Anda di halaman 1dari 1

Pak Adjie - Tim BIM 2017

 Beberapa hasil yang sudah disusun sd akhir tahun 2019


 Tahap pertama fase adopsi, banyak training, diseminasi, SKKNI masih disusun, draft standar
protokol untuk disempurnakan, kampus sedang siapkan standar kurikulum
 21 Nov 2019 undang pakar, BUMN, akademisi, untuk siapkan konsep standar protokol di
Yogyakarta
 Standar protokol digunakan sebagai acuan dari tahap perencanaan, tahap prakonstruksi, tahap
konstruksi sd OM
 PUPR asetnya sangat besar, bila dokumentasi data proyek tidak rapi maka akan sulit lakukan OM
 Akan sulitkan badan usaha bila ikut tende KPBU untuk OM tapi tidak punya info memadai aset
eksisting di PUPR
 Perlu kajian tingkat keberhasilan penerapan BIM, menjadi semacam alat ukur untuk evaluasi
apakah penerapan BIM sudah berhasil atau belum
 Beberapa badan usaha yang sudah terapkan BIM belum punya tolak ukur kuantitatif seberapa
besar penerapan BIM yang mereka lakukan
 Secara proses kolaborasi sudah mereka lakukan, namun kuantitatif seperti berapa besar cost
bisa ditekan, seberapa besar efisiensi yang sudah dilakukan, dsb belum ada
 Poin ketiga, apabila fase perencanaan BIM mumpuni, maka saat konstruksi tidak akan ada
banyak perubahan2
 Sering terjadi pada Tender konvensional, perencana membuat BIM, namun tidak sesuai dg
kebutuhan yang diminta owner, kemudian saat diaplikasikan di BIM saat konstruksi menjadi
tidak nyambung, sehingga menyebabkan efektifitas pemanfaatan BIM menjadi kurang.
 Owner harus punya panduan BIM, karena terkadang owner tidak tahu apa yang diinginkan.
Minimal beberapa hal yang harus dikeluarkan disini adalah requirement nya, misal kualifikasi
tenaga ahlinya seperti apa, harus punya sertifikasi apa saja, dsb.
 Kemudian pada project BIM yang harus dikunci adalah deliverables-nya, output BIM model yang
harus dialih-scale-kan oleh penyedia jasa, apa yang harus dimuat didalam KAK
 Digital approval menjadi hal yang menyulitkan bagi pelaku dilapangan. Sudah ada platform CDE
(Common Data Environment) namun tetap harus ada pertemuan konvensional untuk
menyepakati perubahan2 desain yang ada, sehingga efektivitas BIM berkurang dan menjadi
kerja dua kali
 DJBK agar bisa lakukan legalisasi digital approval, apapun platform yang akan digunakan, kita
sebagai owner dapat peroleh legalitas bahwa kita sudah lakukan approval terhadap perubahan
desain yang dilakukan dalam BIM model
 Kodefikasi perlu dapat perhatian saat bicara BIM, agar tidak berbeda2 antara kontraktor dan
konsultan, dan owner sendiri agar bisa definisikan dengan benar. Kita akan mengacu ke
kodefikasi yang mana? Ada permen PU 97/2007 tentang penggolongan kodefikasi BMN,
mungkin dapat dijadikan acuan atau dasar untuk kodefikasi aset2 yang akan dibangun maupun
yang akan dikelola
 EIR (employers information requirement) perlu dapat perhatian, kurang lebih seperti KAK
 Terakhir yaitu sertifikasi kompetensi, dimana SKKNI sedang dalam proses penyusunan
 Sudah ada 3 draft standar protokol yang telah dihasilkan:
 Pertama panduan adopsi BIM di organisasi, disusun bersama IBIMI. Penyusunan draft SE Dirjen
BM penerapan BIM di Binamarga (oleh Pak Nadjib) juga menggunakan panduan ini sebagai salah
satu referensinya.
 Panduan adopsi ini disusun dengan mengadopsi dari singapure, tujuannya agar organisasi yang
baru akan mulai memakai BIM bisa tau harus mulai dari mana
 Dalam panduan adopsi dihilight tentang perlunya Komite BIM sebagai nahkoda penerapan BIM
 Kedua adalah BIM for architech, diadopsi dari singapure

Anda mungkin juga menyukai