langkah esensial untuk mencapainya meliputi mekanisme pemisahan pekerja
berdasarkan pencitraan suhu badan, penggunaan masker dan sarung tangan selama
penanganan atau pengolahan, mengurangi pekerja yang memiliki sedikit keahlian.
Dikarenakan para petani khawatir akan animo pasar yang rendah di tengah
pandemi, sehingga mereka memutuskan menjual hasil tani pada harga murah,
diperlukan adopsi platform penyedia big-data dan analisisnya. Platform ini
diharapkan, karena karakternya yang real-time, dapat memberikan pengelihatan yang
jelas bagi petani akan kondisi penawaran sebenarnya. Selain itu pula, informasi
tentang kondisi pasar juga dapat melancarkan proses produksi di lahan garapan,
karena sebelum adanya pemahaman jelas dikhawatirkan para petani ragu untuk
menggarap lahannya. Untuk menopang keberlanjutan penggunaan new-ICT selepas
pandemi, diperlukan pula implementasi algoritma machine learning, sehingga sebuah
analisis yang dihasilkan selalu menimbang ulang saran dan usulan perencanaan,
berdasarkan kondisi relevan.
Sebelum strategi taktis tiap-tiap aktor komunikasi pembangunan diperjelas
dalam pengusahaan tersebut, terdapat prinsip dasar yang perlu dijadikan landasan.
Peran para aktor pembangunan di dalam pengusahaan solusi tersebut di atas perlu
dijalankan sesuai kapasitasnya masing-masing. Dalam kaitannya dengan ekonomi
global, karena memang sistem tersebut tak terhindarkan, peran salah satu aktor di
negara barat bisa saja berbeda di negara dunia ketiga. Begitu pula, bisa pula
sebaliknya, yakni terdapat kesamaan fungsi di antara kedua jenis aktor di dua negara
yang kondisi pertaniannya kontras sekalipun. Aguiar dkk (2020) menawarkan sebuah
jalan (pathway) menuju pertanian yang lebih stabil, di mana bisa didapatkan sebuah
prinsip kerja aktor-aktor yang, pada batasan tertentu, berlaku secara global.
Sebelum menemukan tugas taktis pula, perlu pula mengakomodir perspektif
para aktor yang beragam tentang stabilitas ekonomi pertanian pasca pandemi. Aguiar
(2020) berargumen bahwa model tersebut perlu diiringi dengan penetapan target yang
jelas. Para aktor tersebut, sesuai dengan level sosial yang mereka hidupi sehari-hari,
perlu menegosiasikan ide dan gagasan mereka di dalam lingkungan yang dapat
menampung ide tersebut secara efektif.
Aktor-aktor komunikasi pembangunan dalam pembahasan ini diidentifikasi
berdasarkan konsep Penthahelix, yang di antaranya akademisi, pebisnis, komunitas
lokal, pemerintah, dan media. Salah satu peran pemerintah dan pebisnis dalam
pengusahaan ICT untuk problem ASCs di kala pandemi adalah membangun layanan
telepon terpadu dan bentuk ICT lainnya, guna meningkatkan akses petani terhadap
pembimbingan (advisory services). Pembimbingan daring di tengah pandemi tersebut
bekerja secara efektif di konteks masyarakat tertentu, di mana platform sudah
terancang dengan baik dan kapasitas institusional komunitas lokal sudah cukup baik
(Magar, 2020).
Munthali dkk. (2018) membandingkan dua aplikasi intermediasi pertanian di
Ghana berkaitan dengan performanya mendukung ASCs. Aplikasi yang pertama
dikembangkan oleh pemerintah (E-extension) dan yang kedua oleh sebuah perusahaan
(SmartEx). Keduanya merupakan platform new-ICT dan menyediakan media
perantara penyampaian inovasi yang lebih luas cakupannya, dibanding bentuk yang
lebih tradisional. Keduanya juga sama-sama ditujukan untuk membantu dalam
mengartikulasikan kebutuhan petani, mempertemukan demand-supply, dan
manajemen proses inovasi.
Survey terhadap para pengguna kedua aplikasi tersebut menunjukkan, bahwa
keduanya masih memiliki keterbatasan dan potensi sesungguhnya dari platform new-
ICT belum terpenuhi. Ini bukan dikarenakan bahwa kedua aplikasi tersebut tidak
mampu menghubungkan individu dalam pertukaran informasi, tapi karena faktor
sosial, organisasional, dan institusional. Termasuk di dalam faktor tersebut adalah
keterbatasan sumber daya dan ketidaksesuaian pengaturan organisasional
(organizational arrangement), di mana ketersediaan kedua faktor tersebut diyakini
dapat melancarkan penggunaan aplikasi. Faktor institusional penting lainnya adalah
kegagalan model bisnis baru dalam menyaingi, bahkan melengkapi, model
perdagangan dan penyediaan jasa yang lebih tradisional. Singkatnya, pengguna
aplikasi masih lebih mudah beradaptasi dalam interaksi yang konvensional ketika
terlibat dalam komunikasi pembangunan.

Kesimpulan
Di antara peran aktor komunikasi pembangunan dalam rangka memperlancar
proses ASCs melalui pemanfaatan ASCs adalah membangun layanan telepon terpadu
dan bentuk ICT lainnya, guna meningkatkan akses petani terhadap pembimbingan
(advisory) services. Namun, masih terdapat hambatan dalam implementasinya di
banyak konteks masyarakat. Fitur sebuah medium new-ICT masih dirancang tanpa
melihat tujuan dari program penyuluhan, apakah untuk efektivitas atau aspek praktis,
atau bahkan keduanya, dalam menghasilkan saran kepada petani. Hambatan lainnya,
literasi digital para petani sebagai beneficiaries utama memperlambat potensi
maksimal dalam melancarkan kembali ASCs.
Terdapat beberapa saran agar di masa mendatang sebuah krisis dapat
diantisipasi secara lebih baik melalui new-ICT. Pertama, desain dan fitur dari setiap
medium perlu dirancang sesuai dengan heterogenitas demografi para penggunanya.
Kedua, perlunya pembaharuan data tentang informasi pertanian secara lebih real-time
lagi. Ketiga, perlunya komunikasi yang lebih informal, sehingga inovasi dapat lebih
diterima. Keempat, literasi digital, terutama pada para petani, perlu ditingkatkan
melalui berbagai program pelatihan dan pendidikan.

Daftar Pustaka

FAO . 2020. “Food and Agriculture Organization. Q&A: COVID-19 Pandemic - Impact on
Food and Agriculture. http://www.fao.org/2019-ncov/q-and-a/en/.
Hey, J. 2020. “Coronavirus: Measuring the Market Impact.” In Fruitnet [Online]. London.
www.fruitnet.com/asiafruit/article/181021/coronavirus-measuring-the-market-impact.
Tsolakis, N. K. , C. A.Keramydas, A. K.Toka, D. A.Aidonis, and E. T.Iakovou . 2014.
“Agrifood Supply Chain Management: A Comprehensive Hierarchical Decisionmaking
Framework and a Critical Taxonomy.” Biosystems Engineering 120: 47–64.
Chandrasekaran, N. , and G.Raghuram . 2014. Agribusiness Supply Chain Management .
CRC Press. Boca Raton, Florida.
Meyer-Aurich, A. , and Y. N.Karatay . 2019. “Effects of Uncertainty and Farmers’ Risk
Aversion on Optimal N Fertilizer Supply in Wheat Production in Germany.”
Agricultural Systems 173: 130–139.
de Janvry, A. , and E.Sadoulet . 2020. “Using Agriculture for Development: Supply-and
Demand-Side Approaches.” World Development 133: 105003.
Lemaire, A. , and S.Limbourg . 2019. “How can Food Loss and Waste Management Achieve
Sustainable Development Goals?” Journal of Cleaner Production 234: 1221–1234.
Yazdani, M. , E. D.Gonzalez, and P.Chatterjee . 2019. “A Multicriteria Decisionmaking
Framework for Agriculture Supply Chain Risk Management Under a Circular Economy
Context.” Management Decision . doi:10.1108/MD-10-2018-1088.
Makate, C. , M.Makate, M.Mutenje, N.Mango, and S.Siziba . 2019. “Synergistic Impacts of
Agricultural Credit and Extension on Adoption of Climate-Smart Agricultural
Technologies in Southern Africa.” Environmental Development 32: 100458.
Xu, D. , and Y.Long . 2020. “The Role of Supply Chain Integration in the Transformation of
Food Manufacturers: A Case Study From China.” International Journal of Logistics
Research and Applications . doi:10.1080/13675567.2020.1729707.
Komarek, A. M. , A.De Pinto, and V. H.Smith . 2020. “A Review of Types of Risks in
Agriculture: What we Know and What we Need to Know.” Agricultural Systems 178:
102738.
Ivanov, D. 2020a. “Predicting the Impacts of Epidemic Outbreaks on Global Supply Chains:
A Simulation-Based Analysis on the Coronavirus Outbreak (COVID-19/SARS-CoV-2)
Case.” Transportation Research Part E: Logistics and Transportation Review 136:
101922.

Servaes, J. (2020). Handbook of communication for development and social change.


Handbook of Communication for Development and Social Change.
https://doi.org/10.1007/978-981-15-2014-3

Primer, D. C. (n.d.). Nora Cruz Quebral, 1–19.


Munthali, N., Leeuwis, C., van Paassen, A., Lie, R., Asare, R., van Lammeren, R., & Schut,
M. (2018). Innovation intermediation in a digital age: Comparing public and private
new-ICT platforms for agricultural extension in ghana. NJAS - Wageningen Journal of
Life Sciences, 86-87, 64-76. doi:10.1016/j.njas.2018.05.001

Sharma, R., Shishodia, A., Kamble, S., Gunasekaran, A., & Belhadi, A. (2020). Agriculture
supply chain risks and COVID-19: mitigation strategies and implications for the
practitioners. International Journal of Logistics Research and Applications, 0(0), 1–27.
https://doi.org/10.1080/13675567.2020.1830049

Aguiar, A. P. D., Collste, D., Harmáčková, Z. V., Pereira, L., Selomane, O., Galafassi, D., …
Van Der Leeuw, S. (2020). Co-designing global target-seeking scenarios: A cross-scale
participatory process for capturing multiple perspectives on pathways to sustainability.
Global Environmental Change, 65(November).
https://doi.org/10.1016/j.gloenvcha.2020.102198

Fitriani, E., Selinaswati, & Mardiah, D. (2017). Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan
Ekowisata Sungai Pinang (Studi Kasus: Nagari Sungai Pinang Kecamatan Koto IX
Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan SumateraBarat). Socius, 4(2), 83–95.
https://doi.org/10.24036/scs.v4i2.17

Maturbongs, E. E., & Lekatompessy, R. L. (2020). Kolaborasi Pentahelix


dalamPengembangan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kabupaten Merauke.
3(1),55–63.

Anda mungkin juga menyukai