Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN ARDS

STASE KEPERAWATAN GADAR DAN KRITIS

Oleh:
Yanuar Andani
20300030

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
CITRA DELIMA BANGKA BELITUNG
2020
1. Definisi

Acute Respiratory Distress Sydrome (ARDS) merupakan suatu kondisi


kegawat daruratan di bidang pulmonology yang terjadi karena adanya
akumulasi cairan di alveoli yang menyebabkan terjadinya gangguan
pertukaran gas sehingga distribusi oksigen ke jaringan menjadi berkurang.
Definisi ARDS mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Adult
Respiratory Distress Syndrome didefinisikan pertama kali tahun 1994 oleh
AECC (American-European Consensus Conference). Definisi ARDS menurut
AECC adalah:
1. Gagal napas dengan onset yang bersifat akut
2. Rasio PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg
3. Infiltrat bilateral pada foto toraks, tanpa adanya bukti edema paru
kardiogenik.
4. Pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) ≤ 18 mmHg atau
tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan pada atrium kiri.
Derajat hipoksemia untuk membuat diagnosis ARDS ditentukan dengan rasio
tekanan parsial oksigen pada darah arteri (PaO2) dengan fraksi oksigen pada
udara inspirasi (FiO2). Nilai PaO2 didapat dari hasil pemeriksaan analisis gas
darah dengan memperhatikan berapa liter oksigen yang diberikan saat
pengambilan spesimen darah. Fraksi oksigen didapat dengan memperhatikan
jumlah oksigen yang diberikan. Dengan pemberian oksigen binasal setiap 1
liter akan akan meningkatkan FiO2 4 % dan nilai tersebut ditambahkan
dengan nilai FiO2 pada room air yang besarnya 21 %. Dengan pemberian
oksigen melalui simple mask dimana oksigen yang diberikan 8-10 liter maka
besarnya FiO2 adalah 100 %. Kriteria ARDS menurut AECC adalah bila
didapatkan perbandingan PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg, sedangkan bila
perbandingan PaO2/FIO2 ≤ 300 mmHg sesuai dengan ALI (Acute Lung Injury).
Dalam penggunaan kriteria AECC tersebut, terdapat beberapa
keterbatasan sehingga definisi ARDS diperbaharui di tahun 2011 dalam
Kriteria Berlin. Berdasarkan Kriteria Berlin, ARDS didefinisikan berdasarkan
waktu, gambaran foto toraks, penyebab edema paru, dan derajat hipoksemia.
Definisi ARDS berdasarkan Kriteria Berlin dapat dilihat pada tabel 1. Pada
kriteria Berlin, PAWP tidak digunakan
lagi dalam kriteria diagnosis, demikian juga dengan terminologi ALI dan
digantikan dengan pembagian subgroup ARDS berdasarkan tingkat keparahan
hipoksemia1.
Tabel 1. Definisi ARDS
berdasarkan Kriteria Berlin, 2011

Acute Respiratory Distress Syndrome


Waktu Gejala respirasi yang baru dirasakan maupun yang memberat, terjadi
dalam 1
minggu
Foto toraks Opasitas bilateral, bukan disebabkan oleh efusi, atelektasis maupun
nodul paru
Sumber edema Disebabkan oleh kegagalan respirasi, bukan disebabkan karena gagal
jantung
maupun kelebihan cairan
Derajat
hipoksemia
Ringan 200 mmHg < PaO2/FIO2 ≤ 300 mmHg dengan PEEP atau CPAP ≥ 5
cmH2O
Sedang 100 mmHg < PaO2/FIO2 < 200 mmHg dengan PEEP > 5 cmH2O
Berat PaO2/FIO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥ 5 cmH2O

2. Etiologi dan Faktor Risiko

Adult Respiratory Distress Syndrome dapat disebabkan karena


inflamasi, infeksi, gangguan vaskular dan trauma di intratorakal maupun
ekstratorakal. Menentukan etiologi ARDS sangat penting secara klinis agar
dapat dilakukan tatalaksana dengan tepat. Acute Respiratory Distress
Syndrome dapat disebabkan oleh mekanisme langsung di paru maupun
mekanisme tidak langsung di luar paru. Etiologi ARDS akibat kelainan
primer paru dapat terjadi akibat aspirasi, pneumonia, inhalasi toksik,
kontusio paru, sedangkan kelainan ektraparu terjadi akibat sepsis,
pankreatitis, transfusi darah, trauma dan penggunaan obat-obatan
seperti heroin (table 2). Penyebab ARDS terbanyak adalah akibat pneumonia
baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, maupun jamur, dan penyebab
terbanyak selanjutnya adalah sepsis berat akibat infeksi lain di luar paru2,3.
Beberapa faktor risiko yang diketahui dapat meningkatkan terjadinya
ARDS adalah usia tua, jenis kelamin perempuan (terutama pada kasus
trauma), riwayat merokok, dan riwayat alkoholik. Skor APACHE (Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation) yang semakin besar juga
meningkatkan risiko kejadian ARDS. Saat ini faktor risiko yang sedang
dipelajari adalah faktor risiko genetik yaitu asosiasi antara variasi gen (gen
FAS) dengan tingkat kejadian ARDS

Tabel 2. Etiologi ARDS

Kerusakan Paru Langsung Kerusakan Paru Tidak Langsung


Pneumonia Sepsis
Aspirasi cairan Traum
lambung Kontusio a
paru Fraktur
Near drowning multipel Flail
Trauma inhalasi chest Trauma
kepala Luka
bakar
Transfusi
Overdosis
obat
Pankreatitis
Pasca bypass kardiopulmonal

3. Manifestasi Klinik

Gejala ARDS dapat berbeda-beda pada setiap penderitanya, tergantung


penyebab, tingkat keparahan, dan apakah ada penyakit lain yang diderita,
seperti penyakit jantung atau penyakit paru-paru.
Beberapa gejala dan tanda yang dapat muncul pada penderita ARDS adalah:

 Napas pendek dan cepat


 Sesak napas
 Tekanan darah rendah (hipotensi)
 Tubuh terasa sangat lelah
 Keringat berlebih
 Bibir atau kuku berwarna kebiruan (sianosis)
 Nyeri dada
 Denyut jantung meningkat (takikardia)
 Batuk
 Demam
 Sakit kepala atau pusing
 Bingung
4. Anatomi fisiologi

1. Anatomi

Gambar 1

Anatomi sistem pernafasan


(Tarwoto & Ratna Ayani, 2009)

a. Hidung

Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang

pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat

hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk

menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.

b. Faring

Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan


pernapasan dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di

belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher.

Hubungan faring dengan organ-organ lain adalah ke atas berhubungan

dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama koana,

ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini

bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2 lubang (ke depan lubang

laring dan ke belakang lubang esofagus).

c. Laring

Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan

bertindak sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring

sampai ketinggian vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di

bawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang

tenggorokan yang biasanya disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-

tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi

laring.

d. Trakea

Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring

yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang

rawan yang berbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi

oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya

bergerak ke arah

luar. Panjang trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan


ikat yang dilapisi oleh otot polos.

e. Bronkus

Gambar 2

Anatomi sistem pernafasan


(Tarwoto & Ratna Ayani, 2009)

Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari

trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV

dan V, mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis

set yang sama. Bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah

tampuk paru-paru. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar dari pada

bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri

lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin

mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil

disebut bronkiolus (bronkioli).

Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung bronkioli

terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli.

Bronkus pulmonaris, trakea terbelah menjadi dua bronkus utama :


bronkus ini bercabang lagi sebelum masuk paru-paru. Dalam

perjalanannya menjelajahi paru-paru bronkus-bronkus pulmonaris

bercabang dan beranting lagi banyak sekali. Saluran besar yang

mempertahankan struktur serupa dengan yang dari trakea mempunyai

diinding fibrosa berotot yang mengandung bahan tulang rawan dan

dilapisi epitelium bersilia. Makin kecil salurannya, makin berkurang tulang

rawannya dan akhirnya tinggal dinding fibrosa berotot dan lapisan silia.

Bronkus terminalis masuk kedalam saluran yang agak lain yang disebut

vestibula, dan disini membran pelapisnya mulai berubah sifatnya: lapisan

epitelium bersilia diganti dengan sel epitelium yang pipih.

Dari vestibula berjalan beberapa infundibula dan didalam

dindingnya dijumpai kantong-kantong udara itu. kantong udara atau

alveoli itu terdiri atas satu lapis tunggal sel epitelium pipih, dan disinilah

darah hampir langsung bersentuhan dengan udara suatu jaringan

pembuluh darah kapiler mengitari alveoli dan pertukaran gas pun terjadi.

Pembuluh darah dalam paru-paru. Arteri pulmonaris membawa darah

yang sudah tidak mengandung oksigen dari ventikel kanan jantung ke

paru-paru; cabangcabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial,

bercabang-cabang lagisampai menjadi arteriol halus; arteriol itu

membelah belah dan membentuk jaringan kapiler dan kapiler itu

menyentuh dinding alveoli atau gelembung udara.

Kapiler halus itu hanya dapat memuat sedikit, maka praktis dapat

dikatakan sel-sel darah merah membuat garis tungggal. Alirannnya

bergerak lambat dan dipisahkan dari udara dalam alveoli hanya oleh dua
membrane yang sangat tipis, maka pertukaran gas berlangsung dengan

difusi, yang merupakan fungsi pernafasan. Kapiler paru-paru bersatu dan

bersatu lagi sampai menjadi pembuluh darah lebih besar dan akhirnya dua

vena pulmonaris meninggalkan setiap paru-paru membawa darah berisi

oksigen ke atrium kiri jantung untuk didistribusikan keseluruh tubuh

melalui aorta.

Pembuluh darah yang dilukiskan sebagai arteri bronkialis

membawa darah berisi oksigen langsung dari aorta toraksika ke paru-paru

guna memberi makan dan menghantarkan oksigen kedalam jaringan paru-

paru sendiri. Cabang akhir arteri-arteri ini membentuk pleksus kapiler

yang tampak jelas dan terpisah dari yang terbentuk oleh cabang akhir

arteri pulmonaris, tetapi beberapa dari kapiler ini akhirnya bersatu dalam

vena pulmonaris dan darahnya kemudian dibawa masuk ke dalam vena

pulmonaris. Sisa darah itu dihantarkan dari setiap paru-paru oleh vena

bronkialis dan ada yang dapat mencapai vena cava superior. Maka dengan

demikian paru-paru mempunyai persendian darah ganda.

f. Paru-paru

Paru-paru ada dua, merupakan alat pernfasan utama. Paru-paru

mengisi rongga dada. Terletak disebelah kanan dan kiri dan ditengah

dipisahkan oleh jantung beserta pembuluh darah besarnya dan struktur

lainnya yang terletak didalam media stinum. Paru-paru adalah organ

yang berbentuk kerucut dengan apeks (puncak) diatas dan sedikit muncul

lebih tinggi daripada clavikula didalam dasar leher. Pangkal paru-paru

duduk diatas landau rongga thoraks, diatas diafraghma. Paru-paru


mempunyai permukaan luar yang menyentuh iga-iga, permukaan dalam

yang memutar tampuk paruparu, sisi belakang yang menyentuh tulang

belakang, dan sisi depan yang menutup sebagian sisi depan jantung.

Paru-paru dibagi menjadi beberapa belahan atau lobus oleh fisura. Paru-

paru kanan mempunyai tiga lobus dan paru-paru kiri dua lobus. Setiap

lobus tersusun atas lobula. Jaringan paru-paru elastis, berpori, dan

seperti spons.

Paru- paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar

terdiri dari gelembung-gelembung (gelembung hawa = alveoli).

Gelembung- gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel.

Jika dibentukan luas permukaannya lebih kurang 90 m² pada lapisan

inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk kedalam darah dan CO2

dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih

700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).

Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) :

1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), lobus

pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior.

Tiap lobus tersusun oleh lobus.

2. Paru-paru kiri, terdiri dari, pulmo sinister lobus superior

dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-

belahan yang lebih kecil bernama segment.

Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segmen

pada lobus superior, dan; 5 (lima) buah segmen pada inferior. Paru-paru
kanan mempunyai segmen 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segmen pada

lobus superior; 2 (dua) buah segmen [pada lobus medialis, dan 3 (tiga)

buah segmen pada lobus interior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi

menjadi belh-belahan yang bernama lobulus.

Diantara lobules satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan

ikal yang berisi pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf,

dalam tiap-tiap lobules terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobules,

bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini

disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus

yang diameternya antara 0,2 – 0,3 mm.

Letak paru-paru

Pada rongga paru-paru datarannya menghadap ketengah rongga

dada/ kavum mendiastinum. Pada bagian tengah itu terdapat lampuk

paru-paru atau hilus. Pada mendiastinum depan terletak jantung. Paru-

paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi

2(dua):

1. Pleura viresal (selaput dada pembungkus) yaitu selaput

paru yang langsung membungkus paru-paru.

2. Pleura pariental yaitu selaput yang melapisi rongga dada

sebelah luar.

Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut

kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum/hampa


udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat

sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya

(pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada

dimana sewaktu bernapas bergerak.

Pembuluh darah pada paru-paru.

Sirkulasi pulmonar berasal dari ventrikel kanan yang tebal dinding

1/3 dan tebal ventrikel kiri, Perbedaan ini menyebabkan kekuatan

kontraksi dan tekanan yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan

dengan tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi ventrikel kiri. Selain

aliran melalui arteri

pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke paru-paru dad aorta

melalui arteri bronkialis. Darah ini adalah darah "kaya oksigen" (oxyge-

nated) dibandingkan dengan darah pulmonal yang relatif kekurangan

oksigen.

Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri

pulmonalis membawa darah yang sedikit mengandung 02 dari ventrikel

kanan ke paru-paru. Cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran

bronkial sampai ke alveoli halus. Alveoli itu membelah dan membentuk

jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu menyentuh dinding alveoli

(gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya dipisahkan oleh dinding

kapiler.

Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi

vena pulmonalis dan sejajar dengan cabang tenggorok yang keluar


melalui tampuk paru-paru ke serambi jantung kiri (darah mengandung

02), sisa dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-paru oleh vena

bronkialis dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka dengan

demikian paru-paru mempunyai persediaan darah ganda.

Kapasitas paru-paru merupakan kesanggupan paru-paru dalam

menampung udara didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan

sebagai berikut:

1. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi

paru-paru pada inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal

ini angka yang kita dapat tergantung pada beberapa hal:

Kondisi paru-paru, umur, sikap dan bentuk seseorang,

2. Kapasitas vital. Yaitu jumlah udara yang dapat

dikeluarkan setelah ekspirasi maksima.l Dalam keadaan

yang normal kedua paru-paru dapat menampung udara

sebanyak ± 5 liter

3. Waktu ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3


liter udara.

Pada waktu kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam

paru- paru 2.600 cm3 (2 1/2 liter)

4. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang

dewasa: 16 - 18 x/menit, Anak-anak kira-kira: 24

x/menit, Bayi kira-kira : 30 x/menit, Dalam keadaan


tertentu keadaan tersebut akan berubah, misalnya akibat

dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah cepat dan

sebaliknya.

Beberapa hal yang berhubungan dengan pernapasan; bentuk

menghembuskan napas dengan tiba-tiba yang kekuatannya luar biasa,

akibat dari salah satu rangsangan baik yang berasal dari luar bahan-

bahan kimia yang merangsang selaput lendir di jalan pernapasan. Bersin.

Pengeluaran napas dengan tiba-tiba dari terangsangnya selaput lendir

hidung, dalam hal ini udara keluar dari hidung dan mulut.

2. Fisiologi

Fungsi paru-paru ialah pertukaran gas oksigen dan karbondoksida.

Pada pernafasan melalui paru-paru atau pernafasan eksterna, oksigen

dipungut melalui hidung dan mulut pada waktu bernafas; oksigen masuk

melalui trakea dan pipa bronkial ke alveoli, dan dapat behubungan erat

dengan darah didalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapisan membran,

yaitu membran alveoli kapiler, yang memisahkan oksigen dari darah.

Oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin

sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa didalam arteri

kesemua bagian tubuh. Dan meninggalkan paru-paru pada tekanan

oksigen 100 mmHg dan pada tingkat ini hemoglobinnya 95% jenuh

oksigen.

Di dalam paru-paru, karbondioksida, salah satu hasil buangan

metabolisme, menembus membran alveoler kapiler darah ke alveoli, dan


setelah melalui pipa bronkial dan trakea, dinapaskan keluar melalui

hidung dan mulut. Empat proses yang berhubungan dengan pernafasan

pulmoner atau pernafasan eksterna :

1. Ventilasi pulmoner, atau gerak pernafasan yang

menukar udara dalam alveoli dengan udara luar.

2. Arus darah melalui paru-paru.

3. Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian

sehingga dalam jumlah tepat dapat mencapai semua

bagian tubuh.

4. Difusi gas yang menembusi membran pemisah alveoli

dan kapiler, CO2 lebih mudah berdifusi daripada

oksigen.

Semua proses ini diatur sedemikian sehingga darah yang

meninggalkan paru-paru menerima jumlah tepat CO2 dan O2. Pada

waktu gerak badan, lebih banyak darah datang di paru-paru membawa

terlalu banyak CO2 dan terlampau sedikit O2; jumlah CO2 itu tidak dapat

dikeluarkan, maka konsentrasinya dalam darah arteri bertambah. Hal ini

merangsang pusat pernafasan dalam otak untuk memperbesar

kecepatan dan dalamnya pernafasan. Penambahan ventilasi ini

mengeluarkan CO2 dan memungut lebih banyak O2.

Pernafasan jaringan atau pernafasan interna, darah yang telah

menjenuhkan hemoglobinnya dengan oksigen (oksihemoglobin)

mengitari seluruh tubuh dan akhirnya mencapai kapiler, di mana darah


bergerak sangat lambat. Sel jaringan memungut oksigen dari hemoglobin

untuk memungkinkan oksigen berlangsung, dan darah menerima,

sebagai gantinya, hasil buangan oksidasi, yaitu karbondioksida.

Perubahan-perubahan berikut terjadi pada komposisi udara dalam

alveoli, yang disebabkan pernafasan eksterna dan pernafasan eksterna

dan pernafasan interna atau pernafasan jaringan. Udara yang

dihembuskan jenuh dengan uap air dan mempunyai suhu yang sama

dengan badan (20 persen panas badan hilang untuk pemanasan udara

yang dikeluarkan).

Daya muat udara oleh paru-paru,besar daya muat udara oleh

paru-paru ialah 4.500 ml sampai 5000 ml atau 4½ sampai 5 liter udara.

Hanya sebagian kecil dari udara ini, kira-kira 1/10-nya atau 500 ml adalah

udara pasang surut (tidal air ), yaitu yang dihirup masuk dan diembuskan

keluar pada pernafasan biasa dengan tenang.Kapasitas vital,volume

udara yang dapat dicapai masuk dan keluar paru-paru pada penarikan

napas paling kuat disebut kapasitas paruparu. Diukurnya dengan alat

spirometer. Pada seorang laki-laki, normal 4-5 liter dan pada seorang

perempuan ,3-4 liter. Kapasitas itu berkurang pada penyakit paru-paru,

penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti paru- paru), dan

kelemahan otot pernafasan.

5. Patofisiologi

Kelainan utama pada ARDS adalah adanya inflamasi yang disebabkan


oleh aktivasi neutrophil, dan untuk mengerti patogenesisnya perlu
diperhatikan hal-hal berikut 3,4:
1. Faktor-faktor yang menyebabkan akumulasi cairan di interstitial paru
dan di distal alveolus
2. Mekanisme yang mengganggu reabsorpsi cairan edema

Berdasarkan karakteristik gambaran histopatologinya, ARDS dibagi


menjadi 3 fase seperti tampak pada gambar 1 yaitu:
1. Fase akut (hari 1-6) = tahap eksudatif
- Edema interstitial dan alveolar dengan akumulasi neutrofil,
makrofag, dan sel darah merah
- Kerusakan endotel dan epitel alveolus
- Membran hialin yang menebal di alveoli
2. Fase sub-akut (hari 7-14) = tahap fibroproliferatif
- Sebagian edema sudah direabsorpsi
- Proliferasi sel alveolus tipe II sebagai usaha untuk memperbaiki
kerusakan
- Infiltrasi fibroblast dengan deposisi kolagen
3. Fase kronis (setelah hari ke-14) = tahap resolusi
- Sel mononuclear dan makrofag banyak ditemukan di alveoli
- Fibrosis dapat terjadi pada fase ini

Gambar 1. Fase ARDS

Proses terjadinya ARDS melibatkan kerusakan pada endotel


kapiler paru dan sel epitel alveolus karena produksi mediator
proinflamasi lokal maupun yang terdistribusi melalui arteri
pulmonalis. Hal ini menyebabkan hilangnya integritas barrier alveolar-
kapiler sehingga terjadi transudasi cairan edema yang kaya protein.
(Gambar 2)2-5.
1. Kerusakan endotel kapiler paru
Kerusakan endotel kapiler paru berperan dalam terjadinya
ARDS. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan permeabilitas
vaskular meningkat sehingga terjadi akumulasi cairan yang kaya akan
protein. Kerusakan endotel ini dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme. Mekanisme yang utama adalah terjadinya kerusakan paru
melalui keterlibatan netrofil.
Pada ARDS (baik akibat infeksi maupun non-infeksi)
menyebabkan neutrofil terakumulasi di mikrovaskuler paru. Neutrofil
yang teraktivasi akan berdegranulasi dan melepaskan beberapa
mediator toksik yaitu protease, reactive oxygen species, sitokin pro-
inflamasi, dan molekul pro-koagulan. Mediator-mediator inflamasi
tersebut menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan
hilangnya fungsi endotel yang normal. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan di interstitial dan alveoli.
Selain neutrofil dalam patogenesis ARDS, platelet juga
mempunyai peran yang penting. Studi yang ada membuktikan efek
sinergisme antara platelet dengan neutrofil yang menyebabkan
kerusakan paru.

2. Kerusakan epitel alveoli


Dalam patogenesisnya kerusakan endotel saja tidak cukup
menyebabkan ARDS. Kerusakan sel epitel alveoli juga merupakan
faktor yang penting. Neutrophil berperan dalam meningkatkan
permeabilitas paraselular pada ARDS. Dalam keadaan normal
neutrophil dapat melintasi ruang paraselular dan menutup kembali
intercellular junction sehingga barrier epitel dan ruang udara di distal
alveoli tetap utuh. Pada kondisi patologis neutrofil dalam jumlah besar
dapat merusak epitel alveoli melalui mediator inflamasi yang dapat
merusak intercellular junction dan melalui mekanisme apoptosis atau
nekrosis sel epitel.
Sel alveolus tipe I (yang menyusun 90% epitel alveoli)
merupakan jenis sel yang paling mudah rusak. Kerusakan sel tersebut
menyebabkan masuknya cairan ke dalam alveoli dan menurunnya
bersihan cairan dari rongga alveoli. Sel tipe II bersifat tidak mudah
rusak dan memiliki fungsi yang penting dalam memproduksi surfaktan,
transport ion, dan lebih lanjut
dapat berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel alveoli tipe I.
Kerusakan pada kedua sel tersebut menyebabkan penurunan produksi
surfaktan dan penurunan elastisitas paru.

3. Resolusi dari inflamasi dan edema alveoli


Pada tahap awal resolusi ARDS ditandai dengan pembersihan
cairan edema dari rongga alveoli, dimana cairan tersebut akan
direabsorpsi ke sistem limfatik paru, mikrosirkulasi paru dan rongga
pleura. Pembersihan cairan edema dari rongga alveoli membutuhkan
transport aktif sodium dan klorida yang akan membuat gradient
osmosis sehingga air dapat direabsorpsi. Pada kondisi ARDS,
pembuangan cairan edema dari alveoli terjadi lebih lambat karena
epitel alveoli mengalami kerusakan.

Gambar 2. Perbandingan alveolus


normal dan alveolus pada ARDS6.

Disfungsi selular dan kerusakan yang terjadi pada ARDS berdampak pada:
- Ketidak sesuaian antara ventilasi (V) dan perfusi (Q)  V/Q
mismatching disertai dengan
shunting
- Hipertensi pulmonal
- Penurunan elastisitas paru (stiff lungs) dan hiperinflasi alveoli yang
tersisa
- Gangguan proses perbaikan paru yang normal  fibrosis paru pada
stadium lanjut
Pathway ARDS

6. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin timbul pada ARDS dan yang berkaitan dalam
tatalaksananya adalah :
1. Barotrauma akibat penggunaan PEEP atau CPAP yang tinggi
2. Komplikasi saluran napas atas akibat ventilasi mekanik jangka panjang
seperti edema laring dan stenosis subglotis
3. Risiko infesi nosokomial yang meningkat : VAP (Ventilator-
Associated Pneumonia), ISK, flebitis. Infeksi nosokomial tersebut
terjadi pada 55% kasus ARDS.
4. Gagal ginjal terutama pada konteks sepsis
5. Multisystem organ failure
6. Miopati yang berkaitan dengan blockade neuromuskular jangka panjang
7. Tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna dan anemia.

7. Pemeriksaan diagnostic
Untuk memastikan diagnosis dan penyebab, dokter akan melakukan sejumlah
pemeriksaan di bawah ini :
 Tes darah, untuk mengukur kadar oksigen dalam darah (analisa gas
darah) dan memeriksa kemungkinan anemia atau infeksi
 Rontgen dada, untuk melihat lokasi dan banyaknya penumpukan cairan
di dalam paru-paru, sekaligus mendeteksi kemungkinan pembesaran
jantung
 CT scan, untuk melihat kondisi paru-paru dan jantung dengan
gambaran yang lebih detail
 Ekokardiografi (USG jantung), untuk menilai kondisi dan struktur
jantung serta mendeteksi ada tidaknya gangguan fungsi jantung
 Elektrokardiogram (EKG), untuk melihat aktivitas kelistrikan jantung
dan  menyingkirkan kemungkinan gejala disebabkan oleh penyakit
jantung
 Kultur atau pemeriksaan sampel dahak, untuk mengetahui bakteri atau
mikroorganisme lain yang menyebabkan infeksi
 Biopsi atau pengambilan sampel jaringan dari paru-paru, untuk
menyingkirkan kemungkinan gejala disebabkan oleh penyakit paru-
paru selain ARDS

8. Tatalaksana

Walaupun tidak ada terapi yang spesifik untuk menghentikan proses inflamasi,
penanganan ARDS difokuskan pada 3 hal penting yaitu mencegah lesi paru
iatrogenik, mengurangi cairan dalam paru dan mempertahankan oksigenasi
jaringan. Ketiga hal tersebut harus selalu diupayakan dalam tatalaksana awal
ARDS (gambar 4).
Gambar 4. Algoritma Tatalaksana awal ARDS yang meliputi

ventilasi mekanik dini, oksigenasi, penanganan

asidosis dan diuresis

1. Terapi Umum

 Atasi penyakit yang mendasarinya (faktor predisposisinya)


 Sedasi dengan kombinasi opiat benzodiasepin, karena penderita akan
memerlukan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama. Berikan
dosis minimal yang masih memberikan efek sedasi yang adekuat.
 Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan
memberikan cairan, obat vasodilator/konstriktor, inotropic atau
diuretik.
2. Terapi Ventilasi4-6

 Ventilasi mekanik dengan intubasi endotrakeal merupakan terapi yang


mendasar pada penderita ARDS bila ditemukan laju nafas > 30x/menit
atau terjadi peningkatan kebutuhan FiO2
> 60% (dengan menggunakan simple mask) untuk mempertahankan
PaO2 sekitar 70 mmHg atau lebih dalam beberapa jam.
 Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik
disertai dengan PEEP untuk membantu mengembalikan cairan yang
tertimbun di alveoli dan mengatasi mikro-atelektasis sehingga akan
memperbaiki ventilasi dan perfusi (V/Q)
 Tergantung tingkat keparahannya maka penderita dapat diberi ventilasi
non-invasif seperti CPAP, BIPAP atau Positive Pressure Ventilation.
Metode ini tidak direkomendasikan bagi penderita dengan penurunan
kesadaran atau dijumpai adanya peningkatan kerja otot pernafasan
disertai peningkatan laju nafas dan peningkatan PCO2 darah arteri.
 Saat ini telah terbukti bahwa pemberian volume tidal 10 - 15 ml/kg
dapat mengakibatkan kerusakan bagian paru yang masih normal
sehingga dapat terjadi rupture alveolus, deplesi surfaktan dan
kerusakan pada membra alveolar-kapiler. Untuk menghindari hal
tersebut maka digunakan volume tidal yang rendah (6 ml/kg) dengan
tekanan puncak inspirasi < 35 cmH2O, plateu inspiratory pressure <
30 cmH2O serta pemberian PEEP antara 8-14 cm H2O untuk mencegah
atelektasis dan kolaps alveoli.
 Untuk memperkecil risiko barotrauma dapat dipakai mode Pressure
Control
 Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah) dipakai sebagai parameter
keberhasilan dan panduan terapi.
 Restriksi cairan dan diuresis yang cukup akan mengurangi peningkatan
tekanan hidrostatik di kapiler paru dan mengatasi kelebihan cairan paru
(lung water). Akan tetapi harus diingat bahwa dehidrasi yang
berlebihan akan menurunkan perfusi jaringan dan mencetuskan gagal
ginjal.
 Prone position akan memperbaiki V/Q karena akan mengalihkan
cairan darah sehingga tidak terjadi atelektasis.
 Inhalasi nitric oxide/prostasiklin akan menyebabkan dilatasi pembuluh
darah di paru sehingga secara nyata memperbaiki hipertensi pulmonal
dan oksigenasi arteri. Pemberian nitric oxide tidak akan berpengaruh
terhadap tekanan darah sistemik, namun demikian efek samping
subproduk NO berupa peroksi nitrit dapat menyebabkan kerusakan
pada jaringan paru. Oleh karena itu pengunaannya sangat ketat yaitu
pada keadaan ekstrem dimana terjadi hipoksemia akut yang refrakter
terhadap tindakan suportif yang diberikan.
4. Terapi penyakit dasar
Terapi penyakit dasar ARDS tergantung dari penyebabnya
dimana penyebab tersering adalah infeksi baik di paru maupun di luar
paru. Untuk infeksi paru sendiri karena ARDS merupakan bagian dari
kondisi sepsis yang berat maka dalam pemilihan antibiotik dianjurkan
dengan kombinasi dua antibiotik dari golongan yang berbeda yang
mempunyai efek antipseudomonas. Kombinasi tersebut misalnya dari
golongan sefalosporin yang mempunyai efek antipseudomonas
(seftasidim, sefoperazon) atau golongan karbapenem (imipenem,
meropenem) diberikan bersama dengan golongan kuinolon
(siprofloksasin, levofloksasin) atau dengan golongan aminoglikosid
(Amikin). Untuk meningkatkan angka keberhasilan pengobatan maka
antibiotik tersebut harus diberikan sedini mungkin (< 4 jam) sejak
diagnosis pneumonia ditegakkan. Untuk penyakit dasar lain yang
potensial dapat diatasi yaitu pada ARDS akibat overdosis obat yang
diatasi dengan pemberian antidotumnya bila ada, pada TB yang berat,
immune reconstitution inflamation syndrome (IRIS) dan juga pada
ARDS akibat infeksi pneumocystic jiroveci, pada semua keadaan
tersebut selain terapi untuk penyakit dasarnya diberikan juga terapi
tambahan dengan steroid.
II. ASUHAN KEPERAWATAN
 Skenario kasus
Seorang laki-laki berusia 56 tahun di rawat diruang icu RS Citra Deima. Pasien
dinyantakan positif Covid-19, saat ini kondisi pasien mengalmi penurunan
kesadaran. Psien terpasang ventilator PEEP 6 cmH2O. hasil pemeriksaan :
frekuensi pernafasan 30kali/menit, suhu 39 c, Saturasi Oksigen (SpO2) 93% pada
udara kamar, ada retraksi otot pernafsan, gasping, wheezing, ronchi, agitasi,
sianonis sentral, renjatan, koma, PCO2 47 mmHg, PO2 menurun, ARDS, Syok
septic, Asidosis Metabolik, CRT > 3 detik atau vasodilatasi hangat dengan,
bounding pulse, takipnea, kulit mottled atau petekia atau purpura, peningkatan
laktat, oliguria.
Pengkajian
a. Pengkajian primer 
1) Airway
a) Peningkatan sekresi pernapasan 
b) Bunyi nafas, ronki dan mengi
c) Jalan napas adanya sputum, secret 
2) Breathing
a) Distress pernapasan : pernapasan gasping,takipneu, retraksi otot
pernafasan.
b) Peningkatan frekuensi nafas 30x/menit.
c) Nafas dangkal dan cepat(gasping, takipnea)
d) Kelemahan otot pernapasan (renjatan)
e) Penggunaan otot Bantu pernapasan
f) Penggunaan alat Bantu pernapasan ventilator
g) Irama pernapasan : tidak teratur 
h) Bunyi napas wheezing, ronchi 
 
3) Circulation
a) Penurunan curah jantung : gelisah/agitasi, takikardia
b) penurunan tingkat kesadaran

4) Disability
a) Keadaan umum : GCS, tingkat kesadaran koma
 
5) Exposure
a) Enviromental control
b) Buka baju penderita tetapi cegah terjadinya hipotermia
 
b. Pengkajian Sekunder

1) Identitas
Pasien Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, T
anggalPengkajian.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
pasien mengalmi penurunan kesadaran. Pasien terpasang ventilator
PEEP 6 cmH2O.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji apakah klien pernah menderita riwayat penyakit yang
samasebelumnya.
4) Pemeriksaan Fisik
a) B1 (Breath)Sesak nafas, nafas cepat dan dangkal, suara tambahan
ronchi, wheezing.
b) B2 (Blood)Takikardi, tekanan darah bisa normal atau meningkat
(terjadinya hipoksemia).
c) B3 (Brain)Tingkat kesadaran menurun (seperti bingung atau
agitasi), pingsan,nyeri kepala (penyebabnya karena adanya
trauma), mata berkunang-kunang, berkeringat banyak.
d) B4 (Bowel)Adakah penurunan prouksi urine (berkurangnya
produksi urinemenunjukkan adanya gangguan perfusi ginjal).
e) B5 (Bladder)Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada
gangguanstatus nutrisi dan cairan akan memperberat keadaan
seperti cairanyang berlebihan dan albumin yang rendah akan
memperberatedema paru.
f) B6 (Bone)Kelemahan otot, mudah lelah
c. Analisa Data
N Analisa data Masalah Keperawatan
o
1 Ds : - Gangguan pertukaran gas
Do :
- PCO2 ; 47 mmHg
- Po2 menurun
- Ph arteri menurun
- Wheezing dan ronchi
- Sianosis
- Agitasi
- Kesadaran koma

2 Ds: - Bersihan jalan nafas tidk efektif


Do:
- Wheezing, ronchi
- Agitasi/gelisah
- Takipnea/gasping
- Frekuensi nafas 30x/menit
- Sianosis
3 Ds: Gangguan ventilasi spontan
Do:
- Retraksi dada
- Pco2 47mmHG
- Po2 menurun
- SpO2 93%
- Agitasi
4 Ds: Pola nafas tidak efektif
Do:
- Menggunakan ventilator
- Gasping/takipnea
- Pernafasan cuping hidung
- Tekanan inspirasi menurun
5. Ds: Hipertermia
Do:
- temp 39 c
- takipnea
- kulit teraba hangat

 
Diagnosa Keperawatan
a. gangguan ventilasi spontan b.d gangguan metabolisme
 
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan perubahan membrane
alveolus/kapiler
c. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan hipersekresi
yang berlebihan
d. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernafasan
e. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme
No SDKI SLKI SIKI
1 gangguan ventilasi spontan b.d gangguan Luaran utama : ventilasi spontan Pemantauan respirasi
metabolisme Luaran tambahan: Observasi
Ds:  Keseimbangan asam basa  monitor frekuensi, irama, kedalaman,
Do: dan upaya napas
- Retraksi dada  Konservasi energy
Pco2 47mmHG  monitor pola napas (seperti bradipnea,
-  Pemulihan paska bedah
- Po2 menurun takipnea, hiperventilasi, kussmaul,
- SpO2 93%  Pertukaran gas
cheyne-strokes, biot, dan ataksik)
- Agitasi  Respon ventilasi mekanik
 monitor kemampuan batuk efektif
 Status kenyamanan
 monitor adanya produksi sputum
 Tingkat ansietas
 monitor adanya sumbatan jalan napas
 Tingkat keletihan
·      palpasi kesimetrisan ekspansi paru
·      auskultasi bunyi napas
·      monitor saturasi oksigen
·      monitor nilai AGD
·      monitor hasil x-ray thorax
Terapeutik
·      Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
·      Dekumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
·      Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
·      Informasikan hasil pemantauan, jika itu
perlu
Dukungan Ventilasi
Obeservasi
·      Identifikasi adanya kelelahan otot bantu
napas
·      Identifikasi efek perubahan posisi
terhadap status pernapasan
·      Monitor status respirasi dan oksigenasi
(missal nya : frekuensi dan kedalaman napas,
penggunaan otot bantu napas, bunyi napas
tambahan, saturasi oksigen)
Terapeutik
·      Pertahankan kepatenan jalan napas
·      Berikan posisi semi fowler atau fowler
·      Fasilitasi mengubah posisi senyaman
mungkin
·      Beerikan oksigenasi sesuai kebutuhan
(missal nya: nasal kanul, masker wajah,
masker rebreathing atau non rebreathing
·      Gunakan bag-valve mask, jika perlu
Edukasi
·      ajarkan melakukan teknik relaksasi
napas dalam
·      ajarkan mengubah posisi secara mandiri
·      ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
·      Kolaborasi pemberian bronchodilator,
jika itu perlu

2 Gangguan pertukaran gas berhubungan LUARAN UTAMA :  A. PEMANTAUAN RESPIRASI (I.01014)


perubahan membrane alveolus/kapiler 1. Pertukaran Gas. 1. Observasi
Ds : -  Monitor frekuensi, irama,
Do : LUARAN TAMBAHAN : kedalaman, dan upaya napas
- PCO2 ; 47 mmHg  Monitor pola napas
1. Keseimbangan Asam-basa.
- Po2 menurun (seperti bradipnea, takipnea,
- Ph arteri menurun 2. Konservasi Energi.
hiperventilasi, Kussmaul,
- Wheezing dan ronchi 3. Perfusi Paru. Cheyne-Stokes, Biot, ataksik0
- Sianosis  Monitor kemampuan
- Agitasi 4. REspons Ventilasi Mekanik. batuk efektif
- Kesadaran koma 5. Tingkat Perlirium.  Monitor adanya produksi
sputum
 Monitor adanya sumbatan
jalan napas
 Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray toraks
2. Terapeutik
 Atur interval waktu
pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil
pemantauan
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
 Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

B. TERAPI OKSIGEN (I.01026)


1. Observasi
 Monitor kecepatan aliran
oksigen
 Monitor posisi alat terapi
oksigen
 Monitor aliran oksigen
secara periodic dan pastikan
fraksi yang diberikan cukup
 Monitor efektifitas terapi
oksigen (mis. oksimetri, analisa
gas darah ), jika perlu
 Monitor kemampuan
melepaskan oksigen saat
makan
 Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
 Monitor tanda dan gejala
toksikasi oksigen dan
atelektasis
 Monitor tingkat
kecemasan akibat terapi
oksigen
 Monitor integritas mukosa
hidung akibat pemasangan
oksigen
2. Terapeutik
 Bersihkan secret pada
mulut, hidung dan trachea, jika
perlu
 Pertahankan kepatenan
jalan nafas
 Berikan oksigen
tambahan, jika perlu
 Tetap berikan oksigen
saat pasien ditransportasi
 Gunakan perangkat
oksigen yang sesuai dengat
tingkat mobilisasi pasien
3. Edukasi
 Ajarkan pasien dan
keluarga cara menggunakan
oksigen dirumah
4. Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan
dosis oksigen

Kolaborasi penggunaan oksigen saat


aktivitas dan/atau tidur
3 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas Luaran utama : Bersihan jalan napas Manajemen Jalan Napas
Observasi:
berhubungan dengan hipersekresi yang  Monitor pola napas
 Monitor bunyi napas tambahan
berlebihan Luaran Tambahan :
 Monitor sputum (jumlah,warna,aroma)
Ds: - 1. Batuk efektif Terapeutik
Do:  Pertahankan kepatenan jalan napas
2. Produksi sputum  Posisikan semi fowler atau fowler
- Wheezing, ronchi
3. Mengi  Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
- Agitasi/gelisah
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari
- Takipnea/gasping 4. Wheezing 15 detik
- Frekuensi nafas 30x/menit  Berikan oksigen, jika perlu
5. Mekonium (pada neonatus)
- Sianosis Edukasi
6. Dispnea  Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari,
jika tidak kontraindikasi
7. Ortopnea
Kolaborasi
8. Sulit bicara  Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu
9. Sianosis
Pemantauan Respirasi
10. Gelisah Observasi:
 Monitor pola nafas
11. Frekuensi napas  Monitor frekuensi, irama, kedalaman
12. Pola napas dan upaya napas
 Monitor saturasi oksigen, monitor nilai
AGD
 Monitor adanya sumbatan jalan nafas
 Monitor produksi sputum
Terapeutik
 Atur Interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi ps
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
4 Pola nafas tidak efektif berhubungan Luaran utama : pola nafas PEMANTAUAN RESPIRASI
dengan depresi pusat pernafasan Luaran tambahan Observasi:
Ds: 1. Berat badan 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman,
Do: 2. Keseimbangan asam basa
- Menggunakan ventilator dan upaya napas
- Gasping/takipnea 3. Konservasi energy
2. Monitor pola napas (seperti
- Pernafasan cuping hidung 4. Status neurologis
- Tekanan inspirasi menurun bradipnea, takipnea,
5. Tingkat anxietas
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-
6. Tingkat keletihan
Stokes, Biot, ataksik
Tingkat nyeri
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan
napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik :
1. Atur interval waktu pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
B. MENEJEMEN JALAN NAPAS (I. 01011)
Observasi :
1. Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
Gurgling, mengi, weezing, ronkhi
kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma)
Terapeutik :
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
thrust jika curiga trauma cervical)
2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lendir kurang
dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum
7. Penghisapan endotrakeal
8. Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsepMcGill
9. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,
jika tidak kontraindikasi.
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
5. Hipertermia berhubungan dengan Luaran utama : termoregulasi ManajemenHipertermia
peningkatan laju metabolisme
Observasi:
Ds:
Do: Luaran tambahan : 1. Identifikasi penyebab hipertermia
- temp 39 c
- takipnea 1. Perfusi perifer (mis. dehidrasi, terpapar lingkungan
- kulit teraba hangat
2. Status cairan
panas, penggunaan inkubator)
3. Status kenyamanan
2. Monitor suhu tubuh
4. Status neurologis
3. Monitor kadar elektrolit
5. Status nutrisi
4. Monitor haluaran urine
Termoregulasi neonatus
5. Monitor komplikasi akibat

hipertermia

Terapeutik:

6. Sediakan lingkungan yang dingin

7. Longgarkan atau lepaskan pakaian


8. Basahi dan kipasi permukaan tubuh

9. Berikan cairan oral

10. Hindari pemberian antipiretik atau

asprin

11. Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi

12. Anjurkantirah baring

Kolaborasi

 Kolaborasipemberiancairan dan

elektrolit intravena, jika perlu


Referensi

Amin Z. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Dahlan Z, Amin Z,

Soeroto AY, editors. Tatalaksana Penyakit Respirasi dan Kritis

Paru. Bandung: PERPARI (Perhimpunan Respirologi

Indonesia); 2013.

ARDS Definition Task Force. Acute Respiratory Distress Syndrome,

The Berlin Definition. JAMA. 2012;307(23).

Bruce D. Levy, Augustine M. K. Choi. Acute Respiratory Distress

Syndrome. In: Kasper, Fauci, Longo, Hauser, Jameson,

Loscalzo, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine

19ed. New York: Mc-Graw Hill; 2015.

Matthay MA, Zemans RL. The Acute Respiratory Distress Syndrome:

Pathogenesis and Treatment. Annu Rev Pathol. 2011;6:147-63.

Pierrakos C, Karanikolas M, Scoletta S, Karamouzos V, Velissaris D.

Acute Respiratory Distress Syndrome: Pathophysiology and

Theurapeutic Options. J Clin Med Res. 2011;4(1):7-16.

Koh Y. Update in Acute Respiratory Distress Syndrome. Journal

of Intensive Care. 2014;2:2.

Tim pokja SDKI DPP PPNI, 2016, Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia (SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018, Standar Luaran Keperawatan
Indonesia (SLKI). Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018, Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia (SIKI), Edisi 1, Jakrata, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai