Anda di halaman 1dari 7

Kasua Adaik di Nagari Batipuah Kecamatan Batipuah Kabupaten Tanah Datar 1

Nourend Deona 2 , Emizal Amri 3, Erda Fitriani 4


Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Padang
Jln. Prof. Dr. Hamka, Air Tawar Padang, Sumatera Barat.
Telp: +62 751 7053902/ Fax: +62 751 7055628
Email: nourendd28@gmail.com

Abstrak
Artikel ini membahas tentang makna kasua adaik yang ada di Nagari Batipuah.
Kasua adaik merupakan sebuah atribut adat yang ada di rumah-rumah penduduk di
Batipuah. Kasua adaik pada dasarnya bukan berbentuk kasur biasa, akan tetapi
berbentuk seperti peti persegi panjang yang bertingkat-tingkat. Kasua adaik dianggap
sebagai simbol kebesaran Niniak Mamak di Nagari Batipuah. Penelitian ini dianalisis
dengan menggunakan teori Interpretatif Simbolik oleh Clifford Geertz. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif dengan tipe etnografi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada beberapa makna kasua adaik yang ada di Nagari Batipuah yaitu: (1)
Stratifikasi Sosial (2) Identitas masyarakat Batipuah (3) Tando lai bamamak

Kata Kunci: Kasua adaik, interpretivisme simbolik, simbol, stratifikasi, adat

Abstract

This article discusses the meaning of Kasua adaik in Nagari Batipuah. Kasua
adaik is an indigenous attribute in the houses of the people in Batipuah. Kasua adaik is
basically not in the form of an ordinary mattress, but is shaped like a rectangular
rectangle. Kasua adaik is considered a symbol of the greatness of Niniak Mamak in
Nagari Batipuah. This study was analyzed using Symbolic Interpretative theory by
Clifford Geertz. This research is a qualitative research with ethnographic type. The
results showed that there were several meanings of the existing problems in Nagari
Batipuah namely: (1) Social Stratification (2) Identity of the Batipuah community (3)
Tando lai bamamak

Keywords: Kasua adaik, symbolic interpretivism, symbols, stratification, customs


Pendahuluan

Kasua adaik merupakan sebuah atribut adat yang berada di rumah-rumah


penduduk di Nagari Batipuah, Kabupaten Tanah Datar. Kasua adaik bukan seperti kasur
biasanya, melainkan berbentuk peti bertingkat yang dirancang khusus. Kasua adaik
1
Nourend Deona. Kasua Adaik di Nagari Batipuah Kecamatan Batipuah Kabupaten Tanah Datar.
Skripsi: FIS UNP
2
Mahasiswa penulis skripsi Jurusan Sosiologi FIS UNP untuk wisuda September 2018 dengan
pembimbing I Bapak Drs. Emizal Amri, M.Pd., M.Si dan pembimbing II Ibuk Erda Fitriani, S.Sos.,
M.Si dosen Jurusan Sosiologi FIS UNP
3
Dosen jurusan sosiologi FIS UNP sebagai pembimbing 1
4
Dosen jurusan sosiologi FIS UNP sebagai pembimbing 2

1
memiliki tiga tingkatan yang masing-masing tingkatannya memiliki ragam dan warna
yang berbeda, warna tersebut meliputi warna hitam, merah maroon, hijau, dan hitam.
Untuk setiap warnanya ada yang berwarna polos dan ada yang diberi motif bunga dan
beberapa motif lainnya. Sedangkan untuk tingkatan kasua adaik dapat terlihat pada
kasua panjang, mato banta, dan kasua bunta. Kasua panjang5 terdapat pada tingkatan
pertama, untuk panghulu andiko kasua panjang ini berjumlah 3 lapis, sedangkan untuk
panghulu pucuak berjumlah 4 lapis. Tingkatan kedua terdiri dari mato banta6, untuk
panghulu andiko mato banta berjumlah 9 buah, sedangkan untuk panghulu pucuak
berjumlah 12 buah. Di tingkatan terakhir ada kasua bunta7, untuk panghulu andiko
kasua bunta berjumlah 6 lapis, sedangkan untuk panghulu pucuak berjumlah 7 lapis.
Jumlah tingkatan dan jumlah lapisan Kasua adaik sudah diatur oleh KAN di Nagari
Batipuah.
Penggunaan kasua adaik ini dipengaruhi oleh struktur sosial dalam masyarakat
Batipuah. Struktur sosial ini terlihat pada sistem matrilineal dan sistem kelarasan yang
dianut oleh masyarakat Batipuah. Pada dasarnya masyarakat Batipuah menganut sistem
Kelarasan Koto Piliang. Oleh karena itu kepemimpinan penghulu di Nagari Batipuah
berjenjang jenjang, seperti falsafah adat yang berbunyi “bajanjang naiak, batanggo
turun”.
Kasua adaik wajib dimiliki oleh setiap kemenakan penghulu. Walaupun
penghulu memiliki beberapa kemenakan, setiap kemenakan perempuan diharuskan
memiliki kasua adaik dirumahnya. Jika kemenakan penghulu seorang laki-laki maka
tidak diharuskan memiliki kasua adaik. Karena pada dasarnya seorang kemenakan laki-
laki akan menjadi sumando di dalam keluarga istrinya.
Untuk aturan tingkat kasua adaik tetap diatur oleh KAN. Aturan untuk tingkatan
kasua adaik tidak boleh dilebihkan maupun dikurangkan. Meskipun kemenakan
penghulu memiliki kekayaan yang berlebih, mereka harus tetap mematuhi aturan yang
telah dibuat oleh KAN setempat. Tingkatan tersebut harus sesuai dengan kedudukan
penghulu mereka didalam kaum. Aturan tersebut juga diberlakukan untuk semua suku
yang ada di Nagari Batipuah
Kasua adaik di pakai pada upacara perkawinan dan kematian di Batipuah. Pertama,
saat upacara perkawinan Kasua adaik tidak boleh di tutup dengan pelaminan8. Kedua,
saat upacara kematian penghulu. Untuk penyelenggaraan jenazah hampir sama dengan
orang lain pada umumnya yaitu memandikan, mengafani, menyolatkan, dan
menguburkan. Selain pelaksanaan secara syari’at islam, upacara kematian di Nagari
Batipuah juga diiringi secara adat. Secara adat rangkaian upacara kematian terdiri dari
beberapa proses yaitu mayik tabujua ditangah rumah, panguburan dan upacara setelah
panguburan. Pada saat mayik tabujua ditangah rumah, untuk orang biasa yang
5
Kasua panjang ini merupakan bagian pertama dari kasua adat yang terdiri dari 3 tingkatan (panghulu
andiko) dan 4 tingkatan (panghulu pucuak) dengan motif dan warna yang berbeda
6
Mato banta merupakan bagian kedua dari kasua adat, terdiri dari 9 buah (panghulu andiko) dan 12 buah
(panghulu pucuak) dengan ragam yang berbeda disetiap barisnya, setiap baris terdiri dari 3 buah yang
memiliki ragam yang sama,
7
Kasua bunta merupakan bagian terakhir dari kasua adat, yang terdiri dari 5 tingkatan (panghulu andiko)
dan 7 tingkatan (panghulu pucuak) dengan motif dan warna yang berbeda
8
Pelaminan adalah tempat pengantin dipersandingkan pada waktu upacara perkawinan. Anwar Ibrahim,
1984, Arti Lambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam Menanamkan Nilai-nilai Budaya Provinsi
Sumatera Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal.151

2
meninggal akan dibujurkan diatas kasur kapas biasa, namun jika yang meninggal
merupakan penghulu maka jenazah penghulu akan dibujurkan diatas kasua adaik.
Dari rangkaian upacara kematian penghulu di Nagari Batipuah, peneliti tertarik
untuk meneliti bagian-bagian yang terdapat pada Kasua adaik dan makna yang terdapat
dalam penggunaan Kasua adaik pada saat upacara perkawinan dan upacara kematian
penghulu. Kasua adaik hanya dipakai jika penghulu yang meninggal dan tidak dipakai
jika yang meninggal bukan penghulu. Dalam kajian makna simbolik, penelitian yang
sama mengkaji makna yaitu penelitian yang dilakukan oleh Reni Oktavia dan Tuti
Anggraini.
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini dilakukan oleh Reni Oktavia 9. Pada
penelitian ini, Reni Oktavia mengkaji makna simbolik pemakaian kain songket bagi
masyarakat Pandai Sikek. Adapun pertanyaan penelitiannya adalah: Apa makna
simbolik pemakaian kain songket bagi masyarakat Pandai Sikek? Adapun hasil dari
penelitiannya sebagai berikut; pertama, dalam proses perkawinan: (1) acara batando
merupakan simbol identitas budaya pandai sikek (cultural identity), (2) acara bali
pisang memiliki simbolik untuk menunjukan status sosial keluarga suami, dan (3) pesta
perkawinan (baralek) mempunyai dua simbol yaitu membedakan perempuan sudah
menikah dengan belum menikah dan menunjukkan status sosial ekonomi seseorang
dalam masyarakat.
Kedua, dalam acara batagak rumah menunjukan bahwa rumah yang didirikan
diperuntukan bagi kaum perempuan dan setiap yang ada di rumah tersebut nantinya
harus pandai menenun songket. Ketiga, dalam acara batagak pangulu menunjukan
bahwa pangulu memiliki kedudukan paling tinggi dalam adat dan mempunyai tanggung
jawab besar terhadap anak kemenakan.
Keempat, makna simbolik songket dalam acara penguburan jenazah kepala adat/
penghulu menunjukan bahwa penghulu memiliki status sosial yang tinggi dalam suku
serta sebagai simbol ungkapan penghormatan terakhir bagi kepala adat. Kelima, makna
songket dalam acara wisuda yaitu suatu kebanggaan bagi mahasiswa Pandai Sikek bisa
menggunakan songket buatannya sendiri dan sebagai sarana promosi songket Pandai
Sikek kepada masyarakat umum.
Penelitian di atas sama-sama mengkaji makna simbolik, perbedaannya terletak
pada objek kajiannya. Reni Oktavia mengkaji makna simbolik dari pemakaian kain
songket, sementara peneliti mengkaji tentang makna simbolik Kasua Adat.
Kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Tuti Anggraini10 yang membahas
tentang makna simbolik dari atribut dan aktivitas ketika mayat terbujur diatas rumah
pada upacara kematian di Nagari Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok.
Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan suntiang bungo sanggua dan saluak pada
upacara kematian di Nagari Salayo.
Hasil penelitiannya mengungkapkan makna simbol dari penggunaan suntiang
bungo sanggua dan saluak pada upacara kematian memiliki makna sebagai
penghormatan bagi anggota keluarga yang meninggal. Selain itu ada juga terdapat

9
Reni Oktavia. (2005). “Makna Simbolik Pemakaian Kain Songket Bagi Masyarakat Nagari Pandai
Sikek”. Skripsi: Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Padang.
10
Tuti Anggraini. (2013). “Suntiang Bungo Sanggua dan Saluak dalam Upacara Kematian di Nagari
Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok”. Skripsi: Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial.
Universitas Negeri Padang.

3
simbol lain berupa pakaian rumah yang terdiri dari kain tabie, kain langik-langik,
banta, marawa, payuang panji yang memiliki makna bahwa penyelenggara kematian
tando urang baradaik atau tanda orang beradat. Selain itu aktivitas induak bako yang
membawa kain batuduang juga memiliki makna bahwa hubungan kekeluargaan itu
tidak akan pernah putus, meskipun anggota keluarganya telah meninggal. Dalam
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa makna yang dipahami oleh masyarakat Salayo
yaitu adanya stratifikasi sosial, memperkuat solidaritas kekeluargaan, dan menunjukkan
identitas baik mayat, pelayat maupun identitas kebudayaan masyarakat Salayo.

Penelitian di atas sama-sama mengkaji makna simbolik, perbedaannya terletak


pada objek kajiannya. Tuti mengkaji makna simbolik dari pemakaian suntiang bungo
sanggua dan saluak pada upacara kematian, sementara peneliti mengkaji tentang makna
simbolik Kasua adaik secara keseluruhan, baik dalam upacara kematian maupun
upacara pernikahan. Untuk mengkaji mengenai makna simbolik Kasua adaik pada
masyarakat Batipuah peneliti menganalisis dengan teori interpretative yang
dikemukakan oleh Clifford Geertz. Geertz memulai teori interpretative dengan
pemahamannya mengenai konsep kebudayaan. Kebudayaan dilihat sebagai sistem yang
saling terkait sebagai tanda-tanda yang dapat ditafsirkan, dengan kata lain kebudayaan
merupakan sebuah konteks, dan sesuatu di dalamnya dapat dijelaskan secara
mendalam11.

Geertz mengemukakan suatu defenisi kebudayaan sebagai: (1) suatu sistem


keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut
individu-individu mendefenisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan
mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang
ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang
melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan dan
mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap dalam kehidupan; (3)
suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari
informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses
kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi12. Kebudayaan sebagai
simbol, dan simbol adalah bersifat publik, memberikan alternatif yang penting bagi
memahami kebudayaan dan masyarakat melalui tindakan sosial, praktik sosial, dan
makna13.
Dari defenisi di atas dapat dipahami bahwa setiap aktivitas-aktivitas maupun
tradisi-tradisi dalam masyarakat memiliki berbagai maksud dan makna. Keberadaan
kasua adaik di Batipuah memiliki makna tersendiri. Penggunaannya berawal dari
penafsiran masyarakat itu sendiri, serta tercermin pada aktivitas yang berhubungan
dengan tradisi di Nagari tersebut.
Geertz mengemukakan pendekatan interpretasi menekankan arti penting partikularitas
berbagai kebudayaan, dan berpendirian bahwa sasaran sentral dari kajian sosial adalah
interpretasi dari praktik-praktik manusia yang bermakna. Teori interpretative
dihubungkan dengan konsep simbol, sehingga Geertz mengembangkan teori

11
Clifford, Geertz. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius. Hal: 17
12
Ahmad, F Saifuddin. 2005. Antropologi Kontemporer. Jakarta. Kencana. Hal: 288
13
Ibid.,hal. 319.

4
interpretivisme simbolik memandang manusia sebagai pembawa dan produk, sebagai
subjek sekaligus objek, dari suatu sistem tanda dan simbol yang berlaku sebagai sarana
komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan. Simbol memberikan
landasan bagi tindakan dan prilaku selain gagasan dan nilai-nilai14

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Nagari Batipuah, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah
Datar. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan tipe
penelitian etnografi. Pemilihan informan penelitian dilakukan secara snowball sampling
dengan jumlah informan sebanyak 20 orang.
Data penelitian dikumpulkan melalui teknik observasi, wawancara dan studi
dokumen. Agar data yang diperoleh bisa dipercaya (absah), maka dalam penelitian ini
dilakukan proses triangulasi data.

Triangulasi data dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan yang sama kepada
informan yang berbeda. Jawab-an yang relatif sama pada masing-masing informan
dianggap valid apabila sesuai dengan pengamatan dan studi dokumen yang peneliti
peroleh maupun dengan menggunakan teknik lainnya.

Kemudian data yang terkumpul selanjutknya akan diolah dan dianalisis untuk
menjawab masalah penelitian. Penelitian ini akan di analisis menggunakan model
analisis etnografi yang diperkenalkan oleh Geertz15 dengan langkah-langkah sebagai
berikut: (1) Hermeneutik data, (2) Menginterpretasikan data, (3) Interpretatif
direpresentasikan
Hasil dan Pembahasan
Makna simbol yang terdapat pada kasua adaik yaitu:
Pertama, Stratifikasi sosial, Kasua adaik melambangkan kedudukan penghulu di
Batipuah, kasua adaik ini memiliki makna bahwasanya ada yang dihargai pada diri
seorang penghulu. Hal ini terlihat pada tingkat-tingkat yang terdapat pada kasua adaik.
Keberadaan kasua adaik pada rumah-rumah kemenakan penghulu ini mencerminkan
adanya stratifikasi sosial di Batipuah. kasua adaik mencermikan adanya stratifikasi
sosial di Batipuah, hal ini terlihat pada tingkatan-tingkatan kasua adaik yang
mencerminkan posisi seorang penghulu didalam suatu kaum. Dasar pembentukan
stratifikasinya yaitu jabatan, kekuasaan, dan keturunan. Stratifikasi yang ada di
Batipuah ini bersifat tertutup, dimana jabatan seorang penghulu akan otomatis turun ke
kemenakannya.
Kedua, Identitas masyarakat Batipuah, Kasua adaik merupakan identitas
masyarakat Batipuah. karena kasua adaik hanya dapat ditemukan di Batipuah, hal yang
dipahami oleh masyarakat setempat yaitu bahwasanya dari 8 Nagari yang ada di
Kecamatan Batipuh, hanya 2 Nagari yang memiliki kasua adaik. kasua adaik

14
Ibid. ,hal. 291.
15
Suwardi Endraswara, 2012, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, hal.123

5
merupakan identitas masyarakat Batipuah. Jika berbicara mengenai kasua adaik
dikhalayak ramai, orang-orang pasti biacara kalau kasua adaik itu tanda orang Batipuah.
Ketiga, tando lai bamamak, orang yang tinggal di Batipuah akan tetapi belum
mengaku ba mamak maka ia belum bisa memasang kasua adaik dirumahnya. Karena
menurut peneliti pada dasarnya kasua adaik merupakan kebesaran Niniak Mamak yang
ada di Batipuah. Jadi yang berhak memiliki kasua adaik ialah kemenakan Niniak
Mamak itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal. 2014. “Metode Penelitian Kualitatif”. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Anggraini, Tuti. (2013). “Suntiang Bungo Sanggua dan Saluak dalam Upacara
Kematian di Nagari Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok”. Skripsi:
Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Padang.
Emzir. 2010. “Analisis Data: Metode Penelitian Kualitatif”. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Endraswara, Suwardi. 2102. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Ibrahim, Anwar. 1984, Arti Lambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam
Menanamkan Nilai-nilai Budaya Provinsi Sumatera Barat, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius.
Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Waris Adat. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti
Ibrahim. 2009. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Kristal Multimedia.
Koentjaraningrat. 2002, Pengantar Antropologi II: Pokok- pokok Etnografi, Jakarta: PT
Rineka Cipta
Martono, Nanang. 2016. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

6
Mochtar Naim. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: UGM
Press.
MS, Amir. 2007. Masyarakat Adat Minangkabau. Jakarta: Citra Harta Prima.

Oktavia, Reni. (2005). “Makna Simbolik Pemakaian Kain Songket Bagi Masyarakat
Nagari Pandai Sikek”. Skripsi: Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial.
Universitas Negeri Padang.

Saifuddin, Ahmad F. 2005. Antropologi Kontemporer. Jakarta. Kencana.


Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta
Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif
Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Syam, Nur. 2007. Mahzab-mahzab Antropologi. Yogyakarta: LkiS
Zainuddin, Musyair. 2008. Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkan Hak Asal
Usul Adat Minangkabau. Yogyakarta: Ombak

Anda mungkin juga menyukai