Anda di halaman 1dari 6

METODE MURAJA’AH DALAM MEMBINA HAFALAN AL-QUR’AN DI

PONDOK PESANTREN SALAFIYYAH KABUPATEN SUMEDANG


(Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Hikamussalafiyyah Desa Sukamantri
Kecamatan Tanjung Kerta Kabupaten Sumedang dan Pondok Pesantren
Darul Qur’an Al-Islami Cimalaka Sumedang)

Latar Belakang Masalah


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Metodologi dan Statistik Penelitian

Dosen Pengampu:
1. Prof. Dr. H. Sutaryat Trismansyah
2. Dr. H. Nanang Hanafiah, M.M.Pd.

Oleh:
Nama: H. Nurhalali Deden As’ari
NIM: 41038104200028

Program Doktoral
Universitas Islam Nusantara, Bandung
2020
1. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an diajarkan sejak dini kepada anak. Anak diajari cara membaca,
mempelajari dan menghafal Al-Qur’an yang merupakan perintah dalam ajaran
agama Islam, karena untuk memahami ajaran agama Islam haruslah dipelajari dan
untuk mempelajarinya harus mampu membacanya. Dengan kemampuan membaca
Al-Qur’an, mempelajarinya, memahaminya dan menghafalnya maka akan
mempermudah umat Islam dalam menjalankan ajaran agama yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW. Memiliki hafalan al-Qur’an bagi seorang muslim adalah suatu
keniscayaan, maka menghafalkannya adalah sebuah tuntutan dan kewajiban. Dari
sisi tafsir, al-Qur’an bisa senantiasa terjaga sepanjang masa juga karena ada
keterlibatan manusia di dalamnya. Oleh karena itu, seorang muslim harus
memiliki hafalan al-Qur’an walaupun dengan kuantitas dan kualitas yang berbeda
sesuai dengan batas kemampuannya.

Kitab suci Al-Qur’an bagi umat Islam memiliki peran fungsi serta
kegunaan
yang begitu penting dalam kehidupan sehari-hari salah satunya sebagai sumber
ilmu pengetahuan, sebagai syafaat bagi para pembacanya dan para penghafalnya.
Pendidikan Al-Qur’an seharusnya ditanamkan sejak dini yaitu melalui
pembelajaran tahfidzul qur’an yang meliputi menghafal, mempelajari, dan
mengaplikasikan isi dari al-Qur’an. Dalam proses menghafal al-qur’an,
hendaknya setiap orang memanfaatkan usia-usia yang berharga, sebagaimana
yang dilakukan oleh orang sholeh terdahulu dalam mengajarkan al-Qur’an pada
anak-anaknya, mereka melakukan sejak usia dini, sehingga banyak hafal al-
Qur’an pada usia sebelum aqil baligh, Imam Syafi’i misalnya telah hafal al-
Qur’an usia 10 tahun, begitupun Ibnu Sinna, seorang alim di bidang kedokteran.

Namun realita hari ini, banyak muslim enggan menyentuh al-Qur’an


apalagi menghafalkannya. Dalam artikel Dream.co.id menyatakan bahwa “Meski
mayoritas muslim tapi 58 persennya tidak bisa membaca Al-Quran. Bahkan di
Aceh, lebih 65 persen tidak bisa baca Al-Quran.” Tidak bisa membaca teks Arab,
terlalu banyak halaman, tidak memahami makna, terlalu menyita waktu, dan tidak
mengetahui metode menghafal al-Qur’an yang praktis dan sesuai kemampuan
individu sering diasumsikan sebagai alasan banyak orang enggan menghafalkan
al-Qur’an. Yang lebih mengherankan, banyak remaja muslim tidak bisa membaca
al-Qur’an apalagi menghafalkannya.

Jika seorang muslim saja tidak mau dan tidak mampu serta sulit
meningkatkan kompetensi hafalan al-Qur’annya lantas siapakah yang harus
menjaganya? Bukankah Allah sudah menjanjikan al-Qur’an itu mudah untuk
dihafalkan di dalam dada setiap orang yang beriman? Seperti dalam surat al
qomar ayat 17 yang artinya : “dan sesungguhnya telah kami mudahkan al quran
untuk di pelajari, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS al qomar
ayat 17). adakah yang salah dengan cara menghafalnya atau memang para remaja
muslim sudah tidak peduli? Atau, apakah mungkin generasi muslim hari ini
banyak yang bukan generasi Qur’ani sehingga tidak memiliki kemampuan
menguasai kitab sucinya sendiri? Oleh karena itu, penulis berasumsi kita butuh
solusi untuk mengembalikan kejayaan intelektual kita, dan itu bisa dimulai dari
kemampuan menghafal terutama menghafalkan al-Qur’an yang kita muliakan,
karena apapun alasannya seorang muslim adalah seorang penghafal. Berbicara
solusi problematika menghafal al-Qur’an ini, penulis melihat ada teori yang
penulis tawarkan yaitu bahwa pemilihan metode yang harus digunakan dalam
menghafal al-Qur’an.

Mengingat sejarah terdahulu, pengajaran Al-Qur’an sudah ada


sejak dari awalnya munculnya surau, pesantren, hingga madrasah. Sejauh
ini, Indonesia memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap masalah pendidikan
Tahfizhul Qur’an. Tidak sedikit pula lembaga pendidikan formal yang
berkembang dan berperan dalam mencetak generasi bangsa yang cinta akan Al-
Qur’an. Selain pendidikan formal, banyak juga pendidikan non formal yang
mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat dalam hal pengajaran
Tahfizhul Qur’an dan tetap memiliki eksistensi yang tinggi bagi kehidupan
masyarakat Indonesia, baik yang bersifat tradisional maupun modern, yakni
lembaga pendidikan pesantren.
Pesantren merupakan salah satu pendidikan di Indonesia yang bersifat
tradisional. Selain itu, tujuan pendidikan pesantren adalah untuk mencetak muslim
yang dapat menguasai ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) secara mendalam serta
menghayati dan mengamalkannya dengan ikhlas semata-mata ditujukan untuk
pengabdiannya kepada Allah SWT guna mencapai tujuan ini, pesantren
mengajarkan Al-Qur’an atau Tahfizhul Qur’an, Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadis
besrta Ilmu Hadis, Fiqih, dan Ushul Fiqh, Tauhid, Tarikh, Akhlaq dan Tasawuf,
Nahwu, Sharaf, serta ilmu Manthiq kepada para santrinya.

Pesantren jadi salah satu pusat kebudayaan-peradaban Islam di Indo-


Melayu, yang di bangun berdasarkan perkembangan historis penting yang
memiliki karakteristik kosmopolitanisme, apresiasi terhadap kekayaan material,
kekuasaan, literasi dan inklusivisme neosufisme. Karakteristik ini menjadi
kebudayaan peradaban Islam pesantren mampu ditransformasikan ke dalam
budaya dan kehidupan lokal, sekaligus menjaga nilai-nilai universal Islam. Salah
satu contoh konkret, penciptaan aksara Pegon, tulisan Arab bahasa Jawa. Menurut
Bizawie, salah seorang tokoh yang sangat berjasa di sini adalah Syekh Sholeh
Darat yang menuliskan sebagian besar karyanya dengan Arab Pegon. Melalui
budaya literasi semacam ini, ajaran dan nilai Islam lebih mudah menyebar,
dicerna, dan dipahami masyarakat luas. (Abd A’la dalam Kompas 22 Oktober
2020).

Adapun tentang metode yang digunakan, Untuk metode ini, penulis


berasumsi bahwa muraja’ah menjadi metode pokok yang tidak boleh diabaikan
para penghafal al-Qur’an, banyak manfaat yang didapat dari muraja’ah ini.
Metode dalam membaca dan menghafal Al-Qur’an yang dapat diterapkan kepada
anak ada beberapa macam diantaranya adalah metode muraja’ah. Qosimi
(2008:10) menjelaskan bahwa “metode muraja’ah adalah mengulang hafalan”.
Mengulang-ulang disini dengan maksud agar hafalan menjadi kuat. Setiap orang
yang menghafalkan Al-Qur’an mempunyai kewajiban untuk selalu menjaga
hafalannya dengan cara muraja’ah atau mengulang-ulang hafalannya atau dengan
singkat disebut tetap memelihara hafalannya dengan mengulang kembali”.
Jika dirasa berat dalam muraja’ah, para hufaz terdahulu telah banyak
memberikan solusi dan model-model metode muraja’ah yang sesuai bagi penggiat
hafalan ini. Dalam teknik muraja’ah ini banyak cara yang digunakan dalam
memuraja’ah hafalannya, seperti mengulang sendiri, mengulang dalam shalat,
mengulang dengan alat bantu, dan mengulang dengan rekan huffadz/guru. Dengan
banyaknya cara dalam mengulang hafalan, menurut penulis teknik muraja’ah
adalah yang paling efektif dalam meningkatkan kelancaran hafalan Al-Qur’an.
Teknik muraja’ah adalah teknik mengulang hafalan, baik hafalan baru maupun
hafalan lama yang disetorkan kepada orang lain.

Dalam hal ini dapat memperdengarkan muraja’ah hafalannya kepada


Ustadz/Ustadzah maupun masyarakat. Teknik ini sangat membantu, sebab
terkadang kalau mengulang sendiri terdapat kesalahan yang tidak disadari. Akan
berbeda jika melibatkan partner/guru, kesalahan-kesalahan yang terjadi akan
mudah diketahui dan kemudian diperbaiki. Yang belum diketahui disini adalah
bagaimana penerapan pelaksanaan teknik tersebut, apakah sudah dapat membantu
dalam menghafal Al-Qur’an.

Namun disayangkan, tidak sedikit para penghafal al-Qur’an khusunya


penghafal mandiri tidak memahami pentingnya muraja’ah ini apalagi dengan
motede-metode muraja’ahnya sehingga setelah menghafalkan beberapa ayat al-
Qur’an mereka sering melanjutkan hafalannya dan melupakan hafalan
sebelumnya dan dipastikan hal seperti ini akan semakin mempersulit diri. Pada
akhirnya, penulis berasumsi bahwa kesulitan menghafal al-Qur’an yang selama ini
dialami kaum muslim bisa diatasi dengan menggunakan metode yang sesuai, dan
metode yang paling baik untuk hafalan al-Qur’an adalah metode muraja’ah. Oleh
karena itu penelitian tentang metode muraja’ah dalam membina hafalan al-qur’an
layak untuk dikaji lebih dalam.
https://www.dream.co.id/news/ironis-65-muslim-tak-bisa-baca-al-quran-di-
indonesia-1510304.html

Koran Harian Kompas 22 Oktober 2020

Qosimi, Hafizh, Abu Hurri. Cepat dan Kuat Hafal Juz’amma. Solo: Al
Hurri.Allaahim, 2010.

Anda mungkin juga menyukai