Berkali-kali Bung Karno dalam hampir setiap pidatonya mengatakan, bahwa
Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan momentum saat kembalinya bangsa Indonesia kepada kepribadian nasional. Kepribadian itu telah tumbuh dan berkembang beribu-ribu tahun sejak Kepulauan Nusantara ini berpenghuni. Walaupun kemudian selama 350 tahun berada di bawah kekuasaan Belanda, ditambah 3,5 tahun di bawah Jepang, namun kepribadian rakyat Indonesia tetap hidup bahkan mengalami proses perkembangan dan pertumbuhan secara dialektis sebab bersintese dengan peradaban dan pikiran-pikiran baru yang datang dari luar. Agar rakyat dan bangsa Indonesia menjadi (dan tetap) berkepribadian dalam kebudayaan, pembangunan kebudayaan harus bertumpu kepada fondasi kepribadian nasional pula. Mengenai hal ini, Bung Karno menjelaskan: “Kepribadian dalam kebudayaan!Apa yang lebih indah daripada ini, Saudara- saudara? Bukan saja bumi dan air dan udara kita kaya-raya, juga kebudayaan kita kaya-raya.Kesusasteraan kita, seni rupa kita, seni tari kita, musik kita, semuanya kaya-raya.Juga untuk membangun kebudayaan baru Indonesia, kita memiliki segala syarat yang diperlukan.Kebudayaan baru itu harus berkepribadian nasional yang kuat dan harus tegas mengabdi kepada rakyat.”
Berkepribadian dalam bidang kebudayaan merupakan pencerminan dari sikap
revolusionernya rakyat Indonesia, yang berani: Berdaulat dalam bidang politik, Berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Sikap Trisakti ini adalah fundasi yang sangat kokoh bagi revolusi Indonesia.-