PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mutasi, secara umum merupakan perubahan yang terjadi pada materi
genetik. Mutasi meliputi mutasi gen dan mutasi kromosom. Pada mutasi
kromosom, terjadi perubahan kromosom yang meliputi perubahan struktur dan
perubahan jumlah kromosom. Salah satu penyebab terjadinya perubahan jumlah
kromosom adalah peristiwa gagal berpisah atau nondisjunction. Pada peristiwa
gagal berpisah ini pasangan kromosom yang homolog gagal memisah selama
meiosis. Pasangan kromosom tersebut bergerak ke salah satu kutub sel dan kutub
sel yang lain tidak menerima kromosom tersebut. Sehingga terbentuk inti yang
memiliki jumlah kromosom berlebih dan inti yang kekurangan jumlah kromosom.
Peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) diteliti dari persilangan antara D.
melanogaster strain we (bermata putih) dengan D. melanogaster strain normal
(bermata merah). D. melanogaster strain we merupakan strain dengan gen
pembawa sifat mata putih terpaut pada kromosom kelamin X, sehingga bila D.
melanogaster strain white betina disilangkan dengan D. melanogaster strain
normal jantan, pada F1 akan menghasilkan fenotip jantan bermata putih dan betina
bermata putih dan betina bermata merah (Balqis, 1995).
Ayala (1984) dalam Balqis (1995), berdasarkan yang dilaporkan Morgan
dan Bridges menyatakan satu diantara 2000 F1 tersebut mempunyai warna mata
menyimpang, entah betina bermata putih atau jantan bermata merah. Fenotip
tersebut sama dengan fenotip kedua induknya. Diduga penyimpangan itu terjadi
karena pada individu strain we betina terjadi peristiwa gagal berpisah pada
kromosom kelamin X. Pasangan kromosom kelamin X gagal memisah selama
meiosis, tepatnya pada metafase I, sehingga terbentuk sel telur yang mengandung
dua kromosom kelamin X dan sel telur yang tidak mengandung kromosom
kelamin X. Bila sel telur yang mengandung dua kromosom kelamin X dibuahi
oleh sperma D. melanogaster strain normal, akan menghasilkan individu betina
mata putih. Dan bila sel telur yang tidak mengandung kromosom kelamin X
1
dibuahi oleh sperma D. melanogaster strain normal, akan terbentuk individu
jantan bermata merah.
Sebagaimana hal-hal yang diungkapkan di atas, maka peneliti ingin
mengetahui frekuensi terjadinya fenomena non-disjunction yang terjadi pada D.
melanogaster dengan persilangan strain N ♂ >< we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂><
we ♀ beserta resiproknya. Dari uraian tersebut maka penelitian yang kami lakukan
berjudul ”Fenomena Gagal Berpisah (nondisjunction) pada Persilangan
Drosophila melanogaster strain N♂ >< we♀, N♂ >< m♀, dan m♂ >< we♀
beserta resiproknya”.Kami memilih judul nondisjunction karena berdasarkan studi
literatur yang telah dilakukan strain-strain lalat yang digunakan dalam penelitian
ini mengalami mutasi di kromosom kelamin (kromosom 1). Fenomena ini
dijelaskan oleh Morgan bahwa 1) Faktor warna mata terdapat pada kromosom
kelamin X. dan 2) Kromosom kelamin jantan tidak mengandung faktor warna
mata tersebut. (Corebima,2003).
Dari persilangan tersebut ternyata juga terdapat penyimpangan pada
keturunan berikutnya dan pada persilangan resiproknya. Penyimpangan tersebut
dijelaskan oleh Morgan sebagai teori gagal berpisah (nondisjunction). Gagal
berpisah terjadi pada kromoson X, dalam hal ini kedua kromosom X gagal
memisah selama meiosis sehingga keduanya menuju kutub yang sama dan
terbentuklah telur yang memiliki dua kromosom kelamin X maupun yang tidak
memiliki kromosom kelamin X. Gagal berpisah terjadi pada gamet betina.
Peristiwa gagal berpisah dibedakan menjadi gagal berpisah primer dan sekunder.
Contoh gagal berpisah primer seperti penjelasan diatas sedangkan gagal berpisah
sekunder karena kejadiannya berlangsung pada turunan dari individu betina yang
keberadaannya merupakan produk gagal berpisah primer. Dimana individu
betinanya memiliki dua kromosom kelamin X dan satu kromosom kelamin Y.
(Corebima,2003)
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut.
2
1. Bagaimana fenotip F1 persilangan D. melanogaster strain N ♂ >< we ♀,
N♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta resiproknya?
2. Apakah terjadi fenomena nondisjunction pada persilangan D. melanogaster
strain N ♂ >< we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta resiproknya?
3. Berapakah frekuensi gagal berpisah pada persilangan D. melanogaster strain
N ♂ >< we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta resiproknya?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat dikemukakan beberapa
tujuan sebagai berikut.
1. Mengetahui fenotip F1 pada persilangan Drosophila melanogaster strain N ♂
>< we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta resiproknya.
2. Mengetahui terjadinya fenomena nondisjunction pada persilangan D.
melanogaster strain N ♂ >< we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta
resiproknya.
3. Mengetahui frekuensi gagal berpisah pada persilangan D. melanogaster strain
N ♂ >< we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta resiproknya.
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan antara lain
1. Menjadi dasar penelitian lebih lanjut mengenai fenomena gagal berpisah (Non
Disjunction)
2. Memberikan pengetahuan dan informasi kepada mahasiswa mengenai
kemungkinan terjadinya fenomena gagal berpisah pada persilangan
D.melanogaster strain N ♂ >< we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta
resiproknya.
3. Memberikan informasi mengenai fenotip yang dihasilkan pada persilangan D.
melanogaster strain N ♂ >< we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta
resiproknya.
4. Memberikan informasi mengenai fenomena gagal berpisah (nondisjunction)
pada persilangan D. melanogaster strain N ♂ >< we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂><
we ♀ beserta resiproknya.
3
5. Mengetahui frekuensi gagal berpisah pada persilangan D. melanogaster strain
N ♂ >< we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta resiproknya.
F. ASUMSI PENELITIAN
Asumsi dalam penelitian ini antara lain.
1. Semua faktor lingkungan seperti suhu, intensitas cahaya, kelembapan, dan
tempat pembiakan dianggap sama.
2. Semua medium yang digunakan dalam penelitian dari awal sampai akhir
dianggap sama.
3. Semua perlakuan yang diberikan pada masing-masing ulangan dianggap
sama.
4. Umur dan kondisi D. melanogaster yang digunakan dalam penelitian
dianggap sama.
4
G. DEFINISI ISTILAH
Definisi istilah di bawah ini merupakan penjelasan dari istilah-istilah yang
dianggap kata kunci dalam memahami laporan ini agar tidak terjadi salah
penafsiran. Berikut penjelasan daftar istilah dalam laporan ini:
1. Fenotip adalah karakter-karakter yang dapat diamati pada suatu individu yang
merupakan hasil interaksi antara genotip dan lingkungan tempat hidup dan
berkembang (Ayala 1984, dkk dalam Corebima, 2003).
2. Genotip adalah keseluruhan jumlah informasi genetik yang terkandung pada
suatu makhluk hidup (Ayala 1984, dkk dalam Corebima, 2003).
3. Perkawinan resiprok adalah perkawinan kebalikan dari perkawinan yang
semula dilakukan (Suryo, 1996).
4. Gagal berpisah (nondisjunction) adalah gagalnya kedua kromososm X untuk
memisah selama meiosis sehingga keduanya menuju ke kutub yang sama,
sehingga terbentuklah telur yang memiliki dua kromososm kelamin X
maupun yang tidak memiliki kromososm X (Corebima,2003)
5. Frekuensi gagal berpisah adalah banyaknya individu dari D. melanogaster
yang muncul pada F1 yang mengalami penyimpangan dibandingkan dengan
jumlah keseluruhan individu yang dihasilkan.
6. Autosom adalah kromosom tubuh (Suryo, 1996).
7. Meiosis adalah jenis pembelahan sel dan tahap pada organisme yang
bereproduksi secara seksual yang menghasilkan gamet dengan separuh
jumlah kromosom sel induk (Campbell, 2002).
8. Generasi F1 adalah turunan pertama atau turunan hibrid dalam fertilisasi
silang genetik (Campbell, 2002).
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. SISTEMATIKA
Menurut Borror (1992) dan Strickberger (1962) dalam Balqis (1995),
sistematika Drosophila adalah sebagai berikut.
Filum : Arthropoda
Anak Filum : Mandibulata
Induk Kelas : Hexapoda
Kelas : Insecta
Anak kelas : Pterygota
Bangsa : Dyptera
Anak bangsa : Cyclorrhapha
Induk Suku : Ephydroidea
Suku : Drosophilidae
Marga : Drosophila
Anak Marga : Sophophora
Grup : Melanogaster
Jenis : D. melanogaster
6
tidak berwarna (colourless). Sifat ini dikendalikan oleh gen yang terletak pada
kromosom nomor 1 atau kromosom X (Shorrocks, 1972) dalam Balqis (1995).
C. PAUTAN KELAMIN
Pautan kelamin pertama kali ditemukan oleh T.H Morgan dan Bridges
pada tahun 1910 (Gardner, 1991 dalam Corebima, 2003). Mereka melaporkan
hasil persilangan antara D. melanogaster jantan mata merah dengan betina mata
putih, ternyata pada F1 tidak semua individu yang dihasilkan bermata merah,
sebagaimana prinsip dasar Mendel yang mengatakan bila faktor mata merah
bersifat dominan, maka keturunan pertama (F1) dari persilangan di atas akan
menghasilkan individu mata merah. Hasil persilangan pada F1 yang dilakukan
Morgan dan Bridges adalah seluruh individu betina bermata merah dan seluruh
individu jantan bermata putih, dengan perbandingan 1 : 1. Jika hasil F1
disilangkan sesamanya, maka separuh F2 bermata putih dan separuh lagi bermata
merah baik untuk individu jantan maupun betina. Hal ini berarti jumlah jantan
mata putih sama dengan jumlah betina mata putih, dan jumlah jantan mata merah
sama dengan betina mata merah dengan perbandingan 1 : 1 : 1 : 1.
D. PEMBELAHAN MEIOSIS
Meiosis terjadi selama gametogenesis. Meiosis merupakan dua
pembelahan inti yang berurutan, bertujuan untuk pembentukan gamet. Selama
meiosis setiap sel membelah dua kali, sedangkan kromosom hanya sekali
diduplikasi, sehingga gamet-gamet yang dihasilkan mempunyai jumlah kromosom
setengah dari sel induknya. Pembelahan dua kali tersebut disebut sebagai meiosis
I dan meiosis II. Masing-masing dari pembelahan meiosis tersebut mempunyai
fase-fase yang sama seperti pada mitosis, yaitu profase, metafase, anafase, dan
telofase. Akan tetapi terdapat perbedaan-perbedaan penting pada perilaku
7
kromosomnya, terutama dalam pembelahan yang pertama (meiosis I). Meiosis I
merupakan pembelahan reduksi, sebab inti-inti yang dihasilkan hanya
mempunyai setengah dari jumlah kromosom sel induk, sedangkan meiosis II
merupakan pembelahan eukasional, sebab inti-inti yang dihasilkan dari meiosis II
identik satu dengan yang lain. Berkenaan dengan hal ini, pada bagian lain
menyatakan bahwa meiosis I dimulai dengan sel yang mengandung 2N kromosom
dan berakhir dengan dua sel, setiap selnya mengandung N kromosom, sedangkan
meiosis II diakhiri dengan empat sel, setiap selnya mengandung N kromosom
Ayala (1984) dalam Balqis (1995).
Pada Drosophila terdapat banyak gen yang mengatur proses meiosis.
Mutasi pada gen-gen tersebut juga dapat terjadi. Mutasi pada gen-gen tersebut
dapat menyebabkan terjadinya nondisjunction dan meningkatnya sensitivitas
terhadap radiasi dan bahan-bahan kimia (Leigh,1979).
E. NONDISJUNCTION
Fenomena gagal berpisah (non-disjunction) pada persilangan D.
melanogaster pertama kali dilaporkan oleh T.H. Morgan dan Bridges. Mereka
menemukan penyimpangan pada persilangan antara individu betina bermata putih
dengan jantan bermata merah, dimana hasil turunan (F1) yaitu jantan bermata
putih dan betina bermata merah. Akan tetapi, dilaporkan pula bahwa satu diantara
2000 turunan F1 tersebut mempunyai warna mata menyimpang, entah betina
bermata putih atau jantan bermata merah. Bridges menduga bahwa penyimpangan
itu terjadi karena gagal berpisah pada kromosom kelamin X. Dalam hal ini kedua
kromosom kelamin X gagal memisah selama meiosis sehingga keduanya menuju
kutub yang sama, dan terbentuklah telur yang memilki dua kromosom kelamin X
maupun yang tidak memiliki kromosom kelamin X (Corebima, 2003).
8
yang berkaitan dengan kelainan-kelainan pada tingkah laku genetik. Salah satu
fenomena genetik yang dapat menyebabkan peristiwa gagal berpisah adalah hibrid
disgenesis (Sved, 1979 dalam Balqis, 1995). Hibrid disgenesis dapat diartikan
sebagai sebuah sindrom yang berhubungan dengan sifat-sifat genetis yang terjadi
secara spontan, disebabkan saling berinteraksinya beberapa strain yang
disilangkan (Kidwell dan Kidwell, 1977). Beberapa sifat genetis lain yang juga
berhubungan dengan fenomena hibrid disgenesis dikemukakan oleh Sved (1979),
yaitu rekombinasi pada jantan, kerusakan kromosom pada saat meiosis, perubahan
pada rekombinasi betina, sterilitas, dan lain sebagainya. Lebih lanjut Sved (1979)
menyatakan bahwa mekanisme interaksi antara strain-strain yang disilangkan
tersebut belum jelas (Balqis,1995)
Salah satu penyebab terjadinya hibrid disgenesis adalah adanya urutan DNA
yang dapat bergerak dan menyelip diantara urutan DNA yang ada. Menurut
Gardner (1991), urutan DNA yang dapat bergerak itu disebut sebagai transposable
element atau secara singkat disebut sebagai transposon. Watson (1987)
menyatakan bahwa transposon yang bertanggung jawab terhadap fenomena
genetik hibrid disgenesis adalah elemen P. Hal ini juga ditegaskan olah Gardner
(1991) dengan pernyataan senada, yaitu elemen P yang hadir dalam suatu hibrid
dapat menyebabkan sindrom abnormalitas genetik yang dikenal dengan hibrid
disgenesis (Balqis, 1995).
Gejala yang terkenal sebagai disgenesis hibrida adalah akibat dari
mobilisasi rangkaian-rangkaian DNA yang disebut unsur - unsur P pada embrio-
embrio Drosophila. Bila sperma dari strain pembawa P membuahi telur dari strain
non P, maka unsur-unsur P itu bertransposisi pada seluruh genom, hal mana
biasanya merusak gen-gen vital (Watson,1988)
Gardner (1991) menyatakan bahwa diperkirakan elemen P masuk dengan
cara ’membonceng’ virus yang secara alami menginfeksi Drosophila. Penelitian
lebih lanjut berusaha mencari mekanisme pergerakan elemen P pada populasi
Drosophila yang mengandung elemen P. Penelitian yang dilakukan pada beberapa
strain Drosophila menunjukkan bahwa mekanisme pergerakan elemen P
tergantung pada sifat maternal yang diturunkan. Dalam hal ini terdapat
(dibedakan) dua tipe Drosophila yaitu P-cytotype yang mengandung elemen P dan
9
mewakili pihak ayah (paternal) dan M-cytotype yang tidak mengandung elemen
dan mewakili pihak ibu (maternal) (Balqis,1995).
Sehubungan dengan hal tersebut , Watson(1987) dalam Balqis (1995)
menyatakan bahwa bila Drosophila tipe P-cytotype jantan disilangkan dengan
Drosophila tipe M-cytotype betina, elemen P yang terkandung pada individu
jantan akan diturunkan ke dalam hibrid dan dapat dengan bebas mentrasnposase.
Tetapi bila yang disilangkan adalah Drosophila tipe P-cytotype betina dengan
Drosophila tipe M-cytotype jantan, maka elemen P tidak dapat ditrasnposasekan
sebab sitoplasma telur (individu P-cytotype betina) mengandung molekul tipe
repressor yang menghalangi trasnposase elemen P.
Lebih lanjut, Watson (1987) dan Gardner (1991) menyatakan bahwa
penyelipan elemen P pada rantai DNA yang sudah ada dapat meningkatkan
frekuensi mutasi dan kerusakan kromosom. Lebih lanjut, Gardner (1991)
menyatakan bahwa dalam kasus yang ekstrem dapat menyebabkan cacat pada
perkembangan gonad dan pada akhirnya menyebabkan kondisi steril (Balqis,
1995).
Bila hal ini dikaitkan dengan peristiwa gagal berpisah, peristiwa ini
merupakan salah satu peristiwa yang mengakibatkan mutasi kromososm.
Sehingga dimungkinkan kejadiannya disebabkan oleh peritiwa trasnposable
element dalam fenomena hibrid disgenesis (Balqis, 1995).
Faktor dari dalam lainnya yang berpengaruh terhadap peristiwa gagal
berpisah adalah umur. Menurut Pai (1985:39),”experiments on lower forms of life
have indicated that age tends to increase the incidence of an aberration of meiosis
called’nondisjunction’. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa peristiwa
gagal berpisah cenderung meningkat dengan semakin bertambahnya umur,
khususnya pada bentuk kehidupan yang rendah. Tidak dijelaskan lebih lanjut
tentang arti kata”lower forms of life” (Balqis,1995).
Peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) dipengaruhi oleh beberapa hal
baik dari faktor luar maupun faktor dalam. Faktor luar yang dapat meningkatkan
peristiwa gagal berpisah pada Drosophila menurut Herskowitz (1977) dalam
Abidin (1997) adalah energi radiasi tinggi, karbon dioksida, dan zat kimia lain.
Faktor luar lain yang dapat mempengaruhi gagal berpisah adalah suhu. Mengenai
10
pengaruh suhu terhadap gagal berpisah ini juga telah diteliti oleh Balqis (1995).
Kesimpulan sementara dari penelitian ini adalah bahwa suhu tidak berpengaruh
terhadap frekuensi gagal berpisah primer kromosom kelamin X Drosophila
melanogaster. Akan tetapi pengaruh yang nyata terhadap frekuensi gagal berpisah
sekunder kromosom kelamin X D. melanogaster individu betina mata putih hasil
dari gagal berpisah primer. Suhu yang berpengaruh di sini adalah suhu kamar dan
suhu antar 290 – 310 (Abidin, 1997)
Faktor dari dalam yang berpengaruh terhadap frekuensi gagal berpisah
diantaranya adalah umur dari induk. Menurut Pai (1985 dalam Apandi, 1989
dalam Abidin,1997) umur cenderung meningkatkan kejadian penyimpangan
meiosis yang disebut nondisjunction pada bentuk kehidupan yang rendah. Tidak
dijelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bentuk kehidupan rendah.
Faktor dari dalam lainnya yang berpengaruh terhadap gagal berpisah adalah
adanya gen mutan yang menyebabkan sentromer tidak berada pada keadaan
normal atau abnormal (Herskowitz, 1977 dalam Abidin, 1997). Dikatakan
Herskowitz bahwa dalam keadaan normal dua sentromer sesaudara saling
menutup. Satu sentromer akan berorientasi ke salah satu kutub, sedang sentromer
lain berorientasi ke salah satu kutub yang berlawanan. Dengan adanya gen mutan,
dalam hal ini gen mei-s332, yaitu gen semi dominan pada kromosom II
Drosophila melanogaster, maka metafase II dua sentromer sesaudara akan
terletak memisah, sehingga kedua sentromer tersebut akan berorientasi ke kutub
yang sama, akibatnya pada anafase II terjadi peristiwa nondisjunction atau gagal
berpisah.
11
itu merupakan sebagai perimbangan antara jumlah X pada kromosom kelamin,
dan jumlah A (autosom) pada tiap pasangan A.
Hasil perimbangan itu, oleh Herskowitz (1973) dalam (Corebima, 2003)
disebut sebagai “indeks kelamin numerik”. Rincian indeks kelamin numerik dan
kaitannya dengan fenotip jenis kelamin, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel indeks kelamin numerik pada D.melanogaster. Rangkuman dari : Andrian
dan Owen 1960, Berskowita 1973, Ayala dkk, 1984, Gardner dkk 1991.
Jumlah Jumlah A
kromosom (autosom) pada Rasio X/A Fenotipe Kelamin
X tiap pasang A
3 2 1.5 Betina Super (Metafemale)
4 3 1.33 Betina Super (Metafemale)
4 4 1 Betina normal tetraploid
3 3 1 Betina normal diploid
2 2 1 Betina normal haploid
1 1 1 Betina normal haploid
3 4 0.75 Intersex
2 3 0.67 Intersex
2 4 0.5 Jantan tetraploid
1 2 0.5 Jantan normal
1 3 0.33 Jantan super (Metamale)
12
Alberts dkk. (1989) dalam Corebima (2003) menyatakan bahwa ekspresi kelamin
D. melanogaster ditentukan oleh rangkaian tahap aktivitas gen, yang masing-
masing menuju ke pembentukan suatu protein yang memungkinkan
penyambungan yang benar atas RNA yang disintesis pada tahap berikutnya (oleh
gen berikutnya).
Pemahaman kita terhadap penentuan kelamin dari Drosophila yang terpaut
kromosom X membantu kita memahami kejadian unik yang terjadi pada
Drosophila. Lalat buah yang diremajakan dari stok dimana semua betina
heterozigot dan terpaut kromosom X strain mata putih dan sayap m. Fenomenanya
adalah bilateral gynandomorph, yang artinya setengah dari tubuhnya telah
berkembang menjadi jantan dan separuh yang lain menjadi betina. Kita dapat
menghitung kemunculan Drosophila tersebut. Jika zigot betina (bermata putih
heterozigot dan bermata merah dan sayap miniature) kehilangan salah satu
kromosom Xnya selama pembelahan meosis pertama, 2 sel masing-masing akan
menjadi XO dan XX. Maka satu sel akan menjadi betina sedangkan yang lain
akan menjadi jantan. Tiap-tiap sel bertanggung jawab untuk menghasilkan sel
progeninya (Klug, 2006).
Telur tanpa kromosom X dibuahi oleh sperma yang membawa X maka
individu jantan sebagai anakannya. Lebih jauh Spencer (1930) juga menjelaskan
bahwa D.melanogaster jantan yang menjadi XO selalu steril.
13
Berkenaan dengan kejadian gagal berpisah (nondisjunction) pada
Drosophila melanogaster seperti yang dikemukakan pertama kali oleh Bridges
tahun 1916, Tamarin dkk., (1991) dalam Novitasari (1992) menjelaskan bahwa
kejadian nondisjunction tersebut dijelaskan melalui kejadian nondisjunction pada
betina bermata putih dalam hal ini betina bermata putih yang mengalami
nondisjunction saat meiosis akan menghasilkan telur Xw Xw dan 0 telur (tanpa
kromosom sex). Jika telur Xw Xw dibuahi oleh Y yang dibawa sperma akan
dihasilkan keturunan betina bermata putih (Xw XwY). Jika telur tanpa kromosom
sex dibuahi oleh X yang dibawa sperma, akan menghasilkan keturunan jantan
normal (X+0). Tipe lain dari kejadian nondisjunction adalah telur XX yang akan
dbuahi oleh X yang dibawa sperma dan telur 0 yang akan dibuahi oleh Y yang
akan dibawa sperma. Zigot XXX yang bergenotip Xw XwX+ (betina) biasanya
mati dan lalat YO selalu mati. Contoh persilangan antara D. melanogaster strain
N ♀ >< we ♂ yang menghasilkan keturunan nondisjunction dapat dilihat pada
gambar.
14
Peristiwa nondisjunction dibedakan menjadi nondisjunction primer dan
sekunder. Nondisjunction primer dapat terjadi pada induk lalat yang belum
mengalami nondisjunction atau lalat normal, sedangkan nondisjunction sekunder
terjadi pada keturunan yang merupakan hasil nondisjunction primer. Seperti yang
dijelaskan oleh Corebima (2003) bahwa peristiwa itu disebut sebagai gagal
berpisah sekunder karena kejadiannya berlangsung pada turunan dari individu
betina, yang keberadaannya merupakan produk gagal berpisah primer. Dalam hal
ini individu betina yang dimaksud memiliki dua kromosom kelamin X dan satu
kromosom Y.
15
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
A. KERANGKA KONSEPTUAL
Dalam penelitian ini, kami melakukan persilangan Drosophila
melanogaster strain N ♂ >< we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta
resiproknya yang merupakan strain yang terpaut kromosom kelamin karena
berada pada kromosom I, dengan adanya penelitian ini diharapkan F1 yang
muncul memiliki fenotip yang mengalami pertautan kelamin tetapi pada
kenyataannya terdapat fenotip yang mengalami peristiwa gagal berpisah
(nondisjunction).
Gen terdapat pada kromosom-kromosom, kromosom tersebut
berpasangan dan memisah selama pembentukan gamet.
16
Pada F1 muncul fenotip yang merupakan akibat dari
peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) pada kromosom
kelamin.
B. HIPOTESIS
H0 : Ada peristiwa non-disjunction pada persilangan D. melanogaster
strain N ♂ >< we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta resiproknya.
1. Fenotip persilangan D. melanogaster strain N ♂ >< we ♀ , N ♂>< m♀
dan m ♂>< we ♀ beserta resiproknya menghasilkan anakan yang
berkebalikan dengan induk
2. Terjadi fenomena nondisjunction pada persilangan D. melanogaster strain
N ♂ >< we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta resiproknya
3. Frekuensi gagal berpisah pada persilangan D. melanogaster strain N ♂ ><
we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta resiproknya akan berbeda-
beda
17
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif karena tidak
memberikan perlakuan pada objek penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan
menyilangkan D. melanogaster strain N, we, dan m beserta resiproknya masing-
masing sebanyak 7 kali ulangan untuk memperoleh data F1. Pengambilan data
dilakukan secara langsung dengan menghitung dan mencatat semua fenotip yang
muncul pada F1. Menurut PPKI UM (2010), penelitian kualitatif berusaha
mengungkapkan gejala secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks (holistik-
kontesktual) melalui pengumpulan data dan latar alami dengan memanfaatkan diri
peneliti sebagai instrument kunci.
18
2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel D. melanogaster
strain N, we, dan m, Pisang Rajamala, tape singkong, gula merah, yeast, dan
eter/ klorofom.
E. PROSEDUR KERJA
Pembuatan medium
1. Menyediakan bahan yang meliputi pisang Rajamala, tape singkong, dan gula
merah dengan perbandingan 7 : 2 : 1 untuk satu resep medium, yaitu 700
gram pisang Rajamala, 200 gram tape singkong, dan 100 gram gula merah.
2. Mengupas pisang Rajamala, kemudian memotong-motong pisang Rajamala
dan tape singkong dengan pisau, lalu menambahkan air secukupnya untuk
dihaluskan menggunakan blender.
3. Menyisir gula merah dengan pisau sampai halus.
4. Memasukkan pisang rajamala, tape singkong, dan air yang telah diblender ke
dalam panci, bila perlu menambahkan air secukupnya.
5. Memasang panci di atas kompor dengan nyala api sedang kemudian setelah
mendidih memasukkan gula merah yang telah disisir halus ke dalam panci.
Memasak medium selama 45 menit (untuk satu resep) sambil diaduk.
6. Setelah 45 menit, mengangkat medium dari kompor kemudian mengisi botol
selai yang sudah bersih dengan medium setinggi 1-2 cm dari dasar botol,
kemudian menutup botol tersebut dengan busa penutup kemudian
mendinginkan.
7. Setalah dingin menambahkan kira-kira 3-4 butir yeast ke dalam medium pada
botol selai dan meletakkan satu kertas pupasi ke dalamnya.
8. Medium siap digunakan
9. Apabila medium yang dimasak di dalam panci masih sisa, medium tersebut
dapat dimasukkan dalam wadah plastik kemudian disimpan dalam lemari
pendingin dengan lama penyimpanan maksimal selama 4 hari. Jika ingin
menggunakan kembali medium yang telah disimpan, dapat menggunakannya
dengan memanaskan medium terlebih dahulu selama 15 menit dan medium
siap untuk dimasukkan dalam botol selai.
Peremajaan stok
19
1. Menyiapkan beberapa botol selai yang berisi medium baru dan telah diberi
yeast dan beserta kertas pupasi.
2. Memindahkan lalat dari masing-masing strain dari masing-masing stok ke
botol selai yang berbeda pada medium baru menggunakan selang plastik.
3. Mengamati perkembangannya, jika muncul pupa warna hitam maka
dilakukan pengampulan untuk melakukan persilangan.
Pengampulan stok
1. Pupa dari masing-masing strain yang sudah hitam diambil dengan
menggunakan kuas.
2. Memasukkan pupa tersebut ke dalam selang plastik kecil.
3. Mengisi sebagian tempat dengan irisan kecil pisang serta menutupnya dengan
potongan gabus.
4. Masing-masing selang diberi label nama strain maupun tanggal mengampul.
5. Menunggu ampulan sampai menetas dan lalat siap untuk disilangkan. Umur
lalat dalam ampulan maksimal tiga hari untuk persilangan.
Persilangan P1
1. Menyiapkan medium baru yang telah diberi yeast dan kertas pupasi.
2. Memasukkan pupa yang sudah menetas dan siap disilangkan dari masing-
masing strain kedalam botol selai. Strain yang disilangkan antara lain N ♂ ><
we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta resiproknya
3. Memberi label pada masing-masing persilangan dan memberi tanggal waktu
mengawinkan.
4. Persilangan F1 dilakukan sebanyak 7 kali ulangan.
5. Melepas induk jantan setelah dua hari.
6. Memindahkan induk betina ke dalam medium baru (medium B, C, dan
seterusnya) sampai induk betina mati apabila muncul pupa pada medium
yang ditempati oleh induk betina.
Pengamatan fenotip
1. Mengambil F1 hasil persilangan masing-masing strain dengan menggunakan
selang plastik dan memasukkan ke dalam kantong plastik.
2. Membius F1 hasil persilangan tersebut menggunakan kloroform dengan
memasukkan kapas yang sudah diberi kloroform.
20
3. Mengamati F1 dan jantan betinanya serta ciri-ciri yang dimiliki oleh masing-
masing hasil persilangan.
4. Mencatat hasil pengamatan ke dalam jurnal.
21
♀
♂
♀
karena data yang diperoleh belum lengkap maka analisis data dilakukan dengan
rekonstruksi untuk masing-masing persilangan. Jika data yang diperoleh lengkap,
yaitu botol A,B dan C sampai tujuh ulangan maka analisis yang dilakukan dengan
menggunakan Uji 2 (Chi-Square). Selanjutnya dibandingkan 2 hitung dengan 2
tabel (0,05).
22
BAB V
DATA DAN ANALISIS DATA
2. Strain m
a. Warna tubuh : kuning kecoklatan
b. Warna mata : merah
c. Keadaan sayap : tidak menutupi tubuh dengan sempurna
3. Strain we
a. Warna tubuh : kuning kecoklatan
b. Warna mata : putih tulang
c. Keadaan sayap : menutupi tubuh dengan sempurna
Strain m Strain we
Strain N
23
B. Tabel Data Penghitungan Jumlah F1
Berikut ini adalah data hasil persilangan F1 D. melanogaster strain N ♂ ><
we ♀ , N ♂>< m♀ dan m ♂>< we ♀ beserta resiproknya
Ulangan
Persilangan Fenotip Sex
1 2 3 4 5 6 7 Total
♂ 0 0 0 0 0 6* 6
N 273
♀ 56 37 29 47 49 49 267
N♂ >< we ♀ 535
♂ 43 49 43 30 50 46 261
we 262
♀ 0 0 0 0 0 1* 1
♂ 55 55 57 38 35 29 269
N 575
♀ 61 70 43 60 45 27 306
we ♂ >< N♀ 576
♂ 0 1* 0 0 0 0 1
we 1
♀ 0 0 0 0 0 0 0
♂ 0 1* 0 0 0 0 1
N 311
♀ 52 44 49 54 42 69 310
N♂ >< m ♀ 619
♂ 59 44 47 51 52 55 308
m 308
♀ 0 0 0 0 0 0 0
♂ 49 44 48 87 71 89 388
N 758
♀ 38 41 65 93 71 62 370
m♂ >< N ♀ 758
♂ 0 0 0 0 0 0 0
m 0
♀ 0 0 0 0 0 0 0
♂ 20 53 53 64 61 64 315
we 315
♀ 0 0 0 0 0 0 0
m♂ >< we ♀ 643
♂ 0 0 0 0 0 0 0
N 328
♀ 24 44 69 74 60 57 328
♂ 39 31 53 63 107 91 384
m 384
♀ 0 0 0 0 0 0 0
we ♂ >< m♀ ♂ 0 0 0 0 0 0 0 706
N 321
♀ 25 24 34 45 74 119 321
we ♂ 0 0 0 0 0 1* 1 1
24
C. ANALISIS DATA REKONSTRUKSI KROMOSOM
1. Persilangan antara N♂ >< we ♀
a. Rekonstruksi persilangan normal
P1 : N♂ >< we ♀
𝑤 𝑒+ we
Genotif : ¬ we
Gamet : we+ we
¬
𝑤 𝑒+
F1 : (N♀)
𝑤𝑒
𝑤𝑒
(we ♂)
¬
Gamet : we+ we
¬ we we
0
F1 :
♀
we we we 0
♂
𝑤 𝑒+
𝑤 𝑒+ 𝑤 𝑒+ (N♂steril)
we+ 0
(N♀) (♀ N super letal)
𝑤𝑒 𝑤𝑒𝑤𝑒
NDJ
𝑤𝑒𝑤𝑒
𝑤𝑒 ( we ♀) 0
¬
¬ (w ♂)e letal
¬
¬
NDJ
NDJ
Frekuensi NDJ (%) =∑∑ 𝑥 100%
total keturunan
25
2. Persilangan antara we ♂ >< N♀
a. Rekonstruksi persilangan normal
P1 : we ♂><N♀
𝑤 𝑒− 𝑤 𝑒+
Genotif : ¬ 𝑤 𝑒+
¬
F1 :
♀
we+ we+ we+ 0
♂
𝑤 𝑒+ 𝑤 𝑒+ 𝑤 𝑒−
𝑤 𝑒+ (N ♀ super (we♂)
we- 𝑤 𝑒− 0
(N♀)
𝑤 𝑒−
letal) NDJ
𝑤 𝑒+ 𝑤 𝑒+ 𝑤 𝑒+ 0
¬ (N ♂) (N♂) ¬
letal
¬ ¬
26
3. Persilangan antara N♂ >< m♀
a. Rekonstruksi persilangan normal
Persilangan ♂N >< ♀m
m+ m−
Genotype : ><
¬ m−
Gamet :m+ m−
⌐
m+
F1 : m− (♀N)
m−
(♂m)
¬
F1
♀
m- m- m- 0
♂
𝑚+ 𝑚+
𝑚+ (N♀ super (N ♂)
𝑚+ 𝑚− 𝑚− 0
(N♀)
𝑚−
letal) NDJ
𝑚− 𝑚− ,𝑚− 0
¬ (m ♂) (m♂) (letal)
¬ ¬ ¬
27
4. Persilangan antara m♂ >< N♀
a. Persilangan normal
P1 : m♂ >< N♀
𝑚− 𝑚+
Genotif : ¬ 𝑚+
Gamet : 𝑚− 𝑚+
¬
𝑚−
F1 : (N♀)
𝑚+
𝑚+
(N♂)
¬
b. Persilangan nondisjunction
P1 : m♂ >< N♀
𝑚− 𝑚+
Genotif : ¬ 𝑚+
𝑚+
Gamet : 𝑚− 𝑚+ 0
𝑚+
¬
F1 :
♀
m+ m+ m+ 0
♂
𝑚−
𝑚+ 𝑚 + 𝑚+
(m♂)
0
m- (N♀) (♀ N super letal)
𝑚− 𝑚−
NDJ
0
𝑚+ 𝑚+ 𝑚+
¬ (N ♂) (N♂) ¬
¬ ¬
letal
28
5. Persilangan antara m♂ >< we ♀
a. Persilangan normal
P1 : m♂ >< we ♀
𝑚 we+ m+ we
Genotif : ><
¬ ¬ m+ we
Gamet : 𝑚 we+ m+ we
¬ ¬
♀
m+ we m+ we
♂
𝑚+ we+
+ 𝑚 we 𝑚+ we+
𝑚 we (N♀)
𝑚 we
(N♀)
𝑚+ we
¬ ¬ 𝑚+ we
¬
(♂we)
¬
(♂we)
b. Persilangan nondisjunction
P1 : m♂ >< we ♀
𝑚 we+ m+ we
Genotif : ><
¬ ¬ m+ we
m+ we
Gamet : 𝑚 we+ m+ we 0
m+ we
¬ ¬
♀ m+ we
m+ we
♂ m+ we 0
𝑚 we+ 𝑚+ we m we+
𝑚 we+
𝑚 we+ 𝑚+ we 𝑚+ we
0
(m♂)
(N♀) (N♀)
NDJ
𝑚+ we 𝑚+ we
¬ ¬ (♀we)
¬ 𝑚+ we ¬ 0
(letal)
(♂w ) e
NDJ ¬
29
6. Persilangan antara we ♂ >< m ♀
a. Persilangan normal
P1 : we ♂ >< m ♀
m+ we m we+
Genotif : ¬ ¬
>< we+
m
Gamet : m+ we m we+
¬ ¬
♀
m we+ m we+
♂
𝑚 we+
m+ 𝑚 we+
m+ we we
(N♀)
m+ we
(N♀)
𝑚 we+
¬ ¬ 𝑚 we+
¬
(♂m)
¬
(♂m)
c. Persilangan nondisjunction
P1 : we ♂ >< m ♀
m+ we m we+
Genotif : ¬ ¬
>< we+
m
m we+
Gamet : m+ we m we+ m we+
0
¬ ¬
♀
m we+
m we+ 0
m we+
♂
𝑚 we+ 𝑚 we+ 𝑚+ we
m+ we
m+ we 𝑚 we+ m+ we 0
(N♀) (N♀) (we ♂)
NDJ
𝑚 we+ 𝑚 we+ 0
¬ ¬ (♀m)
¬ 𝑚 we+ ¬ ¬
(♂m) NDJ 𝑙𝑒𝑡𝑎𝑙
30
Persilangan N♂ >< we ♀
∑𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
a. Frekuensi nondisjuction pada strain N ♂ = ∑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛
× 100%
6
= × 100%
535
= 1,121495327%
∑𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
b. Frekuensi nondisjuction pada strain we ♀ = ∑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛
× 100%
1
= × 100%
535
= 0,186915887 %
Persilangan we ♂ >< N ♀
∑𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
c. Frekuensi nondisjuction pada strain we ♂ = ∑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛
× 100%
1
= × 100%
576
= 0,17361 %
∑𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
d. Frekuensi nondisjuction pada strain N♀ = ∑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛
× 100%
0
= × 100%
576
= 0%
Persilangan N♂ >< m♀
∑𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
e. Frekuensi nondisjuction pada strain N ♂ = ∑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛
× 100%
1
= × 100%
619
= 0 ,1615%
∑𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
f. Frekuensi nondisjuction pada strain m ♀ = ∑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛
× 100%
0
= × 100%
619
= 0%
Persilangan m ♂ >< N ♀
∑𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
g. Frekuensi nondisjuction pada strain m ♂ = ∑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛
× 100%
0
= × 100%
758
= 0 %
31
∑𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
h. Frekuensi nondisjuction pada strain N♀ = ∑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛
× 100%
0
= × 100%
758
= 0%
∑𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
i. Frekuensi nondisjuction pada strain m ♂ = ∑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛
× 100%
0
= × 100%
643
= 0%
∑𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
j. Frekuensi nondisjuction pada strain we ♀ = ∑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛
× 100%
0
= × 100%
643
= 0%
Persilangan we ♂ >< m ♀
∑𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
k. Frekuensi nondisjuction pada strain we ♂ = ∑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛
× 100%
1
= × 100%
706
= 0,1416 %
∑𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
l. Frekuensi nondisjuction pada strain N♀ = ∑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛
× 100%
0
= × 100%
706
= 0%
∑𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑁𝐷𝐽
m. Frekuensi nondisjuction pada strain m♂ = ∑𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑘𝑒𝑡𝑢𝑟𝑢𝑛𝑎𝑛
× 100%
0
= × 100%
706
= 0%
32
Tabel Anakan F1 dari masing-masing persilangan
FI
No Persilangan Fenomena
Normal
nondisjunction
1 N♂ >< we ♀ we ♂ dan N ♀ N♂ atau we ♀
2 we ♂ >< N ♀ N ♀ dan N♂ we ♂
3 N♂ >< m♀ m ♂ dan N ♀ N♂ atau m♀
4 m ♂ >< N ♀ N ♀ dan N♂ m♂
5 m ♂ >< we♀ we ♂ dan N ♀ m ♂ atau we♀
6 we ♂ >< m ♀ m ♂ dan N ♀ we ♂
33
BAB VI
PEMBAHASAN
1. Fenotip Persilangan
Pada persilangan D. melanogaster strain N ♂ >< we ♀ ditemukan anakan
F1 we ♂ dan ♀ N serta N ♂ dan we ♀. Corebima (2003) menjelaskan bahwa
apabila strain bermata putih betina disilangkan dengan strain bermata merah
jantan, maka gambaran hasil yang akan diperoleh berlainan. Dalam hal ini
ternyata bahwa tidak seluruh F1 bermata merah sesuai harapan atas dasar prinsip
Mendel, jika faktor merah dominan terhadap faktor putih, terlihat bahwa separuh
F1 bermata merah, sedangkan separuhnya bermata putih, dan terlihat pula bahwa
seluruh F1 betina bermata merah, sedangkan seluruh F1 jantan bermata putih.
Sedangkan pada persilangan resiproknya (we ♂ >< N ♀) didapatkan
anakan F1 N ♀ dan N♂ serta we ♂. Bilamana strain bermata merah betina
disilangkan dengan strain bermata putih jantan, maka F1 yang muncul bermata
merah seluruhnya;sesuai harapan, jika faktor mata merah dominan terhadap faktor
mata putih (Corebima,2003).
Pada persilangan N♂ >< m♀ ditemukan anakan m ♂ dan N ♀ serta N♂ ,
sedangkan pada persilangan resiproknya (m ♂ >< N ♀) anakan F1 nya adalah N
♀ dan N♂. Selanjutnya pada persilangan m ♂ >< we♀ anakan F1 nya adalah we ♂
dan N ♀. Kemudian pada persilangan we ♂ >< m ♀ anakan F1 yang didapat
adalah m ♂ dan N ♀ serta we ♂.
34
sebelumnya bahwa pada persilangan ini mengalami gagal berpisah benar adanya.
𝑤𝑒𝑤𝑒
Pada we ♀ genotipnya adalah . Menurut Corebima (2003), penyimpangan ini
¬
terjadi pada kromosom X yaitu selama meiosis kromosom menuju yang sama
sehingga terbentuk telur yang memiliki dua kromosom X maupun yang tidak
memiliki kromosom X. Pada strain ini memiliki kromosom X dari induk betina
dan hanya mewarisi kromosom X dari induk jantan. Namun demikian, fenotip
yang muncul adalah jantan. Hal ini disesuaikan dengan cara penentuan jenis
kelamin seperti yang telah dipaparkan pada kajian pustaka.
Sedangkan pada persilangan we ♂ >< N♀ hasil keturunan F1 adalah
jantan dan betina bermata merah normal. Namun juga dihasilkan jantan bermata
putih. Dalam persilangan ini terjadi peristiwa nondisjunction karena kedua
kromosom kelamin X gagal memisah selama meiosis sehingga keduanya menuju
kutub yang sama, dan terbentuklah telur yang memiliki dua kromosom kelamin X
maupun yang tidak memiliki kromosom kelamin X. Keturunan F1 N♂ dan N ♀
merupakan individu hasil fertilisasi antara gamet jantan dan gamet betina yang
mengalami pembelahan meiosis secara normal. Sedangkan we ♂ merupakan hasil
𝑤 𝑒−
dari peristiwa gagal berpisah pada peristiwa oogenesis dengan genotip .
0
Seperti yang dikatakan oleh Corebima (2003) sebelumnya bahwa gagal berpisah
pada peristiwa oogenesis dapat menghasilkan telur yang memiliki dua kromosom
X maupun yang yang tidak memiliki kromosom X. Pada strain we ♂ ini dengan
𝑤 𝑒−
genotip hanya memiliki satu kromosom X dari induk jantan, sedangkan induk
0
35
Menurut Suryo (1996) peristiwa gagal berpisah mengakibatkan
terbentuknya gamet dengan susunan XXX, XXY, XO, dan OY. Gamet XXX yang
merupakan hasil gagal berpisah akan menampakkan fenotip betina super bersifat
letal. Hal ini terjadi karena sel telur yang memiliki 2 kromosom X dibuahi oleh
spermatozoa yang membawa kromosom X. Lalat ini tidak bisa bertahan hidup
lama karena mengalami kelainan dan kemunduran pada beberapa alat tubuhnya.
Biasanya hanya bertahan hidup sampai stadium sebelum larva. Pada gamet XXY
terjadi karena sel telur yang memiliki dua kromosom X dibuahi oleh spermatozoa
yang membawa kromosom Y, lalat dengan kromosom ini bersifat steril. Lalat
yang memiliki gamet XO menampakkan fenotip jantan tetapi bersifat steril. Lalat
OY tidak dikenal karena bersifat letal.
Pada persilangan we ♂ >< m ♀ beserta resiproknya, berdasarkan rekonstruksi
kromosom dapat dihasilkan anakan yang memiliki fenotip sama dengan induknya
𝑚+ we
(merupakan ciri peristiwa nondisjunction). Genotip dari we ♂ adalah 0
36
pada individu jantan, pada individu betina sifat-sifat resesif yang terpaut
kromosom X (terekspresi) dapat juga diwariskan langsung kepada keturunan
betina (diekspresikan). Fenomena ini terkait dengan peristiwa gagal berpisah
selama oogenesis.
37
BAB VII
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut.
1. Fenotip yang muncul pada masing-masing persilangan adalah sebagai
berikut
Persilangan N♂ >< we ♀ : we ♂ dan N ♀ serta N ♂ dan we ♀
Persilangan we ♂ >< N ♀ : N ♀ dan N♂ serta we ♂
Persilangan N♂ >< m♀ : m ♂ dan N ♀ serta N♂
Persilangan m ♂ >< N ♀ : N ♀ dan N♂
Persilangan m ♂ >< we♀ : we ♂ dan N ♀
Persilangan we ♂ >< m ♀ : m ♂ dan N ♀ serta we ♂
Persilangan we ♂ >< N ♀ : we ♂
Frekuensi NDJ strain we ♂ = 0,17361 %
Persilangan N♂ >< m♀ : N♂
Frekuensi NDJ strain N♂ = 0 ,1615%
38
Persilangan m ♂ >< N ♀ :0%
Persilangan m ♂ >< we♀ :0%
Persilangan we ♂ >< m ♀ :
Frekuensi NDJ strain we ♂ = 0,1416 %
B. SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran yang peneliti ajukan untuk
penelitian selanjutnya adalah
1. Sebaiknya penelitian dilakukan dengan penuh kecermatan, ketelitian dan
kesungguhan agar hasil penelitian sesuai dengan harapan
2. Hendaknya dalam penelitian dibutuhkan kesabaran yang lebih dan mungkin
dapat dilanjutkan dengan penelitian lain yang terkait mengenai fenomena ini.
39
DAFTAR PUSTAKA
Ayala, F. J., dkk. Modern Genetik. Menlo Park California: The Benjamin/
Cummings Publishing Company, Inc.
Gardner, Eldon J, dkk. 1991. Principles of Genetics. New York: john Willey and
Sons Inc.
40
Leigh,B.1979.Mechanism of Nondisjunction Induction in Drosophila.
Environmental Health Perspectives,(Online)Vol31(-):41-43 (http://
ukpmc.ac. uk/articles /PMC1637654 /pdf/envhper 00476-0044.
pdf) ,diakses pada 20 April 2012
Morgan,TH.1910. Sex Limited Inheritance. (online) http: //www .esp .org /foun
dations/genetics/classical/thm-10a.pdf),diakses pada 7 Mei 2012
41
Tim Penulis.2010.Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Edisi Kelima.Malang:UM
Press
42