Anda di halaman 1dari 10

AFLP sebagai Penanda Marker

Posted: September 1st 2015


Penanda genetik, juga disebut dengan penanda, marker, marka, atau markah diberbagai
kepustakaan, merupakan penciri individu yang terdeteksi dengan alat tertentu yang menunjukkan
genotipe suatu individu. Penanda genetik menggambarkan perbedaan genetik diantara individu
dalam suatu organisme atau spesies. Bentuknya dapat berupa penampilan fenotipe/morfologi
tertentu, kandungan senyawa (protein atau produk biokimia tertentu), berkas (band) pada suatu
lembar hasil elektroforesis gel atau kromatogram, atau hasil pembacaan sekuensing.
Jenis marka molekuler pada tanaman ada dua yaitu penanda yang mendasarkan teknik PCR dan
yang tidak mendasarkan teknik PCR. Penanda molekuler yang mendasarkan teknik PCR antara
lain RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length
Polymorphism) dan SSR (Simple Sequence Repeats) yang lebih mendasarkan pada sequencing
DNA. Sedangkan Penanda molekuler yang tidak mendasarkan teknik PCR hanya ada satu jenis
yaitu RFLP (Restriction Fragment Lenght Polymorphisme) (Azrai, 2005). Setiap penanda
molekuler memiliki teknik yang berbeda-beda baik dalam hal jumlah DNA yang dibutuhkan,
dana, waktu, prosedur pelaksanaan, tingkatan polimorfisme dan pengujian secara statistik
(Garcia et al., 2004). Penanda tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Oleh karena itu, kombinasi beberapa teknik akan memberikan data yang lebih komprehensif dan
akurat. Penentuan teknik yang digunakan sangat penting untuk mendapatkan hasil sesuai dengan
yang diinginkan. Umumnya strategi pemilihan teknik berdasarkan pada tujuan studi,
ketersediaan dana dan fasilitas serta kemampuan sumber daya manusia.
AFLP merupakan teknik yang bekerja atas dasar selektif PCR amplifikasi dari DNA fragmen
yang degenerate dengan enzim retriksi. Pada dasarnya AFLP merupakan gabunga dari teknik
RLFP dan teknik PCR. Keunggulan teknik AFLP menurut Vos et al. (1995), antara lain; tidak
memerlukan informasi sekuen dari genom dan perangkat (kit) oligonukleotida yang sama ketika
dilakukan analisis dan dapat diaplikasikan pada semua spesies tanaman, hasil amplifikasinya
stabil, tingkat pengulangan dan variabilitasnya sangat tinggi, memiliki efisiensi yang sangat
tinggi dalam pemetaan lokus, karena sekali amplifikasi dapat meliputi beberapa lokus, dapat
digunakan untuk menganalisis sidik jari semua DNA dengan mengabaikan kompleksitas dan asal
usulnya, dapat bertindak sebagai jembatan antara peta genetik dan peta fisik pada kromosom,
jumlah lokus yang diperoleh dari setiap reaksi lebih banyak, hal ini disebabkan karena
penggunaan primer PCR yang lebih panjang sehingga memungkinkan dilakukannya reaksi pada
suhu yang tinggi.
Kelemahan dari teknik AFLP adalah cara aplikasinya relatif lebih rumit, sehingga memerlukan
waktu lebih lama, keterampilan khusus, serta pengadaan alat dan bahan sangat mahal. Teknik ini
sedikit rumit karena melibatkan enzim restriksi dan amplifikasi. Prosedur AFLP lebih banyak
membutuhkan tenaga dan lebih mahal daripada analisis RAPD, Marka AFLP mirip dengan
RAPD, tetapi primernya spesifik dan jumlah pitanya lebih banyak. Marka AFLP dikategorikan
18-25 nukleotida. Contoh penggunaan AFLP pada tanaman teh yaitu; Dendrogam menggunakan
AFLP pada 32 klon teh, menghasilkan teh yaitu: Assam (Assamica), China (Sinensis), dan
Kamboja (Assamica ssp. Lasiocalyx), konsisten dengan klasifikasi atas dasar taksonomi dan asal
daerah.
Contoh penggunaan AFLP terdapat pada jurnal Agron Indonesia pada artikel Genetic variations
of Amorphophallus variabilis Blume (Araceae) in Java using AFLP.
Untuk ekstraksi DNA, daun muda diambil dari tangkai tanaman dengan diameter 3 cm dan
dengan tinggi minimal 0,8 dari permukaan tanah. Diameter tangkai diukur dari 3 cm di atas
tanah. Daun dibersihkan dengan air, pengering udara, dibuang bagian tengahnya dan disimpan
dalam plastik dengan silica gel.
DNA diekstrak dari 0.002 g daun kering menggunakan Nucleon Phytopure extraction kit
(Amersam Life Bioscience, USA) dengan 5% mercaptoethanol, dan dicuci dengan 70% ethanol
dingin. Selama ekstraksi, substansi yang lengket (seperti polisakarida) di reduksi dengan
menambahkan resin dan diikuti dengan larutan CI dan disentrifugasi. Prosedur tersebut diulang
hingga tidak ada substansi yang lengket. Fishing DNA digunakan jika pengulangan prosedur
tidak memuaskan. DNA delusi dengan 100 µl air dan disimpan pada suhu -20oC untuk
penyimpanan lama. Kemurnian DNA berdasarkan rasio A260/A280 1.77±0.16 (mean±SD) and
yielded 12.5±7.3 µg DNA g-1 berat kering.
AFLP dilakukan dengan primer fluorescent EcoRI. Sekitar 200-500 ng dari DNA dihasilkan
dalam semalam pada suhu 37oC dengan 5 U dari setiap enzim restriksi EcoRI dan MseI.
Program pre-amplifikasi terdiri dari 20 cycles dari 94oC selama 30 detik, 56oC selama 30 detik,
dan 72oC selama 120 detik, dan diikuti dengan inkubasi pada 60oC selama 30 menit. Satu
ekstensi nukleotida dari primer Eco-A dan Mse-C digunakan pada pre-amplifikasi.
Primer screening dimulai dengan 16 pasang primer. 8 pasangan primer yaitu: EcoACC-
MseCAT, EcoACCMseCAG, EcoACC-MseCAC, EcoACC-MseCAA, EcoACC-MseCTT,
EcoACC-MseCTA, EcoACC-MseCTC and EcoACC-MseCTG dipilih, karena dapat
menghasilkan banyak polymorphic bands. Amplifikasi diprogram: 1) 10 touchdown cycles 94 °C
selama 30 detik, temperatur annealing lebih rendah 1 °C dari 65°C untuk tiap siklusnya selama
30 detik, and 72°C selama 120 detik; 2) 35 cycles dengan 94°C selama 30 detik, 56°C selama 30
detik, 72 °C selama 180 detik; dan 3) satu cycle 60 °C selama 30 menit, dan diakhiri dengan
4oC. Untuk setiap hasil PCR sedikit cairan ditambahkan (98% formamide, 1 mM EDTA, 10 mM
Tris-HCl, and sedikit bromophenol blue) (1:1) ditambahkan, dan sampel didenaturasi pada 95 oC
selama 3 menit sebelum di electrophoresis. 2 µL sampel dimasukkan ke dalam 5%
polyacrylamide gel dan dijalankan dengan 1x TBE buffer selama 24 jam pada suhu 40 oC.
Fragmen dipisahkan dengan sekuen DSQ-2000L.
Polymorphic bands dari marker AFLP markers dapat ditunjukan secara manual and dihitung dari
clear bands seperti binary data dengan ada bernilai “1” tidak ada bernilai “0”. Polymorphic bands
lebih dari 75% dari total peningkatan analisa digunakan untuk komputerisasi Jaccard persamaan
koefisien. Estimasi keragaman gen (GDEs) dikalkulasikan 1 Jaccard persamaan koefisien.
Analisis kluster digunakan pada matriks persamaan pada UPGMA dan pada dendogram
NTSYSpc ver 2.20d. Data dari marker molekuler disesuaikan dengan data morfologi dari
Santosa et al (2004).
Kombinasi dari EcoACC dengan MseCAT, MseCTC, MseCTG, MseCAC dan MseCAG dapat
memproduksi 35-39 bands dengan 89-100% polymorphic. Kombinasi dari EcoACC with
MseCTA, MseCTT and MseCAA dapat memproduksi 31,27, dan 28 bands dengan lebih dari
92% polymorphic. Dengan total 220 polymorphic bands telah digenerasikan dari 8 kombinasi
primer.
Marker AFLP dapat menghasilkan peningkatan polymorphisms dari A. variabilis di Jawa.
Peningkatan memperlihatkan tingginya keragaman dan perbedaan menjadi 5 grup. Hampir
semua grup terlihat sendiri dari daerah geografinya. Hampir semua peningkatan dengan bunga
berukuran besar pada grup II, sedangkan pada bunga dengan daun yang panjang, tidak memiliki
titik petiole pada Grup III. Peningkatan grup dalam AFLP grup IV dan Grup V dikelompokkan
menjadi Cluster IV menurut pada morfologinya. Untuk meningkatkan keragaman gen,
persilangan antar grup harus dipertimbangkan.
Afifah, E. N. 2012. MAKALAH SEMINAR PENGGUNAAN PENANDA MOLEKULER
UNTUK MEMPERCEPAT DAN MEMPERMUDAH PERBAIKAN KUALITAS TANAMAN
TEH (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Santosa, E., Sugiyaman, N., Kawabata, S., dan Hikosaka, S. 2012. Genetic variations of
Amorphophallus variabilis Blume (Araceae) in Java using AFLP. Jurnal Agron Indonesia
40(I):62-68.

Metode teknik marka molekular dilakukan dengan cara mengidentifikasi tanaman atas dasar
keberadaan sekuens DNA spesifik atau perbedaan kombinasi sekuens antar individu tanaman.
Identifikasi ini tidak selalu memerlukan DNA sequencing, tetapi juga dapat menggunakan
hibridisasi DNA atau PCR. Dari sekian banyak metode yang ada, terdapat beberapa metode yang
popular digunakan, yaitu RFLP, RAPD, AFLP, SSR, dan SNP.

1. RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism).

Metode RFLP diestimasi berdasarkan perbedaan ukuran fragmen DNA. Susunan nukleotida
spesifik pada sekuens DNA dipotong dengan enzim retriksi endonuclease berdasarkan
ukurannya. Selanjutnya hasil pemotongan enzim retriksi endonuclease tersebut dicampur dengan
DNA probes dan dilakukan analisis southern bolt. Fragmen DNA yang komplementer dengan
probes akan terhibridisasi dan muncul pada layer. Polimorphisme dideteksi berdasarkan
perbedaan ukuran fragmen yang muncul. Polimophisme yang dihasilkan dapat disebabkan
karena adanya mutasi, insersi, delesi, dll.
Metode RFLP tidak menggunakan PCR dalam pengerjaannya. Kelebihan metode ini adalah
konsistensi yang tinggi, informasi sifat pewarisan ko-dominan, dapat diulang tanpa ada
perubahan, tidak memerlukan informasi sekuen, dan relatif mudah diidentifikasi karena
perbedaan yang besar antar fragmen. Akan tetapi metode ini juga mempunyai beberapa
kekurangan yaitu pada beberapa spesies tingkat polimorfisme sangat rendah, menyita banyak
tenaga dan waktu, kuantitas dan kualitas DNA yang diperlukan sangat tinggi, prosedur
hibridisasinya rumit sehingga menyulitkan otomatisasi, dan memerlukan pustaka probe untuk
spesies-spesies tanaman yang belum pernah dieksplorasi sebelumnya.
Metode RFLP mempunyai banyak kegunaan dalam bidang pemuliaan tanaman modern. Aplikasi
metode RFLP antara lain digunakan untuk seleksi karakter agronomi, uji kualitas benih, analisis
segregasi pada keturunan, dan evaluasi diversitas genetik untuk koleksi plasma nutfah. RFLP
juga digunakan sebagai alat untuk mengetahui variabilitas genetik pada tanaman pangan.

2. RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA).

Metode RAPD merupakan metode yang menggunakan oglionukleotida tunggal pendek (primer),
sepanjang 10-12 basa, untuk membentuk fragmen-fragmen DNA. Metode RAPD memanfaatkan
PCR untuk mengamplifikasi sekuen DNA yang komplementer terhadap primer. Sekuen DNA
yang komplementer dengan primer akan terhibridisasi secara acak (random), selanjutnya
dilakukan perbanyakan (amplified) terhadap sekuen-sekuen DNA komplementer tersebut. Tahap
selanjutnya yaitu melakukan elektroforesis pada agarose atau polyacrilamide gel untuk
memisahkan fragmen DNA berdasarkan ukurannya. Kemudian dilakukan pewarnaan dengan
ethidium bromide dan fragmen-fragmen DNA akan terlihat jika disinari dengan sinar UV.
Metode RAPD dapat menghasilkan beragam pita pada individu dengan primer tunggal. Variasi
band yang terlihat umumnya disebut random amplified polymorphic DNA (RAPD) bands.
Polimorphisme akan terlihat dan selanjutnya bisa digunakan sebagai marka genetik. Pemanfaatan
metode RAPD antara lain untuk deteksi polimophisme sekuens DNA, pemetaan genetik berbagai
populasi, keragaman genetik, dan identifikasi varietas serta analisis asal-usul organisme
(filogenetik).
Metode RAPD mempunyai keunggulan dan juga kekurangan. Keunggulan metode RAPD yaitu
waktu yang dibutuhkan singkat, mudah dilaksanakan, lebih murah, dan primer yang diperlukan
sudah banyak dikomersilkan sehingga mudah diperoleh. Metode ini dapat digunakan untuk
menganalisis banyak organisme, karena primer yang digunakan bersifat universal yang berarti
primer dapat digunakan tanpa perlu mengetahui informasi sekuen DNA terlebih dahulu.
Kekurangan metode RAPD yaitu marka (primer) yang terlalu umum, sehingga informasi yang
diperoleh kurang akurat. Marka RAPD bersifat dominan, dalam arti lain band hasil RAPD tidak
menunjukkan perbedaan antara keadaan heterosigos dan homosigos. Selain itu terdapat kesulitan
untuk memperoleh pola pita yang identik walaupun digunakan primer dan materi (DNA) yang
sama. Masalah lain yang ditemukan adalah pola pita RAPD muncul pada DNA keturunan tetapi
tidak muncul pada DNA tetua, dimana fenomena ini biasa disebut heteroduplex formation. Hal
ini mungkin disebabkan karena reaksi RAPD dipengaruhi oleh persaingan antar primer sites
dalam genom.

3. AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism)

Metode AFLP merupakan penggabungan antara teknik RFLP dan RAPD. DNA genomik
dipotong dengan ezim restriksi seperti pada RFLP, akan tetapi pada AFLP digunakan dua enzim
restriksi yang berbeda. Tujuannya adalah memperoleh fragmen dalam jumlah besar. Beberapa
fragmen terseleksi diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer universal seperti pada
RAPD, walaupun sebenarnya primer yang digunakan tidak benar-benar dipilih secara acak.
Primer yang digunakan adalah primer yang komplementer dengan “adapters”. Adapters
merupakan oligonukleotida spesifik yang komplementer dengan restriction sites sepanjang 25-
30bp dan menempel pada fragmen DNA yang dipotong. Polimorphisme kemudian dideteksi dari
perbedaan panjang fragmen hasil amplifikasi PCR pada polyacrilamide gel electrophoresis
(PAGE) atau capillary electrophoresis yang divisualisasi dengan menggunakan otoradiografi
atau pewarnaan perak. Pita polimorphik lalu diidentifikasi seperti pada analisis RAPD. Pita
polimorphik ini bahkan bisa dipotong dari gel dan disekuensi, yang memungkinkan kita untuk
merakit primer PCR spesifik.
Metode AFLP biasanya digunakan untuk meneliti variasi genetik diantara individu dalam
suatu spesies, mengevaluasi variasi genetik untuk koleksi plasma nutfah dan skrining
biodiversitas. Metode AFLP juga sering digunakan untuk membuat peta genetik dan percobaan
untuk menemukan gen-gen yang bertanggung jawab terhadap karakter tertentu. Kelebihan
metode ini yaitu tidak memerlukan informasi sekuen dari genom, hasil amplifikasinya stabil,
tingkat pengulangan dan variabilitasnya sangat tinggi, dan dapat mendeteksi variasi genetik
diantara spesies, varietas, atau kultivar yang berkerabat dekat. Kekurangan metode ini yaitu
pengerjaan yang rumit dan intensif dibandingkan metode lainnya, pengadaan alat dan bahan
sangat mahal, serta dibutuhkannya kits yang berbeda-beda yang dapat beradaptasi dengan ukuran
genom selama analisis.

4. SSR (Simple Sequence Repeat)

Metode Simple Sequence Repeat (SSR) mempunyai nama lain metode microsatellite atau Simple
Tandem Repeat (STR). Metode SSR didasarkan atas pengulangan pasangan sekuen mono-, di-,
tri-, tetra-, penta-, dan hexa-nukleotida seperti (TG)n atau (AAT)n. Pasangan sekuen ini tersebar
melewati genom sehingga menghasilkan polimorphisme yang tinggi. Dalam pengerjaannya,
metode SSR memanfaatkan PCR untuk mengamplifikasi sekuen DNA secara individu
menggunakan primer spesifik. Sekuen DNA yang teramplifikasi adalah sekuen DNA yang
komplementer dengan primer yang digunakan. Selanjutnya dilakukan elektroforesis pada agarose
gel atau polyacrilamide gel untuk memisahkan fragmen DNA yang terbentuk berdasarkan
panjang ukuran basa. Kemudian dilakukan pewarnaan pada gel dengan ethidium bromide. Tahap
terakhir yaitu visualisasi dengan meletakkan gel dibawah sinar UV sehingga fragmen-fragmen
DNA akan terlihat. Polimorphisme dideteksi berdasarkan perbedaan ukuran fragmen DNA
akibat perbedaan panjang pengulangan pasangan sekuen
Perbedaan metode SSR dengan metode RAPD terletak pada primer yang digunakan. Primer
SSR merupakan primer tunggal spesifik yang mengamplifikasi hanya pada satu site tertentu,
berbeda dengan RAPD yang menggunakan primer universal, yang dapat mengamplifikasi pada
beberapa site sekaligus. Primer SSR juga merupakan marka ko-dominan yang dapat
membedakan heterosigos dan homosigos sedangkan primer RAPD merupakan marka dominan.
Perbedaan lainnya terletak pada pita yang dihasilkan. Metode SSR biasanya hanya menghasilkan
satu atau dua pita pada tiap individu sedangkan metode RAPD dapat menghasilkan beragam pita
pada tiap individu.
Metode SSR merupakan salah satu alat molekular yang sering digunakan untuk penelitian
diversitas genetik karena keakuratan informasi yang tinggi dan sangat polimorfik bahkan untuk
spesies atau galur yang berkerabat dekat. Genetik populasi dan analisis hubungan kekerabatan
bisa dilakukan dengan metode SSR. Kelebihan metode ini yaitu primer yang digunakan untuk
satu spesies tertentu dapat digunakan untuk berbagai macam tanaman dalam satu spesies,
kuantitas DNA yang digunakan sangat kecil, metodenya relatif sederhana dan dapat dilakukan
secara otomatis, dan pasangan primer SSR tersedia dipasaran dalam jumlah yang besar.
Sedangkan kekurangan metode ini yaitu kesulitan kloning dan sequencing daerah flanking SSR,
biaya yang cukup tinggi untuk merancang primer baru yang spesifik.

5. SNP (Single Nucleotide Polymorphism)

SNP umumnya merupakan variasi DNA yang berasal dari perubahan satu atau dua basa pada
sekuen DNA . SNP juga diartikan sebagai variasi sekuen DNA yang terjadi ketika sebuah
nukleotida tunggal dari sekuen tersebut berbeda dari sekuen DNA pada umumnya. Jika SNP
terjadi pada sebuah gen, SNP dapat mengganggu fungsi gen, yang menghasilkan perbedaan alel
pada gen tersebut. SNP dapat digunakan secara efektif sebagai penanda karena perbedaan terjadi
pada basa tunggal. Tidak seperti metode SSR, SNP merupakan bagian sekuen itu sendiri bukan
ukuran atau panjang sekuen. Pada genom manusia, SNP umumnya terjadi setiap 100 hingga
300bp.
Prinsip dasar dalam pengerjaan SNP beserta teknik yang digunakan meliputi:
- ASOH (Allele-spesific oligonukleotide hybridization), teknik terkait: allele-specific PCR, 5’
nuclease assay, DNA chips, bead based techniques.
- Elongasi rantai DNA template-dependent dengan DNA polimerase, teknik terkait: primer
extension, pyrosequencing.
- Double-strand-dependent ligation, teknik terkait: OLA (oligonucleotide ligation assay) yang
digabungkan dengan DNA chips atau bead based techniques.
- Deteksi perbedaan (mismatch detection), teknik terkait: DASH (dynamic allele-specific
hybridization), DHLPC (denaturing high-performance liquid chromatography).

Deteksi markah SNP bersifat ko-dominan, berdasarkan pada amplifikasi primer yang berbasis
pada informasi sekuen untuk gen spesifik. Keunggulan teknik SNP adalah lebih mudah
diaplikasikan dibandingkan dengan teknik SSR dan AFLP serta lebih bermanfaat ketika posisi
SNP pada lokus sangat berdekatan. Kelemahan dari teknik SNP adalah memerlukan informasi
sekuen untuk suatu gen yang menjadi target analisis dan untuk pengadaan alat dan bahan
memerlukan biaya yang sangat tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Bashalkhanov S., Pandey M., Rajora OP. 2009. A simple method for estimating genetic diversity
in large populations from finite sample sizes. BMC genetics. 10:84
Biodiversity, three parts for definition: genetics, species, and ecosystems.
http://biodiversite.mediasfrance.org. Diakses: 19 Mei 2011.
Fahmi, Zaki Ismail. 2011. Pemanfaatan teknologi DNA molekuler dalam identifikasi dan
verifikasi varietas tanaman perkebunan. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman
Perkebunan.
Genetic Diversity in Rice. http://www.fao.org/docrep/006/y4751e/y4751e0c. Diakses: 21 Mei
2011.
Genetic Factors in Conservation Biology. Cambridge University Press.
http://www.fathom.com/course/21701746/session3.html. Diakses: 21 Mei 2011.
Michael J. Jeffries. 2006. Biodiversity and Conservation-2nd edition. Routledge Introductions to
Environtment Series.
Ovesna J., Polakova K., Leisova L. 2002. DNA analyses and their applications in plant breeding.
Czech J. Genet. Plant Breed. 38(1): 29-40.
Rauf S., Teixeira da Silva JA., Khan AA., Naveed A. 2010. Consequences of plant breeding on
genetic diversity. International Journal of Plant Breeding. 4(1): 1-21.
Seetharam K., Thirumeni S., Paramasivam K. 2009. Estimation of genetic diversity in rice
(Oryza sativa L.) genotypes using SSR markers and morphological characters. African Journal of
Biotechnology. 8(10), pp. 2050-2059.
Skaria R., Sen S., Muneer PMA. 2011. Analysis of genetic variability in rice varieties (Oryza
sativa L) of Kerala using RAPD markers. Genetic Engineering and Biotechnology Journal.
Volume: GEBJ-24.
Suryanto, D. 2003. Melihat keanekaragaman organisme melalui beberapa teknik genetika
molekuler. USU digital library : Universitas Sumatera Utara.
Thornhill DJ., Lajeunesse TC., Santos SR. 2007. Measuring rDNA diversity in eukaryotic
microbial systems: how intragenomic variation, pseudogenes, and PCR artifacts confound
biodiversity estimates. Molecular Ecology. 16: 5326–5340.
Vienne, DD. 1998. Molecular Markers in Plant Genetics and Biotechnology. Institute National
de la Recherche Agronomique Versailles: France.

Anda mungkin juga menyukai