Anda di halaman 1dari 3

Polimorfisme panjang fragmen teramplifikasi 

(bahasa Inggris: Amplified Fragment Length


Polymorphism, AFLP) adalah teknik dalam biologi molekuler yang digunakan untuk penandaan
genetik berbasis hasil amplifikasi (perbanyakan) PCR terhadap potongan-potongan
(fragmen) DNA yang terbentuk akibat aktivitas enzim restriksi tertentu.[1] Oleh pembuatnya,
AFLP dimaksudkan sebagai salah satu alat untuk pengujian DNA.

AFLP memperbaiki sejumlah kelemahan RFLP, seperti proses yang memakan waktu dan
banyaknya kuantitas DNA yang dibutuhkan. Dalam AFLP, berkas DNA sampel dipotong oleh
sepasang enzim restriksi. Selanjutnya PCR selektif dilakukan menggunakan primer yang
memiliki adapter yang bersesuaian dengan lokasi restriksi. Hasil amplifikasi ini lalu dideteksi
melalui elektroforesis gel. Teknik ini menghasilkan penanda yang berperilaku dominan,
seperti RAPD, namun lebih stabil seperti RFLP. Frekuensi polimorfismenya jauh lebih tinggi
daripada RFLP dan pelaksanaannya juga lebih cepat.

Penanda genetik, juga disebut dengan penanda, marker, marka, atau markah diberbagai
kepustakaan, merupakan penciri individu yang terdeteksi dengan alat tertentu yang menunjukkan
genotipe suatu individu. Penanda genetik menggambarkan perbedaan genetik diantara individu
dalam suatu organisme atau spesies. Bentuknya dapat berupa penampilan fenotipe/morfologi
tertentu, kandungan senyawa (protein atau produk biokimia tertentu), berkas (band) pada suatu
lembar hasil elektroforesis gel atau kromatogram, atau hasil pembacaan sekuensing.
Jenis marka molekuler pada tanaman ada dua yaitu penanda yang mendasarkan teknik PCR dan
yang tidak mendasarkan teknik PCR. Penanda molekuler yang mendasarkan teknik PCR antara
lain RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length
Polymorphism) dan SSR (Simple Sequence Repeats) yang lebih mendasarkan pada sequencing
DNA. Sedangkan Penanda molekuler yang tidak mendasarkan teknik PCR hanya ada satu jenis
yaitu RFLP (Restriction Fragment Lenght Polymorphisme) (Azrai, 2005). Setiap penanda
molekuler memiliki teknik yang berbeda-beda baik dalam hal jumlah DNA yang dibutuhkan,
dana, waktu, prosedur pelaksanaan, tingkatan polimorfisme dan pengujian secara statistik
(Garcia et al., 2004). Penanda tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Oleh karena itu, kombinasi beberapa teknik akan memberikan data yang lebih komprehensif dan
akurat. Penentuan teknik yang digunakan sangat penting untuk mendapatkan hasil sesuai dengan
yang diinginkan. Umumnya strategi pemilihan teknik berdasarkan pada tujuan studi,
ketersediaan dana dan fasilitas serta kemampuan sumber daya manusia.
AFLP merupakan teknik yang bekerja atas dasar selektif PCR amplifikasi dari DNA fragmen
yang degenerate dengan enzim retriksi. Pada dasarnya AFLP merupakan gabunga dari teknik
RLFP dan teknik PCR. Keunggulan teknik AFLP menurut Vos et al. (1995), antara lain; tidak
memerlukan informasi sekuen dari genom dan perangkat (kit) oligonukleotida yang sama ketika
dilakukan analisis dan dapat diaplikasikan pada semua spesies tanaman, hasil amplifikasinya
stabil, tingkat pengulangan dan variabilitasnya sangat tinggi, memiliki efisiensi yang sangat
tinggi dalam pemetaan lokus, karena sekali amplifikasi dapat meliputi beberapa lokus, dapat
digunakan untuk menganalisis sidik jari semua DNA dengan mengabaikan kompleksitas dan asal
usulnya, dapat bertindak sebagai jembatan antara peta genetik dan peta fisik pada kromosom,
jumlah lokus yang diperoleh dari setiap reaksi lebih banyak, hal ini disebabkan karena
penggunaan primer PCR yang lebih panjang sehingga memungkinkan dilakukannya reaksi pada
suhu yang tinggi.
Kelemahan dari teknik AFLP adalah cara aplikasinya relatif lebih rumit, sehingga memerlukan
waktu lebih lama, keterampilan khusus, serta pengadaan alat dan bahan sangat mahal. Teknik ini
sedikit rumit karena melibatkan enzim restriksi dan amplifikasi. Prosedur AFLP lebih banyak
membutuhkan tenaga dan lebih mahal daripada analisis RAPD, Marka AFLP mirip dengan
RAPD, tetapi primernya spesifik dan jumlah pitanya lebih banyak. Marka AFLP dikategorikan
18-25 nukleotida. Contoh penggunaan AFLP pada tanaman teh yaitu; Dendrogam menggunakan
AFLP pada 32 klon teh, menghasilkan teh yaitu: Assam (Assamica), China (Sinensis), dan
Kamboja (Assamica ssp. Lasiocalyx), konsisten dengan klasifikasi atas dasar taksonomi dan asal
daerah.

Keunggulan teknik AFLP adalah dapat mendeteksi variasi genetik tanpa memerlukan informasi
urutan basa genom. Selain itu, teknik AFLP memiliki tingkat reproduksi yang tinggi berdasarkan
amplifikasi selektif fragmen hasil digesti genom. Teknik AFLP mampu menganalisis genom
secara menyeluruh sehingga dihasilkan informasi yang memadai untuk menganalisis variasi
genetik (Syam et al., 2012).

https://blogs.uajy.ac.id/adyajati/2015/09/01/aflp-sebagai-penanda-marker/
Marka Molekuler Amplified Fragment Length Polymorphisms (AFLPs)
AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphisms) adalah marka molekuler yang didasarkan
adanya amplifikasi yang selektif yang berasal dari potongan DNA. Potongan tersebut merupakan
hasil restriksi dari total suatu genom dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease
(Gambar 5). Hasil amplifikasi tersebut kemudian dipisahkan dengan metode elektroforesis dan
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan otoradiografi atau pewarnaan perak. Marka
molekuler AFLP dapat dikategorikan sebagai marka kodominan meskipun pada seringkali
dianggap sebagai marka dominan. Hal tersenut dikarenakan adanya kesulitan dalam
membedakan intensitas pita hasil analisis antara dominan homozigot dan heterozigot.

Gambar 5. Prosedur AFLP.

Anda mungkin juga menyukai