Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kasua adaik merupakan sebuah atribut adat yang berada di rumah-

rumah penduduk di Nagari Batipuah, Kabupaten Tanah Datar. Kasua

adaik bukan seperti kasur biasanya, melainkan berbentuk peti bertingkat

yang dirancang khusus. Kasua adaik memiliki tiga tingkatan yang masing-

masing tingkatannya memiliki ragam dan warna yang berbeda, warna

tersebut meliputi warna hitam, merah maroon, hijau, dan hitam. Untuk

setiap warnanya ada yang berwarna polos dan ada yang diberi motif bunga

dan beberapa motif lainnya. Sedangkan untuk tingkatan kasua adaik dapat

terlihat pada kasua panjang, mato banta, dan kasua bunta. Kasua

panjang1 terdapat pada tingkatan pertama, untuk panghulu andiko kasua

panjang ini berjumlah 3 lapis, sedangkan untuk panghulu pucuak

berjumlah 4 lapis. Tingkatan kedua terdiri dari mato banta2, untuk

panghulu andiko mato banta berjumlah 9 buah, sedangkan untuk panghulu

pucuak berjumlah 12 buah. Di tingkatan terakhir ada kasua bunta3, untuk

panghulu andiko kasua bunta berjumlah 6 lapis, sedangkan untuk

panghulu pucuak berjumlah 7 lapis. Jumlah tingkatan dan jumlah lapisan

Kasua adaik sudah diatur oleh KAN di Nagari Batipuah.

1
Kasua panjang ini merupakan bagian pertama dari kasua adat yang terdiri dari 3 tingkatan
(panghulu andiko) dan 4 tingkatan (panghulu pucuak) dengan motif dan warna yang berbeda
2
Mato banta merupakan bagian kedua dari kasua adat, terdiri dari 9 buah (panghulu andiko) dan
12 buah (panghulu pucuak) dengan ragam yang berbeda disetiap barisnya, setiap baris terdiri dari
3 buah yang memiliki ragam yang sama,
3
Kasua bunta merupakan bagian terakhir dari kasua adat, yang terdiri dari 6 tingkatan (panghulu
andiko) dan 7 tingkatan (panghulu pucuak) dengan motif dan warna yang berbeda
1
Penggunaan kasua adaik ini dipengaruhi oleh struktur sosial dalam

masyarakat Batipuah. Struktur sosial ini terlihat pada sistem matrilineal

dan sistem kelarasan yang dianut oleh masyarakat Batipuah. Pada

dasarnya masyarakat Batipuah menganut sistem Kelarasan Koto Piliang.

Oleh karena itu kepemimpinan penghulu di Nagari Batipuah berjenjang

jenjang, seperti falsafah adat yang berbunyi “bajanjang naiak, batanggo

turun”.

Kasua adaik wajib dimiliki oleh setiap kemenakan penghulu.

Walaupun penghulu memiliki beberapa kemenakan, setiap kemenakan

perempuan diharuskan memiliki kasua adaik dirumahnya. Jika kemenakan

penghulu seorang laki-laki maka tidak diharuskan memiliki kasua adaik.

Karena pada dasarnya seorang kemenakan laki-laki akan menjadi

sumando di dalam keluarga istrinya.

Untuk aturan tingkat kasua adaik tetap diatur oleh KAN. Aturan

untuk tingkatan kasua adaik tidak boleh dilebihkan maupun dikurangkan.

Meskipun kemenakan penghulu memiliki kekayaan yang berlebih, mereka

harus tetap mematuhi aturan yang telah dibuat oleh KAN setempat.

Tingkatan tersebut harus sesuai dengan kedudukan penghulu mereka

didalam kaum. Aturan tersebut juga diberlakukan untuk semua suku yang

ada di Nagari Batipuah

Kasua adaik di pakai pada upacara perkawinan dan kematian di

Batipuah. Pertama, saat upacara perkawinan Kasua adaik tidak boleh di

tutup dengan pelaminan4. Kedua, saat upacara kematian penghulu. Untuk


4
Pelaminan adalah tempat pengantin dipersandingkan pada waktu upacara perkawinan. Anwar
Ibrahim, 1984, Arti Lambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam Menanamkan Nilai-nilai
2
penyelenggaraan jenazah hampir sama dengan orang lain pada umumnya

yaitu memandikan, mengafani, menyolatkan, dan menguburkan. Selain

pelaksanaan secara syari’at islam, upacara kematian di Nagari Batipuah

juga diiringi secara adat. Secara adat rangkaian upacara kematian terdiri

dari beberapa proses yaitu mayik tabujua ditangah rumah, panguburan dan

upacara setelah panguburan. Pada saat mayik tabujua ditangah rumah,

untuk orang biasa yang meninggal akan dibujurkan diatas kasur kapas

biasa, namun jika yang meninggal merupakan penghulu maka jenazah

penghulu akan dibujurkan diatas kasua adaik.

Dari rangkaian upacara kematian penghulu di Nagari Batipuah,

peneliti tertarik untuk meneliti bagian-bagian yang terdapat pada Kasua

adaik dan makna yang terdapat dalam penggunaan Kasua adaik pada saat

upacara perkawinan dan upacara kematian penghulu. Kasua adaik hanya

dipakai jika penghulu yang meninggal dan tidak dipakai jika yang

meninggal bukan penghulu. Dalam kajian makna simbolik, penelitian yang

sama mengkaji makna yaitu penelitian yang dilakukan oleh Reni Oktavia

dan Tuti Anggraini.

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini dilakukan oleh Reni

Oktavia5. Pada penelitian ini, Reni Oktavia mengkaji makna simbolik

pemakaian kain songket bagi masyarakat Pandai Sikek. Adapun

pertanyaan penelitiannya adalah: Apa makna simbolik pemakaian kain

songket bagi masyarakat Pandai Sikek? Adapun hasil dari penelitiannya

Budaya Provinsi Sumatera Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal.151


5
Reni Oktavia. (2005). “Makna Simbolik Pemakaian Kain Songket Bagi Masyarakat Nagari
Pandai Sikek”. Skripsi: Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Padang.
3
sebagai berikut; pertama, dalam proses perkawinan: (1) acara batando

merupakan simbol identitas budaya pandai sikek (cultural identity), (2)

acara bali pisang memiliki simbolik untuk menunjukan status sosial

keluarga suami, dan (3) pesta perkawinan (baralek) mempunyai dua

simbol yaitu membedakan perempuan sudah menikah dengan belum

menikah dan menunjukkan status sosial ekonomi seseorang dalam

masyarakat.

Kedua, dalam acara batagak rumah menunjukan bahwa rumah yang

didirikan diperuntukan bagi kaum perempuan dan setiap yang ada di

rumah tersebut nantinya harus pandai menenun songket. Ketiga, dalam

acara batagak pangulu menunjukan bahwa pangulu memiliki kedudukan

paling tinggi dalam adat dan mempunyai tanggung jawab besar terhadap

anak kemenakan.

Keempat, makna simbolik songket dalam acara penguburan jenazah

kepala adat/ penghulu menunjukan bahwa penghulu memiliki status sosial

yang tinggi dalam suku serta sebagai simbol ungkapan penghormatan

terakhir bagi kepala adat. Kelima, makna songket dalam acara wisuda

yaitu suatu kebanggaan bagi mahasiswa Pandai Sikek bisa menggunakan

songket buatannya sendiri dan sebagai sarana promosi songket Pandai

Sikek kepada masyarakat umum.

Penelitian di atas sama-sama mengkaji makna simbolik,

perbedaannya terletak pada objek kajiannya. Reni Oktavia mengkaji

4
makna simbolik dari pemakaian kain songket, sementara peneliti mengkaji

tentang makna simbolik Kasua Adat.

Kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Tuti Anggraini 6 yang

membahas tentang makna simbolik dari atribut dan aktivitas ketika mayat

terbujur diatas rumah pada upacara kematian di Nagari Salayo Kecamatan

Kubung Kabupaten Solok. Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan

suntiang bungo sanggua dan saluak pada upacara kematian di Nagari

Salayo. Hasil penelitiannya mengungkapkan makna simbol dari

penggunaan suntiang bungo sanggua dan saluak pada upacara kematian

memiliki makna sebagai penghormatan bagi anggota keluarga yang

meninggal. Selain itu ada juga terdapat simbol lain berupa pakaian rumah

yang terdiri dari kain tabie, kain langik-langik, banta, marawa, payuang

panji yang memiliki makna bahwa penyelenggara kematian tando urang

baradaik atau tanda orang beradat. Selain itu aktivitas induak bako yang

membawa kain batuduang juga memiliki makna bahwa hubungan

kekeluargaan itu tidak akan pernah putus, meskipun anggota keluarganya

telah meninggal. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa makna

yang dipahami oleh masyarakat Salayo yaitu adanya stratifikasi sosial,

memperkuat solidaritas kekeluargaan, dan menunjukkan identitas baik

mayat, pelayat maupun identitas kebudayaan masyarakat Salayo.

6
Tuti Anggraini. (2013). “Suntiang Bungo Sanggua dan Saluak dalam Upacara Kematian di
Nagari Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok”. Skripsi: Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu
Sosial. Universitas Negeri Padang.
5
Penelitian di atas sama-sama mengkaji makna simbolik,

perbedaannya terletak pada objek kajiannya. Tuti mengkaji makna

simbolik dari pemakaian suntiang bungo sanggua dan saluak pada upacara

kematian, sementara peneliti mengkaji tentang makna simbolik Kasua

adaik secara keseluruhan, baik dalam upacara kematian maupun upacara

pernikahan.

Penelitian simbolik yang peneliti bahas yaitu makna Kasua adaik

serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kasua adaik, mulai dari bentuk,

fungsi, simbol atau lambang-lambang yang terdapat pada kasua adat, serta

aturan dan bertahannya kasua adaik di era modern saat ini.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Fokus kajian dalam penelitian ini adalah keberadaan kasua adaik

yang menjadi bagian dari masyarakat Batipuah. Untuk aturan membuat

kasua adaik tidak boleh sembarangan, karena sudah diatur oleh KAN

setempat. masyarakat yang melanggar aturan akan dikenakan sanksi baik

itu sanksi berupa materi maupun non materi. Kasua adaik digunakan saat

upacara kematian penghulu di Nagari Batipuah dan tidak boleh ditutup

pada saat upacara perkawinan. Penggunaan kasua adaik pada upacara

perkawinan tidak terlihat secara fisik, akan tetapi jika kasua adaik tertutup

oleh pelaminan maka niniak mamak yang diundang tidak akan naik

kerumah. Sementara untuk upacara kematian, penggunaan kasua adaik

hanya untuk penghulu yang meninggal. Apabila yang meninggal warga

biasa, jenazahnya tidak diperkenankan berbujur di atas kasua adaik.

6
Permasalahan penelitiannya yaitu keberadaan kasua adaik yang

mempengaruhi kehidupan masyarakat Batipuah, dimana kasua adaik

menjadi tolak ukur bagaimana orang berprilaku dan bagaimana kedudukan

sebuah keluarga dalam masyarakat. Berdasarkan pokok persoalan di atas

maka yang menjadi pertanyaan penelitian: Apa makna kasua adaik pada

masyarakat Nagari Batipuah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah peneliti jabarkan di atas maka

tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu: “untuk

mendeskripsikan dan menjelaskan makna dari kasua adaik pada Nagari

Batipuah”.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan di atas, maka manfaat penelitian ini secara

akademik yaitu dapat menghasilkan karya tulis ilmiah tentang Kasua

adaik di Nagari Batipuah, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar.

Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan landasan bagi guru antropologi

dalam mengajar di sekolah. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah

untuk bahan masukan bagi KAN (Kerapatan Adat Nagari) dalam

menambah dokumen mengenai adat nagari Batipuah.

E. Kerangka Teoritis

Untuk mengkaji mengenai makna simbolik Kasua adaik pada

masyarakat Batipuah peneliti menganalisis dengan teori interpretative

7
yang dikemukakan oleh Clifford Geertz. Geertz memulai teori

interpretative dengan pemahamannya mengenai konsep kebudayaan.

Kebudayaan dilihat sebagai sistem yang saling terkait sebagai tanda-tanda

yang dapat ditafsirkan, dengan kata lain kebudayaan merupakan sebuah

konteks, dan sesuatu di dalamnya dapat dijelaskan secara mendalam7.

Geertz mengemukakan suatu defenisi kebudayaan sebagai: (1)

suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan

makna dan simbol tersebut individu-individu mendefenisikan dunia

mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat

penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara

historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui

bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan

dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap dalam

kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-

sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan

adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami,

diterjemahkan, dan diinterpretasi8. Kebudayaan sebagai simbol, dan

simbol adalah bersifat publik, memberikan alternatif yang penting bagi

memahami kebudayaan dan masyarakat melalui tindakan sosial, praktik

sosial, dan makna9.

Dari defenisi di atas dapat dipahami bahwa setiap aktivitas-

aktivitas maupun tradisi-tradisi dalam masyarakat memiliki berbagai

7
Clifford, Geertz. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius. Hal: 17
8
Ahmad, F Saifuddin. 2005. Antropologi Kontemporer. Jakarta. Kencana. Hal: 288
9
Ibid.,hal. 319.
8
maksud dan makna. Penggunaan Kasua adaik dalam upacara-upacara

tradisional pada masyarakat Nagari Batipuah memiliki makna tersendiri.

Penggunaannya berawal dari penafsiran masyarakat itu sendiri, serta

tercermin pada aktivitas yang berhubungan dengan tradisi di Nagari

tersebut.

Geertz mengemukakan pendekatan interpretasi menekankan arti

penting partikularitas berbagai kebudayaan, dan berpendirian bahwa

sasaran sentral dari kajian sosial adalah interpretasi dari praktik-praktik

manusia yang bermakna. Teori interpretative dihubungkan dengan konsep

simbol, sehingga Geertz mengembangkan teori interpretivisme simbolik

memandang manusia sebagai pembawa dan produk, sebagai subjek

sekaligus objek, dari suatu sistem tanda dan simbol yang berlaku sebagai

sarana komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan.

Simbol memberikan landasan bagi tindakan dan prilaku selain gagasan

dan nilai-nilai10.

Bagi masyarakat Batipuah penggunaan Kasua adaik merupakan

wujud penghormatan kepada penghulu yang meninggal. Dalam rangkaian

upacara kematian penghulu ada beberapa atribut yang mengandung

simbol, sehingga dari simbol tersebut dapat diketahui maknanya.

F. Penjelasan Konsep

1. Simbol

Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk

tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari

10
Ibid. ,hal. 291.
9
simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi, manusia juga

berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan,

tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak gerik, postur tubuh,

perhiasan, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang,

pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya. Manusia dapat

memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau objek yang

berkaitan dengan pikiran, gagasan, dan emosi11.

Ada empat pendekatan terakhir terhadap masalah kebudayaan.

Pendekatan pertama yang memandang kebudayaan sebagai sistem

adaptif dari keyakinan dan perilaku yang dipelajari yang fungsi

primernya adalah menyesuaikan masyarakat manusia dengan

lingkungannya. Kedua, adalah memandang kebudayaan sebagai sistem

kognitif yang tersusun dari apapun yang diketahui dalam berpikir

menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga kebudayaan

yang diteliti. Ketiga, adalah yang memandang kebudayaan sebagai

sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki bersama yang

memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia. Keempat, yang

memandang kebudayaan sebagai sistem simbol yang terdiri dari

simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat

diidentifikasi, dan bersifat publik12. Adapun simbol yang dimaksud

dalam penelitian ini simbol yang terdapat pada kasua adaik di Nagari

Batipuah.

2. Kasua adaik
11
Ahmad, F Saifuddin. 2005. Antropologi Kontemporer. Jakarta: Kencana. Hal: 290
12
Robert M Keesing (1974: 74-79) dalam Ibid. ,hal. 83-84.
10
Kasua adaik merupakan salah satu atribut yang ada di setiap

rumah penduduk di Batipuah. Secara fisik, kasua adaik tidak

berbentuk kasur seperti pada umumnya, akan tetapi kasua adaik

berbentuk sebuah persegi panjang bertingkat yang di desain secara

khusus. kasua adaik ini di bungkus dengan kain beludru. Warna kain

beludrunya juga beragam, ada yang berwarna hitam, merah maroon,

selain itu juga ada yang bermotif. Motif yang ada pada kain beludru

terbuat dari benang yang berwarna keemasan. Kasua adaik di pakai

pada upacara-upacara adat di Batipuah. Upacara tersebut meliputi

Batagak Panghulu, Kematian Panghulu, dan Baralek. Kasua adaik ini

biasanya di buatkan oleh orang tertentu, harga untuk pembuatan satu

buah Kasua adaik sekitar 1 Juta-1,5 Juta Rupiah. Untuk aturan

tingkatannya ditentukan oleh KAN Nagari Batipuah.

3. Penghulu

Dalam masyarakat adat Minangkabau penghulu merupakan

sebutan kepada ninik mamak pemangku adat yang bergelar datuk.

Sebagai pimpinan penghulu bertanggung jawab dan berkewajiban

memelihara anggota kaum, suku, dan nagarinya. Kedudukan penghulu

tidak sama dengan kedudukan dan fungsi seorang feodal. Penghulu

tidak dipusakai oleh anaknya seperti dalam masyarakat feodal,

11
melainkan oleh kemenakannya yang bertali darah13. Namun ada

beberapa alasan duduknya seseorang menjadi seorang penghulu:

a. Gadangnya memang karena turun-temurun sebagai mana

mamang adat, “ anak Rajo turun timurun, Anak Putih sunduik

basunduik”. Artinya seseorang itu punya gelar pusako sejah

dahulu dan telah di warisi oleh kaumnya secara turun-temurun

b. Gadang Balega, artinya sako atau gelar itu dipalegakan artinya

dipakai secara berganti-gantian diantara orang yang berhak atas

Sako itu. Namun hanya berlaku dalam kaum antara paruik yang

sama dulunya.

c. Gadang Basilieh, hal ini berlaku bila belum ada kamanakan

laki-laki yang bertali darah untuk menjujung gala Panghulu,

sedangkan situasi dan kondisi menuntut adanya penghulu

sebagai pemimpin. Maka disiliehkan atau boleh dipakaikan

Sako/ gelar Panghulu itu kepada yang bertali adat, karena yang

bertali adat ini didalam adat dinyatakan sebagai terdekat ke-2

setelah yang bertali darah.14

Gelar Datuak termasuk kelompok gelar pusaka dari setiap suku

yang diberikan secara turun-temurun oleh suku bersangkutan dari

mamak kepada kemenakan sesuai rumusan adat “Karambie tumbuah

dimatonyo, batuang tumbuah dibukunyo” atau sesuai rumusan adat

“gadang balega”, bila tidak ada kemenakan dibawah dagu dalam suku

13
Ibrahim, Dt. Sanggoeno Diradjo. 2009. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Kristal
Multimedia. Hal: 171
14
S.T.S. Dt. Rajo Indo. 2010. Seluk Beluk Hukum Adat Minangkabau.
12
itu. Bila tidak ada kemenakan yang pantas atau bila tidak ada

kesepakatan dalam suku untuk mengangkat seorang Penghulu suku

yang membawa gelar itu, maka gelar pusako itu dilipek15 sementara,

sampai ada kesepakatan atau sampai ada kemenakan yang pantas

memikul gelar pusako tersebut16.

Jabatan penghulu itu diperoleh oleh seseorang karena diangkat

oleh anggota kaumnya sendiri. Tingginya dianjung, besarnya

dipelihara, dengan pengertian sebelum dia diangkat dan memegang

jabatan penghulu dia sudah besar dan tinggi juga dalam kaumnya17.

Penghulu yang ada di Batipuah yaitu panghulu pucuak, panghulu

andiko, pasamayan, panungkek, dan tuo kampuang. Penghulu yang

dimaksud dalam penelitian ini yaitu panghulu pucuak dan andiko yang

ada di Batipuah.

G. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Nagari Batipuah, Kecamatan

Batipuah, Kabupaten Tanah Datar. Lokasi ini dipilih karena

Batipuah merupakan satu-satunya Nagari yang memiliki Kasua

adaik. Oleh karena itu, peneliti memilih Nagari Batipuah sebagai

lokasi penelitian.

2. Pendekatan dan Tipe Penelitian

15
Dilipek atau ditangguhkan
16
Amir MS. 2007. Masyarakat Adat Minangkabau. Jakarta: Citra Harta Prima. Hal: 80
17
Ibid,. 172
13
Dalam penelitian ini peneliti melakukan pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

fenomena yang diamati18. Peneliti memilih pendekatan ini karena

pendekatan ini mampu mendeskripsikan makna kasua adaik yang

ada di Nagari Batipuah. Melalui penelitian kualitatif didapatkan

informasi yang lebih mendalam berupa ungkapan dan penuturan

langsung dari informan yang diteliti.

Dilihat dari tipenya penelitian ini termasuk penelitian

etnografi. Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu

kebudayaan dari sudut pandang penduduk asli. Menurut pandangan

Malinowski dan Redcliffe-Brown, tujuan dari sebuah penelitian

etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan membangun struktur

sosial dan budaya suatu masyarakat19

3. Teknik Pemilihan Informan

Informan dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan

teknik sampling, yaitu snowball sampling. Snowball sampling yaitu

teknik pengambilan informan yang awalnya jumlahnya sedikit,

lama-lama menjadi besar. Artinya jumlah informan akan semakin

besar, layaknya bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi

besar.

Pada teknik sampel bola salju (snowball sampling)


18
Bagong Suyanto dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan.
Jakarta: Kencana Hml 66
19
James P Spradley. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, hlm4
14
keberadaan informan kunci adalah sebuah keharusan. Berdasarkan

informasi dari informan kunci tersebut, peneliti akan mendapatkan

informan lain20. Dalam penelitian ini peneliti memilih Bapak Sy.

Dt. Gadang Majolelo yang berperan sebagai Dewan Pertimbangan

Adat KAN sebagai informan kunci, karena menurut peneliti beliau

lebih mengetahui siapa saja yang bisa peneliti jadikan informan

terkait makna kasua adaik pada masyarakat Nagari Batipuah.

Tidak hanya menjadi informan kunci, dari beliau peneliti dapat

menggali informasi mengenai kasua adaik..

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi Partisipasif

Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode

observasi partisipasi pasif atau passive participation, Karena

peneliti tidak ikut terlibat dalam pelaksanaan upacara di Nagari

Batipuah. Dalam kegiatan observasi ini peneliti mengunjungi

rumah yang didalamnya terdapat kasua adaik dan peneliti mulai

bertanya sedikit-sedikit mengenai kasua adaik. Pada saat observasi

peneliti melihat pada rumah- rumah penduduk terdapat sebuah peti

persegi panjang bertingkat yang dibungkus dengan kain beludru

dan kain tersebut dihiasi dengan beberapa warna, motif dan pernak

20
Nanang, Martono. 2016. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers, hlm118
15
pernik. Setelah itu peneliti mendokumentasikan foto kasua adaik

dan bercengkrama dengan orang-orang yang memahami topik yang

akan diteliti. Peneliti juga merekam percakapan tersebut dengan

alat perekam. Setelah itu peneliti akan mentranskrip rekaman

tersebut dalam bentuk sebuah catatan lapangan.

b. Wawancara Mendalam

Selain observasi, proses pengumpulan data juga dilakukan

dengan teknik wawancara. Wawancara yang dilakukan yaitu

wawancara mendalam (in-depth interview)21. Pelaksanaan

wawancara tidak hanya sekali atau dua kali, melainkan berulang-

ulang dengan intensitas yang tinggi. Teknik ini dimaksud untuk

menggali informasi mendalam tentang makna simbolik Kasua

adaik pada upacara-upacara tradisional di Nagari Batipuah.

Ketika melakukan wawancara peneliti mengajukan pertanyaan

berdasarkan pedoman wawancara. Data yang diperoleh dari hasil

wawancara akan ditulis pada field note yaitu catatan harian

peneliti yang selalu dibawa pada saat wawancara.

Wawancara dilakukan dengan mengunjungi rumah

informan yang telah ditentukan. Disini peneliti akan melakukan

wawancara terbuka, dimana narasumber mengetahui bahwa

mereka sedang diwawancara dan mengetahui maksud dan tujuan

wawancara. Dalam hal ini peneliti agak kesulitan menemukan

informan yang akan di wawancarai karena tidak banyak yang

21
Afrizal. 2014. “Metode Penelitian Kualitatif”. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal: 135
16
mengetahui secara detail informasi mengenai kasua adaik ini.

Namun setelah mendapatkan informan yang akan di wawancarai,

peneliti mudah mendapatkan data yang peneliti butuhkan, para

informan juga terbuka memberikan informasi kepada peneliti,

sehingga peneliti tidak mengalami kendala berarti pada saat

mencari informasi mengenai kasua adaik. Untuk mendapatkan

informasi tersebut, peneliti tidak mengalami kesulitan karena

semua informan yang diwawancarai bersedia memberikan

informasi.

Saat peneliti mendatangi tokoh adat dan masyarakat yang

ada di Nagari Batipuah, selain memberikan informasi yang sesuai

dengan pertanyaan penelitian mereka juga memberi tahu siapa

yang lebih tepat untuk diwawancarai selanjutnya. Mereka

memberikan informasi dan pengetahuan yang mereka miliki

mengenai kasua adaik yang ada di Nagari Batipuah, hal ini

disebabkan karena mereka sangat senang ada yang melakukan

penelitian sehubungan dengan adat di Nagari Batipuah. Karena

pada saat sekarang ini sangat sulit menemukan kemenakan yang

benar-benar ingin mengetahui seluk beluk adat istiadat yang ada

di Nagari Batipuah.

c. Dokumentasi

Pada dokumentasi ini, penulis hanya menemukan satu

literatur mengenai topik yang akan penulis teliti, dan peneliti

tidak menemukan skripsi ataupun artikel mengenai kasua adaik


17
ini. Akan tetapi agar para pembaca dapat mengetahui gambaran

tentang kasua adaik, peneliti akan melampirkan beberapa foto

mengenai kasua adaik pada lampiran skripsi ini. Untuk

melengkapi skripsi ini, peneliti menggunakan dokumen yang

diberikan oleh KAN dan petugas kantor Wali Nagari yang

berisikan tentang monografi dan demografi Nagari.

H. Triangulasi Data

Agar data yang diperoleh lebih valid, maka penulis melakukan

teknik triangulasi data. Triangulasi dilakukan dengan menguji apakah

proses dan metode yang dilakukan sudah berjalan dengan baik, yaitu (1)

penulis mengumpulkan informasi dari masing-masing informan melalui

wawancara dan observasi, dan penulis akan memastikan apakah data yang

penulis dapatkan sudah dihimpun dalam catatan harian wawancara; (2)

setelah itu dilakukan uji silang terhadap meteri catatan harian untuk

memastikan tidak ada informasi yang bertentangan dengan catatan harian

wawancara, jika ditemukan perbedaan maka penulis harus

mengkonfirmasi kembali data tersebut kepada informan; (3) hasil

konfirmasi perlu diuji lagi dengan informasi-informasi sebelumnya hingga

data yang diperoleh dapat dianggap valid.

I. Teknik Analisis Data

18
Data yang terkumpul selanjutknya akan diolah dan dianalisis untuk

menjawab masalah penelitian. Penelitian ini akan di analisis menggunakan

model analisis etnografi yang diperkenalkan oleh Geertz22 dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

a. Hermeneutik data

Pada tahap ini peneliti berusaha memperoleh sebanyak-

banyaknya variasi data yang terkait dengan permasalahan

penelitian. Peneliti memperoleh pengetahuan tradisi ini

dimulai dari dasar pengetahuan orang-orang yang dikaji

(the native). Selanjutnya dilakukan proses merinci data,

memeriksa data, membandingkan data, dan

mengkategorikan data yang muncul dari hasil catatan

lapangan mengenai penggunaan Kasua adaik serta atribut

lain yang terdapat pada upacara kematian penghulu.

Hermeneutik data berlangsung terus menerus baik pada saat

pengumpulan data dan berlanjut terus sesudah penelitian

lapangan sampai penulisan laporan terakhir.

b. Menginterpretasikan data

Menginterpretasikan data dilakukan supaya menemukan

makna setiap simbol. Geertz mengungkapkan makna dalam

masyarakat harus berasal dari native point of view. Dengan

demikian pada tahap ini dilakukan analisis hubungan antar

22
Suwardi Endraswara, 2012, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, hal.123
19
kategori yang diperoleh dari hermeneutik data untuk

kemudian disusun, diatur sesuai pokok permasalahan

sehingga memudahkan menemukan makna pada setiap

kategori.

c. Interpretatif direpresentasikan

Interpretatif direpresentasikan sesuai kenyataan yang

dipaparkan yaitu apa yang dipahami oleh pelaku budaya

sehingga berakibat terhadap pemaparan berbagai ungkapan

mengenai penggunaan Kasua adaik serta atribut yang

terdapat pada upacara kematian penghulu secara panjang

lebar yang disebut dengan thick description atau deskripsi

tebal. Deskripsi tebal dapat menggambarkan secara

mendalam berbagai peristiwa dan berikut makna-makna

yang terkandung didalamnya23.

Tahap-tahap di atas merupakan sesuatu yang menjalin,

berulang dan terus menerus selama dan sesudah pengumpulan data.

Dalam penelitian ini peneliti memahami kasua adaik yang

digunakan pada saat upacara perkawinan dan upacara kematian

penghulu serta atribut yang digunakan ketika upacara kematian

penghulu dari sudut pandang emik maka selaku peneliti, peneliti

berupaya menemukan makna dan kemudian hasil dari penelitian

akan dipaparkan mengacu pada teori yang peneliti gunakan. Hasil

dari pemahaman peneliti akan disusun dalam bentuk laporan

23
Nur Syam. 2007. Mahzab-mahzab Antropologi. Yogyakarta: LkiS, hal. 94
20
skripsi, yang mengungkap makna kasua adaik pada masyarakat

Nagari Batipuah.

BAB II
NAGARI BATIPUAH DAN KASUA ADAIK
A. Gambaran Nagari Batipuah
1. Sejarah Singkat Nagari Batipuah

Nagari Batipuah merupakan sebuah nagari yang terletak di

Kecamatan Batipuah. Batipuah terbagi atas 2 bagian yaitu Batipuah Ateh

dan Batipuah Baruah, meskipun berbeda nama tetapi daerah ini tidak dapat

dipisahkan karena kapalo koto berada di Batipuah Ateh sedangkan ikua

koto berada di Batipuah Baruah seperti falsafah yang terdapat di Batipuah

“ gantiang nan tak putuih, biang nan tak cabiak di Batipuah”. Oleh karena

itu daerah Batipuah tetap disebut Batipuah Nagari Gadang.

Nama nagari Batipuah berasal dari nama sebatang kayu yang

beripuh yang kemudian menjadi Batipuh. Nagari Batipuh dahulunya

memiliki wilayah dari Kapalo Koto sampai ke Ekor Koto, yang ditempati

21
oleh 14 niniak yang berasal dari Pariyangan, 7 Niniak di Kapalo Koto dan

7 Niniak di Ekor Koto. Sekitar tahun 1840 dibagi menjadi dua kewalian

yaitu Batipuah Ateh (Kapalo Koto) dan Batipuah Baruah (Ekor koto).

Niniak nan 7 di Batipuah Ateh menjadi Niniak mamak nan 12 (urang duo

kali anam) yang terdiri dari tujuh suku. Niniak mamak nan 12 menjadi

panghulu nan 60.

Di versi lain asal usul Batipuah pada awal nya orang terdahulu

berjalan di tengah padang dan mereka melihat kayu yang sangat bagus,

kayu itu bernama kayu ipuah, akan tetapi tidak ada jalan yang bagus untuk

menuju ke arah kayu tersebut dan konon katanya kayu itu merupakan kayu

sakti sehingga sulit untuk mendekatinya. Sehingga munculah beberapa

anggapan mengenai nama batipuah ini, mulai dari satipuah, patipuah

hingga terakhir masyarakat memberi nama daerah itu Batipuah.

Gambar 1.Peta Kecamatan Batipuah


22
Sumber : BPS Tanah Datar

2. Kondisi Geografi

Nagari Batipuah telah di bagi menjadi dua wilayah Nagari pada tahun

1840, oleh karena itu peneliti akan menggambarkan kondisi geografis

dari kedua Nagari.

a. Batipuah Ateh

Secara geografis Nagari Batipuah Ateh terletak dilereng Gunung

Merapi yang membujur dari arah Timur ke Barat yang dilewati oleh

satu buah sungai besar yaitu Batang Sabu sehingga Nagari Batipuah

Ateh terpotong menjadi 2 bahagian yang sampai ini belum ada sarana

perhubungan / jembatan yang memadai sehingga sangat menjadi

kendala / tantangan bagi masyarakat Batipuah Ateh. Nagari Batipuah

Ateh salah satu nagari dari delapan nagari yang ada di Kecamatan

Batipuh dengan luas + 8230 terdiri dari 5 jorong yaitu: (1) Jorong

Balai Mato Aia (2) Jorong Jambu (3) Jorong Balai Sabuah (4) Jorong

Subarang (5) Jorong Sawah Diujung.

PETA NAGARI BATIPUAH ATEH

23
Gambar 2. Peta Nagari Batipuah Ateh
Sumber:Arsip Monografi Nagari Batipuah ateh

Seperti yang terlihat pada peta diatas, batas-batas Nagari Batipuah

Ateh adalah sebagai berikut : (1) Sebelah Utara berbatas dengan

Nagari Sabu dan Andaleh, (2) Sebelah Selatan berbatas dengan Nagari

Batipuah Baruah, (3) Sebelah Barat berbatas dengan Nagari Batipuah

Baruah dan Andaleh, (4) Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan

Pariangan dan Nagari Pitalah.

b. Batipuah Baruah

Secara geografis Nagari Batipuah Baruah terletak kaki Gunung

Merapi yang membujur dari arah Timur ke Barat yang dilewati oleh

satu buah sungai besar yaitu Batang Lubuk Pinago dan beberapa

sungai kecil lainnya yang membagi Nagari Batipuah Baruah menjadi

beberapa bahagian.

Nagari Batipuah Baruah merupakan salah satu nagari dari delapan

nagari yang terdapat di Kecamatan Batipuh dengan luas ± 5121 Km²

terdiri dari 11 jorong, yaitu: (1) Jorong Kubu Karambie, (2) Jorong

Subang Anak, (3) Jorong Lubuak Bauak,(4) Jorong Batang Gadih, (5)

Jorong Kubu Nan Limo, (6) Jorong Kubu Nan Ampek, (7) Jorong

Ladang Laweh, (8) Jorong Batu Lipai, (9) Jorong Pincuran Tujuah,

(10) Jorong Payo, (11) Jorong Gunuang Bungsu.

24
PETA NAGARI BATIPUAH BARUAH

Gambar 3. Peta Nagari Batipuah Baruah


Sumber:Arsip Monografi Nagari Batipuah Baruah

25
Adapun Batas-batas Nagari Batipuah Baruah adalah, (1)

Sebelah Timur berbatasan dengan Nagari Gunung Rajo dan Nagari

Pitalah, (2) Sebelah Barat berbatasan dengan Nagari Jaho dan

Nagari Tambangan, (3) Sebelah Utara Berbatasan dengan Nagari

Batipuh Atas, Nagari Paninjauan dan Nagari Andaleh, (4) Sebelah

Selatan Berbatasan dengan Nagari Padang Laweh dan Nagari

Induring.

3. Demografi Nagari Batipuah

Nagari Batipuah terbagi menjadi dua Nagari saat ini yaitu Batipuah

Ateh dan Batipuah Baruah. Oleh karena itu peniliti akan

menggambarkan demografi penduduk dari kedua Nagari

Tabel 1: Jumlah Penduduk di Nagari Batipuah

No Nagari Jorong Luas Penduduk


Area(KM2)
1. Batipuah Balai Mato 1,35 838
Ateh Aie
Balai Sabuah 1,51 591
Subarang 2,12 902
Jambu 1,61 640
Sawah 1,65 749
Diujuang
2. Batipuah Kubu 2,59 844
Baruah Karambie
Lubuak Bauak 2,36 993
Subang Anak 3,74 827
Batu Lipai 1,63 407
Kubu Nan 3,29 1684
Limo

26
Batang Gadih 2,58 1022
Kubu Nan 5,33 852
Ampek
Ladang Laweh 5,03 1540
Pincuran 7,04 482
Tujuah
Gunuang 8,22 417
Bungsu
Payo 9,41 478
Jumlah 59,44 13.266
Sumber: Badan Pusat Statistik Tanah Datar, Batipuh Subdistrict in

Figures 2017

Dari tabel diatas dapat dilihat jumlah penduduk Nagari Batipuah

pada tahun 2017 sebanyak 13.266 orang. Jumlah tersebut terdiri dari

6.426 orang laki-laki dan 6.840 orang perempuan24.

4. Mata Pencaharian Penduduk

Perekonomian penduduk Nagari Batipuah pada umumnya ialah

berada disektor pertanian baik itu menanam padi disawah ataupun

menanam sayuran di ladang. Kegiatan bertani sudah diwariskan sejak

zaman dahulu oleh nenek moyang karena didukung juga oleh kondisi dan

bentuk alam Nagari Batipuah. Batipuah dikelilingi oleh wilayak

perbukitan sehingga dapat dimanfaat oleh masyarakat untuk berladang.

Tabel 2. Mata Pencaharian Penduduk di Nagari Batipuah

No Pekerjaan Jumlah
B.Ateh B.Baruah Jumlah
1. Pelajar 666 1347 2013
2. Petani 998 2870 3868
3. Pedagang 590 1241 1831
4. Montir 20 39 59
5. PNS 569 1434 2003
24
Badan Pusat Statistik Tanah Datar, Batipuh Subdistrict in Figures 2017
27
6. Peternak 56 589 645
7. Tenaga Kesehatan 11 1 12
8. Buruh 345 1254 1599
9. Belum Bekerja 465 771 1236
Sumber: Kantor Wali Nagari

5. Struktur Masyarakat

Unit struktur sosial dari yang terkecil dalam masyarakat Batipuah

yaitu samande (seibu), saparuik, sajurai,sakampuang, sasuku, sanagari.

Selain itu, masyarakat Batipuah juga menganut sistem matrilineal25.

Dengan demikian, seorang anak otomatis termasuk dalam kerabat ibunya

dan mempunyai hak atas harta pusaka kerabat ibunya. Seorang anak laki-

laki apabila telah menikah akan bertempat tinggal di rumah istri atau

lingkungan kerabat istri26. Dalam sistem kekerabatan matrilineal ini, ayah

bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu

dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga dan berstatus sebagai

urang sumando bagi kerabat istrinya. Tempat yang sah adalah dalam garis

keturunan ibunya dimana dia berfungsi sebagai pelindung atas harta benda

dari kaumnya27

Kelompok kekerabatan terkecil di Nagari Batipuah yaitu

samande(se-ibu) yaitu mereka yang lahir dari ibu yang sama dengan

pimpinan saudara laki-laki yang biasa disebut mamak. Selanjutnya

25
Matrilineal, memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan wanita sehingga
semua kaum kerabat ibu termasuk dalam batas kekerabatannya, sehingga semua kaum kerabat
ayah berada di luar batas itu. Koentjaraningrat, 2002, Pengantar Antropologi II: Pokok- pokok
Etnografi, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 104
26
Uxorilokal merupakan adat menetap sepasang suami istri menetap dikediaman kaum kerabat
istri juga disebut dengan matrilokal. Koentjaraningrat, 2002, Pengantar Antropologi II: Pokok-
pokok Etnografi, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 106
27
Mochtar Naim. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: UGM Press.
Hlm 19
28
gabungan samande disebut jurai, kemudian gabungan jurai disebut

saparuik yang biasa dihitung sampai lima keturunan yang dipimpin oleh

tungganai. Suku terdiri dari beberapa paruik, suku merupakan unit utama

dari struktur sosial Minangkabau, dan seseorang tidak dipandang sebagai

orang Minangkabau kalau tidak memiliki suku. Suku ini kemudian akan

membentuk Nagari, syarat untuk berdirinya Nagari yaitu harus memiliki

empat buah suku. Suku asal yang terdapat di Nagari Batipuah pada

mulanya yaitu Sikumbang, Jambak, Koto, Pisang. Suku yang sekarang

terdapat di Batipuah berjumlah tujuh suku, yaitu: (1) Koto (2) Melayu (3)

Sikumbang (4) Panyalai (5) Guci (6) Pisang (7) Jambak. Kepemimpinan

dalam sebuah suku dipimpin oleh seorang penghulu. Keputusan Urang

Nan 14 (Ampek Baleh) didalam persidangan yang dilaksanakan di Balai

Gadang Urang Nan Ampek Baleh ini dibagi menjadi dua, 7 orang ke bukit

(kewalian Batipuah Ateh) yang diketuai oleh Dt. Sinaro Alam Nan Hitam,

setelah itu 7 orang ke Baruah ( kewalian Batipuah Baruah) yang diketuai

oleh Dt. Basa28.

Unit kepeminpinan dalam suku di mulai dari penghulu suku. Gelar

penghulu tersebut didapat dengan cara turun temurun.penghulu suku bisa

juga disebut penghulu andiko yang dijabat oleh laki-laki yang dipilih oleh

segenap anggota keluarga dalam suku. Penghulu andiko ini di bantu oleh

panungkek atau bisa disebut wakil. Jadi yang mengurus segala hal yang

berkaitan dengan adat jika penghulu adiko tidak ada ialah panungkek.

Pada dasarnya tugas penghulu hanya mengangguk dan menggeleng,


28
Nama-nama Penghulu pucuk akan peneliti paparkan di lampiran.
29
namun didalam mengangguk dan menggeleng tersebut tesirat tanggung

jawab besar yang harus dipikul. Unit tertinggi dalam kepemimpinan suku

di pegang oleh Penghulu Pucuk. Setiap suku memiliki pimpinan pucuk

masing-masing. Apabila ada masalah kemenakan yang tak mampu

diselesaikan oleh Penghulu Andiko maka Penghulu Pucuk lah yang akan

menyelesaikan. Selanjutnya ada yang di namakan Pasamayan, Pasamayan

dipilih oleh Niniak Mamak kaum. Dalam 1 buah suku terdapat 1 orang

Pasamayan. Di Batipuah terdapat 7 suku di ateh dan 7 suku di baruah, jadi

di Nagari Batipuah terdapat 14 orang Pasamayan.

Pola-pola kepemimpinan yang terdapat di Nagari Batipuah warisi

oleh kebudayaan masa lalu, dimana pola kepemimpinan ini di pengaruhi

oleh lareh yang ada pada zaman kerajaan di Pagaruyuang. Batipuah

sebagai basis pertahanan pada zaman kerajaan Pagaruyuang ikut mewarisi

pola-pola kepemimpinan tersebut. Batipuah menganut Kelarasan Koto

Piliang yang dipimpin oleh Dt.Katumangguangan. Pada masyarakat

Batipuah, Kekuasaan tertinggi ada di tangan Penghulu Pucuk, setelah itu

Penghulu Andiko.

Kepemimpinan formal yang ada di Batipuah yaitu Wali Nagari dan

dibantu oleh BPRN sebagai badan legislatif Nagari dan dibantu juga oleh

Kerapatan Adat Nagari sebagai wadah tempat berkumpulnya Niniak

Mamak. Untuk keamanan, di Nagari Batipuah terdapat FKPM (Forum

Kemitraan Polisi Militer) yang di Ketuai oleh Rajudin Dt. Tan Marakan

yang beranggotakan 10 orang.

30
B. Kasua Adaik

1. Asal usul kasua adaik

Kasua adaik merupakan sebuah peti yang berukuran panjang 2 m

yang terletak di sudut ruangan pada rumah-rumah kemenakan penghulu

yang perempuan. Asal usul munculnya kasua adaik tidak ketahui oleh

masyarakat Batipuah, pada dasarnya masyarakat Batipuah memakai yang

telah diwarisi oleh nenek moyang zaman dahulu. Beberapa masyarakat

mengatakan bahwa kasua adaik ini sudah ada sejak tahun 1952. Akan

tetapi data tertulis yang mengemukakan hal tersebut sudah hilang sejak

lama. Pada saat sekarang ini KAN sudah menyusun segala sesuatu yang

berhubungan dengan nagari secara rinci, namun tidak dengan kasua adaik.

Kasua adaik hanya di gambar kan secara umum dalam buku revitalisasi

dan aktualisasi budaya lokal Nagari Batipuah.

Kasua adaik hanya ada di Nagari Batipuah, menurut orang-orang

zaman dahulu, jika ingin beradat, beradat ke Nagari Batipuah, dan jika

ingin ba Rajo, ba Rajolah ka pagaruyuang. Jadi keberadaan kasua

adaik ini dipengaruhi oleh kentalnya adat istiadat di Batipuah dan

besarnya pengaruh Kerajaan Pagaruyuang terhadap sistem

31
kepemimpinan adat di Batipuah. Hal ini terlihat tingkatan kasua adaik

yang mencerminkan status sosial seorang penghulu di Batipuah.

2. Pemilik kasua adaik

Kasua adaik dimiliki oleh kemenakan penghulu yang perempuan.

Walaupun Penghulu memiliki banyak kemenakan, setiap kemenakan

wajib memiliki kasua adaik. Setiap penduduk yang memiliki Mamak

akan memiliki kasua adaik dirumahnya. Jika penduduk Nagari

Batipuah bukan penduduk asli maka tidak diharuskan memiliki kasua

adaik. Karena dipastikan masyarakat pendatang tidak memiliki mamak

di Batipuah, kecuali mereka sudah malakok atau yang biasa disebut

mangaku bamamak di Batipuah29. Setelah itu kemenakan penghulu

harus menyesuaikan tingkat kasua adaik dengan kedudukan

penghulunya, meskipun secara sosial seorang penghulu itu merupakan

orang kaya di Nagarinya, namun tingkatan kasua adaik tetap harus di

kondisikan sebagaimana kedudukannya di dalam kaum30.

3. Fungsi kasua adaik

Fungsi kasua adaik bagi masyarakat Batipuah, pertama yaitu

fungsi kasua adaik pada upacara perkawinan. Fungsi kasua adaik pada

upacara perkawinan yaitu memperlihatkan kedudukan sebuah

keluarga, bahwa sebuah keluarga tersebut memiliki Mamak di Nagari

Batipuah Setelah itu kasua adat berfungsi sebagai lambang kebesaran


29
Jumi Adriani, 46 th, Masyarakat Biasa, wawancara 27 Mei 2018, dirumah beliau di Jorong
Subarang, peneliti memilih wawancara hari minggu karena di hari minggu buk jumi tidak ada
kegiatan
30
Yanti, 43 th, masyarakat biasa, 22 Juli 2018, di kedai beliau, saat itu kedai ibu yanti sedang
lengang, jadi peneliti memiliki kesempatan untuk menggali informasi
32
Niniak Mamak di Batipuah sehingga pada saat upacara perkawinan

kasua adaik ditutup dengan pelaminan maka pelaminan tersebut harus

dipindahkan, jika tidak Niniak Mamak yang diundang tidak akan naik

kerumah, dan hal itu akan membuat keluarga malu dan keluarga yang

bersangkutan akan merasa hina31.

Kedua pada saat upacara kematian Penghulu. Ketika Penghulu

meninggal dunia, penghulu akan di baringkan di kasua adaik.

Penghulu akan di baringkan diatas kasua adaik menjelang Penghulu di

mandikan. Letak kasua adaik pada saat itu juga diposisikan

menghadap kiblat. Pada saat di baringkan jenazah Penghulu tetap

dialas dengan kasur32

4. Aturan mengenai kasua adaik

Kasua adaik memiliki warna dan ragam yang sangat menarik.

Warna dasar kain beludru yang terpasang pada kasua adaik memiliki

tiga warna dasar yaitu merah, hitam, dan kuning. Warna dasar tersebut

di ambil dari warna marawa yang melambangkan tiga luhak di

Minangkabau. Untuk warna lain dapat dikombinasikan dengan syarat

harus mengacu ke warna dasar dan tidak boleh terlalu mencolok.

Aturan mengenai warna dan ragam kasua adaik tidak diatur secara

31
Rajudin Dt. Tan Marakan, 58 th, Penghulu Andiko, wawancara tanggal 07 juli 2018, dirumah
beliau di Balai Mato Aia, peneliti mewawancarai beliau saat hari sudah sore, karena disiang hari
bapak Rajudin pergi ke lading, dan hari minggu juga ada kegiatan berburu Babi.
32
Azizman Dt. Sinaro Nan Putiah, 59 th Wali Nagari Batipuah Baruah , Penghulu Pucuak
wawancara tanggal 14 juli 2018, dirumah beliau di Kalumpang, Jorong Subarang, peneliti disuruh
ke rumah beliau pada saat malam hari, karena beliau merupakan Wali Nagari, jadi disiang hari
beliau tidak ada waktu untuk memberikan informasi
33
jelas oleh Niniak Mamak di nagari Batipuah, akan tetapi pada

umumnya masyarakat mencontoh yang sudah ada sejak dulunya33.

Berbicara tentang kasua adaik, kita tidak hanya bicara mengenai

warna dan ragamnya, akan tetapi kita juga bicara tentang bentuk,

bagian, dan jenis dari kasua adaik tersebut. Kasua adaik memiliki 3

jenis tingkatan. Tingkatan ini dipengaruhi oleh kedudukan seorang

penghulu didalam kaumnya. Namun saat ini di Batipuah hanya 2

tingkatan yang masih di pakai oleh masyarakat 34. Aturan mengenai

tingkatan ini sudah diatur oleh KAN setempat, baik itu mengenai

jumlah tingkatan kasua panjang, jumlah mato banta maupun jumlah

kasua bunta. Jumlah tingkatan kasua adaik terdiri atas:

a. Niniak Mamak Pucuak

Dirumah kemenakan Niniak Mamak Pucuak jumlah kasua panjangnya

4 batang, mato banta berjumlah 12 buah, dan kasua bunta berjumlah 7

buah.

b. Niniak Mamak Andiko

Dirumah kemenakan Niniak Mamak Andiko jumlah tingkatan ini

adalah yang terkecil. Kasua panjang berjumlah 3 batang, 9 buah mato

banta dan 6 buah kasua bunta.

33
Mardalis Dt. Itam, 65 th, Wali Nagari Batipuah Baruah, Penghulu Pucuak, wawancara tanggal
20 Juli 2018, di kantor Wali Nagari Batipuah Ateh, peneliti agak kesulitan bertemu dengan bapak
Mardalis karena beliau merupakan Wali Nagari, beliau sering tidak berada dikantor, peneliti
menemui bapak mardalis pada jam kantor.
34
Asmawati, 50 th, Bundo Kanduang, wawancara 15 Juli 2018, dirumah beliau di bonjoe, peneliti
melakukan wawancara hari minggu, karena biasanya diahri minggu adalah waktu yang santai
untuk wawancara, saat ditemui ibuk As sangat bersedia memberikan peneliti informasi
34
Tingkatan kasua adaik pada rumah-rumah kemenakan penghulu

harus sesuai dengan aturan yang telah di buat oleh KAN. Bila terjadi

pelanggaran, akan ada sanksi untuk keluarga ataupun Niniak Mamak

yang bersangkutan. Meskipun secara ekonomi sebuah keluarga mampu

membuat tingkatan lebih, akan tetapi mereka dilarang membuat kasua

adaik lebih tinggi dari seharusnya. Karena pada aturan KAN yang

berhak membuat kasua adaik dengan tingkatan lebih tinggi adalah

kemenakan Penghulu Pucuk, meskipun kemenakan Penghulu Pucuk

bukanlah orang yang mampu secara ekonomi, namun demi menjaga

harkat dan martabat Penghulunya mereka akan membuat kasua adaik

sesuai dengan yang sudah ditentukan oleh KAN.

Pelanggaran yang biasa terjadi berkaitan dengan kasua adaik.

Pertama, jumlah kasua adaik yang berlebih dari biasanya, pada umumnya

masyarakat zaman sekarang banyak yang salah kaprah, karena tidak

mengetahui adat yang sebenarnya. Masyarakat kebanyakan menganggap

apabila anak perempuannya akan menikah harus memiliki kasua adaik dan

jumlah kasua akan terus bertambah seiring bertambahnya menantu

mereka35. Namun pada dasarnya bukan seperti itu, tiap rumah kemenakan

penghulu hanya dibolehkan satu buah kasua adaik36.

Kedua, jumlah tingkatan kasua adaik yang tidak sesuai dengan

kedudukan penghulu yang ada di rumah mereka. Namun saat sekarang ini
35
Efi Mutia, 46 th, masyarakat biasa, wawancara 03 Juli 2018, di Huller , Batipuah Baruah, pada
saat itu ibuk efi sedang menjemur di Huller, pada saat istirahat, peneliti mengajak ibuk efi
bercengkrama mengenai kasua adaik.
36
Erosen Adera St.Sati, 42 th, mantan ketua pemuda, 28 Juli 2018 , dirumah beliau di torok, pada
saat itu bapak erosen tidak keberatan memberikan informasi kepada peneliti.
35
masyarakat sudah mengetahui aturan mengenai kasua adaik tersebut

secara jelas. Sanksi yang didapat apabila melanggar terkait dengan kasua

adaik ini yaitu berupa sanksi moril dan materil, jika ada pelanggaran

mengenai kasua adaik, Niniak Mamak yang bersangkutan tidak diikut

sertakan dalam rapat adat, sampai Niniak Mamak tersebut membayar

denda sebanyak satu pikul beras (100 L) dan uang adat sebesar 40 riyal

(Rp.120.000,-) 37.

Sanksi untuk keluarga yang melanggar yaitu pada saat upacara-

upacara adat, Niniak Mamak yang diundang tidak akan naik kerumah

sampai keluarga yang bersangkutan memperbaiki kesalahannya 38. Seperti

kesalahan yang terjadi pada upacara perkawinan, jika ada yang menutup

kasua adaik dengan pelaminan, maka pelaminan harus dipindahkan saat itu

juga, kalau tidak dipindahkan Niniak Mamak yang diundang tidak akan

naik ke rumah, walaupun rumahnya bagus. Pada dasarnya pelaminan

merupakan barang yang datang, jadi jika kasua adaik ditutup dengan

pelaminan sama saja menjatuhkan harga diri penghulu39.

37
Rajudin Dt.Tan Marakan, 58 th, Wakil Ketua KAN B.Ateh, tanggal 18 Juli 2018, wawancara,
peneliti kembali mendatangi rumah bapak Rajudin disore hari.
38
Amrizal Dt. Sampono Kayo, 61 th, Panungkek tanggal 16 Juli 2018, wawancara, dirumah beliau
di batang arau
39
Sy. Dt. Gadang Majolelo, 78 th, Penghulu Andiko dan Anggota Dewan Pertimbangan Adat
KAN Batipuah Ateh, tanggal 3 juli 2018, wawancara, dirumah beliau di Balai Mato Aia, pada saat
ditanya beliau dengan senang hati menjawab pertanyaan penelitian yang peneliti ajukan
36
BAB III

MAKNA KASUA ADAIK

A. Makna Simbol Bentuk Kasua Adaik

Bentuk kasua adaik berbentuk persegi panjang yang dibuat bertingkat.

Ukuran panjangnya sekitar 2 meter dan lebarnya berukuran 90 cm,

untuk tinggi kasua adaik berkisar antara 1,5 meter sampai 2 meter.

Ukuran tinggi kasua adaik disesuaikan dengan kedudukan penghulu

didalam masyarakat.

Kasua adaik terdiri dari 3 bagian , seperti gambar di bawah ini:

Ga
mbar 4 : Kerangka Kasua Adaik
Sumber: Karya sendiri
Keterangan : Bagian 1 (Kasua Panjang)
Bagian 2 (Banta)
Bagian 3 (Kasua Bunta)

37
Penjelasan Gambar:
1. Kasua Panjang
Kasua Panjang merupakan bagian pertama kasua adaik.

Kasua panjang memiliki beberapa warna yaitu kuning, merah dan

hitam. Namun aturan ini tidak baku, akan tetapi masih tetap

mengacu ke warna marawa. Warnanya boleh dikombinasikan

sesuai dengan jumlah kasua panjangnya

2. Banta

Banta ini berada di tingkat yang kedua dari kasua adaik.

Banta ini terdiri dari beberapa mato yang disebut dengan mato

banta. Mato banta ini mempunyai bentuk yang berbeda-beda,

warna mato banta ini hanya berwarna emas dan perak. Khusus

untuk banta ini, membuat kerangkanya terpisah, agar mudah di

angkat pada saat upacara kematian penghulu. Pada saat upacara

kematian penghulu banta ini di pisahkan letaknya, agar jenazah

penghulu dapat berbaring di atas kasua adaik

3. Kasua Bunta

Kasua bunta berada di tingkat yang ketiga namun juga

berkaitan dengan kasua panjang dan mato banta. Kasua bunta juga

memiliki beberapa tingkatan seperti kasua panjang. Untuk lebih

jelasnya gambar kasua adaik bisa dilihat pada gambar dibawah ini:

38
Gambar 5 : Kasua Adaik di rumah Kemenakan Penghulu
Andiko
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Simbol tingkatan kasua adaik ini melambangkan kedudukan

penghulu di Nagari Batipuah. Seperti yang diungkapkan oleh

Rajudin Dt. Tan Marakan40.

“basonyo manuruik gaek salaku Niniak Mamak di


Batipuah, kasua adaik ko malambangkan kagadangan
Niniak Mamak di Batipuah, di rumah kamanakan padusi
gaek pasti ado kasua adaik, karano disitu gaek bisa
mancaliak, lai indaknyo kamanakan maharagoi gaek, mode
gaek kini ko ha, gaek marupokan panghulu andiko didalam
kaum gaek, kalau panghulu andiko 3 tingkek kasua
panjangnyo nyo”
Artinya:
“bahwasanya menurut gaek selaku Niniak Mamak di
Batipuah, kasua adaik ini melambangkan kebesaran Niniak
Mamak di Batipuah, di rumah kemenakan gaek pasti ada
kasua adaik, karena disanalah gaek bisa melihat, ada
tidaknya kemenakan menghargai gaek, seperti gaek
sekarang ini, gaek merupakan penghulu andiko didalam
kaum gaek, kalau penghulu andiko hanya 3 tingkat kasua
panjangnya”

40
Rajudin Dt. Tan Marakan, 58 th, Wakil Ketua KAN B. Ateh tanggal 18 Juli 2018
39
Hal senada juga diungkapkan oleh Mardalis Dt. Itam41

“kasua adaik di Batipuah ko marupokan kagadangan


panghulu di Batipuah, baa kadudukan panghulu di
Batipuah bisa di caliak dari tingkek kasua adaik di rumah
kamanakan panghulu tu, contohnyo ambo sebagai
panghulu pucuak di dalam kaum ambo, dirumah
kamanakan ambo 4 tingkek kasua panjangnyo”
Artinya:
“kasua adaik di Batipuah ini merupakan kebesaran
penghulu di Batipuah, bagaimana kedudukan penghulu di
Batipuah bisa dilihat dari tingkat kasua adaik di rumah
kemenakan penghulu tersebut, contohnya saya sebagai
penghulu pucuak di dalam kaum saya, dirumah kemenakan
saya ada 4 tingkat kasua panjangnya”

Begitu juga yang diungkapkan oleh Ernawati42

“ manuruik amak, kasua adaik nan ado di batipuah ko


malambangkan tingginyo kadudukan panghulu di
Batipuah, satalah tu kasua adaik ko tando awak urang
Batipuah, karano satau amak kasua adaik ko di Batipuah
se adonyo nyo”
Artinya:
“ menurut amak, kasua adaik yang ada di Batipuah ini
melambangkan tingginya kedudukan penghulu di Batipuah,
setelah itu kasua adaik ini tanda orang Batipuah, karena
setau amak kasua adaik ini hanya ada di Batipuah

Menurut hasil wawancara, kasua adaik memiliki makna dilihat dari

tingkatannya. Jika jumlah tingkat kasua panjang hanya 3 tingkat, maka

kedudukan penghulunya hanya sebatas penghulu andiko, dan jika tingkat

kasua panjangnya berjumlah 4 tingkat maka kedudukan penghulunya

berada pada kedudukan tertinggi yaitu penghulu pucuak. Makna pertama

yang dipahami oleh masyarakat Batipuah yaitu kasua adaik sebagai

cerminan kedudukan penghulu yang ada di Batipuah, semakin tinggi

41
Mardalis Dt. Itam, 65 th, Penghulu Pucuak dan Wali Nagari Batipuah Baruah, wawancara
tanggal 20 Juli 2018
42
Ernawati, 57 th, Masyarakat biasa, wawancara tanggal 03 Juni 2018, dirumah beliau di kubu nan
IV
40
tingkat kasua adaik maka semakin tinggi kedudukan penghulu didalam

kaumnya.

B. Makna jumlah atribut dan tingkatan pada kasua adaik

1. Penghulu Pucuk

Kasua adaik pada rumah kemenakan penghulu pucuk

memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari tingkat penghulu andiko.

Pertama, kasua panjang untuk penghulu pucuk berjumlah 4 batang.

Pada upacara kematian penghulu di kasua panjang itulah jenazah

penghulu dibaringkan, jadi semakin tinggi tingkatan kasua

panjang semakin tinggi pula jabatan dan status penghulu tersebut

didalam masyarakat. Jumlah ini bermakna bahwa panghulu

tamasuak urang nan ampek jiniah. Seperti yang diungkapkan oleh

Dt. Bagindo Ratu43

“ panghulu pucuak ko mako 4 kasua panjangnyo


malambangkan basonyo panghulu ko tamasuak
urang nan ampek jiniah, makna nyo urang nan
ampek jiniah ko ndak bisa dipisahkan, karano
mereka punyo keterkaitan satu jo nan lain salain itu
Batipuah ko p ado mulonyo hanyo ado 4 suku”
Artinya:
“ penghulu pucuak ini maka 4 kasua panjangnya
melambangkan bahwasanya penghulu termasuk
urang nan ampek jinih, maknanya urang nan ampek
jinih ini tidak bisa dipisahkan, karena mereka
memliki keterkaitan satu dengan yang lain selain itu
Batipuah ini pada mulanya hanya ada 4 suku”

43
A. Dt. Bagindo Ratu, 68 th, Penghulu Pucuak, wawancara 17 Juli 2018, dirumah beliau di kubu
nan IV
41
Selain itu menurut pemahaman masyarakat bahwasanya

kasua panjang ini berjumlah 4 tingkat karena mengacu kepada sifat

nabi, seperti wawancara dengan Dedi Surya44

“setau da kalau 4 tingkek kasua panjang ko


malambangkan 4 sipaik nabi, maknanyo sipaik tu lo
lah nan dituntuik ado lo pado diri seorang
panghulu, basonyo panghulu tu harus basipaik
siddiq, amanah, tabligh, fathonah”
Artinya:
“ setahu uda kalau 4 tingkat kasua panjang ini
melambangkan 4 sifat nabi, maknanya sifat itulah
yang dituntut ada pada diri seorang penghulu,
bahwasanya panghulu itu harus bersifat siddiq,
amanah, tabligh, fathonah”

Kedua, mato banta pada kasua adaik yang berada dirumah

kemenakan penghulu pucuk berjumlah 12 buah. 12 mato banta ini

memiliki lambang pembagian penghulu di Batipuah, karena terjadi

pemekaran suku, maka penghulu di bagi menjadi 12, 6 penghulu di

ateh dan 6 penghulu di baruah. Seperti yang diungkapkan oleh

Erosen Adera45

“setau apak kalau jumlah mato banta mamiliki


makna basonyo ado pambagaian panghulu di
Batipuah karano ado pemekaran suku, jadi pado
mulonyo ado 12 satalah itu dibagi 6 di ateh dan 6
di baruah salain itu jikok panghulu baralek, nan
mairiangan marapulai baliau bajumlah 12 urang”
Artinya:

“setahu apak kalau jumlah mato banta memiliki


makna bahwasanya ada pembagian penghulu di
Batipuah karena ada pemekaran suku, jadi pada
mulanya ada 12 penghulu setelah itu dibagi 6 diatas
dan 6 di baruah selain itu jika penghulu baralek,
yang mengiringi beliau bajumlah 12 urang”

44
Dedi Surya, 24 th, Ketua Pemuda, wawancara 21 Juli 2018, di kedai
45
Erosen Adera St. Sati, 42 th, mantan ketua pemuda, 28 Juli 2018, dirumah beliau di torok
42
Ketiga, kasua bunta pada penghulu pucuk berjumlah 7

tingkat,hal ini dikarenakan penghulu yang paling pucuk berjumlah

7 orang dan juga jumlah suku yang ada di Batipuah juga 7 buah

suku. Seperti yang diungkapkan yanti46

“manuruik etek kasua bunta nan 7 tu


malambangkan 7 buah suku di Batipuah, sudah tu
panghulu pucuak di Batipuah bajumlah 7 lo”
Artinya:
Menurut etek kasua bunta yang 7 itu
melambangkan 7 buah suku di Batipuah, setelah itu
penghulu pucuak di Batipuah berjumlah 7 juga”

2. Penghulu Andiko

Kasua adaik pada rumah kemenakan penghulu andiko

memiliki tingkatan yang lebih rendah dari tingkat penghulu pucuk.

Pertama, kasua panjang untuk penghulu pucuk berjumlah 3 batang.

Makna kasua panjang yang berjumlah tiga batang ini menurut

Lahmoeddin Dt. Indomo Marajo47

“3 bantang kasua panjang ko malambangkan tali


tigo sapilin,maknanyo saurang panghulu harus
bapegang pado syarak, adaik jo undang-undang
untuak mancapai kasajahtaraan dalam mamimpin
kaum”
Artinya:
“3 batang kasua panjang ini melambangkan tali tigo
sapilin, maknanya seorang penghulu harus
berpegang pada syarak, adat dan undang-undang
untuk mencapai kesejahteraan dalam memimpin
kaum”
Kedua, mato banta pada kasua adaik yang berada dirumah

kemenakan penghulu andiko berjumlah 9 buah. Jumlah ini

46
Yanti, 43 th, masyarakat biasa, 22 Juli 2018 dikedai
47
Lahmoeddin Dt. Indomo Marajo, 79 th, Dewan Pertimbangan Adat KAN dan Penghulu Andiko,
wawancara tanggal 23 Juni 2018, dirumah beliau di Balai Gadang
43
memiliki lambang bahwasanya ketika penghulu baralek maka yang

mengiringi marapulai paling banyak ialah 9 orang, seperti yang

diungkapkan oleh Asmawati48

“manuruik umi, mato banta nan 9 tu


malambangkan jumlah urang nan mairiangan
panghulu katiko baralek, kalau baralek panghulu, 9
urang pangiriang marapulainyo nyo”
Artinya:
“menurut umi, mato banta yang 9 itu
melambangkan jumlah orang yang mengiringi
penghulu ketika baralek, kalau penghulu baralek, 9
orang pengiring marapulainya49”

Ketiga, kasua bunta pada penghulu andiko berjumlah 6

tingkat,hal ini dikarenakan penghulu berjumlah 6 orang di ateh dan

6 orang dibawah. Seperti yang diungkapkan oleh Azizman Dt.

Sinaro Nan Putiah50

“ kasua bunta nan bajumlah 6 pado kasua adaik


malambangkan basonyo dibawah pucuak nan 7
panghulu di nagari batipuah di bagi lo, namonyo di
Batipuah ko Niniak Mamak duo kali anam, dari
situlah asa angko anam diambiak”
Artinya:

“kasua bunta yang berjumlah 6 pada kasua adaik


melambangkan bahwasanya dibwah pucukyang 7
penghulu di Nagari Batipuah dibagi juga, namnya di
Batipuah ini Niniak Mamak dua kali enam, dari
situlah asal angka enam diambil

Secara umum, kasua adaik merupakan simbol kebesaran niniak

mamak yang ada di Nagari Batipuah. Adapun jumlah tingkatan-tingkatan

kasua adaik mencerminkan status mamak yang ada di Nagari Batipuah.

48
Asmawati, 50 th, Bundo Kanduang, wawancara 15 Juli 2018
49
Marapulai merupakan sebutan untuk mempelai laki-laki
50
Azizman Dt. Sinaro Nan Putiah, 59 th, Wali Nagari Batipuah dan Penghulu Pucuak, 14 Juli 2018
44
Semakin tinggi tingkatan kasua adaik,maka semakin tinggi pula status

seorang penghulu tersebut di dalam masyarakat dan juga jumlah tersebut

melambangkan jumlah-jumlah penghulu yang terdapat di Nagari Batipuah.

Setelah itu bagian kasua adaik juga melambangkan kedudukan penghulu

didalam masyarakat.

C. Makna simbol atribut pada kasua adaik

1. Kain Biludu

Kain biludu merupakan kain yang sangat bagus pada zaman

dahulu. Orang-orang jaman dahulu menyebutnya kain saisuak.

Menurut kepercayaan Niniak Mamak di Batipuah, kain beludru

berasal dari Mekah, seperti yang di ungkapkan oleh Sy. Dt.

Gadang Majolelo51.

“alasannyo kasua adaik ko mangko mamakai kain biludu


partamonyo kain biludu ko kecek urang saisuak kain dari
Makah, tu kain biludu tu kualitasnyo rancak, kalau untuak
kagadangan panghulu tu dipakaian kain nan rancak
Artinya:
“alasannya kasua adaik ini memakai kain beludru pertama
kain beludru ini menurut orang tua-tua dahulu merupakan
kain yang datang dari Mekah, setelah itu kain beludru pada
zaman dulu merupakan kain yang berkualitas bagus,jadi
kalau untuk kebesaran penghulu jelas dipakaikan kain yang
bagus.

Hal senada juga diungkapkan oleh L. Dt. Indomo Marajo52

“kain beludru ko sangkek dulunyo alah tapakai juo, baiak


untuak kalambu, tirai,maupun kasua adaik ko, jadi dari
saisuak kasua adaik ko lah pakai kain beludru juo, jadi
ndak do nan mangganti kain beludru ko jo kain lain do”
Artinya:
51
Sy. Dt. Gadang Majolelo, 78 th Penghulu Andiko dan Anggota Dewan Pertimbangan Adat KAN
wawancara tanggal 28 Juli 2018
52
L. Dt. Indomo Marajo, 79 th, Dewan Pertimbangan Adat KAN B. Ateh dan Penghulu Andiko,
wawancara tanggal 29 Juli 2018
45
“Kain beludru ini sejak dulunya sudah dipakai juga, baik
untuk kelambu, tirai, maupun kasua adaik ini, jadi dari
dahulunya kasua adaik ini sudah pakai kain beludru juga,
jadi tidak ada yang mengganti kain beludru ini dengan kain
yang lain”

Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa pada

dasarnya, kain yang digunakan untuk simbol kebesaran penghulu

ialah kain yang berkualitas, mengingat penghulu merupakan orang

yang dihargai di dalam masyarakat. Setelah itu kain beludru ini

sudah dipakai juga sejak dahulunya untuk menutupi kerangka

kasua adaik. Masyarakat Batipuah pada dasarnya “mancontoh ka

nan sudah” maksudnya masyarakat Batipuah meniru kepada yang

sudah-sudah. Seperti yang diungkapkan oleh Rosnaili53

“baa dek kasua adaik ko pakai kain beludru, karano enek


mancaliak ka nan sudah-sudah, enek mancaliak dirumah
urang nan gaek-gaek dari enek kasua adaik nyo pakai kain
beludru enek pakai lo nan kain nan mode tu”
Artinya:

“kenapa kasua adaik ini pakai kain beludru, karena nenek


melihat kepada yang sudah, nenek melihat dirumah orang-
orang yang lebih tua dari nenek kasua adaik mereka
memakai kain beludru,nenek pakai juga kain beludru”

2. Mato Banta

Mato banta ini mempunyai bentuk yang berbeda-beda,

warna mato banta ini hanya berwarna emas dan perak. Untuk

membuat mato banta ini dibutuhkan pengrajin khusus. Karena

mato banta ini tidak dapat dibeli ditempat lain selain di Batipuah.

Untuk orang yang akan membuat kasua adaik, mereka biasanya

53
Rosnaili, 49 th, masyarakat biasa, wawancara 12 Juli 2018 dirumah beliau di Guguak Lijau
46
memesan kain dan mato banta ini di Jorong Batang Gadih,

Batipuah Baruah.

Khusus untuk banta ini, membuat kerangkanya terpisah,

agar mudah di angkat pada saat upacara kematian penghulu. Pada

saat upacara kematian penghulu banta ini di pisahkan letaknya,

agar jenazah penghulu dapat berbaring di atas kasua adaik.

Gambar 6. Banta yang terpisah dari kasua adaik


Sumber : dokumentasi pribadi

Pada bagian banta ini terdapat mato banta dengan berbagai

motif. Motif ragam hias ini diambil dari motif-motif Rumah

Gadang. Nama-nama motif ini di ambil dari nama tumbuh-

tumbuhan, hewan dan benda yang dipakai sehari-hari. Semua jenis

ukiran tersebut menunjukan bahwa unsur penting pembentuk

budaya Minangkabau bercerminkan kepada apa yang ada di alam.

Semua motif memiliki filosofi dan makna tersendiri. Seperti

macam-macam motif yang terdapat pada mato banta juga memiliki

47
filosofi dan makna bagi masyarakat Batipuah. akan tetapi tidak

banyak yang mengetahui nama-nama dan makna motif mato banta

pada kasua adaik. Motif yang diketahui oleh orang Batipuah yaitu

Pucuak Rabuang, Pucuak Rabuang merupakan salah satu motif

yang terdapat pada mato banta. Pucuak Rabuang memiliki bentuk

yang indah, selain itu manfaatnya juga besar. Seperti yang

diungkapkan oleh Sy. Dt. Gadang Majolelo54.

“pucuak rabuang ko aratinyo sadari keteknyo


baguno sampai lah tumbuah gadang, wakatu ketek
nyo paguno ka pambuek gulai, katiko gadang
manjadi batuang nan bisa digunoan untuak
kaparaluan masyarakaik sarupo mambuek pondok
sawah, rumah, dan kaparaluan lain”
Artinya:

“pucuk rebung ini artinya dari kecil sampai tumbuh


besar ia berguna. Waktu masih jadi anak bambu ia
berguna untuk membuat gulai, ketika tumbuh
menjadi bambu ia juga bisa digunakan untuk
keperluan masyarakat seperti membuat pondok,
rumah, dan keperluan lain”

Hal senada juga diungkapkan oleh Asmaniar55

“pucuak rabuang ko manuruik enek aratinyo dari


ketek rabuang baguno sampai lah tumbuah gadang,
wakatu ketek nyo paguno ka pambuek gulai, katiko
gadang manjadi batuang nan bisa digunoan untuak
kaparaluan masyarakaik sarupo mambuek rumah
dan kaparaluan lain”
Artinya:
“pucuk rebung ini menurut nenek artinya dari kecil
rebung berguna sampai sudah tumbuh besar. Waktu
masih jadi anak bambu ia berguna untuk membuat
gulai, ketika tumbuh menjadi bambu ia juga bisa
54
Sy. Dt. Gadang Majolelo, 78 th, Penghulu Andiko dan Dewan Pertimbangan Adat KAN B.
Ateh, wawancara tanggal 28 Juli 2018
55
Asmaniar, 68 th, masyarakat biasa, wawancara 30 Juni 2018, dirumah beliau di Guguak Lijau,
peneliti mewawancarai beliau saat beliau pulang dari lading.
48
digunakan untuk keperluan masyarakat seperti
membuat rumah dan keperluan lain”

Gambar 7. Motif Pucuak Rabuang pada mato banta


Sumber:dokumentasi pribadi tanggal 28 Juli 2018

Motif ini merupakan simbol kehidupan dinamis yang

diumpamakan dengan bambu. Dimana ketika bambu masih muda

ia tumbuh menjulang keatas merupakan simbol bagi yang muda

untuk menuntut ilmu dan meraih cita-cita dan ketika sudah besar

ujung bambu mulai merunduk ke bawah yang bermakna apabila

telah berilmu tidaklah menjadi orang yang sombong. Begitu juga

yang diharapkan seorang Penghulu terhadap kemenakannya,

Penghulu berharap kemenakannya bisa berguna seumur hidupnya.

3. Mato kasua

Mato kasua merupakan hiasan yang terbuat dari emas, mato kasua

ini di susun sedemikian rupa pada kasua panjang. Makna yang

terkandung pada mato kasua yaitu bahwasanya Batipuah memiliki

kekayaan alam yang berlimpah. Seperti yang diungkapkan oleh Efi

Mutia56
56
Efi Mutia, 46 th, masyarakat biasa, wawancara 03 Juli 2018
49
“ makna mato kasua nan ado di kasua panjang ko
manuruik etek malambangkan Batipuah ko punyo kekayaan
alam nan balimpah, salain itu dek kasua adaik ko talatak di
rumah kamanakan panghulu, kamanakan panghulu ko lah
nan berhak mengelola harato pusako”
Artinya:
“makna mato kasua yang ada di kasua panjang ini menurut
etek melambangkan Batipuah memeiliki kekayaan alam
berlimpah, selain itu karna kasua adaik terletak dirumah
kemenakan penghulu, kemenakan penghulu lah yang
berhak mengelola harta pusaka”

Hal senada juga diungkapkan oleh Musril57

“ makna mato kasua nan ado di kasua panjang ko yaitu


dek kasua adaik ko talatak di rumah kamanakan panghulu,
kamanakan panghulu ko lah nan berhak mengelola harato
pusako, salain itu, mato kasua ko mampunyoi makna
basonyo mamak ko ndak kayo jo harato kamanakannyo do
malainkan jo harato baliau sorang”
Artinya:
“makna mato kasua yang ada di kasua panjang ini yaitu
karna kasua adaik terletak dirumah kemenakan penghulu,
kemenakan penghulu lah yang berhak mengelola harta
pusaka, selain itu, mato kasua ini memiliki makna
bahwasanya mamak tidak kaya dengan harta
kemenakannya melainkan dengan harta beliau sendiri”

Makna mato kasua yang dipahami masyarakat yaitu

melambangkan kekayaan berlimpah yang ada di Nagari Batipuah,

setelah itu karena letak kasua adaik berada dirumah kemenakan, maka

kemenakan lah yang berhak mengelola harta pusaka. Dokumentasi

foto mato kasua :

57
Musril, 59 th, masyarakat biasa, wawancara 07 Juli 2018
50
Gambar 8. Mato Kasua pada Kasua Panjang
Sumber: Dokumentasi pribadi

D. Makna Simbol Warna pada Kasua Adaik

1. Warna pada kasua adaik

Warna yang terdapat pada kasua adaik didominasi oleh

warna-warna gelap yang mengacu pada warna marawa. Seperti

warna kuning, merah, dan hitam.

a. Kuning

Warna kuning ini merupakan lambang dari musyarwarah

mufakat. Dengan tanda itu mayarakat tau bahwa segala keputusan

bertolak dari hasil mufakat sebagai lambang kedamaian,

kesejahteraan, dan ketentraman. Dahulunya nenek moyang orang

Minangkabau mencari warna yang tidak bisa dirobah. Dari hasil

musyawarah mufakat itu di ambil warna yang paling tinggi, di

alam ini yang terlihat ialah bintang di langit. Karena musyawarah


51
mufakat dijadikan sebagai patokan tertinggi, maka warna bintang

di langit itulah yang disepakati untuk warna/lambang musyawarah

mufakat. Seperti yang diungkapkan L. Dt. Indomo Marajo58

“warna kuniang tu mampunyoi makna basonyo


seorang panghulu harus batindak sasuai nan alah
di sapakati satalah itu warna kuniang
malambangkan Luhak Tanah Datar”
Artinya:
“warna kuning itu mempunyai makna bahwasanya
seorang penghulu harus bertindak sesuai yang telah
disepakati, setelah itu warna kuning juga
melambangkan Luhak Tanah Datar”

Hal senada juga diungkapkan oleh Azizman Dt. Sinaro Nan


Putiah59
“warna kuniang ko marupokan lambang luhak
tanah data, di kasua adaik warna kuniang ko ndak
dominan do, tapi kalau ndak ado warna kuniang ko
ndak amuah do”
Artinya
“warna kuning ini merupakan lambang luhak tanah
datar, di kasua adaik warna kuning ini tidak
dominan, tapi kalau tidak memakai warna kuning
tidak bisa”

Jadi, warna kuning memiliki makna bahwa seorang

penghulu tidak boleh bertindak melenceng dari yang telah

disepakati. Tidak hanya itu, warna kuning juga berarti tanda Luhak

Tanah Datar. Warna kuning ini melambangkan kesabaran, seperti

yang diungkapkan oleh Sy. Dt. Gadang Majolelo60.

“ warna kuniang ko malambangkan luhak tanah


data, ko panyaba ko, aianyo janiah ikannyo
jinak,tapi cubo lah tangkok, ka bisa do”

58
L. Dt. Indomo Marajo, 78 th, Penghulu Andiko dan Dewan Pertimbangan Adat KAN B.Ateh, 29
Juli 2018
59
Azizman Dt. Sinaro Nan Putiah, 59 th, Wali Nagari Batipuah dan Penghulu Pucuak, 14 Juli 2018
60
Sy. Dt. Gadang Majolelo, 78 th, Penghulu Andiko dan Dewan Pertimbangan Adat KAN B.
Ateh, wawancara tanggal 28 Juli 2018
52
Artinya:
“warna kuning ini melambangkan luhak tanah data,
luhak tanah datar ini penyabar, airnya jernih,
ikannya jinak, tapi cobalah ditangkap, tidak akan
bisa”
Makna warna kuning yang terdapat pada kasua adaik yaitu

bahwasanya seorang penghulu sebagai orang yang didahulukan

salangkah dan ditinggikan seranting harus memiliki sikap sabar

dalam membimbing dan mengayomi kemenakannya

b. Merah

Warna merah pada kasua adaik memiliki lambang

keberanian, hal ini berarti seorang penghulu haruslah memiliki

keberanian dalam menegakan kebenaran dan menjaga harta dan

kemenakannya, seperti yang diungkapkan oleh Mardalis Dt.Itam61

“warna merah ko melambangkan luhak agam,


luhak agam ko terkenal jo kabaraniannyo tu
agamonyo, caliaklah tuanku banyak dari luhak
agam, jikok di baok an ka kasua adaik, warna
merah ko punyo makna basonyo panghulu tu harus
barani managakkan kabanaran dan basandi ka
syarak, sarupo falsafah di minang, adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah”
Artinya:

warna merah ini melambangkan luhak agam, luhak


agam terkenal dengan keberaniannya dan taat
agamanya, lihatlah tuanku banyak dari luhak agam,
jika di bawakan ke kasua adaik, warna merah ini
memiliki makna bahwasanya seorang penghulu
harus berani menegakkan kebenaran dan mengacu
kepada syarak, seperti falsafah di Minang, adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah

61
Mardalis Dt. Itam, 65 th, Penghulu Pucuak dan Wali Nagari Batipuah Baruah, wawancara
tanggal 20 Juli 2018
53
Hal senada juga diungkapkan oleh Asmaniar62

“warna sirah ko aratinyo panghulu ko harus barani


mampartahankan kabanaran dan barani manjago
harato jo kamanakan tapi harus barlandaskan
agamo ”
Artinya:
“warna merah ini artinya seorang penghulu harus
berani mempertahankan kebenaran dan berani
menjaga harta dan kemenakan tapi harus
berlandaskan agama”
Dilain sisi warna merah merupakan lambang dari Luhak Agam

yang juga bermakna keberanian orang luhak agam dan taatnya

mereka terhadap agama. Jika di kaitkan dengan kasua adaik, warna

merah ini memiliki makna bahwasanya seorang penghulu harus

berani menegakkan kebenaran dan mengacu kepada syarak, seperti

falsafah di Minang “adat basandi syarak, syarak basandi

kitabullah”.

c. Hitam

Warna hitam merupakan lambang Luhak 50 Kota, selain itu

warna hitam juga merupakan warna baju penghulu. Menurut Dt.

Tan Marakan63

“warna hitam tu aratinyo panghulu tu harus tahan


tapo, maknanyo panghulu tu harus tegar mahadok I
masalah nan tajadi itulah makonyo baju panghulu
bawarna itam”
Artinya:
“warna hitam itu artinya seorang penghulu harus
tahan tapo, maknanya penghulu harus tegar
menghadapi masalah yang terjadi itulah makanya
baju penghulu berwarna hitam”

62
Asmaniar, 68 th masysrakat biasa, wawancara tanggal 30 Juni 2018
63
Dt. Tan Marakan, 58 th, Penghulu Andiko, Wakil Ketua KAN B.Ateh dan Ketua FKPM, 29 Juli
2018
54
Hal senada juga diungkapkan oleh A. Dt. Bagindo Ratu64

“warna hitam ko malambangkan luhak 50 koto,


makna warna itam nan ado di kasua adaik iyolah
sipaik panghulu nan harus tahan tapo dan harus
bijaksana”
Artinya:
“warna hitam ini melambangkan luhak 50 koto,
makna warna hitam yang ada di kasua adaik ialah
sifat penghulu yang harus tahan tapo dan harus
bijaksana”

Jadi warna hitam pada kasua adaik bermakna sifat

penghulu yang harus tahan terpa, dimana penghulu harus tegar

menghadapi segala masalah yang terjadi selain itu penghulu harus

bijaksana dalam mengambil keputusan.

E. Makna Simbol Kepemilikan Kasua Adaik

Kasua adaik dimiliki oleh kemenakan penghulu yang perempuan.

Walaupun Penghulu memiliki banyak kemenakan, setiap kemenakan

wajib memiliki kasua adaik.

Makna yang dipahami masyarakat mengenai kasua adaik yaitu

kasua adaik sebagai identitas masyarakat Batipuah. Makna kasua adaik

ini diungkapkan oleh Wiwid Febriani65

“ manuruik kak kasua adaik ko tando urang batipuah,


karano yang nampak dek kak, di sakitaran rumah kak tu
ado urang punyo kasua adaik sadonyo, jadi manuruik kak
kasua adaik ko identitas urang Batipuah”
Artinya:

64
A. Dt Bagindo Ratu, 68 th, Penghulu Pucuak, wawancara tanggal 17 Juli 2018
65
Wiwid Febriani, 32 th , staff di Kantor Wali Nagari Batipuah Baruah. Wawancara tanggal 02
Juni 2018, dirumah di Kubu Nan V
55
“ Menurut kak kasua adaik ini tanda orang Batipuah,
karena yang kak lihat, di sekitar rumah kak orang
mempunyai kasua adaik semuanya, jadi menurut kak kasua
adaik ini identitas orang Batipuah”

Hal senada juga diungkapkan oleh Bustamam66

“ ..Kasua adaik ko tando urang Batipuah, yang ndak punyo


kasua adaik biasonyo urang pandatang, kalau urang asli
Batipuah pado umumnyo punyo kasua adaik, kecuali
katurunan Niniak Mamak alah punah, ndak ado
kamanakan padusinyo lai”
Artinya:
“kasua adaik ini tanda orang Batipuah, yang tidak punya
kasua adaik biasanya orang pendatang, kalau orang asli
Batipuah pada umumnya memiliki kasua adaik, kecuali
keturunan Niniak Mamak sudah punah, tidak ada lagi
kemenakan beliau yang perempuan”

Makna yang dipahami masyarakat yaitu kasua adaik merupakan

tanda orang Batipuah. Pada umumnya orang yang asli orang Batipuah

memiliki kasua adaik. Sebuah keluarga boleh tidak memiliki kasua

adaik apabila keturunannya sudah punah.

Makna selanjutnya yang dipahami oleh masyarakat Batipuah

bahwa yang memiliki kasua adaik tandanya ia memiliki mamak di

Batipuah. Setiap penduduk yang memiliki Mamak akan memiliki

kasua adaik dirumahnya. Jika penduduk Nagari Batipuah bukan

penduduk asli maka tidak diharuskan memiliki kasua adaik. Karena

dipastikan masyarakat pendatang tidak memiliki mamak di Batipuah,

kecuali mereka sudah malakok atau yang biasa disebut mangaku

bamamak di Batipuah. Makna kepemilikan kasua adaik ini di

sampaikan oleh Jumiral67


66
Bustamam Dt. Sidi Mangkuto, 60 th , tuo kampuang wawancara 17 Juli 2018, drumah beliau di
Btang arau
67
Jumiral, 40 th, masyarakat biasa, wawancara tanggal 10 Juli 2018
56
“ manuruik om kasua adaik ko tando urang lai ba Mamak
di Batipuah,urang nan punyo kasua adaik ko pastinyo
punyo Mamak di Batipuah,maskipun urang pandatang nan
hanyo mangaku bamamak ka Batipuah ko, nyo pasti punyo
kasua adaik”
Artinya:
“menurut om kasua adaik ini tanda orang memiliki Mamak
di Batipuah, orang yang memiliki kasua adaik ini pastinya
memiliki Mamak di Batipuah, meskipun orang pendatang
yang hanya mengaku ber Mamak ke Batipuah ini, pasti dia
memiliki kasua adaik”

Makna kasua adaik ini di sampaikan oleh A. Dt. Bagindo Ratu68

“ manuruik ambo kasua adaik ko tando urang punyo


Mamak, karano di kasua adaik ko wak bisa mancaliak
basonyo urang nan punyo kasua adaik ko pastinyo punyo
Mamak di Batipuah,maskipun urang pandatang nan hanyo
mangaku bamamak ka Batipuah ko, nyo pasti punyo kasua
adaik”
Artinya:
“menurut saya kasua adaik ini tanda orang memiliki
Mamak, karena dari kasua adaik ini kita bisa melihat
bahwasanya orang yang memiliki kasua adaik ini pasti
memiliki Mamak di Batipuah, meskipun orang pendatang
yang hanya mengaku ber Mamak ke Batipuah ini, pasti dia
memiliki kasua adaik”
Hal senada juga diungkapkan oleh Amrizal Dt. Sampono Kayo69

“kasua adaik ko tando urang lai ba Mamak di Batipuah ko


mah, sabab kasua adaik ko marupokan kagadangan
Mamak di Batipuah, Jikok ndak ba Mamak nyo di Batipuah
ko kaha deknyo kasua adaik ko”
Artinya:
“kasua adaik ini tanda orang ber Mamak di Batipuah, sebab
kasua adaik ini merupakan kebesaran Mamak di Batipuah,
Jika ia tidak memiliki Mamak di Batipuah, maka apa
gunanya kasua adaik olehnya”

Dari hasil wawancara di atas dapat dilihat bahwasanya

makna kasua adaik bagi masyarakat Batipuah ialah tanda orang

68
A. Dt Bagindo Ratu, 68 th, Penghulu Pucuak, wawancara tanggal 17 Juli 2018
69
Amrizal Dt. Sampono Kayo, 61 th, Panungkek, wawancara tanggal 16 Juli 2018
57
memiliki Mamak di Batipuah. Pada hakikatnya kasua adaik

merupakan simbol kebesaran Niniak Mamak yang ada di Batipuah.

Setiap warga pendatang juga dibolehkan memiliki kasua adaik

dengan syarat sudah melengkapi syarat untuk mengaku bamamak

di Batipuah

F. Makna Simbol Kasua Adat Secara Etik

1. Stratifikasi Sosial

Kasua adaik melambangkan kedudukan penghulu di

Batipuah, kasua adaik ini memiliki makna bahwasanya ada yang

dihargai pada diri seorang penghulu. Hal ini terlihat pada tingkat-

tingkat yang terdapat pada kasua adaik. Keberadaan kasua adaik

pada rumah-rumah kemenakan penghulu ini mencerminkan adanya

stratifikasi sosial di Batipuah. seperti yang diungkapkan oleh Dedi

Surya70

“ manuruik da, sebagai anak mudo , da mancaliak


kasua adaik ko batingkek-tingkek, tu kalau 3
tingkek kasua adaik nyo kanakan panghulu andiko
nan punyo, kalau 4 tu tandonyo kanakan panghulu
pucuaknyo tu, bisa da simpulkan basonyo kasua
adaik ko manunjuak an ado stratifikasi di Batipuah
ko, dasar pambantuaknyo tu jabatan saurang
panghulu”
Artinya:

“menurut uda, sebagai anak muda,uda melihat


kasua adaik ini bertingkat-tingkat, setelah itu kalau
tiga tingkat kasua adaiknya kemenakan penghulu
andiko yang punya, kalau empat itu tandanya
kemenakan penghulu pucuak dia itu, bisa uda
simpulkan bahwasanya kasua adaik ini menunjukan

70
Dedi Surya, 24 th, Ketua Pemuda, wawancara 21 Juli 2018
58
ada stratifikasi di Batipuah ini, dasar pembentukan
stratifikasi nya yaitu jabatan seorang penghulu”

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wiwid Febriani71

“kasua adaik ko mancaliak an baa status panghulu


di Batipuah, samakin tinggi kasua adaik nyo
samakin gadang kekuasaannyo dan samakin
diharagoi di masyarakaik”
Artinya:
“kasua adaik ini memperlihatkan bagaimana status
Penghulu di Batipuah, semakin tinggi kasua
adaiknya semakin besar kekuasaannya dan semakin
dihargai di masyarakat”

Bertolak dari ungkapan diatas dapat dilihat bahwasanya

kasua adaik mencermikan adanya stratifikasi sosial di Batipuah,

hal ini terlihat pada tingkatan-tingkatan kasua adaik yang

mencerminkan posisi seorang penghulu didalam suatu kaum. Dasar

pembentukan stratifikasinya yaitu jabatan, kekuasaan, dan

keturunan. Stratifikasi yang ada di Batipuah ini bersifat tertutup,

dimana jabatan seorang penghulu akan otomatis turun ke

kemenakannya. Seperti yang diungkapkan oleh Bustamam72

“gala panghulu ko ndak buliah dilakek an ka


sumbarang urang do, karano nan berhak manarimo
gala panghulu tu iyolah kamanakannyo sandiri,
karano Batipuah manganuik lareh koto pili mako
gala panghulu nan baru alun buliah dilakekan
sabalum panghulu nan lamo maningga”
Artinya:
“gelar penghulu ini tidak boleh diberikan kepada
sembarang orang, karena yang berhak menerima
gelar penghulu iyalah kemenakannya sendiri, karena
Batipuah menganut Kelarasan Koto Piliang maka
gelar penghulu yang baru belum boleh diberikan
sebelum penghulu yang lama meninggal”
71
Wiwid Febriani, 32 th , staff di Kantor Wali Nagari Batipuah Baruah. Wawancara tanggal 02
Juni 2018
72
Bustamam Dt. Sidi Mangkuto, 60 th , tuo kampuang wawancara 17 Juli 2018
59
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat disimpulkan

bahwasanya keberadaan kasua adaik menyiratkan adanya

stratifikasi di Batipuah. Stratifikasi ini dipengaruhi oleh jabatan,

kekuasaan dan kedudukan, hal ini tidak terlepas dari kelarasan

yang dianut oleh masyarakat Batipuah bahwa Batipuah menganut

Sistem Kelarasan Koto Piliang. Sistem kelarasan ini

mempengaruhi sistem kepemimpinan tradisional yang ada di

Batipuah, dimana penghulu memiliki tingkatan-tingkatan didalam

masyarakat. Pemegang kekuasaan tertinggi berada di tangan

Penghulu Pucuak.

2. Identitas Masyarakat Batipuah

Kasua adaik merupakan identitas masyarakat Batipuah. karena

kasua adaik hanya dapat ditemukan di Batipuah, hal yang dipahami

oleh masyarakat setempat yaitu bahwasanya dari 8 Nagari yang ada

di Kecamatan Batipuh, hanya 2 Nagari yang memiliki kasua adaik.

Hal ini diungkapkan oleh Rosnaili73

“kasua adaik ko di Batipuah Ateh Batipuah Baruah


se nan ado nyo, salain dari itu ndak punyo kasua
adaik do, satalah itu kasua adaik ko marupokan
tando awak ko urang Batipuah, enek kalau ndak
ado kasua adaik talatak dirumah nek, malu nek
rasonyo, raso ndk urang batipuah rasonyo do”
Artinya:
“kasua adaik ini hanya ada di Batipuah Ateh dan
Batipuah Baruah, selain dariitu tidak punya kasua
adaik. Setelah itu kasua adaik ini merupakan tanda
kita orang Batipuah, nenek kalau tidak ada kasua

73
Rosnaili, 49 th, masyarakat biasa, wawancara 12 Juli 2018
60
adaik terletak dirumah nek, malu nek deknyo, raso
ndak urang Batipuah rasonyo”

Hal senada juga diungkapkan oleh yanti74

“kasua adaik ko tando urang batipuah ko mah,


malu wak kalau ndak ado kasua adaik dirumah
wak, tek waktu tu ndak lo bakasua adaik do, tu etek
utangan pitih untuak mambuek kasua adaik ko”

Artinya:
“kasua adaik ini adalah tanda orang Batipuah, malu
kita kalau tidak ada kasua adaik di rumah kita, etek
waktu itu tidak punya kasua adaik, terus etek
berhutang untuk membuat kasua adaik”

Dari wawancara diatas dapat peneliti ambil kesimpulan

bahwasanya kasua adaik merupakan identitas masyarakat Batipuah.

Jika berbicara mengenai kasua adaik dikhalayak ramai, orang-

orang pasti biacara kalau kasua adaik itu tanda orang Batipuah,

seperti yang diungkapkan oleh Epi75

“tentang a penelitian e, tu peneliti jawek, tentang


kasua adaik, oo kasue adek, ka Tipuah Ateh Tipuah
Baruah batanyo ndak e tu, sabok disinan nan ado
kasue adek nyo”
Artinya:
“tentang apa penelitian nya, terus peneliti jawab,
tentang kasua adaik, ke Batipuah Ateh Batipuah
Baruah bertanya hendaknya, sebab disitu yang ada
kasua adaik”

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Yulimar76

74
Yanti, 43 th, masyarakat biasa, 22 Juli 2018
75
Epi, disini peneliti tidak memasukkan buk epi ke daftar informan karena peneliti hanya
bercengkrama sesaat dengan ibuk epi pada saat peneliti naik mobil Pita Bunga Jurusan Padang
Panjang-Tanjung Mutiara saat itu bertepatan pada hari Jumat tanggal 20 Juli 2018 pukul 10.00
pagi dimana peneliti akan pergi ke kantor Wali Nagari Batipuah Baruah untuk mewawancarai
Mardalis Dt.Itam
76
Yulimar, disini peneliti tidak memasukkan buk yulimar ke daftar informan karena peneliti hanya
bercengkrama sesaat dengan ibuk yulimar pada saat peneliti bercengkrama dengan buk epi, setelah
saling bertanya ternyata buk yulimar ini bertempat tinggal di pitalah pada hari Jumat tanggal 20
Juli 2018 pukul 10.00 pagi dimana peneliti akan pergi ke kantor Wali Nagari Batipuah Baruah
untuk mewawancarai Mardalis Dt.Itam
61
“batua tu, kasua adaik tu di Batipuah Ateh
Batipuah Baruah senyo, Pitalah kan masuak
kecamatan Batipuah lo tu, pi ndak do pitalah makai
kasua adaik tu do”
Artinya:
Betul itu, kasua adaik itu hanya ada di Batipuah
Ateh dan Batipuah Baruah, Pitalah kan juga masuk
kecamatan Batipuah, tapi tidak ada pitalah memakai
kasua adaik”
Bertolak dari hasil wawancara di atas, peneliti memahami

bahwasanya kasua adaik merupakan milik bersama Nagari

Batipuah Ateh dan Batipuah Baruah, dimana hanya daerah

tersebutlah yang memiliki kasua adaik. Bisa disimpulkan

bahwasanya kasua adaik ini merupakan identitas dari masyarakat

Batipuah

3. Tando lai baMamak

Makna ketiga yang di pahami mengenai kasua adaik yaitu

jika sebuah keluarga memiliki kasua adaik, tandanya ia memiliki

mamak di Batipuah. Seperti yang di sampaikan oleh Ernawati77

“kasua adaik tu tando lai ba mamak nyo di


Batipuah tu, urang pandatang ndak buliah
sumbarang-sumbarang se malakek an kasua adaik
ko do, harus mangaku bamamak nyo ka Batipuah
lu”
Artinya:
“ kasua adaik ini tanda lai ba mamak di Batipuah,
orang pendatang tidak boleh sembarang memakai
kasua adaik dirumahnya, mereka harus mengaku ba
mamak ke Batipuah”

Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Jumi78.

“kasua adaik ko nak, tando nyo lai ba mamak wak


d kampuang nak, kalau urang pandatang nyo, ndak

77
Ernawati, 57 th, Masyarakat biasa, wawancara tanggal 03 Juni 2018
78
Jumi Adriani, 46 th, Masyarakat Biasa, wawancara 27 Mei 2018
62
buliah nyo mamakaian kasua adaik dirumahnyo do,
sabab kasua adaik ko bukan pakaian inyo, lah
mangaku bamamaknyo baru bisa dilakek an kasua
adaik dirumahnyo”
Artinya:

“kasua adaik ini nak, tanda punya mamak di


kampung nak, kalau orang pendatang nyo, tidak
boleh dia memakai kan kasua adaik dirumahnya,
sebab kasua adaik ini bukan pakaian dia, sudah
mengaku ba mamak dia, baru dia bisa memasang
kasua adaik dirumahnya”
Dapat disimpulkan bahwasanya orang yang tinggal di

Batipuah akan tetapi belum mengaku ba mamak maka ia belum

bisa memasang kasua adaik dirumahnya. Karena menurut peneliti

pada dasarnya kasua adaik merupakan kebesaran Niniak Mamak

yang ada di Batipuah. Jadi yang berhak memiliki kasua adaik ialah

kemenakan Niniak Mamak itu sendiri.

Geertz mengungkapkan bahwasanya kebudayaan dilihat

sebagai sistem yang saling terkait sebagai tanda-tanda yang dapat

ditafsirkan, dengan kata lain kebudayaan merupakan sebuah

konteks, dan sesuatu di dalamnya yang dapat dijelaskan secara

mendalam79. Geertz juga memandang manusia sebagai pembawa

dan produk, sebagai subjek sekaligus objek, dari suatu sistem tanda

dan simbol yang berlaku sebagai sarana komunikasi untuk

menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan. Simbol memberikan

landasan bagi tindakan dan prilaku selain gagasan dan nilai-nilai80.

79
Clifford, Geertz. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius. Hal 17
80
Ibid., hal. 291
63
Bagi masyarakat Batipuah keberadaan kasua adaik sebagai

sebuah simbol yang memiliki makna. Makna yang terkandung

dalam kepemilikan kasua adaik yaitu (1) adanya stratifikasi sosial

(2) sebagai identitas masyarakat Batipuah dan (3) sebagai tanda lai

ba mamak di Batipuah.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kasua adaik merupakan sebuah atribut adat yang ada di rumah-

rumah penduduk di Batipuah. Kasua adaik pada dasarnya bukan

berbentuk kasur biasa, akan tetapi berbentuk seperti peti persegi

panjang yang bertingkat-tingkat. Kasua adaik dianggap sebagai simbol

kebesaran Niniak Mamak di Nagari Batipuah. Bagi masyarakat

Batipuah keberadaan kasua adaik sebagai sebuah simbol yang

memiliki makna. Makna yang terkandung dalam kepemilikan kasua

adaik yaitu (1) adanya stratifikasi sosial (2) sebagai identitas

masyarakat Batipuah dan (3) sebagai tanda lai ba mamak di Batipuah.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah di lakukan mengenai kasua

adaik di Nagari Batipuah, peneliti memberi saran. Pertama, kepada

peneliti selanjutnya hendaklah dapat melakukan penelitianlebih

mendalam lagi mengenai kasua adaik ini. Kedua, kepada KAN


64
setempat agar lebih banyak membuat dokumen mengenai adat-adat

tentang nagari Batipuah, agar pengetahuan mengenai adat ini dapat

diturunkan ke anak dan cucu dikemudian hari

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal. 2014. “Metode Penelitian Kualitatif”. Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada.

Anggraini, Tuti. (2013). “Suntiang Bungo Sanggua dan Saluak dalam Upacara
Kematian di Nagari Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok”.
Skripsi: Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri
Padang.

Emzir. 2010. “Analisis Data: Metode Penelitian Kualitatif”. Jakarta : PT Raja


Grafindo Persada.

Endraswara, Suwardi. 2102. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:


Gajah Mada University Press.

Ibrahim, Anwar. 1984, Arti Lambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam
Menanamkan Nilai-nilai Budaya Provinsi Sumatera Barat, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta. Kanisius.

Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Waris Adat. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti

Ibrahim. 2009. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Kristal Multimedia.

Koentjaraningrat. 2002, Pengantar Antropologi II: Pokok- pokok Etnografi,


Jakarta: PT Rineka Cipta

65
Martono, Nanang. 2016. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Mochtar Naim. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta:


UGM Press.

MS, Amir. 2007. Masyarakat Adat Minangkabau. Jakarta: Citra Harta Prima.

Oktavia, Reni. (2005). “Makna Simbolik Pemakaian Kain Songket Bagi


Masyarakat Nagari Pandai Sikek”. Skripsi: Jurusan Sosiologi. Fakultas
Ilmu Sosial. Universitas Negeri Padang.

Saifuddin, Ahmad F. 2005. Antropologi Kontemporer. Jakarta. Kencana.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:


Alfabeta
Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial Berbagai
Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Syam, Nur. 2007. Mahzab-mahzab Antropologi. Yogyakarta: LkiS

Zainuddin, Musyair. 2008. Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkan Hak


Asal Usul Adat Minangkabau. Yogyakarta: Ombak

66
67

Anda mungkin juga menyukai