Anda di halaman 1dari 4

Nicson Bunawidjaya 315190076

Rangkuman Jurnal
Transformasi Makna Ruang dan Tempat pada Hagia Sofia, Istanbul,
Turki

Latar Belakang

Hagia Sofia merupakan bangunan museum bekas peninggalan Kekaisaran Bizantium,


terletak di kota Istanbul (dulu Konstantinopel), Turki. Bangunan ini merupakan bangunan
gereja bekas peninggalan kekaisaran Bizantium. Pada tahun 1453, Kesultanan Ottoman yang
pada saat itu dipimpin oleh Mahmet II berhasil menaklukan Konstantinopel. Kejatuhan
Konstantinopel ini memberikan trauma pada dunia barat dan dianggap sebagai akhir dari
dunia Kristen klasik. Hagia Sofia merupakan katedral terbesar di dunia selama hampir seribu
tahun yang berfungsi sebagai pusat kehidupan agama, politik, dan seni pada masa Bizantium.
Pada saat Konstantinopel jatuh, Ottoman mulai mengubah Kekaisaran Kristen menjadi Islami
melalui identifikasi ulang estetika. Sebagai fitur dekoratif masjid, dibangun menara yang
berfungsi praktis untuk panggilan adzan dan pengumuman lainnya. Namun, untuk Ottoman,
fungsinya lebih dari itu. Menara itu merupakan simbol fisik yang kuat dari kemenangan
Islam, bukti eksternal dari konversi arsitektur Kristen ke Islam. Pembangunan menara
tersebut bisa juga disebut sebagai penanda Islam . Daripada menghancurkan peninggalan
budaya, Mehmet II mengambil alih kembali “prestise” dan kekuatan simbolis Hagia Sofia
untuk tujuan politiknya sendiri. Ia juga mengubah ornamen-ornamen Kristen di dalam
interior gereja dengan moziak mozaik Islam dan berusaha menghapus simbol-simbol Kristen
sebanyak yang ia mampu. Dalam mengklaim bangunan ini, Sultan Mehmet II menegaskan
kekuatan dan otoritas Ottoman atas peradaban Bizantium.

Metode Penelitian

Dalam tulisan ini, akan dipaparkan bagaimana lanskap budaya berubah dari
kebudayaan Bizantium ke kebudayaan Turki Ottoman dan ke kebudayaan Turki modern.
Metode penelitian yang digunakan di dalam tulisan ini adalah studi pustaka dan penelitian
lapangan dengan mengunjungi Museum Hagia Sofia di Istanbul pada 28-30 Juni 2019 dan
10-11 Juli 2019.

Hasil dan pembahasan

Hagia Sofia sebagai Ruang dan Tempat

Penjabaran konsep ruang dalam sejarah adalah (1) ruang merupakan tempat terjadinya
berbagai peristiwa dalam perjalanan waktu; (2) penelaahan suatu peristiwa berdasarkan
dimensi waktu tidak dapat terlepaskan dari ruang waktu terjadinya peristiwa sejarah; (3)
konsep ruang menitikberatkan pada aspek tempat, di mana peristiwa itu terjadi. Ruang adalah
kebebasan sementara tempat adalah keamanan (2001:3). Tempat sebaliknya lebih dari
sekedar lokasi dan dapat digambarkan sebagai lokasi yang diciptakan oleh pengalaman
manusia. Tempat adalah pusat di mana orang dapat memenuhi kebutuhan biologis seperti
makanan, air, dan lain-lain. Ruang dapat digambarkan sebagai lokasi yang tidak memiliki
koneksi sosial bagi manusia. Ruang itu adalah ruang terbuka, tetapi mungkin ditandai dan
dipertahankan terhadap penyusup (2001:4)

Hagia Sofia adalah bekas basilika Bizantium, kemudian dijadikan masjid dan
digunakan sebagai museum pada 1934. Turki mengubah nama kota Konstantinopel menjadi
Istanbul dan mengubah Hagia Sofia menjadi masjid. Motif dan simbol Kristen masa lalu
dihapus atau disembunyikan dari pandangan, dan mihrab, minbar, dan menara ditambahkan.
Hagia Sofia dinyatakan sebagai masjid kesultanan pertama di Istanbul, dan pada 1517, juga
berfungsi sebagai tempat kedudukan Kekhalifahan sebagai pernyataan militer dan politik
serta penegasan keunggulan dan kemenangan agama Islam (Gabor, 2009: 245).

Mengonsumsi Hagia Sofia: Dari Simbol Menuju Sistem

Apa yang dimaksudkan dengan simbol bagi Cassirer ialah mengacu pada dunia
makna dan tidak berurusan dengan dunia kongkrit (indrawi). Peninggalan sejarah seperti
monumen misalnya hanya berarti apabila kita melihatnya sebagai simbol karena yang penting
di sini ialah sejauh mana kita dapat mengungkapkan ekspresi makna sebagai bentuk (form) di
baliknya.Di sini Cassirer membedakan simbol dan tanda. Signals are operators, symbols are
designators. Kajian tentang simbol dalam studi budaya mencakup pemahaman bahwa simbol
tidak dapat dilepaskan dari aspek historis (ruang dan waktu).

Hagia Sofia merupakan simbol penting pariwisata Turki. Para wisatawan yang
berkunjung ke Turki belum lengkap jika belum mengunjungi Hagia Sofia. Dalam hal ini
Hagia Sofia menjadi sebagai mode produksi penting yang memiliki use-value (nilai guna),
nilai fungsi, sekaligus nilai simbolik yang penting bagi pariwisata Turki. Turki menggunakan
simbol Hagia Sofia sebagai identitas bangsa untuk mengadaptasi sistem arsitektur Bizantium
yang sudah ajeg, dengan tujuan peningkatan kuantitas arsitektur masjid Turki, di sisi lain,
kebudayaan Bizantium, Romawi, dan Yunani, meninggalkan simbol-simbol budaya mereka
di negara Turki.

Kontestansi Sekuler dan Non-Sekuler pada Hagia Sofia

Hagia Sofia adalah simbol puncak Kristen di bawah Kekaisaran Bizantium. Di bawah
Kesultanan Ottoman, bagaimanapun dia menjadi simbol kemenangan Islam atas Kekristenan.
Pengalihan fungsi Hagia Sofia menjadi museum oleh Pemerintah Republik Turki baru adalah
manuver politik yang disengaja untuk menunjukkan agenda sekuler baru rezim Ataturk
dengan menelanjangi salah satu simbol keagamaan paling penting dalam sejarah. Namun,
konversi menjadi monumen ditengarai untuk menghindari konflik antara dua agama: Kristen
dan Islam yang telah mengklaim bangunan yang telah berusia berabad-abad tersebut menjadi
simbol kontroversi agama dan meningkatnya politisasi.

Gagasan membuka kembali Hagia Sofia menjadi tempat pelayanan keagamaan telah
memicu diskusi yang berlanjut sampai hari ini (Nur and Ozer, 2017:65). Menara sekarang
menjadi simbol yang digunakan oleh sekuler dan non-sekuler, terutama ketika perjuangan
kemerdekaan Turki. Menara bukan saja digunakan untuk panggilan azan dan doa, namun
juga mengumandangkan patriotisme. Dengan demikian, tidak ada lagi bukti estetika
kemenangan agama Islam, namun integrasi propaganda rezim sekuler.

Antara 1989 dan 1994, suara kaum konservatif meningkat, membenarkan kebangkitan
Fundamentalisme Islam, dan khususnya, pemulihan Hagia Sofia sebagai bagian dari ikon
tujuan mereka. Klaim-klaim Kristen mulai muncul dari waktu ke waktu, artikel yang
menyerukan kembalinya ikon Kristen muncul di kolom pendapat di seluruh dunia. Baru-baru
ini, pemerintah Turki telah mengungkapkan ambivalensi terhadap penyelenggaraan
pelayanan Kristen dalam Hagia Sofia, melangkah lebih jauh dengan menyarankan bahwa
Hagia Sofia mungkin terbuka untuk kebaktian gereja, sama seperti halnya dibuka untuk
beribadah bagi para Muslim. Status Hagia Sofia di Istanbul telah mendapat sorotan yang
semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dengan sejumlah kampanye untuk
membukanya bagi peribadatan Muslim, meskipun ada anggapan bahwa hal ini akan tidak
menghormati masa lalu bangunan tersebut sebagai sebuah gereja. Kembali pada November
2013, Wakil Perdana Menteri Bülent Arınç menyatakan harapannya melihat Hagia Sofia
digunakan sebagai masjid. Pada 2014, di tengah rumor tentang kemungkinan perubahan,
penasihat senior Erdogan Ibrahim Kalin mengatakan tidak ada rencana untuk mengubah
status monumen. Hagia Sophia telah menjadi sangat terpolitisasi dan menjadi kontestansi
antara Kristen, Islam, dan sekularisme.

Kesimpulan

Pertama, bahwa sejarah dapat memungkinkan kita untuk menempatkan diri kita tepat
waktu, menawarkan cara untuk melihat dunia lebih jelas seolah-olah dari puncak gunung atau
bulan.

Kedua, keterkaitan ruang dan tempat dalam sejarah. Ruang merupakan tempat
terjadinya berbagai peristiwa sejarah dalam proses perjalanan waktu. Terjadinya suatu
peristiwa sejarah tidak terlepas dari adanya ruang sejarah. Ruang dan tempat inilah yang
menjadi salah satu bukti otentik bahwa sejarah benar-benar pernah terjadi. Ruang dan waktu
terus berjalan secara linier, karena setiap peristiwa saat ini dan yang akan datang akan
menjadi bagian dari masa lampau atau masa lalu, dan itu merupakan bagian dari sejarah.
Dalam kasus ini, Hagia Sofia dapat diproduksi sebagai ruang politik, ruang agama, ruang
sosial, ruang budaya sekaligus ruang ekonomi dengan argumentasi transformasi dari katedral,
masjid, dan museum; dan di sisi lain dia menyumbangkan devisa bagi negara Turki.

Ketiga, Hagia Sofia dapat berproduksi sendiri dan memiliki karakter yang
mentransformasikan hegemoni atas ruang menjadi relasi yang setara.

Apabila Hagia Sofia tidak didukung oleh kesadaran manusia akan nilai moral dan
etika, maka akan terjebak dalam arus kapitalisme yang mengedepankan faktor ekonomi
belaka. Keberadaan Hagia Sofia merupakan upaya Turki untuk terus memunculkan dan
mengingatkan kembali simbol kebanggaan dan sejarah panjang bangsa Turki.
Pengartikulasian simbol tidak hanya berhenti pada pengungkapan esensi keberadaan Hagia
Sofia sebagai simbol budaya dan historis bangsa Turki, tetapi juga sebagai proses
pengingatan dan pemaknaan ulang bagi rakyat Turki dan lebih luas lagi bagi dunia Islam.
Keindahan Hagia Sofia membuktikan bahwa karya arsitektur sebagai ruang sosial dan budaya
mampu menembus batas-batas agama dan politik yang saling berkontestasi.

Anda mungkin juga menyukai