Anda di halaman 1dari 76

Bioteknologi Forensik (Dna Fingerprint)

Pengertian, Sejarah, dan Manfaat

DNA fingerprint adalah teknik untuk mengidentifikasi seseorang berdasarkan pada profil DNA
nya. DNA fingerprint yang merupakan gambaran pola potongan DNA dari setiap individu karena
setiap individu mempunyai DNA fingerprint yang berbeda, maka dalam kasus forensik info ini
bisa digunakan sebagai bukti kuat kejahatan di sidang pengadilan

DNA fingerprint adalah salah satu teknik biologi molekuler penanda genetik yang dipakai
untuk pengujian terhadap materi profil DNA, yaitu sehimpunan data yang menggambarkan
susunan DNA yang dianggap khas untuk individu yang menjadi sampelnya.

DNA Fingerprint yang pertama kali diadopsi pada 1985 oleh Alec Jeffreys dari Oxford
University. Penemuan Jeffrey ini dapat memberikan metode baru yang dapat mengungkap
karakteristik dari masing-masing orang, dengan penanda gennya karena dalam setiap tubuh
manusia, binatang, serta tanaman, dan mikroorganisme, terdapat sebuah struktur DNA yang unik.

Penggunaan DNA untuk pembuktian kasus kriminal pertama kali dilakukan pada tahun 1987,
dalam sebuah kasus pemerkosaan di Inggris.Di Indonesia, istilah DNA fingerprint mulai
mencuat sebagai cara identifikasi forensik setelah terjadi rentetan peristiwa peledakan bom di
tanah air, seperti kasus bom Bali, bom JW Marriot, peledakan bom di depan Kedubes Australia
dan lain-lain.

Beberap Jenis Teknik Analisa Hasil Pemeriksaan DNA Fingerprint


DNA fingerprint atau yang dikenal dengan sidik jari DNA adalah salah satu metode yang
digunakan untuk mengidentifikasi kekhasan pola DNA setiap individu khususnya dalam bidang
forensik. DNA fingerprint setiap individu berbeda-beda sehingga dapat digunakan sebagai bukti
forensik pada kasus kejahatan. Tes DNA fingerprint ini bisa digunakan DNA yang terdapat pada
inti sel atau DNA mitokondria.

Analisis menggunakan DNA inti telah lebih dulu digunakan dalam bidang forensik dan
berkembang pesat. Analisis menggunakan DNA inti memiliki akurasi yang tinggi karena dirujuk
pada DNA inti kedua orangtua (diploid). Kelemahan metode ini adalah bila salah satu atau kedua
orangtua tidak ada. Penggunaan DNA inti saudara seayah-ibu, anak, paman, dan bibi atau kakek
dan nenek kandung memerlukan koreksi berdasarkan segregasi Mendel. Sedangkan generasi
ketiga atau saudara sepupu tidak dapat digunakan

Analisis menggunakan DNA mitokondria memiliki kelebihan utama yaitu penggunaan mtDNA
adalah jumlah molekulnya yang mencapai ribuan dalam satu sel sehingga memungkinkan
dilakukan analisis dari sampel yang sangat sedikit, misalnya cairan tubuh, akar atau batang
rambut bahkan tulang dan fosil tulang. Selain itu, bentuknya yang relatif lebih stabil dan resisten
terhadap degradasi. Ketiadaan mitokondria ayah pada keturunannya mempermudah analisis
penurunan mtDNA. Karakteristik ini memungkinkan mtDNA sebagai alat untuk mengetahui
hubungan maternal antar individu, mempelajari antropologi, serta biologi evolusi berbagai
makhluk hidup. Kelemahan penggunaan mtDNA adalah kemungkinan menemukan kesamaan
antar individu yang relatif tinggi, terutama individu yang terkait hubungan keluarga segaris ibu.

Adapun jenis-jenis analisa DNA yang dapat dilakukan pada tes DNA fingerprint adalah sebagai
berikut:

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

Pada prinsipnya, RFLP merupakan semua mutasi yang menghilangkan ataumenciptakan sekuen
rekognisi baru bagi enzim restriksi. Penyisipan (inersi),penghilangan (delesi), maupun subtitusi
nukleotida yang terjadi pada daerahrekognisi suatu enzim restriksi menyebabkan tidak lagi
dikenalinya situspemotongan enzim restriksi dan terjadinya perbedaan pola pemotogan DNA.

Teknik pertama yang digunakan analisa DNA dalam bidang forensik adalah RFLP. Polimorfisme
yang dinamakan Restriction Fragment Leght Polymorphism (RFLP) adalah suatu polimorfisme
DNA yang terjadi akibat variasi panjang fragmen DNAsetelah dipotong dengan enzim retriksi
tertentu menjadi fragmen Variable Number Of Tandem Repeat (VNTR). Teknik ini dilakukan
dengan memanfaatkan suatu enzim restriksi yang mampu mengenal urutan basa tertentu dan
memotong DNA (biasanya 4-6 urutan basa).

Enzim restriksi ini dihasilkan oleh bakteri dan dinamakan menurut spesies bakteriyang
menghasilkannya. Enzim yang berbeda memiliki recognition sequence yang berbeda sehingga
panjang segmen tersebut bervariasi pada tiap orang, hal ini disebabkankarena titik potong enzim
yang berbeda dan panjang segmen antara titik potong juga berbeda.

Analisa yang dihasilkan adalah variasi pada panjang fragmen DNA yang telahditentukan. Setelah
selesai, pola RFLP tampak seperti kode batang (bar code) Saat membandingkan hasil analisa
dua sampel, pola batang pada autoradiograf dibandingkan untuk menentukan apakah kedua
sampel tersebut berasal dari sumber yang sama.

Proses pada teknik RFLP diawali dengan proses pemotongan denganmenggunakan enzim
restriksi tertentu menjadi segmen-segmen yang berbeda. Kemudiandengan menggunakan gel
yang dialiri arus listrik, potongan DNA diurutkan berdasarkan panjangnya. Proses ini dinamakan
electroforensis dan prinsip pada proses in adalah potongan DNA yang lebih pendek bergerak
lebih cepat daripada yang lebih panjang.

Kemudian dengan menggunakan fragmen pendek DNA (DNA probe) yang mengandung petanda
radioaktif maka akan dideteksi DNA yang berasal dari lokasi pada genome yang memiliki ciri
yang jelas dan sangat polimorfik. Pada proses ini DNA probe akan berikatan dengan potongan
DNA rantai tunggal dan membentuk DNA rantai ganda pada bahan nilon. DNA probe yang tidak
berikatan akan dicuci. Membran nilon yang berisi potongan DNA yang telah ditandai dengan
DNA probe selanjutnya ditransfer pada selembar film X-ray. Pada proses ini akan tampak hasil
berupa kode batang yang disebut autorad. Pola inilah yang dibandingkan untuk mengetahui
apakah kedua sampel bersal dari sumber yang sama.

b. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Metode PCR adalah suatu metode untuk memperbanyak DNA template tertentu dengan enzim
polymerase DNA. Reaksi teknik inididesain seperti meniru penggandaan atau replikasi DNA
yang terjadi dalam makhluk hidup, hanya pada segmen tertentu dengan bantuan enzim DNA
polymerase sebanyak 20hingga 40 siklus (umumnya 30 siklus), dengan tingkat akurasi yang
tinggi. Proses yang terjadi pada teknik ini serupa dengan cara DNA memperbanyak jumlahnya
dalam sel. Ada tiga tahap yang dilakukan di laboratorium yaitu:

1. Denaturation

Denaturation yaitu dengan memanaskan segmen atau urutan DNArantai ganda pada suhu 96º,
sehingga DNA rantai ganda akan memisah menjadi rantai tunggal.

2. Annealing atau Hybridization

Pada proses ini setiap rantai tunggal tersebut dipersiapkan dengan cara mengikatkannya dengan
DNA primer.Tahap ini dilakukan dengan menurunkan suhu hingga ke kisaran 40-60ºC selama
20-40detik.

3. Extension atau Elongasi

Pada tahap ini, DNA polymerase ditambahkan dan dilakukan peningkatan suhu ke kisaran suhu
kerja optimum enzim DNA polymerase, yaitu suhu 70-72ºC. Kemudian, DNA polymerase akan
memasangkan dNTP yang sesuai dengan pasangannya, dilanjutkan dengan proses replikasi.
Enzim akan memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung dan lamanya waktu ekstensi
bergantung pada panjang daerah yang akan diamplifikasi.
c. Short Tandem Repeats

STRs (Short Tandem Repeat)adalah suatu istilah genetik yang digunakan untuk menggambarkan
urutan DNA pendek (2-5 pasangan basa) yang diulang. Genome setiap manusia mengandung
ratusan STRs.Metode ini paling banyak dikembangkan karena metode ini cepat, otomatis dan
memilikikekuatan diskriminasi yang tinggi. Dengan metode STRs dapat memeriksa sampel
DNAyang rusak atau dibawah standar karena ukuran fragmen DNA yang diperbanyak olehPCR
hanya berkisar antara 200 500 pasangan basa.

Selain itu pada metode ini dapat dilakukan pemeriksaan pada setiap lokus yangmemiliki tingkat
polimorfisme sedang dengan memeriksa banyak lokus dalam waktu bersamaan. Teknik yang
digunakan adalah multiplexing yaitu dengan memeriksa banyak lokus dan berbeda pada satu
tabung. Dengan cara ini dapat menghemat waktu danmenghemat sampel. Analisis pada teknik ini
didasarkan pada perbedaan urutan basa STRs dan perbedaan panjang atau pengulangan basa
STRs.

3. Analisa Hasil Tes DNA Fingerprint

Analisis DNA untuk tes paternitas meliputi beberapa tahap yaitu tahap pengambilan spesimen,
tahap proses laboratorium, tahap perhitungan statistik dan pengambilan kesimpulan. Untuk
metode tes DNA di Indonesia, masih memanfaatkan metode elektroforesis DNA. Intrepretasi
hasilnya adalah dengan cara menganalisa pola DNA menggunakan marka STR (short tandem
repeats). STR adalah lokus DNA yang tersusun atas pengulangan 2-6 basa. Dalam genom
manusia dapat ditemukan pengulangan basa yang bervariasi jumlah dan jenisnya. Dengan
menganalisa STR ini, maka DNA tersebut dapat diprofilkan dan dibandingkan dengan sampel
DNA terduga lainnya.

Ketika sampel DNA yang telah dimurnikan dimasukkan ke dalam mesin PCR sebagai tahapan
amplifikasi, maka hasil akhirnya berupa copy urutan DNA lengkap dari DNA sampel.
Selanjutnya copy urutan DNA ini akan dikarakterisasi dengan elektroforesis untuk melihat
pola pitanya. Karena urutan DNA setiap orang berbeda, maka jumlah dan lokasi pita DNA (pola
elektroforesis) setiap individu akan berbeda juga. Pola pita inilah yang disebut DNA sidik
jari(DNA finger print) yang akan dianalisa pola STR nya. Tahap terakhir adalah DNA berada
dalamt ahapan typing, proses ini dimaksudkan untuk memperoleh tipe DNA. Mesin PCR akan
membaca data-data DNA dan menampilkannya dalam bentuk angka-angka dan gambar-
gambar identifikasi DNA. Penetapan hasil tes DNA ini dilakukan mencocokkan tipe DNA
korban dengan tipe DNA pihak tercurigai atau dengan tipe DNA yang telah tersedia dalam data
base.Jika dari pembacaan, diperoleh tingkat homolog melebihi ambang yang ditetapkan (misal
90%),maka dapat dipastikan korban adalah kerabat pihak tercurigai.

Adapun beberapa tahap analisa DNA fingerprint adalah sebagai berikut:

a. Isolasi DNA

Sistematika ini dimulai dari proses pengambilan sampel. Setelah sampel didapat dari bagian
tubuh tertentu, DNA fingerprint dimulai dengan isolasi DNA, kemudian sampel DNA
diamplifikasi dengan menggunakan PCR. Bahan kimia yang digunakan untuk isolasi adalah
Phenolchloroform dan Chilex. Phenolchloroform digunakan untuk isolasi darah yang berbentuk
cairan, sedangkan chilex digunakan untuk isolasi barang bukti berupa rambut.

b. Memotong, mengukur dan mensortir

Enzim yang khusus disebut enzim restriksi digunakan untuk memotong bagian-bagian tertentu.
Misalnya enzim Eco Ri, yang ditemukan dalam bakteri akan memotong DNA yang mempunyai
sequen GAATT. Potongan DNA disortir menurut ukuran dengan teknik penyaringan disebut
elektrophoresis. Potongan DNA dilewatkan gel yang dibuat dari agarose Teknik ini untuk
memisahkan pita-pita menurut berat molekulnya.

c. Transfer DNA ke membran nilon


Distribusi potongan DNA ditransfer pada sehelai nylon dengan menempatkan membran nylon
diatas gel dan direndam selama 1 malam.

d. Probing

Dengan menambahkan radioaktif atau pewarna probe pada sehelai membran nylon menghasilkan
DNA fingerprint, Setiap probe seperti batang pendek (pita) hanya 1 atau 2 tempat yang khas pada
helaian membran nylon tersebut.

4. Contoh Teknik Sampel dan Isolasi DNA

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sampel untuk analisis DNA dapat diperolehdari
berbagai jaringan, seperti bagian tulang, darah, sperma, dan sebagainya. Setiap jenis sampel yang
berbeda mempunyai teknik penyiapan sampel yang berbeda dan teknik isolasi DNA yang
berbeda pula. Beberapa teknik pengambilan sampel dan isolasi sebagai berikut:

a. Tulang

Pertama, hancurkan tulang sampai berupa bubukan halus dan mesin bor dengankecepatan
tertentu sehingga diperoleh bubukan tulang berukuran 100 µm. Dekalsifikasi 1gr bubuk tulang
dengan 10 ml EDTA 0,5 M (pH 7,5), selanjutnya divorteks, diinkubasi pada suhu 56ºC dalam
alat ultrasonik selama 2 jam. Proses tersebut dipantau dengan menambahkan larutan amonium
oksalat pH 3.0 jenuh dan proses dihentikan setelahlarutan jernih. Kedua, DNA diisolasi dari
tulang yang didekalsifikasi menggunakan 4 metode, yaitu metode Maxim (Silika/guanidium
tiosianat), peranti DNAZol, pirant Ready AMP, dan ekstraksi menggunakan garam dapur NaCl.
ketiga, dilakukan visualisasi DNA pada gel agarosa konvensional menggunakanmetode
pengecatan perak dan perancangan primer menggunakan perangkat lunak.

b. Jaringan
Sejumlah kecil contoh jaringan (=1.0-mm persegi) dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf yang
berisi 500 larutan 5% chelex (berat/ vol dlm H20) dan dihancurkandengan ujung pipet. Sampel
ini kemudian diputar (divortex) selama 1 menit, dan diinkubasikan pada suhu 56C selama 15
menit. Vortex kembali selama 1 menit, dan panaskan pada suhu 95C selama 10 menit. Sekali lagi
dilakukan pemusingan (vortex) selama1 menit, dan disentrifus pada kecepatan 12,000g selama 3
menit. Supernatan yangdiperoleh (sekitar15 µl) siap digunakan untuk PCR.

c. Darah dan Bercak darah (pada pakaian, karpet, tempat tidur, dan perban)

Darah yang diambil adalah darah vena. Darah diambil minimal 2 ml denganmenggunakan
antikoagulan EDTA. EDTA akan menjaga agar DNA tidak terjadi degradasikarena DNAse akan
dinonaktifkan. Tahapan isolasi DNA menggunakan darah adalah pemisahan sel darah putih
dengan darh yang memiliki komponen-komponen lengkap,tahap purifikasi bertujuan untuk
membersihkan sel darah putih dari zat-zat lainnya, tahap selanjutnya dalah presipitasi dilakukan
dengan cara meneteskan larutan presipitasi protein dan kemudian divortex yang bertujuan untuk
menghomogenkan larutan. Langkah akhirnya adalah pemberian tris-EDTA yang bertujuan untuk
melarutkan kembali DNA untuk dipreservasi.

d. Sperma dan bercak sperma

Salah satu cara pengambilan langsung sperma adalah dengan secara fisik memisahkan sel-sel
sperma pelaku dari sel-sel epitel korban. Sel-sel sperma dapatdikumpulkan dalam partikel-
partikel magnetik atau butiran-butiran yang dapat dilapisidengan antibodi khusus untuk protein
sperma. Butiran-butiran tersebut kemudiandibersihkan untuk menyingkirkan sel-sel epitel
korban. Akhirnya, sperma yang telahdimurnikan tersebut dimasukan ke dalam reaksi PCR untuk
menghasilkan profil DNA pelaku. Cara ini sangat tergantung dari keutuhan sel sperma, yang sulit
didapatkan pada kasus dengan bukti kekerasan seksual yang sudah lama. Adapun prosedur
penarikan sperma adalah:
1) Memasukkan sampel ke dalam tabung ekstraksi dan menambahkan 500 µl Buffer Stain
Ekstraksi dan 5 µl Proteinase K (20 ug/ul). Campur hingga homogen daninkubasi selama 2 jam
pada suhu 37ºC
2) Sentrifus selama 5 menit pada kecepatan 16000 rpmc.
3) Membagi sampel menjadi 3 fraksi : F1, F2, F3. F3 adalah Cairan yang tumpahditempatkan pada
tabung ekstraksi baru, untuk selanjutnya diproses sesuaikebijaksanaan analis, F1 : Pisahkan
cairan supernatan pada tabung mikrosentrifus, F2: Pelet sel sperma dibiarkan pada tabung
ekstraksi awal
4) Fraksi F2 : Menambahkan 500 µl Buffer Stain Ekstraksi dan 5 µl Proteinase K (20
ug/ul).Campur hingga homogen dan inkubasi selama 30 menit pada suhu 37ºC. Sentrifus selama
5 menit pada kecepatan 16000 rpm. Memurnikan pellet sel sperma dengan 1ml TNE, sentrifus
pada kecepatanmaksimum selama 10 menit. Pisahan dan buang buffer TNE. Setelah
dimurnikan,1 µl pellet dapat dianmbil untuk KPIC.
5) Campur hingga homogen dan inkubasi selama 2 jam pada suhu 37ºC
6) Meletakkan sampel F3 pada tabung ekstraksi dan sentrifus selama 5 menit padakecepatan 16000
rpm
7) Ektraksi organic : menambahkan 500 µl phenol / kloroform / isoamyl alcohol padacairan. Kocok
selama 1 menit hingga diperoleh emulsi keruh. Sentrifus selama 2menit pada kecepatan
maksimum
8) Menempatkan cairan jernih dari ekstraksi organic ke dalam tabung Microcon 100.Sentrifus, lalu
keringkan
9) Menambahkaan 50 100 µl TE lagi untuk membersihkan komponen residu ektraksidari DNA.
Sentrifus hingga kering
10) Menambahkan TE secukupnya, saring, lalu campur hingga homogen

5. Metode Pemeriksaan DNA Fingerprint Pada Berbagai Kasus

DNA Fangerprint pada umumnya memiliki dua tujuan yaitu tujuan pribadi seperti, penentuan
perwalian anak atau penentuan orang tua dari anak (Tes Paternitas), urusan imigrasi dan
kewarganegaraan, solusi kasus bayi tertukar, dan untuk mengidentifikasi korban kecelakaan.
Tujuan hukum seperti, untuk pembuktian terhadap kasus-kasus ktiminal (pemerkosaan atau
pembunuhan).

a. Penentuan perwalian anak atau penentuan orang tua dari anak (Tes Paternitas)
Tes paternitas adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah seorang pria adalah
ayah biologis dari seorang anak. Metode tes paternitas terbagi atas metode analisis DNA dan
metode konvensional. Tes paternitas dengan menggunakan analisis DNA merupakan analisis
informasi genetik yang sangat spesifik dalam membedakan ciri setiap individu, sehingga dapat
memastikan (hampir 100%) bahwa sesorang adalah ayah biologis si anak atau bukan.

b. Urusan Imigrasi dan Kewarganegaraan

Orang Indonesia yang menikah dengan warga Negara asing dan berniat memboyong anak
mereka pindah ke luar negeri harus memperlengkapi diri dengan hasil tes DNA yang
membuktikan bahwa benar anak tersebut merupakan anak biologis mereka. Tujuannya untuk
menghindari praktik perdagangan anak atau masuknya anak dengan cara ilegal.

c. Solusi kasus bayi tertukar

Kasus bayi tertukar kebanyakan disebabkan kelalaian atau kecerobohan para penyedia jasa
kesehatan. Misalnya, bayi yang baru lahir di rumah bersalin/rumah sakit tidak langsung diberi
penanda identitas, bisa juga penanda ini mudah lepas, tintanya mudah terhapus dan lain-lain.
Kecurigaan orangtua dibuktikan dengan tes DNA untuk memastikan identitas bayi yang
sebenarnya.

d. Peristiwa Bom Bali

Peristiwa pengeboman di bali yang menewaskan banyak orang dari berbagai negara dengan
keadaan korban yang tidak bisa dikenali lagi menjadikan DNA Fingerprint sebagai salah satu
cara yang tepat untuk mengidentifikasi para korban. Identifikasi dapat dilakukan dengan tes
DNA yang membutuhkan sampel seperti rambut, darah, daging, tulang, mukosa rongga mulut
dan kuku, yang kemudian akan di cocokkan dengan anggota keluarga korban. Dengan syarat inti
sel pada sampel yang digunakan masih dalam keadaan baik (tidak rusak).
e. Pembunuhan

Penggunaan teknik sidik jari dalam menyelesaikan kasus kriminal yang menyangkut
pembunuhan dan pemerkosaan seorang gadis sekolah dilakukan oleh sir Alex Jefferies dan rekan
kerjanya yaitu Dr. Peter Gill dan Dr. Dave warret di Inggris. Mereka melakukan penyelidikan
dengan memeriksa bukti berupa noda yang sudah mengering. Yang terpenting yang dilakukan
oleh Dr. Gill adalah mengembangkan penyelidikan dengan metode memeriksa sebaran sperma di
sekitar sel vagina. Deterjen bisa menghilangkan sel vagina tapi tidak untuk sel sperma. Tanpa
pengembangan ini sangat sulit untuk menggunakan DNA sebagai bukti dalam menangani kasus-
kasus pemerkosaan.

Jefri dan rekan kerjanya membandingkan bukti DNA yang dikumpulkan dalam kasus yang
mereka tangani dengan contoh air mani dari pembunuhan yang mirip yang terjadi sebelumnya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua kejahatan itu dilakukan oleh orang yang sama. Dari
sini, polisi memiliki satu tersangka utama. Tetapi ketika bukti DNA yang ada dibandingkan
dengan darah tersangka ternyata sangat jelas perbedaanya. Kedua DNA tersebut sama sekali
tidak cocok. Penyelidikan kemudian dilanjutkan, polisi mengumpulkan bukti-bukti DNA
sebanyak 5500 buah dari berbagai populasi dengan cara tes darah sederhana, dari sini kemudian
diambil 10 % untuk penyelidikan lebih lanjut. Setelah perdebatan yang cukup rumit tentang hasil
analisis, penyelidikan akhirnya dihentikan karena tidak ada profil yang cocok dengan si
pembunuh.

Setelah beberapa lama muncullah titik terang, seorang pria berkata bahwa ia dapat memberikan
sampel atas nama temannya, pria itu kemudian diperiksa, ternyata serangkaian tes bisa
dimengerti dan DNAnyapun dianalisis. Hasilnya ternyata pola dari DNA pria itu cocok dengan
DNA dalam semen tersangka. Pria tersebut akhirmya mengaku telah melakukan dua kejahatan
dan akhirnya harus mendekam dalam penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya
itu.Kasus ini digunakan sebagai salah satu dasar penting tentang keterbatasan penggunaan DNA
sebagai barang bukti. Dari kasus tersebut terlihat bahwa apabila tidak ada sampel yang sudah
terlebih dahulu diketahui untuk dibuat perbandingan, sangat sulit untuk menentukan identitas
orang yang dicari. Contohnya, apabila sampel darah dari korban dan tersangka sudah diketahui,
pengelidik sangat mungkin untuk menentukan tersangka tunggal lewat identifikasi darah DNA
yang ditemukan di pakaian tersangka.

Pemerkosaan

Pembuktian dengan menggunakan DNA pertama kali digunakan di Amerika Serikat dan bisa
memberikan penjelasan ilmiah terhadap ribuan kasus kriminal. Pentingnya penggunaan bukti
DNA lebih berguna ketika digunakan untuk menunjukkan kesalahan pernyataan saksi mata.
Pernyataan saksi yang mungkin terlihat sebagai bukti standar pada umumnya dapat keliru. Pada
tahun 1988 Victor Lopez, dituduh melakukan penyerangan seksual terhadap tiga orang wanita.
Ketiga wanita itu melapor kepada polisi bahwa mereka diserang oleh lelaki berkulit hitam. Pada
kenyataannya Victor Lopez tidak berkulit hitam, kejadian ini diangkat sebagai kasus yang tidak
jelas. Darah Victor dianalisis dan dibandingkan dengan sperma yang tertinggal di tempat
kejadian, ternyata DNA itu cocok. Akhirnya Lopez dinyatakan bersalah atas kasus tersebut.

Makalah DNA

I. Apa itu DNA ?


DNA merupakan kependekan dari deoxyribonucleic acid atau dalam Bahasa Indonesia sering
juga disebut ADN yang merupakan kependekan dari asam deoksiribonukleat. DNA atau ADN
ini merupakan materi genetik yang terdapat dalam tubuh setiap orang yang diwarisi dari orang
tua. DNA terdapat pada inti sel di dalam struktur kromosom dan pada mitokondria.

Fungsinya sebagai cetak biru yang berfungsi sebagai pemberi kode untuk tiap manusia seperti
untuk warna rambut, bentuk mata, bentuk wajah, warna kulit, dan lainnya. Pengenalan tentang
struktur DNA diperkenalkan oleh Francis Crick, ilmuwan asal Inggris dan James Watson asal
Amerika Serikat pada tahun 1953.
Untuk mempermudah kita memahami seperti apa DNA, coba Anda pikirkan sebuah kalimat.
Kalimat tersebut disusun dari beberapa kata. Dan setiap kata dibentuk dari beberapa abjad. Dapat
dikatakan, abjad adalah unsur dasar dari banyak bahasa. Prinsip yang serupa juga bisa diterapkan
pada DNA. Pada tingkat molekuler, "abjad" utama disediakan oleh DNA. Yang menakjubkan
adalah bahwa "abjad" ini hanya terdiri dari empat huruf yaitu A, C, G, dan T, yang merupakan
lambang basa kimia adenin, sitosin (cytosine), guanin, dan timin. Senyawa ini membentuk
ikatan yang eksklusif, di mana adenin akan selalu berpasangan dengan timin dan guanin akan
selalu berpasangan dengan sitosin.
Bentuk dari DNA adalah seperti spiral ganda yang menyatu dengan rapat. DNA terdiri dari 4
pasangan basa A, C, G, dan T yang merupakan komponen kimiawi yang mengandung nitrogen.
Urutan basa-basa pada molekul DNA-lah yang menentukan informasi genetika yang terdapat di
dalamnya. Singkatnya, urutan ini menentukan hampir segala sesuatu tentang Anda, dari warna
rambut, warna kulit, hingga bentuk hidung kita.
Setiap manusia memiliki 23 pasang kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom somatik
dan 1 pasang kromosom penentu jenis kelamin. Kromosom XX menentukan seseorang dengan
jenis kelamin wanita dan XY untuk seseorang yang berjenis kelamin laki-laki. Kromosom ini
didapat dari orang tua, separuh dari ibu dan separuh lagi dari ayah.

DNA (deoxsiribonukleidacid) , adalah rangkaian molekul penentu bentuk dan sifat semua
makluk hidup. DNA itu ada yang berupa pilinan ganda ada juga yang merupakan pilinan tunggal.
DNA merupakan asam nukleat yang mengandung kode genetik yang berguna dalam
pembentukan protein-protein yang dibutuhkan untuk perkembangan dan pertumbuhan makhluk
hidup dan virus. DNA pada jenis makhluk hidup yang berbeda memiliki kode genetik yang
berbeda sehingga jenis protein yang dihasilkannyapun juga berbeda. Oleh karena itu spesies
yang berbeda memiliki wujud yang berbeda pula.

Semua makluk hidup punya DNA. Manusia , kucing , monyet, pohon tomat, pisang, bayam,
dinosaurus, dan sebagainya.semua mempunyai kode genetik yang menentukan bentuk dan sifat –
sifat mereka.

Jadi kenapa kita mempunyai bentuk seperti manusia atau bentuk tumbuhan seperti tumbuhan,
atau kenapa kita mirip dengan orang tua kita atau berbeda dengan otang lain? Semuanya karena
DNA yang unik.
Ada orang yang berkulit putih, ada yang sawo matang, ada yang berambut bule atau berwarna
hitam. Semua itu karena kita mempunyai elemen - elemen pembentuk biologis yang unik, yaitu
DNA.

Tes DNA
Tes DNA umumnya digunakan untuk 2 tujuan yaitu
(1) tujuan pribadi seperti penentuan perwalian anak atau penentuan orang tua dari anak
(2) tujuan hukum, yang meliputi masalah forensik seperti identifikasi korban yang telah hancur,
sehingga untuk mengenali identitasnya diperlukan pencocokan antara DNA korban dengan
terduga keluarga korban ataupun untuk pembuktian kejahatan semisal dalam kasus pemerkosaan
atau pembunuhan. Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes DNA,
tetapi yang sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada pipi bagian dalam (buccal
swab), dan kuku. Untuk kasus-kasus forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel
biologis apa saja yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan sampel tes
DNA.

DNA yang biasa digunakan dalam tes ada dua yaitu DNA mitokondria dan DNA inti sel.
Perbedaan kedua DNA ini hanyalah terletak pada lokasi DNA tersebut berada dalam sel, yang
satu dalam inti sel sehingga disebut DNA inti sel, sedangkan yang satu terdapat di mitokondria
dan disebut DNA mitokondria. Untuk tes DNA, sebenarnya sampel DNA yang paling akurat
digunakan dalam tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah. DNA dalam
mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu yang dapat berubah seiring
dengan perkawinan keturunannya. Sebagai contoh untuk sampel sperma dan rambut. Yang paling
penting diperiksa adalah kepala spermatozoanya karena didalamnya terdapat DNA inti,
sedangkan untuk potongan rambut yang paling penting diperiksa adalah akar rambutnya. Tetapi
karena keunikan dari pola pewarisan DNA mitokondria menyebabkan DNA mitokondria dapat
dijadikan sebagai marka (penanda) untuk tes DNA dalam upaya mengidentifikasi hubungan
kekerabatan secara maternal.
Biasanya hasil tes DNA dapat dilihat 2 minggu setelah pemberian sample, tapi paling cepat bias
3 hari.
II. Mekanisme

Untuk metode tes DNA di Indonesia, masih memanfaatkan metode elektroforesis DNA. Dengan
intreprestasi hasil dengan cara menganalisa pola DNA menggunakan marka STR (short tandem
repeats). STR adalah lokus DNA yang tersusun atas pengulangan 2-6 basa. Dalam genom
manusia dapat ditemukan pengulangan basa yang bervariasi jumlah dan jenisnya. Dengan
menganalisa STR ini, maka DNA tersebut dapat diprofilkan dan dibandingkan dengan sample
DNA terduga lainnya.

Beberapa tahapan tes DNA yaitu pertama tahapan preparasi sampel yang meliputi
pengambilan sampel DNA (isolasi) dan pemurnian DNA. Dalam tahap ini diperlukan kesterilan
alat-alat yang digunakan. Untuk sampel darah, dalam isolasinya dapat digunakan bahan kimia
phenolchloroform sedangkan untuk sampel rambut dapat digunakan bahan kimia Chilex.
Selanjutnya DNA dimurnikan dari kotoran-kotoran seperti protein, sel debris, dan lain lain.
Untuk metode pemurnian biasanya digunakan tehnik sentrifugasi dan metode filtrasi vakum.
Tetapi berbagai ilmuwan telah banyak meninggalkan cara tersebut dan beralih ke produk-produk
pemurnian yang telah dipasarkan seperti produk butir magnet dari Promega Corporation yang
memanfaatkan silica-coated paramagnetic resin yang memungkinkan metode pemisahan DNA
yang lebih sederhana dan cepat.
Tahapan selanjutnya adalah memasukan sampel DNA yang telah dimurnikan kedalam mesin
PCR (polymerase chain reaction) sebagai tahapan amplifikasi. Hasil akhir dari tahap
amplifikasi ini adalah berupa kopi urutan DNA lengkap dari DNA sampel. Selanjutnya kopi
urutan DNA ini akan dikarakterisasi dengan elektroforesis untuk melihat pola pitanya.
Karena urutan DNA setiap orang berbeda maka jumlah dan lokasi pita DNA (pola elektroforesis)
setiap individu juga berbeda. Pola pita inilah yang disebut DNA sidik jari (DNA finger print)
yang akan dianalisa pola STR nya. Tahap terakhir adalah DNA berada dalam tahapan typing,
proses ini dimaksudkan untuk memperoleh tipe DNA. Mesin PCR akan membaca data-data
DNA dan menampilkannya dalam bentuk angka-angka dan gambar-gambar identifikasi DNA.
Finishing dari tes DNA ini adalah mencocokan tipe-tipe DNA.
III. Manfaat Tes DNA
Tes DNA saat ini telah menjadi tren untuk membuktikan kaitan hubungan darah seseorang.
Mengingat banyaknya perselingkuhan serta hubungan seks bebas, telah menghasilkan banyak
anak yang dipertanyakan asal-usul orang tuanya. Karena itu, banyak pasangan melakukan tes
DNA untuk membuktikan asal-usul anak yang dilahirkan tersebut.
Bahkan di beberapa negeri, sudah banyak klinik tes DNA. Banyak juga yang menggunakan tes
DNA karena curiga terhadap pasangannya. Beberapa orang menyerahkan barang-barang pribadi
milik pasangannya ke klinik untuk diteliti apakah pasangannya berhubungan dengan orang lain
yang bukan pasangannya.
Di kepolisian, tes DNA juga digunakan untuk tes forensik. Tes DNA merupakan bukti yang
paling akurat untuk tes identifikasi seseorang dibanding sidik jari. Dengan tes DNA, kepolisian
bisa memberi bukti autentik mengenai mayat yang sudah hancur, asalkan bisa diambil sampel
jaringan pada tubuh mayat tersebut.
Selain untuk mendeteksi hubungan keluarga, tes DNA juga berfungsi untuk mendeteksi suatu
penyakit tertentu hingga penyakit yang kompleks. Dengan tes DNA bisa diketahui penyebab
suatu penyakit apalagi yang bersifat penyakit turunan.
Kemajuan teknologi telah membuat lebih banyak hal baru yang bisa dipelajari. DNA pada saat
ini merupakan tes identifikasi yang paling akurat dan dapat dipercaya. Informasi tentang tes
DNA di atas semoga dapat membantu Anda mengenal lebih dekat dengan proses tersebut.

DNA FINGERPRINTING DAN ANALISIS FORENSIK

Oleh:irfanto
Di Indonesia, DNA fingerprint mencuat namanya sebagai cara identifikasi kejahatan dan
korban yang telah hancur setelah terjadi peristiwa peledakan bom di tanah air seperti kasus bom
Bali, bom Marriot, peledakan bom di depan Kedubes Australia dan lain-lain. Pengunaan
informasi DNA fingerprint di Indonesia boleh dibilang masih sangat baru sedangkan di negara-
negara maju, hal ini telah biasa dilakukan (Putra, 2007).

Steven Friedland dalam artikelnya “The Criminal Law Implications of The Human
Genom” di Kentucky Law Journal tahun 1997 menyebutkan bahwa dengan menangani dan
menggunakan barang bukti DNA secara tepat, kasus-kasus yang sulit terungkap bukan tidak
mungkin akan terpecahkan. Dengan teknologi DNA ini pula hukum dan keadilan akan lebih
dipercaya (Kompas Cybermedia dan Berbagai Sumber, 2007).

Dengan teknologi DNA ini pula hukum dan keadilan akan lebih dipercaya. Menurut Dr
Bruce Weir, profesor ilmu statistik-genetik dari North Carolina State University, DNA
fingerprinting atau tes DNA adalah karakterisasi DNA untuk mengidentifikasi susunan DNA
seseorang. Barang bukti DNA dapat diambil dari barang bukti biologis, baik dalam keadaan utuh
maupun tidak utuh. Berbeda dengan analisis sidik jari, yang mudah rusak atau hilang dan
akurasinya sangat tergantung dengan keutuhan Menurut Beverly Himick, seorang peneliti
forensik dari Washington State Patrol Crime Lab, tes DNA dapat dilakukan hanya dengan barang
bukti DNA yang jumlahnya sedikit (Kompas Cybermedia dan Berbagai Sumber, 2007).

Asam deoksiribonukleat (DNA) adalah salah satu jenis asam nukleat. Asam nukleat
merupakan senyawa-senyawa polimer yang menyimpan semua informasi tentang genetika.
Penemuan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR) menyebabkan perubahan yang cukup
revolusioner di berbagai bidang. Hasil aplikasi dari tehnik PCR ini disebut dengan DNA
fingerprint yang merupakan gambaran pola potongan DNA dari setiap individu. Karena setiap
individu mempunyai DNA fingerprint yang berbeda maka dalam kasus forensik, informasi ini
bisa digunakan sebagai bukti kuat kejahatan di pengadilan (Putra, 2007).

DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan DNA inti sel. DNA
yang paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah sedangkan
DNA dalam mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu, yang dapat
berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Dalam kasus-kasus kriminal, penggunaan
kedua tes DNA diatas, bergantung pada barang bukti apa yang ditemukan di Tempat Kejadian
Perkara (TKP). Seperti jika ditemukan puntung rokok, maka yang diperiksa adalah DNA inti sel
yang terdapat dalam epitel bibir karena ketika rokok dihisap dalam mulut, epitel dalam bibir ada
yang tertinggal di puntung rokok. Epitel ini masih menggandung unsur DNA yang dapat dilacak
(Putra, 2007).

Untuk kasus pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama adalah kepala
spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel didalamnya. Sedangkan jika di TKP ditemukan satu
helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada akarnya. Namun untuk DNA mitokondria
tidak harus ada akar, cukup potongan rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat
DNA mitokondria sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel. Bagian-bagian tubuh lainnya
yang dapat diperiksa selain epitel bibir, sperma dan rambut adalah darah, daging, tulang dan
kuku (Putra, 2007).

Sistematika analisis DNA fingerprint sama dengan metode analisis ilmiah yang biasa
dilakukan di laboratorium kimia. Sistematika ini dimulai dari proses pengambilan sampel sampai
ke analisis dengan PCR. Pada pengambilan sampel dibutuhkan kehati-hatian dan kesterilan
peralatan yang digunakan. Setelah didapat sampel dari bagian tubuh tertentu, maka dilakukan
isolasi untuk mendapatkan sampel DNA. Bahan kimia yang digunakan untuk isolasi adalah
Phenolchloroform dan Chilex. Phenolchloroform biasa digunakan untuk isolasi darah yang
berbentuk cairan sedangkan Chilex digunakan untuk mengisolasi barang bukti berupa rambut.
Lama waktu proses tergantung dari kemudahan suatu sampel di isolasi, bisa saja hanya beberapa
hari atau bahkan bisa berbulan-bulan (Putra, 2007).

Tahapan selanjutnya adalah sampel DNA dimasukkan kedalam mesin PCR. Langkah
dasar penyusunan DNA fingerprint dengan PCR yaitu dengan amplifikasi (pembesaran) sebuah
set potongan DNA yang urutannya belum diketahui. Prosedur ini dimulai dengan mencampur
sebuah primer amplifikasi dengan sampel genomik DNA. Satu nanogram DNA sudah cukup
untuk membuat plate reaksi. Jumlah sebesar itu dapat diperoleh dari isolasi satu tetes darah
kering, dari sel-sel yang melekat pada pangkal rambut atau dari sampel jaringan apa saja yang
ditemukan di TKP. Kemudian primer amplifikasi tersebut digunakan untuk penjiplakan pada
sampel DNA yang mempunyai urutan basa yang cocok. Hasil akhirnya berupa kopi urutan DNA
lengkap hasil amplifikasi dari DNA Sampel (Putra, 2007).

Selanjutnya kopi urutan DNA akan dikarakterisasi dengan elektroforesis untuk melihat
pola pitanya. Karena urutan DNA setiap orang berbeda maka jumlah dan lokasi pita DNA (pola
elektroforesis) setiap individu juga berbeda. Pola pita inilah yang dimaksud DNA fingerprint.
Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola pita bisa terjadi secara random (kebetulan) sangat kecil
kemungkinannya, mungkin satu diantara satu juta. Finishing dari metode ini adalah
mencocokkan tipe-tipe DNA fingerprint dengan pemilik sampel jaringan (tersangka pelaku
kejahatan) (Putra, 2007).

8.1 Pendahuluan DNA Fingerprinting dan Forensik

Ilmu forensik merupakan gabungan dari hukum dan ilmu pengetahuan. Banyak kasus
peradilan yang bergantung pada bukti ilmiah. Sains tidak hanya digunakan untuk menghukum
yang bersalah atau membebaskan orang yang tidak bersalah, tetapi juga digunakan untuk
mengungkap kasus kejahatan. Sepanjang tahun, sains telah mengembangkan teknologi baru dan
hukum dengan cepat menggunakan informasi baru ini untuk membantu mengungkap kebenaran.

Pada akhir tahun 1800-an, dalam usaha memberantas kejahatan telah digunakan teknologi
yang telah sdiperbaharui, yaitu fotografi yang memungkinkan untuk menggambar kasus
kejahatan dalam bentuk dokumentasi sehingga gambar-gambar tersebut dapat digunakan sebagai
referensi yang tetap akurat. Namun hal ini memiliki banyak kelemahan yaitu para penjahat telah
menemukan banyak cara untuk mengubah penampilan sehingga tidak memungkinkan
identifikasi pelaku berdasarkan foto yang ada.

Kurang lebih 100 tahun yang lalu, ilmuwan menemukan bahwa tapak dan lingkaran di kulit
pada sidik jari dapat digunakan untuk menentukan identitas seseorang. Setelah hasil tes darah
yang ditemukan pada sebuah peti uang membantu terungkapnya pembunuhan di Inggris, secara
rutin dilakukan proses stempel jari-jari tersangka dan pengumpulan sidik jari. FBI, CIA dan
badan hukum lainnya mengumpulkan hasil pencatatan tersebut.
Pada tahun 1985, telah terjadi revolusi teknologi sebagai suatu alat yang sangat berperan
dalam ferensik. Berdasar pada goresan sidik jari yang tertinggal di lokasi kejahatan berlangsung,
para penyelidik dapat melihat jenis baru ”sidik jari, tanda unik yang ditemukan pada masing-
masing susunan genetik manusia.

8.2 Apakah DNA Fingerprinting itu?

Setiap manusia membawa set gen khusus. Struktur kimia DNA selalu sama, tetapi dengan
urutan pasngan basa yanng berbeda. Setiap sel mengandung sebuah salinan DNA yang
mendefinisikan organisme sebagai keseluruhan sel-sel individu yang memiliki fungsi berbeda-
beda (sel otot jantung menjaga denyut jantung, neuron mengirimkan sinyal ke pikiran kita, sel
limfosit T mencegah infeksi). Tiap-tiap sel dalam tubuh memberikan DNA yang sama, sel yang
didapatkan dengan menyapubagian dalam pipi seseorang akan menjadi pasangan yang sempurna
dengan sel yang ditemukan pada sel darah putih, sel kulit atau jaringan lainya.

Untungnya, hal ini tidak perlu untuk mengelompokkan setiap basa berpasangan dalam
individu untuk memperoleh tanda penenal. Meski demikian, pemprofilan DNA berdasarkan pada
sejumlah kecil genom. Setiap untaian dari DNA mengandung informasi genetik aktif yang
mengkode protein (sebagian yang diketahui adalah akson) dan disebut juga DNA sampah,
dimana belm diketahui fungsinya bagi perkembangan organisme.bagian DNA tersebut
mengandung urutan berulang antara 20-100 pasang basa. Rangkaian ini disebut Variable Number
Tandem Repeats (VNTRs), merupakan bagian yang selalu sama dalam penentuan identitas
genetik. Setiap orang memiliki VNTRs yang diturunkan dari ayah dan ibunya. Tidak ada
seorangpun yang memiliki VNTRs yang sama dengan orang tua (ini hanya terjadi dengan hasil
kloning). VNTRs merupakan variasi pengulangan dari daerah DNA yang berurutan. Sekumpulan
VNTRs individu memberikan petunjuk penyelidikan untuk mengenali identitas seseorang yang
dikenal dengan sidik jari DNA. Sidik jari DNA biasa digunakan untuk mendeteksi keberadaan
mikrosatelit, yang mana satu, dua, tiga atau empat nukleotida ulangan diedarkan melalui
kromosom (berlawanan dengan minisatelit dan mikrosatelit yang berada dalam sentromer dan
telomer kromosom). Karena daerah pengulangan tersebut dapat terbentuk di banyak lokasi,
digunakanlah probe untuk mengidentifikasi daerah komplemen DNA yang mengelilingi
mikrosatelit tertentu yang telah dianalisis.
8.3 Persiapan DNA Fingerprint

Pengumpulan spesimen

Investigator peristiwa kriminal secara rutin mencari sumber DNA: binatu kotor, jilatan amplop,
puntung rokok, sebuah cangkir kopi, atau lainnya yang merupakan sumber sel manusia. Bercak
darah, noda air mani yang telah kering, atau bekas ludah semua diambil untuk memcahkan
sebuah kasus.

Setiap makhluk hidup memiliki DNA, jadi setiap lokasi kasus kejahatan pasti penuh dengan
sumber-sumber yang telah terkontaminasi. Dengan alasan tersebut, perhatian yang cermat sangat
dibutuhkan pada saat mengumpulkan bukti. Untuk melindungi bukti-bukti tersebut, petugas pada
lokasi kejahatan harus melakukan tindakan pencegahan sebagai berikut:

Menggunakan dan menyediakan sarung tangan dan menggantinya secara teratur.

Menggunakan peralatan yang disediakan (seperti penjepit atau kain lap). Bila alat-alat yang
diperlukan tidak tersedia, pastikan bahwa peralatan yang digunakan bersih sepenuhnya baik
sebelum maupun sesudah memegang masing-masing sampel.

Tidak berbicara, bersin, dan batuk untuk mencegah kontaminasi mikroorganisme dari ludah.

Tidak menyentuk barang apapun yang mengandung DNA (seperti wajah, hidung, mulut
sendiri) selama memegang barang bukti.

Sinar matahari dan suhu tinggi dapat merusak DNA. Bakteri sebagai dekomposer dapat
mengkontaminasi sebelum atau selama pemeliharaan sampel. Jadi barang bukti tidak boleh
disimpan dalam kantong plastik karena dapat merusak kelembaban.

DNA fingerprinting merupakan proses perbandingan, yaitu DNA dari lokasi kejahatan
dibandingkan dengan sampel DNA tersangka. Spesimen yang dibandingkan sebanyak 1 ml atau
lebih ditambah agen anti pembekuan yang disebut Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA)

Ekstraksi DNA Untuk Analisis


Setelah sampel terkumpul, para teknisi bertanggung jawab untuk menetapkan riwayat
genetiknya. Pertama, ekstraksi DNA dari sampel. DNA dapat dipurifikasi secara kimiawi
(menggunakan detergen yang dapat melepaskan materi sel yang tidak diinginkan) atau secara
mekanis (menggunkan tekanan untuk memaksa DNA keluar sel)

Analisis RFLP

Karena proses ini akan memakan banyak waktu untuk menganalisis tiga milyar pasang basa,
digunakan sebuah metode yang bergantung pada VNTRs. Konsentrasi pada urutan yang berulang
lebih bijaksana daripada menganalisis masing-masing pasang basa. Untuk isolasi VNTRs, DNA
diperlakukan dengan enzim restriksi endonuklease, yang memotong heliks DNA dimanapun
urutan spesifik muncul pada rantai. Proses tersebut disebut Restriction Fragment Length
Polymorfism (RFLP). Restriksi endonuklease ditemukan pada bakteri E. coli.

Setelah berbentuk fragmen, teknisi menggunakan elekroforesis untuk memisahkan potongan-


potongan tersebut. Fragmen DNA berjalan melewati medium gel menuju ke sisi positif elektroda.
Pergerakan fragmen diperlambat oleh adanya pori-pori pada gel. Fragmen yang lebih kecil dan
ringan berjalan lebih cepat. Jadi fragmen-fragmen tersebut berjalan lebih jauh melewati gel.
Hasilnya adalah sebuah gel dengan DNA pendek pada ujung fragmen genetik. Gel kemudian
diperlakukan secara kimiawi atau dipanaskan untuk mendenaturasi DNA dan membentuk
kembali double-heliks.

8.4 Penggunaan DNA untuk Tes

Pembunuhan di Desa Narborough

Penggunaan teknik sidik jari dalam menyelesaikan kasus kriminal yang menyangkut
pembunuhan dan pemerkosaan seorang gadis sekolah dilakukan oleh sir Alex Jefferies dan rekan
kerjanya yaitu Dr. Peter Gill dan Dr. Dave warret di Inggris. Mereka melakukan penyelidikan
dengan memeriksa bukti berupa noda yang sudah mengering. Yang terpenting yang dilakukan
oleh Dr. Gill adalah mengembangkan penyelidikan dengan metode memeriksa sebaran sperma di
sekitar sel vagina. Deterjen bisa menghilangkan sel vagina tapi tidak untuk sel sperma. Tanpa
pengembangan ini sangat sulit untuk menggunakan DNA sebagai bukti dalam menangani kasus-
kasus pemerkosaan.

Jefri dan rekan kerjanya membandingkan bukti DNA yang dikumpulkan dalam kasus
yang mereka tangani dengan contoh air mani dari pembunuhan yang mirip yang terjadi
sebelumnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua kejahatan itu dilakukan oleh orang yang
sama. Dari sini, polisi memiliki satu tersangka utama. Tetapi ketika bukti DNA yang ada
dibandingkan dengan darah tersangka ternyata sangat jelas perbedaanya. Kedua DNA tersebut
sama sekali tidak cocok.

Penyelidikan kemudian dilanjutkan, polisi mengumpulkan bukti-bukti DNA sebanyak


5500 buah dari berbagai populasi dengan cara tes darah sederhana, dari sini kemudian diambil 10
% untuk penyelidikan lebih lanjut. Setelah perdebatan yang cukup rumit tentang hasil analisis,
penyelidikan akhirnya dihentikan karena tidak ada profil yang cocok dengan si pembunuh.

Setelah beberapa lama muncullah titik terang, seorang pria berkata bahwa ia dapat
memberikan sampel atas nama temannya, pria itu kemudian diperiksa, ternyata serangkaian tes
bisa dimengerti dan DNAnyapun dianalisis. Hasilnya ternyata pola dari DNA pria itu cocok
dengan DNA dalam semen tersangka. Pria tersebut akhirmya mengaku telah melakukan dua
kejahatan dan akhirnya harus mendekam dalam penjara untuk mempertanggung jawabkan
perbuatannya itu.

Kasus ini digunakan sebagai salah satu dasar penting tentang keterbatasan penggunaan
DNA sebagai barang bukti. Dari kasus tersebut terlihat bahwa apabila tidak ada sampel yang
sudah terlebih dahulu diketahui untuk dibuat perbandingan sangat sulit untuk menentukan
identitas orang yang dicari. Contohnya, apabila sampel darah dari korban dan tersangka sudah
diketahui, penyelidik sangat mungkin untuk menentukan tersangka tunggal lewat darah DNA
yang ditemukan di pakaian tersangka.

Pemerkosaan Forest Hill

Pembuktian dengan menggunakan DNA pertama kali digunakan di Amerika Serikat dan
bisa memberikan penjelasan ilmiah terhadap ribuan kasus kriminal. Pentingnya penggunaan
bukti DNA lebih berguna ketika digunakan untuk menunjukkan kesalahan pernyataan saksi mata.
Pernyataan saksi yang mungkin terlihat sebagai bukti standar pada umumnya dapat keliru. Pada
tahun 1988 Victor Lopez, dituduh melakukan penyerangan seksual terhadap tiga orang wanita.
Ketiga wanita itu melapor kepada polisi bahwa mereka diserang oleh lelaki berkulit hitam. Pada
kenyataannya Vicor Lopez tidak berkulit hitam, kejadian ini diangkat sebagai kasus yang tidak
jelas. Apakah Victor Lopez adalah seorang pria tidak bersalah yang tertuduh oleh sebuah sistem?
Darah Victor dianalisis dan dibandingkan dengan sperma yang tertinggal di tempat kejadian,
ternyata DNA itu cocok. Akhirnya Lopez diketahui bersalah atas kasus penyerangan seksual.

8.5 DNA dan Aturan Pembuktian

Sebelum sidik jari dapat digunakan di dunia peradilan, sidik jari harus memenuhi standar
yang memperhatikan boleh atau tidaknya dalam pembuktian. Pengadilan menggunakan standar
yang ada untuk menentukan apakah cara-cara ilmiah digunakan di dalam suatu kasus. Pengujian
digunakan atas jurisdiksi itu. Ketika suatu metode teknik baru digunakan untuk mengumpulkan,
memproses, atau menganalisis bukti harus memenuhi salah satu atau beberapa patokan ini.

Tes relevansi (aturan pembuktian aturan federal 401, 402, dan 403), intinya memperbolehkan
segala sesuatu yang relevan.

Standar Frye (1923), penelitian harus berdasarkan teori dan teknik, penelitian ini harus cukup
bisa digunakan dan diuji oleh masyarakat sains dan memiliki penerimaan umum.

Standar Capolino (1968), memperbolehkan ilmu pengetahuan baru atau kontroversial


digunakan jika landasan yang sesuai diberikan.

Standar Marx (1975) secara dasra merupakan pengujian menurut pandangan umum yang
mensyaratkan bahwa pengadilan dapat memahami dan mengevaluasi bukti ilmiah yang
diajukan.

Standar Daubert (1993) mensyaratkan adanya dengar pendapat sebelum uji coba secara khusus
untuk pembuktian ilmiah.
Bukti ilmiah ini telah menjadi pembuktian yang lebih canggih yang berkembang dalam
dunia hukum. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa metode ilmiah dan keahlian untuk
memberikan bukti dapat dipercaya.

Sidik jari DNA dan Pembunuh Simpson/Goldman

Suatu analisis DNA merupakan alat forensik baru ketika keplisian Los Angels di hampir semua
percobaan terkenal dalam sejarah masa kini. Pada tahun 1994, Nicole Brown Simpson dan
Ronald Goldman dibunuh, dan mantan suami Simpson, O.J Simpson menjadi salah satu
tersangka. Empat puluh lima sampel dikumpulkan untuk analisis DNA termasuk sampel darah
yang dikenali dari dua korban dan tersanka seperti tetesan darah yang ditemukan di rumah O.J.
Simpson. Selama penyelidikan pendahuluan, diumumkan bahwa DNA yang dikumpulkan di
tempat kejadian perkara cocok dengan DNA O.J Simpson.

Pembela O.J Simpson segera melayangkan bantahannya. Selama uji coba, pembela menunjukkan
suatu video dari metode pengumpulan sampel dan digambarkan dengan kesaksian ahli untuk
menyatakan keraguan atas bukti yang diberikan. Pembela menekankan bahwa kontaminasi bisa
saja terjadi ketika seorang teknisi menyentuh tanah, sat kantong plasti digunakan untuk
menyimpan bekas cairan, dan ketika wadah pengumpulan sampel dibersihkan. Ketika berdiri,
seorang saksi penuntut salah menyebut sampel, kemungkinannya bukti itu tercemar secara nyata
di mata pengadilandan hakim. Akibatnya bukti DNA yang dimintauntuk penuntutan dianngap
tidak efektif. Akhirnya O.J simpson dinyatakan tidak bersalah. Ketika bukti DNA ini
terpatahkan, maka sampel Dna seperti kehilangan nilai di mata peradilan.

DNA dan Kehakiman

Untuk dapat menggunakan bukti DNA, hakim yang menilai harus memahaminya. Hal ini
dikarenakan bukti DNA merupakan statistik di alam, sehingga hasilnya dapat membingungkan
bagi beberapa orang, khususnya ketika sebagian dari mereka dijadikan sebagai anggota dari juri
panel untuk mendengarkan bahwa di dalam DNA terdapat 50 milyar kasus dalam satu rangkaian.
Hal ini memungkinkan mereka untuk fokus pada satu hal dan menggambarkan keanehan lain
yang saling bertentangan. Jika bukti DNA tidak dapat dimengerti dengan tepat maka buti tersebut
dapat diabaikan.
8.6 Hubungan Keluarga dan Profil DNA

DNA fingerprinting tidak hanya digunakan untuk penanganan kasusu kejahatan. Karena DNA
dipunyai dari anggota keluarga yang sama, suatu hubungan dapat dibedakan dengan
membandingkan dua sampel individu. Baru-baru ini terdapat teknologi reproduksi yang baru
yaitu fertilisasi in-vitro dan inseminasi buatan.

DNA Mitrokondria

Terdapat beberapa teknik lainnya dalam tes DNA, di antaranya analisis DNA
mitokondria. Mitokondria adalah salah satu perangkat sel yang berfungsi dalam respirasi sel,
disebut juga “hidung sel”. Uniknya, setiap anak perempuan memiliki DNA mitokondria yang
sama dengan DNA mitokondria ibunya. Karena itulah analisis DNA mitokondria umumnya
dilakukan untuk mengidentifikasi keturunan dari garis ibu, dan sering pula digunakan dalam
penelusuran orang hilang (Kompas Cybermedia dan Berbagai Sumber, 2007).

DNA analisis dapat digunakan DNA yang berada di mitokondria dari sel hewan. Tidak
seperti gen inti, yang terkombinasi dari kedua orang tua, mDNA di dapat dari keturunan ibu
(didalam sitoplasma telur). mDNA selalu sama dari generasi ke generasi, perubahan hanya
terjadi pada beberapa waktu karena adanya mutasi yang acak. Konsekuensinya hubungan bisa
ditemukan melalui garis keibuan yang jelas.

8.7 Analisis DNA Selain Manusia

Tidak hanya setiap kasus atau pertanyaan dari pengidentifikasian manusia. Banyak pertanyaan
seperti ilmu pengetahuan telah terjawab oleh profil genetik tanaman dan hewan.

DNA fingerprint, Metode Analisis Kejahatan


pada Forensik
Mungkin banyak mahasiswa kimia, sekarang ini yang bercita-cita untuk menjadi seorang ahli
forensik. Bekerja membuktikan suatu kejahatan dengan cara-cara ilmiah dan khas seorang
kimiawan (terdapat sampel, peralatan laboratorium dan metode analisis) tentunya adalah suatu
pekerjaan yang menarik dan tak lupa pula gaji yang lumayan besar. Tetapi sebelum sampai ke
benar-benar bekerja di forensik, penulis akan menginformasikan salah satu metode analisis
kejahatan di forensik yakni DNA fingerprint.

Di Indonesia, DNA fingerprint mencuat namanya sebagai cara identifikasi kejahatan dan korban
yang telah hancur setelah terjadi peristiwa peledakan bom di tanah air seperti kasus bom Bali,
bom Marriot, peledakan bom di depan Kedubes Australia dan lain-lain. Pengunaan informasi
DNA fingerprint di Indonesia boleh dibilang masih sangat baru sedangkan di negara-negara
maju, hal ini telah biasa dilakukan.

DNA fingerprint
Asam deoksiribonukleat (DNA) adalah salah satu jenis asam nukleat. Asam nukleat merupakan
senyawa-senyawa polimer yang menyimpan semua informasi tentang genetika. Penemuan tehnik
Polymerase Chain Reaction (PCR) menyebabkan perubahan yang cukup revolusioner di
berbagai bidang. Hasil aplikasi dari tehnik PCR ini disebut dengan DNA fingerprint yang
merupakan gambaran pola potongan DNA dari setiap individu. Karena setiap individu
mempunyai DNA fingerprint yang berbeda maka dalam kasus forensik, informasi ini bisa
digunakan sebagai bukti kuat kejahatan di pengadilan.

DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan DNA inti sel. DNA yang
paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah sedangkan DNA
dalam mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu, yang dapat berubah
seiring dengan perkawinan keturunannya. Dalam kasus-kasus kriminal, penggunaan kedua tes
DNA diatas, bergantung pada barang bukti apa yang ditemukan di Tempat Kejadian Perkara
(TKP). Seperti jika ditemukan puntung rokok, maka yang diperiksa adalah DNA inti sel yang
terdapat dalam epitel bibir karena ketika rokok dihisap dalam mulut, epitel dalam bibir ada yang
tertinggal di puntung rokok. Epitel ini masih menggandung unsur DNA yang dapat dilacak.

Untuk kasus pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama adalah kepala
spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel didalamnya. Sedangkan jika di TKP ditemukan satu
helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada akarnya. Namun untuk DNA mitokondria
tidak harus ada akar, cukup potongan rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat
DNA mitokondria sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel. Bagian-bagian tubuh lainnya
yang dapat diperiksa selain epitel bibir, sperma dan rambut adalah darah, daging, tulang dan
kuku.

Metode analisis DNA fingerprint


Sistematika analisis DNA fingerprint sama dengan metode analisis ilmiah yang biasa dilakukan
di laboratorium kimia. Sistematika ini dimulai dari proses pengambilan sampel sampai ke
analisis dengan PCR. Pada pengambilan sampel dibutuhkan kehati-hatian dan kesterilan
peralatan yang digunakan. Setelah didapat sampel dari bagian tubuh tertentu, maka dilakukan
isolasi untuk mendapatkan sampel DNA. Bahan kimia yang digunakan untuk isolasi adalah
Phenolchloroform dan Chilex. Phenolchloroform biasa digunakan untuk isolasi darah yang
berbentuk cairan sedangkan Chilex digunakan untuk mengisolasi barang bukti berupa rambut.
Lama waktu proses tergantung dari kemudahan suatu sampel di isolasi, bisa saja hanya beberapa
hari atau bahkan bisa berbulan-bulan.
Tahapan selanjutnya adalah sampel DNA dimasukkan kedalam mesin PCR. Langkah dasar
penyusunan DNA fingerprint dengan PCR yaitu dengan amplifikasi (pembesaran) sebuah set
potongan DNA yang urutannya belum diketahui. Prosedur ini dimulai dengan mencampur
sebuah primer amplifikasi dengan sampel genomik DNA. Satu nanogram DNA sudah cukup
untuk membuat plate reaksi. Jumlah sebesar itu dapat diperoleh dari isolasi satu tetes darah
kering, dari sel-sel yang melekat pada pangkal rambut atau dari sampel jaringan apa saja yang
ditemukan di TKP. Kemudian primer amplifikasi tersebut digunakan untuk penjiplakan pada
sampel DNA yang mempunyai urutan basa yang cocok. Hasil akhirnya berupa kopi urutan DNA
lengkap hasil amplifikasi dari DNA Sampel.

Selanjutnya kopi urutan DNA akan dikarakterisasi dengan elektroforesis untuk melihat pola
pitanya. Karena urutan DNA setiap orang berbeda maka jumlah dan lokasi pita DNA (pola
elektroforesis) setiap individu juga berbeda. Pola pita inilah yang dimaksud DNA fingerprint.
Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola pita bisa terjadi secara random (kebetulan) sangat kecil
kemungkinannya, mungkin satu diantara satu juta. Finishing dari metode ini adalah
mencocokkan tipe-tipe DNA fingerprint dengan pemilik sampel jaringan (tersangka pelaku
kejahatan).

Penutup
Kemampuan ahli forensik dalam mengendus jejak kejahatan melalui metode analisis DNA
fingerprint merupakan suatu langkah maju dalam proses pengungkapan kejahatan di Indonesia.
Keakuratan hasil yang hampir mencapai 100% menjadikan metode DNA fingerprint selangkah
lebih maju dibandingkan proses biometri (identifikasi menggunakan sidik jari, retina mata,
susunan gigi, bentuk tengkorak kepala serta bagian tubuh lainnya) yang telah lama digunakan
kepolisian untuk identifikasi. Terlepas dari keuntungannya itu, penerapan DNA fingerprint masih
terbatas di Indonesia dikarenakan dana yang dibutuhkan sangat mahal dan SDM forensik yang
kurang, sehingga kepolisian RI biasanya menerapkan standar prioritas untuk analisis ini, prioritas
utama analisis biasanya menyangkut kasus-kasus nasional seperti peristiwa peledakan bom atau
untuk potongan tubuh korban yang telah hancur, yang tidak dapat diidentifikasi lagi dengan
proses biometri.

Daftar Pustaka :

* Irawan, Bambang. 2003. DNA fingerprinting pada Forensik, Biologi sebagai Bukti Kejahatan.
Majalah Natural Ed. 7/Thn. V/April 2003. Bandar Lampung
* Rizal, M. Wahyu. 2005. Tes DNA : Mengendus Jejak Kejahatan. Majalah Natural Ed. 11/Thn.
VII/Agustus 2005. Bandar Lampung
* Fessenden dan Fessenden. 1986. Kimia Organik Jilid 2 Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh
Aloysius Hadyana Pudjaatmaka. Penerbit Erlangga. Jakarta

Bioteknologi : Sidik Jari DNA


Sidik Jari DNA
Sidik Jari DNA atau DNA Fingerprinting adalah suatu metode untuk mengidentifikasi kekhasan
pola DNA setiap individu. Tes DNA ini bisa digunakan pada DNA yang terdapat diinti sel atau
DNA mitokondria. DNA inti atau DNA mitokondria biasa digunakan karna sering mengalami
mutasi. Sidik Jari DNA pertama kali ditemukan oleh Alec Jeffreys dan kawan-kawannya dari
University of Leicester UK pada tahun 1984, mereka mengidentifikasi suatu minisatelit yang
terdiri dari empat pengulangan searah dengan ukuran 33 pasang basa setiap satuannya, yang
mempunyai kesamaan dengan minisatelit lainnya pada gena mioglobin manusia. Minisatelit
tersebut kemudian digunakan sebagai pelacak pada hibridisasi Southern DNA manusia yang
dipotong dengan enzim restriksi HinfI maka akan muncul banyak pita hibridisasi. Pita-pita
tersebut ternyata memiliki ukuran yang lebih besar dari yang diduga, hal ini dikarenakan jumlah
pengulangan yang banyak dari satuan sekuen spesifik pada minisatelit (Sudjadi:2008:224)

1. Teknik Dasar Sidik Jari DNA

Sidik jari DNA berdasarkan pada deteksi fragmen terpotong dengan hibridisasi Southern dengan
urutan sebagai berikut : Awalnya sampel DNA diisolasi dan dipotong dengan enzim restriksi
Hinfl yaitu enzim yang mengenal 4 pasang basa (G, A, T, C) sehingga frekuensi pengenalannya
lebih besar, hal ini mengakibat fragmen yang dihasilkan berukuran kecil namun enzim ini tidak
memotong di dalam minisatelit.

Berikutnya Fragmen DNA yang dihasilkan dipisahkan dengan elektroforesis gel agarosa
sebanyak 0,5%. Fragmen yang membawa minisatelit berukuran di atas rata-rata ukuran fragmen
dan panjangnya sesuai dengan jumlah satuan sekuen terulang.

Selanjutnya Fragmen ini dipindahkan dan difiksasi pada membran dan diinkubasi dengan
pelacak berlabel yang akan menempel pada daerah minisatelit pada membran sehingga terjadi
hibridisasi spesifik.

Dan yang terakhir menghilangkan interaksi tidak spesifik antara pelacak-DNA. Pada hibridisasi
dapat ditunjukkan dengan menggunakan label radioaktif. Metode ini menghasilkan pola sidik jari
yang unik untuk setiap individu. Keberhasilan metode ini sangat tergantung pada isolasi
sejumlah DNA tanpa terdegradasi. Untuk penggunaan tertentu seperti ilmu kehakiman, hal
tersebut dapat merupakan masalah jika jumlah DNA yang tersedia sangat sedikit dan kualitasnya
rendah.
Gambar 1 Proses sidik jari DNA dengan menggunakan pelacak multilokus

2. Metode dan Proses Pembuatan DNA Fingerprinting

a. Teknik PCR analisis

Teknik yang memiliki potensi untuk mengubah dengan cepat bidang sidik DNA disebut sebagai
polymerase chain reaction (PCR). PCR bukan hanya cepat (beberapa jam), tetapi juga cukup
sensitif untuk menjelaskan jumlah terkecil DNA. Dengan prosedur itu para peneliti tidak terlalu
dibatasi oleh kualitas dan kuantitas DNA. Setelah penjelasan DNA, para ilmuwan dapat
menganalisis materi genetik dalam berbagai cara, dan selalu memiliki cadangan untuk digunakan
lagi manakala diperlukan. PCR praktis telah mempengaruhi semua wilayah biologi. Selain untuk
ilmu pengetahuan forensik, PCR juga memiliki dampak pada masalah penentuan ayah seorang
bayi, perselisihan imigrasi, genetika populasi, dan evolusi. Berdasarkan studi terakhir yang
dilakukan di Florida International University, PCR digunakan untuk memberikan informasi
menyangkut hubungan genetik di antara populasi manusia yang berbeda. Prinsip dasar dari
teknik PCR tersebut merupakan adanya enzim DNA polimerase yang digunakan untuk membuat
cetakan dari segmen DNA yang diinginkan.
mbar 2 Polymerase Chain Reaction

Berikut adalah tiga tahap bekerjanya PCR (Polimerase Chain Reaction) dalam satu siklus :

 Tahap peleburan/melting/denaturasi PCR (Polimerase Chain Reaction). Tahap ini


berlangsung pada suhu tinggi, 94–96°C, ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi) &
DNA menjadi berberkas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR (Polimerase Chain
Reaction), dilakukan sampai 5 menit untuk memastikan semua berkas DNA terpisah.
Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi templat (patokan) bagi
primer. Durasi minimal tahap ini 1–2 menit.

 Tahap penempelan/annealing PCR (Polimerase Chain Reaction). Primer menempel pada


bagian DNA templat yg komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara
45–60°C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak
terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2
menit.

 Tahap pemanjangan/elongasi/extension PCR (Polimerase Chain Reaction). Suhu untuk


proses ini tergantung dari jenis DNA-polimerase yg dipakai. Dengan Taq-polimerase,
proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76°C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.
Gambar 3 Alat Polymerase Chain Reaction

b. Teknik STR (Short Tandem Repeats )

Analisis STR merupakan polimorfisme DNA yang terjadi karena adanya 2 atau lebih nukleotida
yang berulang. Pola pengulangannya adalah terdiri dari 2-10 bp dan terjadi pada daerah intron
dari DNA. Dengan menganalisa loci dari STR dan menghitung berapa banyak perulangan dari
sekuen STR yang terjadi di setiap locus, maka dapat terbaca profil genetik yang unik dari setiap
individu. Analisa dengan STR memerlukan teknik PCR dan elektroforesis gel agarosa. Dengan
PCR daerah polimorfik dari DNA diamplifikasi dan kemudian fragmen STR dipisahkan dengan
elektroforesis agarosa sehingga jumlah perulangan yang terjadi dapat dihitung dengan
membandingkan perbedaan ukuran dengan alelic ladder. Analisa dengan STR ini tidak dapat
dilakukan apabila 2 individu merupakan kembar monozigot.
Gamba
r 4 Teknik STR

c. Teknik AmpFLP

DNA profilling dengan menggunakan teknik AmpFLP memiliki beberapa keunggulan, yaitu
lebih cepat daripada analisa dengan RFLP dan biaya yang dibutuhkan lebih murah. Teknik ini
berdasarkan pada polimorfisme VNTR untuk membedakan alel yang berbeda. Teknik ini
menggunakan PCR untuk mengamplifikasi daerah VNTR dan kemudian hasil amplifikasi
dipisahkan dengan gel poliakrilamid dan diwarnai dengan teknik silver stained . Salah satu locus
yang sering digunakan dalam teknik ini adalah locus D1S80.
Gambar 5 AmpFLP

2. Aplikasi Teknologi DNA Fingerprinting di Berbagai Bidang

a. DNA Fingerprint di bidang Keturunan

DNA memiliki materi hereditas yang berfungsi untuk menentukan suatu urutan keturunan dalam
suatu keluarga secara turun-menurun dengan pola yangacak (karena berasal dari fusi inti ovum
dan sperma) sehingga dapat digunakanuntuk identifikasi pelaku kejahatan walaupun telah
berganti wajah.

Tes maternitas adalah tes DNA untuk menentukan apakah seorang wanita adalah ibu biologis
dari seorang anak. Tes ini membandingkan pola DNA anak dengan terduga ibu untuk
menentukan kecocokan DNA anak yang diwariskan dari terduga ibu. Umumnya tes maternitas
dilakukan untuk kasus, seperti kasus dugaan tertukarnya bayi, kasus bayi tabung, kasus anak
angkat dan lain-lain.

Tes paternitas adalah tes DNA untuk menentukan apakah seorang pria adalah ayah biologis dari
seorang anak. Kita semua mewarisi DNA (materi genetik) dari orang tua biologis kita. Tes
paternitas membandingkan pola DNA anak dengan terduga ayah untuk memeriksa bukti
pewarisan DNA yang menunjukkan kepastian adanya hubungan biologis.

Contoh DNA Fingerprint pada Sebuah Keluarga


Gambar 6 DNA Fingerprint pada Sebuah Keluarga

Identifikasi DNA untuk tes paternitas dilakukan dengan menganalisa pola DNA menggunakan
marka STR (short tandem repeat). STR adalah lokus DNA yang tersusun atas pengulangan 2-6
basa. Dalam genom manusia dapat ditemukan pengulangan basa yang bervariasi jumlah dan
jenisnya. Identifikasi DNA dengan penanda STR merupakan salah satu prosedur tes DNA yang
sangat sensitif karena penanda STR memiliki tingkat variasi yang tinggi baik antar lokus STR
maupun antar individu. Setiap anak akan menerima setengah pasang kromosom dari ayah dan
setengah pasang kromosom lainnya dari ibu sehingga setiap individu membawa sifat yang
diturunkan baik dari ibu maupun ayah. Sedangkan DNA yang berada pada mitokondria hanya
diturunkan dari ibu kepada anak-anaknya. Keunikan pola pewarisan DNA mitokondria
menyebabkan DNA mitokondria dapat digunakan sebagai marka untuk mengidentifikasi
hubungan kekerabatan secara maternal. Kedua pola penurunan materi genetik dapat diilustrasi
seperti gambar sebelumnya. Dengan perkembangan teknologi, pemeriksaan DNA dapat
digunakan untuk mengidentifikasi dan membedakan individu yang satu dengan individu yang
lain.

b. DNA fingerprint di bidang kesehatan

Suatu program penelitian kelainan genetik yang diturunkan dapat dilakukan pada janin yang
belum dilahirkan maupun bayi yang baru dilahirkan, telah dikembangan pada berbagai rumah
sakit didunia. Kelainan tersebut meliputi kejadian cystik fibrosis, haemophilia, Huntington’s
disease, famili alzhemers, sickle cell anemia, thalasemia dan lain-lainnya.

Pendeteksian kelainan tersebut lebih awal akan memudahkan dokter atau ahli medis untuk
melakukan pengobatan pada anak yang menderita kelainan tersebut. Suatu program pengobatan
kelainan genetik menggunakan DNA fingerprint sebagai informasi untuk orang tuanya mengenai
resiko dari kelainan tersebut pada anaknya. Pada program lain informasi pada orang tuanya
mengenai DNA fingerprint pada bayi yang masih dalam kandungan mengalami kelainan genetik
dan tindakan apa yang akan dilakukan.

Metode identifikasi bakteri secara garis besar dapat dibagi menjadi teknik genotipik yang

berdasarkan pada profil materi genetik suatu organisme (utamanya DNA) dan teknik fenotipik

yang berdasarkan pada baik profil sifat metabolik maupun beberapa aspek komposisi kimianya.

Sebelum berkembangnya teknik biologi molekuler, mikrobia dikarakterisasi berdasarkan sifat

morfologi, fisiologi, dan koloninya. Biotyping, serotyping, bacteriocin typing, phage typing, pola

kerentanan terhadap anti mikrobia, dan metode berbasis protein lainnya merupakan contoh

metode fenotipik yang umumnya digunakan (Fakruddin, 2013).

Dasar Klasifikasi Bakteri (Prakash et al., 2012).


Kelemahan metode fenotipik terkait tingkat reprodusibilitasnya, dimana metode tersebut

memberikan hasil yang berbeda-beda apabila diulang, sehingga dianggap kurang handal

(reliable). Selain itu, metode ini juga mengkarakterisasi organisme berdasarkan produk ekspresi
gen yang sangat sensitif terhadap berbagai macam kondisi lingkungan seperti suhu pertumbuhan,

fase pertumbuhan dan mutasi spontan. Kelemahan metode fenotipik ini menjadi dasar

pengembangan metode genotipik berbasis DNA. Sehingga, metode genotipik berbasis DNA

menjadi lebih popular dan diterima secara luas karena bersifat reprodusibel, praktis,

menunjukkan perbedaan antar spesies yang lebih kontras serta dapat membantu menghindari

duplikasi strain (Prakash et al., 2007). Metode genotipik ini dapat dibagi menjadi dua kelompok,

yaitu teknik berbasis sidik jari atau pola dan teknik berbasis sekuen atau urutan DNA (Prakash et

al., 2012). Pada artikel ini akan dibahas teknik rep-PCR sebagai wakil analisis sidik jari serta

identifikasi menggunakan gen 16S rRNA dan gen gyrB sebagai wakil teknik berbasis sekuen.

1. Analisis Sidik Jari Menggunakan rep-PCR

Sebelumnya telah disebutkan bahwa salah satu metode genotipik untuk identifikasi

bakteri adalah teknik berdasarkan sidik jari atau pola. Teknik ini secara khusus menggunakan

metode sistematis dalam menghasilkan serangkaian fragmen dari DNA kromosom organisme.

Fragmen ini selanjutnya dipisahkan berdasarkan ukuran untuk menghasilkan suatu profil atau

sidik jari yang bersifat unik untuk organisme tersebut dan kerabat terdekatnya. Cukup dengan

informasi ini, seseorang dapat membuat perpustakaan atau database sidik jari organisme yang

telah dikenal dan dibandingkan dengan organisme uji. Ketika profil dari kedua organisme

tersebut cocok, maka mereka dapat dianggap berkerabat dekat, biasanya pada tingkat strain atau

spesies (Frakash et al., 2007).

Ada beberapa macam teknik sidik jari yang telah digunakan secara luas terutama untuk

identifikasi strain bakteri di bidang epidemiologi serta ekologi mikrobia. Secara garis besar ada

dua pendekatan umum dari teknik sidik jari untuk menentukan strain bakteri (Demezas, 2011).

Pertama, berdasarkan analisis RFLP yang mendeteksi variasi sekuens dengan membandingkan
ukuran dan jumlah fragmen restriksi yang dihasilkan melalui pemotongan DNA oleh enzim

restriksi. Kedua, variasi multipel amplikon dengan ukuran berbeda yang merupakan produk

amplifikasi dengan primer. Kelompok kedua ini mencakup repetitive sequence based-

Polymerase Chain Reaction (rep-PCR) (Versalovic et al., 1994), Randomly Amplified

Polymorphic DNA (RAPD) (Williams et al., 1990) dan Arbitrary Priming-PCR (AP-PCR)

(Welsh & McClelland, 1990).

Rep-PCR pertama kali diperkenalkan oleh Versalovic et al. (1991) dan menghasilkan

sidik jari DNA yang terdiri atas multipel amplikon DNA dengan ukuran berbeda-beda. Amplikon

ini mengandung segmen kromosom DNA yang bersifat unik yang berada diantara sekuen

repetitif, dimana sekuen repetitif tersebut menjadi target penempelan primer (tabel 1) dengan

sekuen repetitif (Versalovic et al., 1999).

Ada tiga elemen sekuen DNA repetitif yang bersifat konservatif yang biasa digunakan

untuk tujuan typing, yaitu sekuen REP, ERIC, dan BOX (Genersch & Otten, 2003). Elemen REP

(Repetitive Extragenic Palindromic) merupakan unit palindromik yang mengandung loop yang

bervariasi pada struktur stem-loopnya (Stern et al., 1984). Elemen ERIC (Enterobacterial

Repetitive Intergenic Consensus) ditandai dengan struktur palindromik pusat yang bersifat

konservatif (Hulton et al., 1991). Sementara elemen BOX terdiri atas beberapa subunit berbeda

yang bersifat konservatif, yaitu boxA, boxB, dan boxC dan hanya boxA yang diketahui memiliki

sekuen yang sangat konservatif pada banyak bakteri (Versalovic et al., 1994).

Primer yang umum digunakan pada rep-PCR. (Charan et al., 2011)


rep-PCR telah banyak digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk identifikasi

methylobacter yang berasosiasi dengan tanaman (Raja et al., 2008), untuk membedakan strain

Eschericia coli dari ekologi yang berbeda (Dombek et al,. 2000), serta untuk penentuan

diversitas genetik pada Pseudomonas fluorescence (Charan et al., 2011).

Contoh Profil REP-PCR serta dendrogramnya

2. Identifikasi Bakteri dengan sekuen 16S rDNA dan gen gyrB.


Untuk identifikasi bakteri berbasis sekuen biasanya digunakan suatu marker, baik yang

terdapat pada daerah gen maupun daeah DNA non-koding, dengan karakteristik antara lain:

pertama, sebagian besar merupakan housekeeping gene yang ada pada semua bakteri; kedua,

memiliki polimorfisme yang tinggi sehingga membuatnya dapat dibedakan antara bakteri yang

juga berbeda; ketiga, marker molekuler tersebut harus bersifat sangat konservatif pada beberapa

daerah sehingga memudahkan untuk mendesain primer yang tepat untuk proses amplifikasi
dengan PCR (Liu et al., 2012). Ada beberapa gen dan daerah DNA yang memiliki kesemua ciri

tersebut dan telah digunakan secara luas untuk identifikasi bakteri, diantaranya gen 16S rRNA,

gen 23S rRNA, daerah ITS, gen rpoB, gen gyrB dan gen recA (Sacchi et al., 2002; Miflin &

Blackall, 2001; Houpikian & Raoult, 2001; Vos et al., 2012;) Wu & Ahn, 2011; Seo et al.,

2009).
Pada tahun 1960-an, Dubnau et al. melaporkan sifat konservatif gen 16S rRNA pada

Bacillus spp. Penggunaan gen 16S rRNA yang luas untuk identifikasi dan taksonomi kemudian

digagas oleh Woese et al. (1980) yang menunjukkan bahwa hubungan filogenetik bakteri,

termasuk semua bentuk kehidupan, dapat ditentukan dengan membandingkan suatu bagian kode

genetik yang bersifat stabil. Kandidat untuk daerah ini termasuk gen yang mengkode 5S, 16S,

23S rRNA, maupun daerah IGS (Intergenic Spacer) (Clarridge, 2004). Akan tetapi gen 5S rRNA

(120 bp) dan 23S rRNA (3300 bp) telah terbatas penggunaannya. Gen 16S rRNA (1650 bp)

merupakan marker yang paling sering digunakan dan telah merevolusi bidang sistematika

mikrobia (Prakash et al., 2007).

Daerah Konservatif dan Variabel Gen 16s rRNA.


Gen 16S rRNA mengkode rRNA subunit kecil ribosom organisme prokariot. Gen tersebut

banyak digunakan dalam analisis filogenetik karena terdistribusi secara universal, bersifat

konservatif, memiliki peran penting pada ribosom dalam sintesis protein, tidak ditransfer secara

horizontal, serta kecepatan evolusi dengan variasi tingkat yang tepat di antara organisme.

Molekul 16S rRNA memiliki daerah variabel dan konservatif, dimana primer universal untuk

amplifikasi gen 16S rRNA secara lengkap biasanya dipilih dari daerah konservatif tersebut,
sementara daerah variabel lebih banyak digunakan untuk taksonomi perbandingan (Prakash et

al., 2007).
Gen gyrB menyandi subunit B protein DNA girase, DNA topoisomerase tipe II, yang

berperan penting dalam replikasi DNA dan terdistribusi secara universal di antara spesies bakteri

(Wang et al., 2007; Watt & Hickson, 1994; Huang, 1996). Kecepatan evolusi molekuler dari gen

gyrB lebih cepat dibandingkan sekuen 16S rRNA (Yamamoto & Harayama, 1995). Sekuen gen

gyrB telah banyak digunakan untuk identifikasi spesies bakteri, seperti spesies Campylobacter

(Gunther et al., 2011), kelompok Bacillus subtilis (Wang et al., 2007), kelompok Bacillus cereus

(La duc et al., 2011), dan spesies Pandorea (Coenye & LiPuma., 2002).

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena nikmat dan kesempatan yang diberikannya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah
ini berisi tugas mata kuliah Genetika

Makalah ini terselesaikan tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Ucapan terima kasih penulis
ucapkan kepada Bapak Seno Johari selaku dosen pengampu mata kuliah Genetika yang telah
membimbing dan mengarahkan jalannya pembuatan makalah ini.

Penulis memohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan
makalah ini. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan dari semua pihak demi
perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Semarang, Juni 2012

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Genetika adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat keturunan (hereditas) serta segala sluk
beluknya selama ilmiah. Genetika disebut juga ilmu keturunan, ilmu ini mempelajari berbagai
aspek yang menyangkut pearisan sifat, bagaimana sifat keturunan ilmu itu diturunkan dari
generasi kegenerasi serta variasi-variasi yang mungkin timbul didalamnya atau yang
menyertainya. Pewarisan sifat tersebut dapat terjadi melalui proses seksual. Genetika berusaha
membawakan material pembawa informasi untuk diwariskan (bahan genetik), bagaimana
informasi tersebut di ekspresikan ekspresi genetic dan bagaimana informasi tersebut dipindahkan
dari individu satu ke individu lain. PCR adalah suatu metode in vitro yang digunakan untuk
mensintesis sekuens tertentu DNA dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang
menghibridisasi pita yang berlawanan dan mengapit dua target DNA. Kesederhanaan dan
tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens DNA yang diperoleh menyebabkan teknik ini
semakin luas penggunaannya.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dan manfaat dari mempelajari materi ini yaitu dapat mengetahui kegunaan dari PCR,
komponan-komponan PCR dan proses PCR.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian PCR (Polimerase Chain Reaction)

Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR (polymerase chain reaction)
merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa
menggunakan organisme. Dengan teknik ini, DNA dapat dihasilkan dalam jumlah besar dengan
waktu relatif singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA.
Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1983 dan ia memperoleh hadiah Nobel pada
tahun 1994 berkat temuannya tersebut. Penerapan PCR banyak dilakukan di bidang biokimia dan
biologi molekular karena relatif murah dan hanya memerlukan jumlah sampel yang kecil. PCR
(Polimerase Chain Reaction) atau reaksi berantai polimerase adalah suatu metode in vitro yang
digunakan untuk mensintesis sekuens tertentu DNA dengan menggunakan dua primer
oligonukleotida yang menghibridisasi pita yang berlawanan dan mengapit dua target DNA.
Kesederhanaan dan tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens DNA yang diperoleh
menyebabkan teknik ini semakin luas penggunaannya.

2.2. Komponen
Selain DNA template yang akan digandakan dan enzim DNA polymerase, komponen lain yang
dibutuhkan adalah:

1. a. Primer

Primer adalah sepasang DNA utas tunggal atau oligonukleotida pendek yang menginisiasi
sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA. Jadi jangan
membayangkan kalau PCR mampu menggandakan seluruh DNA bakteri E. coli yang panjangnya
kira-kira 3 juta bp itu. PCR hanya mampu menggandakan DNA pada daerah tertentu sepanjang
maksimum 10000 bp saja, dan dengan teknik tertentu bisa sampai 40000 bp. Primer dirancang
untuk memiliki sekuen yang komplemen dengan DNA template, jadi dirancang agar menempel
mengapit daerah tertentu yang kita inginkan.

1. b. dNTP (deoxynucleoside triphosphate)

dNTP alias building blocks sebagai ‘batu bata’ penyusun DNA yang baru. dNTP terdiri atas 4
macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP.

1. c. Buffer

Buffer yang biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia untuk mengkondisikan reaksi agar berjalan
optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase.

1. d. Ion Logam

 Ion logam bivalen, umumnya Mg++, fungsinya sebagai kofaktor bagi enzim DNA
polymerase. Tanpa ion ini enzim DNA polymerase tidak dapat bekerja.

 Ion logam monovalen, kalsium (K+).

2.3. Prinsip Kerja

Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara 20–30 kali siklus. Setiap siklus
terdiri atas tiga tahap. Berikut adalah tiga tahap bekerjanya PCR dalam satu siklus:
1. Tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada tahap ini (berlangsung pada suhu tinggi,
94–96 °C) ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi) dan DNA menjadi berberkas
tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR tahap ini dilakukan agak lama (sampai 5 menit)
untuk memastikan semua berkas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak
stabil dan siap menjadi templat (“patokan”) bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit.

2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA templat yang
komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45–60 °C. Penempelan ini
bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau
primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.

3. Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA
polimerase yang dipakai. Dengan Taq-polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada
suhu 76 °C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.

Lepas tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa
berkas baru (berwarna hijau) menjadi templat bagi primer lain. Akhirnya terdapat berkas DNA
yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan berlimpah
karena penambahan terjadi secara ksponensial

Pada tahap denaturasi, pasangan untai DNA templat dipisahkan satu sama lain sehingga menjadi
untai tunggal. Pada tahap selanjutnya, masing-masing untai tunggal akan ditempeli oleh primer.
Jadi, ada dua buah primer yang masing-masing menempel pada untai tunggal DNA templat.
Biasanya, kedua primer tersebut dinamakan primer maju (forward primer) dan primer
mundur(reverse primer). Setelah menempel pada untai DNA templat, primer mengalami
polimerisasi mulai dari tempat penempelannya hingga ujung 5’ DNA templat (ingat polimerisasi
DNA selalu berjalan dari ujung 5’ ke 3’ atau berarti dari ujung 3’ ke 5’ untai templatnya).
Dengan demikian, pada akhir putaran reaksi pertama akan diperoleh dua pasang untai DNA jika
DNA templat awalnya berupa sepasang untai DNA.

Pasangan-pasangan untai DNA yang diperoleh pada suatu akhir putaran reaksi akan menjadi
templat pada putaran reaksi berikutnya. Begitu seterusnya hingga pada putaran yang ke n
diharapkan akan diperoleh fragmen DNA pendek sebanyak 2n – 2n. Fragmen DNA pendek yang
dimaksudkan adalah fragmen yang ukurannya sama dengan jarak antara kedua tempat
penempelan primer. Fragmen pendek inilah yang merupakan urutan target yang memang
dikehendaki untuk digandakan (diamplifikasi).

Bisa kita bayangkan seandainya PCR dilakukan dalam 20 putaran saja, maka pada akhir reaksi
akan diperoleh fragmen urutan target sebanyak 220 – 2.20 = 1.048576 – 40 = 1.048536 ! Jumlah
ini masih dengan asumsi bahwa DNA templat awalnya hanya satu untai ganda. Padahal
kenyataannya, hampir tidak mungkin DNA templat awal hanya berupa satu untai ganda. Jika
DNA templat awal terdiri atas 20 untai ganda saja, maka jumlah tadi tinggal dikalikan 20
menjadi 20.970.720, suatu jumlah yang sangat cukup bila akan digunakan sebagai fragmen
pelacak.
2.4. Perancangan Primer

Tahapan PCR yang paling menentukan adalah penempelan primer. Sepasang primer
oligonukleotida (primer maju dan primer mundur) yang akan dipolimerisasi masing-masing
harus menempel pada sekuens target, tepatnya pada kedua ujung fragmen yang akan
diamplifikasi. Untuk itu urutan basanya harus komplementer atau setidak-tidaknya memiliki
homologi cukup tinggi dengan urutan basa kedua daerah ujung fragmen yang akan diamplifikasi
itu. Padahal, kita belum mengetahui dengan pasti urutan basa sekuens target. Oleh karena itu,
diperlukan cara tertentu untuk merancang urutan basa kedua primer yang akan digunakan.

Dasar yang digunakan adalah urutan basa yang diduga mempunyai kemiripan dengan urutan
basa sekuens target. Urutan ini adalah urutan serupa dari sejumlah spesies/strain organisme
lainnya yang telah diketahui/dipublikasikan. Sebagai contoh, untuk merancang sepasang primer
yang diharapkan dapat mengamplifikasi sebagian gen lipase pada isolat Bacillus termofilik
tertentu dapat digunakan informasi urutan basa gen lipase dari strain-strain Pseudomonas
fluorescens, P. mendocina , dan sebagainya, yang sebelumnya telah diketahui.

Urutan-urutan basa fragmen tertentu dari berbagai strain tersebut kemudian dijajarkan dan dicari
satu daerah atau lebih yang memperlihatkan homologi tinggi antara satu strain dan lainnya.
Daerah ini dinamakan daerah lestari (conserved area). Sebagian/seluruh urutan basa pada daerah
lestari inilah yang akan menjadi urutan basa primer.

Sebenarnya, daerah lestari juga dapat ditentukan melalui penjajaran urutan asam amino pada
tingkat protein. Urutan asam amino ini kemudian diturunkan ke urutan basa DNA. Dari satu
urutan asam amino sangat mungkin akan diperoleh lebih dari satu urutan basa DNA karena setiap
asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu triplet kodon. Dengan demikian, urutan basa
primer yang disusun dapat merupakan kombinasi beberapa kemungkinan. Primer dengan urutan
basa semacam ini dinamakan primer degenerate. Selain itu, primer yang disusun melalui
penjajaran urutan basa DNA pun dapat merupakan primer degenerate karena urutan basa pada
daerah lestari di tingkat DNA pun tidak selamanya memperlihatkan homologi sempurna (100%).

Urutan basa pasangan primer yang telah disusun kemudian dianalisis menggunakan program
komputer untuk mengetahui kemungkinan terjadinya primer-dimer akibat homologi sendiri(self-
homology) atau homologi silang (cross-homology). Selain itu, juga perlu dilihat kemungkinan
terjadinya salah tempel(mispriming), yaitu penempelan primer di luar sekuens target. Analisis
juga dilakukan untuk mengetahui titik leleh (Tm) masing-masing primer dan kandungan GC-nya.
Sepasang primer yang baik harus mempunyai Tm yang relatif sama dengan kandungan GC yang
cukup tinggi.

2.5. Aplikasi teknik PCR

Kary B Mullis yang telah menemukan dan mengaplikasikan PCR pada tahun 1984. Saat ini PCR
sudah digunakan secara luas untuk berbagai macam kebutuhan, diantaranya:
1. a. Isolasi Gen

Kita tahu bahwa DNA makhluk hidup memiliki ukuran yang sangat besar, DNA manusia saja
panjangnya sekitar 3 miliar basa, dan di dalamnya mengandung ribuan gen. Sebagaimana kita
tahu bahwa fungsi utama DNA adalah sebagai sandi genetik, yaitu sebagai panduan sel dalam
memproduksi protein, DNA ditranskrip menghasilkan RNA, RNA kemudian diterjemahkan
untuk menghasilkan rantai asam amino alias protein. Dari sekian panjang DNA genome, bagian
yang menyandikan protein inilah yang disebut gen, sisanya tidak menyandikan protein atau
disebut ‘junk DNA’, DNA ‘sampah’ yang fungsinya belum diketahui dengan baik. Kembali ke
pembahasan isolasi gen, para ahli seringkali membutuhkan gen tertentu untuk diisolasi. Sebagai
contoh, dulu kita harus mengekstrak insulin langsung dari pankreas sapi atau babi, kemudian
menjadikannya obat diabetes, proses yang rumit dan tentu saja mahal serta memiliki efek
samping karena insulin dari sapi atau babi tidak benar-benar sama dengan insulin manusia.
Berkat teknologi rekayasa genetik, kini mereka dapat mengisolasi gen penghasil insulin dari
DNA genome manusia, lalu menyisipkannya ke sel bakteri (dalam hal ini E. coli) agar bakteri
dapat memproduksi insulin juga. Hasilnya insulin yang sama persis dengan yang dihasilkan
dalam tubuh manusia, dan sekarang insulin tinggal diekstrak dari bakteri, lebih cepat, mudah,
dan tentunya lebih murah ketimbang cara konvensional yang harus ‘mengorbankan’ sapi atau
babi. Untuk mengisolasi gen, diperlukan DNA pencari atau dikenal dengan nama ‘probe’ yang
memiliki urutan basa nukleotida sama dengan gen yang kita inginkan. Probe ini bisa dibuat
dengan teknik PCR menggunakan primer yang sesuai dengan gen tersebut.

1. b. DNA Sequencing

Urutan basa suatu DNA dapat ditentukan dengan teknik DNA Sequencing, metode yang umum
digunakan saat ini adalah metode Sanger (chain termination method) yang sudah dimodifikasi
menggunakan dye-dideoxy terminator, dimana proses awalnya adalah reaksi PCR dengan
pereaksi yang agak berbeda, yaitu hanya menggunakan satu primer (PCR biasa menggunakan 2
primer) dan adanya tambahan dideoxynucleotide yang dilabel fluorescent. Karena warna
fluorescent untuk setiap basa berbeda, maka urutan basa suatu DNA yang tidak diketahui bisa
ditentukan.

1. c. Forensik

Identifikasi seseorang yang terlibat kejahatan (baik pelaku maupun korban), atau korban
kecelakaan/bencana kadang sulit dilakukan. Jika identifikasi secara fisik sulit atau tidak mungkin
lagi dilakukan, maka pengujian DNA adalah pilihan yang tepat. DNA dapat diambil dari bagian
tubuh manapun, kemudian dilakukan analisa PCR untuk mengamplifikasi bagian-bagian tertentu
DNA yang disebut fingerprints alias DNA sidik jari, yaitu bagian yang unik bagi setiap orang.
Hasilnya dibandingkan dengan DNA sidik jari keluarganya yang memiliki pertalian darah,
misalnya ibu atau bapak kandung. Jika memiliki kecocokan yang sangat tinggi maka bisa
dipastikan identitas orang yang dimaksud. Konon banyak kalangan tertentu yang memanfaatkan
pengujian ini untuk menelusuri orang tua ‘sesungguhnya’ dari seorang anak jika sang orang tua
merasa ragu.

1. d. Diagnosa Penyakit
Penyakit Influenza A (H1N1) yang sebelumnya disebut flu babi sedang mewabah saat ini,
bahkan satu fase lagi dari fase pandemi. Penyakit berbahaya seperti ini memerlukan diagnosa
yang cepat dan akurat. PCR merupakan teknik yang sering digunakan. Teknologi saat ini
memungkinkan diagnosa dalam hitungan jam dengan hasil akurat. Disebut akurat karena PCR
mengamplifikasi daerah tertentu DNA yang merupakan ciri khas virus Influenza A (H1N1) yang
tidak dimiliki oleh virus atau makhluk lainnya.

Gambar proses prinsip kerja PCR (Polimerase Chain Reaction)

BAB III

KESIMPULAN

Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR (kependekan dari istilah
bahasa Inggris polymerase chain reaction) merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan
(replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Secara prinsip, PCR
merupakan proses yang diulang-ulang antara dua puluh sampai tiga puluh kali siklus. Setiap
siklus terdiri atas tiga tahap yaitu Tahap peleburan (melting) atau denaturasi, Tahap penempelan
atau annealing dan Tahap pemanjangan atau elongasi. Lepas tahap ketika, siklus diulang kembali
mulai tahap satu. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa berkas baru (berwarna hijau)
menjadi templat bagi primer lain. Akhirnya terdapat berkas DNA yang panjangnya dibatasi oleh
primer yang dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara
eksponensial.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sesuai dengan pasal (1) PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran air, mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji
berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kualitas air didefinisikan sebagai kadar parameter air yang dianalisis
secara teliti sehingga menunjukkan mutu dan karakteristik air. Mutu dan karakteristik air
ditentukan oleh jenis dan sifat-sifat bahan yang terkandung didalamnya.Tidak mengandung
kuman-kuman penyakit seperti disentri,tipus,kolera,dan bakteri patogen penyebab penyakit.
Bakteri adalah kelompok organisme yang tidak memiliki membran inti sel. Organisme ini
termasuk ke dalam domain prokariota dan berukuran sangat kecil (mikroskopik), serta memiliki
peran besar dalam kehidupan di bumi. Beberapa kelompok bakteri dikenal sebagai agen
penyebab infeksi dan penyakit, sedangkan kelompok lainnya dapat memberikan manfaat
dibidang pangan, pengobatan, dan industri.
Uji biokimia merupakan salah uji yang digunakan untuk menentukan spesies kuman yang
tidak diketahui sebelumnya. Setiap kuman memiliki sifat biokimia yang berbeda sehingga
tahapan uji biokimia ini sangat membantu proses identifikasi.Selain metode dengan uji biokimia
dapat juga dilakukan dengan metode biomolekuler.salah satu contoh teknik biomolekuler yaitu
dengan menggunakan PCR.
1.2 Rumusan masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah
1. Bagaimana standart kualitas air yang baik menurut SNI?
2. Bagaimana metode identifikasi bakteri secara biokimia dan biomolekuler?
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui standart kualitas air yang baik menurut SNI.
2. Untuk mengetahui metode identifikasi bakteri secara biokimia dan biomolekule
BAB II
ISI

2.1 Standart kualitas air menurut SNI


Sesuai dengan pasal (1) PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran air, mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji
berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kondisi kualitas air tersebut sangat penting untuk menentukan layak
atau tidaknya air untuk digunakan sesuai dengan peruntukan atau kelasnya.Namun, dengan
adanya siklus hidrologi air yang memungkinkan terjadinya pencampuran air dari berbagai
sumber, ditambah dengan sifat air yang merupakan pelarut universal, maka memungkinkan
terjadinya perubahan kualitas airdari keadaan awalnya.
Masing-masing parameter kualitas air memiliki nilai amban gbatas yang berbeda. Sesuai
pasal (14) PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Airdan Pengendalian Pencemaran
air, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air, maka kondisi mutu air ditetapkan dalam
kondisi cemar.Untuk menentukan apakah kondisi mutu air berada pada kondisi cemar atau
kondisi baik, perlu dilakukan pengukuran parameter kualitas air menggunakan metode-metode
tertentu yang sudah terstandarisasi. Beberapa parameter yang sering digunakan sebagai
parameter pencemaran air adalah sebagai berikut :
1. Parameter fisika
Parameter-parameter fisika yang biasanya digunakan untuk menentukan kualitas
airmeliputi suhu, kecerahan dan kekeruhan, warna, konduktivitas, padatan total, padatan terlarut,
padatan tersuspensi, dan salinitas.
a. Padatan tersuspensi / Total Suspended Solid (TSS)
TSS adalah padatan yang dapat terambil dengan filter. TSS dapat termasuk :endapan lumpur,
humus, dan sampah. Tingginya konsentrasi suspended soliddapat menyebabkan beberapa
masalah untuk beberapa peralatan industry dankehidupan organism akuatik.Tingginya TSS dapat
menghambat masuknya sinar matahari ke dalam perairan.Jika hal tersebut terjadi, proses
fotosintesis akan terhambat. Pengurangan aktifitasfotosintesis akan mengurangi oksigen terlarut
yang dilepas oleh tanaman air kebadan air. Tingginya nilai TSS juga akan menyebabkan
kenaikan suhu permukaan air karena material tersuspensi dapat menyerap panas dari
sinarmatahari, dan menyebabkan tingginya tingkat kekeruhan (turbiditas).TSS dapat
meningkatkan konsentrasi bakteri, kelarutan nutrient, pestisida, danlogam berat dalam air. Dalam
industry, TSS dapat menyebabkan penyumbatanatau scouring pada pipa dan mesin.Nilai baku
mutu TSS adalah 50 mg/L untuk air kelas I dan II; dan 400 mg/Luntuk air kelas III dan IV.
b. Besi
Besi adalah salah satu elemen yang dapat ditemui hampir pada setiap tempat dibumi.
Kandungan Fe ini berhubungan dengan struktur tanah. Selain bersumberdari dalam tanah sendiri,
Fe dapat pula berasal dari sumber lain, diantaranyalarutnya pipa besi reservoir air yang terbuat
dari besi atau endapan-endapanbuangan industry. Nilai baku mutu untuk Fe ialah ialah 0,3 mg/L
bagi pengolahan air minum secaramodern, dan 0,5 mg/L bagi pengolahan air minum secara
tradisional. Apabila konsentrasi besi terlarut dalam air melebihi batas tersebut, akan
menyebabkan berbagai masalah. Air minum yang mengandung Fe terlalu tinggi, cenderung
menimbulkan mual apabila dikonsumsi. Selain itu dalam dosis besar dapat merusak dinding usus
2. Parameter biologis
Parameter biologis yang sering digunakan untuk mengethui kualitas air adalah kandungan
total coliform, termasuk di dalamnya adalah fecal coliform.
a. Total Coliform
Bakteri coliform dapat digunakan sebagai indicator adanya pencemaran feses atau kotoran
manusia dan hewan di dalam perairan. Golongan bakteri ini umumnyaterdapat di dalam feses
manusia dan hewan. Keberadaan bakteri ini di dalam airtidak dikehendaki, baik ditinjau dari segi
kesehatan, estetika, kebersihan maupunkemungkinan terjadinya infeksi yang berbahaya.
Beberapa jenis penyakit dapatditularkan oleh bakteri coliform melalui air, terutama penyakit
perut seperti tipus,kolera dan disentri. Bakteri coliform juga merupakan bakteri indicator dalam
menilai tingkat higienitas suatu perairan.Nilai baku mutu untuk total coliform adalah
1000jml/100ml untuk air kelas I,5000jml/100ml untuk air kelas II, dan 10000jml/100ml untuk
air kelas III-IV.
Berikut ini tabel standart kualitas air yang baik sesuai pasal (14) PP No.82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Airdan Pengendalian Pencemaran air:
2.2 Metode identifikasi bakteri dengan biokimia
Uji biokimia bakteri merupakan suatu cara atau perlakuan yang dilakukan untuk
mengidentifikasi dan mendeterminasi suatu biakan murni bakteri hasil isolasi melalui sifat - sifat
fisiologinya. Proses biokimia erat kaitannya dengan metabolisme sel, yakni selama reaksi
kimiawi yang dilakukan oleh sel yang menghasilkan energi maupun yang menggunakan energi
untuk sintesis komponen-komponen sel dan untuk kegiatan selular, seperti pergerakan. Suatu
bakteri tidak dapat dideterminasi hanya berdasarkan sifat-sifat morfologinya saja, sehingga perlu
diteliti sifat-sifat biokimia dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya.
Ciri fisiologi ataupun biokimia merupakan kriteria yang amat penting di dalam
identifikasi spesimen bakteri yang tidak dikenal karena secara morfologis biakan ataupun sel
bakteri yang berbeda dapat tampak serupa, tanpa hasil pegamatan fisiologis yang memadai
mengenai kandungan organik yang diperiksa maka penentuan spesiesnya tidak mungkin
dilakukan. Karakterisasi dan klasifikasi sebagian mikroorganisme seperti bakteri berdasarkan
pada reaksi enzimatik maupun biokimia. Mikroorganisme dapat tumbuh pada beberapa tipe
media yang memproduksi tipe metabolit yang dapat dideteksi dengan reaksi antara
mikroorganisme dengan reagen test yang dapat menghasilkan perubahan warna reagen.
Berikut ini macam-macam dari metode identifikasi bakteri menggunakan uji biokimia:
1. Uji indol
Media yang dipakai adalah pepton 1%. Uji indol digunakan untuk mengetahui apakah
kuman mempunyai enzim triptophanase sehingga kuman tersebut mampu mengoksidasi asam
amino triptophan membentuk indol. Adanya indol dapat diketahui dengan penambahan reagen
Ehrlich/Kovac’s yang berisi paradimetil amino bensaldehid. Interpretasi hasil : negatif (-) : Tidak
terbentuk lapisan cincin berwarna merah pada permukaan biakan, artinya bakteri ini tidak
membentuk indol dari triptophan sebagai sumber karbon. Positif (+) : Terbentuk lapisan cincin
berwarna merah pada permukaan biakan, artinya bakteri ini membentuk indol dari triptophan
sebagai sumber karbon(Cowan, 2004).

Gambar 2.1 Uji Indol (Ratna, 2012)

2. Uji MR,
Media yang digunakan adalah pepton glukosa phosphat. Uji ini digunakan untuk mengetahui
adanya fermentasi asam campuran (metilen glikon). Interpretasi hasil : negatif (-) : Tidak terjadi
perubahan warna media menjadi merah setelah ditambah methyl red 1%. Positif (+) : Terjadi
perubahan warna media menjadi merah setelah ditambahkan methyl red 1%. Artinya bakteri
menghasilkan asam campuran (metilen glikon) dari proses fermentasi glukosa yang terkandung
dalam media MR (Cowan, 2004).

Gambar 2.2 Uji MR (Ratna, 2012)

3. Uji VP
Media yang dipakai adalah pepton glukosa phosphat. Uji ini digunakan untuk mengetahui
pembentukan asetil metil karbinol (asetoin) dari hasil fermentasi glukosa. Interpretasi hasil :
negatif (-) : tidak terjadi perubahan warna media menjadi merah setelah ditambahkan a naphtol
5% dan KOH 40%. Positif (+) : terjadi perubahan warna media menjadi merah setelah
ditambahkan a naphtol 5% dan KOH 40%, artinya hasil akhir fermentasi bakteri adalah asetil
metil karbinol (asetoin) (Colome, 2001).

Gambar 2.3 Uji VP (Ratna, 2012)

4. Uji Citrat,
Media yang dipakai adalah Simons citrat. Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui apakah
kuman menggunakan sitrat sebagai sumber karbon. Pada media Simons citrat berisi indikator
BTB (Brom Tymol Blue). Apabila bakteri menggunakan sitrat sebagai sumber karbon maka
media berubah menjadi basa dan berubah warna menjadi biru. Interpretasi hasil : negatif (-) :
tidak terjadinya perubahan warna media dari hijau menjadi biru. Artinya bakteri ini tidak
mempunyai enzim sitrat permease yaitu enzim spesifik yang membawa sitrat ke dalam sel.
Sehingga kuman tidak menggunakan citra sebagai salah satu/satu-satunya sumber karbon.
Positif (+) : terjadinya perubahan warna media dari hijau menjadi biru, artinya kuman
menggunakan citrat sebagai salah satu/satu-satunya sumber karbon (Ratna, 2012).

Gambar 2.4 Uji Citrat (Ratna, 2012)

5. Uji Motilitas
Media yang dipakai adalah media yang bersifat semi solid dengan kandungan agar-
agar 0,2-0,4%. Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui gerak kuman, bisa memakai media
MO (Motilitas Ornitin) atau SIM (Sulfida Indol Motility). Pada media SIM selain untuk melihat
motilitas bisa juga untuk test indol dan pembentukan H2S. Interpretasi hasil : negatif (-) : terlihat
adanya penyebaran yang berwarna putih seperti akar hanya pada bekas tusukan inokulasi. Positif
(+) : terlihat adanya penyebaran yang berwarna putih seperti akar disekitar inokulasi. Hal ini
menunjukan adanya pergerakan dari bakteri yang diinokulasikan, yang berarti bahwa bakteri ini
memiliki flagel (Burrows, 2004).
6. Uji Urenase,
Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui apakah kuman mempunyai enzim urease
yang dapat menguraikan urea membentuk amoniak. Media urea berisi indikator phenol red.
Interpretasi hasil : negatif (-) : tidak terjadi perubahan warna media menjadi pink/merah jambu,
artinya kuman tidak memecah urea membentuk amoniak. Positif (+) : tidak terjadi perubahan
warna media menjadi pink/merah jambu, artinya kuman memecah urea membentuk amoniak
(Lim, 2006).

Gambar 2.5 Uji Urenase (Ratna, 2012)

7. Uji TSA (Triple Sugar Iron Agar),


Tujuan dari tes ini adalah untuk mengetahui kemampuan kuman untuk
memfermentasikan karbohidrat. Pada media TSIA berisi 3 macam karbohidrat yaitu glukosa,
laktosa dan sukrosa. Indikatornya adalah phenol red yang menyebabkan perubahan warna dari
merah orange menjadi kuning dalam suasana asam. Glukosa berada di dasar media sedangkan
laktosa dan sukrosa berada di bagian lereng. Selain menggunakan media TSIA dapat pula
digunakan media KIA (Kligers Iron Agar), bedanya adalah pada media KIA hanya berisi 2
macam karbohidrat yaitu glukosa dan laktosa. Interpretasi hasil : hanya memfermentasi glukosa :
Bila pada dasar (butt) media berwarna kuning (bersifat asam) dan lereng (slant) berwarna merah
(bersifat basa) ? Al/Ac atau K/A. Memfermentasi semua karbohidrat : bila pada dasar (butt)
media berwarna kuning (bersifat asam) dan lereng (slant) berwarna kuning (bersifat asam) ?
Ac/Ac atau A/A. Tidak memfermentasi semua karbohidrat : bila pada dasar (butt) media
berwarna merah (bersifat basa) dan lereng (slant) berwarna merah (bersifat basa) ? Al/Al atau
K/K. Fermentasi pada TSIA juga disertai dengan pembentukan gas CO2 yang dapat dilihat dari
pecahnya dan terangkatnya agar.
Media TSIA juga dapat digunakan untuk mengetahui pembentukan H2S yaitu melihat
apakah kuman memfermentasi metionin dan sistein (Asam amino yang mempunyai gugus S).
Pada media TSIA terdapat asam amino metionin dan sistein, jika kuman memfermentasi kedua
asam amino ini maka gugus S akan keluar dan gugus S akan bergabung dengan H2O membentuk
H2S. Selanjutnya H2S bergabung dengan Fe2+ membentuk FeS berwarna hitam dan mengendap
(Buchanan, 2003).

Gambar 2.6 Uji TSA (Ratna, 2012)

8. Uji Gula-gula,
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah kuman memfermentasi masing-masing
gula diatas membentuk asam. Media gula-gula ini terpisah dalam 5 tabung yang berbeda dan
media yang digunakan adalah masing-masing gula dengan konsentrasi 1% dalam pepton.
Masing-masing gula gula ditambahkan indikator phenol red. Interpretasi hasil : negatif (-) : tidak
terjadi perubahan warna media dari merah menjadi kuning, artinya kuman tidak memfermentasi
gula .Positif (+) : terjadi perubahan warna media dari merah menjadi kuning.Artinya kuman
memfermentasi gula membentuk ditandai dengan tinta pada tutup kapas yang berbeda-beda.
Untuk glukosa tidak berwarna, laktosa berwarna ungu, maltosa berwarna merah, manitol
berwarna hijau, dan sukrosa berwarna biru.
Didalam media gula- asam, positif + gas (+g) : Terjadi perubahan warna media dari
merah menjadi kuning. Artinya kuman memfermentasi gula membentuk asam dan gas. Gas yang
diperhitungan minimal 10% dari tinggi tabung durham(Adam, 2001)
Gambar 2.7 Uji Gula-gula (Ratna, 2012)

2.3 Teknik identifikasi bakteri menggunakan metode biomolekuler


1. Analisis Sidik Jari Menggunakan rep-PCR
Ada beberapa macam teknik sidik jari yang telah digunakan secara luas terutama untuk
identifikasi strain bakteri di bidang epidemiologi serta ekologi mikrobia. Secara garis besar ada
dua pendekatan umum dari teknik sidik jari untuk menentukan strain bakteri. Pertama,
berdasarkan analisis RFLP yang mendeteksi variasi sekuens dengan membandingkan ukuran dan
jumlah fragmen restriksi yang dihasilkan melalui pemotongan DNA oleh enzim restriksi. Kedua,
variasi multipel amplikon dengan ukuran berbeda yang merupakan produk amplifikasi dengan
primer. Kelompok kedua ini mencakup repetitive sequence based-Polymerase Chain Reaction
(rep-PCR),Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dan Arbitrary Priming-PCR (AP-
PCR)
rep-PCR telah banyak digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk identifikasi
methylobacter yang berasosiasi dengan tanaman untuk membedakan strain Eschericia coli dari
ekologi yang berbeda ,serta untuk penentuan diversitas genetik pada Pseudomonas fluorescence.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah standart kualitas air yang baik itu sesuai dengan
pasal (1) PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
air, mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-
parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Teknik identifikasi bakteri bisa dilakukan dengan biokimia dan metode
biomolekuler.Berberapa uji biokimia untuk identifikasi bakteri sebagai berikut: Uji Gula-gula,
Uji TSA (Triple Sugar Iron Agar), Uji Urenase, Uji Motilitas, Uji Citrat, Uji VP, Uji MR dan Uji
indol sedangkan untuk metode biomolekuler bisa menggunakan Analisis Sidik Jari
Menggunakan rep-PCR.

Pada dasarnya, teknik identifikasi bertujuan untuk mengetahui identitas berupa nama spesies dari
mikroorganisme (dapat berupa spesies bakteri, kapang, maupun yeast) seakurat mungkin.
Kebutuhan identifikasi mikroorganisme sangat bergantung pada siapa yang melakukan
identifikasi dan untuk apa identitas mikroorganisme tersebut digunakan. Sebagai contoh, sebuah
industri yang memproduksi produk pangan memerlukan quality control yang ketat untuk
mencegah adanya kontaminasi mikroorganisme dalam produk mereka. Identitas mikroorganisme
menjadi penting sebagai acuan langkah tindak lanjut apabila ditemukan kontaminasi pada
produk. Contoh yang lain adalah dalam bidang kesehatan dan kedokteran, dimana identitas suatu
mikroorganisme patogen yang menyebabkan penyakit pada pasien sangat diperlukan sebagai
acuan tindakan pemberian antibiotik maupun treatment pengobatan. Selain itu, para peneliti
fundamental memerlukan identitas mikroorganisme secara akurat sebagai dasar untuk melakukan
penelitian selanjutnya khususnya dalam penelitian bioprocess engineering maupun optimasi
proses metabolisme.

Secara umum, terdapat dua teknik identifikasi mikroorganisme yang paling utama, yaitu
identifikasi berdasarkan karakter fenotip dan berdasarkan karakter genotip. Teknik identifikasi
berdasarkan karakter morfologi (fenotip) dikenal sebagai teknik identifikasi konvensional,
sedangkan teknik identifikasi karakter molekuler (genotip) merupakan teknik identifikasi
modern. Identifikasi fenotip mikroorganisme dilakukan dengan cara mengkarakterisasi ciri
morfologi secara makroskopik (bentuk, warna, pola, kecepatan tumbuh koloni) dan mikroskopik
(bentuk, warna, struktur, pengecatan Gram sel), ciri fisiologi dan ciri biokimia. Teknik
identifikasi karakter molekuler (genotip) erat kaitannya dengan karakterisasi/ profiling DNA
mikroorganisme menggunakan teknik molekuler berupa analisis pattern/ fingerprint-based dan
sequence-based.

Pertanyaan yang muncul di benak saya ketika menyimak penjelasan dari Dr. Anto adalah
bagaimana jika karakterisasi secara morfologi dan molekuler pada spesies yang sama, ternyata
menghasilkan identitas spesies yang berbeda? Pertanyaan ini muncul berdasarkan pengalaman
saat saya melakukan penelitian di jenjang master. Pada waktu itu, saya melakukan identifikasi
spesies yeast-like fungi berdasarkan karakter morfologi dan molekuler. Saya merasa bingung
mengapa spesies yang sama memiliki dua identitas yang berbeda berdasarkan karakterisasi
tersebut. Ketika itu, saya bersama para Professor memutuskan untuk memilih identitas spesies
berdasarkan karakterisasi molekuler sebagai nama spesies yang valid. Hal ini saya sampaikan
kepada Dr. Anto, beliau menjelaskan bahwa seharusnya, jika dalam proses karakterisasi fenotip
dan genotip menghasilkan identitas yang berbeda, diperlukan tes lanjut yang lebih spesifik
sehingga diperoleh hasil yang akurat dan valid. Uji lanjut tersebut dapat berupa fingerprinting
dan analisis biokimia yang kompleks. Saya menyampaikan bahwa jika hal tersebut dilakukan,
maka akan sangat memakan waktu dan biaya yang cukup banyak hanya untuk proses
identifikasi. Selanjutnya, Dr. Anto menjelaskan bahwa seharusnya hasil dari karakterisasi
morfologi adalah saling komplemen dan linier dengan hasil karakterisasi molekuler.

Permasalahan yang saya ajukan memperoleh jawaban pada sesi kedua hari pertama hands-on
training ketika tim dari Focus Biotech Malaysia memaparkan tentang Biolog yaitu Ms. Chai Li
Fen (Malaysia). Beliau menjelaskan bahwa jika hasil identifikasi secara morfologi berbeda
dengan hasil identifikasi secara molekuler, maka yang perlu dicek pertama kali adalah kultur
yang kita miliki. Apakah kultur mikroorganisme yang kita miliki benar-benar merupakan kultur
yang murni? Apakah ada atau tidak ada kontaminasi pada kultur yang disimpan? Apakah dalam
proses pengambilan sampel untuk proses identifikasi secara molekuler telah melalui prosedur
yang benar dan aseptis? Jika kultur kita merupakan kultur yang murni, hanya satu isolate, tidak
ada kontaminasi dan proses yang dijalankan sudah benar, maka hasil identifikasi berdasarkan
karakter morfologi dan karakter molekuler tidak akan berbeda.

Ms. Chai Li Fen dari Focus Biotech Malaysia

Berdasarkan permasalahan ini, tim Biolog menawarkan suatu inovasi yang sangat canggih dalam
identifikasi mikroorganisme, yaitu dengan menggunakan Biolog Gen III Microbial Identification
System. Sistem identifikasi mikroorganisme yang ditawarkan dengan menggunakan system ini
dapat mendeteksi lebih dari 2,500 spesies bakteri, kapang, dan khamir aerobik maupun
anaerobik. Sistem ini sangat mudah digunakan dan diaplikasikan sehingga mendukung efisiensi
waktu dan tenaga. Sistem ini menggunakan prinsip kimia redoks yang memungkinkan uji bakteri
Gram positif dan Gram negatif pada satu panel uji yang sama. Dalam kesempatan hands-on
training ini, saya menjadi seseorang yang beruntung karena dapat mencoba sistem dari Biolog
Gen III secara gratis. Saya diberikan satu microplate untuk menguji identitas bakteri yang belum
diketahui nama spesiesnya. Langkah pertama yang saya lakukan adalah dengan cara mengambil
tiga koloni bakteri tunggal dari plate media nutrient agar menggunakan cotton swab steril secara
aseptis. Selanjutnya koloni yang telah diambil dimasukkan dalam media suspensi bakteri khusus
yang sudah disediakan. Setelah dicampur, maka suspensi bakteri diukur menggunakan alat
turbidimeter hingga menunjukkan angka 98%. Angka ini menunjukkan bahwa suspensi bakteri
sudah memenuhi syarat untuk diinokulasikan ke dalam microplate Biolog Gen III. Selanjutnya,
suspensi bakteri diinokulasikan sebanyak masing-masing 100 µl ke dalam sumur microplate
menggunakan mikropipet yang dirancang khusus untuk memudahkan proses inokulasi yang
dilengkapi dengan multi-channel. Mikropipet ini merupakan standing mikropipet yang tidak
memerlukan rak untuk menggantung mikropipet ketika selesai digunakan. Mikropipet ini
didesain memiliki kaki khusus untuk menyangga pipet ketika diletakkan. Setelah selesai
melakukan inokulasi, microplate tersebut diberi label nama sampel, pemilik, dan waktu
inokulasi. Selanjutnya, microplate diinkubasi pada suhu 33 °C selama kurang lebih 20-24 jam.
Sesi hari pertama selesai sampai dengan proses inkubasi. Pembacaan hasil dilakukan pada hari
kedua.

Ovation Micropipette: Single Channel


Turbidimeter

Microplate Gen III setelah inkubasi selama 24 jam pada suhu 33 derajat Celcius

Pada hari kedua, training menjadi sangat menarik karena ada sesi informasi dari Tawada Health
Care (THC) yang menawarkan satu teknologi identifikasi bakteri tertentu berdasarkan karakter
warna koloni dan bentuk koloni menggunakan plate difusi Compact Dry dari Nissui yang sangat
ringan dan mudah dibawa kemana saja. Selanjutnya, pembacaan hasil pada microplate dilakukan
dengan didampingi Dr. Woon Chin dari Biolog menggunakan mesin semi-automated Omnilog
microplate reader. Perubahan warna yang terjadi pada sumur microplate yang sebelumnya
bening menjadi ungu dijadikan dasar bahwa mikroorganisme tersebut menggunakan substrat
yang ada di dalam sumur untuk proses metabolisme. Perubahan warna pada microplate ini
dibaca oleh mesin sehingga menghasilkan data yang dapat dicocokkan dengan database pada
sistem. Jika isolat bakteri yang diidentifikasi merupakan isolat murni, maka sistem akan
menunjukkan identitas bakteri berdasarkan hasil pencocokan database yang sesuai dan akurat.
Jika tidak, sistem tetap menunjukkan hasil identifikasi akan tetapi dengan tingkat kecocokan
yang rendah, atau bahkan tidak menunjukkan suatu identitas sama sekali (tidak ada database
spesies yang cocok).

Pembacaan Microplate

Paparan dari tim Tawada Health Care (THC)


Nissui Compact Dry TC

Hasil pembacaan identitas bakteri membuktikan bahwa sistem Biolog Gen III ini cukup canggih
dan akurat dalam proses identifikasi. Penggunaan sistem ini sangat memudahkan proses
identifikasi secara fisiologi dan biokimia, sehingga dapat menjadi suatu dasar apakah isolat yang
kita miliki adalah isolat murni atau terdapat kontaminasi. Pembacaan menggunakan sistem dari
Biolog ini dapat dijadikan dasar sebelum melakukan identifikasi lanjut menggunakan teknik
molekuler. Sehingga, diharapkan hasil identifikasi morfologi, fisiologi, dan biokimia dapat
dijadikan sebagai komplemen dan mendukung dengan hasil identifikasi molekuler, demikian
juga sebaliknya. Selanjutnya, hasil kedua identifikasi menggunakan karakter morfologi dan
karakter molekuler dapat dijadikan sebagai dasar yang akurat untuk menentukan nama spesies
mikroorganisme.

Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa teknik identifikasi mikroorganisme baik menggunakan
teknik konvensional (karakterisasi morfologi, fisiologi, dan biokimia) dan teknik molekuler
merupakan dua teknik yang saling bersinergi dan saling komplemen. Keduanya sangat penting
untuk dijadikan dasar untuk menentukan identitas suatu mikroorganisme.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini berkembang semakin pesat.
Salah satu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sering diterapkan adalah
bioteknologi. Bioteknologi merupakan pemanfaatan berbagai prinsip ilmiah dan rekayasa
terhadap organisme, sistem, atau proses biologis untuk menghasilkan atau meningkatkan potensi
organisme maupun menghasilkan produk dan jasa bagi kepentingan hidup manusia. Secara
umum bioteknologi dikelompokkan menjadi dua, yaitu bioteknologi tradisional dan bioteknologi
modern. Bioteknologi tradisional merupakan bioteknologi yang memanfaatkan mikroba, proses
biokimia, dan proses genetik yang terjadi secara alami. Bioteknologi tradisional ini terus
mengalami perkembangan hingga ditemukannya struktur DNA yang diikuti dengan penemuan
lainnya. Dengan ditemukannya struktur DNA dan berkembangnya ilmu pengetahuan tentang
DNA, muncullah istilah bioteknologi modern.
Bioteknologi modern merupakan bioteknologi yang didasarkan pada manipulasi atau
rekayasa DNA. Bioteknologi yang didasarkan pada manipulasi DNA ini dilakukan dengan
memodifikasi gen spesifik dan memindahkannya pada organisme yang berbeda, seperti bakteri,
hewan, dan tumbuhan. Produk dari bioteknologi modern, misalnya insulin, kloning domba Dolly,
antibodi monoklonal. Dalam aplikasinya, bioteknologi menerapkan berbagai macam disiplin
ilmu. Disiplin ilmu tersebut antara lain: mikrobiologi (tentang mikroba), biologi sel (tentang sel),
genetika (tentang pewarisan sifat makhluk hidup), dan biokimia (tentang makhluk hidup dilihat
dari aspek kimianya). Salah satu pokok bahasan yang penting untuk di pahami yaitu mengenai
Polymerase Chain Reaction atau yang lebih dikenal dengan istilah PCR. PCR adalah suatu
metode in vitro untuk menghasilkan sejumlah fragmen DNA spesifik dengan panjang dan jumlah
skuens yang telah ditentukan dari jumlah kecil template kompleks.
PCR merupakan suatu teknik sangat kuat dan sangat sensitif dan dapat diaplikasikan dalam
berbagai bidang seperti biologi molekuler, genetika populasi, dan analisis forensik. Mengingat
peningnya peranan teknik PCR ini terhadap perkembangan ilmu pengetahuan kedepan, maka
dalam makalah ini akan dibahas tentang teknik PCR, prinsip-prinsip PCR, pertimbangan
penggunaan PCR, dan manfaat PCR.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Polymerase Chain Reaction (PCR)?
2. Apasaja tahapan-tahapan Polymerase Chain Reaction (PCR)?
3. Alat dan bahan apa saja yang dibutuhkan dalam Polymerase Chain Reaction (PCR)?
4. Apakah komponen-komponen yang dibutuhkan dalam proses Polymerase Chain Reaction
(PCR)?
5. Apa saja variasi dari Polymerase Chain Reaction (PCR)?
6. Apa saja manfaat dari Polymerase Chain Reaction (PCR)?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pengendalian ekspresi genetic
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
3. Untuk mengetahui apa saja tahapan-tahapan Polymerase Chain Reaction (PCR).
4. Untuk mengetahui alat dan bahan apa saja yang dibutuhkan dalam Polymerase Chain Reaction
(PCR).
5. Untuk mengetahui apakah komponen-komponen yang dibutuhkan dalam proses Polymerase
Chain Reaction (PCR).
6. Untuk mengetahui apa saja variasi dari Polymerase Chain Reaction (PCR).
7. Untuk mengetahui apa saja manfaat dari Polymerase Chain Reaction (PCR).

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Polymerase Chain Reaction (PCR)


Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR (Polymerase Chain
Reaction) merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik
tanpa menggunakan organisme. Dengan teknik ini, DNA dapat dihasilkan dalam jumlah besar
dengan waktu relatif singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan
DNA. Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1983 dan ia memperoleh hadiah Nobel
pada tahun 1994 berkat temuannya tersebut. Penerapan PCR banyak dilakukan di bidang
biokimia dan biologi molekular karena relatif murah dan hanya memerlukan jumlah sampel yang
kecil. Polymerase Chain Reaction (PCR), merupakan suatu proses sintesis enzimatik untuk
mengamplifikasi nukleotida secara in vitro. Metode PCR dapat meningkatkan jumlah urutan
DNA ribuan bahkan jutaan kali dari jumlah semula. Setiap urutan basa nukleotida yang
diamplifikasi akan menjadi dua kali jumlahnya. Kunci utama pengembangan PCR adalah
menemukan bagaimana cara amplifikasi hanya pada urutan DNA target dan meminimalkan
amplifikasi urutan non-target.
Pada dasarnya reaksi PCR adalah tiruan dari proses replikasi DNA in vivo, yaitu dengan
adanya pembukaan rantai DNA (denaturasi) utas ganda, penempelan primer (annealing) dan
perpanjangan rantai DNA baru (extension) oleh DNA polimerase dari arah terminal 5’ ke 3’.
Hanya saja pada teknik PCR tidak menggunakan enzim ligase dan primer RNA. Secara singkat,
teknik PCR dilakukan dengan cara mencampurkan sampel DNA dengan primer oligonukleotida,
deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), enzim termostabil Taq DNA polimerase dalam larutan
DNA yang sesuai, kemudian menaikkan dan menurunkan suhu campuran secara berulang
beberapa puluh siklus sampai diperoleh jumlah sekuens DNA yang diinginkan.
Menurut Erlich (1989) PCR adalah suatu metode in vitro yang digunakan untuk
mensintesis sekuens tertentu DNA dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang
menghibridisasi pita yang berlawanan dan mengapit dua target DNA. Kesederhanaan dan
tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens DNA yang diperoleh menyebabkan teknik ini
semakin luas penggunaannya.
PCR didasarkan pada amplifikasi enzimatik fragmen DNA dengan menggunakan dua
oligonukleotida primer yaitu komplementer dengan ujung 5’dari dua untaian skuen target.
Oligonukleotida ini digunakan sebagai primer (primer PCR) untuk memungkikan DNA template
dikopi oleh DNA polimerase. Untuk mendukung terjadinya annealing primer ini pada template
pertama kali diperlukan untuk memisahkan untaian DNA substrat melalui pemanasan.
Hampir semua aplikasi PCR mempekerjakan DNA polimerase yang stabil terhadap panas, seperti
polimerase Taq. Awalnya enzim diisolasi dari bakteri Aquaticus Thermus. DNA polimerase
enzimatis ini merakit sebuah untai DNA baru dari pembangunan blok DNA, nukleotida , dengan
menggunakan DNA beruntai tunggal sebagai template dan oligonukleotida DNA (juga disebut
primer DNA ), yang dibutuhkan untuk inisiasi sintesis DNA. Sebagian besar metode PCR
menggunakan siklus termal , yaitu, bergantian pemanasan dan pendinginan sampel PCR untuk
serangkaian langkah pasti suhu.
Langkah-langkah siklus termal yang diperlukan pertama yang secara fisik memisahkan
dua helai dalam heliks ganda DNA pada suhu tinggi dalam proses yang disebut DNA leleh . Pada
suhu yang lebih rendah, masing-masing untai kemudian digunakan sebagai template dalam
sintesis DNA oleh polimerase DNA untuk selektif memperkuat DNA target. Selektivitas hasil
PCR dari penggunaan primer yang komplementer ke wilayah yang ditargetkan untuk amplifikasi
DNA di bawah kondisi spesifik siklus termal.
2.2 Tahapan-Tahapan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Proses PCR terdiri dari tiga tahapan, yaitu denaturasi DNA templat, penempelan
(annealing) primer, dan polimerisasi (extension) rantai DNA. Denaturasi merupakan proses
pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal DNA yang menjadi cetakan (templat)
sebagai tempat penempelan primer dan tempat kerja DNA polimerase, dengan pemanasan
singkat pada suhu 90-95°C selama beberapa menit. Penjelasan ringkas tentang setiap siklus
reaksi PCR adalah sebagai berikut:
 Denaturasi.
Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka menjadi dua untai tunggal.
Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen
diantara basa-basa yang komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan,
misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang sebelumnya. Denaturasi biasanya dilakukan antara
suhu 90 C – 955̊ C.
 Penempelan Primer.
Pada tahap penempelan primer (annealing), primer akan menuju daerah yang spesifik
yang komplemen dengan urutan primer. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan
terbentuk antara primer dengan urutan komplemen pada templat. Proses ini biasanya dilakukan
pada suhu 50oC – 60oC. Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan hidrogen
tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi
polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 72oC.
 Reaksi Polimerisasi (extension).
Umumnya, reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai ini, terjadi pada suhu 72oC.
Primer yang telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan pada sisi 3’nya dengan
penambahan dNTP yang komplemen dengan templat oleh DNA polimerase.
Jika siklus dilakukan berulang-ulang maka daerah yang dibatasi oleh dua primer akan di
amplifikasi secara eksponensial (disebut amplikon yang berupa untai ganda), sehingga mencapai
jumlah copy yang dapat dirumuskan dengan (2n)x. Dimana n adalah jumlah siklus dan x adalah
jumlah awal molekul DNA. Jadi, seandainya ada 1 copy DNA sebelum siklus berlangsung,
setelah satu siklus, akan menjadi 2 copy, sesudah 2 siklus akan menjadi 4, sesudah 3 siklus akan
menjadi 8 kopi dan seterusnya. Sehingga perubahan ini akan berlangsung secara eksponensial.
PCR dengan menggunakan enzim Taq DNA polimerase pada akhir dari setiap siklus akan
menyebabkan penambahan satu nukleotida A pada ujung 3’ dari potongan DNA yang dihasilkan.
Sehingga nantinya produk PCR ini dapat di kloning dengan menggunakan vektor yang
ditambahkan nukleotida T pada ujung-ujung 5’-nya. Proses PCR dilakukan menggunakan suatu
alat yang disebut thermocycler.

Gambar 01. Proses Amplikasi Secara Eksponensial.


Selain ketiga proses tersebut, secara umum PCR didahului dan diakhiri oleh tahapan berikut:
 Pra-Denaturasi
Dilakukan selama 1-9 menit di awal reaksi untuk memastikan kesempurnaan denaturasi
dan mengaktifasi DNA Polymerase (jenis hot-start alias baru aktif kalau dipanaskan terlebih
dahulu).
 Final Elongasi
Biasanya dilakukan pada suhu optimum enzim (70-72oC) selama 5-15 menit untuk
memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara sempurna. Proses
ini dilakukan setelah siklus PCR terakhir.

Gambar 02. Siklus Polymerase Chain Reactions (PCR)

2.3 Alat dan Bahan yang Dibutuhkan dalam Polymerase Chain Reaction (PCR)
Reagen khusus yang dibutuhkan dalam pelaksanaan proses PCR secara in vitro antara lain :
1. Pasangan primer oligonukleotida sintetik mengapit urutan yang akan diamplifikasi
2. Buffer PCR 5X (250 mM KCl, 50 mM Tris-HCl pH 8,3, 7,5 mM MgCl2)
3. Campuran dari empat dNTP (dGTP, dATP, dTTP, dCTP) masing-masing sebesar 2,5 mM (ultra
murni DNTP set, Pharmacia # 27-2035-01). DNTP campuran dibuat dengan volume 10 mM
larutan dari masing-masing empat dNTP terpisah yang digabung.
4. Taq DNA Polymerase (AmpliTaqTM, Perkin-Elmer/Cetus)
5. Minyak mineral ringan
6. Akrilamida (grade elektroforesis)
7. N, N’-Methylenebisacrylamide (grade elektroforesis, Ultra-Pure/BRL, # 5516UB)
8. Amonium persulfat (Ultra-Pure/BRL, # 5523UA)
9. TEMED (N, N, N’N ‘Tetramethylethylenediamine, Ultra-Murni / BRL, # 5524UB)
Peralatan khusus yang yang dibutuhkan dalam pelaksanaan PCR antara lain:
1. Mighty-small II SE-250 vertical gel electrophoresis unit (Hoefer)
2. Perkin-Elmer/Cetus Thermal Cycler
3. Sterile Thin-wall 0.5 ml Thermocycler microfuge tubes: (TC-5, Midwest Scientific)

2.4 Komponen-Komponen Polymerase Chain Reaction (PCR)


beberapa komponen-komponen PCR antara lain:
1. Enzim DNA Polymerase
Dalam sejarahnya, PCR dilakukan dengan menggunakan Klenow fragment DNA
Polimerase I selama reaksi polimerisasinya. Enzime ini ternyata tidak aktif secara termal selama
proses denaturasi, sehingga peneliti harus menambahkan enzim di setiap siklusnya. Selain itu,
enzim ini hanya bisa dipakai untuk perpanjangan 200 bp dan hasilnya menjadi kurang spesifik.
Untuk mengatasi kekurangan tersebut, dalam perkembangannya kemudian dipakai enzim Taq
DNA polymerase yang memiliki keaktifan pada suhu tinggi. Oleh karenanya, penambahan enzim
tidak perlu dilakukan di setiap siklusnya, dan proses PCR dapat dilakukan dalam satu mesin
2. Primer
Primer merupakan oligonukleotida pendek rantai tunggal yang mempunyai urutan
komplemen dengan DNA templat yang akan diperbanyak. Panjang primer berkisar antara 20-30
basa. Untuk merancang urutan primer, perlu diketahui urutannukleotida pada awal dan akhir
DNA target. Primer oligonukleotida di sintesis menggunakan suatu alat yang disebut DNA
synthesizer.
3. Reagen lainnya
Selain enzim dan primer, terdapat juga komponen lain yang ikut menentukan
keberhasilan reaksi PCR. Komponen tersebut adalah dNTP untuk reaksi polimerisasi, dan buffer
yang mengandung MgCl2. Konsentrasi ion Mg2+dalam campuran reaksi merupakan hal yang
sangat kritis. Konsentrasi ion Mg2+ ini sangat mempengaruhi proses primer annealing,
denaturasi, spesifisitas produk, aktivitas enzim dan fidelitas reaksi.
2.5 Variasi dari Polymerase Chain Reaction (PCR)
Ada banyak variasi dari PCR yang umum di kenal, antara lain:
 Alel-spesifik PCR : atau kloning teknik diagnostik yang didasarkan pada -nukleotida
polimorfisme tunggal (SNP) Hal ini membutuhkan pengetahuan sebelumnya dari urutan DNA,
termasuk perbedaan antara alel , dan menggunakan primer yang 3 'berakhir meliputi SNP.
amplifikasi PCR dalam kondisi ketat jauh kurang efisien dalam adanya ketidaksesuaian antara
template dan primer, amplifikasi sukses jadi dengan kehadiran sinyal primer spesifik-SNP dari
SNP spesifik secara berurutan.
 Polymerase Cycling Assembly (PCA): sintesis buatan urutan DNA yang panjang dengan
melakukan PCR di kolam oligonukleotida panjang dengan segmen tumpang tindih pendek. The
oligonukleotida bergantian antara rasa dan arah antisense, dan segmen tumpang tindih
menentukan urutan fragmen PCR, sehingga selektif menghasilkan produk DNA panjang akhir.
 Asymmetric PCR : Menguatkan satu untai DNA dalam template DNA beruntai ganda. Hal ini
digunakan dalam sequencing dan hibridisasi probing amplifikasi hanya satu dari dua untai
komplementer diperlukan. PCR dilakukan seperti biasa, tetapi dengan kelebihan besar primer
untuk untai yang ditargetkan untuk amplifikasi. Karena (lambat aritmatika amplifikasi) kemudian
dalam reaksi setelah membatasi primer telah digunakan Facebook, siklus PCR tambahan yang
diperlukan.
 Amplifikasi tergantung helikase : mirip dengan PCR tradisional, tetapi menggunakan suhu
konstan daripada bersepeda melalui denaturasi dan annealing / siklus ekstensi. DNA helikase ,
sebuah enzim yang unwinds DNA, digunakan di tempat denaturasi termal.
 Hot Start PCR : teknik yang mengurangi amplifikasi non-spesifik selama proses set up awal
tahapan PCR. Ini dapat dilakukan secara manual dengan memanaskan komponen reaksi terhadap
temperatur leleh (misalnya, 95°C) sebelum menambahkan polimerase. Khusus sistem enzim
telah dikembangkan yang menghambat polimerase, aktivitas pada suhu sekitar, baik oleh
mengikat dari antibodi atau oleh kehadiran inhibitor yang terikat kovalen yang terdisosiasi hanya
setelah suhu aktivasi langkah-tinggi. Hot-start/cold-finish PCR dicapai dengan polimerase
hibrida baru yang tidak aktif pada suhu kamar dan akan segera diaktifkan pada suhu
perpanjangan.
 PCR spesifik Intersequence (ISSR): metode PCR untuk sidik jari DNA yang memperkuat daerah
antara mengulangi urutan sederhana untuk menghasilkan sidik jari yang unik dengan panjang
fragmen diperkuat.
 Inverse PCR : umumnya digunakan untuk mengidentifikasi urutan mengapit sekitar genom
sisipan. Ini melibatkan serangkaian digestions DNA dan ligasi diri, sehingga diketahui pada
urutan kedua ujung urutan tidak diketahui.
 Mediated PCR Ligasi : menggunakan linker DNA kecil diligasikan dengan DNA kepentingan dan
beberapa primer anil ke linker DNA, tetapi telah digunakan untuk sekuensing DNA , berjalan
genom , dan DNA footprinting.
 PCR spesifik Metilasi (MSP): dikembangkan oleh Stephen Baylin dan Jim Herman di Johns
Hopkins School of Medicine dan digunakan untuk mendeteksi metilasi dari CpG pulau dalam
DNA genom. DNA pertama diobati dengan natrium bisulfit, yang mengubah unmethylated basa
sitosin ke urasil, yang diakui oleh primer PCR sebagai timin. Dua PCR kemudian dilakukan pada
DNA dimodifikasi, menggunakan primer set identik kecuali pada setiap pulau CpG dalam urutan
primer. Pada titik-titik ini, satu set primer mengakui DNA dengan sitosin untuk mengamplifikasi
DNA alkohol, dan satu set mengakui DNA dengan urasil atau timin untuk mengamplifikasi DNA
unmethylated. MSP menggunakan qPCR juga dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi
kuantitatif daripada kualitatif tentang metilasi.
 Miniprimer PCR : menggunakan polimerase termostabil (S-TBR) yang dapat memperpanjang
dari primer pendek ("smalligos") sesingkat 9 atau 10 nukleotida. Metode ini memungkinkan
menargetkan untuk mengikat PCR primer daerah yang lebih kecil, dan digunakan untuk
memperkuat sekuens DNA, seperti atau eukariotik 18S rRNA).
 Multiplex Ligasi-dependent Probe Amplifikasi (MLPA): izin beberapa sasaran diperkuat dengan
hanya sepasang primer tunggal, sehingga menghindari keterbatasan resolusi PCR multipleks.
 Multiplex-PCR : terdiri dari beberapa set primer dalam campuran PCR tunggal untuk
menghasilkan amplikon dari berbagai ukuran yang spesifik untuk sekuens DNA yang berbeda.
Dengan penargetan gen sekaligus, informasi tambahan dapat diperoleh dari lari-tes tunggal yang
tidak akan membutuhkan beberapa kali reagen dan lebih banyak waktu untuk melakukan.
temperatur Annealing untuk masing-masing set primer harus dioptimalkan untuk bekerja dengan
benar dalam reaksi tunggal, dan ukuran amplikon. Artinya, panjangnya pasangan basa harus
berbeda cukup untuk membentuk band yang berbeda ketika divisualisasikan dengan
elektroforesis gel .
 Nested PCR : meningkatkan kekhususan amplifikasi DNA, dengan mengurangi latar belakang
karena khusus non amplifikasi DNA. Dua set primer yang digunakan dalam dua PCR berturut-
turut. Dalam reaksi pertama, sepasang primer digunakan untuk menghasilkan produk DNA, yang
selain target yang dimaksud, masih dapat terdiri dari fragmen DNA non-khusus diperkuat.
Produk (s) yang kemudian digunakan dalam PCR kedua dengan satu set primer yang mengikat
situs sebagian atau seluruhnya berbeda dari dan terletak 3 'dari masing-masing primer yang
digunakan dalam reaksi pertama. Nested PCR sering lebih berhasil dalam memperkuat fragmen
spesifik DNA yang panjang dari PCR konvensional, tapi membutuhkan pengetahuan lebih rinci
tentang urutan target.
 Tumpang tindih-ekstensi PCR atau Penyambungan tumpang tindih ekstensi (BUMN) : sebuah
rekayasa genetika teknik yang digunakan untuk splice bersama lebih fragmen DNA atau dua
yang berisi urutan komplementer. Hal ini digunakan untuk bergabung dengan potongan DNA
yang mengandung gen, urutan peraturan, atau mutasi, teknik tersebut memungkinkan penciptaan
DNA spesifik dan panjang konstruksi.
 Kuantitatif PCR (Q-PCR) : digunakan untuk mengukur jumlah produk PCR (umum secara real-
time). Ini secara kuantitatif jumlah ukuran mulai DNA, cDNA, atau RNA. Q-PCR biasanya
digunakan untuk menentukan apakah urutan DNA hadir dalam sampel dan jumlah salinan dalam
sampel. Kuantitatif real-time PCR memiliki tinggi tingkat yang sangat presisi. QRT-PCR metode
menggunakan pewarna fluorescent, seperti Sybr Green, EvaGreen atau fluorophore DNA probe
yang mengandung seperti TaqMan, untuk mengukur jumlah produk yang diperkuat secara real
time. Hal ini juga kadang-kadang disingkat RT-PCR (R T ime Bit PCR) atau RQ-PCR. QRT-PCR
atau RTQ-PCR sesuai kontraksi lebih, karena RT-PCR umumnya mengacu pada reverse
transkripsi PCR (lihat di bawah), sering digunakan dalam hubungannya dengan Q-PCR.
 RT reverse transcription PCR (RT-PCR) : untuk memperkuat DNA dari RNA. Reverse
transcriptase mentranskripsi RNA menjadi cDNA , yang kemudian diamplifikasi dengan PCR.
RT-PCR secara luas digunakan dalam profiling ekspresi , untuk menentukan ekspresi gen atau
untuk mengidentifikasi urutan dari transkrip RNA, termasuk start transkripsi dan situs
penghentian. Jika urutan DNA genom gen diketahui, RT-PCR dapat digunakan untuk memetakan
lokasi ekson dan intron dalam gen. 5 'akhir dari gen (sesuai dengan awal transkripsi) biasanya
diidentifikasi oleh RACE-PCR (Rapid Amplifikasi cDNA End).
 PCR Thermal asimetris interlaced ( TAIL-PCR ) : untuk isolasi dari suatu urutan yang tidak
diketahui mengapit urutan yang dikenal. Dalam urutan diketahui, TAIL-PCR menggunakan
sepasang nested primer dengan suhu yang berbeda anil; degenerate primer digunakan untuk
memperkuat yang lain dari arah yang tidak diketahui.
 Touchdown PCR (Langkah-mundur PCR) : sebuah varian dari PCR yang bertujuan untuk
mengurangi latar belakang spesifik secara bertahap menurunkan suhu anil sebagai bersepeda
PCR berlangsung. Suhu anil pada awal siklus biasanya beberapa derajat (3-5 ° C) di atas m T
primer yang digunakan, sedangkan pada siklus kemudian, ini adalah beberapa derajat (3-5°C) di
bawah T primer m. Suhu tinggi memberikan spesifisitas yang lebih besar untuk primer mengikat,
dan suhu yang lebih rendah izin lebih amplifikasi efisien dari produk tertentu terbentuk selama
siklus awal.

2.6 Manfaat Polymerase Chain Reaction (PCR)

 Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat digunakan untuk:


Amplifikasi urutan nukleotida.
 Menentukan kondisi urutan nukleotida suatu DNA yang mengalami mutasi.
 Bidang kedokteran forensik.
 Melacak asal-usul sesorang dengan membandingkan “finger print”.

Saat ini PCR sudah digunakan secara luas untuk berbagai macam kebutuhan, diantaranya:
 Isolasi Gen.
Kita tahu bahwa DNA makhluk hidup memiliki ukuran yang sangat besar, DNA manusia
saja panjangnya sekitar 3 miliar basa, dan di dalamnya mengandung ribuan gen. Fungsi utama
DNA adalah sebagai sandi genetik, yaitu sebagai panduan sel dalam memproduksi protein, DNA
ditranskrip menghasilkan RNA, RNA kemudian diterjemahkan untuk menghasilkan rantai asam
amino alias protein. Dari sekian panjang DNA genome, bagian yang menyandikan protein inilah
yang disebut gen, sisanya tidak menyandikan protein atau disebut ‘junk DNA’, DNA ‘sampah’
yang fungsinya belum diketahui dengan baik.
Para ahli seringkali membutuhkan gen tertentu untuk diisolasi. Sebagai contoh, dulu kita
harus mengekstrak insulin langsung dari pancreas sapi atau babi, kemudian menjadikannya obat
diabetes, proses yang rumit dan tentu saja mahal serta memiliki efek samping karena insulin dari
sapi atau babi tidak benar-benar sama dengan insulin manusia.
Berkat teknologi rekayasa genetik, kini mereka dapat mengisolasi gen penghasil insulin
dari DNA genome manusia, lalu menyisipkannya ke sel bakteri (dalam hal ini E. coli) agar
bakteri dapat memproduksi insulin. Hasilnya insulin yang sama persis dengan yang dihasilkan
dalam tubuh manusia, dan sekarang insulin tinggal diekstrak dari bakteri, lebih cepat, mudah,
dan tentunya lebih murah ketimbang cara konvensional yang harus ‘mengorbankan’ sapi atau
babi.
Untuk mengisolasi gen, diperlukan DNA pencari atau dikenal dengan nama ‘probe’ yang
memiliki urutan basa nukleotida sama dengan gen yang kita inginkan. Probe ini bisa dibuat
dengan teknik PCR menggunakan primer yang sesuai dengan gen tersebut.
 DNA Sequencing.
Urutan basa suatu DNA dapat ditentukan dengan teknik DNA Sequencing, metode yang
umum digunakan saat ini adalah metode Sanger (chain termination method) yang sudah
dimodifikasi menggunakan dye-dideoxy terminator, dimana proses awalnya adalah reaksi PCR
dengan pereaksi yang agak berbeda, yaitu hanya menggunakan satu primer (PCR biasa
menggunakan 2 primer) dan adanya tambahan dideoxynucleotide yang dilabel fluorescent.
Karena warna fluorescent untuk setiap basa berbeda, maka urutan basa suatu DNA yang tidak
diketahui bisa ditentukan.
 Identifikasi Forensik.
Seseorang yang terlibat kejahatan (baik pelaku maupun korban), atau korban
kecelakaan/bencana kadang sulit dilakukan. Jika identifikasi secara fisik sulit atau tidak mungkin
lagi dilakukan, maka pengujian DNA adalah pilihan yang tepat. DNA dapat diambil dari bagian
tubuh manapun, kemudian dilakukan analisa PCR untuk mengamplifikasi bagian-bagian tertentu
DNA yang disebut fingerprints alias DNA sidik jari, yaitu bagian yang unik bagi setiap orang.
Hasilnya dibandingkan dengan DNA sidik jari keluarganya yang memiliki pertalian darah,
misalnya ibu atau bapak kandung. Jika memiliki kecocokan yang sangat tinggi maka bisa
dipastikan identitas orang yang dimaksud.
Banyak orang yang juga yang memanfaatkan pengujian ini untuk menelusuri orang tua
‘sesungguhnya’ dari seorang anak jika sang orang tua merasa ragu.
 Diagnosa Penyakit.
Penyakit Influenza A (H1N1) yang sebelumnya disebut flu babi sedang mewabah saat ini,
bahkan satu fase lagi dari fase pandemi. Penyakit berbahaya seperti ini memerlukan diagnosa
yang cepat dan akurat. PCR merupakan teknik yang sering digunakan. Teknologi saat ini
memungkinkan diagnosa dalam hitungan jam dengan hasil akurat. Disebut akurat karena PCR
mengamplifikasi daerah tertentu DNA yang merupakan ciri khas virus Influenza A (H1N1) yang
tidak dimiliki oleh virus atau makhluk lainnya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode in vitro yang digunakan untuk
mensintesis sekuens tertentu DNA dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang
menghibridisasi pita yang berlawanan dan mengapit dua target DNA.
Tahapan-Tahapan Polymerase Chain Reaction (PCR), denaturasi DNA templat,
penempelan (annealing) primer, dan polimerisasi (extension) rantai DNA.
Komponen-Komponen Polymerase Chain Reaction (PCR), Enzim DNA Polymerase:
enzim Taq DNA polymerase yang memiliki keaktifan pada suhu tinggi; Primer merupakan
oligonukleotida pendek rantai tunggal yang mempunyai urutan komplemen dengan DNA templat
yang akan diperbanyak. Panjang primer berkisar antara 20-30 basa; Reagen lainnya berupa dNTP
untuk reaksi polimerisasi, dan buffer yang mengandung MgCl2.
Manfaat Polymerase Chain Reaction (pcr), yaitu: amplifikasi urutan nukleotida,
menentukan kondisi urutan nukleotida suatu DNA yang mengalami mutasi, bidang kedokteran
forensik, melacak asal-usul sesorang dengan membandingkan DNA “finger print”.
3.2 Saran
Hendaknya pembahasan tentang Polymerase Chain Reactions (PCR) dapat lebih di
perdalam, mengingat bahasan yang disajikan dalam makalah ini masih sangat sedikit. Sehingga
diharapkan pengetahuan kita tentang Polymerase Chain Reactions (PCR) akan lebih baik, guna
menunjang pengetahuan yang kita miliki sebagai seorang mahasiswa.

Anda mungkin juga menyukai