Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

SIROSIS HEPATIS

A. Pengertian
Sirosis Hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh
adanya peradangan difus dan menahun pada hati, di ikuti
dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi
sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan
parenkim hati (Mansjoer Arief, 2010).
Sirosis Hepatis adalah suatu penyakit hati dimana
sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh
sistem arsitektur hati mengalami perubahan, menjadi tidak
teratur dan terjadinya pertambahan jaringan (fibrosis) di
sekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi (Soeparman,
2014).
Sirosis hepatis adalah stadium akhir penyakit hati
menahun dimana secara anatomis didapatkan proses fibrosis
dengan pembentukan nodul regenerasi dan nekrosis.
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang
ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai
nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan
nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan
usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan
menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi
tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul
tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2009).

B. Etiologi
Penyebab sirosis hati biasanya tidak dapat diketahui
hanya berdasarkan pada klasifikasi morfologis hati yang
mengalami sirosis. Dua penyebab yang sampai saat sekarang
masih dianggap paling sering menyebabkan sirosis ialah
hepatitis virus dan alkoholisme. Penyebab lain sirosis hati
berdasarkan klasifikasi yaitu :
1. Sirosis yang diakibatkan penyakit genetic.
Dapat disebutkan disini misalnya galaktosemia, penyakit
glycogen storage, defisiensi alfa-1 antitripsin,
penyakit hemokromatosis, dan lain-lain.
2. Sirosis karena bahan kimia. Kerusakan karena bahan kimia
ada 2 macam :
a. Kerusakan yang hampir pasti terjadi oleh suatu macam
obat, dose dependent.
b. Kerusakan yang tidak dapat di duga sebelumnya, not-
dose dependent.
3. Sirosis alkoholik
Secara morfologis, sirosis alkoholik ini bisa
mikronodular, makronodular atau campuran
4. Sirosis karena infeksi
Disebabkan oleh hepatitis virus B atau NANB.Morfologis
bisa berupa mikronodular, makronodular atau incomplete
septal
5. Sirosis karena gangguan nutrisi
Secara morfologis tidak dapat dibedakan dengan sirosis
karena alcohol
6. Sirosis bilier sekunder
Diakibatkan oleh ikterus obstruktif
7. Sirosis kongestif
Pada penyakit jantung yang disertai bendungan
8. Sirosis kriptogenik
Etiologi sirosis tidak dapat ditentukan. Sering
disertai manifestasi autoimun, seperti demam, artralgi,
kemerahan pada kulit, gejala ginjal dan lain-lain.
Gambaran morfologis bisa mikronodular, makronodular
atau campuran
9. Sirosis bilier primer
Penyebab tidak diketahui
10. Sirosis Indian Childhood
Ditemukan pada anak-anak di India
11. Sirosis sarkoid (granulomatosis)
Penyebab tidak diketahui
Ada 3 tipe sirosis hepatis :
1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana
jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal.
Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan
parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis
virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut
terjadi dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi
akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi
(kolangitis).
Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal
dan periportal tempat kanalikulus biliaris dari masing-
masing lobulus hati bergabung untuk membentuk saluran
empedu baru. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan
jaringan yang berlebihan terutama terdiri atas saluran
empedu yang baru dan tidak berhubungan yang dikelilingi
oleh jaringan parut.

C. Manifestasi Klinis
Penyakit ini mencakup gejala ikterus dan febris yang
intermiten.
1. Pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis, hati
cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak.
Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam
yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen
dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang
cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan
regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni).
Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati
akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan
pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi,
permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler).
2. Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut
sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang
kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi
portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis
akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati.
Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan
darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan
kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal
dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat
kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua
organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan
demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan
keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia
kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-
angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga
peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan
melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau
gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-
jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial
menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering
dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan
keseluruhan tubuh.
3. Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat
hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga
mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral
sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah
dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan
tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita
sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah
abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi
abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di
seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan
rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering
mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral.
Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau
temoroid tergantung pada lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume
darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka
pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan
menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus
mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang
nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal.
Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis
ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari
ruptur varises pada lambung dan esofagus.
4. Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis
ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi
albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi
untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang
berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air
dan ekskresi kalium.
5. Defisiensi Vitamin dan Anemia. Karena pembentukan,
penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yan tidak
memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda
defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya
sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan
defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan
fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang
tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut
menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis
hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta
kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan
kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk
melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
6. Kemunduran Mental. Manifestasi klinik lainnya adalah
kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma
hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan
neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan
mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif,
orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.
Gejala terjadi akibat perubahan morfologis dan lebih
menggambarkan beratnya kerusakan yang terjadi dari pada
etiologinya. Didapatkan gejala dan tanda sebagai berikut :
1. Gejala-gejala gastrointestinal yang tidak khas seperti
anoreksia, mual, muntah dan diare
2. Demam, berat badan turun, lekas lelah
3. Acites, hidrothorak
4. Ikterus, kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya
atu kecoklatan
5. Hepatomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecil
karena fibrosis. Bila secara klinisdidapati adanya
demam, iktrus, dan acites, dimana demam bukan oleh
sebab-sebab lain, dikatan sirosis dalam keadaan aktif.
Hati-hati akan kemungkinan timbulnya prekoma dan koma
hepatikum.
6. Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral di
dinding abdomen dan thoraks, kaput medusa, wasir dan
varises oesofagus
7. Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiper
estrogenisme, yaitu :
a. Impotensi, atrofi testis, ginekomastia, hilanya
rambut axila dan pubis.
b. Amenore, hiperpigmentasi areola mammae
c. Spider nevi dan eritema
d. Hiperpigmentasi

D. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus,
mulai dari hepatitis virus menjadi sirosi hati belum jelas.
Ada 2 kemungkinan patogenesis, yaitu : Mekanis, imunologis
atau kombinasi keduanya. Pada setiap teori, yang penting
harus terjadi proses aktivasi fibroblas dan pembentukan
komponen jaringan ikat.
1. Teori Mekanis
Teori mekanis menerangkan proses kelanjutan
hepatitis virus menjadi sirosis hati dengan
mengemukakan bahwa pada daerah dimana terjadi nekrosis
confluent, maka kerangka retikulum lobul yang mengalami
collaps akan berlaku sebagai kerangka untuk terjadinya
daerah parut yang luas. Dengan perkataan lain, proses
kolagenesis kerangka retikulum fibrosis hati diduga
merupakan dasar proses sirosis. Dalam kerangka jaringan
ikat ini, bagian parenkim hati yang bertahan hidup,
berkembang menjadi nodul regenerasi.
Istilah yang dipakai untuk sirosis hati jenis ini
ialah jenis pasca nekrotik. Istilah ini menunjukkan
bahwa nekrosis sel hati yang terjadi merupakan penyebab
sirosis. Thaler menegaskan bahwa dalam patogenesis
sirosis pasca hepatitis memperlihatkan bahwa regenerasi
parenkim hati sesudah serangan hepatitis virus dan
kelangsungan hidup hepatosit sekitar hepatic venule
merupakan hal yang sangat esensial. Jika hepatosit di
daerah tersebut mengalami kerusakan, maka daerah ini
akan menjadi terpecah-pecah (fragmented), sehingga
terjadi kerusakan yang sifatnya confluent dan akhirnya
pseudolobulasi berkembang.
2. Teori Imunologis
Walaupun hepatitis akut dengan nekrosis confluent
dapat berkembang menjadi sirosis hati, namun nampaknya
proses tersebut harus melalui tingkat hepatitis kronik
(agresif terlebih dahulu). Kelompok hepatitis kronik
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kronik persisten dan
kronik aktif. Kelompok yaitu kronik persisten pada
umumnya akan membaik. Sebaliknya sebagian penderita
hepatitis kronik agresif, akan berkembang menjadi
fibrosis dan kemudian sirosis. Tanda yang kira-kira
dapat dipakai ialah jika pada biopsi hati ditemukan
tanda-tanda nekrosis bridging. Mekanisme imunologis
agaknya mempunyai peranan penting dalam hepatitis
kronik. Ada 2 bentuk hepatitis kronik : 1) Hepatitis
kronik tipe B, 2) Hepatitis kronik autoimun atau tipe
NANB.
Proses respon imunologis pada sejumlah kasus tidak
cukup untuk menyingkirkan virus atau hepatosit yang
terinfeksi, dan sel yang mengandung virus ini merupakan
rangsangan untuk terjadinya proses imunologis yang
berlangsung terus sampai terjadi kerusakan sel hati.
Dari kasus-kasus yang dapat dilakukan biopsi hati
berulang-ulang pada penderita hepatitis kronik aktif
ternyata bahwa proses perjalanan hepatitis kronis bisa
berlangsung sangat lama, bisa lebih dari 10 tahun.
3. Proses Sirosis Hepatis Karena Alkohol
Sirosis alkohol juga, disebut “Sirosis Laennec“,
terjadi setelah penyalahgunaan alkohol bertahun-tahun.
Produk akhir pencernaan yang dihasilkan dihati pada
seorang pecandu alkohol, bersifat toksik terhadap
hepatosit. Nutrisi yang buruk, yang sering dijumpai
pada pecandu alkohol, juga berperan menyebabkan
kerusakan hati, mungkin dengan merangsang hati secara
berlebihan untuk melakukan Glokuneogenesis atau
metabolisme protein. Sirosis alkohol ini memiliki 3
stadium, yaitu :
a. Penyakit Perlemakan Hati adalah stadium pertama.
Kelainan ini bersifat reversibel dan ditandai oleh
penimbunan Trigliserida di hepatosit. Alkohol dapat
menyebabkan penimbunan Trigliserida di hati dengan
bekerja sebagai bahan bakar untuk pembentukan energi
sehingga asam lemak tidak lagi diperlukan. Produk-
produk akhir alkohol, terutama Asetaldehida, juga
mengganggu fosfolarisasi oksidatif asam-asam lemak
oleh mitokondria hepatosit, sehingga asam-asam lemak
tersebut terperangkap di dalam hepatosit. Infiltrasi
oleh lemak bersifat refersibel apabila ingesti
alkohol dihentikan.
b. Hepatitis Alkohol adalah stadium kedua sirosis
alkohol. Hepatitis adalah peradangan sel-sel hati.
Pada para pecandu alkohol, peradangan sebagian sel
dan nekrosis yang diakibatkannya biasanya timbul
setelah minum alkohol dalam jumlah besar,
(kemungkinan timbulnya hepatitis alkoholik kecil
sekali pada penderita yang minum kurang dari 60 gram
etanol sehari (6 oz whisky atau ¾ liter anggur) atau
jika etanol kuarang dari 20% kalori per hari). Lebih
dari 80% kasus dengan hepatitis alkoholik terjadi
setelah minum alkohol selama 5 tahun lebih sebelum
timbul gejala dan keluhan. Kerusakan hepatosit
mungkin disebabkan oleh toksisitas produk-produk
akhir metabolisme alkohol, terutama asetaldehida dan
ion hidrogen. Stadium ini juga dapat reversibel
apabila ingesti alkohol dihentikan.
c. Sirosis itu sendiri adalah stadium akhir sirosis
alkohol dan bersifat ireversibel. Pada stadium ini,
sel-sel hati yang mati diganti oleh jaringan parut.
Peradangan kronik menyebabkan timbulnya pembengkakan
dan edema intertisium yang dapat menyebabkan
kolapsnya pembuluh-pembuluh darah kecil dan
meningkatkan resistensi terhadap aliran darah
melalui hati. Selain itu, akibat respon peradangan
terbentuk pita-pita fibrosa yang melingkari dan
melilit hepatosit-hepatosit yang masih ada. Terjadi
hipertensi portal dan acites. Biasanya timbul
varises oesofagus, rektum dan abdomen serta ikterus
hepatoselular. Resistensi terhadap aliran darah yang
melintasi hati meningkat secara progresif dan funsi
hati semakin memburuk.
E. Phathway

Hepatitis virus Alkoholisme

Nekrosis
parenkhim hati

Pembentukan
jaringan ikat

Kegagalan Hipertensi Asites Ensefalopati


parenkhim hati portal

Kesadaran
Mual-mual Varises Penekanan
turun
esophagus diafragma

Anoreksia Tekanan Ruang paru gg. komunikasi


meningkat menyempit verbal

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang pembuluh
dari keb.tubuh darah pecah Sesak nafas

kalori Hematemisis Melena Ggn Pola nafas

Kelemahan
otot, Cepat defisit
lelah Oksigen
perawatan diri

Intoleran Ggn perfusi


aktifitas jaringan
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pada Darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom
normositer, hipokrom mikrositer/hipokrom makrositer,
anemia dapat dari akibat hipersplemisme dengan
leukopenia dan trombositopenia, kolesterol darah
yang selalu rendah mempunyai prognosis yang kurang
baik.
b. Kenaikan kadar enzim transaminase - SGOT, SGPT bukan
merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan
parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum
akibat kebocoran dari sel yang rusak, pemeriksaan
bilirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat
pada sirosis inaktif.
c. Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang
berkurang, dan juga globulin yang naik merupakan
cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan
menghadapi stress.
d. Pemeriksaan CHE (kolinesterase). Ini penting karena
bila kadar CHE turun, kemampuan sel hati turun, tapi
bila CHE normal / tambah turun akan menunjukan
prognasis jelek.
e. Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic
dan pembatasan garam dalam diet , bila ensefalopati,
kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukan kemungkinan
telah terjadi sindrom hepatorenal.
f. Pemanjangan masa protrombin merupakan petunjuk
adanya penurunan fungsi hati. Pemberian vit K baik
untuk menilai kemungkinan perdarahan baik dari
varises esophagus, gusi maupun epistaksis.
g. Peningggian kadar gula darah. Hati tidak mampu
membentuk glikogen, bila terus meninggi prognosis
jelek.
h. Pemeriksaan marker serologi seperti virus,
HbsAg/HbsAb, HbcAg/ HbcAb, HBV DNA, HCV RNA., untuk
menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP
(alfa feto protein) penting dalam menentukan apakah
telah terjadi transpormasi kearah keganasan.
i. Urine : bila ada ikterus, urobilin dan bilirubin
menjadi positif.
j. Feses : Ada perdarahan maka test benzidin positif.
k. Darah : Dapat timbul anemia, hipoalbumin,
hiponatrium.
l. Test faal hati.
2. Pemeriksaan lainya
a. Radiologi : Dengan barium swallow dapat dilihat
varises esophagus untuk konfirmasi adanya hipertensi
portal
b. Esofaguskopi : varises esophagus sebagai akibat
komplikasi cirosis hati.
c. Ultra sonografi : Mengetahui secara lengkap fisik
hati dan bentuk permukaan dan lain-lain.pada kasus
Tn.MS jelas kesan adanya sirosis hati dengan
hipertensi portal dan beberapa gambaran yang nampak
pada hasil USG hepar (terlampir)
d. Radiografi Gastro intestinal bagian atas dilakukan
pemeriksaan secara berseri pada esofagus atau gaster
atau ulserasi duodenum.
e. Pemeriksaan angiografi untuk mengidentifikasi tempat
perdarahan arteri yang nyata.
f. CT scan untuk membantu mendeteksi ascites kecil yang
memberikan informasi tentang volume dan karakter
dari kumpulan cairan.
g. Radio isotof hati mengidentifikasi adanya massa pada
hati.
h. Biopsi jaringan hati yang rusak, infiltrasi lemak
dan fibrosis sel hati,mengidentifikasikan adanya
sirosis.Pemeriksaan ini juga untuk mendiagnosa
adanya tumor ganas dan infeksi pada hati.
G. Pengobatan
Terapi & prognosis sirosis hati tergantung pada
derajat komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal.
Dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini akan
dapat dipertahankan keadaan kompensasi dalam jangka panjang
dan kita dapat memperpanjang timbulnya komplikasi.
1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup
dilakukan kontrol yang teratur, istirahat yang cukup,
susunan diet TKTP, lemak secukupnya. Bila timbul
ensefalopati, protein dikurangi.
2. Pasien sirosis hati dengan sebab yang diketahui,
seperti :
a. Alkohol & obat-obat lain dianjurkan menghentikan
penggunaannya. Alkohol akan mengurangi pemasukan
protein ke dalam tubuh.
b. Hemokromatosis, dihentikan pemakaian preparat yang
mengandung besi atau terapi kelasi (desferioxamine).
Dilakukan venaseksi 2x seminggu sebanyak 500 cc
selama setahun.
c. Pada penyakit wilson (penyakit metabolik yang
diturunkan), diberikan D-penicilamine 20
mg/kgBB/hari yang akan mengikat kelebihan cuprum,
dan menambah ekskresi melalui urin.
d. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan
kortikosteroid

Pada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi


yang timbul :
a. Untuk asites, diberikan diet rendah garam 0,5 g/hr
dan total cairan 1,5 l/hr. Spirolakton dimulai
dengan dosis awal 4×25 mg/hr dinaikkan sampai total
dosis 800 mg sehari,bila perlu dikombinasi dengan
furosemid.
b. Perdarahan varises esofagus. Psien dirawat di RS
sebagai kasus perdarahan saluran cerna.Pertama
melakukan pemasangan NG tube, disamping melakukan
aspirasi cairan lambung.Bila perdarahan banyak,
tekanan sistolik 100 x/mnt atau Hb ,9 g% dilakukan
pemberian IVFD dengan pemberian dekstrosa/salin dan
transfusi darah secukupnya.Diberikan vasopresin 2
amp. 0,1 g dalam 500 cc cairan d 5 % atau salin
pemberian selama 4 jam dapat dulang 3 kali.Dilakukan
pemasangan SB tube untuk menghentikan perdarahan
varises.Dapat dilakukan skleroterapi sesudah
dilakukan endoskopi kalau ternyata perdarahan
berasal dari pecahnya varises.Operasi pintas
dilakukan pada Child AB atau dilakukan transeksi
esofagus (operasi Tanners).Bila tersedia fasilitas
dapat dilakukan foto koagulasi dengan laser dan heat
probe.Bila tidak tersedia fasilitas diatas, untuk
mencegah rebleeding dapatdiberikan propanolol.
c. Untuk ensefalopati dilakukan koreksi faktor pencetus
seperti pemberian KCL pada hipokalemia, aspirasi
cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan
pada varises, dilakukan klisma, pemberian neomisin
per oral. Pada saat ini sudah mulai dikembangkan
transplantasi hati dengan menggunakan bahan
cadaveric liver.
d. Terapi yang diberikan berupa antibiotik seperti
sefotaksim 2 g/8 jam i.v. amokisilin,
aminoglikosida.
e. Sindrom haptorenal/nefropati hepatik, terapinya
adalah imbangan air dan garam diatur dengan ketat,
atasi infeksi dengan pemberian antiobiotik, dicoba
melakukan parasentesis abdominal dengan ekstra hati-
hati untuk memperbaiki aliran vena kava, sehingga
timbul perbaikan pada curah jantung dan fungsi
ginjal.
H. Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan sirosis hepatis meliputi terapi non
farmakologis dan farmakologis, yaitu :
1. Non Farmakologis
a. Bed rest, Istirahat di tempat tidur sampai terdapat
perbaikan ikterus, acites dan demam.
b. Menghindari konsumsi alcohol
c. Diet tinggi protein (1 g/kg/hari)
d. Tinggi kalori (2000 kalori)
e. Diet rendah garam (200-500 mg/hari)
2. Farmakologis
a. Antasida dan antagonis reseptor H2 (Ranitidine) 2 x
1 gr
b. Antibiotika 4 x 500 mg.
c. Furosemid 3 x 40 mg (dosis maksimal 600 mg/hari)
d. Spironolakton 1 x 100 mg/hari (dosis awal) bisa
ditingkatkan max 300 mg/hari
e. Vitamin C dan E

I. Komplikasi
Bila penyakit sirosis hati berlanjut progresif, maka
gambaran klinis, prognosis dan pengobatan tergantung pada 2
kelompok besar komplikasi :
1. Kegagalan hati (hepatoseluler) ; timbul spider nevi,
eritema palmaris, atrofi testis, ginekomastia, ikterus,
ensefalopati, dll.
2. Hipertensi portal : dapat menimbulkan splenomegali,
pemekaran pembuluh vena esofagus/cardia, caput medusae,
hemoroid, vena kolateral dinding perut.
Bila penyakit berlanjut maka dari kedua komplikasi
tersebut dapat timbul komplikasi dan berupa :
1. Asites
2. Ensefalopati
3. Peritonitis bakterial spontan
4. Sindrom hepatorenal
5. Transformasi ke arah kanker hati primer (hepatoma).
Disamping komplikasi diatas komplikasi yang sering
timbul pada penderita Sirosis Hepatis diantaranya adalah :
1. Perdarahan Gastrointestinal
Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi
hipertensi portal, dan timbul varises esophagus.
Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah
pecah, sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat
perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah atau
hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa
didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar
berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku, karena
sudah tercampur dengan asam lambung. Setelah
hematemesis selalu disusul dengan melena (Sujono Hadi).
Mungkin juga perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis
tidak hanya disebabkan oleh pecahnya varises esophagus
saja. FAINER dan HALSTED pada tahun 1965 melaporkan
dari 76 penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan
ditemukan 62% disebabkan oleh pecahnya varises
esofagii, 18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi
lambung.
2. Koma hepatikum
Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis
Hepatis adalah koma hepatikum. Timbulnya koma hepatikum
dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri yang sudah
sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan
fungsinya sama sekali. Ini disebut sebagai koma
hepatikum primer. Dapat pula koma hepatikum timbul
sebagai akibat perdarahan, parasentese, gangguan
elektrolit, obat-obatan dan lain-lain, dan disebut koma
hepatikum sekunder. Pada penyakit hati yang kronis
timbullah gangguan metabolisme protein, dan
berkurangnya pembentukan asam glukoronat dan sulfat.
Demikian pula proses detoksifikasi berkurang. Pada
keadaan normal, amoniak akan diserap ke dalam sirkulasi
portal masuk ke dalam hati, kemudian oleh sel hati
diubah menjadi urea. Pada penderita dengan kerusakan
sel hati yang berat, banyak amoniak yang bebas beredar
dalam darah. Oleh karena sel hati tidak dapat mengubah
amoniak menjadi urea lagi, akhirnya amoniak menuju ke
otak dan bersifat toksik/iritatif pada otak.
3. Ulkus peptikum
Menurut TUMEN timbulnya ulkus peptikum pada penderita
Sirosis Hepatis lebih besar bila dibandingkan dengan
penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan
diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster
dan duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan
kemungkinan lain ialah timbulnya defisiensi makanan.
4. Karsinoma hepatoselular
SHERLOCK (2009) melaporkan dari 1073 penderita
karsinoma hati menemukan 61,3 % penderita disertai
dengan Sirosis Hepatis. Kemungkinan timbulnya karsinoma
pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk postnekrotik
ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan
berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah
menjadi karsinoma yang multiple.
5. Infeksi
Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi,
termasuk juga penderita sirosis, kondisi badannya
menurun. Menurut SCHIFF, SPELLBERG infeksi yang sering
timbul pada penderita sirosis, diantaranya adalah :
peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-
paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis,
sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun
septikemi.
J. Asuhan Keperawatan pada Pasien Sirosis Hepatis
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan berfokuskan pada awitan
gejala dan riwayat faktor-faktor pencetus, khususnya
penyalahgunaan alkohol dalam jangka waktu yang lama
disamping asupan makanan dan perubahan dalam status
jasmani serta rohani penderita. Pola penggunaan alkohol
yang sekarang dan pada masa lampau (durasi dan
jumlahnya) dikaji serta dicatat. Yang juga harus
dicatat adalah riwayat kontak dengan zat-zat toksik di
tempat kerja atau selama melakukan aktivitas rekreasi.
Pajanan dengan obat-obat yang potensial bersifat
hepatotoksik atau dengan obat-obat anestesi umum
dicatat dan dilaporkan.
Status mental dikaji melalui anamnesis dan
interaksi lain dengan pasien; orientasi terhadap orang,
tempat dan waktu harus diperhatikan. Kemampuan pasien
untuk melaksanakan pekerjaan atau kegiatan rumah tangga
memberikan informasi tentang status jasmani dan rohani.
Di samping itu, hubungan pasien dengan keluarga,
sahabat dan teman sekerja dapat memberikan petunjuk
tentang kehilangan kemampuan yang terjadi sekunder
akibat meteorismus (kembung), perdarahan
gastrointestinal, memar dan perubahan berat badan perlu
diperhatikan.
Status nutrisi yang merupakan indikator penting
pada sirosis dikaji melalui penimbangan berat yang
dilakukan setiap hari, pemeriksaan antropometrik dan
pemantauan protein plasma, transferin, serta kadar
kreatinin.
2. Diagnosa dan rencana intervesi
No Intervensi Keperawatan Rasional
1 Diagnosa : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
kelelahan dan penurunan berat badan.
Tujuan : Peningkatan energi dan partisipasi dalam
aktivitas.
1. Tawa 1.Memberikan kalori bagi
rkan diet tinggi kalori, tenaga dan protein bagi
tinggi protein (TKTP). proses penyembuhan.
2. 2.Memberikan nutrien
Berikan suplemen vitamin tambahan.
(A, B kompleks, C dan K)
3. Moti 3.Menghemat tenaga pasien
vasi pasien untuk sambil mendorong pasien
melakukan latihan yang untuk melakukan latihan
diselingi istirahat dalam batas toleransi
pasien.
4.Memperbaiki perasaan sehat
4. Moti secara umum dan percaya
vasi dan bantu pasien diri
untuk melakukan latihan
dengan periode waktu
yang ditingkatkan secara
bertahap
2 Diagnosa keperawatan : Perubahan suhu tubuh: hipertermia
berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis.
Tujuan : Pemeliharaan suhu tubuh yang normal.
1.Catat suhu tubuh secara 1.Memberikan dasar untuk
teratur. deteksi hati dan evaluasi
intervensi.
2.Motivasi asupan cairan 2.Memperbaiki kehilangan
cairan akibat perspirasi
serta febris dan
meningkatkan tingkat
kenyamanan pasien.
3.Lakukan kompres dingin 3.Menurunkan panas melalui
atau kantong es untuk proses konduksi serta
menurunkan kenaikan suhu evaporasi, dan meningkatkan
tubuh. tingkat kenyaman pasien.
4.Berikan antibiotik 4.Meningkatkan konsentrasi
seperti yang diresepkan. antibiotik serum yang tepat
untuk mengatasi infeksi.
5.Hindari kontak dengan 5.Meminimalkan resiko
infeksi. peningkatan infeksi, suhu
tubuh serta laju metabolik.
6.Jaga agar pasien dapat 6.Mengurangi laju metabolik.
beristirahat sementara
suhu tubuhnya tinggi.
3 Diagnosa : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan
ikterus dan status imunologi yang terganggu.
Tujuan : Memperbaiki integritas kulit dan meminimalkan
iritasi kulit.
1.Observasi dan catat 1.Memberikan dasar untuk
derajat ikterus pada deteksi perubahan dan
kulit dan sklera. evaluasi intervensi.
2.Lakukan perawatan yang 2.Mencegah kekeringan kulit
sering pada kulit, mandi dan meminimalkan pruritus.
tanpa menggunakan sabun
dan melakukan masase
dengan losion pelembut
(emolien).
3.Jaga agar kuku pasien 3.Mencegah ekskoriasi kulit
selalu pendek. akibat garukan.
4 Diagnosa : Perubahan status nutrisi, kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan
gastrointestinal.
Tujuan : Perbaikan status nutrisi.
1.Motivasi pasien untuk 1.Motivasi sangat penting
makan makanan dan bagi penderita anoreksia
suplemen makanan. dan gangguan
gastrointestinal.
2.Tawarkan makan makanan 2.Makanan dengan porsi kecil
dengan porsi sedikit dan sering lebih ditolerir
tapi sering. oleh penderita anoreksia.
3.Hidangkan makanan yang 3.Meningkatkan selera makan
menimbulkan selera dan dan rasa sehat.
menarik dalam
penyajiannya.
4.Pantang alkohol. 4.Menghilangkan makanan
dengan “kalori kosong” dan
menghindari iritasi lambung
oleh alkohol.
5.Pelihara higiene oral 5.Mengurangi citarasa yang
sebelum makan. tidak enak dan merangsang
selera makan.
6.Pasang ice collar untuk 6.Dapat mengurangi frekuensi
mengatasi mual. mual.
7.Berikan obat yang 7.Mengurangi gejala
diresepkan untuk gastrointestinal dan
mengatasi mual, muntah, perasaan tidak enak pada
diare atau konstipasi. perut yang mengurangi
selera makan dan keinginan
terhadap makanan.
8.Motivasi peningkatan 8.Meningkatkan pola defekasi
asupan cairan dan yang normal dan mengurangi
latihan jika pasien rasa tidak enak serta
melaporkan konstipasi. distensi pada abdomen.
9.Amati gejala yang 9.Mendeteksi komplikasi
membuktikan adanya gastrointestinal yang
perdarahan serius.
gastrointestinal.
5 Diagnosa : Nyeri dan gangguan rasa nyaman berhubungan
dengan hati yang membesar serta nyeri tekan dan asites.
Tujuan : Peningkatan rasa kenyamanan.
1.Pertahankan tirah baring 1.Mengurangi kebutuhan
ketika pasien mengalami metabolik dan melindungi
gangguan rasa nyaman hati.
pada abdomen.
2.Berikan antipasmodik dan 2.Mengurangi iritabilitas
sedatif seperti yang traktus gastrointestinal
diresepkan. dan nyeri serta gangguan
rasa nyaman pada abdomen.
3.Kurangi asupan natrium 3.Memberikan dasar untuk
dan cairan jika mendeteksi lebih lanjut
diinstruksikan. kemunduran keadaan pasien
dan untuk mengevaluasi
intervensi.
6 Diagnosa : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan
asites dan pembentukan edema.
Tujuan : Pemulihan kepada volume cairan yang normal.
1.Batasi asupan natrium 1.Meminimalkan pembentukan
dan cairan jika asites dan edema.
diinstruksikan.
2.Berikan diuretik, 2.Meningkatkan ekskresi
suplemen kalium dan cairan lewat ginjal dan
protein seperti yang mempertahankan keseimbangan
dipreskripsikan. cairan serta elektrolit
yang normal.
3.Catat asupan dan 3.Menilai efektivitas terapi
haluaran cairan. dan kecukupan asupan
cairan.
4.Ukur dan catat lingkar 4.Memantau perubahan pada
perut setiap hari. pembentukan asites dan
penumpukan cairan.
5. Jelaskan rasional 5.Meningkatkan pemahaman dan
pembatasan natrium dan kerjasama pasien dalam
cairan. menjalani dan melaksanakan
pembatasan cairan.
7 Diagnosa : Pola napas yang tidak efektif berhubungan
dengan asites dan restriksi pengembangan toraks akibat
aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga
toraks.
Tujuan : Perbaikan status pernapasan.
1.Tinggalkan bagian kepala 1.Mengurangi tekanan
tempat tidur. abdominal pada diafragma
dan memungkinkan
pengembangan toraks dan
ekspansi paru yang
maksimal.
2.Ubah posisi dengan 2.Mengurangi kebutuhan
interval. metabolik dan oksigen
pasien.
3.Bantu pasien dalam 3.Meningkatkan ekspansi
menjalani parasentesis (pengembangan) dan
atau torakosentesis. oksigenasi pada semua
a.Berikan dukungan dan bagian paru).
pertahankan posisi a.Parasentesis dan
selama menjalani torakosentesis (yang
prosedur. dilakukan untuk
b.Mencatat jumlah dan mengeluarkan cairan dari
sifat cairan yang rongga toraks) merupakan
diaspirasi. tindakan yang menakutkan
c.Melakukan observasi bagi pasien. Bantu pasien
terhadap bukti agar bekerja sama dalam
terjadinya batuk, menjalani prosedur ini
peningkatan dispnu dengan meminimalkan
atau frekuensi denyut resiko dan gangguan rasa
nadi. nyaman.
b.Menghasilkan catatan
tentang cairan yang
dikeluarkan dan indikasi
keterbatasan pengembangan
paru oleh cairan.
c.Menunjukkan iritasi
rongga pleura dan bukti
adanya gangguan fungsi
respirasi oleh
pneumotoraks atau
hemotoraks (penumpukan
udara atau darah dalam
rongga pleura).

DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2009). Keperawatan
medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran (EGC).
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C.
Geisser. (2010). Rencana asuhan keperawatan : pedoman
untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Tjokronegoro dan Hendra Utama. (2014). Ilmu penyakit dalam
jilid 1. Jakarta: FKUI.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (2011). Patofisiologi,
konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit
EGC.

Anda mungkin juga menyukai