Anda di halaman 1dari 8

Dari Masjid, Kampus, sampai Parlemen

Oleh: Nanang Indrawan

1. Masjid dan Sebuah Fungsi


Syahdan, kata ahli sejarah, setiap generasi menulis sejarahnya sendiri. Dalam tulisan
sederhana ini, ada tiga variabel yang satu sama lain memiliki definisi, fungsi, dan strategi yang
berbeda. Tetapi di antaranya saling berkaitan bahkan bisa jadi saling menunjang. Dalam lintas
panjang sejarah, masjid selalu diposisikan sebagai sesuatu yang sakral. Di dalamnya selalu kental
dengan nilai-nilai ketuhanan. Sejak masa pertama, masjid didirikan dan dijadikan sebagai pusat
kegiatan peradaban, dari mulai peribadatan yang fardu sampai sesuatu yang dianggap tabu—
latihan perang. Sejak generasi pertama pula, masjid dijadikan simbol perlawanan, kontemplasi,
meramu strategi, sampai aksi. Perputaran menuntut perubahan: dahulu satu masjid bisa
mengubah dan merekayasa sosial, namun sekarang jutaan masjid terhampar, persoalan sosial,
politik, budaya, dan agama tidak terelakan. Salahkah masjid?
Masjid adalah ruang, layaknya bangunan-bangunan yang hari ini bisa kita saksikan
dengan indera penglihatan. Ruang itu akan menjadi berati dan berfungsi ketika memiliki nama
dan ciri. Penulis mencoba mengadaptasikan masjid dalam perspektif Al-Quran, Pakar Tafsir Al-
Quran asal Indonesia, Muhammad Quraish Shihab dalam buku karyanya Wawasan Al-Quran:
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 2000) menguraikan, kata ‘masjid’
terulang sebanyak 28 (dua puluh delapan) kali di dalam Al-Quran. Dari segi bahasa, kata
‘masjid’ terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh
hormat dan ta’dzim.
Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud
oleh syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna di atas. Itulah sebabnya
mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat dinamakan masjid, yang
artinya "tempat bersujud."
Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat kaum muslim.
Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan patuh, maka hakikat masjid adalah
tempat melakukan segala aktivitas yang mengandung kepatuhan kepada Allah semata. Karena itu
Al-Qur’an sural Al-Jin ayat 18, misalnya, menegaskan bahwa:
“Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, karena janganlah menyembah selain Allah
sesuatu pun.” (QS. Al-Jin: 18)
Selain itu, Quraish Shihab dalam buku yang sama juga mengemukakan bahwa
Rasululullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku)
bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri.” (H.R. Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin
Abdullah). Masjid adalah pusat penghambaan diri, pembentukan diri, hingga penciptaan strategi
—pusat peradaban. Setiap gagasan dan gerakan harus lahir dari masjid.
Mari sejenak kita terbang ke abad ke-15, saat itu Eropa masih berada di penghujung abad
gelap, yang mana sebagian besar masyarakatnya masih mempercayai takhayul dan cerita
bohong. Saking percayanya, mereka sanggup membakar seorang wanita atau mengubur hidup-
hidup seorang lelaki hanya karena dakwaan mereka “dirasuki setan”.
Pada abad ke-15 tepatnya tahun 1470, berdiri sebuah masjid megah di tengah kota
Konstantinopel yang diganti namanya menjadi Islambul (sekarang Istanbul) oleh Muhammad Al-
Fatih. Kelak Masjid ini akan dikunjungi pada tahun 1540 oleh Nicolas de Nicolay, geografer
istana Raja Francis I, lalu ia berkomentar:
“Masjid yang terindah dan yang paling berlimpah adalah Masjid Fatih, yang memiliki
pemasukan tahunan sekitar 60.000 ducats. Sekelilingnya lalu lalang para imam dan
ulama, dan sebagai tambahannya, sekitar 200 bangunan berkubah berlapis timbal, juga
bangunan yang menyediakan makanan bagi pengunjung dari semua jenis etnis dan
agama. Para pengunjung yang melewati kota ini dapat tinggal di sini dengan pelayan-
pelayan mereka tanpa membayar apapun. Di luar tembok pembatas kompleks masjid
tersedia 150 rumah lain yang diperuntukkan pada kaum papah di kota itu. Bagi para
pengungsi yang tak berdaya diberikan satu akce sehari dan roti yang cukup bagi mereka.
Hanya saja, di sana orang-orang miskin enggan hidup dengan cara meminta-minta,
sehingga bangunan-bangunan untuk kaum papah ini banyak yang tak ditempati, dan
uang yang bisa dihemat karenanya, didistribusikan ke seluruh rumah sakit yang ada di
kota.”

(Keterangan, 1 ducats = 3.5 gram emas, 40 akce = 1 ducats)


Masjid itu adalah Masjid Fatih, atau Fatih Kulliyesi, dan zaman itu adalah zaman
Kesultanan Utsmaniyyah yang dipimpin oleh Khilafah Abbasiyah. Lihatlah bagaimana ketika
Islam diterapkan secara sempurna oleh sebuah kekuasaan, maka jadilah apa yang disampaikan
oleh Imam Ghazali:
“Agama dan kekuasaan itu adalah saudara kembar, bagi agama layaknya asas, dan
kekuasaan adalah penjaganya, yang tidak ada asas akan hancur dan yang tak ada penjaga
akan hilang.”
Ketika Islam diterap secara utuh, maka jantung peradaban manusia adalah Masjid, nyawanya
adalah tauhid, dan tiangnya adalah Al-Quran dan As-Sunnah.
Saat itu, sudah berlalu 800-an tahun sejak Rasulullah mencontohkan bahwa masjid adalah
pusat peradaban, namun ianya selalu segar dalam ingatan para sultan, juga para khalifah untuk
senantiasa megingat dan mengamalkan apa yang Rasulullah contohkan Namun begitu Islam
ditinggalkan pada 1924, semuanya berubah. Islam dianggap hanya urusan individu, dan ditolak
untuk mengatur masyarakat dan negara. Kita lebih percaya pada sistem manusia yang diimpor
dari penjajah, dan kerusakannya sangat parah.
Sekarang, siapa yang kita contoh? Adakah masjid masih menjadi jantung peradaban bagi
ummat? Atau hanya tempat yang tidak ada bedanya seperti agama lain yang dikunjungi
seminggu sekali? Pertanyaan yang wajib kita tanyakan juga adalah, apakah bagi kita Rasulullah
hanya tokoh sejarah yang diceritakan tapi tidak ditiru dan diteladani? Termasuk dalam mengatur
negara dan masyarakat?
Kita perlu perubahan, dan perubahan itu adalah kembali kepada Islam, kembali
menerapkan Al-Quran dan As-Sunnah, kembali pada syariat Allah, dan khilafah, kepemimpinan
yang dicontohkan Nabi dan sahabatnya.
Al Tibawi, sejarawan asal Palestina menyatakan bahwa sepanjang sejarahnya, masjid dan
pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Serupa dengan pernyataan Jacques
Wardenburg, sejak pertama kali berdiri, masjid telah menjadi pusat kegiatan keislaman, tempat
menunaikan shalat, berdakwah, mendiskusikan politik dan sekolah. Di mana pun ajaran islam
berkembang, di situlah bangunan masjid menjulang. Sejarah peradaban islam mencatat, aktivitas
pendidikan berupa sekolah pertama kali hadir di masjid pada tahun 653 M di Kota Madinah.
Pada kekuasaan Dinasti Umayyah, berlangsung juga pendirian di Damaskus pada tahun 744 M.
Serentak di tahun 900 M, semua masjid difungsikan untuk mendidik anak-anak muslim yang
kelak disebar di dunia islam.
Menjadi satu keharusan, aktivitas yang lahir atau dibesarkan di masjid menjadi seorang
aktivis yang berpikir ilmiah, bertindak progresif dan menciptakan perubahan dengan revolusiner.

2. Kampus dan Sebuah Fungsi


Malik bin Nabi pernah bicara soal struktur peradaban dengan tiga dimensi; manusia,
tanah dan waktu. Manusia menjadi dimensi paling penting dari tiga struktur peradaban karena
manusia adalah pelaku peradaban. Tanah adalah medan penyemaian dari aktivitas-aktivitas
manusia, sedangkan waktu adalah alokasi kerja dalam proses membangun peradaban.
Jika manusia merupakan unsur paling fundamental dalam sebuah peradaban, maka upaya
apapun tidak akan terealisir jika mengabaikan pendidikan dan pembinaan manusia. Untuk berada
di posisi menjadi manusia yang berpotensi (anshir taghyir) kita harus membentuk ruang dan
waktu.
Kampus adalah taman-taman intelektual para umat manusia yang ingin meciptakan
perubahan tatanan di masyarakatnya. Kampus akan menjadi lorong intelektual yang
menghasilkan manusia-manusia super yang dapat mewujudkan perbaikan atas kerusakan sosial.
Menjadi strategis, ketika kita mendialogkan kampus menjadi suatu fungsi yang akan membuat
manusia menjadi lebih merdeka, baik dalam berucap ataupun bersikap. Tidak heran, jika di
Yunani muncul tokoh-tokoh yang lahir dari dunia akademisi dalam rangka memecahkan
persoalan yang dihadapi manusia, mulai dari Thales, Anaximenes, Anaximandros Cicero,
Sócrates, juga yang lainnya.
Ini menjadi bukti, bahwa untuk menjadikan manusia berkualitas harus memiliki ruang
yang khsusus, agar masif dan efektif. Ada beberapa hal yang harus kita garis bawahi dari
pernyataan sejarah di atas, Kampus adalah tempat pembentukan mental dan intelektual bukan
tempat cari keuntungan (komersialisasi). Ditambah dengan keadaan mahasiswa yang terlelap
dengan keadaan hedonismenya.
Peradaban Semakin Jauh dari Harapan
Kampus harusnya dijadikan alat produksi bagi mahasiswa untuk menciptakan karya,
bukan justru untuk beradu gaya. Mari dengan seksama kita posisikan kembali kampus pada
khitohnya, sebagai bentuk pewujudan kemajuan intelektual dan pengokohan mental melalui
kajian-kajian ilmiah yang sistematis dan objektif. Kampus wajib mengorbitkan manusia yang
berkualitas dan berjiwa pembaharu. Kampus harus mempunyai program yang terorganisir untuk
kemajuan sumber daya manusia sehingga bisa mengolah sumber daya alam yang melimpah.
Jangan membenturkan mahasiswa dengan mindset nilai. Memosisikan nilai sebagai momok yang
menakutkan; nilai adalah ketentuan, nilai adalah kemajuan, bahkan nilai dituhankan.
Membiarkan persoalan ketimpangan sosial, membiarkan ketidakadilan bernapas bebas.
Bukankan pertanggungjawaban nilai adalah mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan? Catat, nilai
bukan tuhan, tapi tuhan yang punya nilai.
Ada tanggung jawab moral dari perguruan tinggi yang jika di dalamnya tidak ada nilai-
nilai demikian, perguruan tinggi itu berhak untuk diberhentikan. Hal tersebut dikenal dengan
istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi , yang poin-poinnya itu:
1.Pendidikan dan Pengajaran
2.Penelitian dan Pengembangan
3.Pengabdian kepadaMasyarakat
Tri Dharma Perguruan Tinggi bukan hanya menjadi tanggung jawab mahasiswa. Seluruh
dosen (pendidik), serta orang-orang yang terlibat dalam proses pembelajaran (sivitas akademika)
memiliki tanggung jawab yang sama.
1. Pendidikan dan Pengajaran
Pendidikan dan pengajaran adalah poin pertama dan utama dari Tri Dharma Perguruan
Tinggi. Pendidikan dan pengajaran memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu proses
pembelajaran. Undang-undang tentang pendidikan tinggi menyatakan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari pengertian pendidikan di atas, proses pembelajaran yang ada di perguruan tinggi
memiliki peranan penting untuk menciptakan bibit-bibit unggul. Pendidikan dan pengajaran yang
baik akan menghasilkan bibit unggul dari suatu perguruan tinggi yang akan mampu membawa
bangsa ini ke arah bangsa yang lebih maju. Lulusan-lulusan yang berkualitas dari perguruan
tinggi akan menjadi penerus bangsa yang membawa Indonesia ke arah yang lebih maju. Sesuai
dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, mencerdaskan kehidupan
bangsa. Maka pendidikan dan pengajaran harus menjadi pokok dan sumber utama dalam
mencapai tujuan dari perguruan tinggi.
2. Penelitian dan Pengembangan
Peneitian dan pengembangan juga sangatlah penting bagi kemajuan perguruan tinggi,
kesejahteraan masyarakat, serta kemajuan bangsa dan negara. Mahasiswa harus mampu
mengembangkan ilmu dan teknologi, lebih cerdas, kritis, dan kreatif dalam menjalankan
perannya sebagai agent of change. Mahasiswa harus mampu memanfaatkan penelitian dan
pengembangan ini dalam suatu proses pembelajaran untuk memporoleh suatu perubahan-
perubahan yang akan membawa Indonesia ke arah yang lebih maju dan terdepan.
3. Pengabdian Kepada Masyarakat
Menurut Undang-Undang tentang pendidikan tinggi, pengabdian kepada masyarakat
adalah kegiatan sivitas akademika yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pengabdian kepada masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan positif. Pada
hal ini, mahasiswa harus mampu bersosialisasi dengan masyarakat dan mampu berkontribusi
nyata. Seperti yang kita ketahui selama ini bahwasannya mahasiswa adalah penyambung lidah
rakyat, agent of change, dan lainnya. Maka dari itu mahasiwa harus mengetahui porsi dari tugas
meraka masing-masing dalam mengabdi kepada masyarakat Jadi, jangan menyempitkan
artikukasi kampus hanya dengan ruang sempit semata. Kampus adalah dapur, dosen adalah koki,
dan mahaiswa adalah bahan—tentu bahan perubahan.

3. Parlemen dan Sebuah Fungsi


Parlemen, dalam sudut pandang sejarah terbagi menjadi empat kategorisasi.
Pertama, 1945-1955 adalah masa parlemen merangkap dengan pemerintah. Pada saat itu,
berbagai persoalan bermunculan. Bermuara pada pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP). Komite ini cikal bakal lahirnya badan legislatif. Konferensi meja bundar (KMB), adalah
momen saat Indonesia mulai menemukan bentuk negara dengan mendeklarasikan sebagai negara
RIS yang kemudian menganut sistem dua kamar, senat dan DPR.
Kedua, 1955-1959 dan 2004-2011 adalah tahun parlemen benar-benar murni hasil
pemilu. Di masa ini parlemen diharapkan benar-benar menjadi pengawal eksekutif dalam
tupoksinya.
Ketiga, 1959-1971, di tahun ini, parlemen tercipta tanpa pemilu. 12 tahun, otoritas
presiden menjadi tuhan dengan terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Rakyat
(DPRGR). Tahun ini parlemen hanya sebatas hiasan, yang menyempurnakan keindahan
eksekutif.
Keempat, 1971-2004, parlemen dihasilkan pemilu, tetapi melewati fase pengendalian
politik oleh kepala negara.
Secara sederhana, parlemen adalah ruang pergumulan ide dari setiap wakil rakyat untuk
dijadikan pedoman hidup berbangsa dan bernegara (kodifikasi). Jadi, parlemen itu alat terjitu
untuk mengolah semua intisari kepentingan yang bisa menjadi aturan dan tidak hanya berlaku
untuk pribadinya saja, melainkan secara umum rakyat Indonesia.

4. Sebuah Integrasi
Masjid, kampus, dan parlemen adalah tiga ruang berbeda yang dari ketiganya memiliki
khas dan otoritas sendiri untuk mengatur manusia. Manusia adalah subjek, dari ketiga ruang
tersebut adalah kosong. Tidak akan berarti dan berfungsi tanpa ada isi. Tentu dalam hal ini yang
penulis maksud adalah manusia. Manusialah yang akan membuat tiga ruangan itu hidup dan
menghidupkan kehidupan.
Masjid adalah tempat pemberangkatan, tempat pengenalan.
Kampus adalah tempat pemupukan, tempat pembentukan.
Parlemen adalah tempat pengamalan, tempat pembaktian.
Islam adalah agama yang universal, adagium tersebut harus dapat diterjemahkan dalam
bentuk gerakan. Tentunya, gerakan yang diperuntukkan dakwah islam. Masjid sebagai simbol
transcendental, harus dijadikan alat peramu atau dapur dalam menciptakan kader-kader
intelektual islam yang kemudian mengakselerasi gerakan islam pada ruang taktis dan strategis.
Kampus, sampai kemudian parlemen. Kampus yang hari ini mulai diambil alih perannya,
dipaksa masuk pada ruang kenyamanan, mulai harus disigug, sampai sadar bahwa kuliah adalah
titipan tuhan, yang tentunya apabila memperkecil otoritas tuhan akan menjadi dosa yang berlipat
ganda. Tuhan menganjurkan kita untuk saling bisa merasakan apa yang saudara kita rasa,
menangisi, sampai harus berlari saat ketidakadilan hadir depan kelopak mata. Tuhan tidak pernah
mengajarkan membohongi diri. Dan yang terakhir, parlemen adalah ruang yang harus dan wajib
diisi oleh mereka yang lahir dari peradaban masjid. Inilah yang penulis maksud, "POLITIK
PROFETIK".

Anda mungkin juga menyukai