Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

HIV-AIDS
DI RUANG BOUGENVILE RSUD BANYUMAS

Oleh :
WIDI RAHMANINGSIH, S.Kep
2011040038

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
HIV-AIDS

1. Pengertian
HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif
lama dapat menyebabkan AIDS. Sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma 
penyakit yang muncul secara kompleks  dalam waktu relatif lama karena penurunan
sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
Acquired Immune Deficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala
penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus HIV
ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina dan
air susu ibu. Virus tersebut merusak kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan
turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.
(Nursalam, 2017)
2. Etiologi
AIDS adalah gejala dari penyakit yang mungkin terjadi saat system imun
dilemahkan oleh virus HIV. Penyakit AIDS disebabkan oleh Human
Immunedeficiency Virus (HIV), yang mana HIV tergolong ke dalam kelompok
retrovirus dengan materi genetik dalam asam ribonukleat (RNA), menyebabkan AIDS
dapat membinasakan sel T-penolong (T4), yang memegang peranan utama dalam
sistem imun. Sebagai akibatnya, hidup penderita AIDS terancam infeksi yang tak
terkira banyaknya yang sebenarnya tidak berbahaya, jika tidak terinfeksi HIV (Daili,
2015)
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
a. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
b. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes
illness.
c. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
d. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam
hari, BB menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
e. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system
tubuh, dan manifestasi neurologist.
3. Patofisiologi
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen dan
secret Vagina. Sebagaian besar ( 75% ) penularan terjadi melalui hubungan seksual.
HIV tergolong retrovirus yang mempunyai  materi genetic RNA. Bilaman virus
masuk kedalam tubuh penderita ( sel hospes ), maka RNA virus diubah menjadi
 oleh ensim reverse transcryptase yang dimiliki oleh HIV . DNA pro-virus tersebut
kemudian diintegrasikan kedalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk
membentuk gen virus.
HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen
pembukaan CD4, terutama sekali limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam
mengatur dan mempertahankan system kekebalan tubuh. Selain tifosit T4,virus juga
dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit
folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri
dan sel-sel mikroglia otak Virus yng masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya
mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel
limfosit itu sendiri.
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut atau
Acute Roviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan CD4 (Cluster
Differential Four) dan peningkatan kadar RNA Nu-HIV dalam plasma. CD4 secara
perlahan akan menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih
cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load
( jumlah virus HIV dalam darah ) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan
kemudian turun pada suatu level titik tertentu maka viral load secara perlahan
meningkat. Pada fase akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3
kemudian diikuti timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara cepat dan
muncul komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV rata – rata
kemampuan bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun. (DEPKES RI,
2015)
4. Pathway

Hubungan seksual dengan pasangan yang Transfusi darah yang Tertusuk jarum bekas Ibu hamil
berganti-ganti, dengan yang terinfeksi HIV terinfeksi HIV penderita HIV menderita HIV

Virus masuk dalam tubuh lewat luka berdarah

Sperma terinfeksi masuk kedalam


tubuh pasangan lewat membran
Virus Masuk Dalam Peredaran Darah Dan Invasi Sel Target Hospes
mukosa vagina, anus yang lecet atau
luka

T helper / CD4+ Makrofag Sel B

Terjadi perubahan pada struktural sel diatas akibat transkripsi RNA virus + DNA sel sehingga terbentuknya provirus

Sel penjamu (T helper, limfosit B, makrofag) mengalami kelumpuhan

Menurunnya sistem kekebalan tubuh

Infeksi Oportunistik

Sistem GIT Integumen Sistem Reproduksi Sistem respirasi Sistem neurologi

Virus HIV + kuman Herpes zoster + Candidiasis Mucobakterium TB Kriptococus


salmonela, Herper simpleks
clostridium, candida

PCP (Pneumonia
Pneumocystis) Meningitis Kriptococus
Ulkus Genital
Dermatitis Serebroika
Menginvasi
mukosa saluran
cerna Demam, Batuk Non
Perubahan Status
Ruam, Difus, Bersisik, Produktif, Nafas Pendek
Mental, Kejang,
Folikulitas, kulit kering, Kaku Kuduk,
Peningkatan peristaltik mengelupas eksema Kelemahan, Mual,
kehilangan nafsu
MK :
- Hipertermi makan, Vomitus,
- Bersihan Jalan Nafas Demam, Panas,
tidak efektif Pusing
Diare Psoriasis - Pola Nafas Tidak
Efektif
Terapi trimetoprim
sulfame

Mk : MK :
MK : Gangguan
- Diare - Resiko cedera
Integritas - Defisit Nutrisi
- Defisit Nutrisi Kulit Ruam, Pruritus,
- Resiko - Risiko
Papula, Makula Merah Ketidakseimbangan
Ketidakseimbang Muda
an Cairan cairan
- Intoleransi Aktivitas

Nyeri Akut
5. Stadium Penyakit
Menurut Nursalam (2017) pembagian stadium HIV menjadi AIDS ada empat stadium
yaitu
a. Stadium pertama HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologi
ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi positif.
Rentan waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi terhadap HIV
menjadi positif disebut window period. Lama window period satu sampai tiga
bulan, bahkan ada yang berlangsung sampai enam bulan.
b. Stadium kedua asimtomatik ( tanpa gejala )
Asimtomatik berarti bahwa didalam organ tubuh tidak menunjukkan gejala -
gejala. Keadaan ini dapat berlangsung selama 5 – 10 tahun. Pasien yang tampak
sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.
c. Stadium ketiga pembesaran kelenjar limfe
Pembesaran kelenjar limfe secara menetapdan merata (Persistent Generalized
Lymphadenopaty), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung
selama satu bulan.
d. Stadium keempat AIDS.
Keadaan inidisertai adanya bermacam – macam penyakit antara lain penyakit
saraf, infeksi sekunder dan lain – lain
6. Manifestasi Klinis
Menurut Nursalam (2017) tanda dan gejala penyakit AIDS menyebar luas dan pada
dasarnya dapat mengenai semua sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi
HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi dan efek langsung HIV pada jaringan
tubuh. Adanya HIV dalam tubuh seseorang tidak dapat dilihat dari penampilan luar.
Orang yang terinfeksi tidak akan menunjukan gejala apapun dalam jangka waktu yang
relatif lama (±7-10 tahun) setelah tertular HIV. Masa ini disebut masa laten. Orang
tersebut masih tetap sehat dan bisa bekerja sebagaimana biasanya walaupun darahnya
mengandung HIV. Masa inilah yang mengkhawatirkan bagi kesehatan masyarakat,
karena orang terinfeksi secara tidak disadari dapat menularkan kepada yang lainnya.
Dari masa laten kemudian masuk ke keadaan AIDS dengan gejala sebagai berikut:
Gejala Mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
Gejala Minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang
c. Kandidias orofaringeal
d. Limfadenopati generalisata
e. Ruam
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.
1.      Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu selepas
infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,
limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat
badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy,
mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini
muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis
dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik narkoba
daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan hilang akibat
respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita HIV akan
mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
 2.      Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan
bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara
langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA
virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien
dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3.      Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,
gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit
yang disebut AIDS.
7. Pencegahan Penularan
Dengan mengetahui cara penularan HIV, maka akan lebih mudah melakukan langkah-
langkah pencegahannya. Secara mudah, pencegahan HIV dapat dilakukan dengan
rumusan ABCDE yaitu:
a. A= Abstinence, tidak melakukan hubungan seksual atau tidak melakukan
hubungan seksual sebelum menikah
b. B = Being faithful, setia pada satu pasangan, atau menghindari berganti-ganti
pasangan seksual
c. C = Condom, bagi yang beresiko dianjurkan selalu menggunakan kondom secara
benar selama berhubungan seksual
d. D = Drugs injection, jangan menggunakan obat (Narkoba) suntik dengan jarum
tidak steril atau digunakan secara bergantian
e. E = Education, pendidikan dan penyuluhan kesehatan tentang hal-hal yang
berkaitan dengan HIV/AIDS
8. Pemeriksaan Diagnostik
Pada daerah di mana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan diagnosis
dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain (cerebrospinal fluid)
penderita.
1. ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi (Baratawidjaja). Kelebihan teknik
ELISA yaitu sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1 %-100% (Kresno). Biasanya
memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah menggunakan
antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap envelope dan core (Kresno,
2017).
2. Western Blot
Western blot biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu
protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain. Biasanya
protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen yang
mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan gp41.
Western blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun
pemeriksaan cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Kresno,
2017).
3. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan PCR yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi maternal masih
ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis maupun status infeksi
individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi dan sebagai tes konfirmasi untuk
HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah untuk HIV-2 (Kresno, 2001). Pemeriksaan CD4
dilakukan dengan melakukan imunophenotyping yaitu dengan flow cytometry dan cell
sorter. Prinsip flowcytometry dan cell sorting (fluorescence activated cell sorter, FAST)
adalah menggabungkan kemampuan alat untuk mengidentifasi karakteristik permukaan
setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi
menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu celah, yang ditembus
oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas sinar laser menimbulkan sinyal
elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap
karakteristik molekul pada permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat
diidentifikasi dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan demikian,
alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan menghitung jumlah
masing-masing dalam suatu populasi campuran (Kresno, 2017).
9. Penatalaksanaan
A. Non Farmakologi
1. Fisik
Aspek fisik pada PHIV ( pasien terinfeksi HIV ) adalah pemenuhan
kebutuhan fisik sebagai akibat dari tanda dan gejala yang terjadi. Aspek
perawatan fisik meliputi :
a) Universal Precautions
Universal precautions adalah tindakan pengendalian infeksi sederhana
yang digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua pasien
setiap saat, pada semua tempat pelayanan dalam rangka mengurangi risiko
penyebaran infeksi.
Selama sakit, penerapan universal precautions oleh perawat, keluraga,
dan pasien sendiri sangat penting. Hal ini di tunjukkan untuk mencegah
terjadinya penularan virus HIV.
Prinsip-prinsip universal precautions meliputi:
1). Menghindari kontak langsung dengan cairan tubuh. Bila mengenai
cairan tubuh pasien menggunakan alat pelindung, seperti sarung
tangan, masker, kacamata pelindung, penutup kepala, apron dan
sepatu boot. Penggunaan alat pelindung disesuakan dengan jenis
tindakan yang akan dilakukan.
2). Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, termasuk
setelah melepas sarung tangan.
3). Dekontaminasi cairan tubuh pasien.
4). Memakai alat kedokteran sekali pakai atau mensterilisasi semua alat
kedokteran yang dipakai (tercemar).
5). Memelihara kebersihan tempat pelayanan kesehatan.
6). Membuang limbah yang tercemar berbagai cairan tubuh secara benar
dan aman.
b) Peran perawat dan pemberian ARV
1). Manfaat penggunaan obat dalam bentuk kombinasi adalah:
(a) Memperoleh khasiat yang lebih lama untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya resistensi.
(b) Meningkatkan efektivitas dan lebih menekan aktivitas virus.
Bila timbul efek samping, bisa diganti dengan obat lainnya, dan
bila virus mulai rasisten terhadap obat yang sedang digunakan
bisa memakai kombinasi lain.

2). Efektivitas obat ARV kombinasi:


(a) ARV kombinasi lebih efektif karena memiliki khasiat ARV
yang lebih tinggi dan menurunkan viral load lebih tinggi
dibandingkan dengan penggunaan satu jenis obat saja.
(b) Kemungkinan terjadi resistensi virus kecil, akan tetapi bila
pasien lupa minum dapat menimbulkan terjadinya resistensi.
(c) Kombinasi menyebabkan dosis masing-masing obat lebih kecil,
sehingga kemungkinan efek samping lebih kecil.
c) Pemberian nutrisi
Pasien dengan HIV/ AIDS sangat membutuhkan vitamin dan mineral
dalam jumlah yang lebih banyak dari yang biasanya diperoleh dalam
makanan sehari- hari. Sebagian besar ODHA akan mengalami defisiensi
vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan
HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan penyerapan
nutrient. Hal ini berhubungan dengan menurunnya atau habisnya
cadangan vitamin dan mineral dalam tubuh. Defisiensi vitamin dan
mineral pada ODHA dimulai sejak masih dalam stadium dini. Walaupun
jumlah makanan ODHA sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat,
tetapi akan tetap terjadi defisiensi vitamin dan mineral.
d) Aktivitas dan istirahat
(a) Manfaat olah raga terhadap imunitas tubuh
Hamper semua organ merespons stress olahraga. Pada keadaan akut ,
olah raga akan berefek buruk pada kesehatan, olahraga yang
dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi organ tubuh yang
berefek menyehatkan
(b) Pengaruh latihan fisik terhadap tubuh
(1) Perubahan system tubuh
Olahraga meningkatkan cardiac output dari 5 i/menit menjadi
20 1/menit pada orang dewasa sehat. Hal ini menyebabkan
peningkatan darah ke otot skelet dan jantung.
(2) Sistem pulmoner
Olahraga meningkatkan frekuensi nafas, meningkatkan
pertukaran gas serta pengangkutan oksigen, dan penggunaan
oksigen oleh otot.
(3) Metabolisme
Untuk melakukan olah raga, otot memerlukan energi. Pada olah
raga intensitas rendah sampai sedang, terjadi pemecahan
trigliserida dan jaringa adiposa menjadi glikogen dan FFA (free
fatty acid). Pada olahraga intensitas tinggi kebutuhan energy
meningkat, otot makin tergantung glikogen sehingga
metabolisme berubah dari metabolisme aerob menjadi anaerob
2. Psikologis (strategi koping)
Mekanisme koping terbentuk melalui proses dan mengingat. Belajar yang
dimaksud adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh
internal dan eksterna
3. Sosial
Dukungan social sangat diperlukan PHIV yang kondisinya sudah sangat
parah. Individu yang termasuk dalamdan memberikan dukungan social
meliputi pasangan (suami/istri), orang tua, anak, sanak keluarga, teman, tim
kesehatan, atasan, dan konselor.
B. Farmakologis :
Belum ada penyembuhan bagi AIDS, sehingga pencegahan infeksi HIV perlu
dilakukan. Pencegahan berarti tidak kontak dengan cairan tubuh yang tercemar HIV.
a. Pengendalian Infeksi Oportunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk
mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus
dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk
pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya < 3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien
dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 >
500 mm3.
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas sistem imun dengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya.
Obat-obat ini adalah : didanosine, ribavirin, diedoxycytidine, dan recombinant CD
4 dapat larut.
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon,
maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang
proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan
terapi AIDS.
1) Pendidikan untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan-makanan
sehat, hindari stress, gizi yang kurang, alkohol dan obat-obatan yang
mengganggu fungsi imun.
2) Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
10. Komplikasi
a. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
1. Kandidiasis oral
Kandidiasis oral adalah suatu infeksi jamur, hampir terdapat secara
universal pada semua penderita AIDS serta keadaan yang berhubungan
dengan AIDS. Infeksi ini umumnya mendahului infeksi serius lainnya.
Kandidiasi oral ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam
rongga mulut. Tanda –tanda dan gejala yang menyertai mencakup keluhan
menelan yang sulit serta nyeri dan rasa sakit di balik sternum (nyeri
retrosternal). Sebagian pasien juga menderita lesi oral yang mengalami
ulserasi dan menjadi rentan terutama terhadap penyebaran kandidiasis ke
sistem tubuh yang lain.
2. Sarcoma Kaposi
Sarcoma Kaposi (dilafalkan KA- posheez), yaitu kelainaan malignitas
yang berkaitan dengan HIV yang sering ditemukan , merupakan penyakit
yang melibatkan lapisan endotil pembuluh darah dan limfe.
b. Neurologik
1. Kompleks dimensi AIDS karena serangan langsung HIV pada sel saraf,
berefek perubahan kepribadian, kerusakan, kemampuan motorik,
kelemahan, disfasia, dan isolasi sosial. Sebagian basar penderita mula-mula
mengeluh lambat berpikir atau sulit berkonsentrasi dan memusatkan
perhatian. Penyakit ini dapat menuju dimensia sepenuhnya dengan
kelumpuhan pada stadium akhir. Tidak semua penderita mencapai stadium
akhir ini.
2. Enselophaty akut karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ ensefalitis. Dengan efek sakit
kepala, malaise, demam, paralise total/ parsial.
Ensefalopati HIV. Disebut pula sebagai kompleks demensia AIDS (ADC;
AIDS dementia complex), ensefalopati HIV terjadi sedikitnya pada dua
pertiga pasien –pasien AIDS. Keadaan ini berupa sindrom klinis yang
ditandai oleh penurunan progresif pada fungsi kognitif, perilaku dan
motorik. Tanda –tanda dan gejalanya dapat samar- samar serta sulit
dibedakan dengan kelelahan, depresi atau efek terapi yang merugikan
terhadap infeksi dan malignansi
3. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan
menarik endokarditis.
4. Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh serangan HIV dengan disertai
rasa nyeri serta patirasa pada akstremitas, kelemahan, penurunan refleks
tendon yang dalam, hipotensi orthostatik dan impotensi.
c. Gastrointestinal
1. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma
dan sarkoma Kaposi. Dengan efek penurunan berat badan, anoreksia,
demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
2. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam
atritik.
3. Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal
yang sebagai infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal,
gatal-gatal dan diare.
d. Respirasi
Infeksi karena pneumocystic carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloidiasis dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan gagal nafas.
e. Dermatologi
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis , reaksi
otot, lesi scabies, dan dekopitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi
sekunder dan sepsis.
f. Sensorik
1. Pandangan: Sarkoma kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan.
2.Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri.
11. Prognosis HIV/AIDS
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS
meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien
terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis (Widoyono, 2014)

A. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN HIV/AIDS


1. Pengkajian
a. Identitas klien
b. Riwayat Keperawatan
1. Riwayat kesehatan saat ini
2. Riwayat kesehatan masa lalu
3. Riwayat penyakit keluarga
4. Diagnosa medis dan terapi
5. Pola fungsi kesehatan (Riwayat bio-psiko-sosial-spiritual)
a) Pola persepsi dan pengetahuan
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi
pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri.
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, Keluarga
mengatakan saat masuk RS px hanya mampu menghabiskan ⅓ porsi makanan,
Saat pengkajian keluarga mengatakan px sedikit minum, sehingga diperlukan
terapi cairan intravena.
c) Pola eliminasi
Mengkaji pola BAK dan BAB px
d) Pola aktifitas dan latihan
Pasien terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik, tetapi px mampu
untuk duduk, berpindah, berdiri dan berjalan.
e) Pola istirahat
Px mengatakan tidak dapat tidur dengan nyenyak, pikiran kacau, terus gelisah.
f) Pola kognitf dan perseptual (sensoris)
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal
dan peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama
sakit, px mampu memberikan penjelasan tentang keadaan yang dialaminya.
g) Pola persepsi dan konsep diri
Pola emosional px sedikit terganggu karena pikiran kacau dan sulit tidur.
h) Peran dan tanggung jawab
Keluarga ikut berperan aktif dalam menjaga kesehatan fisik pasien.
i) Pola reproduksi dan sexual
Mengkaji perilaku dan pola seksual pada px
j) Pola penanggulangan stress
Stres timbul akibat pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
penyakitnya, px merasakan pikirannya kacau. Keluarga px cukup perhatian
selama pasien dirawat di rumah sakit.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi
cemas dan takut, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu, dimana px dan
keluarga percaya bahwa masalah px murni masalah medis dan menyerahkan
seluruh pengobatan pada petugas kesehatan.
6. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. Sistem kardiovaskuler (mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya distensi
vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung)
c. Sistem hematologi (mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali)
d. Sistem urogenital (ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit
pinggang)
e. Sistem muskuloskeletal (mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam
pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak)
f. Sistem kekebalan tubuh (mengetahui ada tidaknya pembesaran kelenjar getah
bening)
7. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah rutin (mengetahui adanya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi).
b. Pemeriksaan foto abdomen (mengetahui adanya komplikasi pasca
pembedahan).
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan dengan suhu tubuh
diatas nilai normal,kulit merah,takikardia, kulit teraba hangat, proses infeksi.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan nafas
dibuktikan dengan batuk tidak efektif, sputum berlebih, wheezing, ronchi.
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme ditandai
dengan berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal, nafsu makan
menurun, membrane mucosa pucat.

4. Resiko hipovolemi dibuktikan dengan gangguan absorpsi cairan, kekurangan


intake cairan.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan dengan suhu tubuh
diatas nilai normal,kulit merah,takikardia, kulit teraba hangat, proses infeksi.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan


termoregulasi membaik dengan kriteria hasil:

Luaran:

 Menggigil menurun
 Kulit merah menurun

 Takikardi menurun

 Suhu tubuh membaik

 Ventilasi membaik

Intervensi:

 Monitor suhu tubuh


 Manajemen hipertermia

 Monitor haluaran urin

 Longgarkan atau lepaskan pakaian


 Lakukan pendinginan eksternal (kompres hangat pada dahi, leher,dada,
abdomen, aksila).

 Berikan oksigen jika perlu

 Kolaborasi pemberian Cairan dan elektrolit intravena jika perlu.

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan nafas
dibuktikan dengan batuk tidak efektif, sputum berlebih, wheezing, ronchi.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan bersihan


jalan nafas meningkat dengan kriteria hasil:

Luaran:

 Batuk efektif meningkat

 Wheezing menurun

 Ronchi menurun

 Dipsneu menurun

Intervensi:

 Identifikasi kemampuan batuk

 Monitor adanya retensi sputum

 Atur posisi semi fowler atau fowler

 Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif.

 Kolaborasi pemberian mukolitik atau expektoran

3. Defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme ditandai


dengan berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal, nafsu makan
menurun, membrane mucosa pucat.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan status nutrisi


membaik dengan kriteria hasil:

Luaran:

 Porsi makan yang dihabiskan meningkat


 Berat badan membaik
 Nafsu makan meningkat

 Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan nutrisi meningkat

Intervensi:

 Manajemen nutrisi
 Promosi berat badan

 Edukasi diet

 Dukungan kepatuhan program pengobatan

 Pemantauan nutrisi

4. Resiko hipovolemi dibuktikan dengan gangguan absorpsi cairan, kekurangan


intake cairan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 jam diharapkan status cairan


membaik, dengan kriteria hasil:

Luaran:

 Kekuatan nadi meningkat


 Turgor kulit meningkat

 Output urine meningkat

 Tekanan darah membaik

 Suhu tubuh menbaik

Intervensi:

 Monitor intake dan out put cairan


 Periksa tanda dan gejala hipovolemia.
 Hitung kebutuhan cairan pasien.

 Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis.

DAFTAR PUSTAKA

Ninuk Dian K, S.Kep.Ners,   Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons). 2017. Asuhan Keperawatan
pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta : Salemba Medika
Nursalam, dkk. 2017. Jurnal Keperawatan Edisi Bulan November. Surabaya;Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga
Price, Sylvia Anderson, Wilsom, Lorraine M. 2016. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, Ed.6. Vol:2. Jakarta: EGC
Smelltzer, Suzane C., Bare, Brenda G. 2015. Keperawatan Medikal-Bedah. Volume 1.
Edisi 8. Jakarta: EGC
PPNI. 2018. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan kriteria hasil
Keperawatan Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai