Belajarlah Tak Hanya Sampai Cina
Belajarlah Tak Hanya Sampai Cina
(Tak
Hanya)
Sampai
Negeri
Cina
CATATAN PERJALANAN
DAHLAN ISKAN
India
Kota
Terbesar
Keempat
Masih
Sekelas
Makassar
Jumat,
22
Agt
2008,
Kemajuan
Negara
Seribu
Tuhan
(1)
Benarkah
I ndia
(negara
yang
dikenal
memiliki
lebih
dari
1.000
Tuhan
itu)
mengalami
kemajuan
luar
biasa
sebagaimana
Tiongkok
(negara
yang
dikenal
Adak
memiliki
Tuhan
sama
sekali
itu)?
Karena
itu,
saya
sudah
agak
lama
ingin
ke
I ndia.
Tentu,
keAka
akhirnya
saya
berangkat
ke
sana,
pekan
lalu,
pikiran
saya
sudah
penuh
dengan
cerita
sukses
dan
angka-‐angka
mengagumkan
yang
belakangan
ini
sering
menghiasi
media
internasional.
K hususnya
cerita
tentang
pertumbuhan
ekonominya
yang
fantasAs
beberapa
tahun
terakhir.
Yang
selalu
bisa
tumbuh
sampai
9
persen
per
tahun.
J uga
cerita
mengenai
pembangunan
infrastrukturnya
yang
dilakukan
secara
besar-‐besaran.
Termasuk
cerita
mengenai
sukses
I ndia
sebagai
pusat
outsourcing
dunia.
Dengan
gambaran
seperA
itu,
saya
membayangkan
suasana
dan
semangat
pembangunan
di
India
seperA
suasana
di
Tiongkok.
SeAdak-‐Adaknya
seperA
Tiongkok
15
tahun
yang
lalu,
keAka
saya
sudah
mulai
sering
ke
sana.
Saya
bayangkan
di
I ndia
sekarang
ini
banyak
sekali
dilakukan
pembangunan
gedung
baru
yang
mencakar
langit,
jalan
tol
yang
meliuk-‐liuk,
jembatan
panjang
yang
berlapis-‐lapis,
pelabuhan
besar
yang
fantasAs,
dan
bandara
modern
yang
gagah.
Bayangan
seperA
itu
muncul
terutama
karena
saya
belum
pernah
ke
I ndia.
Saya
Adak
punya
bayangan
bagaimana
lima
atau
sepuluh
tahun
yang
lalu.
K ecuali
gambaran
bahwa
I ndia
sangat
miskin,
kotor,
dan
banyak
sekali
pengemis.
Tapi,
seberapa
miskin
sebenarnya
saya
Adak
bisa
membayangkan
dengan
baik.
K ecuali
bahwa
sudah
pasA
lebih
miskin
daripada
Indonesia
yang
miskin
itu.
Tetapi,
setelah
lima
tahun
terakhir
saya
selalu
mendengar
dan
membaca
bahwa
I ndia
mengalami
kemajuan
yang
luar
biasa,
saya
sangat
tergoda
untuk
menyaksikannya.
SeperA
Tiongkokkah?
Bagaimana
bisa?
Bukankah
Tiongkok
maju
di
samping
karena
Adak
punya
Tuhan
juga
karena
Adak
ada
demokrasi?
Sebaliknya,
I ndia
menganut
demokrasi
murni
dengan
Tuhan
lebih
dari
seribu?
Bagaimana
negara
berkembang
yang
demokraAs
bisa
begitu
maju?
Tumbuh
9
persen
setahun
selama
beberapa
tahun
terakhir?
Maka,
kali
ini
saya
bertekad
untuk
ke
I ndia.
Tidak
hanya
ke
ibu
kotanya,
tapi
juga
ke
berbagai
wilayahnya.
K ota
besar
dan
kota
kecilnya.
Saya
ingin
membandingkan
seberapa
gegap
gempita
pembangunannya,
terutama
karena
saya
selalu
menyaksikan
gegap
gempita
seperA
itu
di
Tiongkok.
Saya
memilih
mendarat
pertama
di
K ota
C hennai
yang
dahulu
terkenal
dengan
nama
Madras.
I ni
hanya
semata-‐mata
karena
saya
Adak
mau
mendarat
menjelang
tengah
malam.
Semua
penerbangan
dari
Singapura
ke
I ndia
(ke
New
D elhi,
Mumbai,
C alcuta,
K olkata,
Bangalore,
Ahmedabad,
H yderabad)
selalu
Aba
menjelang
tengah
malam
atau
setelah
subuh.
Itu
akan
mengganggu
ritme
hidup
saya
yang
masih
perlu
dijaga
ketat
setelah
setahun
ganA
haA.
Begitu
mendarat,
terutama
setelah
melihat
bandaranya,
saya
bertanya
dalam
haA:
di
mana
itu
wujud
nyata
dari
terjadinya
pertumbuhan
ekonomi
9
persen
selama
lima
tahun?
Ah,
mungkin
saja
bandaranya
memang
masih
dalam
proses
perencanaan
untuk
dibangun
yang
baru.
Maka,
saya
keliling
kota,
antara
lain
dengan
menyeAr
sendiri
mobil
milik
relasi
untuk
mendapatkan
gambaran
yang
lebih
luas.
Tapi,
saya
benar-‐benar
Adak
mendapatkan
kesan
bahwa
ekonomi
negeri
itu
tumbuh
9
persen.
Melihat
K ota
Madras
dari
luarnya,
saya
memperoleh
kesan
bahwa
kota
ini
hanya
tumbuh
kira-‐kira
5
atau
6
persen.
SeperA
pertumbuhan
ekonomi
I ndonesia
sekarang
ini.
Memang
ada
proyek
pembangunan
jalan
layang
atau
tol
dalam
kota,
tapi
jumlahnya
Adak
banyak.
Sepanjang
perjalanan
dari
bandara
ke
pusat
kota,
saya
hanya
melihat
satu
proyek
jalan
layang
yang
panjangnya
sekitar
10
km.
I tu
pun
dikerjakan
dengan
jumlah
pekerja
dan
peralatan
yang
Adak
menunjukkan
suasana
sedang
dikebut.
Memang
ada
beberapa
gedung
baru,
namun
bukan
gedung
yang
spektakuler.
P aling
hanya
gedung
berlantai
12
yang
muncul
di
sana-‐sini
secara
sporadis.
D i
jalan-‐jalan
memang
mulai
tampak
mobil-‐mobil
baru,
namun
tetap
dominan
mobil
lama.
Misalnya
Fiat
tahun
1970-‐an.
Tempat
rekreasinya
(Madras
memiliki
pantai
terpanjang
kedua
di
dunia)
juga
Adak
terurus.
Masih
juga
seperA
P antai
K enjeran
Surabaya.
K ebun
binatang
dan
taman-‐taman
hiburannya
sama
saja.
P enataan
dan
perawatannya
masih
khas
kota
negara
berkembang.
Kondisi
itu
jauh
dari
bayangan
saya
akan
Madras.
P adahal,
Madras
bukan
kota
sembarangan.
Pada
1700-‐an,
kota
itu
sudah
amat
terkenal
sebagai
hub
perdagangan
Timur
dan
Barat.
Yakni
keAka
I nggris
dan
Belanda
masih
rukun.
K erukunan
itu
diwujudkan
dalam
bentuk
mendirikan
perusahaan
bersama
di
seluruh
H india
Raya
dengan
bidang
usaha
menguasai
sumber
rempah-‐rempah
dan
teksAl.
KeAka
perusahaan
baru
berumur
dua
tahun,
hubungan
Belanda
dan
I nggris
memburuk.
L alu,
mereka
sepakat
pisah.
P erusahaan
itu
dibelah
dua.
Belanda
memilih
menguasai
I ndonesia
dengan
perdagangan
rempah-‐rempahnya,
sedangkan
I nggris
mendapatkan
wilayah
I ndia
dengan
bidang
usaha
utama
teksAlnya.
Tetapi,
Belanda
tetap
harus
menggunakan
Madras
sebagai
hub
pelabuhan
rempah-‐rempah,
sedangkan
I nggris
menggunakan
pelabuhan
K olkata
untuk
hub
perdagangan
teksAlnya.
J adi,
dalam
benak
saya,
Madras
pasAlah
kota
besar
yang
amat
penAng.
Karena
itu,
saya
seperA
kecewa
keAka
mendarat
di
Madras
tersebut.
Meski
merupakan
kota
terbesar
ke-‐4
di
I ndia,
saya
melihat
wajah
kota
itu
ternyata
hanya
seperA
Makassar.
Tipologinya
memang
amat
mirip
Makassar.
D i
ibu
kota
Sulsel
memang
sudah
mulai
muncul
gedung
baru
seperA
Sahid
H otel
atau
Sedona
H otel
atau
Graha
P ena,
tapi
masih
tenggelam
oleh
keadaan
sekitarnya
yang
terkesan
kumuh.
Bahkan,
hotel
bintang
lima
seperA
Sheraton
Madras,
tempat
saya
menginap,
hanya
mewah
di
dalamnya.
Tamannya
seperA
masuk
bagian
yang
harus
dihemat
anggarannya.
Begitulah
umumnya
taman
di
Madras,
baik
taman
kota
maupun
taman
perkantoran
dan
perhotelan.
Hanya
mirip
benar
dengan
Makassar.
Di
Surabaya
gedung-‐gedung
baru
dengan
taman
yang
rindang
sudah
kelihatan
menonjol
meski
itu
baru
di
satu-‐dua
kawasan
baru.
K adang
juga
masih
kalah
kuat
dengan
kawasan
kumuh
yang
sangat
luas
di
mana-‐mana:
D upak,
Tambaksari,
K eputran,
dan
banyak
lagi.
D i
bagian
yang
maju
dan
indah,
Surabaya
masih
menang
daripada
Madras.
D i
bagian
kumuhnya
juga
masih
menang.
Maksud
saya,
Surabaya
masih
lebih
kumuh.
Sekali
lagi,
saya
Adak
tahu
bagaimana
kota
Madras
lima
atau
sepuluh
tahun
yang
lalu.
Saya
hanya
bisa
menyimpulkan,
kalau
keadaan
seperA
itu
dikatakan
ekonominya
tumbuh
9
persen
setahun,
pasAlah
sepuluh
tahun
yang
lalu
luar
biasa
kumuhnya.
Tetapi,
saya
belum
mau
menarik
kesimpulan
tergesa-‐gesa.
I tu
kan
baru
Madras.
Siapa
tahu
pertumbuhan
ekonomi
yang
amat
Anggi
itu
bisa
terlihat
di
bagian
lain
I ndia.
Namun,
dari
kunjungan
ke
Madras
itu,
saya
sudah
bisa
menarik
Aga
kesimpulan.
P ertama,
sangat
mungkin
I ndia
akan
segera
melewaA
I ndonesia.
L antas,
begitu
berhasil
melewaA,
Indonesia
akan
dengan
cepat
meninggalkan
jauh
I ndonesia.
K isah
15
tahun
lalu,
saat
Indonesia
mulai
diAnggalkan
Tiongkok
dan
kini
sudah
terlalu
jauh
di
belakang,
bisa-‐bisa
terulang.
K ali
ini
oleh
I ndia.
Kedua,
meski
kemajuannya
begitu
pesat,
apa
yang
terjadi
di
I ndia
Adak
sama
dengan
di
Tiongkok.
P ada
15
tahun
yang
lalu
pun,
gegap
gempita
pembangunan
ekonomi
di
Tiongkok
sudah
amat
terasa.
Bukan
hanya
di
kota-‐kota
utamanya,
melainkan
sudah
sampai
ke
kota-‐
kota
level
keAganya
(seperA
ibu
kota
kabupaten).
K ini
Tiongkok
sudah
menggebrak
kota-‐kota
level
kawedanan
dan
kecamatannya.
KeAga,
ekonomi
sudah
mulai
mengalahkan
poliAk
di
I ndia.
D ampak
perubahan
orientasi
itu
amat
besar
untuk
modal
pembangunan
berikutnya.
Yakni
mampu
menciptakan
opAmisme
warganya
secara
luar
biasa.
Rakyat,
rupanya,
sudah
merasakan
perubahan
dalam
kehidupannya.
SeAdaknya,
mereka
sudah
mulai
melihat
harapan
baru.
Sebuah
harapan
yang
muncul
oleh
adanya
perubahan
nyata.
Bukan
oleh
sebuah
wacana
semata.
Semua
orang
I ndia
yang
saya
temui
geleng-‐geleng
kepala
mengagumi
kemajuan
I ndia
saat
ini.
Mereka
juga
sangat
opAmisAs
dalam
sepuluh
tahun
mendatang
I ndia
akan
lebih
maju
secara
luar
biasa.
“Bisa
mengalahkan
Tiongkok,”
ujar
seorang
manajer
perusahaan
yang
menyertai
saya
dengan
nada
berapi-‐api.
“Sudah
pernah
ke
Tiongkok?”
tanya
saya.
“Belum,”
jawabnya.
Diserang
320
Gugatan,
Proyek
Tol
Berlanjut
Sabtu,
23
Agustus
2008
Melihat
Kemajuan
Negara
Seribu
Tuhan
(2)
Bagaimana
negara
berkembang
dengan
demokrasi
yang
sangat
ruwet
seperA
I ndia
bisa
membangun
jalan
tol?
Bukankah
mesAnya
amat
sulit?
Rupanya,
I ndia
sudah
biasa
dengan
keruwetan,
sehingga
lama-‐lama
menemukan
juga
solusinya.
BukAnya,
dalam
delapan
tahun
terakhir
ini
saja
I ndia
sudah
berhasil
membangun
jalan
tol
sepanjang
5.700
km.
Itulah
jalan
tol
tahap
pertama
di
I ndia.
I mpian
yang
sejak
15
tahun
lalu
dibayangkan
dan
baru
kali
ini
terwujudkan.
Jaringan
jalan
tol
itu
sudah
benar-‐benar
selesai
akhir
tahun
lalu.
I nilah
contoh
dari
I ndia.
Begitu
membangun
langsung
sangat
panjang.
Membelah
daratan
I ndia
yang
sangat
luas
itu
mulai
utara
(New
D elhi)
ke
pojok
barat
laut
(Mumbai),
terus
ke
selatan
(Bangalore)
ke
pojok
tenggara
(Madras),
ke
tengah
(Hyderabad),
ke
pojok
Amur
laut
(Kolkata),
balik
ke
utara
(New
Delhi).
J aringan
jalan
tol
itu
lantas
mirip
kerangka
layang-‐layang.
K ini
mulai
pembangunan
tahap
kedua
sepanjang
7.800
km
yang
menghubungkan
kota-‐kota
besar
itu
dengan
kota-‐kota
sedang
di
sekitarnya.
Apakah
sebagai
negara
berkembang
yang
sangat
demokraAs
I ndia
Adak
mengalami
keruwetan
seperA
di
I ndonesia?
Sebenarnya,
ya,
ruwet
juga.
Misalnya,
saat
membangun
jalan
tol
dari
K ota
Bangalore
ke
Mysore.
J arak
kedua
kota
itu
sejauh
250
kilometer,
mirip
jarak
Surabaya-‐Probolinggo-‐Jember
di
J awa
Timur.
Sebelum
mulai
membangun
pun
kontraktornya
digugat
para
pemilik
tanah
dan
L SM.
Bukan
hanya
satu
atau
dua
gugatan
ke
pengadilan
yang
merepotkannya.
Total
ada
320
jenis
gugatan!
K alau
gugatan
sebanyak
itu
dilayani
seperA
di
I ndonesia,
untuk
menunggu
keputusan
finalnya
saja
belum
selesai
dalam
100
tahun.
K ita
membayangkan
kalau
untuk
250
kilometer
saja
kontraktor
menerima
320
gugatan,
berapa
ribu
gugatan
yang
masuk
ke
pengadilan
untuk
5.700
kilometer
jalan
tol
itu.
Namun,
di
I ndia
sudah
sangat
berbeda
sekarang.
Meski
gugatan
ke
pengadilan
jalan
terus,
pembangunan
jalan
tol
juga
Adak
berhenA.
K oran
juga
Adak
henA-‐henAnya
memberitakan
gugatan
itu,
tapi
Adak
berpengaruh
pada
penyelesaian
jalan
tol.
Beberapa
hal
yang
dipersoalkan,
misalnya,
rusaknya
lingkungan
dan
banyaknya
tanah
yang
berubah
fungsi.
Ada
pihak
penggugat
yang
jalan
pikirannya
begini:
untuk
jalan
tol
sepanjang
250
kilomter
itu
menghabiskan
tanah
3.500
hektare.
L alu,
karena
jalan
tol
itu
Adak
melewaA
kota
besar,
jadinya
kurang
ekonomis.
Maka,
dibangunlah
lima
kota
baru
di
sepanjang
jalur
jalan
tol
tersebut.
K ota
baru
ini
menghabiskan
tanah
7.000
hektare.
Begitu
banyak
tanah
yang
dimakan
jalan
tol.
Lalu
ada
pula
yang
mempersoalkan
begini:
pembangunan
jalan
tol
itu
hanya
untuk
menghemat
perjalanan
dari
Bangalore
ke
Mysore
1,5
jam
(dari
semula
perlu
3
jam).
“Apakah
penghematan
perjalanan
yang
hanya
1,5
jam
itu
sebanding
dengan
hilangnya
tanah
8.500
ha?”
tanya
salah
satu
gugatan
publik
itu.
Toh,
jalan
tol
itu
selesai
juga
tahun
lalu.
Tentu
manfaatnya
Adak
sesederhana
“penghematan
perjalanan
1,5
jam”
itu.
D engan
jalan
tol
tersebut
wilayah
pedalaman
I ndia
bagian
selatan
bisa
terhubung
dengan
kota
besar
di
Amurnya
(Madras)
yang
memiliki
pelabuhan
besar.
Apalagi,
Madras
kini
dikenal
sebagai
D etroit-‐nya
I ndia,
karena
pabrik
mobil
terbesar
dibangun
di
sini.
Bahkan,
karena
jalan
tol
itu
juga
nyambung
dengan
jalan
tol
ke
arah
pantai
barat
(Bangalore-‐
Mumbai),
berarA
juga
terbukanya
akses
wilayah
pedalaman
ke
pelabuhan
pantai
barat
di
Mumbai.
I ni
sangat
penAng
karena
pelabuhan
Mumbai
(dulu
Bombay)
merupakan
pelabuhan
terbesar
di
I ndia
dan
kini
sedang
dimodernisasikan.
Jalan
tol
di
I ndia
umumnya
dibangun
di
sebelah
jalan
lama.
D engan
demikian,
di
sebagian
besar
jaringan
jalan
tol
I ndia
terdapat
jalan
umum
di
sebelahnya.
H anya
dibatasi
pagar
besi
rendah.
C ara
ini
rupanya
ditempuh
untuk
mempercepat
pembebasan
lahan.
D engan
cara
itu
hanya
perlu
pembebasan
tanah
yang
Adak
terlalu
banyak.
D an
lagi,
jalan
lama
memang
Adak
seberapa
berliku.
I ni
karena
perencanaannya
di
zaman
dulu
(oleh
penjajah
I nggris)
memang
sangat
baik.
Bukan
saja
relaAf
lurus,
juga
hampir
selalu
tersedia
area
sempadan
yang
sangat
lebar
di
kiri
kanan
jalan
lama
itu.
Saya
memang
terkesan
dengan
terjaganya
sempadan
jalan
di
I ndia
ini.
Meski
negaranya
begitu
miskin
dan
penduduknya
begitu
banyak
(1,1
miliar
orang
saat
ini),
sempadan
jalannya
relaAf
terjaga
dari
“penjarahan
liar”.
Memang
sempadan
jalan
itu
umumnya
seperA
tanah
telantar.
K alau
di
I ndonrsia,
barangkali
sudah
dianggap
tanah
Adak
bertuan.
D i
I ndia
tanah
kosong
itu
terjaga
sangat
baik.
Tidak
banyak
rumah
liar
atau
tempat
usaha
liar
yang
Aba-‐Aba
memenuhi
sempadan
itu.
I ni
sangat
berbeda
dengan
pemandangan
sempadan
jalan
dari
arah
Surabaya
ke
Mojokerto,
atau
dari
Surabaya
ke
Malang.
J uga
di
mana
saja
di
seluruh
Indonesia
yang
sempadan
jalannya
penuh
dengan
bangunan
liar.
Akibatnya,
perjalanan
ke
Malang,
misalnya,
Adak
nyaman
lagi.
P engguna
jalan
Adak
bisa
lagi
menyaksikan
pemandangan
indah
di
kejauhan
sana.
Meski
begitu
demokraAsnya,
meski
begitu
miskinnya,
dan
meski
begitu
banyak
penduduknya,
saya
menaruh
hormat
dengan
terjaganya
sempadan
jalan
di
I ndia.
Termasuk
di
ibu
kota
New
D elhi.
D i
seluruh
kota
itu
jalannya
memang
Adak
lebar,
tapi
sempadan
jalannya
lebih
lebar
daripada
jalannya
sendiri.
D i
kiri
dan
kanannya.
Semua
bangunan
berada
jauh
dari
jalan.
Memang
sempadan
jalan
itu
hanya
ditumbuhi
pohon-‐pohon
yang
meskipun
sangat
hijau,
tapi
Adak
terawat.
Tapi,
tampaknya
ini
hanya
semata-‐mata
karena
I ndia
belum
punya
uang
saja.
K elak,
kalau
I ndia
sudah
mulai
kaya,
pasA
dengan
mudah
bisa
mempercanAknya.
Rupanya
New
D elhi
memang
dijaga
agar
Adak
jatuh
menjadi
Old
D elhi.
Biarlah
yang
“kacau-‐
kacau”
cukup
di
bagian
kota
lama
itu.
L uar
biasa
ruwet
dan
kumuhnya
Old
D elhi.
Tapi,
ya
hanya
di
kota
lama
itu
yang
Adak
seberapa
luas.
New
D elhi
dijaga
agar
semaksimal
mungkin
masih
seperA
aslinya
saat
dibangun
I nggris
lebih
100
tahun
lalu.
Tuntutan
kemajuan
dan
modernisasi
ditampung
di
kota-‐kota
baru.
Gedung-‐
gedung
baru
yang
Anggi
dibangun
di
wilayah
baru
yang
cukup
jauh
dari
New
D elhi.
I ni
rasanya
mirip
dengan
kebijakan
Malaysia,
yang
keAka
kota
K uala
L umpur
mulai
penuh,
diputuskan
membangun
kota
baru
Syah
Alam.
K eAka
Syah
Alam
juga
mulai
penuh,
dibangun
lagi
kota
yang
lebih
baru:
P utra
J aya.
D engan
demikian,
masing-‐masing
kota
terjaga
akan
kemampuan
daya
tampungnya.
D aya
tampung
penduduknya,
suplai
airnya,
penanganan
sampahnya,
dan
seterusnya.
Di
I ndonesia,
rasanya
Anggal
satu
kota
yang
terjaga
seperA
itu.
Yakni,
P alangkaraya.
D i
ibu
kota
K alteng
itu,
pemdanya
bisa
memegang
teguh
ketentuan
izin
bangunan.
Ruko
pun
harus
dibangun
jauh
dari
jalan.
Ruko
inilah
yang
sebenarnya
menghancurkan
perkotaan
di
Indonesia.
D i
semua
kota,
kecuali
P alangkaraya
tadi.
Bahkan,
D enpasar
yang
indah
pun
sudah
hancur
oleh
ruko
yang
dibangun
mepet
ke
jalan
itu.
Di
New
D elhi
saya
memang
mendapat
kesan
yang
lain
dari
di
Madras.
D i
ibu
kota
I ndia
ini,
pembangunan
lebih
terasa
pesat.
D i
New
D elhi
saya
bisa
membenarkan
kalau
ekonomi
I ndia
tumbuh
pesat
sampai
9
persen
setahun.
Bahkan,
bisa
seperA
12
persen
setahun.
Pembangunan
jalan
layang,
gedung
baru,
kota-‐kota
satelit,
apartemen-‐apartemen
mewah
terasa
cukup
banyak.
Namun,
juga
jangan
dibayangkan
seperA
di
Beijing
atau
Shanghai
atau
Guangzhou
atau
bahkan
Qingdao
dan
D alian.
P embangunan
J akarta
rasanya
masih
lebih
seru
daripada
New
Delhi.
D ari
sini
saya,
sekali
lagi,
menarik
kesimpulan
bahwa
masih
jauh
bagi
I ndia
untuk
mendekaA
Tiongkok.
Semangat
orang-‐orang
I ndia
untuk
maju
memang
terasa
sangat
besar.
Tapi,
tetap
Adak
sebesar
Tiongkok.
Secara
kasar
saja
sudah
bisa
dilihat.
D i
Tiongkok
saya
melihat
semua
proyek
baru
selalu
seperA
ingin
diselesaikan
besok
pagi.
P ukul
5
pagi
(musim
salju
sekali
pun),
tenaga
kerja
sudah
sibuk
di
proyek,
termasuk
di
puncak-‐puncak
bangunan
yang
belum
jadi.
P ukul
11
malam
mereka
baru
meninggalkan
proyek.
I tu
pun
masih
ada
beberapa
tenaga
yang
terus
bekerja
sepanjang
malam.
Misalnya,
bagian
angkut-‐angkut.
Mengangkut
sisa-‐sisa
pekerjaan
dibawa
keluar
dan
mengangkut
material
yang
diperlukan
besok
ke
dalam
proyek.
Di
I ndia,
kehidupan
masih
berjalan
normal,
seperA
juga
di
I ndonesia.
P ekerja
proyek
baru
mulai
berdatangan
pukul
08.00
dan
sudah
pulang
pukul
17.00.
D ari
sini
saja
kita
bisa
membaca
apa
yang
terjadi
di
baliknya.
Tapi,
seAdaknya
saya
juga
belajar
bahwa
demokrasi
ternyata
Adak
perlu
menghalangi
pembangunan
jalan
tol.
Bahwa
para
pengambil
keputusannya
harus
lebih
pintar
dan
banyak
akal,
itu
memang
konsekuensinya.
Misalnya
saja
untuk
membangun
jalan
tol
di
daerah
yang
penduduknya
padat
dan
miskin,
ada
satu
kebijakan
yang
sangat
pintar:
tanahnya
diganA
150
persen
dari
harga
pasar
dan
salah
satu
anggota
keluarga
pemilik
tanah
dijadikan
pegawai
negeri.
D engan
cara
ini,
meski
pemilik
tanah
kehilangan
sumber
hidupnya,
ada
pengganA
sumber
hidup
yang
juga
cukup
permanen.
Apakah
dengan
demikian
Adak
akan
ada
pembengkakan
jumlah
pegawai
negeri?
Teman
saya,
seorang
pengusaha
yang
sangat
akAf
memperhaAkan
pembangunan
jalan
tol
di
I ndia
ini
menjawab:
“India
kan
sangat
besar.
Masih
bisa
menampung.
Toh
daripada
menerima
pegawai
negeri
yang
Adak
menyebabkan
lancarnya
pembangunan
infrastruktur.
Saya
akui
cara
ini
cukup
cerdas.”
Rapuh
di
Modal
Sosial,
Kuat
“Tanaman
Keras”
Minggu,
24
Agustus
2008
Kemajuan
Negara
Seribu
Tuhan
(3)
Akankah
I ndia
menjadi
bukA
dari
tesis
”demokrasi
dulu
baru
kemudian
makmur?”
ArAnya,
apakah
tanda-‐tanda
akan
terjadinya
kemajuan
pesat
sekarang
ini
buah
dari
demokrasinya
yang
sudah
dia
jalani
selama
60
tahun?
Akankah
I ndia
jadi
bukA
bahwa
untuk
berdemokrasi
Adak
perlu
nunggu
makmur
dulu
seperA
yang
terjadi
di
Taiwan,
K orea,
dan
kemungkinan
Tiongkok
nanAnya?
Untuk
menjadi
maju
seperA
sekarang,
Tiongkok
memang
perlu
menderita
dalam
sistem
komunisme
selama
40
tahunan.
D emikian
juga,
untuk
bisa
mencapai
pertumbuhan
ekonomi
yang
Anggi
seperA
belakangan
ini,
I ndia
perlu
menderita
dalam
sistem
demokrasi
murninya
selama
60
tahunan.
Kini,
Tiongkok
memang
sudah
kelihatan
lebih
maju
20
tahun
lebih
cepat
dari
I ndia.
Tapi,
Tiongkok
masih
harus
melewaA
satu
ujian:
bagaimana
bisa
melewaA
masa
transisi
ke
bentuk
demokrasinya
kelak.
Apakah
akan
lancar
sebagaimana
di
Taiwan
dan
K orea?
Atau
akan
seperA
I ndonesia
yang
prosesnya
sangat
”keras”
dan
menghabiskan
waktu
10
tahun?
Saya
sendiri
memperkirakan
masa
transisi
ke
demokrasi
itu
akan
bisa
dilewaA
Tiongkok
dengan
soe
landing.
I barat
kungfu,
Tiongkok
akan
punya
banyak
jurus
mabuk
sekali
pun.
Proses
menjadi
demokrasi
di
tengah
masyarakat
yang
sudah
lebih
makmur
akan
lebih
lancar
karena
rakyatnya
sudah
lebih
dewasa.
I barat
main
kungfu
pula,
kelasnya
mudah
naik
karena
fisiknya
sudah
sangat
baik.
Karena
itu,
saya
memperkirakan
dalam
15
tahun
ke
depan
Tiongkok
sudah
akan
menjadi
negara
demokrasi.
Yakni,
setelah
Tiongkok
berhasil
membangun
pedesaannya
yang
sudah
dimulai
sejak
lima
tahun
yang
lalu.
Memberikan
demokrasi
sekarang,
kelihatannya
dianggap
masih
rawan
karena
kesenjangan
kota-‐desa,
Amur-‐barat,
pantai-‐pedalaman,
dan
kaya-‐miskin
masih
sangat
lebar.
I ndeks
Gini
Tiongkok
masih
berada
di
Angkat
4,6.
Saya
memperkirakan
Tiongkok
akan
membuka
sistem
demokrasinya
setelah
indeks
Gini-‐nya
mencapai
3,8
atau
4.
(Indeks
Gini
adalah
tolok
ukur
untuk
melihat
Angkat
kesenjangan
kemakmuran
penduduknya.
K ian
kecil
angkanya,
kian
baik
Angkat
pemerataannya.
I ndeks
Gini
I nggris
3,1
dan
yang
terbaik
Swedia
2,3.
Memang,
indeks
Gini
bukan
satu-‐satunya
ukuran
kebaikan,
karena
bisa
saja
di
suatu
negara
indeks
Gini-‐nya
bagus
karena
masih
sama-‐sama
miskin.
Indeks
Gini
I ndia
dan
I ndonesia
sama:
3,6)
India
Adak
perlu
lagi
melewaA
proses
tersebut.
Tapi,
I ndia
telanjur
keAnggalan
jauh.
I tu
bukan
berarA
I ndia
Adak
punya
persoalan
besar.
I ndia
masih
harus
menghadapi
ujian
berat:
apakah
teori
”bahwa
air
itu
pasA
menetes”
(trickle
down
effect
theory)
akan
berjalan
baik
di
India.
ArAnya,
apakah
uang
yang
beredar
di
lapisan
atas
yang
mulai
banyak
yang
kaya
itu
juga
bisa
menetes
cukup
deras
ke
bawah.
Apakah
jari-‐jarinya
sangat
rapat,
sehingga
air
yang
di
telapak
tangan
itu
Adak
menetes
sama
sekali.
Maksudnya,
apakah
dalam
proses
kemajuan
ini,
tetap
saja
yang
kaya
akan
menjadi
semakin
kaya,
sehingga
kesenjangannya
dengan
yang
miskin
kian
melebar.
Itu
antara
lain
hasil
dari
doktrin
Mao
Zedong.
Misalnya,
wanita
harus
memakai
celana
panjang
(soal
di
dalamnya
terserah
masing-‐masing)
dan
harus
mengenakan
baju
seperA
laki-‐
laki.
J uga
harus
angkat
senjata
dan
memegang
alat
kerja.
Rambutnya
pun
diatur:
harus
dikepang
dua.
P rodukAvitas
wanita
itulah
yang
Aada
duanya
dan
kemudian
menular
ke
Vietnam.
Di
Tiongkok,
konflik
ras,
keyakinan,
dan
wilayah
hampir
Adak
ada.
Fleksibilitas
berpikirnya
seperA
gerakan
tai
chi.
P eradabannya
juga
sangat
tua,
termasuk
dalam
peradaban
baca-‐tulis
(ingat:
kertas
ditemukan
di
Tiongkok).
Di
I ndia,
social
capital-‐nya
kalah
jauh.
W anitanya
masih
jauh
terAnggal.
K onflik
antar
keyakinan
masih
rawan.
Bukan
berarA
I ndia
Adak
punya
kekuatan.
P eradaban
I ndia
juga
sangat
tua,
termasuk
dalam
baca-‐tulis
(perguruan
Anggi
pertama
di
dunia
adalah
di
I ndia).
Hasil
keseriusannya
di
bidang
pendidikan
kini
sudah
mulai
berbuah.
H ampir
semua
orang
India
bisa
berbahasa
I nggris,
sesuatu
yang
belum
terjadi
di
Tiongkok.
Berkahnya:
kini
I ndia
menjadi
negara
No
1
di
dunia
dalam
penerimaan
hasil
dari
warga
mereka
yang
bekerja
di
luar
negeri.
Tiongkok
hanya
nomor
3,
jauh
setelah
Meksiko.
Tahun
lalu
saja,
TKI-‐nya
(tenaga
kerja
India)
mengirim
uang
ke
kampung
halamannya
sebesar
Rp
250
triliun!
( USD
27
miliar).
Maklum,
tenaga
kerja
I ndia
adalah
dari
kalangan
terdidik.
Memang,
meski
negara
miskin,
I ndia
sangat
memperhaAkan
pendidikan.
Sekolah
negeri
di
sana
belajar
sampai
pukul
4
sore
(Sabtu-‐Minggu
libur).
Makan
siang
siswanya
ditanggung
negara
(pemda),
sedangkan
biaya
pendidikannya
ditanggung
pusat.
Semua
graAs:
buku-‐buku,
peralatan
tulis,
pakaian
seragam
Aga
setel
setahun,
sepatu,
dan
fasilitas
olahraga.
Gurunya,
meski
gajinya
rata-‐rata
dengan
di
I ndonesia,
mendapat
perumahan
dengan
listrik
dan
air
dibayar
negara.
Itulah
hasil
tanaman
keras
di
I ndia.
P anennya
lama
(50
tahun),
tapi
begitu
panen
hasilnya
banyak,
Adak
pernah
berhenA
dan
Adak
perlu
menanam
yang
baru
di
seAap
musim.
Bukan
saja
uang
dari
TKI
yang
Rp
250
triliun
itu
akan
terus
meningkat
(Aga
tahun
lalu
baru
separonya),
tapi
buah
dari
tanaman
keras
tersebut
juga
berupa
kukuhnya
fondasi
kemajuan
yang
diraih
sekarang.
D engan
”tanaman
keras”
itu,
I ndia
jadi
punya
modal
sosial
yang
siap
menjadi
tonggak
kemajuannya
sekarang
ini.
Di
samping
soal
wanita,
I ndia
juga
masih
punya
persoalan
besar
dalam
menyediakan
social
capital
satu
ini:
sistem
kasta
di
masyarakatnya.
Sebagai
negara
demokrasi
yang
sudah
berumur
60
tahun,
ternyata
I ndia
belum
bisa
menghilangkan
nilai
kekastaan
itu.
Bahkan,
di
bawah
kasta
keempat
(Sudra),
masih
ada
satu
lapisan
masyarakat
lagi
yang
disebut
”Adak
berkasta”.
I tulah
golongan
yang
kemudian
disebut
D alit
(mudah-‐mudahan
kata
tulalit
Adak
diambil
dari
sini),
satu
golongan
yang
Adak
ada
yang
mau
menyentuhnya.
K arena
itu,
mereka
itu
juga
disebut
untouchable
society.
Mahatma
Gandhi
menghaluskannya
dengan
sebutan
anak-‐anak
Tuhan.
Akankah
sistem
demokrasi
I ndia,
kalau
terus
konsisten,
akan
juga
bisa
menyelesaikannya?
Momentum
Mengikis
Kasta
dengan
Ekonomi
Senin,
25
Agustus
2008
Kemajuan
Negara
Seribu
Tuhan
(4)
KAPANKAH
sistem
sosial
yang
masih
berkasta-‐kasta
akan
berakhir
di
I ndia?
Sehingga,
kemajuan
ekonominya
yang
pesat
beberapa
tahun
terakhir
ini
bisa
lebih
cepat
lagi?
Sistem
kasta
memang
masih
sangat
terasa
dan
menghambat
kemajuan
di
I ndia.
Namun,
sebenarnya
sudah
banyak
juga
berubah.
D i
kota-‐kota
besar
sudah
lebih
Adak
terasa.
Tapi,
di
kota
kecil,
apalagi
di
pedesaan,
perubahan
terjadi
seperA
kalau
saya
membaca
email
dalam
bahasa
Mandarin:
sangat
lambat.
Kemajuan
telah
terbukA
bisa
membawa
harapan.
H arapan
membawa
opAmisme
warganya.
Kemajuan,
harapan,
dan
opAmisme
keAka
menjadi
satu
akan
melahirkan
percepatan
kemajuan.
Sistem
kasta
pun
kelak
akan
terlindas
oleh
kemajuan
yang
kian
cepat
itu.
I ndia
kelihatannya
sudah
mencapai
momentum
itu.
Momentum
yang
pernah
kita
capai
pada
1970-‐an
yang
telah
membawa
I ndonesia
ke
kemajuan
di
era
1980-‐an,
tapi
kemudian
hancur
akibat
krisis
moneter.
L alu
momentum
itu
muncul
lagi
pada
2000.
Tapi,
hilang
lagi
dalam
waktu
cepat.
Kini
kelihatannya
gejala
momentum
itu
akan
muncul
lagi
-‐kali
ini
mudah-‐mudahan
Adak
akan
hilang
lagi.
Momentum
yang
sama
didapat
Tiongkok
pada
1980
yang
kemudian
bisa
dipegang
terus
tanpa
pernah
hilang
sampai
sekarang.
Tiongkok
bisa
jadi
akan
kehilangan
momentum
itu
kalau
harga
minyak
dunia
yang
sudah
sempat
mencapai
U SD
146
per
barel
itu
terus
melejit
hingga
U SD
200
per
barel.
Tapi,
Tiongkok
kelihatannya
terhindar
dari
kehilangan
momentum
itu
karena
tanda-‐tanda
ke
arah
harga
minyak
yang
tak
terkendali
sudah
Adak
ada
lagi.
Setelah
zaman
kemerdekaan
gerakan
anAkasta
kian
besar.
Apalagi
setelah
1980-‐an.
K alau
selama
40
tahun
setelah
kemerdekaan
fokus
masyarakat
I ndia
di
bidang
poliAk,
setelah
1980-‐an
beralih
ke
soal
kasta.
Meski
begitu,
kalau
dilihat
apa
yang
terlihat
sekarang,
hasil
semua
gerakan
itu
masih
kurang
memadai.
Memang
ketua
Mahkamah
Agung
I ndia
sekarang
dijabat
seorang
D alit,
tapi
masih
sangat
sedikit
yang
bisa
mencapai
level
atas.
Sistem
kasta
itu
rupanya
sudah
sangat
mengakar
di
tengah
masyarakat
sehingga
begitu
sulit
menghapuskannya.
P adahal,
U UD
I ndia
yang
dilahirkan
pada
1950
sudah
menghapuskan
sistem
kasta
secara
resmi.
Yang
disebut
kasta
itu
ternyata
bukan
hanya
empat
(Brahma,
K satria,
W aisya,
dan
Sudra)
seperA
yang
kita
pelajari
dalam
buku
sejarah
di
sekolah.
Masih
ada
satu
lapisan
lagi
yang
masuk
kasta
Sudra
pun
Adak
layak.
K asta
ini
dulu
Adak
bernama
-‐seAdaknya
dirinya
sendiri
Adak
pernah
memberi
nama.
Tapi,
karena
orang
di
lapisan
atasnya
harus
menyebut
mereka,
maka
nama
Adak
resmi
kemudian
lahir.
Banyak
sekali
sebutan
untuk
mereka.
K ian
lama
rupanya
kian
perlu
menyeragamkankannya.
Maka,
disebutlah
mereka
kaum
jembel.
K alangan
pejuang
dan
intelektual
modern
lantas
menyebut
mereka
”kalangan
Adak
tersentuh
kemanusiaan”.
Mahatma
Gandhi,
sebagai
pejuang
utama
bangsa
I ndia,
menyebut
mereka
kaum
harijan
alias
”anak-‐anak
Tuhan”.
Tapi
terakhir,
mereka
sendiri,
dengan
nada
memberontak
meresmikan
nama
kelompok
mereka
dengan
sebutan
D alit.
Kalau
dulu
lapisan
atas
menyebut
nama
kelompok
mereka
itu
dengan
agak
berbisik,
kini
kelompok
itu
sendiri
yang
justru
menggunakannya
dengan
terang-‐terangan,
resmi,
dan
lantang.
K arena
sistem
demokrasi
memungkinkan,
belakangan
lahir
pula
partai
resmi
kelompok
ini:
P artai
D alit.
Pejuang
penghapusan
kasta
di
I ndia
yang
paling
hebat
adalah:
B.R.
Ambedkar.
Saking
kerasnya
orang
ini,
sampai-‐sampai
Gandhi
yang
menyebut
mereka
sebagai
”anak-‐anak
Tuhan”
pun
dia
kecam
dan
dia
musuhi
habis-‐habisan.
Sampai
ke
forum
internasional
kala
itu.
D engan
memberi
sebutan
itu,
kata
Ambedkar,
sama
saja
Gandhi
meresmikan
terbentuknya
satu
kasta
lagi
di
bawah
kasta
Sudra
dengan
nama
”kasta
anak-‐anak
Tuhan”.
Kenyataannya
sekarang,
70
persen
umat
penganut
K risten
atau
K atolik
di
I ndia
berasal
dari
kalangan
D alit.
Masih
terus
menjadi
pembicaraan
apakah
hal
itu
karena
K risten
lebih
bisa
menerima
mereka,
atau
memanfaatkan
mereka
atau
mereka
sendiri
yang
lebih
homing
berada
di
sana.
Yang
masuk
I slam
atau
Buddha
juga
minim.
Mayoritas
D alit
yang
jumlahnya
sekitar
200
juta,
masih
tetap
H indu.
Mereka
menyebutkan
di
K risten
dan
I slam,
ternyata
dalam
kenyataan
masyarakatnya
juga
masih
menganut
kasta,
hanya
dengan
isAlah
berbeda.
SeAdaknya
begitulah
pengataman
Ambedkar.
Sampai sekarang dari 156 bishop di sana hanya enam yang dari D alit.
Ambedkar
sendiri
lahir
dari
keluarga
D alit.
Sejak
kecil
dia
diajari
membaca
kitab
klasik
Mahabharata
dan
Ramayana.
H anya,
bapaknya
jadi
tentara
penjajah
I nggris.
D engan
posisi
bapaknya
itu,
Ambedkar
bisa
masuk
sekolah.
H anya,
teman-‐teman
dan
gurunya
tetap
Adak
bisa
menerima
kalau
Ambedkar
duduk
bersama
mereka
di
dalam
kelas.
Maka
bocah
Ambedkar
mengikuA
pelajaran
dari
luar
tembok.
Ambedkar
cilik
juga
Adak
bisa
minum.
P eralatan
minum
seperA
gelas
dan
keran
Adak
boleh
digunakan
untuk
orang
D alit.
K alau
toh
dia
harus
minum,
harus
ada
seseorang
yang
mengucurkan
air
dari
atas.
I ni
agar
tangan
dan
mulut
seorang
D alit
Adak
menyentuh
gelas
atau
ujung
keran
itu.
D engan
cara
minum
seperA
itu,
kalau
mulut
seorang
Ambedkar
Adak
berhasil
menangkap
air,
kesempatan
minum
pun
hilang.
D an
tak
terulang
lagi.
Ambedkar
rupanya
”anak
Tuhan”
yang
pandai
dari
sononya.
Meski
hanya
belajar
secara
menginAp
dari
luar
kelas,
dia
selalu
lulus
dengan
amat
baik.
Mulai
S D
sampai
S MA.
K eAka
Ambedkar
masuk
universitas
di
Bombay,
dia
anak
D alit
pertama
yang
masuk
perguruan
Anggi.
P enjajah
I nggris
dengan
beasiswa
yang
minim
lantas
mengirimnya
ke
sekolah
lebih
Anggi
di
I nggris.
L alu
dapat
beasiswa
juga
ke
Amerika.
D ia
belajar
apa
saja:
hukum,
sosiologi,
bahkan
kemudian
keuangan.
K embali
ke
I ndia
dia
menghadapi
kenyataan
sosial
di
masyarakatnya:
dikawinkan
dengan
gadis
berumur
9
tahun
yang
sudah
dipersiapkan
keluarganya.
Tahun
itu
juga
memperoleh
anak.
Ambedkar
menjadi
pejuang
hebat
untuk
kaumnya.
D ia
membenci
apa
saja
yang
ada
di
sistem
sosial
I ndia
saat
itu
-‐awal
1900.
Sistem
kastanya,
sistem
keagamaannya,
dan
bahkan
sistem
pemerintahannya
-‐meski
pemerintah
itu
yang
membuatnya
bisa
sekolah
di
I nggris.
D i
I nggris
itulah
rupanya
dia
bersentuhan
dengan
gerakan
baru
yang
memang
lagi
hangat
di
seluruh
Eropa:
ajaran
K arl
Marx
dan
terjadinya
revolusi
Bolsyewik
di
Rusia.
Bahkan,
keAka
istrinya
berkali-‐kali
minta
izin
untuk
ziarah
ke
kuil
P andhapur
yang
menjadi
dambaan
hidupnya,
Ambedkar
tetap
Adak
mengizinkannya.
Ambedkar
merasa
istrinya
hanya
akan
menjadi
korban
diskriminasi
di
kuil
itu.
”Kelak
saya
akan
bikinkan
kuil
P andhapur
sendiri,”
katanya
kepada
istrinya.
Sampai
istrinya
meninggal
beberapa
tahun
kemudian,
keinginan
ziarah
itu
Adak
terkabul.
K uil
yang
dijanjikan
juga
belum
terbangun.
KeAka
I nggris
memberikan
kemerdekaan
I ndia
pada
1947,
Ambedkar
menjadi
ketua
Am
perumus
U UD
I ndia.
D ia
juga
pernah
jadi
ketua
parlemen.
Fotonya
kini
abadi
menghiasi
gedung
parlemen
I ndia
bersama
foto
Mahatma
Gandhi
yang
pernah
dia
musuhi
itu.
D i
hari
tuanya
yang
menderita
karena
diabetes,
dia
mendalami
ajaran
Buddha
dan
resmi
masuk
agama
itu.
K ehebohan
melanda
I ndia
karena
bersama
itu
tercatat
setengah
juta
pengagumnya
ikut
masuk
Buddha.
PerisAwa
itu
pada
tahun-‐tahun
berikutnya
yang
panjang
terus
memicu
ketegangan
antara
orang
H indu
ekstrem
dan
Buddha
ekstrem.
Suatu
keAka
patung
Ambedkar
Aba-‐Aba
berkalung
rentengan
sandal
jepit.
Umat
Buddha
yang
tentu
berlatar
belakang
D alit
tersinggung
dan
marah.
Begitulah
ketegangan
demi
ketegangan
masih
terus
terjadi.
D i
permukaan
maupun
di
bawahnya.
Namun,
dengan
demokrasi,
semua
persoalan
menjadi
bisa
lebih
dibuka.
Tapi,
karena
hidup
menyebar
di
banyak
negara
bagian,
mereka
Adak
kunjung
berhasil
menang
pemilu
dan
menguasai
pemerintahan.
P emilu
sistem
distrik
di
I ndia
Adak
memungkinkan
terakumulasinya
suara
D alit.
Baru
tahun
lalu
P artai
D alit
meraih
mayoritas
di
negara
bagian
Umarpradesh
(bangunan
Taj
Mahal
yang
terkenal
itu
berada
di
provinsi
ini).
Maka,
kini
jabatan
menteri
besar
(seAngkat
gubernur
tapi
dengan
kekuasaan
otonomi
yang
jauh
lebih
besar)
dipegang
tokoh
D alit.
W anita
pula.
Namanya
MayawaA.
MayawaA
sebenarnya
pernah
menjadi
presiden
di
negara
bagian
dengan
penduduk
hampir
200
juta
jiwa
itu
(hampir
sebesar
I ndonesia)
Aga
tahun
lalu,
tapi
hanya
sebentar.
Tidak
sampai
satu
tahun.
MayawaA
dijatuhkan
lawannya
dengan
tuduhan
korupsi.
K ini
posisi
MayawaA
lebih
kukuh.
Namanya
lebih
populer
(dalam
pengerAan
termasuk
membuat
heboh)
setelah
dia
mengambil
putusan
ini:
mengangkat
Ambedkar
sebagai
pahlawan
resmi
negara
bagian
Umarpradesh.
Belum
cukup
dengan
itu,
MayawaA
mengangkat
Sidharta
Gautama
-‐Tuhan
yang
mahaesa
umat
Buddha-‐
juga
sebagai
pahlawan
resmi.
Salah
satu
pemikiran
posiAf
kini
juga
mulai
berkembang
di
I ndia.
P ara
pejuang
D alit
yang
mulai
masuk
kalangan
poliAk
atas,
sudah
mau
mengubah
strategi
perjuangan.
Mereka
umumnya
sepakat
Adak
perlu
lagi
secara
vulgar
memperjuangkan
kaum
D alit.
H al
itu
hanya
akan
sangat
sensiAf
untuk
kasta
yang
di
atas
yang
secara
riil
masih
memegang
sistem
sosial
yang
berlaku.
K ini
para
pejuang
D alit
hampir
sepakat
membungkusnya
dengan
”memperjuangkan
golongan
miskin
dari
kasta
apa
pun”.
D engan
demikian,
toh
kalau
berhasil,
yang
akan
paling
terangkat
adalah
kaum
D alit.
Saya
kira
strategi
baru
itu
memang
lebih
tepat.
Sebab,
di
luar
D alit
masih
ada
300-‐an
subkasta
yang
tergolong
sangat
miskin.
J umlah
mereka
ini
saja
mencapai
sekitar
500
juta
orang!
Sampai
sekarang
para
peneliA,
Barat
dan
Timur,
belum
berhasil
mengungkap
dan
menyepakaA
bagaimana
sejarah
lahirnya
sistem
kasta
dulu.
D ari
berbagai
literatur
yang
saya
baca,
termasuk
yang
saya
pakai
untuk
bahan-‐bahan
serial
tulisan
saya
ini,
Adak
ada
satu
pendapat
yang
amat
kuat
mengenai
asal-‐usul
sistem
kekastaan
ini.
Sistem
empat
kasta
yang
serupa
sebenarnya
terjadi
juga
di
I ran
(agamawan
selalu
dari
kelompok
Athravan,
militer
dari
kelompok
Rathaestha,
pedagang
dari
kelompok
Vastriya
dan
pekerja/petani
dari
kelompok
HuiA),
tapi
mengapa
hasilnya
berbeda.
Ada
yang
menyebut
awal
mula
terjadinya
kasta-‐kasta
itu
akibat
masuknya
orang-‐orang
yang
berdarah
I ndo-‐Arya
ke
I ndia
dari
wilayah
barat
laut.
I nilah
kelompok
yang
kemudian
menempatkan
diri
sebagai
lapisan
teratas.
K elihatannya
agak
masuk
akal
karena
selama
itu
pemilik
darah
Arya
selalu
merasa
dirinyalah
golongan
terAnggi
di
dunia
ini.
Tapi,
ada
pendapat
bahwa
sebelum
kedatangan
mereka
pun
sebenarnya
sudah
ada
sistem
kasta
itu
di
India
Selatan,
seAdaknya
dua
kasta
terbawah.
Penjajahan
I nggris
yang
panjang
(lebih
dari
dua
abad)
di
I ndia
ternyata
Adak
bisa
mengubah
sistem
ini.
Bahkan,
malah
semacam
meresmikannya
karena
ilmu
Barat
seperA
staAsAk
penduduk
memerlukan
penyebutan
resmi.
Bahkan
lagi,
dalam
sistem
penjajahan
itu,
menjadi
resmilah
bahwa
kasta
tertentu
sama
dengan
pekerjaan
tertentu.
Kini
kita
menyandarkan
harapan
pada
percepatan
kemajuan
ekonomi
akan
mempercepat
hilangnya
sistem
kasta
itu.
SeAdaknya
”menyembunyikannya”
ke
bawah
karpet,
sebagaimana
di
bagian-‐bagian
lain
di
dunia
ini,
termasuk
di
masyarakat
kita.
Bukankah
sikap
menggolong-‐golongkan
orang
berdasar
tuan,
pembantu,
pegawai,
pedagang,
dan
les
miserables
(kaum
jembel)
sebenarnya
masih
terus
terjadi
sampai
sekarang
-‐termasuk
di
sekeliling
kita
sendiri?
Bangalore
Jadi
Model
Kota
Baru
Gandhiabad
Selasa,
26
Agustus
2008
Kemajuan
Negara
Seribu
Tuhan
(5-‐Habis)
KOTA
terakhir
yang
saya
kunjungi
adalah
Bangalore.
I nilah
kota
yang
Aba-‐Aba
sangat
terkenal
di
peta
dunia
mutakhir.
Tak
lain
karena
di
kota
bagian
selatan
I ndia
itu
menjadi
pusat
outsourcing
dunia.
Banyak
perusahaan
Amerika
atau
Eropa
yang
punya
kantor
di
situ
tanpa
mereka
sendiri
tahu
seperA
apa
bentuk
kantornya,
kecuali
lewat
internet.
Misalkan
Anda
menelepon
ke
satu
perusahaan
terkenal
di
Amerika.
Atau
menanyakan
suatu
produk
perusahaan
Amerika.
Atau
bahkan
menanyakan
penerbangan
Anda
dengan
pesawat
Amerika.
L alu,
ada
orang
yang
menerima
telepon
di
sana
dalam
bahasa
I nggris.
J angan
selalu
Anda
sangka
bahwa
Anda
sedang
berbicara
dengan
seseorang
di
Amerika.
Sangat
mungkin,
penjawab
telepon
Anda
itu
orang
di
Bangalore.
Atau
Anda
memesan
soeware.
P esannya
ke
Amerika
dan
soeware
Anda
dikirim
dari
Amerika.
Sebenarnya,
sangat
mungkin
pesanan
Anda
itu
masuk
ke
Bangalore
dan
menerimanya
pun
dari
Bangalore
tanpa
singgah
sama
sekali
di
Amerika.
Kota
tersebut
mendapatkan
banyak
julukan
yang
membanggakan:
P lug
and
P lay
C ity,
W orld
Teleport
C ity,
W orld
I T
H ub,
atau
bahkan
Silicon
Valley
I ndia.
Sayang,
keAka
Aba
di
Bangalore
lagi
hari
libur
(dan
karena
itu
Adak
bisa
masuk
ke
kompleks
pusat
outsourcing
ini),
tapi
saya
menjadi
tahu
“bentuk
fisik”-‐nya.
Di
pinggir
kota
berpenduduk
4,5
juta
itu,
terdapat
satu
kompleks
seluas
20
hektare
yang
penuh
dengan
gedung
baru
sangat
modern.
P uluhan
gedung
kaca
saling
terhubung
oleh
koridor.
H alamannya
sangat
luas
dengan
pertamanan
sekelas
Singapura.
I tulah
kompleks
gedung
seAnggi
12
lantai
penampung
20.000
tenaga
kerja
yang
semuanya
profesional.
Kompleks
tersebut
hidup
terus
24
jam
karena
harus
melayani
banyak
negara
dengan
jam
yang
berbeda.
Siang
di
Amerika
atau
Eropa
berarA
malam
di
I ndia.
K arena
itu,
jaringan
listriknya
independen
dan
berlapis
Aga.
Kompeks
tersebut
sangat
mencolok
di
Bangalore
karena
sangat
kontras
dengan
keadaan
umum
kota
itu.
Tapi,
terasa
bahwa
kompleks
tersebut
telah
menjadi
pendobrak
perubahan
besar-‐besaran
di
K ota
Bangalore.
D i
tengah-‐tengah
kondisi
kota
yang
masih
seperA
Palembang
(Sumatera
Selatan),
kini
juga
muncul
banyak
proyek
baru.
J alan-‐jalannya
sedang
diperlebar.
Ring
road
sedang
giat-‐giatnya
dibangun.
Gedung-‐gedung
baru
mulai
bermunculan.
D ebu
masih
beterbangan
karena
pembongkaran
bagian-‐bagian
lama
sedang
berlangsung.
Sudah
banyak
toko
dan
warung
yang
dipermak
wajah
depannya.
Bahkan,
di
sekitar
kompleks
itu,
kini
dibangun
puluhan
gedung
apartemen
pencakar
langit,
pusat-‐pusat
outsourcing
baru,
proyek-‐proyek
serupa,
hotel-‐hotel
bintang
lima,
dan
pusat
hiburan.
Saya
memperkirakan,
sepuluh
tahun
ke
depan
Bangalore
sudah
berubah
menjadi
kota
modern.
Bandaranya,
yang
baru
saja
selesai
dibangun
Aga
bulan
lalu,
Adak
terlalu
besar,
tapi
berselera
amat
Anggi.
K elihatan
sekali
bahwa
desain
bandara
itu
disesuaikan
dengan
“merek
baru”
K ota
Bangalore
sebagai
kota
teknologi
informasi
modern.
Hadirnya
pajangan
tas
L ouis
Vuimon
dalam
ukuran
giganAk
di
lobi
bandara
itu
menambah
Angginya
selera
penampilannya.
Tas
L V
tersebut
bertengger
di
lobi
dengan
ukuran
sekitar
6
x
8
meter
dan
tebal
1
meter.
Semua
orang
yang
lewat
lobi
langsung
terpana
karena
pajangan
itu.
Tidak
sedikit
yang
kemudian
berhenA,
memandangnya
dengan
kagum
setengah
bermimpi
untuk
memiliki
aslinya.
Tapi,
yang
lebih
banyak
lagi
hanya
memilih
berfoto
dengan
latar
belakang
L V
giganAk
itu.
Semua
sukses
pasA
diAru.
Apalagi
sukses
besar
seperA
yang
terjadi
di
Bangalore.
Bukan
saja
sukses
materi,
tapi
juga
harga
diri
dan
nama
besar.
Tak
ayal
bila
jalan
kemajuan
yang
ditempuh
Bangalore
segera
menjadi
model
bagi
kota
lain
yang
ingin
mengejar.
Salah
satunya
di
Gujarat.
Negara
bagian
ini
terang-‐terangan
ingin
menjadi
Bangalore
lain
yang
lebih
siap.
Kota
Ahmadabad,
kota
terbesar
di
Negara
Bagian
Gujarat,
menyediakan
infrastruktur
yang
Adak
kalah
hebatnya.
Bandara
barunya
juga
sudah
selesai
dengan
citranya
yang
juga
modern.
Jaringan
komunikasinya
juga
dirombak.
Bahkan,
Gujarat
menyediakan
satu
kota
baru
yang
dinamakan
Gandhiabad
(Kota
Gandhi).
Itulah
kota
baru
yang
dijadikan
ibu
kota
Negara
Bagian
Gujarat.
K otanya
memang
masih
sepi,
tanahnya
masih
banyak
yang
kosong,
tapi
kesiapannya
sangat
baik.
Semua
jalannya
kembar
dengan
sempadan
yang
sangat
lebar
dan
hijau
di
kanan
kirinya.
J alan-‐jalan
seperA
itu
Adak
hanya
ada
di
bagian
kota
yang
sudah
dihuni,
tapi
juga
di
seluruh
kota
yang
belum
berpenghuni
sama
sekali.
P erencanaan
tata
kotanya
juga
sangat
hebat.
Tidak
ada
bangunan
yang
dekat
sempadan,
apalagi
dekat
jalan.
SeAap
pertemuan
jalan
selalu
berbentuk
bundaran
yang
luas.
Garis
tengah
kota
baru
ini
40
kilometer
sehingga
memang
sebuah
kota
baru
yang
sangat
luas.
Berada
di
Gandhiabad
seperA
Adak
sedang
berada
di
I ndia.
Memang
baru
ada
satu
kompleks
outsourcing
di
kota
ini,
tapi
pemasaran
masih
jalan
terus.
K ota
ini
mengambil
nama
Mahatma
Gandhi
karena
Gandhi
memang
lahir
di
Gujarat
dan
berumah
di
Kota
Ahmadabad.
Saya
sempat
mengunjungi
rumahnya
yang
kini
menjadi
satu
dengan
kompleks
Museum
Gandhi
yang
tertata
baik.
Semangat
bersaing
untuk
saling
lebih
maju
di
banyak
negara
bagian/kota
sedang
terjadi
juga
di
I ndia.
Saya
termasuk
yang
percaya
bahwa
dalam
15
tahun
ke
depan,
I ndia
akan
menjadi
negara
H indu
yang
sangat
maju
-‐meski
saya
juga
percaya
masih
jauh
untuk
dikatakan
bisa
mengalahkan
Tiongkok.
Tentu
banyak
yang
berkepenAngan
agar
I ndia
bisa
maju
seperA
itu.
Kalau
I ndia
maju,
600
juta
orang
miskin
akan
mempunyai
harapan
untuk
keluar
dari
penderitaannya.
D emikian
juga,
bagian
utara
negeri
itu
yang
amat
indah
seperA
K ashmir
akan
bisa
terselamatkan
dari
kerusakan
lingkungan
oleh
kemiskinan.
Saya
membayangkan,
kalau
I ndia
benar-‐benar
bisa
makmur
kelak,
kota
seperA
Shrinagar
di
Kashmir
akan
langsung
mengalahkan
H angzhou!
K ota
itu
memiliki
danau
yang
mesAnya
Adak
kalah
dengan
X ihu
di
H angzhou.
P emandangan
di
sekitarnya
juga
fantasAs.
Bandaranya
yang
baru
memang
sedang
diselesaikan.
Tapi,
untuk
bisa
membuat
danau
itu
tertata
seperA
di
H angzhou,
masih
ada
tanda
tanya
besar
kapan
akan
bisa
dipikirkan.
Apalagi
kekumuhan
kota
yang
mengitarinya
sangat
kontras
dengan
modernisasi
K ota
H angzhou.
Tapi,
melihat
alam
Shrinagar,
potensi
itu
luar
biasa
hebatnya.
P roblem
danau
Shrinagar
rasanya
masih
sama
dengan
D anau
Toba
kita.
Kalau
saja
I ndia
makmur
kelak,
Taj
Mahal
akan
langsung
bersaing
ketat
dengan
K ota
Terlarang
di
Beijing.
P ura-‐puranya
yang
sangat
banyak
dan
indah-‐indah
akan
sejajar
atau
mengalahkan
daya
tarik
kuil-‐kuil
yang
kini
jadi
objek
unggulan
di
Tiongkok.
L ereng
Gunung
Himalaya-‐nya
bisa
ditata
oleh
kemakmurannya
dan
langsung
akan
menjadi
seindah
atau
lebih
indah
daripada
kawasan
di
K unming
atau
J iu
Zhai
Gou
di
P egunungan
Sichuan.
Jalan
demokrasi
di
I ndia
berikut
konsep
otonominya
sudah
menemukan
bentuk.
Tinggal
menunggu
apakah
bentuk
itu
akan
menjadi
wujud
yang
nyata
atau
meleleh
lagi.
Memang
masih
ada
ratusan
partai,
tapi
umumnya
partai
lokal.
P artai
nasionalnya
Anggal
tujuh
saja.
Bongkar
pasang
koalisinya
juga
sudah
sangat
rumit
sehingga
partai
api
sudah
bisa
berkoalisi
dengan
partai
bensin
tanpa
terjadi
kebakaran.
P artai
air
sudah
biasa
ganA
berkoalisi
dengan
partai
kertas
tanpa
membuat
si
kertas
basah.
Kini
negara
bagian
juga
lagi
berlomba
bikin
jalan
tol
atau
jaringan
kereta
bawah
tanah.
K ota
Hyderabad
di
pedalaman
pun
kini
sedang
punya
proyek
kereta
bawah
tanah.
K ota
itu
memang
Adak
punya
uang,
tapi
berhasil
mengundang
investor.
K ota
Madras
(kini
disebut
Chennai)
punya
jalan
tol
yang
terasa
sekali
“dipaksakan”.
J alan
menuju
luar
kota
dan
pusat
rekreasi
di
pantai
terpanjangnya
itu
sebenarnya,
semula,
jalan
umum
biasa.
Tapi,
karena
sempadannya
cukup
lebar
dan
belum
dijarah
penghuni
liar,
jalan
itu
diperlebar.
Yang
melebarkannya
adalah
investor.
Maka,
jadilah
jalan
tersebut
jalan
tol
lengkap
dengan
pintu
gerbang
tolnya.
P anjangnya
30
kilometer.
K arena
asal
mulanya
jalan
umum
biasa,
jalan
tol
itu
menjadi
unik:
lebar
dan
mulus,
namun
banyak
rumah
di
kanan-‐kirinya.
Sepeda
motor,
gerobak,
pejalan
kaki,
dan
sepeda-‐pancal
boleh
lalu-‐lalang
di
jalan
ini.
Yang
penAng,
Madras
bisa
menyelesaikan
kemacetan
yang
seperA
leher
botol
di
situ.
Memang
jalan
tersebut
menjadi
jalan
tol,
tapi
tarifnya
lebih
murah
daripada
jalan
tol
yang
normal.
D emokrasi
yang
ruwet
Adak
menghalangi
Madras
punya
jalan
tol
dalam
kota.
Apa
pun
bentuk
jalan
tol
itu.
Memang,
parlemen
di
I ndia
akhirnya
sangat
mendukung
kemajuan
itu.
Berbagai
landasan
hukum
yang
diperlukan
disetujui
untuk
dilaksanakan.
U U
jalan
tolnya
disiapkan
D PR
yang
kemudian
bisa
melindungi
pemerintahnya
dari
banyak
gugatan.
Bagaimana
kita
di
I ndonesia?
D i
periode
yang
lalu,
pemerintah
kita
juga
cukup
pintar
memanfaatkan
peluang
akan
berakhirnya
masa
jabatan
parlemen.
Saat
berada
dalam
hari-‐
hari
akhir
seperA
itu,
anggota
parlemen
sedang
diburu
waktu
yang
sempit:
mau
mencari
pensiun
dunia
atau
pensiun
akhirat.
Masa
seperA
itu
sebenarnya
bisa
dimanfaatkan
dengan
mengajak
mereka
memforsir
pengesahan
beberapa
undang-‐undang
yang
penAng
dan
mendasar.
Kali
ini
kita
bisa
mengajak
parlemen
untuk
kali
yang
terakhir
mengabdi
bagi
kepenAngan
jangka
panjang
bangsa.
Sahkanlah
sekarang
juga,
sebelum
periode
D PR
ini
berakhir,
berbagai
UU
yang
bisa
memperlancar
pelaksanaan
pembangunan
jangka
panjang
I ndonesia.
Sahkanlah
U U
pajak,
U U
jalan
tol,
U U
pelabuhan,
dan
berbagai
U U
penAng
lainnya.
I tu
akan
menjadi
bekal
yang
amat
mendasar
bagi
pemerintah
yang
akan
datang
(siapa
pun
presidennya)
untuk,
begitu
terpilih,
bisa
langsung
lari
cepat.
J angan
sampai
untuk
yang
akan
datang
itu,
masa
jabatan
presiden
yang
lima
tahun
habis
hanya
untuk
persiapan.
Sayang,
pemerintah
sekarang
mungkin
Adak
mau
lagi
menyogok
anggota
parlemen
sampai
Rp
100
miliar.
Maka,
saya
pun
ragu
D PR
tertarik
untuk
mengesahkannya.
(Habis)
Dengan
BBM,
Bangun
Jalan
Tol
Sesekali
D PR
P erlu
Kunker
ke
Kalkuta
Rabu,
02
Februari
2011
Memang
Adak
ada
doktrin
“belajarlah
sampai
ke
I ndia”,
tapi
tetap
saja
ada
pelajaran
menarik
dari
sana.
Terutama
bagaimana
negara
miskin
dengan
penduduk
besar
yang
dengan
demokrasinya
yang
liberal
itu
akhirnya
menemukan
juga
jalan
keluar
untuk
bangkit.
Cara
bangkitnya
pun
unik.
Terutama
dalam
membangun
infrastruktur
dasar
seperA
jalan
tol
dan
jalan
raya
nasional.
K arena
itu,
di
sela-‐sela
kunjungan
P residen
S BY
ke
I ndia,
saya
memerlukan
Anggal
lebih
lama
di
I ndia.
Untuk
melihat
perkembangan
pembangunan
I ndia
dan
manajemen
distribusi
listrik
di
sana.
Semula,
bukan
main
juga
sulitnya
membebaskan
tanah
untuk
jalan
tol,
pelabuhan,
bandara,
dan
jalan
negara
lainnya
di
I ndia.
Sampai
kemudian,
dibentuklah
satu
lembaga
independen
khusus
untuk
mengurus
pembangunan,
pemeliharaan,
pengelolaan,
dan
pengoperasian
jalan
raya.
D isingkat
NaAonal
H ighway
Authority
of
I ndia
(NHAI).
I nilah
lembaga
yang
kemudian
terbukA
menjadi
terobosan
dalam
mempercepat
pembangunan
jalan
raya
di
I ndia.
Lembaga
independen
tersebut
terdiri
atas
ahli
konstruksi,
ahli
lalu
lintas,
ahli
hukum,
dan
tokoh-‐tokoh
tepercaya
masyarakat.
K ehadiran
tokoh
tepercaya
masyarakat
itu
diperlukan
agar
penentuan
harga
tanah
Adak
hanya
memihak
investor.
L embaga
tersebut
bertanggung
jawab
atas
terbangunnya
jalan
raya
sepanjang
60.000
km,
termasuk
ribuan
kilometer
jalan
tol.
Bahkan,
bertanggung
jawab
juga
menentukan
aturan
investasi,
pedoman
harga
tanah,
sampai
ke
soal
perhitungan
keuangan
dan
bisnisnya.
L embaga
NHIA
itulah
yang
terbukA
menjadi
kunci
keberhasilan
pertumbuhan
ekonomi
I ndia
yang
begitu
cepat
lima
tahun
terakhir
ini.
Dari
mana
I ndia
mendapat
dana
untuk
pembangunan
jalan
tol
yang
begitu
cepat?
I ni
juga
bisa
diAru
di
I ndonesia:
dari
pajak
khusus
B BM.
SeAap
mobil
yang
membeli
B BM
dibebani
tambahan
setara
Rp
200/liter.
I tu
dinilai
sangat
adil.
Yang
memerlukan
jalan
raya
adalah
pemilik
mobil.
Yang
mengeluh
kalau
jalan
rayanya
macet
juga
pemilik
mobil.
Apa
salahnya
kalau
keluhan
mereka
diselesaikan
dengan
cara
membebankan
biayanya
kepada
mereka
juga.
Berkat
jalan-‐
jalan
yang
lancar
itu,
ekonomi
menjadi
sangat
baik.
Setelah
ekonomi
baik,
rakyat
kecil
ikut
menikmaA.
Tidak
pelak
kalau
pertumbuhan
ekonomi
I ndia
mencapai
9
persen
tahun
lalu.
Hanya
kalah
sedikit
oleh
Tiongkok.
Semula,
memang
banyak
yang
menentang
pengenaan
pajak
khusus
B BM
itu.
Namun,
setelah
dijalankan
dengan
tegas,
akhirnya
diterima
juga
tanpa
keributan.
Bahkan
akhirnya
disyukuri
karena
I ndia
mampu
bangkit
dan
menjadi
buah
bibir
dunia.
Sistem
tersebut
juga
membebaskan
pemerintah
dari
sikap
pro-‐kontra
masyarakat.
Soal
ganA
rugi
tanah,
misalnya,
boleh
saja
pemilik
tanah
berkeberatan.
Tapi,
karena
penentuan
harga
tanah
sudah
sangat
adil,
keberatan
itu
diselesaikan
dengan
jalan
hukum.
NHAI
meniApkan
sejumlah
uang
sesuai
dengan
tarif
yang
sudah
ditentukan
ke
pengadilan.
Sambil
menunggu
pengadilan,
proyek
jalan
terus.
NHAI
juga
yang
menetapkan
paket-‐paket
proyeknya.
SeAap
paket
pembangunan
jalan
tol
atau
jalan
raya
maksimum
50
km.
D engan
demikian,
kalau
yang
akan
dibangun
1.000
km,
berarA
ada
20
paket
tender.
K etentuan
tender
masing-‐masing
ruas
Adak
sama.
D i
ruas
yang
arus
mobilnya
sedikit,
yang
ditenderkan
adalah
berapa
rupee
si
investor
memerlukan
subsidi
dari
NHAI.
P erusahaan
yang
mengajukan
penawaran
subsidi
paling
rendah,
dialah
yang
memenangkan
tender
itu.
Sebaliknya,
untuk
ruas
yang
sangat
ramai,
tendernya
terbalik.
I nvestor
yang
bisa
membayar
kepada
NHAI
paling
Anggi,
dialah
yang
menang
tender.
I tulah
yang
dimaksud
dengan
private
public
partnership
di
I ndia.
D engan
sistem
tersebut,
pembangunan
jalan
tol
Golden
Quadrilateral
sepanjang
lebih
1.000
km
bisa
selesai
dalam
waktu
kurang
dari
lima
tahun.
Karena
itu,
ibu
kota
New
D elhi
yang
di
utara
kini
sudah
bisa
dihubungkan
dengan
jalan
tol
ke
Mumbay
di
barat,
C hennai
di
selatan,
dan
K alkuta
di
Amur
kini
sudah
terhubung
dengan
jalan
tol.
Tanpa
terobosan
seperA
itu,
bisa
dibayangkan
alangkah
sulitnya
ekonomi
I ndia
dengan
beban
penduduk
1,1
miliar
sekarang
ini.
K arena
sistem
baru
tersebut
sudah
berjalan
lebih
dari
delapan
tahun
dan
sudah
bisa
diterima
dengan
baik
oleh
masyarakat,
pertumbuhan
ekonomi
yang
cepat
sekarang
ini
Adak
akan
tertahankan
lagi.
Meski
begitu,
I ndia
tetap
memerlukan
waktu
lebih
lama
untuk
benar-‐benar
bisa
menjadi
negara
modern
seperA
Tiongkok.
Negara
itu
telanjur
terlalu
miskin
dengan
beban
penduduk
yang
begitu
besar.
K ebangkitan
ekonominya
tentu
terjadi
Adak
sekaligus.
K ota
seperA
New
Delhi,
Mumbai,
dan
Bangalore
sudah
terlihat
menggeliat.
Tapi,
kota
besar
seperA
K alkuta,
masih
sulit
diceritakan.
Saya
memang
perlu
ke
K alkuta
setelah
mengikuA
kunjungan
P residen
Susilo
Bambang
Yudhoyono
ke
New
D elhi
pekan
lalu.
Sekaligus
ingin
melihat
pedesaannya.
Saya
ingin
membandingkan
apakah
geliat
kebangkitan
pembangunan
I ndia
itu
bisa
seperA
Tiongkok,
merata
sampai
ke
pedesaannya.
Saya
masuk
sampai
ke
sebuah
desa
perbatasan
dengan
Bangladesh.
Gerakan
bosan
miskin
itu
seperA
belum
sampai
di
K alkuta.
K ota
K alkuta
jauh
lebih
parah
dari
yang
saya
bayangkan.
K epadatan
penduduknya,
kemiskinan,
kekumuhan,
kesemrawutan,
bau
busuk,
kaki
lima,
bangunan
reyot,
dan
sampah
berhamburan
di
mana-‐
mana
seperA
Adak
ada
batas
akhirnya.
Kota
besar
berpenduduk
12
juta
orang
itu
(sebesar
J akarta
atau
empat
kali
Surabaya)
prakAs
seperA
lautan
slump.
Bangunan-‐bangunan
kuno
peninggalan
I nggris
Adak
terasa
lagi
keanggunannya.
K alah
oleh
kekumuhan
dan
debu
yang
melingkupinya.
Sesekali
semesAnya
para
pimpinan
negara,
pejabat
daerah,
dan
anggota
D PR
kita
perlu
kunker
ke
K alkuta.
SeAdaknya
untuk
menjaga
agar
kota-‐kota
di
I ndonesia
jangan
sampai
mundur
seperA
Kalkuta.
Malam
itu,
seAba
di
sebuah
hotel
bintang
lima
di
K alkuta,
kami
(saya
dan
dua
staf
P LN)
ingin
langsung
melihat-‐lihat
kota.
P etugas
keamanan
hotel
terlihat
heran,
pada
pukul
22.00
seperA
itu
kami
ngotot
mau
jalan-‐jalan.
Tapi,
belum
lagi
200
langkah
perjalanan
kami,
petugas
tersebut
mengejar
kami.
“Sebaiknya
jangan
diteruskan.
Tidak
aman,”
katanya.
Kami
sendiri
sudah
mulai
merasakan
itu.
Baru
beberapa
meter
dari
gerbang
hotel,
bulu
kuduk
mulai
berdiri.
Tidak
ada
lampu
penerangan
di
trotoar
itu.
Begitu
banyak
orang
yang
duduk-‐duduk
atau
Aduran
di
trotoar.
Bangkelan-‐bangkelan
besar
terlihat
terikat
di
trotoar
tersebut
pertanda
trotoar
itu
menjadi
arena
pedagang
kaki
lima
saat
siang.
P adahal
hotel
tersebut
berada
di
sebelah
taman
nasional,
seperA
Taman
Monas
kalau
di
J akarta.
Taman
terbuka
itu
sebenarnya
cukup
luas.
D esain
awalnya
juga
terlihat
bagus
dan
elite.
Tapi,
jantungnya
K ota
K alkuta
itu
sangat
Adak
terurus.
Kami
akhirnya
pilih
mempercepat
Adur.
Agar
pagi-‐pagi
bisa
bangun
untuk
jalan
pagi
sambil
melihat
sudut
kota
yang
lebih
banyak.
K eAka
matahari
belum
terbit,
jalan-‐jalan
sudah
ramai
dengan
lalu
lintas
orang
serta
kendaraan.
H ari
itu
hari
kemerdekaan
I ndia.
Akan
ada
parade
militer.
Tapi,
Adak
terlihat
sama
sekali
suasana
pesta.
Tidak
ada
bendera
nasional,
umbul-‐umbul,
atau
hiasan.
Tidak
ada
juga
keinginan,
misalnya
agar
paling
Adak
sehari
itu,
kotanya
lebih
bersih.
Bahkan,
barikade-‐barikade
untuk
mengatur
lalu
lintas
hari
itu
terlihat
lebih
semrawut
karena
terbuat
dari
bambu-‐bambu
tua
yang
dibelah.
Maka,
pagi
itu,
selama
sejam
berjalan
kaki,
saya
hanya
bisa
melihat
kesemrawutan
dan
kekumuhan
di
sepanjang
jalan.
D i
salah
satu
jalan
di
pusat
kota,
saya
melihat
begitu
banyak
orang
mandi
di
trotoar.
H anya
mengenakan
celana
dalam.
Rupanya,
ada
air
P DAM
yang
sudah
lama
bocor
di
situ.
Bisa
untuk
mandi
graAs
beramai-‐ramai.
Saya
menghitung
ada
berapa
orang
yang
lagi
mandi
pagi
di
trotoar
itu:
14
orang.
D i
sepanjang
trotoar
yang
saya
lalui,
Adak
henA-‐henAnya
pemandangan
ini:
orang
berdiri
di
atas
trotoar
sambil
menggosok
gigi.
Ada
yang
pakai
sikat
gigi,
banyak
juga
yang
pakai
sepotong
kayu,
sebesar
jeruji
jendela
yang
kecil.
Sesekali
saya
lihat
mereka
mematahkan
kayu
itu,
lalu
memasukkan
kembali
ke
mulut.
Masih
ada
lagi
fungsi
lain
trotoar
di
sana:
untuk
tempat
memasak.
Begitu
banyak
ibu-‐ibu
yang
memasak
di
pinggiran
jalan.
D emikian
juga
toilet
umum,
rupanya
kurang
diperlukan.
Saya
melihat
di
mana-‐mana
orang
bisa
kencing
sambil
berdiri
begitu
saja
di
pinggir
jalan.
Setelah
lelah
berjalan
kaki,
kami
meloncat
ke
dalam
trem
listrik.
Biar
bisa
menjangkau
kota
lebih
jauh.
J uga,
siapa
tahu
bisa
melihat
satu
bagian
kota
yang
lain
yang
agak
berbeda.
Tapi,
ternyata
sama.
D i
mana-‐mana
kami
melihat
pemandangan
yang
itu-‐itu
juga.
P rakAs,
hanya
di
dalam
lingkungan
hotel
yang
terlihat
terawat
indah.
Tidak
adakah
sisi
posiAfnya”
Tentu
ada.
Semiskin-‐miskinnya
mereka
dan
sesemrawut-‐
semrawutnya
K alkuta,
penduduknya
masih
ingat
melakukan
sikat
gigi.
I tu
pertanda
bahwa
penduduknya
berpendidikan.
D i
I ndia,
pendidikan
memang
utama,
yang
kelak
bisa
dipakai
modal
sosial
untuk
kemajuan
I ndia.
Sisi
posiAf
lainnya
adalah:
semua
kendaraan
umum
sudah
menggunakan
gas
atau
elpiji.
I tu
membuat
kepadatan
dan
kesemrawutan
lalu
lintasnya
Adak
bertambah
pengap
oleh
polusi.
D ari
sudut
ini,
J akarta
pun
kalah.
Tentu
Adak
perlu
diceritakan
lagi
perjalanan
saya
ke
pedalaman.
Termasuk
bagaimana
pengalaman
kami
naik
kereta
rakyat
yang
horornya
sudah
sering
terlihat
di
televisi
itu.
Saya
harus
berdiri
di
sela-‐sela
bungkusan
sayur
selama
dua
jam.
D uduk
di
lantai
pun
dimarahi
penumpang
lain
karena
bisa
untuk
menambah
satu
lagi
penumpang
berdiri.
P osiAfnya:
rel
di
sana
double-‐track
sehingga
perjalanan
bisa
lebih
cepat.
Meski
harus
berhenA
di
kira-‐kira
30
stasiun,
tapi
Adak
membosankan
karena
seAap
berhenA
Adak
lebih
dari
1
menit.
Melihat
K alkuta
hari
ini,
saya
jadi
memahami
mengapa
I nggris
memindahkan
ibu
kota
I ndia
ke
New
D elhi
pada
zaman
dulu.
Ternyata
ada.
D i
sebelah
K ota
K alkuta
ternyata
kini
sedang
dibangun
kota
baru:
J yothibasu.
Kota
itu
masih
jauh
dari
jadi,
tapi
mulai
terlihat
menggeliat.
J aringan
jalan-‐jalannya
dan
beberapa
gedung
Anggi
yang
modern
mulai
terlihat
di
sana.
Rupanya,
K alkuta
memilih
lebih
dulu
membangun
sesuatu
yang
baru
sama
sekali
daripada
merenovasi
kota
lama
yang
begitu
beratnya.
Saya
jadi
ingin
melihat
lagi
K alkuta
lima
tahun
mendatang.
(*)
Tekan
Pencurian
Listrik
dengan
Sistem
Tender
Komite
Y ang
Tentukan
Tarif
L istrik
Kamis,
03
Februari
2011
Di
I ndia,
badan
otorita
independen
Adak
hanya
untuk
jalan
tol
(lihat
bagian
pertama
tulisan
saya
kemarin),
tapi
juga
untuk
listrik.
I ndia
memang
punya
cara
sendiri
untuk
membenahi
keruwetan
listriknya.
“PLN”
New
D elhi
selalu
rugi
besar
dan
pelayanannya
sangat
parah.
Pembenahan
itu
sudah
diuji
coba
di
negara
bagian
New
D elhi
yang
tak
lain
juga
ibu
kota
India.
Pemerintah
negara
bagian
New
D elhi
sudah
Adak
tahan
lagi
menanggung
beban
subsidi
listrik.
K erugian
“PLN”-‐nya
dari
tahun
ke
tahun
terus
meningkat.
P adahal
tarif
listrik
yang
dikenakan
kepada
masyarakat
sudah
cukup
mahal.
J auh
lebih
mahal
dari
tarif
listrik
di
Indonesia.
Rata-‐rata
sudah
sekitar
Rp
1.000/kWh
(Indonesia
rata-‐rata
Rp
730/kWh).
Dengan
tarif
seperA
itu,
seharusnya
listrik
di
New
D elhi
sudah
Adak
lagi
byar-‐pet.
Tapi,
kenyataannya
byar-‐petnya
gawat
sekali.
Sebulan
30.000
pengaduan
masuk
ke
“PLN”-‐nya
New
D elhi.
P adahal
jumlah
pelanggannya
hanya
sekitar
4
juta
orang
(pelanggan
J akarta
3,7
juta,
tahun
lalu
pengaduannya
5.000).
Penyebab
utama
kerugian
itu
ternyata
di
sistem
distribusi
listrik.
P eralatannya
sudah
tua
dan,
ini
dia
yang
keterlaluan:
pencurian
listrik
oleh
penduduknya
luar
biasa.
K erugian
tersebut
kian
lama
kian
besar
sehingga
“PLN”
New
D elhi
Adak
mampu
memperbaiki
jaringan,
mengganA
trafo,
dan
akhirnya
jadi
pengemis
subsidi.
Yang
sangat
memalukan:
kebocoran
listrik
(loses)
di
New
D elhi
mencapai
53
persen.
Bandingkan
dengan
loses
di
I ndonesia
yang
tahun
lalu
sudah
berhasil
diturunkan
menjadi
Anggal
9,85
persen.
L oses
yang
Adak
masuk
akal
itu
sudah
berlangsung
bertahun-‐tahun.
Petugas
“PLN”
I ndia
kalah
gesit
oleh
kepintaran
rakyatnya
mengakali
meteran
listrik.
Operasi
pemberantasan
pencurian
listrik
Adak
pernah
berhasil
dilakukan.
H ari
ini
diberantas,
besok
sudah
mencuri
lagi.
Saya
sempat
berkeliling
bagian
kota
yang
disebut
Old
D elhi.
Saya
masuk
gang-‐gang
yang
kumuh
di
kota
itu.
Saya
perhaAkan
kabel-‐kabel
listriknya
malang-‐melintang
dan
saling
bergulat
dengan
serunya.
Saya
membayangkan
betapa
sulit
memang
mengatasi
pencurian
listrik
di
sana.
Maka,
sebagai
senjata
pemungkas,
sampailah
pada
keputusan
ini:
mengubah
sistem
distribusi
secara
radikal.
D istribusi
listriknya
dikerjasamakan
saja
dengan
swasta.
K alau
swasta
yang
menangani,
mau
Adak
mau
menggunakan
pendekatan
untung-‐rugi.
P etugas
penerAban
dari
swasta
akan
lebih
ampuh
dalam
bekerja.
Untuk
itu,
diadakanlah
tender.
P emerintah
mencari
partner
swasta
untuk
mendistribusikan
listrik
di
Aap
wilayah.
D i
New
D elhi
diadakan
Aga
paket
tender:
wilayah
utara-‐barat,
wilayah
Amur-‐tenggara,
dan
selatan-‐barat
daya.
P eminat
tender
itu
ternyata
cukup
banyak.
Mengapa?
Tarif
listrik
yang
rata-‐rata
Rp
1.000/kWh
rupanya
cukup
menarik
bagi
swasta.
I tu
akan
berbeda
kalau
tarif
listriknya
masih
rendah.
D engan
tarif
seperA
itu,
asal
pencurian
listriknya
rendah,
perusahaan
sudah
bisa
untung.
Tingkat
kebocoran
itulah
yang
kemudian
menjadi
pokok
yang
ditenderkan.
Barang
siapa
bisa
menurunkan
loses
paling
rendah,
dialah
yang
menang
tender.
D i
wilayah
D elhi
utara-‐barat,
grup
Tata
(konglomerat
nomor
satu
I ndia)
memenangi
tender
tersebut.
W aktu
tender,
Tata
menawarkan:
sanggup
menurunkan
loses
dari
53
menjadi
31
persen
secara
bertahap
dalam
lima
tahun.
Ternyata
Tata
mampu.
Bahkan
terlampaui
menjadi
24
persen.
D ua
tahun
berikutnya
menurun
drasAs
lagi.
Akhir
D esember
2010,
kebocoran
listrik
di
D elhi
sudah
Anggal
13
persen.
Meski
masih
kalah
oleh
J akarta
(tahun
lalu
J akarta
berhasil
menurunkan
loses-‐nya
menjadi
8,3
persen),
pencapaian
itu
luar
biasa.
D alam
delapan
tahun
turun
dari
53
menjadi
13
persen.
Maka,
D elhi
Utara,
setelah
delapan
tahun
pembenahan,
tercatat
sebagai
wilayah
paling
kecil
kebocoran
listriknya.
L oses
yang
13
persen
tersebut
sudah
langsung
menjadi
buah
bibir
di
seluruh
negeri.
Di
I ndonesia
saat
ini
sudah
banyak
daerah
yang
loses-‐nya
Anggal
6
persen
(sudah
setara
dengan
di
K orea).
Misalnya,
di
Surabaya
Barat,
Bukiqnggi,
SalaAga,
dan
banyak
lagi.
Namun,
masih
ada
satu
daerah
lebih
buruk
dari
New
D elhi.
Yakni,
di
Madura
yang
loses-‐nya
masih
15
persen
(sudah
turun
dari
24
persen
dua
tahun
lalu
tapi
masih
yang
terAnggi
di
I ndonesia).
Kalau
saja
dalam
beberapa
tahun
ke
depan
loses
di
New
D elhi
bisa
mencapai
apa
yang
terjadi
di
J akarta,
perusahaan
patungan
swasta-‐pemerintah
tersebut
bisa
meraih
untung
yang
cukup.
Maksudnya,
cukup
untuk
terus
memperbarui
peralatan
listriknya.
Demikian
juga,
pemerintah
negara
bagian
New
D elhi
Adak
lagi
direpotkan
oleh
subsidi.
Dengan
penanganan
seperA
sekarang
saja,
penghematan
subsidinya
mencapai
U SD
3
miliar
(sekitar
Rp
27
triliun)
tahun
lalu.
D an
yang
lebih
penAng,
masyarakat
Adak
ribut
karena
byar-‐
petnya
teratasi
dan
pengaduannya
menurun
drasAs.
Di
I ndia,
seperA
juga
di
banyak
negara,
perusahaan
listriknya
Adak
monopoli
dari
hulu
sampai
hilir,
dari
barat
sampai
Amur,
dari
utara
sampai
selatan,
seperA
P LN.
Masing-‐masing
negara
bagian
memiliki
perusahaan
khusus
untuk
mendistribusikan
listrik.
Bagaimana
kalau
perusahaan
pembangkitnya
itu
berada
jauh
di
selatan,
sedangkan
New
Delhi
di
Utara?
I ndia,
sebagaimana
juga
di
negara
lain,
memiliki
perusahaan
transmisi
secara
nasional.
L istrik
dari
pembangkit
tersebut
dialirkan
ke
perusahaan
distribusi
dengan
cara
membayar
sewa
transmisi.
D engan
demikian,
perusahaan
transmisi
mirip
dengan
perusahaan
jalan
tol.
Mengenakan
tarif
untuk
listrik
yang
lewat
berdasar
besarnya
daya
dan
jauhnya
jarak.
Di
samping
membeli
listrik
lewat
tender
seperA
itu,
perusahaan
distribusi
listrik
kadang
juga
membeli
listrik
secara
spot.
Misalnya,
kalau
Aba-‐Aba
ada
lonjakan
pemakaian
listrik
pada
jam-‐jam
tertentu.
Mengingat
banyaknya
perusahaan
distribusi
dan
perusahaan
pembangkit,
transaksi
listrik
itu
terus
terjadi
sepanjang
hari.
Mirip
dengan
yang
terjadi
di
bursa
saham.
Dengan
naiknya
harga
batu
bara
dan
gas
belakangan
ini,
pembelian
listrik
dari
perusahaan
pembangkit
juga
naik.
I tu
memukul
perusahaan
distribusi
mengingat
tarif
listrik
kepada
pelanggan
Adak
bisa
mengikuA
kenaikan
harga
beli
listrik.
P erusahaan-‐perusahaan
distribusi
itu
pun
lantas
meminta
kenaikan
tarif
listrik
kepada
badan
otorita
yang
independen
tadi.
Di
I ndia,
badan
independen
itulah
yang
menentukan
tarif
listrik.
Bukan
pemerintah
atau
DPR
seperA
di
I ndonesia.
K omite
tersebut
memang
ditunjuk
pemerintah,
tapi
Adak
bertanggung
jawab
kepada
pemerintah.
K omite
itu
benar-‐benar
independen.
SeperA
komite
gaji
wali
kota
dan
anggota
D PRD
di
J epang.
D i
J epang,
gaji
seorang
bupaA/
wali
kota
dan
anggota
D PRD
ditentukan
oleh
komite
yang
ditunjuk
pemda.
Anggota
komite
tersebut
terdiri
atas
sembilan
orang.
Ada
pengusahanya,
petani,
guru,
pensiunan,
dan
sebagainya.
K omite
itulah
yang
menilai
berapa
sebaiknya
gaji
para
pejabat
tersebut.
Demikian
juga
komite
listrik
di
I ndia.
K omite
itu
berisi
berbagai
unsur
yang
dianggap
mengerA
listrik
dan
bersifat
independen.
K omite
tersebut
bisa
mewakili
perasaan
masyarakat,
kalangan
industri,
dan
bisa
mengerA
juga
kesulitan
perusahaan
listrik.
Tidak
selalu
permintaan
kenaikan
tarif
dikabulkan.
Komite
akan
membahas
usul
kenaikan
tarif
secara
komprehensif.
P erusahaan
listrik
akan
dievaluasi
dulu,
apakah
permintaan
kenaikan
tarif
tersebut
wajar
atau
Adak.
Bisa
saja
setelah
dievaluasi
ternyata
ketahuan
kinerja
perusahaan
listrik
tersebut
yang
kurang
baik.
Misalnya,
loses-‐nya
yang
masih
Anggi.
K arena
itu,
di
dalam
komite
tersebut
terdapat
ahli-‐ahli
manajemen,
ahli
loses,
ahli
pembangkitan,
dan
seterusnya.
Sebaliknya,
kalau
secara
objekAf
melihat
tarif
listrik
sudah
seharusnya
naik,
komite
akan
menaikkannya.
K alau
Adak,
perusahaan
listrik
tersebut
akan
merugi
dan
ujung-‐ujungnya
akan
byar-‐pet
lagi.
Sekali
komite
itu
sudah
menetapkan
tarif
listrik
yang
baru,
pemerintah
dan
D PR
Adak
bisa
ikut
campur.
Adanya
komite
listrik
maupun
komite
jalan
tol
ternyata
menjadi
solusi
bagi
negara
demokrasi
untuk
mempercepat
kemajuan
pembangunan
infrastrukturnya.(***)
Amerika
Kalau
Langit
Masih
Kurang
Tinggi
Minggu,
28
September
2008
Jluntrungan
Krisis
Subprime
di
A merika
Serikat
Meski
saya
bukan
ekonom,
banyak
pembaca
tetap
minta
saya
”menceritakan”
secara
awam
mengenai
hebatnya
krisis
keuangan
di
AS
saat
ini.
SeperA
juga,
banyak
pembaca
tetap
bertanya
tentang
sakit
liver,
meski
mereka
tahu
saya
bukan
dokter.
Saya
coba:
Semua
perusahaan
yang
sudah
go
public
lebih
dituntut
untuk
terus
berkembang
di
semua
sektor.
Terutama
labanya.
K alau
bisa,
laba
sebuah
perusahaan
publik
terus
meningkat
sampai
20
persen
seAap
tahun.
Soal
caranya
bagaimana,
itu
urusan
kiat
para
C EO
dan
direkturnya.
Pemilik
perusahaan
itu
(para
pemilik
saham)
biasanya
sudah
Adak
mau
tahu
lagi
apa
dan
bagaimana
perusahaan
tersebut
dijalankan.
Yang
mereka
mau
tahu
adalah
dua
hal
yang
terpenAng
saja:
harga
sahamnya
harus
terus
naik
dan
labanya
harus
terus
meningkat.
Perusahaan
publik
di
AS
biasanya
dimiliki
ribuan
atau
ratusan
ribu
orang,
sehingga
mereka
Adak
peduli
lagi
dengan
tetek-‐bengek
perusahaan
mereka.
Mengapa
mereka
menginginkan
harga
saham
harus
terus
naik?
Agar
kalau
para
pemilik
saham
itu
ingin
menjual
saham,
bisa
dapat
harga
lebih
Anggi
dibanding
waktu
mereka
beli
dulu:
untung.
Mengapa
laba
juga
harus
terus
naik?
Agar,
kalau
mereka
Adak
ingin
jual
saham,
seAap
tahun
mereka
bisa
dapat
pembagian
laba
(dividen)
yang
kian
banyak.
Soal
cara
bagaimana
agar
keinginan
dua
hal
itu
bisa
terlaksana
dengan
baik,
terserah
pada
CEO-‐nya.
Mau
pakai
cara
kucing
hitam
atau
cara
kucing
puAh,
terserah
saja.
Sudah
ada
hukum
yang
mengawasi
cara
kerja
para
C EO
tersebut:
hukum
perusahaan,
hukum
pasar
modal,
hukum
pajak,
hukum
perburuhan,
dan
seterusnya.
Apakah
para
C EO
yang
harus
selalu
memikirkan
dua
hal
itu
merasa
tertekan
dan
stres
seAap
hari?
Bukankah
sebuah
perusahaan
kadang
bisa
untung,
tapi
kadang
bisa
rugi?
Anehnya,
para
C EO
belum
tentu
merasa
terus-‐menerus
diuber
target.
Tanpa
disuruh
pun
para
C EO
sendiri
memang
juga
menginginkannya.
Mengapa?
P ertama,
agar
dia
Adak
terancam
kehilangan
jabatan
C EO.
K edua,
agar
dia
mendapat
bonus
superbesar
yang
biasanya
dihitung
sekian
persen
dari
laba
dan
pertumbuhan
yang
dicapai.
Gaji
dan
bonus
yang
diterima
para
C EO
perusahaan
besar
di
AS
bisa
100
kali
lebih
besar
dari
gaji
P residen
George
Bush.
Mana
bisa
dengan
gaji
sebesar
itu
masih
stres?
Keinginan
pemegang
saham
dan
keinginan
para
C EO
dengan
demikian
seperA
tumbu
ketemu
tutup:
klop.
Maka,
semua
perusahaan
dipaksa
untuk
terus-‐menerus
berkembang
dan
membesar.
K alau
Adak
ada
jalan,
harus
dicarikan
jalan
lain.
K alau
jalan
lain
Adak
ditemukan,
bikin
jalan
baru.
K alau
bikin
jalan
baru
ternyata
sulit,
ambil
saja
jalannya
orang
lain.
K alau
Adak
boleh
diambil?
Beli!
K alau
Adak
dijual?
Beli
dengan
cara
yang
licik
-‐dan
kasar!
I sAlah
populernya
hosAle
take
over.
Kalau
masih
Adak
bisa
juga,
masih
ada
jalan
aneh:
minta
poliAsi
untuk
bikinkan
berbagai
peraturan
yang
memungkinkan
perusahaan
bisa
mendapat
jalan.
Kalau
perusahaan
terus
berkembang,
semua
orang
happy.
C EO
dan
para
direkturnya
happy
karena
dapat
bonus
yang
mencapai
Rp
500
miliar
setahun.
P ara
pemilik
saham
juga
happy
karena
kekayaannya
terus
naik.
P emerintah
happy
karena
penerimaan
pajak
yang
terus
membesar.
P oliAsi
happy
karena
dapat
dukungan
atau
sumber
dana.
Dengan
gambaran
seperA
itulah
ekonomi
AS
berkembang
pesat
dan
kesejahteraan
rakyatnya
meningkat.
Semua
orang
lantas
mampu
membeli
kebutuhan
hidupnya.
K ulkas,
TV,
mobil,
dan
rumah
laku
dengan
kerasnya.
Semakin
banyak
yang
bisa
membeli
barang,
ekonomi
semakin
maju
lagi.
Karena
itu,
AS
perlu
banyak
sekali
barang.
Barang
apa
saja.
K alau
Adak
bisa
bikin
sendiri,
datangkan
saja
dari
Tiongkok
atau
I ndonesia
atau
negara
lainnya.
I tulah
yang
membuat
Tiongkok
bisa
menjual
barang
apa
saja
ke
AS
yang
bisa
membuat
Tiongkok
punya
cadangan
devisa
terbesar
di
dunia:
U SD
2
triliun!
Sudah
lebih
dari
60
tahun
cara
”membesarkan”
perusahaan
seperA
itu
dilakukan
di
AS
dengan
suksesnya.
I tulah
bagian
dari
ekonomi
kapitalis.
AS
dengan
kemakmuran
dan
kekuatan
ekonominya
lalu
menjadi
penguasa
dunia.
Yang
makmur
harus
terus
lebih
makmur.
P unya
toilet
otomaAs
dianggap
Adak
cukup
lagi:
harus
computerized!
Bonus
yang
sudah
amat
besar
masih
kurang
besar.
L aba
yang
terus
meningkat
harus
terus
mengejar
langit.
Ukuran
perusahaan
yang
sudah
sebesar
gajah
harus
dibikin
lebih
jumbo.
Langit,
gajah,
jumbo
juga
belum
cukup.
KeAka
semua
orang
sudah
mampu
beli
rumah,
mesAnya
Adak
ada
lagi
perusahaan
yang
jual
rumah.
Tapi,
karena
perusahaan
harus
terus
meningkat,
dicarilah
jalan
agar
penjualan
rumah
tetap
bisa
dilakukan
dalam
jumlah
yang
kian
banyak.
K alau
orangnya
sudah
punya
rumah,
harus
diciptakan
agar
kucing
atau
anjingnya
juga
punya
rumah.
D emikian
juga
mobilnya.
Tapi, keAka anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah?
Kalau
Adak
ada
lagi
yang
beli
rumah,
bagaimana
perusahaan
bisa
lebih
besar?
Bagaimana
perusahaan
penjamin
bisa
lebih
besar?
Bagaimana
perusahaan
alat-‐alat
bangunan
bisa
lebih
besar?
Bagaimana
bank
bisa
lebih
besar?
Bagaimana
notaris
bisa
lebih
besar?
Bagaimana
perusahaan
penjual
kloset
bisa
lebih
besar?
P adahal,
doktrinnya,
semua
perusahaan
harus
semakin
besar?
Ada
jalan
baru.
P emerintah
AS-‐lah
yang
membuat
jalan
baru
itu.
P ada
1980,
pemerintah
bikin
keputusan
yang
disebut
”Deregulasi
K ontrol
Moneter”.
I nAnya,
dalam
hal
kredit
rumah,
perusahaan
realestat
diperbolehkan
menggunakan
variabel
bunga.
Maksudnya:
boleh
mengenakan
bunga
tambahan
dari
bunga
yang
sudah
ditetapkan
secara
pasA.
Peraturan
baru
itu
berlaku
dua
tahun
kemudian.
Inilah
peluang
besar
bagi
banyak
sektor
usaha:
realestat,
perbankan,
asuransi,
broker,
underwriter,
dan
seterusnya.
P eluang
itulah
yang
dimanfaatkan
perbankan
secara
nyata.
Begini ceritanya:
Sejak
sebelum
1925,
di
AS
sudah
ada
U U
Mortgage.
Yakni,
semacam
undang-‐undang
kredit
pemilikan
rumah
(KPR).
Semua
warga
AS,
asalkan
memenuhi
syarat
tertentu,
bisa
mendapat
mortgage
(anggap
saja
seperA
K PR,
meski
Adak
sama).
Misalnya,
kalau
gaji
seseorang
sudah
Rp
100
juta
setahun,
boleh
ambil
mortgage
untuk
beli
rumah
seharga
Rp
250
juta.
C icilan
bulanannya
ringan
karena
mortgage
itu
berjangka
30
tahun
dengan
bunga
6
persen
setahun.
Dengan
keluarnya
”jalan
baru”
pada
1980
itu,
terbuka
peluang
untuk
menaikkan
bunga.
Bisnis
yang
terkait
dengan
perumahan
kembali
hidup.
Bank
bisa
dapat
peluang
bunga
tambahan.
Bank
menjadi
lebih
agresif.
J uga
para
broker
dan
bisnis
lain
yang
terkait.
Tapi,
karena
semua
orang
sudah
punya
rumah,
tetap
saja
ada
hambatan.
Maka,
ada
lagi
”jalan
baru”
yang
dibuat
pemerintah
enam
tahun
kemudian.
Yakni,
tahun
1986.
Pada
1986
itu,
pemerintah
menetapkan
reformasi
pajak.
Salah
satu
isinya:
pembeli
rumah
diberi
keringanan
pajak.
K eringanan
itu
juga
berlaku
bagi
pembelian
rumah
satu
lagi.
ArAnya,
meski
sudah
punya
rumah,
kalau
mau
beli
rumah
satu
lagi,
masih
bisa
dimasukkan
dalam
fasilitas
itu.
Di
negara-‐negara
maju,
sebuah
keringanan
pajak
mendapat
sambutan
yang
luar
biasa.
D i
sana
pajak
memang
sangat
Anggi.
Bahkan,
seperA
di
Swedia
atau
D enmark,
gaji
seseorang
dipajaki
sampai
50
persen.
I mbalannya,
semua
keperluan
hidup
seperA
sekolah
dan
pengobatan
graAs.
H ari
tua
juga
terjamin.
Dengan
adanya
fasilitas
pajak
itu,
gairah
bisnis
rumah
meningkat
drasAs
menjelang
1990.
Dan
terus
melejit
selama
12
tahun
berikutnya.
K redit
yang
disebut
mortgage
yang
biasanya
hanya
U SD
150
miliar
setahun
langsung
menjadi
dua
kali
lipat
pada
tahun
berikutnya.
Tahun-‐tahun
berikutnya
terus
meningkat
lagi.
P ada
2004
mencapai
hampir
U SD
700
miliar
setahun.
Kata
”mortgage”
berasal
dari
isAlah
hukum
dalam
bahasa
P rancis.
ArAnya:
maAnya
sebuah
ikrar.
I tu
agak
berbeda
dari
kredit
rumah.
D alam
mortgage,
Anda
mendapat
kredit.
L alu,
Anda
memiliki
rumah.
Rumah
itu
Anda
serahkan
kepada
pihak
yang
memberi
kredit.
Anda
boleh
menempaAnya
selama
cicilan
Anda
belum
lunas.
Karena
rumah
itu
bukan
milik
Anda,
begitu
pembayaran
mortgage
macet,
rumah
itu
otomaAs
Adak
bisa
Anda
tempaA.
Sejak
awal
ada
ikrar
bahwa
itu
bukan
rumah
Anda.
Atau
belum.
Maka,
keAka
Anda
Adak
membayar
cicilan,
ikrar
itu
dianggap
maA.
D engan
demikian,
Anda
harus
langsung
pergi
dari
rumah
tersebut.
Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperA L ehman Brothers?
Gairah
bisnis
rumah
yang
luar
biasa
pada
1990-‐2004
itu
bukan
hanya
karena
fasilitas
pajak
tersebut.
Fasilitas
itu
telah
dilihat
oleh
”para
pelaku
bisnis
keuangan”
sebagai
peluang
untuk
membesarkan
perusahaan
dan
meningkatkan
laba.
Warga
terus
dirangsang
dengan
berbagai
iklan
dan
berbagai
fasilitas
mortgage.
J or-‐joran
memberi
kredit
bertemu
dengan
jor-‐joran
membeli
rumah.
H arga
rumah
dan
tanah
naik
terus
melebihi
bunga
bank.
Akibatnya,
yang
pintar
bukan
hanya
orang-‐orang
bank,
tapi
juga
para
pemilik
rumah.
Yang
rumahnya
sudah
lunas,
di-‐mortgage-‐kan
lagi
untuk
membeli
rumah
berikutnya.
Yang
belum
memenuhi
syarat
beli
rumah
pun
bisa
mendapatkan
kredit
dengan
harapan
toh
harga
rumahnya
terus
naik.
K alau
toh
suatu
saat
ada
yang
Adak
bisa
bayar,
bank
masih
untung.
Jadi,
Adak
ada
kata
takut
dalam
memberi
kredit
rumah.
Tapi,
bank
tentu
punya
batasan
yang
ketat
sebagaimana
diatur
dalam
undang-‐undang
perbankan
yang
keras.
Jalan
baru
itu
adalah
ini:
bank
bisa
bekerja
sama
dengan
”bank
jenis
lain”
yang
disebut
investment
banking.
Bukan.
I a
perusahaan
keuangan
yang
”hanya
mirip”
bank.
I a
lebih
bebas
daripada
bank.
I a
Adak
terikat
peraturan
bank.
Bisa
berbuat
banyak
hal:
menerima
macam-‐macam
”deposito”
dari
para
pemilik
uang,
meminjamkan
uang,
meminjam
uang,
membeli
perusahaan,
membeli
saham,
menjadi
penjamin,
membeli
rumah,
menjual
rumah,
private
placeman,
dan
apa
pun
yang
orang
bisa
lakukan.
Bahkan,
bisa
melakukan
apa
yang
orang
Adak
pernah
memikirkan!
L ehman
Brothers,
Bear
Stern,
dan
banyak
lagi
adalah
jenis
investment
banking
itu.
Dengan
kebebasannya
tersebut,
ia
bisa
lebih
agresif.
Bisa
memberi
pinjaman
tanpa
ketentuan
pembatasan
apa
pun.
Bisa
membeli
perusahaan
dan
menjualnya
kapan
saja.
K alau
uangnya
Adak
cukup,
ia
bisa
pinjam
kepada
siapa
saja:
kepada
bank
lain
atau
kepada
sesama
investment
banking.
Atau,
juga
kepada
orang-‐orang
kaya
yang
punya
banyak
uang
dengan
isAlah
”personal
banking”.
Saya
sering
kedatangan
orang
dari
investment
banking
seperA
itu
yang
menawarkan
banyak
fasilitas.
K alau
saya
mau
menempatkan
dana
di
sana,
saya
dapat
bunga
lebih
baik
dengan
hitungan
yang
rumit.
Biasanya
saya
Adak
sanggup
mengikuA
hitung-‐hitungan
yang
canggih
itu.
Saya
orang
yang
berpikiran
sederhana.
Biasanya
tamu-‐tamu
seperA
itu
saya
serahkan
ke
D irut
Jawa
P os
W enny
Ratna
D ewi.
Yang
kalau
menghitung
angka
lebih
cepat
dari
kalkulator.
K ini
saya
tahu,
pada
dasarnya
dia
Adak
menawarkan
fasilitas,
tapi
cari
pinjaman
untuk
memutar
cash-‐flow.
Begitu
agresifnya
para
investment
banking
itu,
sehingga
kalau
dulu
hanya
orang
yang
memenuhi
syarat
(prime)
yang
bisa
dapat
mortgage,
yang
kurang
memenuhi
syarat
pun
(sub-‐
prime)
dirangsang
untuk
minta
mortgage.
Di
AS,
seAap
orang
punya
raAng.
Tinggi
rendahnya
raAng
ditentukan
oleh
besar
kecilnya
penghasilan
dan
boros-‐Adaknya
gaya
hidup
seseorang.
Orang
yang
disebut
prime
adalah
yang
raAngnya
600
ke
atas.
SeAap
tahun
orang
bisa
memperkirakan
sendiri,
raAngnya
naik
atau
turun.
Kalau
sudah
mencapai
600,
dia
sudah
boleh
bercita-‐cita
punya
rumah
lewat
mortgage.
K alau
belum
600,
dia
harus
berusaha
mencapai
600.
Bisa
dengan
terus
bekerja
keras
agar
gajinya
naik
atau
terus
melakukan
penghematan
pengeluaran.
Tapi,
karena
perusahaan
harus
semakin
besar
dan
laba
harus
kian
Anggi,
pasar
pun
digelembungkan.
Orang
yang
raAngnya
baru
500
sudah
ditawari
mortgage.
Toh
kalau
gagal
bayar,
rumah
itu
bisa
disita.
Setelah
disita,
bisa
dijual
dengan
harga
yang
lebih
Anggi
dari
nilai
pinjaman.
Tidak
pernah
dipikirkan
jangka
panjangnya.
Jangka
panjang
itu
ternyata
Adak
terlalu
panjang.
D alam
waktu
kurang
dari
10
tahun,
kegagalan
bayar
mortgage
langsung
melejit.
Rumah
yang
disita
sangat
banyak.
Rumah
yang
dijual
kian
bertambah.
K ian
banyak
orang
yang
jual
rumah,
kian
turun
harganya.
K ian
turun
harga,
berarA
nilai
jaminan
rumah
itu
kian
Adak
cocok
dengan
nilai
pinjaman.
I tu
berarA
kian
banyak
yang
gagal
bayar.
Bank
atau
investment
banking
yang
memberi
pinjaman
telah
pula
menjaminkan
rumah-‐
rumah
itu
kepada
bank
atau
investment
banking
yang
lain.
Yang
lain
itu
menjaminkan
ke
yang
lain
lagi.
Yang
lain
lagi
itu
menjaminkan
ke
yang
beriktunya
lagi.
Satu
ambruk,
membuat
yang
lain
ambruk.
SeperA
kartu
domino
yang
didirikan
berjajar.
Satu
roboh
menimpa
kartu
lain.
Roboh
semua.
Berapa
ratus
ribu
atau
juta
rumah
yang
termasuk
dalam
mortgage
itu?
Belum
ada
data.
Yang
ada
baru
nilai
uangnya.
K ira-‐kira
mencapai
5
triliun
dolar.
J adi,
kalau
P residen
Bush
merencanakan
menyunAk
dana
APBN
U SD
700
miliar,
memang
perlu
dipertanyakan:
kalau
ternyata
dana
itu
Adak
menyelesaikan
masalah,
apa
harus
menambah
U SD
700
miliar
lagi?
Lalu,
U SD
700
miliar
lagi?
Itulah
yang
ditanyakan
anggota
D PR
AS
sekarang,
sehingga
belum
mau
menyetujui
rencana
pemerintah
tersebut.
P adahal,
jumlah
sunAkan
sebanyak
U SD
700
miliar
itu
sudah
sama
dengan
pendapatan
seluruh
bangsa
dan
negara
I ndonesia
dijadikan
satu.
Jadi,
kita
masih
harus
menunggu
apa
yang
akan
dilakukan
pemerintah
dan
rakyat
AS.
K ita
juga
masih
menunggu
data
berapa
banyak
perusahaan
dan
orang
I ndonesia
yang
”menabung”-‐kan
uangnya
di
lembaga-‐lembaga
investment
banking
yang
kini
lagi
pada
kesulitan
itu.
Sebesar
tabungan
itulah
I ndonesia
akan
terseret
ke
dalamnya.
Rasanya
Adak
banyak,
sehingga
pengaruhnya
Adak
akan
sebesar
pengaruhnya
pada
Singapura,
H ongkong,
atau
Tiongkok.
Singapura
dan
H ongkong
terpengaruh
besar
karena
dua
negara
itu
menjadi
salah
satu
pusat
beroperasinya
raksasa-‐raksasa
keuangan
dunia.
Sedangkan
Tiongkok
akan
terpengaruh
karena
daya
beli
rakyat
AS
akan
sangat
menurun,
yang
berarA
banyak
barang
buatan
Tiongkok
yang
Adak
bisa
dikirim
secara
besar-‐besaran
ke
sana.
K ita,
seAdaknya,
masih
bisa
menanam
jagung.(*)
Lantaran
Reruntuhan
Wall
Street
Menimpa
Main
Street
Senin,
06
Oktober
2008
Lantaran
Reruntuhan
Wall
Street
M enimpa
M ain
Street
Seberapa
besarkah
krisis
keuangan
di
Amerika
itu
sehingga
negara
tersebut
sampai
harus
”musyrik”
dari
agama
kapitalisme
dengan
cara
menyunAkkan
dana
negara
U SD
700
miliar?
Bahkan
sampai
mau
menelan
ludah
sendiri
dengan
cara
melakukan
”nasionalisasi”?
Memang
sangat
serius.
Apalagi
kalau
kita
menyaksikan
siaran
televisi
C NN,
C NBC,
atau
Bloomberg.
K alutnya
bukan
main.
Bahkan
belum
diketahui
pasA
besarnya
kerugian
yang
harus
dihadapi.
Ada
pengamat
yang
sampai
mengisAlahkan
bahwa
AS
seperA
sedang
menghadapi
perjudian
sebesar
U SD
60
triliun.
Tentu
ada
juga
yang
hanya
menghitung
semua
kehebohan
itu
menyangkut
U SD
5
triliun.
P okoknya
sangat
besar,
untuk
ukuran
AS
sekalipun.
Tapi,
jangan
juga
dibayangkan
bahwa
ekonomi
negara
itu
segera
ambruk.
Nilai
U SD
700
miliar
yang
akan
disunAkkan
tersebut
memang
hampir
sama
dengan
G NP
seluruh
penduduk
dan
negara
I ndonesia,
tapi
baru
hampir
sama
dengan
anggaran
pertahanan
negara
itu.
Atau
baru
sama
dengan
Aga
tahun
biaya
perangnya
di
I raq.
Atau
hanya
kurang
5
persen
dari
G NP
negara
tersebut.
Bahwa
keAka
pemerintah
George
Bush
mengajukan
permintaan
anggaran
U SD
700
miliar
tersebut
heboh,
yang
utama
bukan
karena
besarnya.
Meski
sama
dengan
G NP
seluruh
negara
di
Benua
Afrika,
nilai
itu
hanya
sama
dengan
kekayaan
12
orang
seperA
Bill
Gates.
Atau
sama
dengan
kekayaan
lima
perusahaan
minyak
di
sana.
K arena
itu,
keAka
mengajukan
permintaan
tersebut
ke
D PR,
Menteri
K euangan
H enry
P aulson
hanya
menyerahkan
proposal
Aga
halaman.
Yang
lebih
dihebohkan
adalah
karena
itu
menyangkut
rasa
keadilan
masyarakat
dan
melanggar
doktrin
kapitalisme
dengan
pasar
bebasnya.
”Sekali
lagi,
orang
miskin
harus
membantu
orang
kaya,”
kata
umumnya
opini
di
sana.
Atau
sindiran
seperA
ini:
D efinisi
kapitalisme
dan
pasar
bebas
harus
diubah
menjadi
”boleh
mencari
keuntungan
sebesar-‐besarnya
dengan
cara
apa
pun
dan
kalau
terperosok
ke
jurang,
pemerintah
harus
menolong”.
Atau:
Solusi
yang
terbaik
adalah
biarkan
mereka
bangkrut.
Kebetulan,
pemilu
sudah
dekat.
P emilu
presiden
maupun
pemilu
anggota
D PR.
K arena
itu,
sikap
para
anggota
D PR
menjadi
sangat
aneh.
Secara
ilmiah,
mereka
harus
menyetujui
permintaan
bailout
U SD
700
miliar
itu.
Tapi,
mereka
takut
pada
kemarahan
rakyat
atas
perilaku
para
pengusaha
keuangan
yang
mereka
sebut
begitu
rakus
(lihat
tulisan
saya
K alau
Langit
D ianggap
K urang
Tinggi
di
harian
ini
edisi
28
September
2008).
Karena
itu,
sikap
umumnya
anggota
D PR
adalah
ini:
P ermintaan
bailout
tersebut
harus
kita
setujui,
tapi
jangan
saya
yang
harus
ikut
menyetujui.
Umumnya
mereka
tahu
akibat
buruk
kalau
D PR
Adak
menyetujui
permintaan
presiden
itu.
Tapi,
mereka
lebih
takut
kalau
Adak
terpilih.
Sebab,
pemungutan
suara
dilakukan
secara
terbuka.
Rakyat
bisa
tahu
siapa
setuju
siapa
menolak.
Karena
itulah,
dalam
pemungutan
suara
pada
Senin
pekan
lalu,
permintaan
bailout
tersebut
Adak
disetujui
D PR
dengan
suara
cukup
telak
(228
lawan
205).
Bahkan,
yang
terbanyak
menolak
justru
dari
partai
presiden
sendiri.
Lalu,
terjadilah
sejarah
itu:
begitu
D PR
menolak,
harga
saham
terjun
bebas.
Nilai
penurunan
tersebut
mencapai
U SD
3,4
triliun.
D unia
heboh.
L embaga
keuangan
panik.
W all
Street
(pasar
modal
yang
terletak
di
J alan
W all
Street
New
York)
berjatuhan.
Reruntuhannya
menimpa
main
street.
Penolakan
D PR
untuk
menolong
orang-‐orang
di
W all
Street
ternyata
berimbas
langsung
kepada
masyarakat
umum.
P ara
pengusaha
kecil
yang
semula
merasa
Adak
adil
kalau
pemerintah
menolong
perusahaan
raksasa
kemudian
ikut
kelimpungan:
bank
Adak
bisa
memberi
mereka
kredit.
Banyak
perusahaan
mengurangi
tenaga
kerja
atau
tutup.
K elas
pegawai
ternyata
juga
ikut
susah.
Maka,
opini
langsung
berubah.
Yang
menolak
bailout
dituding
sebagai
penyebab
keruntuhan
ekonomi
secara
lebih
luas.
Mereka
menjadi
sasaran
kemarahan
baru.
P ara
anggota
D PR
pun
setuju
untuk
bertemu
lagi
lima
hari
kemudian.
Bahkan
bisa
lebih
cepat
kalau
saja
Adak
terhalang
tahun
baru
Yahudi
yang
merupakan
hari
libur
di
AS.
Suasananya
mendadak
berbalik.
Banyak
yang
menyesal
telah
menolak
bailout
itu.
Rencana
menghemat
U SD
700
miliar
ternyata
justru
menimbulkan
kerugian
U SD
3,4
triliun
dalam
satu
hari
itu
saja.
I tu
baru
kerugian
langsung.
K erugian
akibat
dampak
berikutnya
pasA
lebih
besar.
Inilah
contoh
konkret
negara
yang
demokrasinya
telah
dewasa.
K esalahan
bisa
segera
diperbaiki
hanya
dalam
waktu
lima
hari.
K epenAngan
poliAk
memang
ada,
tapi
akal
sehat
tetap
lebih
utama.
Dari
kejadian
itu,
saya
semakin
menghargai
keputusan
yang
pernah
diambil
P residen
B.J.
Habibie
dan
P residen
MegawaA
yang
dengan
cepat
menyelesaikan
utang-‐utang
para
konglomerat
dulu
itu.
Tapi,
karena
suasana
poliAk
waktu
itu
lagi
”kalut”,
keduanya
jadi
bulan-‐bulanan.
Saya
juga
paham
dan
menghargai
jalan
pikiran
seperA
yang
dianut
K wik
K ian
Gie
atau
umumnya
ekonom
kerakyatan.
Memang
sangat
Adak
adil
negara
mengeluarkan
uang
yang
begitu
besar
untuk
menolong
para
konglomerat.
Bukankah
itu
kesalahan
mereka
sendiri?
Mengapa
uang
rakyat
yang
dipakai
menolong
mereka?
Apalagi
nilainya
bukan
sekadar
5
persen
dari
G NP
seperA
di
AS
sekarang,
melainkan
prakAs
100
persen
dari
G NP
I ndonesia
(saat
itu).
Tapi,
kejadian
di
AS
tersebut
tetap
benar-‐benar
menjadi
bukA
bahwa
kalau
utang-‐utang
mereka
Adak
diselesaikan,
ekonomi
Adak
bisa
bergerak
(bahkan
merosot).
Akibatnya,
kerugian
seluruh
bangsa
akan
jauh
lebih
besar
dari
nilai
uang
yang
dipakai
menolong
mereka.
Nasib
orang
kaya,
rupanya,
memang
lebih
mujur.
J atuh
pun
diselamatkan
kasur
dan
permadani.
Sangat
pantas
kalau
rakyat
umumnya
sangat
marah.
Dalam
kasus
AS,
akal
sehat
segera
mencuat.
Sambil
marah,
tetap
saja
bailout
U SD
700
miliar
harus
disetujui.
Akhirnya,
lima
hari
kemudian,
D PR
menyetujui
permintaan
bailout
itu.
Memang
masih
ada
171
orang
yang
menolak,
tapi
yang
setuju
menjadi
263
orang.
Meski
D PR
sudah
menyetujui
jalan
keluar
tersebut,
Adak
berarA
ekonomi
AS
segera
pulih.
Banyak
analis
memperkirakan
krisis
itu
masih
akan
berlangsung
selama
enam
atau
tujuh
bulan
lagi.
Masih
harus
lama
mencari
AAk
keseimbangan
baru.
Apalagi
kalau
benar
bahwa
bisa
saja
krisis
keuangan
tersebut
menyangkut
uang
sampai
U SD
60
triliun,
sebagaimana
ditulis
majalah
Fortune
terbaru.
BerarA
jauh
lebih
besar
dari
perkiraan
semula
yang
hanya
menyangkut
U SD
5
triliun.
Apalagi,
pemerintah
AS
sedang
dalam
masa
transisi.
P emerintah
Bush
sudah
Adak
punya
waktu
lagi,
sementara
pemerintah
baru
belum
akan
efekAf
sampai
empat
bulan
lagi.
Belum
lagi
bailout
yang
U SD
700
miliar
itu
Adak
bisa
cair
begitu
saja.
D PR
menambahkan
banyak
persyaratan.
Termasuk
prosesnya
yang
harus
transparan.
Bahkan,
mulai
dipertanyakan
berapa
banyak
konsultan
yang
akan
dipekerjakan
dan
berapa
gaji
mereka.
I tu
mengingatkan
kita
bahwa
untuk
B PPN
saja,
kita
menggunakan
ratusan
konsultan
asing
dengan
total
gaji
ratusan
miliar
rupiah.
Enam
atau
tujuh
bulan
itu
adalah
masa
untuk
mencapai
AAk
keseimbangan
baru.
Tentu
posisi
keseimbangan
baru
tersebut
jauh
lebih
rendah
daripada
posisi
saat
ini.
Untuk
bisa
benar-‐benar
pulih
seperA
sekarang,
para
analis
sepakat
diperlukan
waktu
lima
sampai
enam
tahun.
BerarA,
siapa
pun
presiden
baru
yang
terpilih
bulan
depan
berada
dalam
posisi
yang
berat.
Tapi,
tetap
saja
masa
enam-‐tujuh
bulan
tersebut
sangat
cepat.
I tulah
kalau
sebuah
negara
demokrasinya
sudah
dewasa.
P ersoalan
tersebut
bisa
cepat
diselesaikan
justru
sebelum
merembet
ke
bidang
lain.
K ita
pun,
kalau
bisa
konsisten
menjaga
demokrasi
ini,
kelak
akan
sampai
ke
sana
juga.
Mungkin
16
tahun
lagi.
Benarkah krisis yang begitu hebat akan selesai dalam tujuh bulan?
Cepat
atau
lambat,
itu
relaAf.
K ita
bisa
bilang
”kok
cepat”
karena
kita
punya
pengalaman
buruk.
Untuk
pulih
dari
krisis
1997,
kita
perlu
waktu
tujuh
tahun
menormalkannya.
K risis
moneter
kita
sempat
ditunggangi
oleh
kerusuhan
rasial
dan
krisis
poliAk
yang
mbulet.
Kerumitan
itulah
yang
Adak
sampai
menyertai
krisis
moneter
di
AS
sekarang
ini.
P aling-‐
paling
mereka
hanya
akan
memperbarui
banyak
peraturan
di
bidang
keuangan
agar
lebih
ketat.
Misalnya,
subprime
mortgage
akan
dilarang.
D emikian
pula
short
selling
di
pasar
modal.
Tapi,
dalam
waktu
kurang
dari
10
tahun
ke
depan,
lubang-‐lubang
peraturan
baru
itu
pun
sudah
bisa
ditemukan.
K apitalisme
akan
mendorong
pelaku
bisnis
untuk
terus
berkelit.
Kalau
kena
jalan
buntu,
jalan
lingkar
harus
ditemukan.
Tidak
bisa
menemukan
jalan
lingkar,
bikin
jalan
baru.
Tidak
bisa
bikin,
beli!
Tidak
bisa
beli,
lakukan
hosAle!
K alau
hosAle
pun
Adak
bisa,
bikin
saja
jalan
di
angan-‐angan.
L aksanakan
di
kertas
atau
di
layar
komputer.
Malah
Adak
perlu
aspal,
batu,
dan
kontraktor.
Lalu, jual!
Kalau
pembeli
bertanya
seberapa
lebar
dan
di
mana
jalan
itu,
buka
saja
laptop!
Bikin
animasi
yang
bisa
menggambarkan
jalan
itu
lengkap
dengan
mobil
yang
lalu-‐lalang,
Aang-‐Aang
listrik
dan
gedung-‐gedung
pencakar
langit
di
kanan
kirinya.
K arena
jalan
jenis
ini
Adak
perlu
tanah,
bikinlah
banyak-‐banyak!
Sebanyak
yang
ada
di
pikiran.
P eraturan
yang
kian
hebat
membuat
pebisnis
kian
lihai.
Sampai
kelak,
20
tahun
yang
akan
datang
terjadi
lagi
krisis
yang
baru.
Berapa
banyakkah
uang
I ndonesia
yang
terancam
lenyap
dari
krisis
di
Amerika?
Sejauh
ini
baru
Bank
B NI
yang
mengumumkan
kemungkinan
hilangnya
uang
yang
ditempatkan
di
Lehman
Brothers
sebesar
U SD
7,8
juta
(sekitar
Rp
72
miliar).
Perkiraan
saya
total
sekitar
Rp
10
triliun.
D i
antara
jumlah
itu,
Surabaya
saya
kira
menyumbang
sekitar
Rp
1
triliun,
melibatkan
100-‐an
orang
kaya.
D ari
J akarta
sekitar
Rp
8
triliun
melibatkan
1.000-‐an
orang
atau
lembaga.
Yang
Rp
1
triliun
lagi
dari
berbagai
kota.
Mudah-‐mudahan
perkiraan
saya
terlalu
besar.
(*)
Sebuah
Kuburan
Keruwetan
Jumat,
10
Oktober
2008
Di
kuburan
besar
itu
Adak
ada
penjelasan
siapa
yang
dimakamkan
rame-‐rame
di
situ.
D i
Aap
batu
nisannya
hanya
tertulis
kata-‐kata
begini:
penyebab
kemaAannya
adalah
keruwetan.
Oh…,
Adak
sulit
menebak
kuburan
siapa
gerangan
itu:
L ehman
Brothers
dan
kawan-‐kawan!
Dan
keruwetan
yang
menyebabkan
tewasnya
berbagai
perusahaan
terbesar
di
dunia
itu
adalah
sebuah
urusan
yang,
menurut
W arren
Buffem,
bernama
“racun
derivaAf.”
Racun
itu
terbuat
dari
ramuan
“kecerdasan,
gairah
dan
kerakusan.”
Unsur-‐unsur
dalam
ramuan
itu
misalnya
commercial
papers,
mortgage
back
securiAes,
short
selling,
hedging,
over
the
counter,
credit
default
swaps,
equity
swaps,
interest
swaps,
margin
trading,
futures,
forward,
opAon,
dan
banyak
lagi.
K alau
toh
bisa
diterjemahkan
ke
dalam
bahasa
I ndonesia,
arA
dari
Aap-‐Aap
isAlah
keuangan
itu
tetap
saja
ruwet.
Seruwet
memahami
definisi
dan
peraturannya.
Gampangnya:
semua
itu
adalah
anak-‐cucu
dari
sistem
perbankan
yang
merasa
Adak
cukup
lagi
kalau
hanya
dapat
keuntungan
dari
menerima
tabungan
dan
memberi
pinjaman.
H arus
diciptakan
produk-‐produk
perbankan
yang
baru.
I tulah
derivaAve.
Yang
menciptakannya
harus
cerdas,
bergairah
dan
rakus.
Yang
menjalankannya
harus
bergairah,
rakus
dan
cerdas.
Yang
memilikinya
Adah
harus
cerdas,
tapi
tetap
harus
rakus
dan
bergairah.
Saya
punya
teman
pengusaha
besar
yang
asalnya
sangat
miskin.
D ia
lima
bersaudara.
Saudara
tertua
kerja
maA-‐maAan
banAng
tulang
secara
fisik.
Sampai
harus
bertani
dan
kemudian
berkebun
sendiri.
L ama-‐lama
si
sulung
itu
jadi
pengusaha
besar
hasil
bumi.
D ia
Adak
ingin
adiknya
Adak
sekolah
Anggi
seperA
dia.
K arena
itu
adiknya
yang
terkecil
disekolahkan
ke
Amerika.
Sekolah
keuangan.
Maksudnya,
agar
perusahaan
keluarga
yang
dikelola
secara
tradisional
itu
kelak
bisa
jadi
perusahaan
yang
modern.
Si
bungsu
sekolah
dengan
tekun
dan
jadi
ahli
keuangan.
K eAka
pulang,
ia
merasa
perusahaan
yang
dirinAs
kakaknya
itu
harus
dibuat
modern.
Sistem
keuangannya
harus
secanggih
di
AS.
Terutama
struktur
pendanaannya.
Si
sulung
merasa
bodoh
dan
karena
itu
menyerahkan
saja
semuanya
ke
si
bungsu.
Terjadilah
krismon.
Struktur
keuangannya
ternyata
rapuh.
Perusahaan
itu
mengalami
kesulitan
yang
luar
biasa.
“Pak
D ahlan,
gara-‐gara
adik,
sekarang
saya
harus
kembali
bertani
lagi,”
katanya
saat
K rismon
masih
berlangsung.
Syukurlah
kini
sudah
jaya
kembali.
Sistem
keuangan
modern
memang
luar
biasa
variasinya.
Apalagi
dapat
dukungan
sistem
komputer.
P erdagangan
derivaAve
kian
lama
kian
membesar.
Tentu
semuanya
di
atas
kertas,
atau
di
layar
komputer.
Meski
namanya
jual-‐beli,
tapi
yang
berpindah
tangan
bukan
barang
atau
uang,
melainkan
angka-‐angka.
Bertukarnya
juga
sangat
kilat.
Antarnegara
sekalipun
bisa
secepat
kilat.
K alau
tanam
tebu
memerlukan
16
bulan,
menanam
derivaAve
hanya
dalam
hitungan
deAk.
Enam
tahun
yang
lalu,
W arren
Buffem,
sudah
mengingatkan
secara
terbuka
bahaya
perdagangan
derivaAve
ini.
“DerivaAve
adalah
senjata
pemusnah
masal
keuangan,”
katanya.
Waktu
itu
isAlah
senjata
pemusnah
masal
lagi
top-‐topnya
sebagai
alasan
P residen
Bush
untuk
menyerang
I raq
dan
menangkap
Saddam
H ussein.
“Saya
Adak
tahu
kapan
meledak,
tapi
suatu
hari
kelak
pasA
meledak,”
tambahnya.
Subprime
ternyata
hanya
satu
bagian
kecil
saja
dari
penyebab
kekacauan
keuangan
sekarang
ini.
Volume
uang
yang
terkait
dengan
derivaAve
ini
jauh
lebih
besar
dari
perkiraan
semula
yang
hanya
sekitar
U SD
15
triliun.
(Dalam
rupiah
harus
ditulis
begini:
Rp
1.300.000.000.000.000).
Bisa
jadi
transaksi
derivaAve
ini
mencapai
U SD
516
triliun.
Angka
ini
dikeluarkan
oleh
“ketuanya”
bank-‐bank
sentral
seluruh
dunia
yang
disebut
Bank
of
InternaAonal
Semlement
(BIS)
yang
berpusat
di
Basel,
Swiss.
Begitu
besar
dan
ruwetnya,
sampai
sampai
menurut
Buffem,
pemerintah
mana
pun,
termasuk
U SA,
Adak
bisa
lagi
mengontrol
perdagangan
derivaAve
itu.
“Bahkan
hanya
untuk
memonitor
pun
sudah
Adak
mampu,”
katanya.
DerivaAve
ini
sebenarnya
sudah
sulit
dibedakan
dengan
perjudian.
D alam
perdagangan
saham
murni,
meski
ada
unsur
spekulasinya,
tapi
masih
bisa
dianalisa.
Tapi
dalam
perdagangan
derivaAve
yang
bisa
menganalisa
hanya
para
pelaku
sistem
itu.
P emilik
uang
sulit
memahaminya.
Saya
punya
teman
baik
yang
juga
penggemar
formula
one.
Sukanya
keliling
dunia.
D an
memotret.
D ia
pernah
kerja
keras
selama
20
tahun
untuk
mengumpulkan
uang
sampai
Rp
40
miliar.
Uang
itu
dipercayakan
kepada
satu
bank
di
Singapura
untuk
diputar.
Masuklah
ke
mesin
derivaAve.
D alam
hitungan
deAk,
uang
itu
amblas.
D i
meja
judi
pun
Adak
akan
secepat
itu!
“Saya
ini
kebalikan
dari
anda,”
katanya
menghibur
diri.
“Kalau
Anda,
sakit
haA
dulu
lalu
mengeluarkan
uang.
K alau
saya,
mengeluarkan
uang
dulu,
lalu
sakit
haA,”
katanya.
Tidak sedikit orang atau perusahaan yang punya jalan hidup seperA itu.
Memang
Adak
gampang
memahami
rumus
derivaAve
ini.
Saya
biasanya
menghindar
saja,
daripada
pusing.
K elihatannya
memang
ndeso,
bodoh
dan
Adak
modern,
tapi
saya
memang
benar-‐benar
sulit
memahami
rumusnya.
Bahkan,
rumus
itu
ternyata
memang
Adak
pernah
ada.
K esalahan
pokok
sistem
derivaAve
adalah
Adak
adanya
kepasAan
apakah
harga
saham,
uang,
bunga,
marjin,
asset
dan
seterusnya
itu
bisa
diperkirakan
untuk
jangka
3
atau
5
atau
10
tahun.
Bahkan
Adak
bisa
diketahui
apakah
pasarnya
itu
memang
ada.
ArAnya,
kalau
satu
saham
yang
dibeli
itu
kini
harganya
Rp
1
juta,
lalu
diperkirakan
5
tahun
lagi
menjadi
Rp
10
juta,
maka
pertanyaannya
adalah:
apakah
benar
lima
tahun
kemudian
jadi
10
juta?
K alau
toh
“ya”,
apakah
ada
pembelinya?
Karena
kepasAan
itu
memang
Adak
ada,
maka
digunakanlah
berbagai
asumsi.
Sekian
banyak
asumsi
lantas
dijadikan
satu
menjadi
“model”.
Variasi
dari
gabungan
asumsi
itu
melahirkan
berbagai
model.
Belakangan
jadilah
“model’
itu
seperA
fakta
kebenaran.
Yang
semula
hanya
“model”
lantas
seperA
“pasar
yang
sesungguhnya”.
Akibatnya,
sebelum
transaksi
selalu
angka-‐angkanya
dimasukkan
begitu
saja
ke
dalam
model
di
komputer.
K omputer
yang
akan
menganalisa.
L alu
keluarlah
angka-‐angka
akhir:
berapa
harga
saham
atau
uang
itu
5
tahun
ke
depan.
Nilai
itulah
yang
kemudian
dianggap
sebagai
kekayaan
riil
saat
ini.
Termasuk
bisa
menjualnya
atau
menjaminkannya
untuk
pinjam
uang.
Jaminan
itu
lantas
dijaminkan
lagi,
dijaminkan
lagi,
dijaminkan
lagi….jadilah
pasar
derivaAve
menjadi
sebesar
U SD
516
triliun.
Betapa
besarnya
angka
itu
bisa
dilihat
dari
data
B IS
berikut
ini.
Nilai
saham
dan
bond
di
seluruh
dunia
hanyalah
U SD
100
triliun.
Total
nilai
real
estate
di
seluruh
dunia
(yang
di
pasar
modal)
adalah
U SD
75
triliun.
G DP
Amerika
adalah
U SD
15
triliun.
Jadi,
jangan
diingat-‐ingat
tulisan
ini.
P ertama,
meski
sudah
disederhanakan
penulisannya,
tetap
saja
ruwet.
K edua,
kalau
diingat-‐ingat,
bisa
takut
sendiri.
Fondasi
Memang
Rapuh,
Bukan
KonKiden
yang
Jatuh
Jum’at,
14
November
2008
Dahlan
Iskan
:
M au
J atuh
C epat-‐Cepat
atau
P elan-‐Pelan?
(1)
Baru
satu
hari
pulang
dari
Tiongkok,
D ahlan
I skan
kemarin
sudah
berangkat
ke
Amerika
untuk
ikut
rombongan
P residen
Soesilo
Bambang
Yudhoyono
menghadiri
pertemuan
puncak
20
kepala
negara
di
W ashington
D C.
P ertemuan
ini
untuk
mencari
solusi
mengatasi
krisis
keuangan
global
saat
ini.
Berikut
catatannya
sebelum
berangkat:
Setelah
banyak
kiat
dijalankan
di
mana-‐mana
dan
hasilnya
juga
masih
belum
bisa
meredakan
krisis,
para
penganut
aliran
pasar
bebas
mulai
unjuk
gigi
lagi:
seharusnya
negara
jangan
turun
tangan.
Biarkan
pasar
terjun
bebas.
Biarkan
banyak
bank
kolaps.
Biarkan
banyak
perusahaan
bangkrut.
Biarkan
pasar
modal
mencapai
AAk
terendahnya.
Terjun
bebas
secara
cepat
lebih
baik
karena
kita
bisa
segera
tahu
di
mana
AAk
terendahnya.
D ari
situ
baru
mulai
dipikirkan
lagi
bagaimana
bangun
kembali.
D aripada
jatuh
pelan-‐pelan,
lama
tapi
akhirnya
jatuh
juga!
Pendapat
itu
didasarkan
kenyataan
bahwa
meski
berbagai
negara
sudah
melakukan
bailout
dalam
jumlah
yang
belum
pernah
terjadi
dalam
sejarah,
toh
kesulitan
Adak
juga
teratasi.
Indeks
harga
saham
masih
terus
merosot,
termasuk
setelah
Amerika
Serikat
memilih
presiden
baru
sekali
pun.
I ni
berarA
krisis
sekarang
ini
memang
benar-‐benar
krisis
yang
terjadi
akibat
fondasi
ekonomi
yang
rapuh.
Bukan
hanya
karena
rasa
konfiden
yang
jatuh.
Memang
banyak
negara
sudah
menginjeksikan
uang
rakyat
ke
berbagai
lembaga
keuangan.
AS
menggunakan
dana
U SD
700
miliar
yang
berasal
dari
pembayar
pajak
alias
rakyat.
D an,
karena
negara
itu
sedang
mengalami
defisit
terbesar
dalam
sejarahnya,
pada
dasarnya
dana
itu
juga
berasal
dari
pinjaman.
Negara
sudah
meminjam
uang
begitu
besar
untuk
menyelamatkan
lembaga
keuangan.
H asilnya
belum
kelihatan
jelas.
Bahkan,
kini
menjalar
ke
sektor
riil.
P abrik
mobil
di
sana
sudah
pula
minta
disunAk
dana
negara.
K alau
permintaan
ini
dipenuhi,
bagaimana
industri
baja
yang
juga
Anggal
menunggu
giliran
saja
untuk
mengalami
hal
yang
sama?
L alu
bagaimana
dengan
industri
kaca?
I ndustri
cat?
D an
seterusnya.
Dulu,
pikiran
untuk
menginjeksikan
uang
negara
ke
lembaga
keuangan
tersebut
didasari
pemikiran
agar
kepanikan
masyarakat
bisa
segera
reda.
K epanikan
itu
dipicu
oleh
pernyataan
bangkrutnya
L ehman
Brothers,
perusahaan
keuangan
terbesar
di
dunia.
Masyarakat
panik
karena
“Lehman
yang
begitu
raksasa
saja
bangkrut,
bagaimana
dengan
yang
lain?”
I ni,
kecil-‐
kecilan,
mirip
dengan
yang
dialami
I ndonesia
keAka
krisis
1997
lalu.
Saat
itu,
secara
teori
ekonomi
(IMF)
16
bank
swasta
nasional
harus
ditutup.
J angan
diinjeksi.
Maka
ditutuplah
bank-‐bank
itu.
Ternyata,
“teori”
tersebut
meleset.
Akibat
penutupan
itu,
kepanikan
memuncak.
P ertanyaan
semua
orang
waktu
itu:
besok
bank
yang
mana
lagi
yang
ditutup?
Lusa
yang
mana
lagi?
Begitulah
seterusnya
hingga
akhirnya
toh
pemerintah
harus
memberikan
jaminan
kepada
kalangan
perbankan.
J aminan
itulah
yang
kemudian
ternyata
juga
salah:
pemilik
uang
di
bank
itu
ternyata
para
pemilik
bank
itu
sendiri.
Akibatnya,
pemerintah
harus
menginjeksi
para
penabung
yang
pada
dasarnya
pemilik
bank
itu
sendiri.
Pemerintah
AS
juga
berpikiran
bangkrutnya
L ehman
Brothers
adalah
pelajaran
berharga.
Kebangkrutan
itu
ternyata
disusul
dengan
kepanikan
dan
dampaknya
berupa
turunnya
rasa
percaya
diri
yang
luar
biasa.
H arga
saham
terus
merosot.
K ehilangan
uang
di
pasar
modal
ternyata
lebih
besar
dari
nilai
yang
harus
dibayar
seandainya
L ehman
Brothers
diinjeksi
uang
negara.
Memang
setelah
injeksi
diberikan
oleh
pemerintah,
rasa
percaya
diri
mulai
pulih.
Tapi,
rasa
percaya
diri
saja
ternyata
Adak
cukup.
Toh,
harga
saham
terus
merosot.
P erusahaan
yang
terancam
bangkrut
terus
membesar.
K ini
mulai
dibahas:
sampai
berapa
besar
injeksi
harus
diberikan?
Apakah
kalau
kebijaksanaan
injeksi
itu
diteruskan,
adakah
dana
yang
cukup?
Apa
kriteria
yang
bisa
diinjeksi
dan
yang
Adak?
Bahkan,
jangan-‐jangan,
semua
itu
seperA
“sumur
tanpa
dasar”.
Siapa
yang
bisa
menimbunnya?
Maka
mulailah
dibicarakan
perlunya
diberlakukan
undang-‐undang
darutat.
BerarA
Amerika
memang
sangat
gawat.
Kalau
saja
U U
darurat
itu
benar-‐benar
diwujudkan,
kita
juga
belum
tahu
skenario
seperA
apa
yang
akan
dilakukan:
biarkan
terus
bebas
dengan
cepat,
atau
terjun
pelan-‐pelan
tapi
akhirnya
jatuh
juga,
atau
ada
revolusi
baru
di
AS?
Memang
segera
diadakan
pertemuan
puncak
para
kepala
negara
di
W ashington
minggu
ini
untuk
membicarakan
itu.
Tapi,
dari
pengalaman-‐pengalaman
yang
lalu,
Adak
mungkin
juga
pertemuan
dua
hari
itu
bisa
mencari
solusi,
apalagi
sampai
bisa
menentukan
roadmap
(program
nyata
yang
bisa
dijalankan
dengan
jadwal
yang
jelas
dan
ketat).
K awasan
Eropa
akan
menyelamatkan
benuanya
sendiri.
Amerika
Utara
juga
begitu.
Bagaimana
Asia?
Tiongkok
sudah
punya
program
besar.
Meski
masih
digolongkan
negara
miskin,
Tiongkok
uangnya
banyak.
C adangan
devisanya
U SD
2
triliun.
Terbesar
di
dunia.
I ndonesia
hanya
punya
U SD
50
miliar.
Tidak
bisa
diapa-‐apakan.
K arena
itu,
I ndonesia
harus
mengandalkan
kekuatan
sendiri.
Tidak
bisa
berharap
sama
sekali
dari
bantuan
siapa
pun.
Termasuk
bantuan
dari
Barat
dan
Tiongkok.
Masing-‐masing
punya
kesulitannya
sendiri.
Tiongkok
bisa
mengalami
P HK
sampai
30
juta
orang.
SeperAga
pabrik
bajanya
sudah
tutup.
Tapi,
selama
10
hari
saya
keliling
C hangsha,
W uhan,
H angzhou,
Shaoxing,
dan
Tianjin
minggu
lalu,
saya
lihat
belum
ada
kepanikan
yang
nyata.
Apalagi,
Tiongkok
sudah
menetapkan
bagaimana
agar
30
juta
orang
itu
dapat
pekerjaan.
C aranya:
pemerintah
akan
mengalokasikan
dana
pembangunan
infrastruktur
U SD
500
miliar.
I ni
sama
dengan
empat
tahun
APBN
I ndonesia!
I tu
baru
dana
daruratnya
saja.
Belum
APBN-‐nya
sendiri.
Presiden
menyebut
adanya
dana
Rp
90
triliun
yang
sekarang
menganggur
di
bank-‐bank
milik
provinsi.
“ Kita
ini
ngemis
ke
mana-‐mana
untuk
dapat
uang
satu-‐dua
triliun.
Bagaimana
kita
sendiri
ternyata
punya
uang
Rp
90
triliun
yang
dinganggurkan,”
katanya.
Wapres
J usuf
K alla,
yang
selama
presiden
melawat
ke
berbagai
negara
ditugasi
merumuskan
dan
menjalankan
program
krisis
ini,
diminta
sudah
menyelesaikan
semua
itu
sebelum
presiden
pulang.
Tentu
juga
soal
suku
bunga
kita
sendiri.
Akankah
juga
harus
Adak
turun?
Sudah
sebulan
ini,
seAap
hari
ada
saja
berita,
negara
mana
yang
menurunkan
suku
bunga.
Menurunkan
suku
bunga
memang
menjadi
salah
satu
senjata
untuk
menanggulangi
akibat
krisis
global.
K arena
itu,
gerakan
menurunkan
suku
bunga
dilakukan
hampir
semua
negara.
K ecuali
I ndonesia,
tentunya,
dan
beberapa
negara
lagi.
Persentasi
penurunannya
pun
Adak
lagi
0,25
persen
seperA
kebiasaan
di
masa
stabil,
tapi
ada
yang
langsung
0,5
persen.
Bahkan,
ada
yang
sampai
1,5
persen.
I nggris
menurunkan
suku
bunganya
dari
4,5
persen
langsung
menjadi
3
persen.
Suku
bunga
di
AS,
rata-‐rata
kini
Anggal
0,3
persen.
Bandingkan
dengan
masa
sebelum
krisis
yang
sampai
2,5
persen.
Indonesia
masih
bertahan
dengan
suku
bunga
9,5
persen
karena,
menurut
pemerintah,
untuk
menjaga
kestabilan
nilai
tukar
rupiah.
K alau
suku
bunga
diturunkan,
khawaAr
rupiah
kurang
menarik
sehingga
banyak
orang
yang
mengalihkan
uangnya
ke
dolar
AS.
K alau
itu
sampai
terjadi,
akan
semakin
membuat
nilai
rupiah
merosot.
I nflasi
(harga-‐harga
barang)
akan
naik
pula.
Begitu
drasAsnya
penurunan
suku
bunga
di
banyak
negara
itu,
sampai-‐sampai
para
ahli
kini
mulai
membayangkan
sebuah
dunia
dengan
suku
bunga
0
persen.
I ni
hampir
sama
arAnya
dengan
dunia
tanpa
bank.
Jepang
pernah
membukAkan
bagaimana
hidup
dengan
bunga
0
persen
selama
enam
tahun,
sejak
menjelang
2000.
Sejak
dua
tahun
lalu
suku
bunga
di
J epang
mulai
naik
menjadi
1
sampai
1,5
persen.
Namun,
karena
terjadi
krisis
lagi,
bunganya
kembali
diturunkan
menjadi
rata-‐rata
Anggal
0,5
persen.
L angkah
me-‐0-‐kan
suku
bunga
waktu
itu
sebagai
cara
untuk
tetap
membuat
ekonomi
berjalan,
sambil
menunggu
sembuhnya
dunia
perbankan.
Meski
membuat
pertumbuhan
ekonomi
J epang
sangat
lambat
(hanya
1-‐2
persen
per
tahun
selama
lebih
10
tahun),
langkah
itu
dianggap
bisa
menyelamatkan
ekonomi
negara.
TerbukA
Jepang
Adak
sampai
ambruk.
Statusnya
sebagai
negara
terkaya
kedua
di
dunia
masih
terjaga.
Dalam
kasus
J epang,
pertumbuhan
ekonomi
0
persen
pun
hanya
berarA
negara
itu
tetap
kaya
raya.
(bersambung)
Syukur,
Rumor
Buruk
Itu
Teratasi
Sabtu,
15
November
2008
KeAka
pesawat
kepresidenan
I ndonesia
mendarat
di
bandara
khusus
Air
Force
Base,
Washington
D C,
kabut
Apis
menyelimuA
udara
tengah
malam
waktu
setempat.
Suhu
udara
memang
hanya
11
derajat
C elsius,
tapi
Adak
terasa
terlalu
dingin
karena
Adak
ada
angin.
Tampak
Aga
pesawat
Brazil
sudah
parkir
berjajar,
pertanda
rombongan
dari
Brazil
sangat
besar.
K elihatan
juga
dua
pesawat
jumbo
747
J epang.
I ni
pertanda
bukan
saja
rombongannya
juga
besar,
melainkan
perjalanan
Tokyo-‐Washington
dilakukan
secara
nonstop.
I tu
berbeda
dengan
P residen
Susilo
Bambang
Yudhoyono
yang
hanya
naik
Airbus
330
yang
jangkauan
terbangnya
lebih
terbatas.
H arus
berhenA
dua
kali:
Bandara
Tokyo
dan
San
Fransisco.
Tapi,
berhenA
di
Tokyo
ada
baiknya
juga.
P residen
S BY
bisa
punya
waktu
memonitor
perkembangan
di
dalam
negeri.
Terutama
karena
saat
meninggalkan
J akarta,
K amis
siang,
rumor
buruk
sedang
menimpa
beberapa
bank
nasional.
Rumor
yang
menimpa
bank
selalu
saja
berbahaya.
Bisa
membuat
panik
masyarakat
yang
ujung-‐ujungnya
bisa
mengakibatkan
rush.
K alau
saja
rush
itu
terjadi,
bank
yang
sehat
pun
bisa
menjadi
Adak
sehat.
Saat
berhenA
1,5
jam
di
Tokyo,
waktu
presiden
habis
untuk
melakukan
monitoring
dan
memberikan
arahan.
P residen
bicara
dengan
W akil
P residen
J usuf
K alla,
gubernur
Bank
Indonesia,
dan
menteri
keuangan
yang
sedang
berada
di
Amerika.
K eAka
sembilan
jam
kemudian
presiden
mendarat
di
San
Fransisco,
monitoring
kembali
dilakukan.
P residen
lega
bahwa
rumor
yang
menimpa
bank
nasional
Adak
berlanjut.
Mensesneg
H ama
Rajasa
yang
juga
berada
di
dalam
rombongan
langsung
menghubungi
gubernur
Bank
I ndonesia.
H asilnya
juga
melegakan
seluruh
rombongan:
Bank
C entury
(yang
mengalami
gagal
kliring
pada
K amis,
13/11,
Red)
teratasi
sehingga
Adak
mengakibatkan
keadaan
yang
memburuk.
Seluruh
kepala
negara
yang
besok
berkumpul
di
W ashington
tentu
Adak
tenang.
Masing-‐
masing
meninggalkan
negaranya
dalam
keadaan
waswas.
Tapi,
mereka
harus
bertemu
segera
untuk
mencari
jalan
keluar
mengatasi
krisis
global.
Memang
masih
terjadi
beda
pendapat
di
antara
kepala
negara.
Amerika
tetap
menginginkan
sesedikit
mungkin
campur
tangan
pemerintah.
Eropa,
yang
dipromotori
I nggris,
memilih
negara
harus
turun
tangan.
P rancis,
bahkan
lebih
keras
agar
jangan
lagi
hanya
bertumpu
ke
dolar.
Gara-‐gara
semua
diacu
ke
dolar
AS,
maka
begitu
ada
masalah
di
AS,
seluruh
negara
ikut
terkena.
Tapi,
ide
P rancis
itu
juga
Adak
akan
gampang
dilaksanakan.
Sistem
akuntansi
global
sekarang
ini
hanya
mengakui
neraca
keuangan
yang
dibuat
dalam
dolar
AS.
I ni
terjadi
sejak
1935,
keAka
emas
langsung
dikaitkan
dengan
dolar
AS.
L antas
lebih
kukuh
lagi
pada
1971,
keAka
harga
minyak
mentah
juga
hanya
diperdagangkan
dalam
mata
uang
dolar
AS.
K alau
saja
ada
negara
yang
menggunakan
acuan
bukan
dolar
AS,
dia
akan
langsung
mengalami
kesulitan
dalam
prakAk
akuntansinya.
Bahasa
akuntansi
tentu
Adak
sama
dengan
bahasa
retorika
poliAk.
Mudah
bikin
keputusan
apa
pun,
tapi
kalau
pelaksanaannya
sulit
diaplikasikan
dalam
akuntansi,
tetaplah
Adak
bisa
dijalankan.
Lihatlah,
misalnya,
keputusan
pemerintah
AS
yang
telah
setuju
menyunAkkan
dana
U SD
700
miliar.
Bagi
orang
poliAk,
keputusan
itu
akan
dianggap
sudah
cukup.
L alu,
kalau
uangnya
sudah
cair,
persoalan
dianggap
akan
selesai.
Tapi,
prakAknya
ternyata
tetap
sulit.
P erusahaan
yang
akan
menerima
uang
dianggap
langsung
senang.
K risis
dianggap
akan
langsung
selesai.
PrakAknya
Adak
akan
begitu.
K eAka
uang
sebesar
gajah
bengkak
itu
akan
dicairkan,
Ambul
pertanyaan,
justru
dari
perusahaan
yang
akan
menerima
uang:
uang
apa
ini?
D alam
akutansi,
semua
uang
harus
jelas
kelaminnya:
modal,
utang,
hibah,
atau
apa?
D alam
akutansi,
Adak
boleh
ada
uang
yang
jenis
kelaminnya
bencong.
Dari
situlah,
lantas
terjadi
perdebatan.
K alau
statusnya
modal,
maka
harus
modal
preferen.
Bukan
modal
biasa.
Sebab,
perusahaan
yang
diberi
uang
itu
pada
dasarnya
sudah
Adak
ada
harganya.
ArAnya,
modal
itu
harus
bersyarat.
Misalnya,
selama
lima
tahun
manajemennya
Adak
boleh
mendapatkan
bonus.
Selama
lima
tahun
Adak
boleh
bagi
dividen.
L ima
tahun
berikutnya
hanya
pemegang
saham
pemerintah
yang
boleh
dapat
dividen.
D an,
syarat-‐syarat
lain
yang
banyak-‐sedikitnya
disesuaikan
dengan
besar
kecilnya
dana
yang
akan
dimasukkan.
Melihat
syarat
itu,
banyak
perusahaan
calon
penerima
uang
keberatan.
Mungkin,
bagi
dia,
lebih
baik
menyatakan
diri
bankrut.
Akibatnya,
pemerintah
ikut
susah
karena
perekonomian
akan
semakin
ambruk.
Bagaimana
kalau
dianggap
utang
saja?
Secara
akutansi,
itu
juga
sulit.
K alau
utang,
harus
ada
bunga.
K alau
Adak,
Adak
sah.
P ajak
akan
mempertanyakan.
K alau
dianggap
utang,
juga
harus
jelas
batas
waktunya.
Masak
utang
tanpa
batas
waktu.
Tidak
bisa
diterima.
Bagaimana
menghitung
biaya
uangnya?
Secara
akuntansi,
kerumitan
masih
banyak.
K arena
itu,
krisis
ini
juga
Adak
gampang
diselesaikan.
K alau
toh
seluruh
kepala
negara
menyepakaA
satu
langskah
tertentu
pun,
pelaksanaannya
juga
akan
ruwet.
K arena
itu,
P residen
S BY
selalu
menekankan,
di
samping
berharap
secara
internasional,
tetap
saja
di
dalam
negeri
sendiri
yang
harus
maA-‐maAan
mempertahankan
perekonomian
negara.
Soal
akuntansi
memang
akan
menjadi
fokus
berikutnya.
Apalagi
ini
menjelang
tutup
tahun.
Semua
perusahaan
sudah
harus
menutup
laporan
keuangannya.
Salah
satu
kesulitan
terbesar
lagi
adalah:
bagaimana
perusahaan-‐perusahaan
yang
terkena
krisis
tersebut
menutup
bukunya
akhir
D esember
nanA.
Terutama
kalau
prinsip
akuntansi
“mark
to
market”
(MTM)
harus
dijalankan.
Bisa
dibayangkan,
bagaimana
perusahaan
yang
harga
sahamnya
Anggal
5
persen
harus
menutup
buku
laporan
keuangannya
nanA.
Mark
to
market
adalah
prinsip
akutansi
yang
harus
mencatat
nilai
perusahaan
sesuai
dengan
harga
pasar
saat
itu.
Tentu
banyak
perusahaan
yang
Aba-‐Aba
saja
nilai
kekayaannya
sudah
Adak
cukup
untuk
membayar
utangnya.
Tanpa
ada
krisis
pun,
selama
ini,
ada
kecenderungan
perusahaan
“menggoreng”
saham
di
akhir
tahun.
Tujuannya,
keAka
tutup
buku,
nilai
kekayaan
perusahaannya
bisa
dibukukan
lebih
Anggi.
Terutama
perusahaan
yang
utangnya
sangat
besar.
Maksudnya,
agar
“rapor”
perbandingan
antara
utang
dan
kekayaan
masih
dalam
posisi
ideal.
D engan
krisis
sekarang
ini,
pasA
goreng-‐menggoreng
Adak
akan
bisa
dilakukan.
Apinya
Adak
ada
lagi.
Perusahaan
yang
baik
harus
punya
utang.
P erusahaan
yang
Adak
punya
utang
dianggap
kurang
baik.
Tidak
bisa
memanfaatkan
dana
pihak
keAga
untuk
meraih
kemajuan
yang
lebih
besar.
J uga
kurang
baik
dalam
menyusun
perencanaan
pajaknya
karena
uang
untuk
membayar
bunga
adalah
biaya
yang
bisa
mengurangi
pajak
penghasilan.
Tapi,
utang
terlalu
besar
juga
Adak
baik
karena
perusahaan
bisa
terancam
Adak
mampu
membayar
bunga/pokok.
Akibatnya
bisa
panjang.
Bunga
itu
terus
berbunga:
Adak
mengenal
musim
hujan
atau
musim
kemarau.
Bahkan,
keAka
hari
minggu
pun,
bunga
terus
berjalan.
Kalau
itu
yang
terjadi,
nilai
utangnya
sudah
lebih
besar
daripada
kekayaannya.
Sebutan
untuk
perusahaan
seperA
itu
hanya
satu:
bangkrut!
Karena
itu,
perusahaan
yang
baik
selalu
menjaga
jumlah
utangnya
paling
Anggi
2:1.
ArAnya,
kalau
kekayaannya
Rp
1
triliun,
paling
banyak
hanya
boleh
berutang
Rp
2
triliun.
Tentu,
yang
paling
ideal
adalah
kalau
utangnya
sedikit
lebih
kecil
daripada
kekayaannya.
J ika
kekayaannya
Rp
1
triliun,
kalau
bisa
utangnya
cukup
Rp
800
miliar
saja.
P erbandingannya
masih
kurang
dari
1:1.
Besarnya
kekayaan
sebuah
perusahaan
bisa
dilihat
dari
harga
saham
dikalikan
jumlah
saham.
Contohnya
J awa
P os
(ini
hanya
untuk
memudahkan
pengerAan
dan
agar
Adak
perlu
mengambil
contoh
perusahaan
lain
yang
mungkin
kurang
berkenan):
jumlah
saham
J awa
Pos,
misalnya,
200.000.000
lembar.
H arga
per
lembar
sahamnya
(karena
J awa
P os
belum
go
public,
maka
saya
saja
yang
menetapkan
harga
sahamnya),
katakanlah,
Rp
10.000/lembar.
Maka,
nilai
kekayaan
J awa
P os
adalah
Rp
2
triliun.
Utangnya,
katakanlah,
Rp
500
miliar.
Tiba-‐Aba
harga
saham
J awa
P os
merosot
menjadi
Anggal
Rp
1.000/lembar.
I tu
berarA
nilai
kekayaan
J awa
P os
Anggal
(200.000.000
lembar
x
Rp
1.000)
Rp
200
miliar.
Utangnya
tentu
Adak
ikut
merosot
alias
tetap
Rp
500
miliar.
P erusahaan
seperA
ini
langsung
dikatakan
bangkrut.
Dengan
adanya
krisis
ini,
terlalu
banyak
perusahaan
yang
kekayaannya
Aba-‐Aba
merosot
drasAs.
Banyak
perusahaan
yang
dalam
satu
malam
kehilangan
separo
kekayaannya.
H ilang
begitu
saja.
K alau
dicuri,
jelas
siapa
pencuri
yang
Aba-‐Aba
kaya.
K alau
diApu,
jelas
siapa
yang
menipu
dan
di
mana
uang
hasil
Apuan
itu
dia
simpan.
K alau
hilang
di
meja
judi,
jelas
siapa
bandar
yang
merampok
uangnya
itu.
Tapi,
dalam
krisis
ini,
kekayaan
melayang
begitu
saja.
Seperi
parfum
C hannel
5
yang
tutupnya
terbuka.
Salah
satu
yang
paling
dramaAs
adalah
yang
menimpa
Zhang
Yin,
wanita
terkaya
di
seluruh
Tiongkok.
K ekayaan
perusahaannya,
pabrik
kertas
terbesar
di
dunia,
Aba-‐Aba
saja
zoooom,
turun
dari
U SD
3,6
triliun
menjadi
Anggal
U SD
265
miliar.
K ekayaannya
Anggal
10
persen
dari
puncak
kejayaannya.
(Lihat
seri
selanjutnya
tulisan
ini).
Semua
perusahaan
yang
kekayaannya
Aba-‐Aba
zooom
seperA
itu,
pasA
raAo
utangnya
menjadi
amat
jelek.
Bukan
lagi
2:1,
tapi
bisa-‐bisa
sudah
banyak
yang
3:1.
P erusahaan
seperA
itulah
yang
tentu
diancam
disita
oleh
kreditornya.
Tentu
masih
ada
harapan.
H arapan
yang
terbesar
adalah
harga
sahamnya
Aba-‐Aba
naik.
K arena
itu,
banyak
perusahaan
seperA
itu
selalu
mengolor
waktu
seAap
diajak
berunding
oleh
kreditornya.
Bahasa
I nggris
menggambarkannya
dengan
lebih
baik:
buying
Ame.
Membeli
waktu.
D alam
keadaan
seperA
itu,
nilai
waktu
satu
hari
bisa
triliunan.
Tentu
dengan
harapan
kian
hari
harga
saham
kian
baik
sehingga
posisi
tawar-‐menawarnya
dengan
pemberi
utang
berubah.
Misalnya,
Anda
telanjur
menyerahkan
kekayaan
Anda
kepada
pemberi
utang
berdasar
harga
saham
Rp
1.000/lembar.
Tiba-‐Aba
seminggu
lagi
harga
saham
itu
sudah
Rp
2.000/lembar.
Dalam
kasus
Zhang
Yin
atau
juga
Grup
Bakrie,
selisih
Rp
1.000/lembar
itu
bisa
bernilai
sampai
Rp
20
triliun.
Alangkah
menyesalnya
Anda
bila
kemudian
tahu
bahwa
kalau
saja
perundingan
bisa
diolor
satu
minggu
lagi,
maka
Anda
bisa
menyelamatkan
uang
Rp
20
triliun!
Tentu,
itu
kalau
nasibnya
baik.
K alau
nasib
lagi
jelek,
menunggu
satu
minggu
itu
bisa
berarA
menunggu
kejatuhan
harga
saham
berikutnya.
Yang
semula
berharap
bisa
menyelamatkan
Rp
20
triliun
bisa-‐bisa
kehilangan
tambahan
Rp
10
triliun.
Saat-‐saat
kapan
membuat
keputusan
seperA
itulah
yang
Adak
ada
sekolahnya.
Bisa
saja
yang
semula
dimaksudkan
buying
Ame
menjadi
selling
Ame!
Misalnya
yang
dialami
L arry
Yeung,
orang
terkaya
nomor
9
di
Tiongkok
yang
menunggu
naiknya
kurs
dolar
Australia.
D ia
bermaksud
buying
Ame,
tapi
menghasilkan
bencana
besar
karena
kurs
dolar
Australia
yang
dia
tunggu
selama
enam
minggu
ternyata
masih
juga
terus
merosot.
D ia
kehilangan
kekayaan
yang
fantasAs
jumlahnya.
Maka,
saya
bisa
bayangkan
betapa
sibuknya
para
akuntan
di
masa
krisis
ini,
khususnya
menghadapi
tutup
buku
akhir
D esember
depan.
Akuntan,
di
samping
lawyer,
adalah
profesi
yang
akan
sangat
diperlukan
hari-‐hari
ini.
Akuntan
juga
yang
dulu
mengesahkan
C DS,
S TO,
dan
sebangsanya
yang
mengakibatkan
keruwetan
krisis
saat
ini.
Maka,
akuntan
juga
yang
kini
harus
membereskan
segala
keruwetan
itu
bagaimana
menatanya
di
buku
laporan
keuangan.
Tentu,
harus
dicari
cara
bagaimana
MTM
bisa
dilaksanakan
tanpa
mengakibatkan
keruwetan
baru.
Yakni
keruwetan
berupa
terlalu
banyaknya
perusahaan
(termasuk
yang
sudah
terlanjur
dibeli
pemerintah
Amerika,
I nggris,
dan
lain-‐lain)
yang
nilai
kekayaannya
minus.
Atau,
sebaliknya,
bagaimana
mencatat
bonds
(obligasi
atau
surat
utang)
yang
nilainya
Anggal
50
persen.
Sebab,
bisa
jadi,
bonds
yang
demikian
menimbulkan
laba,
yang
meski
fatamorgana,
tapi
sangat
diperlukan
saat
ini.
Ataukah
harus
memindahkan
kerugian
menjadi
investasi
jangka
panjang
(100
tahun?
H a…
ha…
ha…).
Bagaimana
melaksanakan
prinsip
MTM
di
saat
seperA
sekarang
ini,
bisa
jadi,
juga
memerlukan
fatwa
dari
seluruh
kepala
negara
di
dunia.
Saya
sempat
menyesal
mengapa
selama
ini
hanya
mengurus
perusahaan
dengan
sistem
akuntansi
yang
sederhana.
K alau
saja
saya
ikut
yang
ruwet-‐ruwet
seperA
itu,
mungkin
saya
bisa
lebih
kaya.
Atau,
saya
sudah
ikut
bangkrut.
H idup
ternyata
adalah
keruwetan!
(*)
Negara
Berkembang
yang
Tak
Boleh
Cengeng
Minggu,
16
November
2008
Dari
P ertemuan
P uncak
Washington
D C
(1)
Peta
utama
dari
20
negara
yang
diikutkan
dalam
pertemuan
puncak
di
W ashington
tadi
malam
terbagi
dalam
Aga
kategori:
Amerika
Serikat
sebagai
penyebab,
Eropa
sebagai
korban,
dan
negara-‐negara
berkembang
yang
ikut
terseret.
Maka
keAka
Amerika
Serikat
mengajak
20
negara
(mewakili
90
persen
kekuatan
ekonomi
dunia)
untuk
bersama-‐sama
mengatasi
krisis
ini,
bisakah
mereka
kompak?
I nilah
yang
ditunggu
masyarakat
dunia
dari
apa
yang
akan
mereka
rumuskan
yang
pagi
ini
(WIB)
diumumkan.
Eropa,
terutama
P rancis,
sikapnya
jelas:
seperA
hendak
menghukum
AS.
Tentu
dengan
cara
Eropa
yang
dibungkus
dengan
nada
yang
dewasa.
I nAnya,
Eropa
menghendaki
disusunnya
satu
aturan
yang
amat
ketat
untuk
perdagangan
derivaAf,
hedge
funds,
dan
bursa
saham.
I tu
untuk
mengendalikan
keserakahan,
karena
Adak
adanya
aturan
yang
cukup
dan
lemahnya
pengawasan
selama
ini.
Negara,
menurut
aspirasi
dari
Eropa
ini,
harus
mengambil
peran
penAng
di
dalamnya.
Eropa
menghendaki
dibangunnya
arsitektur
baru
keuangan
dunia.
Eropa
bersikap
seperA
itu
karena
dana
Eropa
memang
terlalu
besar
yang
masuk
dalam
mesin
derivaAf
di
AS
dan
kini
nilainya
Anggal
rata-‐rata
kurang
dari
seperAganya.
Amerika
Serikat,
sebagaimana
tecermin
dalam
sikap
P residen
Bush,
Adak
ingin
negara
masuk
terlalu
jauh.
D ia
tetap
menghendaki
peran
negara
sekecil
mungkin.
K ongres
AS
sendiri,
sekarang
sedang
melakukan
dengar
pendapat
dengan
berbagai
kalangan
bursa,
hedge
funds,
dan
pasar
modal
untuk
menilai
kembali
di
mana
letak
kelemahan
selama
ini.
Meski
dua
pihak
ini
berbeda
pendapat,
semua
tahu
bahwa
akibat
krisis
terbesar
sepanjang
abad
ini,
bagi
mereka
berdua
hanyalah
satu:
resesi.
Tidak
bisa
lebih
makmur
dari
sekarang,
atau
kalaupun
turun,
berkurangnya
sedikit.
D an,
bagi
mereka
keadaan
ini
sudah
membuat
amat
menderita.
Bagaimana
posisi
negara
berkembang
seperA
I ndonesia,
I ndia,
dan
Brazil?
Juga
Tiongkok?
Gambarannya
kira-‐kira
begini:
marah
tapi
harus
ditahan,
gondok
tapi
Adak
boleh
jatuh
ke
pesimisAs,
menangis
tapi
Adak
boleh
cengeng,
dan
berharap
tapi
Adak
boleh
sampai
mengemis.
D itambah:
harus
ikut
mencarikan
jalan
keluar
(karena
punya
pengalaman
krisis
1997)
tapi
Adak
boleh
terasa
menggurui,
dan
mengkriAk
tapi
Adak
boleh
memusuhi.
Gambaran
posisi
P residen
Susilo
Bambang
Yudhoyono
kurang
lebih
juga
seperA
itu.
Itu
antara
lain
juga
sudah
tecermin
dalam
pidato
P residen
S BY
sehari
sebelumnya
di
forum
Indonesia-‐Amerika
yang
dihadiri
tokoh-‐tokoh
Amerika
yang
peduli
pada
hubungan
baik
antara
kedua
negara.
Sebuah
pidato
dalam
bahasa
I nggris
yang
sangat
memikat
karena
–
berbeda
dengan
pidatonya
di
dalam
negeri–
disampaikan
dengan
gaya
Amerika.
Tetap
dibuka
dengan
kata
”assalamualaikum”,
tapi
segera
disusul
dengan
guyon-‐guyon
khas
Amerika.
Negara
berkembang
sendiri
tentu
dibagi
dua.
K elompok
satu
adalah:
negara
yang
selama
ini
bekerja
keras
untuk
meraih
kemajuan,
bersungguh-‐sungguh
dalam
membangun,
disiplin
dalam
menerapkan
prinsip
keuangan,
dan
selalu
menunjukkan
hasil
yang
nyata.
I ndonesia,
Brazil,
dan
I ndia
masuk
dalam
kategori
ini.
I nilah
negara-‐negara
yang
seharusnya
Adak
boleh
ikut
terseret
menjadi
korban
krisis
global.
K arena
itu,
Aga
negara
ini
diikutkan
dalam
pertemuan
puncak
tersebut.
Seharusnya
memang
ada
perlakuan
khusus
bagi
negara
berkembang
seperA
itu.
I ndia,
I ndonesia,
dan
Brazil
adalah
negara-‐negara
miskin
dengan
penduduk
besar
yang
selama
ini
sudah
bersungguh-‐sungguh
memperbaiki
diri.
K alau
negara-‐
negara
seperA
ini
juga
jadi
korban,
Angkat
pembelaannya
harus
lebih
nyata.
Berbeda,
misalnya,
dengan
negara
berkembang
yang
dia
sendiri
memang
Adak
pernah
menunjukkan
keinginan
untuk
menjadi
lebih
baik.
Presiden
Brazil
L uis
I nacio
da
Silva
kelihatan
sekali
sikapnya
yang
mirip
I ndonesia.
Bahwa
terasa
sedikit
lebih
keras
memang
wajar
karena
kemajuan
Brazil
dalam
10
tahun
terakhir
luar
biasa.
Masak
satu
negara
miskin
yang
sedang
bergairah-‐gairahnya
membangun
harus
tumbang
begitu
saja
oleh
kesalahan
orang
lain.
Brazil
di
bawah
L ula
(begitu
panggilannya,
yang
arAnya
”cumi-‐cumi”)
memang
menunjukkan
stabilitas
petumbuhan
yang
nyata.
C adangan
devisanya
sudah
mencapai
U SD
200
miliar.
Kini
harus
dikurangi
U SD
50
miliar
untuk
mengatasi
krisis
tahap
awal.
K apitalisasi
pasar
modalnya
yang
sudah
hampir
U SD
2
triliun
merosot
Anggal
U SD
572
miliar.
P ertumbuhan
ekonominya
yang
selama
bertahun-‐tahun
ini
pernah
sampai
9
persen,
terancam
merosot
menjadi
kurang
dari
3
persen.
K elas
menengahnya
yang
sudah
mencapai
52
persen,
sebagian
terancam
kembali
menjadi
miskin.
P enduduk
miskin
di
pinggiran
kota
terbesar
Sao
P aolo
(baca:
San
P aolo)
yang
selama
ini
terkenal
miskinnya,
sebenarnya
sudah
mulai
punya
usaha
kecil-‐kecilan,
kini
bisa
sirna
kembali.
Brazil
memang
pantas
marah,
menangis,
dan
merengek.
Hasilnya
AS
membantu
jaminan
U SD
30
miliar.
India
tentu
lebih
berat
karena
sumber
daya
alamnya
Adak
sebanding
dengan
jumlah
penduduknya.
Sampai
hari
ini
belum
ada
komitmen
dari
mana
pun
untuk
I ndia.
AS
tentu
lebih
memenAngkan
membantu
Singapura
yang
jadi
kakinya
di
kawasan
ini
dengan
jaminan
USD
20
miliar.
Indonesia
yang
sudah
sempat
bangga
punya
cadangan
devisa
terbesar
dalam
sejarah,
U SD
70
miliar,
kini
kembali
Anggal
U SD
50
miliaran.
P ertumbuhan
ekonomi
harus
dikoreksi
ulang.
Indonesia
yang
tahun
ini
berhasil
kembali
swasembada
beras
dan
jagung,
harus
terpukul
di
harga
komoditas
perkebunan
seperA
sawit,
kakao,
dan
karet.
Tapi,
komitmen
dana
dari
sejumlah
lembaga
internasional
sudah
didapat.
SeAdaknya
sudah
U SD
5
miliar
dari
Bank
Dunia.
P osisi
I ndonesia
jauh
lebih
baik
karena
tatanan
keuangannya
sudah
benar
dan
memiliki
sumber
daya
alam
yang
sangat
bervariasi.
Yang
diperlukan
I ndonesia
Anggal
bagaimana
bisa
selamat
dalam
masa
sulit
selama
seAdaknya
dua
tahun
ini.Karena
itu,
sebagaimana
saya
kemukakan
di
beberapa
tulisan
saya
yang
lalu,
para
pengusaha
pun
perlu
Adak
berkedip
selama
24
jam
sepanjang
dua
tahun
ini.
Masing-‐masing
harus
mengendalikan
layang-‐layang
perusahaannya
untuk
menjaga
agar
Adak
kehilangan
angin.
Sekali
lagi,
layang-‐
layang
itu
jangan
sampai
diAnggal
–ke
kamar
kecil
sekali
pun!
Saya
lagi
cari
angin
di
sini.
Siapa
tahu
bisa
diAupkan
keras-‐keras
ke
I ndonesia!**
SBY
“Berkelahi”
dengan
Jurus
Sendiri
Senin,
17
November
2008
,
09:20:00
Dari
P ertemuan
P uncak
Washington
D C
(2)
Kalau
harus
dibuat
daear
orang
yang
paling
disalahkan
sebagai
penyebab
krisis
global
sekarang
ini,
semua
akan
sepakat
memasukkan
nama
ini:
J oseph
J .
C assano.
D ialah
yang
harus
berada
di
urutan
pertama
daear
itu.
C assano-‐lah
pencipta
apa
yang
disebut
credit
default
swaps
(CDS)
–izinkan
saya
menerjemahkannya
dengan
“perlindungan
terhadap
kredit
gagal
bayar”,
satu
isAlah
yang
sebelum
terjadi
krisis
ini
masih
sangat
langka
di
I ndonesia.
Bahkan,
kalau
banyak
analis
mengatakan
Eropa-‐lah
yang
akan
menjadi
korban
terparah
sebagai
dampak
krisis
ini,
kaitannya
juga
dengan
C DS
itu.
Nama
C assano
amat
top
di
Eropa
dalam
pengerAan
yang
negaAf.
C assano
memang
orang
New
York,
tapi
berkantor
di
L ondon,
Inggris.
H ebatnya,
kantor
pusatnya
di
New
York
sangat
bergantung
padanya.
Bahkan,
ada
yang
menggambarkan,
kantor
pusat
AIG
(American
I nternaAonal
Group),
perusahaan
asuransi
terbesar
di
dunia
di
New
York
itu
sudah
bertekuk
lutut
pada
anak
perusahaannya
atau
unit
usahanya
di
L ondon
yang
di
bawah
komando
C assano
ini.
Cassanolah
yang
membuat
AIG
runtuh
dan
memaksa
pemerintah
Amerika
Serikat
mengambil
alih
85
persen
saham
AIG
dengan
cara
menyunAkkan
dana
ke
AIG
U SD
85
miliar,
hampir
sama
dengan
nilai
seluruh
APBN
kita.
Cerita
kehebatan
C assano
itu
kira-‐kira
begini:
P ada
1990-‐an
bank-‐bank
di
Eropa
umumnya
kelebihan
dana.
ArAnya,
terlalu
banyak
uang
deposito
milik
masyarakat
yang
ditaruh
di
bank-‐bank
Eropa.
Orang
Eropa
memang
lebih
konservaAf.
Tidak
terlalu
senang
spekulasi
bermain
saham.
I ni
berarA
bank
harus
membayar
bunga
deposito
kepada
masyarakat
terlalu
banyak.
Maka,
bank-‐bank
Eropa
mencari
akal
sekuat
tenaga
untuk
memutar
uang
tersebut
agar
bisa
menghasilkan
bunga
lebih
besar.
Cassano
mengetahui
itu.
D i
sisi
lain
C assano
juga
tahu
lembaga-‐lembaga
keuangan
di
AS
lagi
kesulitan
dana
karena
banyaknya
kredit
perumahan
yang
macet
(subprime
mortgage).
Apalagi,
Angkat
kesenangan
masyarakat
Amerika
Serikat
menabung
sangatlah
kecil.
Orang
AS
dikenal
suka
belanja
(dan
dianggap
inilah
yang
membuat
ekonomi
AS
bergairah)
membuat
Angkat
tabungan
masyarakat
AS
termasuk
yang
paling
rendah
di
dunia:
rata-‐rata
hanya
2
persen
dari
pendapatan.
Terlalu
banyak
orang
yang
hidupnya
bergantung
pada
kartu
kredit.
ArAnya,
keuangan
masyarakat
sering
defisit
per
bulan.
Bank-‐bank
Eropa
melihat
situasi
di
AS
itu
seperA
menghadapi
madu
dan
racun.
Apalagi,
jaringan
C assano
sangat
agresif
menggoda
mereka.
D i
satu
pihak
bank-‐bank
Eropa
sangat
ingin
menyalurkan
kelebihan
dananya
ke
sana
karena
iming-‐iming
suku
bunga
yang
sangat
menggiurkan.
D i
lain
pihak
bank-‐bank
Eropa
itu
takut
lantaran
agunan
yang
diterima
adalah
rumah-‐rumah
yang
berasal
dari
sitaan
kredit
macet.
P adahal,
harga
rumah-‐rumah
itu
sudah
jauh
lebih
rendah
daripada
nilai
kredit
yang
macet.
Yang
paling
ditakutkan
bank-‐bank
Eropa
adalah:
jangan
sampai
melanggar
aturan
bank
internasional
yang
disebut
Basel
I I,
terutama
menyangkut
kecukupan
modal.
D alam
aturan
itu
disebutkan
bahwa
seAap
memberikan
kredit,
bank
harus
meningkatkan
modal
yang
disimpan
di
penjaminan.
Semakin
kurang
berkualitas
kredit
itu
semakin
Anggi
nilai
modal
penjaminannya.
Bank-‐bank
di
Eropa
tahu
kalau
sampai
mereka
memberikan
kredit
yang
dikaitkan
dengan
subprime
mortgage,
konsekuensi
permodalannya
sangat
berat.
Di
saat
seperA
itulah
C assano
datang
dengan
resep
yang
dianggap
bisa
membersihkan
racun
dari
madu.
Bank-‐bank
Eropa
bisa
menikmaA
bunga
Anggi
yang
ditawarkan
C assano
tanpa
harus
meneguk
racunnya.
Yakni,
menggunakan
resep
bikinan
C assano
yang
disebut
credit
default
swaps
(CDS)
tadi.
Bank-‐bank
Eropa
bisa
meminjamkan
uang
kepada
lembaga-‐
lembaga
keuangan
besar
di
AS
seperA
L ehman
Brothers,
Goldman
Sachs,
dan
seterusnya
dengan
swaps
atau
jaminan
atau
perlindungan
dari
AIG.
Dengan
resep
dari
C assano
ini,
bank-‐bank
Eropa
bisa
berkelit
dari
kewajiban
penyetor
modal
penjaminan
tambahan
seperA
yang
diatur
dalam
Basel
I I.
Untuk
itu
bank-‐bank
Eropa
memang
harus
membayar
fee
yang
besar
kepada
AIG.
Sebagai
bandingan,
kalau
untuk
fasilitas
credit
equity
swaps
(CES)
fee-‐nya
maksimum
hanya
100
basis
poin,
untuk
D CS
ini
AIG
minta
fee
sampai
500
basis
poin.
Meski
harus
membayar
fee
kepada
AIG
yang
sangat
besar,
bank-‐bank
Eropa
merasa
aman.
Pertama,
bunga
yang
didapat
masih
jauh
lebih
besar.
K edua,
kalau
toh
kredit
itu
gagal
dibayar
balik,
AIG-‐nya
C assano
menjamin
pembayarannya.
D an,
yang
penAng,
meski
bank-‐
bank
Eropa
memberikan
kredit
kepada
lembaga
keuangan
yang
jaminannya
adalah
kredit-‐
kredit
gagal
bayar
seperA
yang
berasal
dari
subprime
mortgage,
itu
Adak
dianggap
melanggar
Basel
I I.
Mengapa?
K arena
kredit-‐kredit
gagal
bayar
itu
sudah
dimasukkan
dalam
paket-‐paket
dengan
kemasan
bagus.
Meski
isinya
busuk,
bungkusnya
indah
dan
menggoda.
Apalagi,
yang
membungkus
itu
perusahaan-‐perusahaan
dengan
reputasi
kelas
satu:
raAngnya
AAA.
Sangat
tepercaya.
Siapa
yang
Adak
percaya
L ehman
Brothers
dan
sebangsanya
itu.
Semua
raAngnya
AAA.
Sebuah
raAng
terAnggi.
Bahkan,
negara
I ndonesia,
yang
Adak
pernah
gagal
bayar
utang,
yang
selalu
tumbuh
dengan
baik,
yang
pengelolaan
keuangannya
dipuji
bank
dunia,
yang
meski
secara
poliAk
masih
sering
ribut
namun
terbukA
tetap
stabil,
hanya
diberi
raAng
B.
Belum
B B
atau
B BB.
Masih
jauh
dari
raAng
A,
apalagi
AA
atau
AAA.
Transaksi
“bungkusan
pepes
kosong”
C DS
itu
mencapai
U SD
562
miliar!
Atau
sekitar
Rp
70.000.000.000.000.000.
Bukan
semua
uangnya
berasal
dari
bank-‐bank
Eropa,
namun
terlalu
banyak
yang
berasal
dari
Eropa.
I tulah
sebabnya,
dalam
pertemuan
puncak
20
kepala
negara
di
W ashington
kemarin,
Eropa
ingin
sekali
“menghukum”
AS.
Yakni,
dengan
cara
menetapkan
persyaratan-‐persyaratan
baru
bagi
perusahaan
keuangan
yang
ingin
melakukan
bisnis
keuangan
dengan
model
yang
rumit-‐rumit
seperA
itu.
Semangat
Anggi
Eropa
untuk
menghukum
AS
dengan
sangat
keras
itulah
yang
diwaspadai
Indonesia.
P residen
Susilo
Bambang
Yudhoyono
terus
berkoordinasi
dengan
Am
delegasi
untuk
membicarakan
soal
yang
rumit
ini:
jangan
sampai
tujuan
yang
sebenarnya
untuk
menghukum
AS
itu
negara
seperA
I ndonesia
ikut
jadi
narapidana.
Presiden
harus
“berkelahi”
dengan
caranya
sendiri
untuk
menghindari
itu.
Sebab,
kalau
Indonesia
juga
harus
mengikuA
persyaratan
baru
kelak
secara
ketat,
bisa-‐bisa
I ndonesia
–
yang
Adak
tahu
apa-‐apa
mengenai
penyebab
krisis–
langsung
masuk
penjara
dan
maA
di
dalamnya.
I nilah
salah
satu
misi
presiden
yang
berhasil
dari
pertemuan
puncak
ini.
Lembaga-‐lembaga
keuangan
dunia
yang
akan
melakukan
transaksi,
kelak,
harus
memenuhi
lebih
dari
50
persyaratan.
Mulai
transparansi,
pengawasan,
pengambilan
risiko
sampai
penegakan
aturan,
sampai
persyaratan
raAngnya.
Kelak,
kira-‐kira,
kalau
semua
berhasil
dirumuskan,
gambarannya
begini:
ada
50
atau
70
peraturan.
P erusahaan
keuangan
yang
akan
melakukan
bisnis
dengan
Angkat
kerumitan
10,
harus
memenuhi
semua
persyaratan
itu.
Tapi,
lembaga
keuangan
yang
hanya
melakukan
bisnis
dengan
Angkat
kerumitan
5,
hanya
perlu
memenuhi
syarat
separo
dari
yang
ditetapkan
itu.
Semakin
rendah
Angkat
keruwetan
bisnisnya,
semakin
sedikit
persyaratan
yang
harus
dipenuhi.
Presiden
S BY
sangat
lega
karena
nada
memberlakukan
semua
persyaratan
untuk
semua
negara
bisa
dihindari.
K alau
saja,
misalnya,
I ndonesia
juga
harus
memenuhi
seluruh
persyaratan
itu,
semua
bank
di
I ndonesia
akan
langsung
Adak
bisa
berusaha.
P adahal,
kondisi
bank
di
I ndonesia
saat
ini
sudah
sangat
prudent.
P eruraturan
pemerintah
untuk
bank
di
Indonesia
juga
sudah
sangat
ketat
–terima
kasih
atas
terjadinya
krismon
1998
lalu.
Kalau
toh
masih
ada
yang
harus
diatur
lebih
ketat
adalah
lembaga-‐lembaga
keuangan
non-‐
bank.
I ni
pun
khusus
menyangkut
yang
kepemilikannya
satu
grup
dengan
perusahaan
yang
merestrukturisasi
keuangan.
Sebab,
grup-‐grup
usaha
di
I ndonesia
juga
memiliki
lembaga
keuangan
nonbank,
yang
bisa
saja
menjadi
lubang
kelemahan.
Misalnya,
lembaga
keuangannya
miliknya
sendiri
itulah
yang
diminta
mengatur
agar
harga
sahamnya
jauh
lebih
mahal
saat
perusahaan
itu
akan
melakukan
go
public.
(*)
Rakyat
AS
Geram
dengan
Gaji
Eksekutif
Selasa,
18
November
2008
Dari
P ertemuan
P uncak
Washington
D C
(3)
Sampai
berlangsungnya
pertemuan
puncak
20
kepala
negara
yang
menguasai
90
persen
ekonomi
dunia
di
W ashington
ini,
K ongres
Amerika
Serikat
masih
belum
berhasil
mendatangkan
J oseph
C assano,
pimpinan
unit
usaha
AIG
di
L ondon,
yang
dianggap
sebagai
orang
yang
paling
bersalah
dalam
krisis
global
ini.
Tapi,
pekan
lalu
K ongres
sudah
memanggil
atasan
C assano,
yakni
mantan
C EO
perusahaan
asuransi
terbesar
di
dunia
itu,
Michael
Sullivan.
Dari
pemanggilan
Sullivan
itu
tergambar
bahwa
AIG
memang
sudah
sangat
bergantung
pada
unit
usahanya
yang
dia
beri
wewenang
luas
di
L ondon
itu.
Bahkan,
penghasilan
C assano
sendiri
sudah
lebih
besar
daripada
gaji
C EO
di
kantor
pusatnya
di
New
York.
Begitu
bergantungnya
kantor
pusat
pada
unit
usaha
yang
di
L ondon
itu
sampai-‐sampai,
keAka
pada
akhirnya
Sullivan
harus
memberhenAkan
C assano
dari
jabatan
kepala
unit
pada
29
Februari
lalu
(saat
AIG
terbukA
menderita
kerugian
U SD
11
miliar
atau
sama
dengan
Rp
130-‐an
triliun),
C assano
masih
mendapat
pesangon
U SD
34
juta
atau
sekitar
Rp
370
miliar!
Tidak
hanya
itu,
Sullivan
masih
mengangkatnya
sebagai
konsultan
perusahaan
dengan
gaji
sebulan
USD
1
juta
atau
sekitar
Rp
12
miliar!
Bayangkan,
orang
yang
paling
bersalah
sedunia,
keAka
dipecat
pun
masih
punya
gaji
bulanan
yang
besarnya
cukup
untuk
menggaji
presiden
I ndonesia
selama
12
tahun!
Bandingkan
dengan
gaji
presiden
I ndonesia
yang
hanya
Rp
59
juta/bulan,
atau
gaji
menteri
kita
yang
hanya
Rp
19
juta
sebulan
(yang
kalah
dengan
gaji
pimpinan
redaksi
J awa
P os
sekalipun).
Padahal,
menjadi
presiden
I ndonesia
pusingnya
bukan
main.
Bukan
saja
Adak
bisa
lagi
korupsi,
membela
besan
pun
Adak
bisa
lagi.
Mau
menaikkan
gaji
para
menteri
I ndonesia
pun
selalu
khawaAr
dianggap
Adak
peka
pada
keadaan
rakyat.
P adahal,
sejak
menjadi
presiden
empat
tahun
lalu,
S BY
belum
pernah
menaikkan
gaji
menteri-‐menterinya.
Apalagi,
kalau
harus
membeli
pesawat
khusus
kepresidenan.
D ia
Adak
akan
mau
melakukannya
saat
ini.
Karena
itu,
perjalanan
ke
summit
ini
pun
harus
dilakukan
dengan
cara
mampir-‐mampir
karena
pesawatnya
Adak
mampu
menempuh
jarak
jauh.
Bahkan,
untuk
menghadiri
pertemuan
puncak
APEC
di
P eru
minggu
depan,
masih
harus
mampir-‐mampir
ke
Meksiko,
transit
di
L ima,
mampir
ke
Brazil,
dan
baru
ke
P eru.
Tapi,
mampir
di
Meksiko
dan
Brazil
masih
bisa
dimanfaatkan
untuk
menggalang
langkah
kelanjutan
dari
hasil
pertemuan
puncak
di
W ashington.
Untuk
benar-‐benar
bisa
merumuskan
kesepakatan
yang
konkret,
menurut
P residen
S BY,
masih
diperlukan
Aga-‐empat
kali
summit
lagi.
P residen
mengingatkan
kenyataan
untuk
mencapai
kesepakatan
yang
disebut
Bremon
W ood
dulu,
juga
diperlukan
waktu
Aga
tahun.
Bahkan,
untuk
membentuk
ASEAN,
diperlukan
summit
selama
17
tahun!
I tulah
sebabnya,
P residen
S BY
selalu
menekankan
perlunya
usaha
maA-‐maAan
di
dalam
negeri
sendiri.
Bayangkan,
orang
sedunia
harus
pontang-‐panAng
gara-‐gara
penciptaan
sistem
C DS.
Yang
pontang-‐panAng
orang
miskin
dengan
gaji
kecil,
yang
bikin
pontang-‐panAng
tetap
menikmaA
kekayaannya
yang
berlimpah.
Jangan
dibayangkan
gaji
C assano
keAka
masih
menjabat
kepala
unit.
Saat
itu,
selama
enam
tahun,
gaji
C assano
Rp
300
miliar/tahun.
D engan
demikian,
kalau
gaji
dan
bonusnya
selama
menjabat
kepala
unit
itu
ditotal,
sudah
mencapai
Rp
4
triliun
dengan
kurs
kemarin.
Gaji
Cassano
memang
didasarkan
pada
kinerja
usahanya
yang
luar
biasa.
K arena
itu,
dia
terus
menciptakan
cara-‐cara
baru
secara
agresif
agar
penghasilannya
sendiri
juga
terus
membesar.
Rasanya
orang
seperA
C assano
Adak
akan
terjerat
peraturan.
D alam
kaitan
dengan
C DS,
dia
Adak
melanggar
peraturan
apa
pun.
C redit
default
swaps
(CDS)
yang
dia
lakukan
selama
enam
tahun
itu,
sebenarnya
cara
C assano
untuk
meraih
semua
itu
dengan
sangat
cerdik.
Tanpa
menyangka
kalau
akibatnya
sampai
menyusahkan
orang
seluruh
dunia.
Betapa
hebatnya
orang
yang
saat
diangkat
menjabat
kepala
unit
usianya
baru
45
tahun
itu.
Transaksi
C DS
yang
dilakukan
di
unit
usaha
pimpinan
C assano
mencapai
U SD
562
miliar.
Tiap
tahun
pertumbuhan
omzet
dan
laba
AIG
terus
naik
drasAs.
Nama
AIG
menjadi
amat
hebatnya.
C EO-‐nya
yang
di
New
York
terus
memuji
kenaikan
laba
kantor
pusat
yang
prakAs
disumbangkan
oleh
unit
usahanya
itu.
P endapatan
AIG
yang
pada
1999
masih
U SD
737
juta,
lima
tahun
kemudian
menjadi
U SD
3,6
miliar.
Tingkat
labanya
akan
membuat
siapa
saja
mengaguminya:
85
persen
dari
revenue.
I nilah
perusahaan
jasa
dengan
Angkat
laba
terAnggi
di
dunia.
P rakAs
inA
bisnis
AIG
sudah
berada
di
unit
usahanya
yang
di
L ondon
ini.
Yakni,
unit
usaha
yang
disebut
”unit
usaha
produk-‐produk
keuangan”
di
bawah
pimpinan
C assano.
Itulah
sebabnya,
mengapa
gaji
C assano
terus
dilipatgandakan.
AIG
memang
terkenal
royal
memberi
bonus
kepada
jajaran
pimpinannya.
Bonus
tahunannya
bisa
mencapai
30
persen
dari
laba.
P adahal,
yang
disebut
laba
itu
masih
berupa
laba
di
buku.
Yang
jadi
laba
beneran
atau
Adak
baru
diketahui
di
tahun-‐tahun
berikutnya.
Sedangkan
bonus
tahunan
yang
diberikan
adalah
uang
cash,
yang
dikeluarkan
saat
itu
juga.
Saya
juga
biasa
memberi
bonus
kepada
pimpinan
anak
perusahaan
berdasar
kinerja.
Baik
di
Jawa
P os
Group
maupun
di
P WU
Group
(perusahaan
daerah
J aAm).
Tapi,
saya
selalu
melihat
laba
Adak
seperA
itu.
K husus
untuk
pemberian
bonus,
saya
selalu
mendasarkan
pada
laba
yang
dikaitkan
dengan
piutang
ragu-‐ragu
(meskipun
sebenarnya
bisa
tertagih),
umur
piutang,
kas/setara
kas,
dan
beberapa
syarat
lain
lagi.
I tu
pun
masih
belum
cukup.
H arus
dilihat
juga
Angkat
persediaan
bahan
baku
maupun
bahan
jadi.
Sebab,
kadang-‐kadang,
pimpinan
perusahaan
yang
dirangsang
dengan
bonus
suka
“memainkan”
persediaan.
Bisa
jadi
sebuah
perusahaan
labanya
kelihatan
besar,
tapi
ternyata
karena
persediaan
bahan
jadinya
sangat
besar.
P adahal,
belum
tentu
bahan
jadi
itu
bisa
terjual
semua.
Sikap
seperA
ini
mungkin
dinilai
pelit.
Tapi,
pengendalian
seperA
itu
bukan
saja
bisa
mengerem
kerakusan,
melainkan
juga
membuat
perusahaan
berjalan
dengan
keadaan
apa
adanya.
Cassano
sendiri
yang
mulai
bekerja
di
AIG
pada
1987
dan
mulai
menjabat
pimpinan
unit
ini
sejak
2003
sebenarnya
Adak
terlalu
salah.
D ia
berani
memberikan
jaminan
C DS
karena
melihat
yang
meminjam
uang
(yang
dijamin)
itu
adalah
lembaga-‐lembaga
keuangan
terbesar
di
dunia
dengan
raAng
terAnggi,
AAA.
L ogikanya:
apalah
risiko
memberi
jaminan
kepada
orang
kaya.
Masak
orang
kaya
Adak
bisa
bayar
utang!
Suatu
kali,
C assano
memang
sangat
bangga
mengumumkan
siapa
saja
klien-‐klien
yang
dia
beri
jaminan
itu.
Tapi,
kalau
mau
jujur,
Cassano
pasA
akan
merasa
bahwa
langkahnya
itu
suatu
saat
akan
meledak.
Risikonya
terlalu
besar.
Risiko
itu
akhirnya
Aba
juga.
Akhir
2007,
bank-‐bank
Eropa
yang
meminjamkan
uang
ke
lembaga
keuangan
AS
dengan
jaminan
C DS
dari
AIG,
mulai
menagih
ke
AIG
karena
”gajah-‐
gajah”
di
AS
itu
ternyata
mulai
Adak
sanggup
bayar
utang.
Total
tagihan
penjaminan
yang
masuk
pun
Adak
kepalang
tanggung:
U SD
11
miliar
atau
sama
dengan
Rp
100
triliun
lebih.
Tentu
AIG
Adak
siap
dengan
tagihan
mendadak
sebegitu
besar.
Akibatnya,
raAng
AIG
turun.
Kepercayaan
runtuh.
K erugian
mulai
menganga.
Akhir
2007
unit
usaha
di
bawah
C assano
itu
saja
rugi
U SD
25
miliar.
Cassano
pun
diberhenAkan.
Tapi,
hebatnya
dia
masih
mendapat
pesangon
Rp
300
miliar!
Bahkan,
tak
lama
kemudian
AIG
masih
mengangkatnya
menjadi
konsultan
dengan
bayaran
Rp
12
miliar
sebulan!
Begini-‐beginilah
yang
membuat
rakyat
Amerika
marah.
L alu
Adak
percaya
lagi
pada
lembaga
keuangan.
P adahal,
begitu
terjadi
keAdakpercayaan,
di
situlah
bermula
sebuah
kepanikan.
D an
kepanikan
itulah
yang
memperparah
krisis.
Kepanikan
itu
mencapai
puncaknya
keAka
L ehman
Brothers,
perusahaan
keuangan
terbesar
di
dunia
menyatakan
diri
bangkrut
pertengahan
September
lalu.
H abislah
harapan.
Orang
langsung
berpikiran
begini:
L ehman
Brothers
saja
bangkrut,
pasA
yang
lain-‐lain
akan
bangkrut.
K ita
jadi
ingat
I ndonesia
10
tahun
lalu.
P uncak
kepanikan
kita
waktu
itu
adalah
juga
keAka
16
bank
ditutup
(atas
permintaan
I MF).
Orang-‐orang
waktu
itu
langsung
berpikiran
begini:
bank-‐bank
yang
mana
lagi
yang
akan
ditutup
berikutnya.
Karena
itu,
para
pembuat
daear
penyebab
krisis
ini,
nama
C EO
L ehman
Brothers
Richard
Fuld
juga
dimasukkan
sebagai
pendosa
terbesar
nomor
2,
di
bawah
C assano.
Sedangkan
pendosa
terbesar
nomor
3
adalah
C hristopher
C ox,
chairman
K omisi
SecuriAes
and
Exchange
di
Amerika
yang
seharusnya
mengawasi
semua
kebobrokan
itu.
Dari
berbagai
media
di
dunia
ini,
daear
itu
memang
panjang.
P endosa
terbesar
nomor
10
adalah,
ini
dia:
rakyat
Amerika
Serikat.
Yakni,
dosa
karena
keborosannya,
kerakusannya,
dan
kesenangannya
menggunakan
kartu
kredit!
Cox,
pendosa
nomor
3
itu,
selama
ini
juga
dikenal
sebagai
orang
”sakA”.
W aktu
muda
kecelakaan
hebat
di
H awaii
sampai
punggung
dan
kakinya
patah.
D ia
harus
enam
bulan
berjalan
dengan
tongkat
dan
dengan
banyak
baja
di
tubuhnya.
D ia
punya
meja
khusus
yang
memungkinkannya
bisa
bekerja
sambil
berdiri
–karena
ada
dua
baja
di
punggungnya.
Dia
juga
diserang
kanker
aneh,
tapi
sembuh
total.
Adiknya,
keAka
kecil,
meninggal
tragis
saat
mau
ke
gereja.
W aktu
itu
si
adik
berdiri
di
belakang
mobil
yang
akan
diseAri
ayahnya
ke
gereja.
Si
ayah
mengundurkan
mobil
tanpa
tahu
anaknya
di
belakang
mobil.
Terlindas.
Cox
kini
diserang
habis-‐habisan.
”Kalau
saya
presiden
AS
sekarang,
sudah
saya
pecat
dia,”
kata
McCain
saat
kampanye
dulu.
C ox
masih
bisa
menghindar.
C ox
melihat
serangan
McCain
itu
hanya
bahan
kampanye.
”Cara
terbaik
menghindari
serangan
berbau
poliAk
seperA
itu
Adak
ada
jalan
lain
kecuali
menunduk,”
katanya
seperA
disiarkan
pers.
K ini
C ox
juga
didengar
keterangannya
oleh
D PR
AS.
K ita
ingin
melihat
apakah
dia
masih
sakA
kali
ini.
SeAdaknya
dia
masih
selamat
karena
justru
McCainlah
yang
gagal
jadi
presiden.
Yang
jelas
masih
sakA
adalah
C assano.
Sampai
saat
ini
belum
ada
media
yang
berhasil
mewawancarai
dia.
D ia
Anggal
di
rumah
Aga
lantai
dekat
department
store
terkenal
di
Harolds,
L ondon,
dengan
kebunnya
yang
tenang.
H idup
C assano!
Obama
Siap
Gelontor
Dana
Krisis
ala
RRT
Rabu,
19
November
2008
Dari
P ertemuan
P uncak
Washington
D C
(4-‐habis)
Presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono
dan
rombongan
Dba
di
Brasilia,
ibu
kota
Brazil,
pada
pukul
03.00
kemarin.
Menjelang
subuh
itu,
D ahlan
I skan
yang
terus
menyertai
rombongan
presiden,
menulis
bagian
akhir
dari
masalah
krisis
ekonomi
global
yang
dilihatnya
setelah
pertemuan
puncak
20
kepala
negara
di
W ashington
D C.
Barack
Obama
terpilih,
krisis
Adak
mereda.
P ertemuan
puncak
20
kepala
negara
(90
persen
kekuatan
ekonomi
dunia)
selesai,
krisis
tetap
memburuk.
Semua
negara
sudah
membuat
langkah
untuk
mengatasinya,
krisis
terus
berlanjut.
Memang
masih
ada
satu
momentum
lagi
yang
ditunggu:
dilanAknya
Obama
menjadi
presiden
ke-‐44
AS
pada
20
J anuari
tahun
depan.
Antusiasme
masyarakat
untuk
melihat
pelanAkan
itu
memang
luar
biasa.
P ertanda
masih
ada
“pengharapan”.
K ursi
untuk
umum
yang
hanya
disediakan
300
buah,
jelas
Adak
memadai.
Yang
antre
mendaear
sudah
lebih
dari
100.000
orang.
Terpaksa
akan
diundi.
Yang
Adak
beruntung
bisa
hadir
bersama
penggembira
umum
dengan
cara
berdiri
di
taman
luas
yang
disebut
W ashington
Mall.
D iperkirakan
lebih
satu
juta
orang
-‐yang
berarA
memecahkan
rekor-‐
akan
memenuhi
taman
itu.
Maka
bisa
dibayangkan
betapa
kecewanya
rakyat
AS
kalau
ternyata
paket
yang
akan
diberikan
Obama
kepada
rakyatnya
yang
sedang
krisis
Adak
memadai.
Sampai
sekarang
belum
terungkap
paket
seperA
apa
yang
disiapkan
pemerintahan
baru.
Namun,
kalau
apa
yang
dijanjikan
dalam
kampanye
bisa
dipakai
untuk
dasar
perkiraan,
kelihatannya
Obama
akan
terus
menggelontorkan
uang
untuk
meningkatkan
daya
beli
rakyatnya:
pajak
kelas
menengah
dipotong,
biaya
pendidikan
diperbesar,
anggaran
kesehatan
dinaikkan,
industri-‐
industri
yang
penAng
bagi
AS
seperA
industri
mobil
akan
digerojok
uang
negara.
P emda-‐
pemda
yang
kini
juga
kesulitan
anggaran
akan
dibantu.
Itu
berarA
Obama
akan
terus
meningkatkan
utang,
dengan
cara
mengeluarkan
obligasi
negara.
P adahal,
kini
utang
negara
sudah
mencapai
U SD
52
triliun.
K alau
semua
gambaran
di
atas
terjadi,
berarA
akan
ada
tambahan
utang
sampai
U SD
1,5
triliun.
Angka
ini
diambil
berdasarkan
besaran
“uang
krisis”
yang
dianggarkan
Tiongkok
sebesar
hampir
U SD
600
miliar.
ArAnya,
kalau
Tiongkok
saja
bisa
menyediakan
“dana
krisis”
20
persen
dari
G DP-‐nya,
Obama
minimal
harus
juga
menganggarkan
“dana
krisis”
20
persen
dari
G DP
(produk
domesAk
bruto)
AS.
Tiongkok
memang
jadi
buah
bibir
di
seluruh
dunia.
K emampuannya
menyediakan
“dana
krisis”
membuat
sebagian
ahli
di
AS
minta
agar
cara
itu
diAru
AS.
Tentu
juga
ada
yang
menentang.
Misalnya,
yang
beranggapan
bahwa
problem
yang
dihadapi
AS
Adak
akan
sebesar
yang
ditanggung
Tiongkok.
D i
Tiongkok,
krisis
ini
memang
bisa
berakibat
fatal:
bertambahnya
angka
kemiskinan
masal.
Sedangkan
di
AS,
maksimal
hanya
akan
membuat
resesi
ekonomi.
ArAnya,
Adak
ada
lagi
orang
yang
mampu
membeli
mobil,
TV,
kulkas,
anjing,
atau
ranjang.
Tapi,
karena
umumnya
orang
AS
sudah
punya
semua
yang
disebut
itu,
apa
yang
dirisaukan?
Toh
mobil
yang
ada
masih
bisa
dipakai
selama
Aga
tahun
lagi,
sampai
resesi
selesai.
D an
mobil
itu,
untuk
ukuran
kita,
sampai
10
tahun
lagi
pun
masih
membanggakan
untuk
dipakai.
Resesi
itulah
yang
akan
diatasi
di
AS.
C aranya,
itu
tadi,
terus
menggelontorkan
uang
negara
kepada
lapisan
masyarakat
yang
terkena.
Orang
awam
tentu
akan
bertanya:
dalam
keadaan
uang
langka
seperA
sekarang,
apakah
masih
ada
orang
yang
mau
memberi
utang
pada
Obama
-‐dengan
cara
membeli
obligasi
negara?
Bukankah
negara
seperA
I ndonesia
mencari
utang
satu
persen
(dari
G DP)
saja
mengalami
kesulitan?
Untuk
urusan
utang
seperA
itu
AS
Adak
akan
pernah
mengalami
kesulitan.
Obligasi
negara
terus
laku
dijual.
Pertama,
dolar
AS
menjadi
mata
uang
dunia.
Yakni,
sejak
perdagangan
emas
dunia
dinyatakan
dalam
dolar
AS
pada
1930-‐an,
disusul
keputusan
bahwa
perdangan
minyak
juga
dinyatakan
dalam
dolar
AS
pada
1971.
Kedua,
aset
AS
luar
biasa
besar.
Aset
seperA
itu
yang
belum
dimiliki
negara
seperA
I ndonesia.
Ibarat
perusahaan,
negara
mesAnya
juga
punya
neraca
laba
rugi.
D alam
neraca
itu
juga
harus
terlihat
berapa
sebenarnya
aset
negara.
Misalnya,
batu
bara
yang
Aap
hari
dikeruk
dalam
jumlah
jutaan
ton
itu.
Sebenarnya
hak
milik
siapa?
Mengapa
cadangan
batu
bara
se-‐
Indonesia
Adak
bisa
diakui
sebagai
kekayaan
negara?
D emikian
juga
emas,
minyak,
nikel,
dan
seterusnya?
Mengapa
semua
itu
Adak
masuk
dalam
neraca
keuangan
negara,
sehingga
terlihatlah
I ndonesia
sebagai
negara
kaya
yang
kalau
pinjam
uang,
ada
yang
dijaminkan?
Pemerintah
yang
sekarang
memang
mulai
melangkah
ke
sana.
Untuk
kali
pertama
pemerintah
membentuk
dirjen
kekayaan
negara.
Yakni,
sejak
D r
Sri
Mulyani
I ndrawaA
menjabat
menteri
keuangan.
P emerintah-‐pemerintah
yang
lalu
belum
ada
pemikiran
ke
arah
sana.
Namun,
pekerjaan
ini
juga
memerlukan
waktu
lama.
Bisa-‐bisa
perlu
waktu
5-‐6
tahun
lagi.
Masih
ada
beberapa
hambatan.
Secara
teknis,
penyerAfikatan
aset-‐aset
negara
memerlukan
biaya
besar
-‐meski
sebenarnya
bisa
diselesaikan
dengan
gampang.
Bukankah
Badan
Pertanahan
Negara
juga
milik
negara?
L alu,
kalau
aset
itu
harus
diapraisal
untuk
mendapatkan
nilai
pasar
yang
sebenarnya,
juga
harus
membayar
pajak
yang
besar.
I ni
pun
sama:
negara
membayar
pajak
kepada
negara.
K enapa
Adak
tukar-‐menukar
angka
saja.
Namun,
secara
mendasar
juga
masih
ada
hambatan.
Misalnya,
pasal
33
U UD
yang
berlaku
sampai
sekarang
masih
membuat
keraguan.
H arus
ada
tafsir
resmi
mengenai
sumber
daya
alam
yang
di
pasal
itu
disebut
“dikuasai”
oleh
“negara”.
H arus
jelas
apa
yang
dimaksud
“dikuasai”
dan
siapa
yang
disebut
“negara”.
H arus
dijelaskan
secara
hukum
bahwa
yang
dimaksud
“dikuasai”
adalah
“dimiliki”.
Sedang
yang
dimaksud
“negara”
adalah
siapa:
perusahaan
negara?
I nstansi?
D an
seterusnya.
PoliAsi
di
parlemen
tentu
Adak
memahami
mengapa
harus
dijelaskan
seperA
itu.
Tapi,
bagi
orang
akuntansi,
itu
sangatlah
penAng.
Untuk
bisa
membukukan
kekayaan
itu
dalam
neraca
negara,
harus
ada
landasan
hukumnya.
K alau,
sudah
jelas
bahwa
seluruh
batu
bara,
emas,
minyak,
nikel,
dan
seterusnya
itu
milik
negara,
Anggal
diapraisal
berapa
harga
semua
itu.
Lalu,
akuntan
punya
dasar
untuk
membukukan
angka
tersebut
ke
dalam
neraca.
K alau
Adak,
Adak
akan
bisa
kekayaan
itu
secara
resmi
diakui
sebagai
kekayaan
negara.
Di
masa
lalu,
mungkin
memang
Adak
ada
keinginan
memperjelas
semua
itu.
D engan
Adak
jelas,
bukankah
bisa
ditafsirkan
sesuai
keinginan
penguasanya?
Di
Amerika
Serikat,
semuanya
jelas.
K arena
itu,
perhitungan
keuangannya
juga
jelas.
Bahkan,
dengan
kekuasaan
Amerika
seperA
sekarang,
kalaupun
Adak
ada
yang
membeli
obligasi
negara,
bukankah
masih
bisa
mencetak
uang?
Bagi
negara
seperA
I ndonesia,
mencetak
uang
(menambah
peredaran
uang
baru
tanpa
menarik
uang
lama)
sangat
berbahaya.
Bisa
mengakibatkan
inflasi.
Tapi
bagi
AS?
D engan
posisi
sebagai
mata
uang
dunia?
Yang
peredaran
dolarnya
di
luar
negeri
lebih
besar
dari
di
dalam
negeri?
K alau
toh
terjadi
inflasi,
dampak
di
dalam
negerinya
lebih
kecil
daripada
di
luar
negeri.
Apalagi,
kata
“mencetak”
dolar
di
sini
Adak
harus
dalam
pengerAan
benar-‐benar
mencetak
uang.
Bukankah
semua
itu,
kini,
hanya
angka-‐angka
digital?
Yang
bertambah
adalah
angka
dan
yang
berkurang
juga
angka?
Tentu
yang
demikian
Adak
fair
sama
sekali
bagi
negara
di
seluruh
dunia.
Tapi,
mau
berbuat
apa?
Memang
Eropa
sudah
melangkah
dengan
menciptakan
uang
bersama
yang
disebut
euro.
Tapi,
itu
masih
belum
bisa
mengganAkan
dolar.
K elak,
barangkali,
kalau
Tiongkok
sudah
benar-‐benar
menjadi
superpower,
Asia
bisa
menciptakan
mata
uang
sendiri,
Yuan
Tiongkok,
sebagai
alat
pembayaran
internasional.
D engan
demikian,
di
dunia
akan
ada
Aga
mata
uang
yang
sejajar:
dolar
AS,
euro,
dan
yuan.
Mungkin
kita
masih
akan
bisa
melihat
zaman
itu:
50
tahun
lagi.
Peru
Tunggu
Kepemimpinan
Kungfu
Panda
Senin,
24
November
2008
Peru
(arDnya
“akbar”)
adalah
negeri
asal
usul
kentang.
J uga
negara
penghasil
ikan
terbesar
dunia
karena
lautnya
jadi
pertemuan
arus
panas
dan
dingin
yang
menyuburkan
plankton,
makanan
utama
ikan.
P ertemuan
puncak
APEC
di
P eru
menjadi
akbar
bukan
hanya
karena
harga
kentang
merosot,
tapi
juga
21
kepala
negara
itu
membahas
krisis
global.
Dahlan
I skan
yang
sedang
di
P eru
ikut
panas
dingin,
seperD
di
pertemuan
arus,
oleh
nilai
tukar
rupiah
yang
mengkhawaDrkan.
Berikut
catatannya:
SELAMA
Adak
ada
dolar
masuk
ke
I ndonesia
dalam
jumlah
yang
seimbang
dengan
yang
keluar,
selama
itu
pula
nilai
rupiah
akan
terus
merosot.
I nilah
persoalan
yang
dihadapi
semua
negara:
semua
dolar
“pulang”
dari
mana-‐mana
ke
rumah
asalnya:
Amerika
Serikat.
Sebelum
krisis,
banyak
sekali
dolar
masuk
ke
I ndonesia.
Misalnya,
untuk
membeli
saham-‐
saham
di
pasar
modal
J akarta,
dipinjamkan
ke
berbagai
perusahaan
dalam
negeri,
diinvestasikan
di
berbagai
bidang
usaha,
dan
dibelikan
obligasi
(surat
utang)
negara
atau
swasta.
I ni
saya
sebut
kelompok
pertama.
Lalu
masih
ada
lagi
yang
datang
dari
hasil
ekspor
berbagai
macam
komoditas.
Apalagi,
harga
komoditas
waktu
itu
luar
biasa
Anggi.
Mulai
kelapa
sawit,
batu
bara,
kakau,
karet,
nikel,
dan
seterusnya.
K ini
Adak
banyak
lagi
pembeli
komoditas
itu.
J umlah
ekspor
kita
Adak
saja
menurun,
tapi
nilai
ekspor
juga
merosot
karena
harga
komoditas
itu
rata-‐rata
turun
lebih
50
persen.
I ni
saya
sebut
kelompok
kedua.
Memang
masih
ada
lagi
sumber
kedatangan
dolar:
kiriman
uang
dari
tenaga
kerja
kita
di
luar
negeri
(TKI/TKW).
Tapi,
karena
gaji
mereka
di
luar
negeri
kecil-‐kecil
(karena
umumnya
tenaga
kasar),
jumlah
dari
remiten
itu
Adak
sebesar
I ndia
(Rp
300
triliun),
Tiongkok
(Rp
250
triliun)
atau
bahkan
Filipina
( Rp
150
triliun).
I ni
saya
sebut
kelopok
keAga.
Sumber
lain
kedatangan
dolar
masih
ada
meski
kurang
kita
harapkan:
utang
luar
negeri.
Baik
utang
bilateral
maupun
mulAlateral
lewat
Bank
D unia,
I MF,
ADB,
I DB,
dan
seterusnya.
Anggap
saja
ini
kelompok
keempat.
Kelompok
pertama,
yang
jumlah
dolarnya
terbesar,
kini
sama
sekali
Adak
datang.
Tidak
ada
lagi
pemilik
dolar
yang
membeli
saham
di
Bursa
Efek
I ndonesia
(BEI).
K elompok
kedua,
dolar
dari
hasil
ekspor,
yang
jumlahnya
sangat
besar,
kini
Anggal
kurang
dari
separonya.
Apalagi,
kalau
para
eksporter
menahan
dolar
hasil
ekspornya
di
luar
negeri.
K elompok
keAga,
dolar
yang
dihasilkan
para
TKI/TKW,
mesAnya
masih
utuh.
Sayangnya,
selain
jumlahnya
kecil,
ada
ancaman
mereka
terkena
P HK
akibat
semua
negara
memang
terkena
krisis.
Kelompok
pertama
adalah
dolar
yang
cabut
dari
B EI.
Melihat
indeks
harga
saham
yang
turun
dari
hampir
3.000
poin
menjadi
1.000
poin,
itu
menjadi
indikator
banyaknya
dolar
yang
ditarik
pulang
dari
J akarta.
Kelompok
kedua,
lawannya
ekspor,
adalah
impor.
K ita
tetap
perlu
mengalirkan
dolar
ke
luar
negeri
untuk
membeli
bahan
baku
industri
dan
barang
modal.
K alau
Adak,
pabrik-‐pabrik
kita
yang
sebagian
bahan
bakunya
masih
harus
impor
akan
tutup.
Tapi,
jumlah
dolar
yang
diperlukan
untuk
ini
mesAnya
sedikit
menurun
karena
harga
bahan
baku
internasional
juga
turun.
Untungnya,
kita
Adak
impor
beras
lagi,
meski
(sayangnya)
tetap
impor
B BM
dalam
jumlah
yang
sangat
besar.
K ita
perlu
mengalirkan
dolar
ke
Singapura
untuk
membeli
B BM
dari
sana.
Kelompok
keAga,
lawannya
TKI/TKW,
Adak
memerlukan
dolar
yang
sangat
besar.
Tenaga
asing
yang
di
I ndonesia
jumlahnya
berkurang
untuk
penghematan.
Kelompok
keempat,
lawannya
utang
luar
negeri,
adalah
bayar
bunga
dan
cicilan.
K ini
kita
memerlukan
dolar
30
persen
lebih
banyak
untuk
membayar
utang
luar
negeri
berikut
bunganya.
I ni
karena
kurs
rupiah
yang
melemah
30
persen.
P ernah,
di
akhir
zaman
Orde
Baru,
kita
harus
mencari
pinjaman
luar
negeri
dalam
jumlah
besar
yang
kegunaan
sebenarnya
hanya
cukup
utuk
membayar
cicilan
berikut
bunga
utang
luar
negeri
itu
sendiri.
Dari
gambaran
di
atas,
jelas
bahwa
jumlah
dolar
yang
pergi
dari
I ndonesia
jauh
lebih
besar
daripada
yang
datang.
D engan
gambaran
yang
amat
jelas
seperA
itu,
akal
sehat
akan
langsung
mengatakan
bahwa
sudah
seharusnya
nilai
rupiah
menurun.
Apalagi,
masih
ada
satu
yang
lebih
penAng:
banyak
orang
kita
sendiri
yang
ikut-‐ikutan
membeli
dolar
karena
panik
atau
Adak
percaya
kepada
rupiah.
D olar
yang
mereka
beli
itu
sebagian
dilarikan
ke
bank-‐bank
di
luar
negeri.
Sebagian
lagi
dilarikan
ke
bawah
bantal.
Baik
yang
dikirim
ke
luar
negeri
maupun
yang
ditaruh
di
bawah
bantal
akibatnya
sama
saja:
melemahkan
rupiah.
Apalagi
“melarikan”
dolar
ke
luar
negeri
kini
Adak
sulit.
Tidak
harus
secara
fisik
dikirim
ke
luar
negeri:
cukup
ditaruh
di
cabang
bank
asing
yang
ada
di
I ndonesia.
Singapura
cukup
cerdik:
baru
saja
mengumumkan,
dolar
yang
dikirim
ke
bank
mereka
di
Singapura
atau
yang
ditaruh
di
cabang
bank
mereka
yang
ada
di
I ndonesia
diperlakukan
sama:
sama-‐sama
dijamin
100
persen.
Para
pemilik
uang
yang
“melarikan”
dolarnya
itu
sama
sekali
Adak
bisa
disalahkan.
Uang
Adak
punya
kewarganegaraan.
Uang
juga
Adak
ber-‐KTP.
Uang
itu
seperA
air,
akan
selalu
mengalir
ke
tempat
yang
lebih
rendah.
I tulah
sebabnya,
banyak
yang
mengusulkan
agar
pemerintah
I ndonesia
membuat
bendungan:
yang
selama
ini
sudah
memberikan
jaminan
kepada
penabung
sampai
Rp
2
miliar
agar
mengimbangi
Singapura
dengan
cara
menaikkan
penjaminan
menjadi
100
persen.
Sebuah
usul
yang
sampai
hari
ini
belum
dipenuhi
pemerintah.
Alasannya:
membuat
bendungan
itu
mahal.
Apalagi,
kalau
sampai
jebol
seperA
10
tahun
yang
lalu.
Sudah
dibendung
pun
air
masih
berusaha
merembes.
Lalu, kapan dolar berhenA mengalir keluar? Atau bisa kembali masuk?
Kelompok
pertama,
di
bidang
modal
(untuk
membeli
saham
atau
investasi
di
I ndonesia),
kelihatannya
masih
lama.
Masih
harus
kita
tunggu
sampai
1,5
tahun
lagi.
K alau
semua
“lubang”
yang
di
Amerika
sana
sudah
tertutupi,
barulah
ada
harapan
dolar
mulai
tumpah
sedikit-‐sedikit.
Tumpahannya
pun
akan
membasahi
bagian-‐bagian
yang
paling
dekat
dengan
mereka
dulu.
P adahal,
sampai
hari
ini,
“lubang”
itu
belum
tertutup
sama
sekali.
Bahkan,
ada
yang
menyebut
seberapa
dalam
“lubang”
itu
masih
belum
diketahui
dasarnya.
Kelompok
kedua,
yakni
sembuhnya
ekspor,
mungkin
perlu
waktu
satu
tahun.
I tu
sekadar
untuk
membaik,
bukan
untuk
bisa
sembuh
100
persen.
Bisa
membaik
saja
kita
sudah
harus
bersyukur.
K ita
berharap,
apa
pun
keadaannya
orang
perlu
makan.
BerarA
perlu
bahan-‐
bahan
makanan.
Bahan
makanan
itu
juga
perlu
digoreng.
P erlu
minyak
sawit
dan
batu
bara.
Kita
bisa
ekspor
lagi.
Memang
Adak
bisa
sembuh
100
persen
-‐karena
Adak
mungkin
lagi
harga
komoditas
seAnggi
langit
seperA
sebelum
krisis.
I ni
akibat
Adak
akan
ada
lagi
perdagangan
tanpa
perlu
menyerahkan
barangnya.
Kelompok
keAga,
remiten
dari
TKI/TKW,
Adak
akan
banyak
perubahan.
Kelompok
keempat,
utang
luar
negeri,
mau
Adak
mau
harus
dilakukan.
I ni
seperA
orang
yang
harus
bercerai:
Adak
disukai,
tapi
harus
dilakukan.
P ersoalannya,
apakah
masih
ada
negara
yang
mau
menyisihkan
uangnya
untuk
membantu
negara
lain?
K isah
sulitnya
I slandia
dalam
mengemis
bantuan
ke
negara-‐negara
Eropa
sudah
saya
jelas
di
tulisan
yang
lalu.
Sampai
negara
itu
bankrut.
Akhirnya
I slandia
harus
mengemis
ke
I MF.
D emikian
juga
P akistan
dan
Ukraina.
Bahkan,
baru-‐baru
ini
Turki
menyusul.
IMF
yang
pernah
mengaku
salah
dalam
memberikan
“obat”
pada
I ndonesia,
tampaknya
akan
lebih
diberdayakan
kembali.
Tentu
dengan
model
berbeda
dengan
10
tahun
lalu.
J epang,
misalnya,
sudah
komitmen
menyalurkan
dana
U SD
100
miliar
bagi
negara-‐negara
berkembang,
lewat
I MF.
Apakah
I ndonesia
harus
kembali
berurusan
dengan
I MF?
Pertama,
jenis
pinjaman
langsung.
I ni
untuk
menutup
defisit
APBN.
D alam
masa
krisis
ini,
penerimaan
pajak
pasA
turun.
P adahal,
kita
perlu
memperbesar
APBN
agar
ada
uang
besar
mengalir
ke
masyarakat.
D engan
demikian,
diharapkan
krisis
Adak
memburuk.
Tapi,
karena
penghasilan
negara
menurun,
mau
Adak
mau
harus
mencari
pinjaman.
Kedua,
jenis
bantuan
jaminan
dalam
bentuk
fasilitas
swaps
nilai
tukar.
K alau
negara
menjamin
para
penabung,
negara
juga
perlu
penjaminan
dari
luar.
Singapura
mendapat
fasilitas
seperA
itu
sebesar
U SD
20
miliar
dari
AS.
I tulah
sebabnya,
nilai
tukar
dolar
Singapura
Adak
parah-‐parah
amat.
Brazil
dan
K orsel
juga
mendapat
fasilitas
swaps
masing-‐
masing
U SD
30
miliar.
Kita
mungkin
sulit
mendapat
fasilitas
seperA
itu,
karena
kita
Adak
dianggap
sahabat
sangat
baik
oleh
AS.
Bagaimana
kalau
dari
negara-‐negara
Arab
yang
sesama
I slam?
Sekali
lagi,
uang
itu
bukan
saja
Adak
ber-‐KTP,
tapi
juga
Adak
beragama.
Arab
Saudi
memilih
memperbesar
kepemilikannya
di
C iAbank
yang
harga
sahamnya
Anggal
U SD
4
dolar
alias
Anggal
20
persen
dari
nilai
terAngginya.
D ubai
memilih
pesta
besar
meresmikan
negaranya
sebagai
salah
satu
pusat
glamor
dunia.
Anehnya,
kita
ikut
larut
mengelu-‐elukan
Barack
Obama.
P adahal,
untuk
kepenAngan
Asia,
sebenarnya
akan
lebih
baik
kalau
presiden
AS
dari
P artai
Republik.
I ni
sudah
dibukAkan
berkali-‐kali.
SeAap
presidennya
dari
D emokrat,
seAap
itu
pula
Asia
kurang
diuntungkan.
Kalau
saja
presiden
terpilih
kemarin
adalah
McCain
bisa-‐bisa
justru
semakin
cepat
menguatkan
Asia,
alias
mempercepat
penurunan
peran
AS
di
dunia.
D engan
demikian,
kita
bisa
segera
tahu
siapa
pemimpin
dunia
berikutnya:
bagaimana
wataknya
dan
apakah
bisa
lebih
membawa
kebaikan
bagi
dunia.
Kita
lagi
menunggu
sang
pemimpin
baru
dunia
itu:
apakah
membawa
kemakmuran
seperA
naga
terbang,
atau
menakutkan
seperA
barongsai
mengamuk,
atau
sangat
menyenangkan
seperA
kungfu
panda.
(*)
Thailand
Ladang Opium Doi Tung Hilang, Sejuta
Wisatawan Datang
Strategi
M erebut
HaP
dan
M engisi
P erut
di
Golden
Triangle
(1)
Selama
Dga
hari,
Dahlan
I skan
ikut
dalam
misi
mempelajari
perubahan
drasDs
yang
terjadi
di
wilayah
Golden
T riangle
yang
pernah
dikenal
sebagai
pusat
opium
dunia
di
pegunungan
sekitar
perbatasan
Thailand-‐Burma-‐Laos
itu.
S eorang
I bu
S uri
yang
jadi
inspirasinya.
Berikut
tulisan
bersambungnya:
“Di
sini
ini!
….
D i
sini,
dulu,
pasar
senjata
gelap
dan
opium
itu,”
ujar
K hun
C hai
sambil
menggelendeng
tangan
saya
ke
bawah
sebuah
pohon
besar
di
pinggir
jalan
beraspal
di
pegunungan
D oi
Tung,
perbatasan
segiAga
Thailand,
Burma
(Myanmar),
dan
L aos
K amis
lalu.
“Pohon
besar
ini
sangat
bersejarah,”
ujar
K hun
C hai.
P ohon
inilah
yang
pernah
jadi
“ibu
kota”
wilayah
isAmewa
yang
dulu
amat
terkenal
dengan
sebutan
Golden
Triangle.
Yakni,
satu
wilayah
“perAgaan”
yang
mampu
memasok
70
persen
opium
dunia.
Saya
mendongakkan
kepala.
P ohon
itu
sangat
Anggi,
gagah,
rimbun,
dan
umurnya
sudah
ratusan
tahun.
Saya
menatap
pucuknya,
ingin
mendapatkan
pembenaran
dari
kesaksian
bisunya.
Tapi,
pohon
itu
terlalu
Anggi
untuk
ditanya.
H anya,
kegagahan
batangnya
dan
kerimbunan
daunnya
memang
seperA
backing
yang
kuat
untuk
sebuah
kejahatan
legendaris
yang
menghancurkan
kehidupan
manusia.
“Ini
pohon
fiq,”
ujar
K hun
C hai,
keluarga
kerajaan
Thailand
yang
seumur
hidupnya
menjadi
sekretaris
I bu
Suri,
yakni
ibu
dari
raja
Thailand
sekarang.
“Dulu,
orang
datang
ke
bawah
pohon
ini
untuk
menjual
opium
dan
membeli
senjata.
J uga
peluru,”
ujarnya.
“M-‐16
harganya
3.000
bath.
Satu
peluru
2
bath
(sekitar
Rp
700),”
tambahnya.
P asar
di
sini
cukup
ramai
-‐untuk
ukuran
pasar
opium
dan
senjata.
J umlah
pengunjungnya
sekitar
3.000
orang
per
tahun.
Pasar
gelap
itu
kini
sudah
Adak
ada
lagi.
I ni
karena
di
wilayah
itu
sudah
Adak
ada
lagi
satu
pun
batang
opium.
Semua
pabrik
candu
juga
sudah
tutup.
Berbagai
kejahatan
dan
kekerasan
sudah
hilang
sama
sekali.
J alan
kecil
berlumpur
di
dekat
pohon
itu
sudah
berubah
menjadi
jalan
beraspal
selebar
8
meter.
Bahkan,
pegunungan
D oi
Tung
kini
sudah
jadi
salah
satu
pusat
wisata
Thailand.
“ Tahun
lalu
sudah
satu
juta
orang
berwisata
ke
sini,”
ujar
K hun
C hai.
Semua
petani
yang
dulu
menanam
opium
berubah
total:
Adak
terbelit
kemiskinan
lagi.
Ladang-‐ladang
opium
sudah
berubah
jadi
perkebunan
teh,
ladang
kopi,
hutan
macadamia,
atau
kebun
bunga.
Tapi,
perubahan
itu
Adak
dilakukan
dengan
mudah.
I ni
karena
dalam
proses
perubahan
itu
K hun
C hai
menghindari
jauh-‐jauh
model
paksaan,
kekerasan,
serbuan,
atau
perang
bersenjata.
Pendekatan
pokoknya
adalah
“merebut
haA
rakyat
dan
mengisi
perut
mereka”.
K iat
ini,
setelah
berhasil
diterapkan
di
D oi
Tung,
panen
pujian
dari
dunia,
termasuk
dari
P erserikatan
Bangsa-‐Bangsa
(PBB).
Apalagi,
keAka
berhasil
diterapkan
sekali
lagi
di
wilayah
Myanmar.
Bahkan,
K hun
C hai
kini
diminta
lagi
menerapkan
kiatnya
itu
untuk
mengatasi
persoalan
di
negara
yang
lebih
berat:
Afghanistan.
L alu
diminta
pula
turun
tangan
di
Aceh
Besar.
D an
permintaan
berikutnya
sudah
antre:
Vietnam.
“Semua
persoalan
itu
bermula
dari
kemiskinan,”
ujar
K hun
C hai
menyimpulkan
penyebab
ruwetnya
urusan
di
Golden
Triangle.
“Apakah
itu
persoalan
opium,
kriminalitas,
pelacuran,
kerusakan
lingkungan,
bahkan
terorisme
sekalipun,”
tambahnya.
Khun
C hai
sudah
membukAkan
bisa
mengatasi
semua
itu
dengan
kiat
soe
power-‐nya:
Adak
pernah
mencela
kehidupan
lama,
Adak
pernah
memojokkan
orang,
Adak
pernah
merusak
opium
mereka,
Adak
pernah
memusuhi
pedagang
senjata
-‐apalagi
memerangi
mereka
secara
bersenjata
pula.
Yang
dia
lakukan
adalah
“merebut
haA
dan
perut”
mereka.
Khun
C hai
orang
yang
sangat
menarik.
Umurnya
hampir
70
tahun,
tapi
energiknya
luar
biasa.
P enampilannya
sangat
sederhana.
J iwa
melayaninya
lahir
baAn.
H anya
dengan
mengenakan
kaus
dan
jaket,
dia
menjemput
sendiri
rombongan
dari
I ndonesia
di
tangga
pesawat
yang
mendarat
di
Bandara
C hiang
Rai.
Rombongan
ini
cukup
besar.
D ari
Badan
NarkoAka
Nasional
(BNN)
ada
I rjen
Gories
Mere,
Brigjen
Surya
D arma,
K omjen
(pur)
Ahwil
Luthan,
dan
beberapa
orang
lagi.
D ari
Am
ESDM
(Energi
Sumber
D aya
Mineral)
ada
Brigjen
Pol
Bambang
Banu
Saputro
yang
amat
gelisah
atas
rusaknya
lingkungan
di
kawasan
pertambangan
(batu
bara
dan
tambang
apa
saja)
yang
ada
di
bawah
ESDM.
D ari
Artha
Graha
Peduli
lengkap
diikuA
seluruh
direksi
dan
direktur
anak-‐anak
perusahaannya,
bahkan
dipimpin
Tomy
W inata
sendiri.
B NN
dan
Artha
Graha
P eduli
memang
punya
proyek
kerja
sama
membangun
pusat
rehabilitasi
korban
narkoAk
di
P ulau
Seribu.
Khun
C hai
lalu
mengantar
rombongan
ke
D oi
Tung,
sekitar
satu
jam
perjalanan
ke
arah
utara.
Di
sini,
di
pegunungan
dekat
perbatasan
Myanmar
yang
udaranya
dingin
ini,
rombongan
menginap.
Besoknya
K hun
C hai
mengantar
peninjauan
ke
wilayah-‐wilayah
ladang
opium
di
masa
lalu
yang
jaraknya
masih
Aga
jam
lagi.
H ari
kedua
dan
keAga
masih
mengantar
ke
gunung-‐gunung
yang
lebih
Anggi.
Malam
hari
rombongan
mendiskusikan
sistem
“merebut
haA
dan
mengisi
perut
rakyat”
yang
dilakukan
K hun
C hai.
Termasuk
membahas
mengapa
proyek
ini
bisa
berjalan
dan
berhasil.
Dengan
antusias
K hun
C hai
menjawab
pertanyaan
bertubi-‐tubi.
Termasuk
menunjukkan
di
mana
sebenarnya
pusat
perdagangan
opium
itu
dulu:
di
bawah
pohon
fiq
itu.
Pemandangan
sepanjang
perjalanan
dari
gunung
ke
lembah
dan
dari
lembah
ke
gunung
ini
sudah
berbeda
sama
sekali
dari
masa
keAka
wilayah
golden
triangle
masih
jadi
sumber
opium
dunia.
Yakni,
keAka
angkatan
bersenjata
dan
kepolisian
Adak
berdaya
atas
kekuasaan
pasukan
bersenjata
sindikat
narkoAka
internasional.
Melihat
medannya
yang
sulit
memang
Adak
gampang
mengontrol
wilayah
seperA
ini
-‐apalagi
kalau
kekuatan
resmi
itu
sendiri
berhasil
dibina
sindikat.
Ternyata
K hun
C hai
punya
cara
lain
untuk
mengontrolnya.
Tanpa
kekuatan
bersenjata
sama
sekali:
hanya
dengan
kekuatan
haA.Melihat
keadaan
D oi
Tung
sekarang,
memang
tak
terbayangkan
bahwa
wilayah
ini
dulu
begitu
seram,
misterius,
dan
berbahaya.
Begitu
Adak
berdayanya
negara
saat
itu
sampai-‐sampai
kalah
dengan
mafia,
gangster,
dan
jaringan
narkoAka
internasional.
Upaya
melawannya
pun
sudah
dilakukan
dengan
banyak
cara.
Menyerang
dan
membasmi.
Terbuka
dan
tertutup.
Secara
intelijen
sudah
Adak
kurang
hebatnya:
“orang-‐orang
C IA,
F BI,
dan
apa
saja
sudah
lama
menyusup
ke
sini,”
ujar
K hun
Chai.
Toh
mereka
gagal
total.
K ontak-‐kontak
senjata
yang
pernah
terjadi
juga
hanya
menimbulkan
banyak
korban.
Sukses
proyek
rehabilitasi
pusat
opium
dunia
di
Golden
Triangle
tak
bisa
dilepaskan
dari
pengaruh
dua
figur
kerajaan
yang
dihormaD
di
Thailand:
I bu
Suri
dan
K hun
C hai.
L ewat
yayasannya,
keduanya
berhasil
mengerahkan
parDsipasi
warga
sehingga
bisa
mengalahkan
pengaruh
buruk
sindikat
opium
dan
perdagangan
senjata
ilegal.
SALAH
satu
cita-‐cita
kecil
K hun
C hai
adalah
menjadi
pengusaha.
K arena
itu,
dia
masuk
sekolah
bisnis
di
I ndiana,
U SA.
Tapi,
sebagai
keluarga
kerajaan,
K hun
C hai
Adak
bisa
memilih
kehidupan
semaunya
sendiri.
SeAap
keluarga
kerajaan
harus
memegang
prinsip
ini:
salah
satu
anak
lelaki
di
keluarga
itu
harus
mengabdikan
hidupnya
untuk
negara.
“Padahal,
di
keluarga
saya,
sayalah
anak
laki-‐laki
satu-‐satunya,”
ujarnya.
Karena
itu,
dia
harus
mengabdi
ke
negara.
Yakni,
jadi
sekretaris
I bu
Suri.
Bagaimana
dengan
anak-‐anaknya?
“Saya
punya
dua
anak
laki-‐laki.
Saya
serahkan
sepenuhnya
kepada
mereka.
Mereka
akan
berunding
siapa
di
antara
keduanya
yang
harus
mengabdi
kepada
negara,”
ujar
Khun
C hai.
Khun
C hai
adalah
contoh
terbaik
bagaimana
menggunakan
sisa
umur
yang
panjang.
K ini
umurnya
sudah
70
tahun,
tapi
pengabdian
yang
dia
tangani
seperA
masih
memerlukan
jasanya
70
tahun
lagi.
Sikap
ini
dia
teladani
langsung
dari
I bu
Suri
K erajaan
Muangthai.
Justru
di
usia
I bu
Suri
yang
ke-‐90
proyek
rehabilitasi
pusat
opium
dunia
ini
dimulai.
“Khun
C hai”
sebenarnya
bukan
nama,
melainkan
semacam
gelar
kerajaan.
Mirip
GusA
Raden
atau
sebangsanya
itu.
Nama
sebenarnya
adalah
Mom
Rajawongse
D isnadda
D iskul.
H anya,
semua
orang
memanggilnya
dengan
panggilan
gelar
kerajaan
itu.
SeAap
tahun,
kisah
K hun
C hai,
I bu
Suri
memang
teDrah
ke
Swiss
untuk
berisArahat
beberapa
bulan
di
istananya
di
sana.
I bu
Suri
sangat
menyukai
alam
Swiss
yang
indah,
damai,
dan
bergunung-‐gunung
itu.
Apalagi
di
Swiss
terdapat
gunung
es
abadi
yang
bisa
untuk
bermain
ski
yang
menjadi
salah
satu
kesukaannya.
Tapi,
I bu
Suri
menyadari
begitu
usia
mencapai
90
tahun
Adak
mungkin
lagi
mondar-‐mandir
ke
Swiss.
Begitu
berusia
90
tahun
I bu
Suri
ingin
menetap
di
Thailand.
P ersoalannya:
di
mana
alam
yang
seperA
Swiss
di
Thailand
ini?
I bu
Suri
Adak
mau
Anggal
di
Bangkok
yang
begitu
sibuk
dan
bising.
Khun
C hailah
yang
menemukan
jalan
keluarnya.
Yakni,
di
satu
pegunungan,
yang
kalau
I bu
Suri
mau
Anggal
di
situ
bisa
melihat
lembah
yang
menghampar
hijau
di
bawah
sana,
dan
memandang
bukit-‐bukit
yang
berpunuk-‐punuk
di
sekitarnya.
I tulah
pegunungan
D oi
Tung.
Di
atas
bukit
D oi
Tung
inilah
K hun
C hai
berencana
membangun
vila
kerajaan
untuk
hari
tua
Ibu
Suri.
Apalagi,
setelah
meninjau
D oi
Tung,
I bu
Suri
langsung
menyenanginya.
Memang
Adak
ada
gunung
es
di
sekitarnya.
Tapi,
dalam
usia
90
tahun,
toh
gunung
es
sudah
kurang
ada
gunanya.
Tapi,
masih
ada
persoalan
besar:
wilayah
ini
Adak
aman.
C itra
wilayah
ini
juga
sangat
buruk
di
seluruh
jagat
raya:
pusat
opium
dunia.
Bahkan,
masih
berada
dalam
kekuasaan
tentara
Khun
Sha,
raja
opium
yang
ditakuA
di
mana-‐mana.
K ekuasaan
K hun
Sha
atas
wilayah
itu
(termasuk
sebagian
wilayah
Burma
dan
L aos)
sudah
seperA
seorang
diktator
di
suatu
negara
tersendiri.
Sialnya
lagi,
lokasi
pusat
perdagangan
senjata
yang
di
bawah
pohon
besar
itu,
hanya
kurang
dari
satu
kilometer
dari
calon
lokasi
vila
I bu
Suri
ini.
Kecintaan
K hun
C hai
kepada
I bu
Suri
membuatnya
berpikir
keras
untuk
mengatasi
persoalan
itu.
K hun
C hai
berpikir
untuk
memberantas
opium,
perdagangan
senjata,
dan
kejahatan-‐
kejahatan
yang
menyertainya
di
situ,
Adak
bisa
lagi
berharap
pada
kekuatan
formal
pemerintah.
Apalagi,
kekuatan
bersenjata.
C ara
itu
sudah
terbukA
gagal
di
masa
lalu.
Tapi,
Khun
C hai
tahu
betapa
rakyat
sangat
mencintai
I bu
Suri.
Senjata
inilah
yang
akan
dipergunakan
K hun
C hai.
Apalagi,
kewibawaan
I bu
Suri
pasA
di
atas
kewibawaan
raja
Thailand
yang
lagi
berkuasa
sekali
pun
-‐yang
tak
lain
anaknya
sendiri.
Maka
K hun
C hai
mengemukakan
idenya
untuk
mengubah
Golden
Triangle
dengan
menggunakan
pendekatan
baru:
merebut
haA
rakyat
yang
selama
ini
dikuasai
tentara
sindikat
K hun
Sha
dan
memenuhi
perut
mereka
yang
selama
ini
hanya
bisa
diisi
oleh
hasil
penjualan
opium.
Biaya
memang
akan
besar.
Tapi,
modal
yang
lebih
penAng
adalah
keseriusan
dan
kesungguhan
melaksanakannya.
Termasuk
keseriuan
dalam
mencari
cara-‐cara
yang
bisa
membuat
proyek
ini
berjalan
lancar.
Yang
dipilih
adalah
memanfaatkan
budaya
masyarakat.
Yakni,
budaya
menghormaA
I bu
Suri,
menghormaA
keluarga
kerajaan,
mengagungkan
angka
9,
dan
kepercayaan
Buddhanya.
K alau
mau,
sebenarnya
bisa
saja
proyek
ini
dimulai
dengan
jalan
pintas:
Atah
raja.
Yang
menentang:
sikat!
Di
masa
lalu
sudah
terbukA
kekerasan
dan
pemaksaan
untuk
menghancurkan
ladang
opium
dan
menumpas
sindikat
K hun
Sha
Adak
membawa
hasil.
Senjata
yang
akan
dipakai
K hun
Chai
cukup
satu:
I bu
Suri.
Yakni,
momentum
bahwa
Aga
tahun
lagi
I bu
Suri
akan
genap
berusia
90
tahun
dan
sejak
saat
itu
bertekad
menetap
di
D oi
Tung.
Dengan
memproklamasikan
bahwa
proyek
ini
akan
dipersembahkan
untuk
ulang
tahun
ke-‐90
I bu
Suri,
ide
besar
ini
mendapat
tanggapan
baik.
BerarA
Aga
tahun
kemudian,
1990,
sudah
harus
jadi.
(Ibu
Suri
lahir
pada
1900).
Segeralah
dibentuk
yayasan
yang
sepenuhnya
menggunakan
nama
I bu
Suri.
Bukan
nama
sebenarnya,
melainkan
nama
yang
pernah
diberikan
masyarakat
kepada
I bu
Suri:
Mae
Fah
Luang.
Mae
berarA
ibu.
Fah
berarA
langit.
L uang
berarA
kerajaan.
J adilah,
Yayasan
Mae
Fah
Luang:
I bu
K erajaan
L angit.
Rakyat
kecil
memberi
gelar
itu
kepada
I bu
Suri
sejak
30
tahun
sebelumnya.
Yakni,
sejak
I bu
Suri
berusia
40
tahun.
W aktu
itu
I bu
Suri
sedang
teDrah
di
I stana
C hiang
Mai,
dekat
perbatasan
dengan
P rovinsi
Yunnan,
Tiongkok.
Tiap
hari
dia
menghabiskan
waktu
mengunjungi
desa-‐desa
dekat
perbatasan.
L alu
bertemu
sekelompok
orang
berpakaian
tentara
yang
dengan
disiplin
menjaga
perbatasan.
I tulah
tentara
perbatasan.
D ari
pembicaraan
dengan
mereka,
diketahuilah
persoalan-‐persoalan
perbatasan
yang
khas:
termasuk
kemiskinan
masyarakat
pegunungan
yang
suatu
saat
bisa
saja
menjadi
faktor
kerawanan
perbatasan.
(Kerawanan
yang
dikhawaDrkan
seperD
itu
sudah
terjadi
di
sepanjang
perbatasan
K alimantan-‐Malaysia,
sehingga
akhirnya
batas
bergeser
20
kilometer.
Akibat
pergeseran
di
daratan
itu,
P ulau
Sipadan
dan
L igitan
menjadi
masuk
wilayah
Malaysia).
Sejak
sering
ke
perbatasan
itu
I bu
Suri
memutuskan
harus
mengunjungi
semua
desa
di
gunung-‐gunung
terpencil
di
semua
wilayah
perbatasan.
K endaraan
yang
digunakan
adalah
helikopter.
SeAap
hari
I bu
Suri
berada
di
langit
terbang
ke
sana
kemari.
P opularitas
I bu
Suri
kian
melambung
saja.
Rakyat
kian
tergila-‐gila
padanya.
Termasuk
kemudian
memberi
gelar
Mae
Fah
L uang
itu.
Dengan
nama
Yayasan
Mae
Fah
L uang,
upaya
merebut
haA
rakyat
lebih
mudah.
Apalagi,
ini
untuk
dipersembahkan
pada
ulang
tahun
sang
I bu
L angit
di
angka
yang
amat
keramat:
90.
Wujud
proyek
ini
barangkali
akan
berbeda
kalau,
misalnya,
mengusung
nama
pemerinah
atau
swasta.
Proyek
ini
juga
ditetapkan
sebanyak
90
plot
yang
melipuA
19
desa
miskin.
Tiap
plot
luasnya
99
rai.
Tiap
rai
harus
ditanami
99
pohon.
D an,
yang
terlibat
pembiayaan
proyek
ini
harus
99
instansi.
I nstansi
apa
saja?
D i
Thailand
ada
73
provinsi
(gubernur)
dan
14
kementerian.
Sudah
87.
Ada
angkatan
udara,
darat,
laut,
polisi.
Sudah
91.
Ada
organisasi
wanita
dari
angkatan
itu
empat
buah.
Sudah
95.
Ada
lembaga
terAnggi
negara
satu
buah.
Sudah
96.
Kurang
Aga
lagi.
Raja
dan
permaisuri
diikutkan.
Tinggal
kurang
satu.
“Saya
sendiri,”
ujar
I bu
Suri
saat
itu,
sebagaimana
dikisahkan
K hun
C hai.
Tiga Bulan Pertama, Bayar Upah
Harian Penggali Lubang
Jum’at,
16
J anuari
2009
Catatan
Dahlan
Iskan
tentang
Strategi
M erebut
HaP
dan
M engisi
P erut
di
Golden
Triangle
(3)
Khun
C hai
benar-‐benar
memilih
cara
yang
damai
dalam
melaksanakan
proyek
besarnya
membebaskan
warga
D oi
Tung
dari
cengkeraman
sindikat
narkoba.
D ia
Ddak
pernah
menyindir,
mencela,
apalagi
sampai
menggusur
warga
yang
masih
menanam
opium
di
pegunungan
di
kawasan
Golden
Triangle
itu.
GEMA
bahwa
I bu
Suri
Thailand
akan
merayakan
ulang
tahun
yang
ke-‐90
di
pegunungan
D oi
Tung
cepat
bergema
ke
seantero
negeri.
Termasuk
menggema
di
suku-‐suku
pegunungan
D oi
Tung,
satu
wilayah
yang
dikenal
sebagai
Golden
Triangle
dengan
opiumnya
yang
memasok
70
persen
keperluan
opium
dunia
itu.
K abar
itu
saja
sudah
menjadi
strategi
sosialisasi
kepada
suku-‐suku
penanam
opium
yang
sangat
efekAf.
J uga
sebagai
public
relaDon
yang
langsung
menjangkau
seluruh
masyarakat
Thailand.
Apalagi,
didengung-‐dengungkan
juga
bahwa
I bu
Suri
akan
Anggal
di
pegunungan
terpencil
itu
-‐bukan
sekadar
untuk
berisArahat,
tapi
akan
menghabiskan
sisa
hidunya
bersama
dan
untuk
kebahagiaan
rakyat
setempat.
P erasaan
haru,
bangga,
tersanjung
dari
masyarakat
setempat
bercampur
menjadi
satu.
D itambah
lagi
pujian
dari
I bu
Suri
bahwa
wilayah
inilah
Swiss-‐nya
Thailand.
Sebuah
pujian
yang
membuat
haA
rakyat
setempat
menggelembung
dan
semangat
mereka
menyala-‐nyala.
Dengan
strategi
sosialisasi
seperA
itu,
hilanglah
keragu-‐raguan
rakyat
setempat
bahwa
proyek
besar
itu
hanya
akan
menyengsarakan
mereka.
Terutama
keraguan
apakah
mereka
akan
digusur.
Apakah
mereka
akan
dilarang
Anggal
di
gunung-‐gunung
yang
sudah
turun-‐
temurun
menjadi
tempat
mereka
berladang
opium.
D ulu
mereka
memang
pernah
digusur
dengan
alasan
terlalu
dekat
dengan
perbatasan
yang
rawan.
Tapi,
penggusuran
itu
mengakibatkan
hidup
mereka
lebih
menderita.
Maka,
kalau
kali
ini
masih
ada
juga
tebersit
kekhawaAran
seperA
itu,
K hun
C hai
sangat
memahaminya.
Apalagi,
hukum
di
Thailand
memang
menentukan
bahwa
semua
wilayah
di
atas
keAnggian
600
meter
Adak
boleh
dihuni.
Khun
C hai
menjelaskan
kepada
mereka
bahwa
dirinya
Adak
akan
memaksakan
diterapkannya
hukum
itu.
K hun
C hai
justru
hanya
akan
menjalankan
semangat
dari
hukum
itu
sendiri:
agar
lingkungan
wilayah
pegunungan
Adak
rusak.
Bukan
dengan
jalan
meggusur
penduduknya,
melainkan
merangkulnya.
I tulah
konsep
membangun
tanpa
menggusur.
Khun
C hai
melihat
sendiri
bahwa
seluruh
wilayah
perbatasan
itu
sudah
gundul.
Baik
di
sisi
Thailand
maupun
di
sisi
Myanmar
dan
L aos.
W ilayah
seluas
150
kilometer
persegi
itu
sudah
tak
berpohon
karena
sudah
penuh
dengan
tanaman
opium.
P embabatan
hutan
terjadi
karena
tanaman
opium
memang
harus
terbuka:
Adak
boleh
ada
pohon
yang
melindungi.
Tanaman
opium
yang
baik
juga
harus
berada
di
atas
keAnggian
1.000
meter.
K ian
Anggi
kian
baik.
Maka,
pohon-‐pohon
di
wilayah
pegunungan
itu
dibabat
habis.
P adahal,
ladang
opiumnya
saja
25.000
hektare!
P antas
menjadi
pemasok
70
persen
kebutuhan
opium
dunia.
Salah
satu
program
yayasan
itu
nanA
justru
akan
menghutankan
kembali
wilayah
tersebut.
Penduduknyalah
yang
akan
melaksanakan.
P enduduk
akan
dibayar
untuk
membuat
lubang
sebanyak-‐banyaknya.
Semua
lubang
itu
sudah
harus
jadi
sebelum
musim
hujan
Aba.
J arak
antarlubang,
ukuran
lubang,
dan
wilayah
yang
dikerjakan
sudah
diplot
secara
ilmiah.
Pengawasan
dilakukan
dengan
ketat
untuk
menjamin
keberhasilan
penanamannya
nanA.
Pekerjaan
menggali
lubang
itulah
yang
membuat
mereka
kali
pertama
punya
penghasilan
di
luar
berladang
opium.
Untuk
Aga
bulan
pertama,
penduduk
dibayar
seAap
hari.
”Kalau
dibayar
bulanan,
bisa-‐bisa
untuk
beli
beras
hari
ini
dia
harus
berutang
kepada
juragan
opium,”
ujar
K hun
C hai.
”Mata
rantai
dengan
juragan
opium
juga
harus
putus
tanpa
terasa
harus
memutuskannya,”
tambahnya.
Tiba-‐Aba
saja
mulai
hari
itu
petani
opium
Adak
harus
lagi
berutang
kepada
mereka.
Dengan
sistem
itu,
mereka
pun
Adak
perlu
lagi
berpikir
dari
mana
mendapatkan
uang
untuk
membeli
beras
besok
pagi.
Mereka
sibuk
menggali
lubang.
H asilnya
langsung
bisa
dinikmaA.
Mereka
lupa
menanam
opium.
P roses
itu
berlangsung
secara
alamiah
tanpa
sedikit
pun
ada
kampanye
anAopium
atau,
misalnya,
pasang
spanduk
say
no
to
drug.
”Kami
Adak
pernah
mengemukakan
bahwa
program
ini
untuk
memberantas
opium,”
ujar
K hun
C hai.
Waktu
program
”pembangunan
alternaAf”
ini
mulai
dilaksanakan,
sebenarnya
masih
ada
juga
yang
menanam
opium.
K hun
C hai
Adak
mempersoalkan,
Adak
menyindir.
Mencela
pun
Adak.
Apalagi
mengharam-‐haramkan
atau
mendosa-‐dosakan.
Yayasan
juga
mengajak
dan
bersama-‐sama
istri
serta
anak
mereka
untuk
bertanam
sayur
dan
holAkultura.
L alu,
ditentukanlah
di
wilayah
mana
mereka
boleh
menanam.
P rogram
itu
dimaksudkan
agar
Aga
bulan
kemudian
mereka
mulai
punya
sumber
makanan
sendiri.
K alau
sumber
sebagian
makanan
itu
sudah
tersedia,
pembayaran
penghutanan
wilayah
itu
Adak
akan
dilakukan
Aap
hari
lagi.
I tu
dilakukan
untuk
mendidik
mereka
ke
arah
hidup
mandiri.
Tidak
diajari
menjadi
orang
yang
terus
bergantung
kepada
program
yayasan.
Karena
itu,
kalau
upah
harian
menggali
lubang
tersebut
semula
habis
untuk
membeli
bahan
makanan,
sejak
mereka
punya
sayur
dan
holAkultura
sendiri
mulailah
bisa
menabung
sedikit.
Dengan
demikian,
persoalan
jangka
pendek
dan
menengah
teratasi.
Tinggal
memikirkan
kehidupan
jangka
panjang
mereka
agar
Adak
ada
lagi
pikiran
bahwa
suatu
saat
kelak
akan
kembali
ke
opium.
Program
jangka
panjang
itulah
yang
dikaitkan
dengan
proyek
penghutanan
kembali
Golden
Triangle.
Semula,
sesuai
dengan
program
D epartemen
K ehutanan,
lubang-‐lubang
tersebut
ditanami
pinus.
D i
mana-‐mana,
termasuk
di
I ndonesia
dan
Tiongkok,
memang
begitu:
penghutanan
kembali
idenAk
dengan
pinusisasi.
I tu
kelihatannya
hanya
ikut
apa
yang
diinstruksikan
konsultan
mereka
dari
Eropa.
D i
Eropa
menanam
pinus
memang
baik
karena
faktor
salju
dan
rakyatnya
sudah
sejahtera.
Tapi
K hun
C hai
kemudian
berpikir
lain:
menanam
pinus
itu
salah.
Tidak
bisa
menjadi
sumber
penghidupan
rakyat
dan
menyerap
air
terlalu
banyak.
P adahal,
K hun
C hai
ingin
rakyat
bisa
hidup
dari
hutan
itu
nanA.
J uga
bisa
menghemat
sumber
air
yang
demikian
langka.
(Pikiran
seperD
itu,
kelak
keDka
K hun
C hai
diminta
untuk
menangani
proyek
serupa
di
Afghanistan,
diterapkan
dengan
cara
yang
unik.
I kuD
seri-‐seri
selanjutnya
tulisan
ini)
Khun
C hai
langsung
mengganA
pohon
pinus
itu
dengan
tanaman
produkAf.
D ia
memilih
tanaman
yang
fungsi
penghutanannya
sama,
tapi
bisa
menjadi
sumber
konAnu
bagi
kehidupan
rakyat
setempat.
D ia
putuskan
untuk
menanam
macadamia
yang
buahnya
bisa
dijual
mahal
itu.
Memang,
pilihan
ini
semula
dianggap
kurang
realisAs.
Asia
Tenggara
bukanlah
penghasil
macadamia.
D an
lagi,
ini
bukan
jenis
pohon
Asia.
D ari
mana
mendapatkan
bibitnya?
”Didatangkan
dari
Australia?”
jawab
K hun
C hai.
Tentu
setelah
dilakukan
penyedilikan
akan
tanahnya
yang
mendetail.
L alu,
diadakan
riset
untuk
membuat
macadamia
itu
nanA
bisa
menghasilkan
uah
yang
lebih
baik
dari
di
negara
asalnya.
Karena
itu,
didatangkanlah
satu
kontainer
bibit
macadamia.
I bu
Suri
yang
melakukan
penanaman
pertama
pada
30
Mei
1989.
(*)
Produk
holAkultura
pengganA
opium
mulai
membuahkan
hasil.
Agar
bisa
bertahan
dan
menguat
di
pasar,
K un
C hai
mempunyai
cara
kreaAf
bagaimana
memasarkan
produk-‐produk
Doi
Tung.
KINI
sebagian
wilayah
D oi
Tung
yang
dikenal
sebagai
pusat
ladang
opium
dunia
sudah
menjadi
hutan
macadamia.
Banyak
yang
sudah
berbuah
pula.
P ohonnya
memang
sudah
Anggi-‐Anggi
dan
dari
kejauhan
pun
pegunungan
itu
terlihat
seperA
hutan.
Bukan
hutan
pinus,
tapi
hutan
macadamia!
Terdapat
200.000
pohon
macadamia
di
D oi
Tung.
Tiap
pohon
akan
menghasilkan
40
kg
kacang
macadamia.
Tahun
lalu
saja,
meski
baru
sebagian
yang
berbuah,
tanaman
itu
sudah
menghasilkan
380
ton.
Sudah
bisa
mulai
menjadi
sumber
kehidupan
yang
konAnu
bagi
masyarakat
setempat.
Bahkan,
di
situ
sudah
mendirikan
pabrik
pemrosesan,
pengolahan,
dan
pengemasan
kacang
macadamia.
Selain
untuk
mendapatkan
nilai
tambah,
itu
untuk
menampung
tenaga
kerja
setempat.
Mereka
bikin
snack
macadamia
berbagai
rasa:
asin,
bawang,
rasa
rumput
laut,
wasabi,
dan
banyak
lagi.
Baru
di
sini
saya
makan
macadamia
rasa
wasabi.
Mereka
memang
terus
menciptakan
jenis
tanaman,
jenis
industri
makanan,
jenis
kemasan,
dan
resep
mereka
sendiri.
Makanan
Thailand
memang
sudah
menjadi
salah
satu
senjata
unggulan
bagi
promosi
negeri
itu
di
seluruh
dunia.
Tidak
semua
lahan
ditanami
macadamia.
K awasan
tersebut
terlalu
luas.
Beberapa
plot
lainnya
ditanami
kopi.
K ebun
kopinya
sudah
seluas
820
ha.
J uga
sudah
jadi.
Sudah
2
juta
pohon
berbuah.
Uniknya,
kebun
kopi
itu
Adak
dikelola
seperA
perkebunan
kopi
pada
umumnya
bahwa
rakyat
setempat
sebagai
buruh
pemeAk
kopi.
D i
D oi
Tung,
rakyat
Adak
sekadar
menjadi
buruh.
Rakyat
menjadi
pemilik:
pemilik
pohonnya
saja,
bukan
sekalian
dengan
tanahnya.
Yayasan
Ibu
Suri
memang
memilih
strategi
menyewakan
pohon-‐pohon
kopi
itu
kepada
petani.
Tentu
dengan
uang
sewa
yang
bukan
saja
terjangkau,
tapi
begitu
murahnya
sehingga
saya
lihat
sewa-‐menyewa
itu
hanya
sebagai
”ijab
kabul”
bahwa
sejak
hari
itu
pohon-‐pohon
tersebut
telah
menjadi
milik
mereka.
Sejak
sistem
persewaan
pohon
itu
dijalankan,
produkAvitas
dan
kualitas
kopinya
naik
drasAs.
”Petani
merasa
kopi
itu
milik
mereka
sendiri,”
ujar
K hun
C hai
di
hadapan
delegasi
dari
Indonesia.
D i
dalam
delegasi
ini,
selain
dari
Badan
NarkoAka
Nasional
(BNN)
dipimpin
Komjen
P ol
Gories
Mere
dan
dari
Am
Artha
Graha
P eduli
yang
dipimpin
sendiri
oleh
Tomy
Winata,
ada
Brigjen
P ol
Surya
D arma
dan
K ol
Tomy
Sugiman
dari
Satgas
AnAteror.
D i
luar
tugasnya
sebagai
pemberantas
teroris,
Brigjen
Surya
D arma
saya
lihat
sangat
gelisah
untuk
bisa
menemukan
pemikiran
dan
cara-‐cara
baru
mengatasi
terorisme
dengan
jalan
yang
Adak
seperA
dilakukan
Amerika.
Bagaimana
penyewaan
pohon
kopi
itu
bisa
meningkatkan
produkAvitas
dan
kualitas?
”Kalau
petani
hanya
disuruh
bekerja
memeAk
kopi,
pasA
kopi
yang
baru
kelihatan
agak
merah
sudah
ikut
mereka
peAk.
Tapi,
dengan
memiliki
sendiri,
petani
benar-‐benar
hanya
memeAk
kopi
yang
sudah
merah
masak,”
ujar
K hun
C hai.
D engan
demikian,
kopi
yang
diolah
kelak
benar-‐
benar
hanya
kopi
yang
memang
sudah
masak.
L ogika
itu
dia
samakan
dengan
kopi
luwak
di
Indonesia.
”Luwak
kan
hanya
mau
makan
kopi
yang
sudah
masak
di
pohon,”
ujar
K hun
C hai
yang
ternyata
bisa
mengucapkan
kata
”luwak”
dengan
nada
yang
sempurna.
”Kalau
luwak
sudah
brrruuumm,
biji
kopi
yang
keluar
dari
sininya
memang
biji
kopi
yang
terpilih,”
katanya
sambil
menudingkan
jarinya
ke
pantatnya
dan
merendahkan
pantatnya
memeragakan
bagaimana
luwak
buang
kotoran.
Dengan
kiat
itu,
secara
berseloroh
K hun
C hai
berani
bertaruh
bahwa
dalam
waktu
dekat
kopi
terbaik
di
Asia
akan
datang
dari
D oi
Tung.
”Bukan
lagi
dari
I ndonesia,”
katanya.
”Kami
punya
ribuan
luwak
di
sini,”
guraunya.
Sistem
penyewaan
pohon
itu,
kata
K hun
C hai,
berhasil
menaikkan
kualitas
kopi
sampai
Aga
kali
dari
sebelumnya.
Sedangkan
produkAvitasnya
bisa
naik
dua
kali
lipat.
Upaya
menyejahterakan
petani
kopi
belum
berhenA
di
sini.
K hun
C hai
Adak
mau
kalau
rakyat
menjual
kopi
mentah.
P etani
harus
memprosesnya
dan
bahkan
mengolahnya.
”Harga
kopi
mentah
cuma
0,5
dolar
per
kg.
K alau
sudah
dikeringkan,
harganya
langsung
naik
menjadi
2
dolar
per
kg.
D an,
kalau
sudah
dibuat
bubuk
yang
dijual
dalam
kaleng,
bisa
mencapai
20
dolar
per
kg,”
ujar
K hun
C hai.
”Karena
itu,
kami
membuat
pabrik
kopi
agar
bisa
menjual
kopi
dalam
bentuk
sudah
jadi
bubuk,”
tambahnya.
Mereknya
juga
D oi
Tung.
K opi
Doi
Tung
akan
dipromosikan
secara
besar-‐besaran
sebagai
kopi
luwak
Thailand.
Langkah
berikutnya
adalah
mendirikan
dan
memperluas
kafe
”Kopi
D oi
Tung”,
semacam
Starbucks.
”Kopi,
kalau
sudah
di
kafe,
bisa
laku
100
dolar
per
kg.
Bandingkan
dengan
hanya
0,5
atau
2
dolar
per
kg
di
tangan
petani,”
tegasnya.
K hun
C hai
bertekad,
dengan
melakukan
penjagaan
atas
kualitas
yang
keras,
bisa
menjadikan
kopi
D oi
Tung
mengalahkan
kopi
apa
pun
yang
menguasai
kafe
saat
ini.
Termasuk
di
Starbucks
sekalipun.
Macadamia
D oi
Tung,
kopi
D oi
Tung,
dan
sayur
bebas
kimia
D oi
Tung
belum
cukup.
Masih
ada
perkebunan
teh
yang
juga
dikelola
dan
diolah
dengan
pemikiran
yang
sama.
J adilah
teh
Doi
Tung.
Di
samping
untuk
memasok
supermarket
dan
dimakan
sendiri,
diapakan
hasil
holAkultura
yang
kini
sudah
total
mengganAkan
ladang
opium
di
Golden
Triangle
itu?
J uga
harus
dibuat
snack.
Maka,
snack
yang
di
dalamnya
berisi
campuran
irisan
wortel,
menAmun,
pisang,
apel,
dan
entah
apa
lagi
diciptakan.
Rasanya
rame.
MenAmun
pun
dalam
bentuk
snack
ternyata
gurih
juga.
Khun
C hai
Adak
mau
produk-‐produk
serba-‐Doi
Tung
ini
masuk
begitu
saja
ke
supermarket
atau
toko
biasa.
Sebagai
produk
baru,
dia
melihat
merek-‐merek
D oi
Tung
akan
langsung
tenggelam
kalau
harus
dipersaingkan
dengan
produk-‐produk
lama
yang
sudah
berjaya
di
pasar.
D oi
Tung
lantas
mendirikan
toko-‐toko
D oi
Tung.
D i
kawasan
D oi
Tung
sendiri
maupun
di
Bangkok.
”Di
Bangkok
kami
sudah
punya
lima
toko
D oi
Tung.
D an,
masih
akan
tambah
terus,”
ujar
K hun
C hai.
Toko-‐toko
D oi
Tung
selalu
khas:
ada
satu
seksi
yang
menjual
produk-‐produk
industri
makanan
D oi
Tung,
ada
satu
seksi
berupa
kafe
D oi
Tung,
ada
satu
seksi
menjual
bibit
tanaman
dan
bunga
D oi
Tung,
lalu
ada
satu
seksi
lagi
menjual
hasil
kerajinan
tangan
D oi
Tung.
Doi
Tung
punya
nilai
tambah
untuk
bahan
promosinya.
D i
semua
kemasan
produk
D oi
Tung
ditempelkan
pernyataan
dari
U NESCO
bahwa
produk
ini
telah
berjasa
dalam
memberantas
opium
dan
menghutankan
kawasan
pegunungan.
L alu,
ada
lambang
P erserikatan
Bangsa-‐
Bangsanya
di
atasnya.
Kini
opium
sudah
menjadi
masa
lalu
yang
jauh
di
golden
triangle.
Apalagi,
pemerintah
Myanmar
juga
meminta
agar
K hun
C hai
menangani
yang
di
sisi
Myanmar.
D ulu,
perbatasan
Thai-‐Myanmar
itu
Adak
jelas.
H anya
sama-‐sama
berupa
gunung
gundul
yang
gersang.
K ini
perbatasan
itu
amat
jelas:
yang
rimbun
hijau
itu
adalah
wilayah
Thailand.
Sedangkan
yang
masih
gundul
adalah
wilayah
Myanmar.
I tu
mirip
dengan
bagaimana
cara
membedakan
wilayah
I ndonesia
dan
Malaysia
di
P ulau
SebaAk,
yang
terbagi
dua
di
bagian
utara
K alAm
itu.
Yang
terlihat
hijau,
tertata
rapi,
dan
menyenangkan
itu
adalah
wilayah
Malaysia
dengan
tanaman
kelapa
sawitnya
yang
subur.
Sisi
yang
berbeda
adalah
wilayah
I ndonesia.
(*)
Setiap Tiga Bulan, Ganti Ratusan Ribu
Tanaman Bunga
Minggu,
18
J anuari
2009
Catatan
Dahlan
Iskan
tentang
Strategi
M erebut
HaP
dan
M engisi
P erut
di
Golden
Triangle
(5)
Menanam
opium
jauh
lebih
mudah
dibanding
menanam
teh
atau
tanaman
horAkultura
lain.
Tetapi,
kerja
keras
ternyata
memang
mendatangkan
kesejahteraan,
tak
seperA
dulu
keAka
masih
berladang
tanaman
narkoba
itu.
RAKYAT
sendiri
sebenarnya
mengaku
menanam
opium
Adak
pernah
bisa
membuat
mereka
hidup
layak.
Tidak
hanya
di
Golden
Triangle
ini,
tapi
juga
di
mana
pun
di
dunia
ini.
BukAnya,
Adak
ada
petani
opium
yang
hidupnya
sejahtera.
Termasuk
di
Afghanistan
yang
sekarang
prakAs
sudah
mengganAkan
peranan
Golden
Triangle
sebagai
pemasok
opium
dunia.
Yang
sejahtera
hanyalah
pedagangnya,
sindikatnya,
dan
beking-‐bekingnya.
“Ini
kan
pekerjaan
turun-‐temurun.
H anya
menanam
opiumlah
yang
kami
tahu
dan
kami
bisa,”
ujar
C hakree,
54,
mantan
petani
opium
di
Golden
Triangle.
H ari
itu,
dengan
kendaraan
khusus,
kami
memang
naik
ke
gunung
yang
paling
Anggi
di
situ.
I nilah
wilayah
terbaik
untuk
menanam
opium:
keAnggiannya
1.500
meter,
dekat
perbatasan
dan
jauh
dari
pengawasan.
(KeAka
menunggu
operasi
ganA
haA
di
rumah
sakit
Tianjin
dulu,
saya
bertemu
orang
Shenyang,
yang
bercerita
setelah
Aga
tahun
ganA
haA
sudah
bisa
naik
gunung.
Saya
kagum
dan
Adak
membayangkan
orang
yang
sudah
ganA
haA
masih
bisa
melakukan
itu.
K ini,
saya
yang
baru
1,5
tahun
ganA
haA,
ternyata
juga
sudah
bisa
ke
Golden
Triangle).
Kami
juga
ke
gunung
lainnya
lagi,
tempat
para
petani
menanam
teh.
”Sekarang
saya
pedagang
teh
dan
mengelola
pabrik
teh
ini,”
ujar
Mananchai.
“Dulu
saya
memang
bukan
petani
opium,
tapi
pengepul.
L alu
menjualnya
ke
pabrik
di
sana,”
ujar
Mananchai
sambil
menunjuk
ke
arah
gunung
yang
sudah
masuk
wilayah
Myanmar.
Semua
pabrik
pengolahan
candu
memang
berada
di
gunung
sana
itu,
meski
penduduk
setempat
umumnya
Adak
tahu
kalau
itu
sudah
wilayah
negara
lain.
Maklum,
ratusan
tahun
wilayah
ini
(sebagian
Thailand,
sebagian
Myanmar,
dan
sebagian
lagi
L aos)
memang
sudah
seperA
satu
”negara”
sendiri,
berada
di
bawah
kekuasaan
sindikat
K hun
Sa
(bukan
K hun
Sha
seperA
tulisan
sebelumnya,
Red),
jauh
dari
jangkauan
masing-‐masing
pemerintahnya.
Ke
gunung
yang
lain
lagi
kami
menemui
petani
yang
wilayahnya
sekarang
jadi
kawasan
penanaman
bunga.
K alau
di
kawasan
teh
ada
pabrik
tehnya,
di
kawasan
macadamia
ada
pabrik
pengolahan
macadamianya,
di
kawasan
pertanian
bunga
ada
pusat
rekreasi
berbasis
taman
bunga.
K e
sinilah
terbanyak
wisatawan
mengunjungi
D oi
Tung.
Taman
yang
luas
dan
ditata
menarik
ini
memang
penuh
dengan
aneka
bunga.
Musim
apa
pun
orang
ke
situ,
akan
selalu
penuh
bunga.
”SeAap
Aga
bulan
kami
mengganA
seluruh
bunga
di
taman
ini,
di
sesuaikan
dengan
bunga
apa
saja
yang
mekar
di
saat
itu,”
ujar
petani
bunga
di
situ.
MengganA
ratusan
ribu
tanaman
bunga
itu
seAap
Aga
bulan?
“Ya!
K arena
itu
para
petani
bunga
pun
terus
sibuk
sepanjang
tahun.
W isatawan
juga
selalu
mendapatkan
kebun
yang
penuh
bunga,
kapan
pun
mereka
ke
sini,”
tambahnya.
Obrolan
kami
dengan
Mananchai
bisa
lebih
detail
karena
dia
bisa
berbahasa
Mandarin.
“Nama
Mandarin
saya
L i
K e
Yuan.
L eluhur
saya
dari
P rovinsi
Yunnan,”
ujarnya.
D i
desanya
itu,
sejak
dulu
sudah
ada
sekolah
yang
berbahasa
Mandarin.
Yunnan
memang
Adak
jauh
dari
situ.
” Gunung
yang
sana
itu
sudah
masuk
Yunnan,”
katanya.
Melihat
kulit,
wajah,
mata,
hidung,
dan
sosok
L i
K e
Yuan
ini,
saya
pun
kembali
ingat
akan
pendapat
ahli
bahwa
orang
Indonesia
berasal
dari
Yunnan.
Memang
kawasan
ini
dilewaA
Sungai
Mekong
yang
hulunya
berada
di
P rovinsi
Tiongkok
itu.
Sungai
ini
sangat
lebar,
cukup
untuk
lalu
lintas
kapal.
Bahkan,
di
kawasan
Golden
Triangle
ini,
yang
letaknya
di
pegunungan
yang
jauh
dari
laut,
terdapat
pelabuhan
internasional.
Disebut
”internasional”
karena
kapal-‐kapal
itu
mondar-‐mandir
di
sungai
yang
entah
milik
siapa.
K omunitas
di
sepanjang
sungai
ini
pun,
dulu,
juga
Adak
tahu
apakah
mereka
orang
Yunnan,
Myarmar,
Thailand,
atau
L aos.
Mereka
terdiri
atas
suku-‐suku
pegunungan
yang
kalau
di
I ndonesia
disebut
suku
terasing
yang
Adak
mengenal
batas.
D i
D oi
Tung
ini
saja,
terdapat
tujuh
suku
pegunungan,
dengan
tujuh
bahasa
yang
berbeda.
”Harus
kami
akui
kehidupan
kami
sekarang
jauh
lebih
baik
daripada
saat
jadi
petani
opium,”
ujar
C hakree.
”Tapi,
kami
juga
harus
bekerja
lebih
keras
dan
terus
berpikir
bagaimana
hasil
pertanian
kami
lebih
baik,”
tambahnya.
Sedangkan
saat
menanam
opium
dulu
sangat
mudah.
Satu
buah
opium
yang
Adak
sampai
sebesar
bola
tenis
itu,
berisi
ribuan
biji
yang
bisa
ditabur
begitu
saja.
L alu
biji-‐biji
itu
akan
tumbuh
sendiri
tanpa
harus
dipupuk,
dirawat,
dan
disiangi.
Setelah
dua
bulan,
tumbuhan
sudah
seAnggi
satu
meter,
lalu
berbunga
tunggal
di
ujungnya.
Setelah
bunga
mekar
dan
kelopak-‐kelopaknya
jatuh,
biji
hijau
yang
ditengah-‐
tengah
buah
itu
membesar.
Setelah
tua,
atau
Aga
bulan
setelah
penanaman,
barulah
ada
pekerjaan:
memanen.
C aranya:
buah
itu
digores-‐gores
dengan
alat
peluka.
D ari
kulit
buah
itu
akan
keluar
”getah”,
mengalir
pelan-‐pelan,
Adak
sampai
menetes
dan
mengental
menempel
di
buah
itu.
D elapan
jam
kemudian,
”getah”
tadi
siap
untuk
diambili.
SeAap
buah
menghasilkan
getah
sekitar
2
gram
saja.
Seorang
petani
seAap
hari
bisa
mengumpulkan
getah
hanya
sekitar
0,5
kg
dan
membungkusnya
dengan
kain
belacu
seperA
membungkus
bata.
Orang
seperA
L i
K e
Yuang
membelinya
dari
para
petani
yang
sebenarnya
juga
sudah
banyak
berutang
uang
muka
darinya.
Di
pabrik,
bungkusan
itu
dirobek
dan
tanpa
membuang
bungkusnya
langsung
dimasukkan
wajan
yang
airnya
sudah
mendidih.
K eAka
getah
sudah
larut
jadi
air,
dilakukan
penyaringan
dengan
cara
dituangkan
di
ember
yang
permukaannya
diberi
saringan
kain.
Air
getah
satu
ember
ini
terus
direbus
sampai
agak
mengental.
L alu
dimasukkan
kaleng
untuk
dijual
sebagai
candu
ke
pedagang
besar.
Barang
ini
bisa
dijual
begitu
saja
sebagai
candu,
bisa
diolah
lagi
di
pabrik
heroin,
agar
kegilaannya
naik
10
kali
lipat.
L alu
masih
bisa
diolah
lagi
untuk
meningkatkan
lagi
kelipatannya.
J uga
kelipatan
keuntungannya.
Kini
yang
dipikirkan,
kelipatan
itu
yang
juga
diajarkan
kepada
petani.
Misalnya,
bagaimana
petani
bambu
jangan
hanya
menjual
bambu
ke
kota,
tapi
menjadikannya
untuk
pipa-‐pipa
air
yang
akan
membawa
air
dari
gunung
di
atas
ke
lahan
yang
lebih
rendah.
L alu
pipa-‐pipa
itu
bisa
menggerojokkan
air
untuk
turbin-‐turbin
mini
yang
masing-‐masing
bisa
menghasilkan
listrik
cukup
untuk
delapan
bola
lampu.
Setelah
dipakai
turbin,
baru
airnya
untuk
rumah-‐
rumah:
masak,
mandi,
cuci.
J uga
untuk
minum
ternak
dan
memandikannya.
D ari
sini
air
baru
boleh
untuk
mengairi
wortel,
kentang,
kacang
panjang,
keAmun
dan
seterusnya.
Tanaman
harus
dipupuk
dengan
kotoran
ternak
yang
diminumi
tadi.
H asil
tanaman
itu
juga
Adak
boleh
dijual
begitu
saja
semuanya.
H arus
ada
yang
diiris-‐iris,
dikeringkan,
digoreng,
dan
diproses
jadi
snack
untuk
masuk
ke
toko-‐toko.
Suku
pegunungan
itu
pun
kini
sudah
berpikir
dan
menjalankan
prakAk
ekonomi
seperA
itu.
Tidak
perlu
membeli
pipa
P VC
ke
kota.
Tidak
perlu
bayar
listrik.
Tidak
perlu
beli
pupuk.
Tidak
perlu
banyak
pengeluaran.
Yang
harus
banyak
adalah
pemasukan.
D an
orang
seperA
L i
K e
Yuan
kemudian
bisa
menyekolahkan
anaknya
ke
Taiwan
dan
kini
bekerja
di
Taipei.
Semua
itu
Adak
akan
tercapai
kalau
saja
K hun
C hai
gagal
merebut
haA
rakyat
dan
mengisi
perut
mereka.
K arena
itu,
sejak
awal
Adak
ada
kata-‐kata
dan
program
yang
menyalahkan
rakyat
sama
sekali.
K eAka
bulan-‐bulan
pertama
mereka
masih
menebang
pohon
untuk
kayu
bakar
pun
Adak
dilarang.
Baru
periode
berikutnya
mulai
disepakaA
bahwa
untuk
kayu
bakar
hanya
boleh
mengambil
dahan
dan
ranAngnya,
tapi
jangan
menebang
pohonnya.
Namun,
setelah
mereka
mulai
percaya,
dan
keAka
ladang
sayur
mereka
sudah
menghasilkan
serta
bayaran
mereka
dari
kerja
membuat
hutan
bisa
lebih
dihemat,
mereka
diharuskan
membeli
kompor
dua
sumbu
dengan
bahan
bakar
elpiji.
K ini,
meski
Adak
dilarang,
ranAng
pun
sudah
Adak
ada
yang
dipotong.
Hanya
dalam
dua
tahun
setelah
sistem
pembangunan
alternaAf
ini
berjalan,
Adak
satu
pun
petani
di
kawasan
Golden
Triangle
yang
masih
menanam
opium.
P edagang
pun
hilang
dengan
sendirinya.
P abrik-‐pabrik
pengolahan
opium
yang
dulu
berjajar
di
sepanjang
perbatasan
pun
tutup.
Senjata-‐senjata
gelap
Adak
laku
lagi.
P asar
gelap
yang
di
bawah
pohon
besar
itu
juga
hilang.
Raja
sindikat
K hun
Sa
menyingkir
ke
Myanmar
dengan
meninggalkan
30.000
pucuk
senjata,
ditangkap
di
sana
dan
belum
lama
berselang
meninggal
dunia.
Sindikat
K hun
Sa
begitu
hebatnya
sehingga
K hun
Sa
sendiri
menjadi
legenda
besar.
Ironisnya,
meskipun
namanya
berarA
”pangeran
kemakmuran”,
malah
banyak
membawa
susah
warga
setempat.
Tapi,
kebencian
kepada
K hun
Sa
Adak
harus
dibawa-‐bawa
selamanya.
Bahkan,
Thailand
memanfaatkannya
untuk
objek
pariwisata.
K amp
K hun
Sa
di
D oi
Tung
dipertahankan.
Tidak
dihinakan
apalagi
dihancurkan.
K amp
itu
dirawat,
diperbaiki,
dan
sekalian
dijadikan
museum
K hun
Sa.
Bahkan,
di
depan
museum
K hun
Sa
itu
kini
berdiri
patung
K hun
Sa
sedang
menunggang
kuda
dengan
gagahnya
dengan
pistol
di
pinggang.
Rombongan
dari
I ndonesia
semula
mengira
patung
itu
adalah
seorang
pahlawan,
minimal
panglima
yang
menghancurkan
sindikat
K hun
Sa
-‐maklum
sudah
terbiasa
melihat
hanya
pahlawanlah
yang
bisa
dipatungkan.
Kini,
Golden
Triangle
Anggal
cerita-‐cerita
yang
seru
untuk
daya
tarik
wisatawan
yang
terkagum-‐kagum
legenda
sumber
opium
terbesar
di
dunia
itu.
H utan
tercipta
kembali,
sumber
air
terjamin,
ancaman
banjir
dan
longsor
hilang,
kebun
produkAf
tumbuh
subur,
industri
pengolahan
berjalan,
pariwisata
hidup.
(*)
Bank Kambing untuk Wilayah
Golden Crescent
Senin,
19
J anuari
2009
Catatan
Dahlan
Iskan
tentang
Strategi
M erebut
HaP
dan
M engisi
P erut
di
Golden
Triangle
(6-‐Habis)
Kesuksesan
melenyapkan
opium
dari
Golden
Triangle
membuat
K hun
C hai
semakin
menarik
perhaAan
P BB.
K erja
besar
berikutnya
menanA,
yakni
mengikis
opium
dari
Afghanistan.
Khun
C hai
menjawab
tantangan
itu.
K ali
ini
tanpa
I bu
Suri.
SETELAH
pegunungan
D oi
Tung
di
Golden
Triangle
Adak
lagi
menghasilkan
opium
sama
sekali,
dari
mana
dunia
mendapatkannya
saat
ini?
P eranan
itu
diambil
alih
Afghanistan.
K ini
Afghanistan
juga
diberi
gelar
Golden
C rescent
(bulan
sabit
emas)
sebagai
pengganA
Golden
Triangle
(segiAga
emas).
Afghanistan
kini
sudah
memasok
90
persen
opium
dunia.
Selebihnya
dengan
jumlah
berimbang
dari
Myanmar
dan
Amerika
Tengah/Selatan.
Perkebunan
opium
di
Afghanistan
pernah
hampir
setengah
juta
hektare
(seluas
P ulau
Madura).
P roduksinya
lebih
dari
6
ribu
ton.
Nilainya
sekitar
U SD
2,6
miliar
(Rp
28,6
triliun)
atau
seperAga
G DP
Afghanistan.
Sebagian
besar
opium
itu
ditanam
di
P rovinsi
H elmand,
provinsi
terbesar
di
antara
34
provinsi
di
negeri
ricuh
itu.
L etak
provinsi
ini
di
perbatasan
dengan
P akistan,
tepatnya
berbatasan
dengan
P rovinsi
Baluchistan.
Kisah
sukses
K hun
C hai
menangani
pegunungan
D oi
Tung
membuat
P BB
juga
menghendaki
agar
opium
di
Afghanistan,
khususnya
di
P rovinsi
H elmand,
bisa
dilenyapkan
dengan
cara
yang
sama.
Maka,
keAka
diminta
menerapkan
model
pembangunan
alternaAf
ala
D oi
Tung
di
Afghanistan,
K hun
C hai
merasa
tertantang.
Meski
sama-‐sama
wilayah
konflik,
Afghanistan
lebih
gawat.
J uga
melibatkan
negara
adikuasa
dengan
senjata
pemusnahnya.
”Saya
harus
belajar
banyak
dari
orang
Afghanistan,
mengunjungi
mereka
berkali-‐kali
dan
berpikir
keras
jalan
apa
yang
bisa
dilakukan,”
ujar
K hun
C hai.
Soal
risiko,
dia
Adak
takut
sama
sekali.
Toh,
keAka
menerapkan
konsepnya
di
D oi
Tung
dulu,
dia
juga
harus
bersinggungan
dengan
keganasan
sindikat
narkoAka
internasional.
Khun
C hai
menemukan
dua
jalan:
peternakan
dan
pertanian
horAkultura.
K eAka
melakukan
survei
ke
sana,
dia
melihat
orang-‐orang
kaya
di
pedesaan
memiliki
banyak
domba.
Mereka
biasa
mempekerjakan
anak-‐anak
miskin
untuk
menggembalakannya.
K hun
C hai
melihat
Angkat
kemaAan
kambing
di
Afghanistan
mencapai
10
persen.
Tidak
termasuk
yang
kena
bom
nyasar.
I tu
murni
akibat
penyakit.
Di
sini
K hun
C hai
melihat
peluang
baru:
mendirikan
bank
kambing.
Orang-‐orang
kaya
itu
diminta
”mendepositokan”
kambing
mereka
di
bank
kambing
ini.
Mereka
juga
diberi
”bunga”
berupa
pertumbuhan
kambing
mereka
yang
meningkat.
Bank
kambing
hanya
minta
jasa
10
persen
dari
pengembangan
itu.
Sebagaimana
di
D oi
Tung,
Thailand,
ini
juga
memerlukan
Angkat
kepercayaan
yang
Anggi
di
awal-‐awalnya.
Mana
ada
orang
menyerahkan
ratusan
kambingnya
ke
orang
lain?
Khun
C hai
Adak
kurang
akal.
Mula-‐mula
Amnya
hanya
memberi
jasa
graAs
kepada
para
pemilik
kambing.
Yakni,
mengobaA
kambing-‐kambing
mereka
yang
sakit.
”Kalau
kami
mengawali
di
D oi
Tung
dengan
memberikan
pengobatan
graAs
kepada
manusia,
di
Afghanistan
kami
memberikan
pengobatan
graAs
kepada
kambing,”
ujar
K hun
C hai
berseloroh.
Khun
C hai
memang
percaya
untuk
bisa
bekerja
baik,
orang
harus
sehat
dulu.
D emikian
juga
kambing.
Maka
urutan
prioritasnya
selalu
bikin
sehat
dulu,
lalu
diminta
bekerja.
Setelah
itu,
baru
diminta
sekolah.
Akhirnya
K hun
C hai
berhasil
merebut
haA
rakyat
Afghanistan.
Maka,
keAka
K hun
C hai
memasyarakatkan
program
bank
kambing,
orang
mulai
percaya.
D alam
waktu
singkat
bank
kambing
itu
bisa
mengumpulkan
3.000
kambing.
Ribuan
kambing
itu
lantas
ditempatkan
di
satu
ladang
penggembalaan
yang
dikelola
K hun
Chai.
K ambing-‐kambing
yang
sakit
dia
kumpulkan
di
kandang-‐kandang
terpisah
sesuai
jenis
penyakitnya.
Mereka
ini
dia
perlakukan
seperA
nasabah
yang
terlibat
kredit
macet:
diberi
pengobatan
dan
penyehatan.
Ratusan
anak
muda
dipekerjakan
di
sini.
”Mereka
memang
sudah
berpengalaman
menggembala
kambing.
H anya
kali
ini
lebih
profesional,”
katanya.
Kabar
adanya
bank
kambing
itu
kian
meluas.
Manfaatnya
juga
kian
dirasakan.
Maka,
kian
banyak
orang
yang
menyerahkan
kambing
ke
bank
kambing
itu.
”Sekarang
sudah
terkumpul
30.000
kambing,”
ujar
K hun
C hai.
K alau
semuanya
lancar,
K hun
C hai
akan
terus
mengembangkannya
seperA
di
D oi
Tung:
kambing
itu
akan
diproses
lebih
jauh.
D agingnya
jadi
daging
olahan,
susunya
akan
dikembangkan
ke
pembuatan
yogurt,
keju,
dan
seterusnya.
Pemilik
kambing
cukup
mencatat
kepemilikannya
di
buku
aset
mereka
tanpa
harus
punya
kandang
dan
tanpa
harus
repot-‐repot
menggembalakannya
sendiri.
Sedangkan
dampak
sosialnya,
kambing
mereka
menjadi
sumber
kehidupan
ratusan
penganggur.
Bahkan,
karena
proyek
ini
nonprofit,
sebagian
anak-‐anak
kambing
itu
bisa
dimiliki
penduduk
yang
semula
Adak
bisa
punya
kambing.
”Sebenarnya
di
Afghanistan
ini
lebih
sulit.
Tapi,
karena
kami
sudah
punya
pengalaman
di
Thailand
dan
Myanmar,
kesulitan
di
sini
terbayar
oleh
kematangan
Am
kami,”
ujarnya.
”Di
Doi
Tung
dulu
kami
banyak
belajar
dari
kesalahan,”
tambahnya.
Khun
C hai
juga
tahu
bahwa
sebagian
tanah
Afghanistan
itu
sangat
subur
dan
cocok
untuk
tanaman
tertentu.
K hun
C hai
mendapat
informasi
bahwa
sebelum
perang
Afghanistan
adalah
negeri
pengekspor
banyak
horAkultura:
aprikot,
stroberi,
buah
granade
(delima),
dan
banyak
lagi.
K hun
C hai
melihat
tentu
masyarakat
di
sana
masih
ingat
zaman-‐zaman
kejayaan
itu.
Tentu
mereka
juga
masih
ingat
bagaimana
bercocok
tanam
komoditas
tersebut.
Tapi,
lingkungan
Afghanistan
telah
rusak.
Termasuk
di
satu
wilayah
dekat
K andahar
ini.
Air,
yang
sangat
diperlukan
untuk
tanaman,
sangat
langka.
Memang
ada
sungai
di
situ,
tapi
Adak
cukup
untuk
keperluan
irigasi.
Khun
C hai
Adak
menyerah.
D engan
sedikit
air
itu,
dia
harus
bisa
mengembangkan
horAkultura
yang
pernah
jadi
andalan
Afghanistan.
C aranya?
”Ini
kan
bisa
pakai
teknologi
irigasi
air
menetes,”
katanya.
Yakni,
satu
cara
yang
sangat
sulit,
tapi
sudah
dibukAkan
berhasil.
Air
yang
sedikit
itu
dialirkan
lewat
pipa.
P ipa-‐pipa
itu
dipasang
di
sepanjang
lahan
yang
akan
ditanami.
D i
Aap
AAk
yang
akan
ditanami,
pipa
tersebut
dilubangi.
L alu
dari
lubang
itu
dipasangi
pipa
lebih
kecil
yang
ujungnya
persis
di
akar
tanaman.
Di
induk
pipanya
dipasangi
alat
pengukur
waktu
otomaAs.
ArAnya,
pada
jam-‐jam
tertentu,
pipa
tersebut
mengalirkan
air.
L alu
volume
airnya
diatur
secara
otomaAs
pula,
agar
Adak
terjadi
pemborosan
air.
D engan
cara
ini
tanaman
hanya
ditetesi
air
secukupnya,
bukan
dialiri.
Kesulitannya
luar
biasa
dan
sangat
khas
Afghanistan.
Barangkali
juga
khas
dari
sebuah
negara
Islam.
K alau
saja
ini
terjadi
di
Thailand,
Adak
akan
jadi
hambatan.
Tapi
di
Afghanistan,
K hun
Chai
harus
benar-‐benar
haA-‐haA:
menyangkut
agama.
Mengapa?
D i
seluruh
dunia
hanya
Israel
yang
paling
ahli
dalam
penerapan
teknologi
pengairan
tetes
ini.
K hun
C hai
hanya
bisa
mendapatkan
ahlinya
dari
negara
Yahudi
itu.
Dari
segi
Yahudinya
Adak
masalah:
mereka
penjual
teknologi.
Yang
dia
perlukan
adalah
pasar.
K alau
toh
ada
yang
ditakutkan
hanyalah
keselamatan
jiwa
karena
akan
bertugas
di
daerah
konflik.
I ni
pun
bisa
diatasi
dengan
menjual
produknya
lebih
mahal
karena
harus
tambah
biaya
asuransi.
Tapi,
bagi
orang
Afghanistan
ini
urusan
besar.
Apakah
mereka
mau
ada
orang
Yahudi
menjadi
guru
di
Afghanistan.
Apakah
mereka
mau
belajar
dari
orang
Yahudi.
Khun
C hai
punya
cara:
mempertemukan
orang-‐orang
Afghanistan
dan
orang-‐orang
Yahudi
itu
di
D oi
Tung.
Toh
K hun
C hai
memang
harus
mendidik
banyak
orang
Afghanistan
untuk
belajar
pertanian
maju
di
Thailand.
Terutama,
mereka
yang
akan
menjadi
tenaga
inA
proyek
pembangunan
kembali
pertanian
di
K andahar
itu.
Akhirnya
30
orang
Afghanistan
didatangkan
ke
D oi
Tung.
Tentu
setelah
dites
mengenai
ketertarikannya
akan
pengembangan
pertanian
dan
pengembangan
masyarakat.
Lalu
didatangkan
pula
lima
orang
Yahudi.
Tiap
satu
orang
Yahudi
akan
mengajar
satu
kelompok
orang
Afghanistan
yang
terdiri
atas
lima
orang.
Sebelum
mereka
berangkat
ke
D oi
Tung,
K hun
C hai
memberitahukan
apakah
mereka
mau
diajar
oleh
orang
Yahudi.
” Kenapa
Yahudi?”
tanya
mereka
seperA
dikuAp
K hun
C hai.
“Apakah
Adak
ada
yang
lain?”
tanya
mereka.
K hun
C hai
menjelaskan,
langkah
ini
dilakukan
dengan
amat
terpaksa
karena
Adak
ada
pilihan
lain.
Memang,
ada
teknologi
serupa,
tapi
I sraellah
yang
paling
baik
di
dunia.
Akhirnya
mereka
bisa
menerima.
K hun
C hai
menceritakan,
saat
pertama
mereka
berkenalan
di
D oi
Tung
memang
terjadi
kekakuan-‐kekakuan.
Tapi,
orang
seperA
K hun
C hai
yang
lincah
dan
humoris
itu
punya
banyak
cara.
Apalagi,
dia
seorang
Buddha
yang
pasA
dijamin
Adak
pro
ke
mana-‐mana.
Pelajaran
pun
berjalan
mulus.
Memang
ada
beberapa
”murid”
Afghanistan
yang
terpaksa
dipulangkan,
tapi
Adak
ada
hubungannya
dengan
soal
agama.
Mereka
dipulangkan
karena
Adak
memenuhi
kualifikasi.
Selama
45
hari
”murid”
Afghanistan
itu
diajari
guru
Yahudi.
Kalau
awalnya
kaku,
lama-‐lama
cair.
L alu
akrab.
Tranfer
teknologi
pun
terjadi
dengan
mulus.
Bahkan,
keAka
Aba
saatnya
mengakhiri
pelaAhan
itu,
sesuatu
yang
dramaAk
terjadi.
Saat
perpisahan,
si
Afghan
dan
si
Yahudi
itu
berangkulan
lama
dan
saling
meniAkkan
air
mata.
Momentum
itu
sangat
mahal.
Apalagi,
ada
beberapa
ahli
dari
Eropa
yang
menyaksikan.
Rangkulan
berair
mata
itu
pun
mengharukan
mereka.
Bukan
saja
mengharukan
haA
mereka,
tapi
juga
kantong-‐kantong
mereka.
I tulah
rangkulan
bernilai
hampir
Rp
12
miliar.
Melihat
adegan
itu,
semua
merasa
opAmisAs
bahwa
proyek
kemanusiaan
di
Afghanistan
itu
bakal
sukses.
P emerintah
Belgia,
yang
mendapat
laporan
air
mata
itu,
langsung
menghibahkan
dana
800.000
Euro
kepada
mereka.
Yakni,
untuk
melakukan
studi
aplikasi
di
lapangan.
Bank
kambing
dan
pertanian
air
menetes
kini
berjalan
lancar
di
Afghanistan.
I ni
bisa
jadi
pesaing
tangguh
bagi
pendekatan
kekuatan
model
Amerika
Serikat.
”Berapa
biaya
yang
sudah
dikeluarkan
Amerika
untuk
menyerang
Afghanistan?
Toh
belum
menyelesaikan
persoalan,”
katanya.
”Kalau
biaya
itu
untuk
proyek
seperA
ini,
sudah
dulu-‐dulu
selesai,”
tambahnya.
H arga
satu
rudal
saja
sudah
lebih
mahal
daripada
harga
semua
kambing
yang
ada
di
bank
kambing
itu.
Khun
C hai
juga
melihat
kekeliruan
lain
dari
pendekatan
yang
ada
sekarang.
K ini
di
Afghanistan
banyak
proyek
besar,
tapi
yang
kaya
dari
proyek
itu
orang-‐orang
asing.
I ni
karena
Amerika
Adak
mau
memberikan
proyek
kepada
para
pengusaha
Afghanistan
karena
mereka
dianggap
”raja-‐raja”
lokal.
Akibatnya,
”raja-‐raja”
lokal
itu
kini
menjadi
penganggur,
merasa
diremehkan
dan
disingkirkan.
K eadaan
seperA
itulah
yang
kemudian
merusak
tatanan
sosial
di
sana
yang
mengakibatkan
keAdakstabilan
berkepanjangan.
Mengapa
”raja-‐raja”
lokal
yang
umumnya
punya
jiwa
dagang
itu
Adak
dipercaya
menangani
proyek-‐proyek
pembangunan
kembali
Afghanistan?
Mengapa
proyek-‐proyek
dengan
dana
miliaran
dolar
di
Afghanistan
itu
jatuh
ke
pengusaha-‐pengusaha
luar
negeri?
Khun
C hai
terus
tergoda
oleh
pertanyaan-‐pertanyaannya
itu.
P adahal,
sebagaimana
yang
dia
lakukan
di
sana,
K hun
C hai
merasa
justru
masyarakat
setempatlah
yang
paling
tahu
bagaimana
harus
membangun
negeri
itu.(*)
Mekah
Era Baru Superblok, Mal dan
Foodcourt di Ring Satu
September
2011
Catatan
Dahlan
Iskan
yang
Kembali
Berlebaran
di
M akkah
(1)
Memang,
makan
cara
lama
belum
hilang,
tapi
foodcourt-‐nya
juga
sudah
penuh.
I nilah
foodcourt
pertama
dalam
skala
besar
di
dekat
Masjid
Al
H aram.
L okasinya
di
lantai
3
dan
4
superblok
baru
yg
sangat
megah.
Superblok
ini
belum
bernama
karena
memang
belum
sepenuhnya
selesai.
Tapi,
masyarakat
menyebutnya
gedung
Zam-‐Zam
karena
salah
satu
di
antara
tujuh
hotel
di
superblok
itu
adalah
hotel
Zam-‐Zam.
Di
antara
tujuh
hotel
itu,
lima
sudah
beroperasi,
sedangkan
yang
dua
lagi
masih
diselesaikan.
Ada
juga
yang
menyebut
superblok
ini
dengan
gedung
Menara
J am.
I ni
karena
di
puncak
superblok
ini
dibangun
menara
jam
yang
besar
dan
menjulang
Anggi.
I nilah
menara
jam
terbesar
dan
terAnggi
di
dunia.
Menara
ini
juga
sangat
canAk
dan
atrakAf
di
waktu
malam.
Warna
layar
digitalnya
yang
hijau
dan
permainan
lampu
kristal
dan
lampu
lasernya
yang
gemerlap
membuat
daya
magnetnya
sangat
besar.
KeAka
hari
pertama
L ebaran
saya
ke
P adang
Arafah
sejauh
40
km
dari
Makkah,
saya
kaget:
menara
ini
bisa
terlihat
bahkan
dari
Arafah.
Tentu
terlihat
juga
dari
Muzdalifah,
apalagi
dari
Mina.
P adahal,
K ota
Makkah
yang
berada
di
lembah
itu
di
kelilingi
gunung.
Menara
ini
juga
berfungsi
sebagai
papan
informasi.
Menjelang
salat
I sya
29
Agustus
lalu,
Aba-‐Aba
di
layar
digital
hijau
itu
muncul
tulisan
Arab
puAh:
I ed
Mubarak,
K ullu
Aamin
W aantum
bil
K hair!
I ni
pertanda
bahwa
L ebaran
telah
Aba.
Tidak
perlu
ada
salat
Tarawih
malam
itu.
Sekitar
2
juta
umat
yang
sudah
memadat
di
Masjid
Al
H aram
dan
di
seluruh
halaman
sekelilingnya
langsung
salat
I sya
saja.
D ari
layar
itu
juga
bisa
dibaca
bahwa
menara
ini
persembahan
dari
Al
Malik
Abdul
Azis
yg
Adak
lain
adalah
almarhum
ayahanda
Raja
Fath.
Superblok
ini
memang
menggunakan
tanah
kerajaan
yang
dibangun
Bin
L adin,
konglomerat
utama
Arab
Saudi,
dengan
sistem
bot
25
tahun.
Kehadiran
superblok
Zam-‐Zam
ini
bagi
saya
yes
and
no.
Yes
karena
Makkah
yang
sudah
dipenuhi
gedung
dan
hotel-‐hotel
bintang
lima
kini
bertambah-‐tambah
kemegahannya.
J uga
berarA
bertambahnya
lebih
10.000
kamar
baru
berbintang
lima
di
sekeliling
Masjid
Al
Haram.
D engan
adanya
foodcourt
yang
sangat
luas
di
dua
lantainya
berarA
soal
makan
kian
mudah.
Begitu
luasnya
foodcourt
ini
sampai-‐sampai
dimanfaatkan
pula
untuk
lokasi
rekresi:
ada
kereta-‐kereta
gantung
yang
memutar
ke
seluruh
lokasi
foodcourt
sambil
melihat
hadirnya
jenis
makanan
apa
saja
dari
seluruh
dunia.
Foodcourt
ini,
rasanya,
didesain
khusus
agar
fungsional:
tempat
makan
sekaligus
tempat
sembahyang.
K arena
itu,
lantainya
dibuat
luas
dan
meja-‐meja
makannya
ditata
berjauhan.
Orang
banyak
menunggu
datangnya
saat
berbuka
puasa
di
meja-‐meja
makan,
tapi
langsung
membuat
barisan
salat
begitu
saat
Magrib
Aba.
P emandangan
ini
menjadi
pilihan
lain
dari
pemandangan
lama
yang
masih
ada:
menggelar
plasAk
di
halaman
dan
di
dalam
Masjid
Al
Haram
untuk
makanan
pembuka,
lalu
menggulungnya
sebagai
sampah
saat
waktu
salat
Aba.
Superblok
Zam-‐Zam
ini
no
bagi
saya
karena
terlalu
besar,
Anggi,
dan
dominan.
Superblok
ini
seperA
menenggelamkan
kemegahan
Masjid
Al
H aram
yang
anggun
itu.
Saat
malam
hari
saya
sembahyang
di
dekat
K a’bah,
superblok
dengan
permainan
cahayanya
itu
terasa
mendominasi
sampai
ke
dalam
masjid.
Menara-‐menara
masjid
yang
dulu
terasa
canAk
dan
indah
seperA
Adak
ada
arAnya
lagi.
Dulu
saya
suka
memandang
langit
dari
lokasi
di
sekitar
K a’bah
ini.
Sekarang
seAap
kali
ingin
menatap
keagungan
langit,
mata
tertarik
ke
puncak
menara
jam
di
atas
superblok
itu.
Apalagi
arsitektur
bagian
atas
keseluruhan
superblok
ini
memang
sangat
modern
dan
indah.
Kehadiran
superblok
baru
ini
telah
mengubah
suasana
di
Masjid
Al
H aram.
Tidak
sama
dengan
keAka
hotel-‐hotel
megah
dulu
mulai
hadir
di
sekeliling
masjid.
Superblok,
foodcourt,
mal,
dan
arena
rekreasi
di
dalamnya
seperA
tanda
zaman
baru
Makkah.
Dulu
memotret
dengan
kamera
dilarang
keras.
Memasuki
pintu
masjid
diperiksa
ketat.
Saya
pernah
memberikan
pujian
yang
Anggi
kepada
wartawan
J awa
P os
Surya
Aka
yang
kala
itu
berhasil
menyelundupkan
tustel
dan
berhasil
memotret
orang
yang
lagi
tawaf
dengan
sangat
sempurnanya
tanpa
ketahuan
petugas.
K ini
petugasnya
yang
kuwalahan
karena
semua
orang
punya
kamera
di
handphone
mereka.
Petugas
kini
hanya
bisa
pasrah.
Tulisan
dilarang
memotret
memang
masih
ada,
tapi
orang
saling
berfoto
di
dekat
K a’bah
tak
tercegah.
Termasuk
berfoto
di
depan
petugas
itu
sendiri.
Bahkan,
ada
yang
minta
tolong
petugas
untuk
memotretkannya!
Begitu
banyak
perubahan
di
Makkah,
termasuk
perubahan
gaya
hidupnya.
(c1/lk)
Perbedaan, Sikap Kita dan Kenisbian
September
2011
Catatan
D ahlan
I skan
yang
K embali
Berlebaran
di
Makkah
(2)
Inilah
tempat
yang
orangnya
Adak
saling
menyalahkan.
I nilah
tempat
yang
orangnya
Adak
mempersoalkan
Anda
penganut
I slam
aliran
yang
mana.
I nilah
tempat
yang
di
pintu
masuknya
Adak
ada
yang
bertanya
NU-‐kah
Anda
atau
Muhammadiyah,
W ahabikah
Anda
atau
Ahmadiyah,
Ahlussunnahkah
Anda
atau
Syi’ah,
H isbumahrirkah
Anda
atau
Ikhwanulmuslimin,
J amaah
Tablighkah
Anda
atau
I slam
J amaah.
Inilah
tempat
yang
pintunya
hampir
100
buah,
melebihi
jumlah
aliran
yang
ada.
I nilah
tempat
yang
halamannya
seluas
dada
umatnya.
I nilah
rumah
Tuhan
untuk
orang
I slam
yang
mana
saja
dari
mana
saja.
Ada
yang
sembahyang
dengan
celana
digulung
sampai
mata
kaki
tanpa
mencela
mereka
yang
celananya
dibiarkan
panjang
sampai
menyentuh
lantai.
Ada
yang
pakai
jubah
serba
tertutup
tanpa
menghiraukan
yang
hanya
pakai
kaus
lengan
pendek.
Ada
yang
sembahyang
dengan
pakai
sarung
tanpa
mencela
yang
pakai
kaus
sepak
bola
Barcelona
dengan
nama
Messinya
atau
kaus
Arsenal
dengan
nama
Fabregasnya.
Inilah
masjid
yang
orangnya
sembahyang
dengan
bermacam-‐macam
gerakan
tanpa
ada
yang
merasa
salah
atau
disalahkan.
Ada
yang
keAka
takbiratul
ikram
mengangkat
tangan
sampai
menyentuh
telinganya
tanpa
menghiraukan
jamaah
di
sebelahnya
yang
Adak
melakukan
gerakan
tangan
apa-‐apa.
Ada
yang
tangannya
konsisten
bersedekap
di
dada
tanpa
mempersoalkan
orang
yang
tangannya
begitu
sering
masuk
ke
saku
jubahnya
seperA
mencari-‐
cari
benda
yang
hilang.
Ada
yang
sambil
sembahyang
matanya
terpejam
tanpa
menegur
sebelahnya
yang
sibuk
memaAkan
handphone-‐nya
yang
Aba-‐Aba
berdering.
Inilah
tempat
yang
jamaahnya
Adak
mempersoalkan
mengapa
ada
yang
dapat
tempat
sembahyang
di
dekat
K akbah
dan
ada
yang
hanya
dapat
tempat
di
pinggir
jalan
atau
di
tangga
atau
bahkan
harus
sembahyang
di
atas
pagar
yang
lebarnya
hanya
setapak.
I nilah
tempat
yang
orangnya
hanya
konsentrasi
memikirkan
bagaimana
agar
dirinya
sendiri
bisa
diterima
menghadap
Tuhannya
tanpa
peduli
apakah
Tuhan
juga
menerima
penghadapan
yang
lain.
I nilah
tempat
yang
semua
orangnya
ingin
mendapat
tempat
yang
terdekat
dengan
Tuhan
tanpa
perlu
melarang
atau
menyingkirkan
atau
membunuh
orang
lain
yang
juga
menginginkan
posisi
yang
terdekat
dengan
Tuhan.
I nilah
tempat
sembahyang
muslim
yang
bersujud
di
aspal
sama
nikmatnya
dengan
bersujud
di
permadani
tebal.
Inilah
tempat
yang
orangnya
Adak
mempermasalahkan
apakah
tempat
sembahyang
bagi
wanita
harus
disembunyikan
di
balik
dinding
atau
di
balik
tabir.
Ada
yang
sembahyang
berkelompok
sesama
wanita
dengan
pembatas
kain
rendah
tanpa
menyalahkan
wanita
yang
sembahyangnya
tercampur
dengan
pria.
Ada
tempat
sembahyang
khusus
laki-‐laki
tanpa
menganggap
Adak
sah
beberapa
laki-‐laki
yang
sembahyang
di
tengah-‐tengah
jamaah
wanita,
bahkan
dengan
posisi
berdempetan
dengan
wanita
di
sebelahnya
itu.
Inilah
tempat
yang
membuat
saya
termenung
lama
mengapa
jutaan
manusia
yang
datang
ke
tempat
ini
Adak
mempersoalkan
aliran
orang
lain
sebagaimana
kalau
mereka
berada
di
tempat
asal
mereka.
Mungkinkah
karena
begitu
egoisnya
mereka
yang
datang?
Mungkinkah
begitu
individualisAsnya
mereka
yang
ke
tanah
haram?
Mungkinkah
muncul
kesadaran
bahwa
pada
akhirnya
Tuhanlah
yang
memutuskan
siapa
yang
berhak
dekat
dengan-‐Nya
dari
mana
pun
alirannya?
Inilah
tempat
yang
membuat
saya
tertegun
sejenak:
mungkinkah
karena
di
sini
Adak
ada
yang
merasa
dominan
sebagai
mayoritas?
Mungkinkah
perasaan
kehilangan
dominasi
mayoritas
itu
yang
menyebabkan
segala
yang
minoritas
harus
disingkirkan?
Mungkinkah
karena
di
sini
Adak
ada
yang
merasa
menjadi
tuan
rumah
sehingga
semua
orang
adalah
tamu?
Inilah
tempat
yang
membuat
saya
berpikir:
begitu
indahnyakah
keberagaman
yang
seimbang
itu?
Inilah
tempat
yang
membuat
saya
ingat
begitu
kerasnya
persaingan
dunia
usaha:
mungkinkah
kedamaian
di
tempat
ini
karena
masing-‐masing
aliran
Adak
sedang
me-‐
markeAng-‐kan
aliran
masing-‐masing?
Mungkinkah
markeAng
aliran
itu
yang
membuat
terjadinya
perebutan
pasar
sehingga
yang
minoritas
merasa
harus
meningkatkan
market
share-‐nya
dan
sang
market
leader
maA-‐maAan
melawan
seAap
penggerogotan
pasarnya?
Wallahualam.
Tuhan
bukan
pasar
dan
Adak
akan
memedulikan
posisi
pasar.
Sebagai
orang
yang
sejak
kecil
berada
di
lingkungan
ahlussunah
dan
dilaAh
prakAk
ibadah
ahlussunah
dengan
gerakan
sembahyang
yang
begitu
terAb
(sampai
posisi
jempol
kaki
saat
duduk
takhiyat
akhir
pun
dibetulkan
dengan
keras)
di
tempat
ini
ternyata
saya
juga
bukan
lagi
mayoritas.
Inilah
tempat
yang
membuat
saya
paham
bahwa
mayoritas
atau
minoritas
itu
ternyata
nisbi.
Sepenuhnya
bergantung
pada
tempat
dan
waktu.
(c2/lk)
Di Al Haram Tak Ada Yang Tersinggung
SEPTEMBER
2011
Catatan
Dahlan
Iskan
yang
Kembali
Berlebaran
di
M akkah
(3)
Di
sini
bukan
hanya
simbol-‐simbol
ibadah
agama
yang
harus
kalah
oleh
kepenAngan
umum,
bahkan
ibadah
itu
sendiri.
D i
sini
terjadi,
ibadah
bisa
ditafsirkan
sebagai
kepenAngan
pribadi
yang
di
atas
itu
berarA
masih
ada
kepenAngan
umum
yang
harus
diutamakan,
apa
pun
arA
kepenAngan
umum
itu.
Di
sini,
di
dalam
masjid
yang
teragung
ini,
tak
terbayangkan
sembahyang
ada
kalanya
harus
kalah
oleh
kepenAngan
umum.
D i
dalam
Masjid
Al
H aram
Makkah
Al
Mukarramah
ini,
sembahyang
bisa
Aba-‐Aba
dihenAkan:
keAka
sembahyang
itu
menghalangi
berfungsinya
fasilitas
umum.
Di
sini
begitu
sering
terjadi:
keAka
salat
baru
saja
dimulai,
petugas
sudah
datang
menyuruhnya
berhenA.
Bahkan
menyuruhnya
pergi.
Menyuruh
pindah
lokasi
(menyuruhnya
kadang
dengan
mendorong-‐dorong
orang
yang
lagi
khusyuk
sembahyang
itu)
agar
tugas
membersihkan
lantai
itu
Adak
terhalangi.
Bagaimana
bisa
terjadi
di
sini,
di
dalam
masjid
yang
paling
dimuliakan
di
bumi
ini,
orang
yang
lagi
sembayang
bisa
mengalah:
mengalah
dengan
kepenAngan
dibersihkannya
lantai.
Mengalah
demi
kelancaran
arus
orang
yang
berlalu-‐lalang.
Hanya
di
sinilah,
di
dalam
masjid
ini,
petugas
berlaku
sangat
tegas.
Mulai
petugas
keterAban
hingga
petugas
pengepel
lantai.
Mereka
begitu
Adak
peduli
terhadap
kepenAngan
pribadi.
Kalau
lantai
itu
sudah
waktunya
disiram
cairan
kimia
sebelum
dipel,
petugas
cukup
berteriak:
pergi!
pergi!
D an
bagi
yang
Adak
pergi,
dengan
alasan
lagi
sembahyang
sekalipun,
tak
terhindarkan:
kakinya
bakal
disiram.
K alaupun
basah
itu
belum
membuatnya
beranjak,
alat
pengepel
yang
besar
akan
menyingkirkan
orang
yang
lagi
sembahyang
itu.
K ebersihan
bukan
saja
sebagian
dari
iman
sebagaimana
doktrin
I slam,
tapi
juga
menjaga
kebersihan
masjid
yang
Adak
pernah
kosong
itu
adalah
bagian
dari
kepenAngan
umum
yang
harus
diutamakan,
mengalahkan
orang
sembahyang
yang
jelas-‐jelas
hanya
untuk
kepenAngan
pribadi
orang
itu.
Demikian
juga
petugas
keterAban
masjid
itu.
Tidak
kalah
tegasnya.
K alaupun
ada
yang
ngotot
sembahyang
di
dalam
masjid,
tapi
menempaA
jalur
jamaah
yang
digunakan
lalu-‐
lalang
(entah
jalur
ke
K akbah
atau
ke
Sofa/Marwa,
atau
juga
ke
pintu-‐pintunya,
jangan
harap
bisa
tenang.
D i
tengah
Anda
sedang
sembahyang
pun
badan
Anda
bisa
ditarik-‐tarik
atau
disorong
agar
hengkang.
Tidak
ada
yang
tersinggung.
Misalnya
dengan
alasan
telah
melecehkan
orang
yang
lagi
bersembahyang.
Tidak
ada
yang
marah.
Misalnya
dengan
alasan
menghina
orang
yang
lagi
beribadah.
Tidak
ada
yang
protes.
Misalnya
dengan
alasan
prakAk
keagamaan
telah
dihinakan.
Di
sini,
hanya
di
sini,
terjadi
peraturan
ditegakkan
mengalahkan
peribadatan.
D i
sini,
hanya
di
sini,
terjadi
orang
Adak
bisa
memaksakan
kepenAngan
pribadi
dengan
dibungkus
alasan
keagamaan
sekalipun.
Saya
pun
tertegun:
mengapa
di
sini
orang
Adak
mudah
tersinggung?
Mengapa
di
sini
orang
Adak
mudah
marah?
Di
sini,
lagi-‐lagi
hanya
di
sini,
Adak
ada
jamaah
yang
tersinggung
oleh
sandal
dan
Adak
marah
oleh
sepatu.
Biarpun
sandal
itu
dan
sepatu
itu
ditaruh
begitu
saja
di
belakang
tumit
kakinya
yang
berarA
juga
tempat
wajah
bersujud
bagi
barisan
jamaah
di
belakangnya.
Di
sini
Adak
ada
yang
memperdebatkan
membawa
najiskah
sandal
itu?
Tidak
ada
yang
tersinggung
mengapa
sandal
masuk
masjid.
Ataukah
citra
sandal
dan
sepatu
yang
idenAk
dengan
najis
memang
sudah
waktunya
harus
berubah?
D ulu,
di
masa
yang
lalu,
keAka
di
sekitar
masjid
masih
berkeliaran
ayam
dan
kambing,
keAka
masyarakat
sekitar
masjid
masih
sangat
agraris,
barangkali
sandal
dan
sepatu
memang
sering
bernajis.
Tapi,
kini?
K eAka
dari
rumah
langsung
masuk
mobil
dan
dari
mobil
masuk
ke
masjid,
masih
adakah
potensi
najis
itu?
Atau
dalam
kasus
Makkah,
sandal
itu
hanya
mondar-‐mandir
dari
hotel
ke
masjid?
Tidakkah
sudah
lebih
kecil
jika
dibandingkan
dengan
potensi
najis
dari
kencing
cicak
dan
coro
dan
Akus
(eh,
kencing
jugakah
cicak?)
yang
berkeliaran
di
dalam
masjid?
Di
sini,
di
Masjid
Al
H aram
yang
sangat
agung
ini,
bermula
perubahan
sikap
akan
sandal
dan
sepatu.
J uga
pengutamaan
kepenAngan
umum
atas
kepenAngan
pribadi
–biarpun
kepenAngan
pribadi
itu
terbungkus
keagamaan
dan
peribadatan.
Kereta Rp 15 Triliun Setahun Hanya
Jalan Tiga Hari
SEPTEMBER
2011
Catatan
Dahlan
Iskan
yang
Kembali
Berlebaran
di
M akkah
(4-‐Habis)
Salah
satu
yang
ingin
saya
lihat
di
Makkah
–di
luar
ritual
umrah–
adalah
proyek
kereta
listriknya.
Terutama
tahap
1
jurusan
Makkah–Arafah
yang
sedang
dibangun
dengan
rugi
yang
sangat
besar
oleh
Tiongkok
itu.
Karena
itu,
setelah
salat
Asar,
menunggu
terik
matahari
musim
panas
mereda,
saya
ke
Mina,
Mudzdalifah,
dan
P adang
Arafah.
D i
luar
musim
haji
seperA
sekarang
ini,
tempat-‐tempat
itu
Adak
berpenghuni
sama
sekali.
H anya
hamparan
padang
yang
bergunung-‐gunung
batu
yang
cadas.
Tapi,
keAka
musim
haji,
jutaan
jamaah
bergerak
serentak
melakukan
perjalanan
suci
ke
lokasi-‐lokasi
itu.
P adat,
merambat,
dan
bahkan
macet
total.
Sering
kemacetan
itu
begitu
parahnya
membuat
sebagian
jamaah
Aba
di
luar
jam
yang
disyaratkan.
D ulu,
keAka
naik
haji,
saya
memilih
jalan
kaki
pulang
pergi
untuk
rute
yang
sekali
jalan
sekitar
25
km
itu
(bukan
40
km
seperA
dalam
seri
pertama
tulisan
ini).
Problem
itulah
yang
akan
dipecahkan
pemerintah
Arab
Saudi
dengan
pembangunan
jaringan
kereta
cepatnya.
K alau
kereta
tersebut
berfungsi
penuh
pada
musim
haji
dua
bulan
lagi,
kendaraan
yang
menuju
Arafah
bisa
berkurang
seAdaknya
53.000
mobil.
Tinggal
bus-‐bus
besar
yang
minimal
berisi
25
orang
yang
diizinkan
menuju
P adang
Arafah.
Uji
coba
sudah
dilakukan
pada
musim
haji
tahun
lalu,
namun
baru
30
persen
dari
kapasitas
sesungguhnya.
Sekarang
pun,
saat
saya
menyusuri
rute
kereta
itu,
belum
benar-‐benar
selesai.
Saya
mampir
ke
stasiun
Mudzdalifah
yang
masih
belum
tertata.
Saya
lihat
hanya
dua
pekerja
yang
memasang
tegel
di
tangga.
H alamannya
juga
masih
belum
dikerjakan.
Saya
tentu
ngobrol
dengan
pekerja
asal
Tiongkok
yang
Adak
punya
agama
itu
mengenai
suka-‐duka
bekerja
di
sebuah
negara
yang
sangat
ketat
dalam
menerapkan
ajaran
agama.
Mereka
heran
melihat
saya
bisa
berbahasa
Mandarin.
Uji
coba
kereta
terus
dilakukan
tanpa
menunggu
semua
fasilitas
selesai.
K ereta
warna
dominan
hijau
muda
dan
kuning
muda
tersebut
terus
datang
dan
pergi.
I tulah
stasiun
pertengahan
antara
Mina
dan
Arafah.
SeAap
rangkaian
berisi
12
gerbong.
SeAap
gerbong
bisa
memuat
250
orang
(70
persen
berdiri)
sehingga
satu
rangkaian
bisa
mengangkut
3.000
orang.
Menggunakan
listrik
1.500
vdc,
3.000
ampere,
dan
dengan
lebar
rel
1,435
meter,
kereta
itu
berkecepatan
120
km/jam
sehingga
direncanakan
seAap
jam
bisa
mengangkut
73.000
orang.
Inilah
investasi
kereta
sepanjang
18
km
dengan
biaya
Rp
15
triliun
yang
hanya
akan
digunakan
intensif
Aga
hari
saja
dalam
setahun.
D esainnya
pun
harus
dibuat
khusus
yang
harus
cocok
untuk
keperluan
haji.
Misalnya,
bagaimana
rel
kereta
itu
saat
harus
melewaA
tempat
lempar
jumrah
(seAap
jamaah
haji
harus
melempar
batu
ke
satu
tembok
yang
menyimbolkan
setan).
K arena
tempat
melempar
jumrah
itu
kini
berupa
bangunan
empat
lantai,
sebelum
memasuki
lokasi
tersebut,
relnya
memecah
jadi
empat.
Ada
kereta
yang
berhenA
di
lantai
4,
ada
juga
yang
berhenA
di
lantai
bawahnya.
L alu,
setelah
melewaA
lokasi
jumrah,
relnya
menyatu
kembali.
Demikian
juga
keAka
kereta
sampai
P adang
Arafah
yang
luas
itu.
D i
sini,
relnya
memecah
jadi
empat,
juga
dengan
jurusan
yang
berbeda-‐beda,
menyebar
ke
empat
penjuru
P adang
Arafah.
Di
stasiun
Mudzdalifah
itu
pula
saya
untuk
kali
pertama
tahu
diberi
nama
apakah
kereta
tersebut.
Monorelkah
seperA
yang
selama
ini
disebut-‐sebut?
Ternyata
Adak
disebut
monorel
karena
saya
lihat
relnya
memang
ganda.
D i
display
layar
komputer
di
stasiun
itu,
jelaslah
namanya:
Makkah
Metro.
D itulis
dalam
bahasa
Arab
berganAan
dengan
bahasa
I nggris.
Pengumuman
yang
dikumandangkan
di
dalamnya
juga
dalam
dua
bahasa
itu,
tapi
sedikit
unik:
meski
rel
kereta
ini
di
keAnggian
8
meter
dari
tanah,
isAlah
yang
digunakan
adalah
isAlah
kereta
bawah
tanah
L ondon
yang
disebut
tube
itu.
Misalnya,
kalau
di
kereta
bawah
tanah
di
Singapura
atau
Tiongkok
menggunakan
kalimat
’’mind
your
step’’,
di
sini
menggunakan
term
tube
L ondon
’’mind
your
gap’’.
Tentu
jamaah
haji
dari
I ndonesia
jangan
punya
mimpi
naik
kereta
itu
pada
musim
haji
mendatang.
K ereta
itu
khusus
untuk
jamaah
haji
Arab
Saudi
dan
yang
datang
dari
negara-‐
negara
Arab
di
jazirah
Arab
anggota
G CC,
seperA
ASEAN
kita.
Orang
Arab
dari
Mesir,
L ibya,
Maroko
(Maghribi),
dan
lain-‐lain
Adak
boleh.
I ni
ada
juga
masuk
akalnya.
Mengapa?
Ibadah
memutari
K akbah
tujuh
kali
(tawaf)
dengan
kendaraan
listrik
sudah
jadi
kenyataan.
Tidak
lagi
harus
berjalan
kaki,
digendong,
atau
ditandu.
I nilah
oleh-‐oleh
perjalanan
umrah
akhir
Ramadan
saya
tahun
ini
bersama
istri,
anak,
menantu,
dan
cucu.
Hari
itu,
14
Agustus
2012,
saya
berada
di
lantai
empat
Masjid
Al
H aram.
P ada
pukul
delapan
pagi
matahari
musim
panas
sudah
terasa
menyengat
di
lantai
yang
menghadap
ke
langit
itu.
Sejak
subuh
saya
memang
berada
di
situ.
Menyelesaikan
bacaan
Aga
juz
terakhir
Alquran
yang
30
juz
itu.
Legisan
Sugimin,
manajer
ESQ
yang
menyertai
umrah
saya,
lantas
membacakan
doa
khataman.
D engan
perasaan
lega,
kami
pun
segera
turun
dengan
eskalator
di
dekat
Zamzam.
Begitu
banyak
eskalator
di
dalam
masjid
itu
sehingga
kalau
salah
pilih
bisa
kesasar
jauh.
Dari
eskalator
itulah
saya
melihat
di
pelataran
kecil
di
lantai
Aga
banyak
orang
seperA
berlaAh
naik
kendaraan
listrik.
Mundur-‐maju-‐memutar.
Bentuknya
mirip
kursi
roda
bermotor.
Saya
tertarik
berhenA
untuk
melihatnya.
Ternyata,
itulah
kendaraan
listrik
untuk
tawaf
bagi
orang
yang
Adak
kuat
berdesakan
jalan
kaki
mengelilingi
K akbah.
Kendaraan
model
baru
itu
rupanya
laris.
Saya
hitung,
ada
tujuh
orang
yang
sedang
antre
di
loket.
Ada
yang
sudah
bisa
langsung
mengendarainya,
ada
yang
masih
harus
berlaAh.
Itu
tentu
satu
kemajuan.
D ulu,
orang
tua
atau
orang
yang
Adak
mampu
tawaf
harus
menyewa
orang
untuk
menggendongnya
atau
memikulnya.
P emandangan
seperA
itu
Adak
terlihat
lagi
sejak
lebih
lima
tahun
lalu.
Mereka
dibikinkan
jalur
khusus
seperA
sosoran,
menjorok
dari
lantai
dua.
D i
jalur
khusus
itu
mereka
dinaikkan
kursi
roda
yang
didorong
oleh
keluarga
atau
petugas
yang
dibayar.
Dan
sekarang
kendaraan
listrik
mengganAkannya.
K alau
Adak
terkait
dengan
fikih
(hukum
acara
ibadah),
sebenarnya
membahas
itu
Adak
menarik.
Tapi,
fikih
kendaraan
listrik
rupanya
harus
diterima
di
zaman
modern
ini.
Termasuk
penentuan
lokasi
memutar
yang
sudah
agak
di
atas
K akbah.
Saya
jadi
teringat
beberapa
tahun
lalu,
pernah
tawaf
di
lantai
empat
yang
menghadap
langit
itu.
Tentu
posisinya
juga
sudah
sangat
Anggi.
D ari
lantai
itu
K akbah
terlihat
agak
di
bawah
sana.
Meski
terhindar
dari
berdesakan,
tawaf
di
lantai
empat
tersebut
ternyata
justru
sangat
lama.
Satu
putaran
ternyata
hampir
1
km.
Tekanan
kian
banyaknya
jamaah
haji
(dan
umrah)
rupanya
membuat
fasilitas
yang
ada
harus
selalu
dilipatgandakan.
Tempat
lempar
batu
(jumrah)
dibikin
bersusun.
Tempat
lari
dari
Bukit
Safa
ke
Bukit
Marwa
(sai)
juga
dibuat
bersusun.
Yang
di
lantai
empat
sebenarnya
sudah
Adak
bisa
merasakan
jerih
payah
SiA
H ajar
saat
mencarikan
air
bagi
bayi
I smail
dengan
cara
lari
bolak-‐balik
menaiki
dua
bukit
itu.
Tahun
depan
ada
lagi
yang
dibuat
bersusun:
pelataran
tawaf!
K elak
memutari
K akbah
bisa
dilakukan
di
lantai
baru.
Saya
sudah
melihat
video
perencanaannya.
H ebat
dan
indah.
Hebatnya,
pelataran
tawaf
susun
itu
dibuat
knock
down.
Bisa
dibongkar
pasang
dengan
cepat.
Mungkin
hanya
akan
dipasang
waktu
musim
haji
atau
umrah
akhir
Ramadan.
Untuk
memasangnya,
hanya
diperlukan
waktu
Aga
hari.
Tanpa
mengganggu
ibadah
di
sekitar
Kakbah.
Tenaga
bongkar
pasangnya
Adak
banyak.
Sudah
lebih
banyak
menggunakan
robot.
Tanpa
usaha
baru
seperA
itu,
lautan
manusia
yang
bertawaf
akan
Adak
tertampung.
P ada
musim
haji
atau
umrah
akhir
Ramadan
luapan
manusia
memang
luar
biasa.
P ada
hari
ke-‐27
bulan
puasa
(dipercaya
sebagai
hari
turunnya
L ailatul
Qadar,
siapa
beribadah
di
hari
itu
mendapat
pahala
sebanyak
ibadah
selama
seribu
bulan)
orang
Tarawih
meluber
ke
mana-‐
mana.
J alan-‐jalan
raya
terpakai
untuk
Tarawih
sampai
sejauh
2
km
dari
masjid.
Masjid
yang
sudah
dibuat
empat
Angkat,
yang
halamannya
terus
diperluas,
yang
hotel-‐hotel
di
sekitarnya
sudah
menyisihkan
lantainya
untuk
salat,
masih
juga
belum
cukup.
Semua
jalan
menuju
masjid
menjadi
masjid
itu
sendiri.
Saya
lihat
Masjid
Al
H aram
kini
juga
sedang
diperluas
(lagi).
Ada
tambahan
dua
menara
baru.
Tapi,
kalau
ekonomi
negara-‐negara
seperA
I ndonesia,
I ndia,
dan
Afrika
terus
berkembang,
semua
perluasan
itu
Adak
akan
cukup
juga.
Kelak
Adak
ada
jalan
lain,
kecuali
membatasi
jumlah
orang
umrah
seperA
membatasi
orang
berhaji
sekarang
ini.
Belum
lagi
ekonomi
negara-‐negara
seperA
Uzbekistan,
K azakstan,
Turki,
dan
Tiongkok
juga
kian
maju.
J angan
lupa,
jumlah
umat
I slam
Tiongkok
lima
kali
lipat
lebih
banyak
daripada
umat
I slam
se-‐Malaysia.
Palestina
Seberapa
Luaskah
Wilayah
Gaza
Itu?
Rabu,
07
J anuari
2009
Tidak
lebih
dari
500
kilometer
persegi.
L ebarnya
hanya
sekitar
10
kilometer
dan
panjangnya
50
kilometer.
K alau
di
J aAm,
kira-‐kira
hanya
sama
dengan
dari
Bangil
ke
P robolinggo.
Lebarnya
hanya
sama
dengan
P robolinggo-‐Leces
dan
Bangil-‐Beji.
Atau
sama
dengan
dari
Tanjung
K odok
ke
Tuban.
Wilayah
itu
berbukit,
tapi
Adak
bergunung.
D ataran
paling
Anggi
hanya
150
meter.
Meski
punya
pesisir
sepanjang
45
kilometer,
seluruh
akses
ke
L aut
Tengah
itu
dikuasai
I srael.
Bandaranya
juga
dikuasai
I srael.
Satu-‐satunya
batas
yang
bukan
I srael
adalah
bagian
selatannya
sepanjang
12
kilometer:
berbatasan
dengan
Mesir.
Meski
Gaza
ini
bagian
dari
wilayah
negara
P alesAna,
kalau
mau
ke
ibu
kota
harus
melalui
daratan
I srael
sejauh
kira-‐kira
40
kilometer.
I ni
berarA
orang
P alesAna
di
wilayah
Gaza
kalau
mau
ke
wilayah
P alesAna
yang
lain
di
Tepi
Barat
harus
mengantongi
paspor
dan
harus
mendapat
izin
I srael.
L uas
wilayah
P alesAna
yang
di
Amur
(disebut
Tepi
Barat,
karena
letaknya
di
tepi
barat
Sungai
J ordan)
itu
sekitar
lima
kali
lebih
besar
dari
Gaza.
D i
wilayah
Tepi
Barat
ini
penduduknya
sekitar
2,5
juta
orang.
D engan
demikian,
kalau
Gaza
dan
Tepi
Barat
dijumlah,
penduduk
P alesAna
4
juta
orang
(wilayah
Gaza
berpenduduk
1,5
juta).
Israel
memang
berjanji
menyerahkan
wilayah
P alesAna
kepada
orang
P alesAna
secara
bertahap.
Mula-‐mula
hanya
J ericho,
satu
kota
sebesar
K ecamatan
Tulangan
(Sidoarjo,
J aAm)
di
Amur
J erusalem.
L alu
sebagian
lagi
wilayah
di
utara
J erusalem.
L alu
bagian
lain
Tepi
Barat.
Tiga
tahun
lalu
barulah
wilayah
Gaza
yang
diserahkan.
Masih
banyak
lagi
yang
mesAnya
diserahkan,
tapi
diragukan
apakah
I srael
masih
mau
menyerahkan
sisanya.
Termasuk
D ataran
Tinggi
Golan
yang
harus
dikembalikan
ke
Syiria.
Sejak
diserahkan
ke
P alesAna
Aga
tahun
lalu,
status
Gaza
Adak
jelas.
Bukan
provinsi,
bukan
juga
negara
bagian.
Bahkan,
antara
Gaza
dan
Tepi
Barat
hampir
Adak
ada
hubungan
sama
sekali.
Baik
hubungan
transportasi
maupun
hubungan
poliAk.
Gaza
seperA
Adak
ada
hubungan
apa-‐apa
dengan
pemerintah
pusat
di
wilayah
Tepi
Barat.
Di
wilayah
Gaza
hampir
100
persen
penduduknya
pengikut
H amas.
Yakni,
aliran
yang
Adak
mau
menggunakan
jalan
diplomasi
dalam
merebut
semua
wilayah
P alesAna.
H amas
Adak
percaya
I srael
mau
secara
suka
rela
mengembalikan
wilayah
P alesAna,
termasuk
J erusalem.
Hamas
pernah
minta
agar
seluruh
wilayah
P alesAna
dan
I srael
itu
jadi
satu
negara
saja:
Negara
P alesAna.
Bahwa
sebagian
besar
penduduk
negara
“baru”
itu
beragama
Yahudi,
Adak
apa-‐apa.
D emokrasi
yang
akan
mengatasi
hubungan
mayoritas-‐minoritas
itu
(Yahudi
7
juta,
PalesAna
4
juta).
I srael
menolak,
karena
khawaAr
lama-‐lama
penduduk
Arab
(PalesAna)
akan
mayoritas.
Kalau
di
Gaza
penduduknya
adalah
pengikut
H amas,
di
P alesAna
wilayah
Amur
(Tepi
Barat)
penduduknya
mayoritas
pengikut
kelompok
Fatah.
Yakni,
kelompok
yang
juga
berjuang
mengembalikan
seluruh
wilayah
P alesAna,
tapi
melalui
jalan
perundingan.
D ua
kelompok
ini
sering
terlibat
dalam
perang
bersenjata
secara
terbuka
dan
menelan
banyak
korban.
D engan
demikian,
meski
Negara
P alesAna
itu
satu,
pemerintahannya
sebenarnya
ada
dua.
Pemerintahan
di
Tepi
Barat
dipegang
Fatah
dan
pemerintahan
di
Gaza
dipegang
H amas.
Israel
memang
kelihatan
Adak
mau
kehilangan
kontrol.
W ilayah
Amur
(Tepi
Barat)
itu
diserahkan
ke
P alesAna
Adak
secara
utuh.
W ilayah
J ericho,
ibarat
satu
pulau
kecil
di
tengah-‐
tengah
I srael.
W ilayah
utara
juga
seperA
pulau
besar
di
tengah-‐tengah
I srael.
W ilayah
selatan
juga
berada
di
tengah-‐tengah
wilayah
I srael.
W ilayah
utara
yang
agak
luas
pun,
bentuknya
lucu
karena
banyak
wilayah
I srael
yang
menjorok
ke
wilayah
P alesAna
di
sana-‐sini.
Jadi,
P alesAna
yang
sekarang
sebenarnya
bukan
terbagi
dua
wilayah
(Gaza
dan
Tepi
Barat),
tapi
terbagi
empat
atau
lima
wilayah
yang
tersebar
di
tengah-‐tengah
negara
Yahudi.
(dis)
Kerinduan dengan Luka di Kaki
Kamis,
23
Agustus
2012
Kami
pun
bisa
dengan
mudah
melewaA
gerbang
tua
dengan
tembok
yang
tebal
dan
kukuh
itu.
Gerbang
yang
dijaga
tentara
I srael
bersenjata.
I tulah
gerbang
masuk
ke
kawasan
yang
luasnya
sekitar
10
lapangan
sepak
bola.
Yang
di
dalamnya
terdapat
taman
dan
pepohonan.
Di
tengah
taman
itu
terdapat
masjid
besar
berkubah
kuning.
I tulah
Masjid
K ubah
Batu.
Tidak
jauh
dari
situ,
terlihat
satu
masjid
besar
lagi:
itulah
Masjid
Al
Aqsa.
Tembok
yang
mengelilingi
kawasan
itu
terlihat
Anggi,
tebal,
dan
terkesan
sangat
kuno.
D ari
luar,
tembok
tersebut
Adak
terlihat
karena
tertutup
perkampungan
yang
padat,
yang
sampai
menempel
ke
tembok.
Dari
arah
K ota
J erusalem,
untuk
mencapai
gerbang
itu,
harus
jalan
kaki
melewaA
gang-‐gang
kecil
yang
sambung-‐menyambung.
J uga
naik
turun
dan
berliku-‐liku.
I tulah
perkampungan
yang
hampir
100
persen
penduduknya
merupakan
warga
P alesAna.
Tukang
cukur,
penjual
makanan
dan
mainan
anak-‐anak,
serta
toko
kelontong
terlihat
di
sepanjang
gang
itu.
MelewaA
gang-‐gang
menuju
gerbang
Baitul
Maqdis,
saya
teringat
bagaimana
masuk
ke
Masjid
Ampel
Surabaya
yang
harus
melewaA
kampung
Arab
yang
padat.
Ya
mirip
itulah.
Bagi
penduduk
kampung
itu,
Adak
ada
larangan
apa
pun
untuk
melewaA
gerbang
tersebut.
Mereka
memiliki
K TP
berwarna
biru.
Mereka
bisa
salat
di
Baitul
Maqdis
(baik
di
Masjid
Kubah
Batu
maupun
di
Masjid
Al
Aqsa)
kapan
saja.
Tapi,
bagi
warga
di
luar
kampung
tua
tersebut,
ada
peraturan
khusus:
yang
berumur
kurang
dari
40
tahun
Adak
boleh
masuk.
OtomaAs
juga
dilarang
salat
di
sana.
Untuk
mengontrol
mereka,
warna
K TP-‐nya
dibedakan:
hijau.
I tu
merupakan
dalih
I srael
untuk
mencegah
berkumpulnya
pejuang
P alesAna
dari
berbagai
penjuru
di
Masjid
Al
Aqsa.
Ada
tujuh
gerbang
masuk
ke
kawasan
Baitul
Maqdis
tersebut.
Semua
terhubung
dengan
gang-‐gang
kecil
perkampungan
padat
P alesAna.
Semua
dijaga
tentara
I srael
bersenjata.
K alau
saja
lebih
terurus,
kawasan
di
dalam
tembok
tua
tersebut
akan
sangat
indah.
Taman-‐
tamannya
yang
luas
dipisahkan
jalan-‐jalan
kecil
yang
terbuat
dari
batu.
H anya,
kurang
rapi
dan
kurang
bersih.
Hari
itu,
hari
ke-‐28
bulan
puasa,
saya
Aba
di
sana
langsung
dari
perbatasan
I srael-‐Jordania.
Saya
Adak
mampir
hotel
dengan
maksud
mengejar
salat
D uhur
berjamaah.
Tapi
telat.
Tapi,
ada
hikmahnya.
Saya
bisa
salat
D uhur
bersama
keluarga
di
Masjid
K ubah
Batu.
L aki-‐laki
memang
hanya
diizinkan
memasuki
Masjid
K ubah
Batu
di
antara
waktu
duhur
dan
asar.
Masjid
K ubah
Batu
itu
isAmewa
karena
ada
bukit
batu
di
tengah-‐tengahnya.
Bukit
batu
tersebut
dikelilingi
tembok
seAnggi
3
meter,
sehingga
jamaah
di
sana
seperA
berjajar
melingkarinya.
Dari
atas
bukit
batu
itulah
Nabi
Muhammad
S AW
’’naik’’
ke
Sidratul
Muntaha,
menghadap
Allah
S WT.
Yakni,
untuk
menerima
perintah
kewajiban
menjalankan
salat
lima
kali
sehari.
PerisAwa
itu
terjadi
pada
malam
tanggal
27
Rajab,
yang
kemudian
Aap
tahun
diperingaA
sebagai
I sra
Mikraj.
Waktu
perisAwa
I sra
Mikraj
itu
terjadi,
tentu
belum
ada
bangunan
apa
pun
di
situ.
Masjid
Kubah
Batu
tersebut
baru
dibangun
belakangan.
D i
bawah
bukit
batu
tersebut
terdapat
pula
gua
yang
besarnya
cukup
untuk
bersembunyi
10
orang.
K onon,
Nabi
I brahim
yang
menggalinya.
Kini
masjid
K ubah
Batu
hanya
untuk
perempuan.
I mamnya
ikut
imam
Masjid
Al
Aqsa
dengan
pengeras
suara
yang
dialirkan
ke
masjid
itu.
J arak
Masjid
K ubah
Batu
dengan
Masjid
Al
Aqsa
memang
hanya
sekitar
300
meter.
Al
Aqsa
lebih
di
bawah.
Tiga Risiko
Seusai
salat
D uhur
di
Masjid
K ubah
Batu,
kami
jalan-‐jalan
melihat
sisi
luar
tembok
kuno
mengelilingi
kawasan
tersebut.
Ada
satu
kawasan
di
luar
tembok
yang
bisa
dibebaskan
dari
perumahan
P alesAna.
I tulah
bagian
luar
tembok
yang
kemudian
dijadikan
tempat
ibadah
orang
Yahudi.
Mereka
antre
menuju
tembok
itu,
menangis
dan
meratap
di
situ.
Sore
itu
kami
salat
Asar
di
Masjid
Al
Aqsa.
W aktu
magrib
kami
ke
masjid
itu
lagi.
D isambung
salat
I sya
dan
Tarawih.
Tarawih
di
sana
sama
dengan
di
Makkah,
yakni
20
rakaat.
Bacaan
suratnya
pun
sangat
panjang.
Tapi
lebih
cepat.
Bedanya,
di
seAap
habis
dua
rakaat
diselingi
salawat
Nabi.
Jamaah
Tarawih
malam
itu
sekitar
1.500
orang.
H anya,
seAap
selesai
dua
rakaat,
ada
saja
yang
meninggalkan
masjid.
Selesai
rakaat
ke-‐10,
Anggal
separo
masjid
terisi.
Di
Al
Aqsa,
mayoritas
jamaah
mengenakan
celana
biasa
(banyak
bercelana
jins
atau
celana
anak
muda
setengah
kaki).
H anya
beberapa
orang
yang
mengenakan
penutup
kepala.
Menjelang
subuh,
saya
ke
Masjid
Al
Aqsa
lagi.
Genaplah
saya
salat
lima
waktu
di
Al
Aqsa.
Menjelang
matahari
terbit,
saya
duduk-‐duduk
di
pelataran
masjid.
D emikian
juga
puluhan
anak
muda.
Udaranya
sejuk.
P epohonan
besar
terasa
seperA
mengeluarkan
oksigen
lebih
banyak.
Saat
duduk-‐duduk
itulah
saya
tahu,
ternyata
cukup
banyak
anak
muda
yang
ber-‐KTP
hijau.
Kok
bisa
masuk
ke
sini?
’’Loncat
pagar
kawat
berduri,’’
ujar
pemuda
27
tahun
tersebut.
’’Saya melewaA lubang yang saya buat di bawah pagar,’’ ujar pemuda di sebelahnya.
’’Kalau
saya
memanfaatkan
jarak
kawat
yang
agak
renggang
yang
cukup
untuk
badan
saya,’’
kata
seorang
pemuda
yang
ternyata
dokter.
Mereka
itu
adalah
pemuda-‐pemuda
P alesAna
yang
sangat
merindukan
salat
di
Masjid
Al
Aqsa.
’’Sejak
adanya
larangan
anak
muda
datang
ke
sini,
baru
sekali
ini
saya
ke
Masjid
Al
Aqsa,’’
ungkapnya.
Al
Aqsa
tentu
sangat
isAmewa.
I tulah
infrastruktur
pertama
yang
pernah
dibangun
di
muka
bumi.
Yakni,
40
tahun
setelah
pembangunan
K akbah
yang
pertama.
Al
Aqsa
maupun
K akbah
sama-‐sama
sudah
mengalami
berkali-‐kali
pembangunan
kembali.
Setelah
rusak
oleh
gempa
maupun
banjir.
D ua-‐duanya
dipercaya
dibangun
malaikat
sebelum
Nabi
Adam
turun
ke
bumi.
KeisAmewaan
Al
Aqsa
itulah
yang
membuat
para
pemuda
P alesAna
tersebut
mengambil
risiko
yang
berat
untuk
bisa
salat
malam
tanggal
27
Ramadan
di
dalamnya.
Al
Aqsa
adalah
tempat
suci
mereka
dan
ibu
kota
negara
mereka.
Sejak
I srael
membangun
perumahan
Yahudi
di
tanah
P alesAna,
perkampungan
orang
P alesAna
dipagari
kawat
berduri.
I tu
dilakukan
untuk
memisahkan
mereka
dari
kampung
Yahudi.
UUD
I srael
memang
menyebutkan:
orang
Yahudi
dari
mana
pun
yang
mau
datang
ke
tanah
PalesAna
disediakan
rumah,
mobil,
dan
keperluan
hidupnya.
Sejak
itu,
perkampungan
Yahudi
terus
dibangun
di
tanah
P alesAna.
Orang-‐orang
P alesAna
sendiri
untuk
bisa
keluar
dari
kampungnya
harus
lewat
pos
penjagaan
ketat.
Atau
meloncaA
pagar.
Untuk
datang
ke
Masjid
Al
Aqsa,
misalnya,
mereka
menempuh
Aga
risiko.
P ertama,
bagaimana
bisa
keluar
kampung
dengan
meloncat
pagar.
K edua,
bagaimana
bisa
berjalan
kaki
jauh,
naik
turun
bukit,
untuk
mencapai
Al
Aqsa.
Bisa
saja
di
tengah
jalan
mereka
ditangkap.
K eAga,
bagaimana
dengan
K TP
hijau
mereka
bisa
melewaA
penjagaan
tentara
bersenjata
di
gerbang
masuk
Baitul
Maqdis.
Israel
menduduki
tanah
P alesAna
sejak
1947/1948.
W aktu
itu,
kawasan
tersebut
menjadi
jajahan
I nggris.
K eAka
orang
Yahudi
dimusuhi
di
mana-‐mana
(terutama
di
J erman
dan
Rusia),
pemerintah
I nggris
memutuskan
untuk
memberikan
negara
kepada
orang
Yahudi.
Pilihannya
dua.
D ua-‐duanya
di
wilayah
jajahan
I nggris:
Uganda
atau
P alesAna.
Semula
I nggris
menentukan
Uganda
di
Afrika.
Tapi,
Yahudi
menolak.
Mereka
memilih
tanah
PalesAna.
Yahudi
percaya
J erusalem
adalah
tanah
leluhur
mereka.
Sejak
itulah
Adak
pernah
ada
ketenteraman
di
Timur
Tengah.
Pemuda
yang
loncat
pagar
itu
lantas
menyingsingkan
celananya.
’’Lihat
ini,’’
katanya.
Terlihat
luka-‐luka
baru
masih
menyisakan
darah
yang
mulai
mengering.
Bekas
goresan
pagar
kawat
berduri
itu
terlihat
memanjang
sampai
dekat
lututnya.
(*)
Irak
Perjalanan Mengenang
Tragedi Karbala
Jum’at,
24
Agustus
2012
Sunni
berlebaran
Minggu,
Syiah
keesokan
harinya.
D i
I raq,
Adak
ada
gejolak
atas
perbedaan
itu.
P emerintah
Adak
terlibat.
Masing-‐masing
golongan
mengumumkan
hari
rayanya
sendiri.
Hari
itu
saya
salat
I d
di
Masjid
Syekh
Abdul
Qadir
J ailani.
L etaknya
di
tengah
K ota
Baghdad.
Tidak
sampai
15
menit
naik
mobil
dari
H otel
I sthar
(dahulu
H otel
Sheraton),
tempat
saya
menginap.
H otel
tersebut
terletak
di
samping
taman
yang
patung
Saddam
H ussein-‐nya
dirobohkan
itu.
Nama
Syekh
Abdul
Qadir
J ailani
sangat
terkenal
di
I ndonesia.
D ialah
tokoh
utama
tarekat/
tasawuf
Naqsyabandiyah,
khususnya
aliran
Qadiriyah.
Sejak
saya
kecil,
nama
itu
sudah
saya
hafal.
D oa-‐doa
yang
diucapkan
ayah
saya
selalu
menyebut
nama
itu
di
bagian
akhirnya.
Ke
sinilah
memang,
ke
makam
Syekh
Abdul
Qadir
J ailani
ini,
tujuan
utama
saya
pergi
ke
Baghdad.
Selama
dua
hari
di
Baghdad,
Aga
kali
saya
ke
makam
tokoh
tasawuf
tersebut.
Tentu
saya
juga
ziarah
ke
makam
Abu
H anifah.
Meski
di
I ndonesia
umumnya
menganut
mazhab
Syafi”i,
Adak
ada
salahnya
ziarah
ke
makam
pendiri
mazhab
H anafi
tersebut.
Toh,
letaknya
juga
di
dalam
K ota
Baghdad
yang
terpisah
hanya
sekitar
5
km.
Dua
makam
itu
sama-‐sama
terletak
di
dalam
masjid.
SeperA
makam
Nabi
Muhammad
yang
terletak
di
dalam
Masjid
Nabawi.
P engunjung
Adak
henA-‐henAnya
ziarah.
Di
Masjid
Syekh
Abdul
Qadir
J ailani,
seusai
salat
I d,
sebuah
bendera
hitam
dengan
tulisan
Arab
berwarna
kuning
emas
diusung
ke
depan
masjid.
Ternyata,
itulah
bendera
“kebangsaan”
tarekat
Naqsyabandiyah.
Orang
pun
berebut
menciuminya.
Pimpinan
masjid
itu,
yang
juga
mursyid
(pimpinan)
tarekat
Naqsyabandiyah
Qadiriyah,
adalah
keturunan
ke-‐17
Syekh
Abdul
Qadir
J ailani.
Masih
muda,
sekitar
35
tahun.
P agi
itu,
kami
dijamu
makan
pagi
khas
Arab.
Tentu
diselingi
diskusi
mengenai
tarekat
Naqsyabandiyah.
Dia
juga
banyak
bertanya
mengenai
pengikut
tarekat
tersebut
di
I ndonesia.
“Saya
ingin
ke
Indonesia
menemui
mereka.
W aktu
ke
Malaysia
tahun
lalu,
saya
ingin
mampir
ke
I ndonesia,
tapi
ada
masalah
visa,”
katanya.
“Keluarga
kami
sering
ke
Malaysia.
Ayah
kami
meninggal
di
Malaysia
tahun
lalu,”
tambahnya.
Orang-‐orang
I raq
memang
sangat
mudah
datang
ke
Malaysia.
Tapi,
masih
sulit
untuk
mendapatkan
visa
ke
I ndonesia.
Akibatnya,
hubungan
dagang
I ndonesia-‐Iraq
terAnggal
jauh
dari
Malaysia.
P erdagangan
I ndonesia-‐Iraq
baru
U SD
100
juta.
Sedangkan
I raq-‐Malaysia
sudah
mencapai
hampir
U SD
1
miliar.
P adahal,
Malaysia
belum
membuka
kedutaan
di
I raq.
Ekonomi Menggeliat
Kami
juga
ziarah
ke
pusat
aliran
Syiah:
Najaf
dan
K arbala.
Najaf
terletak
sekitar
300
km
di
luar
K ota
Baghdad.
Atau
4
jam
perjalanan
dengan
mobil.
Sebenarnya
banyak
yang
mengingatkan
agar
saya
Adak
ke
sana.
Apalagi
dengan
istri,
anak-‐
anak,
dan
cucu.
I raq
belum
sepenuhnya
aman.
L edakan-‐ledakan
bom
mobil
masih
sering
terjadi.
Sampai-‐sampai,
mereka
menyebut
istri
saya
sebagai
perempuan
asing
pertama
yang
berani
berkunjung
ke
I raq.
“MesAnya
istri
Anda
dapat
serAfikat,”
guraunya.
Saya
merasa
beruntung
ziarah
ke
Najaf
dan
K arbala.
Saya
bisa
melihat
kondisi
I raq
Adak
hanya
di
ibu
kotanya.
K alau
melihat
Baghdad
saja,
hampir-‐hampir
putus
harapan:
gersang,
panas,
kering,
dan
berdebu.
Tidak
terlihat
geliat
ekonomi
baru
sama
sekali.
Tidak
banyak
bangunan
bekas
perang
yang
sudah
direnovasi.
J alan-‐jalan
penuh
dengan
barikade
militer.
K endaraan
harus
sering
berhenA
melewaA
pos
bersenjata.
MelewaA
jalan
raya
pun
seperA
memasuki
terowongan:
kanan
kiri
jalan
dipagar
dengan
beton-‐beton
knockdown
seAnggi
3
meter.
Tapi,
begitu
keluar
dari
Baghdad,
ke
arah
selatan
menuju
Najaf,
kesan
saya
tentang
I raq
berubah.
Ekonomi
terasa
mulai
menggeliat
di
jalur
itu.
H ampir
sepanjang
jalan
saya
melihat
pelebaran
jalan,
pembangunan
jalan
baru,
dan
pembuatan
flyover.
D i
beberapa
lokasi,
seperA
di
P rovinsi
Babilon
(di
sinilah
pusat
kekaisaran
Babilonia
kuno),
terlihat
pembangunan
perumahan
rakyat.
Bentuknya
apartemen
empat
lantai
yang
terdiri
atas
ratusan
blok.
“Sebetulnya
rakyat
kurang
senang
apartemen.
Tapi,
zaman
modern
harus
diikuA,”
ujar
teman
saya
yang
orang
I raq.
“Kami
sebenarnya
senang
dengan
rumah
biasa
berlantai
dua.
Pada
musim
tertentu,
kami
terbiasa
Adur
di
atas
atap.
Bisa
terasa
seperA
Adur
di
padang
pasir,”
tambahnya.
Kami
Adak
berhenA
di
Babilon
meski
di
situ
ada
makam
Nabi
Ayub.
K ami
langsung
ke
Najaf:
ke
makam
Sayidina
Ali
bin
Abi
Thalib.
D ialah
sahabat
utama
Nabi
Muhammad
S AW
yang
menjadi
khalifah
ke-‐4
pada
zaman
K hulafaur-‐rasyidin.
D ialah
tokoh
sentral
golongan
Syiah.
Luar
biasa
banyaknya
pengunjung
makam
Sayidina
Ali
yang
juga
menantu
Nabi
Muhammad
itu.
Banyak
sekali
peziarah
yang
sangat
emosional:
meratap,
mengusap,
dan
menciumi
pintu
makam
yang
letaknya
di
dalam
Masjid
I mam
Ali
tersebut.
Setelah
ziarah,
kami
salat
dua
rakaat
di
dekat
makam
itu.
Tentu
kami
segera
diketahui
bukan
orang
Syiah
lantaran
kami
salat
Adak
menggunakan
thurob.
Thurob
adalah
tanah
kering
yang
berbentuk
bundar
seperA
kue
mari.
Thurob
harus
diletakkan
di
lantai,
tepat
di
lokasi
kening
kita
saat
bersujud.
Semua
orang
Syiah
mengantongi
thurob
di
sakunya.
K e
mana
pun
mereka
pergi
dan
di
mana
pun
mereka
salat,
sujudnya
harus
di
thurob
itu.
Waktu
pejabat
Anggi
I ran
datang
ke
J akarta
beberapa
bulan
lalu
dan
saya
bertugas
menjemputnya
di
bandara,
saya
juga
melihat
itu.
W aktu
itu,
sang
pejabat
minta
salat
di
bandara.
Saya
jadi
makmumnya.
Saya
lihat
beliau
merogoh
saku
dan
meletakkan
thurob
di
tempat
sujud.
W aktu
saya
ke
I ran
tahun
lalu,
saya
juga
membeli
thurob
di
sana.
Namun,
ke
Najaf
kali
ini,
saya
membeli
thurob
lagi
karena
yang
dari
I ran
dulu
diminta
orang.
Masjid
I mam
Ali
indahnya
luar
biasa.
I nteriornya
gemerlapan
karena
campuran
kristal
dan
potongan-‐potongan
cermin
yang
dibentuk
dengan
indahnya.
D ulunya
masjid
ini
sangat
kecil.
Tidak
lama
setelah
Saddam
H ussein
terguling,
diperluas
menjadi
dua
kali
lipatnya.
Yang
juga
menarik,
begitu
banyak
keranda
yang
dibawa
masuk
ke
dalam
masjid
tersebut.
Hanya
untuk
dilewatkan
dekat
makam
I mam
Ali.
H ampir
Aap
10
menit
ada
keranda
yang
lewat
di
makam
itu.
Tentu,
maksudnya
agar
mendapat
syafaat
I mam
Ali.
Begitu
banyak
yang
meninggal?
Ternyata,
mayat
itu
Adak
hanya
dari
Najaf.
Mayat
tersebut
datang
dari
seantero
negeri.
Seluruh
orang
Syiah,
di
mana
pun
meninggal,
mayatnya
dibawa
ke
makam
yang
letaknya
di
sebelah
Masjid
I mam
Ali.
Tentu
makam
itu
sangat-‐sangat
luasnya.
Garis
tengahnya
7
km!
P asA,
itulah
makam
terbesar
di
dunia!
“ Ayah
saya
meninggal
di
Baghdad.
J uga
dimakamkan
di
sini,”
ujar
teman
saya
tersebut.
Dengan
dimakamkan
di
situ,
Adak
saja
bisa
bersebelahan
dengan
makam
I mam
Ali
(yang
dipercaya
juga
sekaligus
makamnya
Nabi
Adam
dan
Nabi
Nuh),
namun
juga
membuat
kunjungan
lebih
prakAs.
Ziarah
ke
makam
I mam
Ali
sekalian
ke
keluarga
masing-‐masing.
Bagi
warga
Syiah,
sekali
datang
ke
Najaf
juga
harus
ke
K arbala.
D ua
kota
tersebut
berjarak
70
km.
I tu
mirip
dengan
orang
yang
ke
Makkah
sebaiknya
juga
ke
Madinah.
Bedanya,
perjalanan
ziarah
Najaf-‐Karbala
ini
sangat
demonstraAf,
atrakAf,
dan
emosional.
D i
K arbala
itulah
anak
Imam
Ali,
Sayidina
H ussein,
dimakamkan.
SeAap
bulan
Asyura,
jutaan
orang
Syiah
melakukan
perjalanan
suci
dari
Najaf
ke
K arbala.
Mereka
jalan
kaki
sambil
merinAh,
menangis,
dan
memukul-‐mukul
dada.
Mereka
mengenang
penderitaan
Sayidina
H ussein
dan
solider
atas
penderitaan
itu.
Menyusuri
jalan
dua
arah
yang
sangat
mulus
itu,
saya
membayangkan
betapa
padatnya
sepanjang
jalan
tersebut
saat
bulan
Asyura.
“Kami
biasanya
menempuh
jarak
Najaf-‐Karbala
Aga
hari,”
kata
teman
saya
itu.
“Anda
lihat,
di
sepanjang
jalan
ini
banyak
dibangun
toilet
umum
dan
rumah
singgah.
K ami
bisa
bermalam
di
sepanjang
jalan
ini,”
tambahnya.
Kisah
penderitaan
H ussein
di
K arbala
tentu
Adak
bisa
hilang
dari
ingatan
saya.
P elajaran
tarikh
(sejarah)
I slam
sewaktu
di
madrasah
tsanawiyah,
khususnya
bab
K arbala,
sangat
hidup
di
benak
saya.
Apalagi
guru
tarikh
saya
sangat
pandai
bercerita.
Bagaimana
H ussein
dan
rombongannya
dikhianaA,
disiksa,
dan
akhirnya
dibunuh
dengan
kejamnya
diceritakan
seperA
dalang
menceritakan
babak
perang
Baratayuda.
Bagaimana
kepala
Sayidina
H ussein
yang
setelah
dipenggal
kemudian
ditendang-‐tendang
ke
sana
kemari
menimbulkan
imajinasi
seperA
permainan
sepak
bola
dan
kepala
H ussein
sebagai
bolanya.
KeAka
dewasa,
saya
menemukan
dua
buku
yang
bercerita
sangat
baik
mengenai
tragedi
berdarah
dalam
sejarah
I slam
tersebut.
O
H assem
menulis
dengan
judul
K arbala
yang
penuturannya
penuh
dengan
gaya
jurnalisAk.
Rupanya,
keAka
H ussein
dan
rombongan
meninggalkan
Makkah
berjalan
kaki
berminggu-‐minggu
menuju
K hurasan
(sekarang
berada
di
wilayah
I ran),
ada
seorang
pencatat
yang
mengikuAnya.
Pencatat
itu,
meskipun
mengunAt
dalam
jarak
yang
Adak
dekat,
masih
bisa
melihat
dengan
jelas
tragedi
apa
saja
yang
menimpa
H ussein
dan
rombongan
sepanjang
perjalanan
tersebut.
Catatan
“jurnalisAk”
itulah
yang
jadi
sumber
penulisan
O
H assem.
Baru
belakangan
saya
tahu
bahwa
O
H assem
yang
meninggal
di
J akarta
pada
1990-‐an
tersebut
adalah
seorang
penganut
Syiah
di
I ndonesia.
Begitu
detail
catatan
itu
sampai-‐
sampai
keAka
di
suatu
tempat
H ussein
harus
lari
dari
cegatan
musuhnya,
digambarkan
bagaimana
salah
satu
sandal
H ussein
terAnggal.
Buku
satunya
lagi
adalah
sebuah
novel
berjudul
J alan
Menuju
K hurasan.
Saya
lupa
siapa
penulisnya.
Tapi,
rupanya,
itu
novel
terjemahan.
KeAka
berada
di
makam
Sayidina
H ussein,
saya
merenungkan
mengapa
bisa
terjadi
tragedi
seperA
itu.
J uga
tragedi-‐tragedi
berdarah
lainnya.
Sejak
zaman
K hulafaur-‐rasyidin
hingga
zaman
setelah
Abbasyiah.
Bagaimana
bisa
terjadi,
gara-‐gara
poliAk
kekuasaan,
pertumpahan
darah
Adak
henA-‐henAnya
mengalir
justru
keAka
umat
I slam
menganut
paham
pemerintahan
kekhalifahan.
Permenungan
saya
terhenA
karena
Aba-‐Aba
ada
suara
riuh
rendah.
Saya
lihat
ada
atraksi
yang
menakjubkan
di
dalam
masjid
itu.
Sekitar
50
orang
berdiri
membuat
lingkaran.
Mereka
mengayun-‐ayunkan
badan,
mengalunkan
puji-‐pujian,
sambil
menunjukkan
gerakan
memukul
dada
seperA
penari
saman
dari
Aceh.
“Mereka
itu
peziarah
dari
I ran,”
ujar
teman
saya.
“Mereka
menggunakan
bahasa
P arsi,”
tambahnya.
Sejak
Saddam
H ussein
yang
Sunni
tergusur
oleh
tentara
Amerika
Serikat,
pemerintahan
I raq
memang
dikuasai
golongan
Syiah.
Maka,
kawasan
padat
Syiah
seperA
Najaf
dan
K arbala
bangkit
luar
biasa.
“Dulu
Adak
ada
perhaAan
Saddam
ke
wilayah
ini,”
kata
teman
saya
tersebut.
Sore
itu
saya
kembali
ke
Baghdad.
P uluhan
barikade
pemeriksaan
bersenjata
kembali
harus
kami
lewaA.
Sore
itu
hari
terakhir
bulan
puasa.
K ami
ingin
berbuka
puasa
di
Baghdad,
di
sebuah
restoran
terbuka
di
pinggir
Sungai
Tigris
yang
legendaris.
Buka
puasa
terenak
tahun
ini.
(…habis)
(*)
Iran
Kuasai Teknologi Pembangkit Canggih
saat Kepepet
Jum’at,
06
Mei
2011
Baru
sekali
ini
saya
ke
I ran.
K alau
saja
P LN
Adak
mengalami
kesulitan
mendapatkan
gas
dari
dalam
negeri,
barangkali
Adak
akan
ada
pikiran
untuk
melihat
kemungkinan
mengimpor
gas
dari
Negara
P ara
Mullah
ini.Sudah
setahun
lebih
P LN
berjuang
untuk
mendapatkan
gas
dari
negeri
sendiri.
Tapi,
hasilnya
malah
sebaliknya.
J atah
gas
P LN
justru
diturunkan
terus-‐
menerus.
K alau
awal
2010
P LN
masih
mendapatkan
jatah
gas
1.100
MMSCFD
(million
metric
standard
cubic
feet
per
day
atau
juta
standar
metrik
kaki
kubik
per
hari),
saat
tulisan
ini
dibuat
justru
Anggal
900
MMSCFD.
P erjuangan
untuk
mendapatkan
tambahan
gas
yang
semula
menunjukkan
tanda-‐tanda
berhasil
belakangan
redup
kembali.Gas
memang
sulit
diraba
sehingga
Adak
bisa
terlihat
ke
mana
larinya.
Bisa
jadi
gas
itu
akan
berbelok-‐belok
dulu
entah
ke
mana,
baru
dari
sana
dijual
ke
P LN
dengan
harga
yang
sudah
berbeda.
P adahal,
P LN
memerlukan
1,5
juta
MMSCFD
gas.
K alau
saja
P LN
bisa
mendapatkan
gas
sebanyak
itu,
penghematannya
bisa
mencapai
Rp
15
triliun
seAap
tahun.
Angka
penghematan
yang
mesAnya
menggiurkan
siapa
pun.Maka,
saya
memutuskan
ke
I ran.
Apalagi,
upaya
mengatasi
krisis
listrik
sudah
berhasil
dan
menuntaskan
daear
tunggu
yang
panjang
itu
pasA
bisa
selesai
bulan
depan.
K ini
waktunya
perjuangan
mendapatkan
gas
diAngkatkan.
Termasuk,
apa
boleh
buat,
ke
negara
yang
sudah
sejak
1980-‐an
diisolasi
oleh
Amerika
Serikat
dan
sekutu-‐
sekutunya
itu.
Siapa
tahu
ada
harapan
untuk
menyelesaikan
persoalan
pokok
P LN
sekarang
ini:
efisiensi.
Sumber
pemborosan
terbesar
P LN
adalah
banyaknya
pembangkit
listrik
yang
“salah
makan”.
Sekitar
5.000
MW
pembangkit
yang
seharusnya
diberi
makan
gas
sudah
puluhan
tahun
diberi
makan
minyak
solar
yang
amat
mahal.
Salah
makan
itulah
yang
membuat
kembung
perut
P LN
selama
ini.
Kebetulan
I ran
memang
sedang
memasarkan
gas
dalam
bentuk
cair
(LNG).
I ran
sedang
membangun
proyek
L NG
besar-‐besaran
di
kota
Asaleuyah
di
pantai
Teluk
P arsi.
Saya
ingin
tahu
benarkah
proyek
itu
bisa
jadi”
Bukankah
I ran
sudah
30
tahun
lebih
dimusuhi
dan
diisolasi
secara
ekonomi
oleh
Amerika
Serikat
dan
sekutu-‐sekutunya
dari
seluruh
dunia”
Bukankah
begitu
banyak
yang
meragukan
I ran
bisa
mendapatkan
teknologi
Anggi
untuk
membangun
proyek
L NG
besar-‐besaran?
Saya
pun
terbang
ke
Asaleuyah,
dua
jam
penerbangan
dari
Teheran.
Meski
Asaleuyah
kota
kecil,
ternyata
banyak
sekali
penerbangan
ke
kota
yang
hanya
dipisahkan
oleh
laut
600
km
dari
Qatar
itu.
Bandaranya
kecil,
tapi
cukup
baik.
Masih
baru
dan
statusnya
internasional.
Pesawat-‐pesawat
lokal,
seperA
Aseman
Air,
terbang
ke
sana.
Itulah
kota
yang
memang
baru
saja
berkembang
dengan
pesatnya.
I ran
memang
menjadikan
kota
Asaleuyah
sebagai
pusat
industri
minyak,
gas,
dan
petrokimia.
Beratus-‐ratus
hektare
tanah
di
sepanjang
pantai
itu
kini
penuh
dengan
rangkaian
pipa-‐pipa
kilang
minyak,
kilang
petrokimia,
dan
instalasi
pembuatan
L NG.
Saya
heran
bagaimana
I ran
bisa
mendapatkan
semua
teknologi
itu
pada
saat
I ran
sedang
diisolasi
oleh
dunia
Barat.
Memang
terasa
jalannya
proyek
Adak
bisa
cepat,
tapi
sebagian
besar
sudah
jadi.
K ilang
minyaknya,
kilang
petrokimianya,
kilang
etanolnya
sudah
beroperasi
dalam
skala
yang
raksasa.
H anya
kilang
L NG-‐nya
yang
masih
dalam
pembangunan
dan
kelihatannya
akan
selesai
dua
tahun
lagi.
Memang,
kalau
saja
I ran
Adak
diembargo,
proyek-‐proyek
itu
pasA
bisa
lebih
cepat.
Namun,
Iran
Adak
menyerah.
I ran
membuat
sendiri
banyak
teknologi
yang
dibutuhkan
di
situ.
H anya
bagian-‐bagian
tertentu
yang
masih
dia
datangkan
dari
luar.
Entah
dengan
cara
apa
dan
entah
lewat
mana.
Yang
jelas,
barang-‐barang
itu
bisa
ada.
Orang,
kalau
kepepet,
biasanya
memang
banyak
akalnya.
Asal
Adak
mudah
menyerah.
Demikian
juga,
I ran.
Bahkan,
untuk
memenuhi
keperluan
listrik
untuk
industri
petrokimia
itu,
I ran
akhirnya
bisa
membuat
pembangkit
sendiri.
Termasuk
bisa
membuat
bagian
yang
paling
sulit
di
pembangkit
listrik:
turbin.
Maka,
I ran
kini
sudah
berhasil
menguasai
teknologi
pembangkit
listrik
tenaga
gas,
baik
open
cycle
maupun
combine
cycle.
Kemampuan
membuat
pembangkit
listrik
itu
pun
semula
agak
saya
ragukan.
Belum
pernah
terdengar
ada
negara
I slam
yang
mampu
membuat
pembangkit
listrik
secara
utuh.
K arena
itu,
setelah
meninjau
proyek
L NG,
saya
minta
diantar
ke
pabrik
turbin
itu.
Saya
ingin
melihat
sendiri
bagaimana
I ran
dipaksa
keadaan
untuk
mengatasi
sendiri
kesulitan
teknologinya.
Ternyata
benar.
P abrik
turbin
itu
sangat
besar.
Bukan
hanya
bisa
merangkai,
tetapi
juga
membuat
keseluruhannya.
Bahkan,
sudah
mampu
membuat
blade-‐blade
turbin
sendiri.
Termasuk
mampu
menguasai
teknologi
coaAng
blade
yang
bisa
meningkatkan
efisiensi
turbin.
Baru
sepuluh
tahun
I ran
menekuni
alih
teknologi
pembangkit
listrik
itu.
Sekarang
I ran
sudah
memproduksi
225
unit
turbin
dari
berbagai
ukuran.
Mulai
25
MW
hingga
167
MW.
Bahkan,
I ran
sudah
mulai
mengekspor
turbin
ke
L ebanon,
Syria,
dan
I raq.
Bulan
depan
sudah
pula
mengekspor
suku
cadang
turbin
ke
I ndia.
Bulan
lalu
pabrik
turbin
Iran
merayakan
produksi
blade-‐nya
yang
ke-‐80.000
unit!
Kesimpulan
saya:
inilah
negara
I slam
pertama
yang
mampu
membuat
turbin
dan
keseluruhan
pembangkit
listriknya.
Saya
dan
rombongan
P LN
diberi
kesempatan
meninjau
semua
proses
produksinya.
Mulai
A
hingga
Z.
Termasuk
memasuki
laboratorium
metalurginya.
D engan
kemampuannya
itu,
untuk
urusan
listrik,
I ran
bisa
mandiri.
Pabrik
tersebut
memiliki
32
anak
perusahaan,
masing-‐masing
menangani
bidang
yang
berbeda
di
sektor
listrik.
Termasuk
ada
anak
perusahaan
yang
khusus
bergerak
di
bidang
pemeliharaan
dan
operasi
pembangkitan.
Bisnis
kelihatannya
tetap
bisnis.
Saya
Adak
habis
pikir
bagaimana
I ran
tetap
bisa
mendapatkan
alat-‐alat
produksi
turbin
berupa
mesin-‐mesin
dasar
kelas
satu
buatan
Eropa:
Italia,
J erman,
Swiss,
dan
seterusnya.
Saya
juga
Adak
habis
pikir
bagaimana
pabrik
pembuatan
turbin
itu
bisa
mendapatkan
lisensi
dari
Siemens.
Rupanya,
meski
membenci
Amerika
dan
sekutunya,
I ran
Adak
sampai
membenci
produk-‐
produknya.
I ran
membenci
Amerika
hanya
karena
Amerika
membantu
I srael.
I tu
jauh
dari
bayangan
saya
sebelum
datang
ke
I ran.
Saya
pikir
I ran
membenci
apa
pun
yang
datang
dari
Amerika.
Ternyata
Adak.
Bahkan,
C oca-‐Cola
dijual
secara
luas
di
I ran.
D emikian
juga,
P epsi
dan
Miranda.
Belum
lagi
Gucci,
P rada,
dan
seterusnya.
InAnya:
dengan
diembargo
Amerika
Serikat
dan
sekutunya,
I ran
hanya
mengalami
kesulitan
pada
tahun-‐tahun
pertamanya.
K esulitan
itu
membuat
I ran
kepepet,
bangkit,
dan
mandiri.
Kesulitan
itu
Adak
sampai
membuatnya
miskin,
apalagi
bangkrut.
J ustru
I ran
dipaksa
menguasai
beberapa
teknologi
yang
semula
menjadi
ketergantungannya.
Kegiatan
ekonomi
di
I ran
memang
Adak
gegap
gempita
seperA
Tiongkok,
tapi
tetap
terasa
menggeliat.
P ertumbuhan
ekonominya
sudah
bisa
direncanakan
enam
persen
tahun
ini.
Mulai
meningkat
drasAs
jika
dibandingkan
dengan
tahun-‐tahun
pertama
sanksi
ekonomi
diberlakukan.
“Sebelum
ada
sanksi
ekonomi,
I ran
hanya
mampu
memproduksi
300.000
mobil
setahun.
Sekarang
ini
I ran
memproduksi
1,5
juta
mobil
setahun,”
ujar
seorang
C EO
perusahaan
terkemuka
di
I ran.
Di Antara Sepuluh Wanita, Sebelas
Yang Cantik
Kami
mendarat
di
Bandara
I nternasional
I mam
K homeini,
Teheran,
menjelang
waktu
salat
Jumat.
Maka,
saya
pun
ingin
segera
ke
masjid:
sembahyang
J umat.
Saya
tahu
Adak
ada
kampung
di
sekitar
bandara
itu.
D ari
atas
terlihat
bandara
tersebut
seperA
benda
jatuh
di
tengah
gurun
tandus
yang
mahaluas.
Tapi,
seAdaknya
pasA
ada
masjid
di
bandara
itu.
Memang
ada
masjid
di
bandara
itu,
tapi
Adak
dipakai
sembahyang
J umat.
Saya
pun
minta
diantarkan
ke
desa
atau
kota
kecil
terdekat.
Ternyata
saya
kecele.
D i
I ran
Adak
banyak
tempat
yang
menyelenggarakan
sembahyang
J umat.
Bahkan,
di
kota
sebesar
Teheran,
ibu
kota
negara
dengan
penduduk
16
juta
orang
itu,
hanya
ada
satu
tempat
sembahyang
J umat.
Itu
pun
bukan
di
masjid,
tapi
di
Universitas
Teheran.
D ari
bandara
memerlukan
waktu
perjalanan
1
jam.
Atau
bisa
juga
ke
kota
suci
Qum.
Tapi,
jaraknya
lebih
jauh
lagi.
D i
negara
Islam
I ran,
J umatan
hanya
diselenggarakan
di
satu
tempat
di
seAap
kota
besar.
“Jadi, Adak ada tempat J umatan di bandara ini?” tanya saya.
“Tidak
ada.
K alau
kita
mau
J umatan,
harus
ke
Teheran
(40
km)
atau
ke
Qum
(70
km).
Sampai
di
sana
waktunya
sudah
lewat,”
katanya.
Salat
J umat
ternyata
memang
Adak
wajib
di
negara
I slam
I ran
yang
menganut
aliran
Syiah
itu.
J uga
Adak
mengganAkan
salat
D uhur.
J adi,
siapa
pun
yang
salat
J umat
tetap
harus
salat
duhur.
Karena
J umat
adalah
hari
libur,
saya
Adak
dijadwalkan
rapat
atau
meninjau
proyek.
Maka,
waktu
setengah
hari
itu
saya
manfaatkan
untuk
ke
kota
suci
Qum.
J alan
tolnya
Adak
terlalu
mulus,
tapi
sangat
OK:
enam
jalur
dan
tarifnya
hanya
Rp
4.000.
Tarif
itu
kelihatannya
memang
hanya
dimaksudkan
untuk
biaya
pemeliharaan.
Sepanjang
perjalanan
ke
Qum
Adak
terlihat
apa
pun.
Sejauh
mata
memandang,
yang
terlihat
hanya
gurun,
gunung
tandus,
dan
jaringan
listrik.
Saya
bayangkan
alangkah
enaknya
membangun
S UTET
(saluran
udara
tegangan
ekstraAnggi)
di
I ran.
Tidak
ada
urusan
dengan
penduduk.
Alangkah
kecilnya
gangguan
listrik
karena
Adak
ada
jaringan
yang
terkena
pohon.
Pohon
begitu
langka
di
sini.
Begitu
juga
letak
kota
suci
Qum.
K ota
ini
seperA
berada
di
tengah-‐tengah
padang
yang
tandus.
K arena
itu,
bangunan
masjidnya
yang
amat
besar,
yang
berada
dalam
satu
kompleks
dengan
madrasah
yang
juga
besar,
kelihatan
sekali
menonjol
sejak
dari
jauh.
Tujuan
utama
kami
tentu
ke
masjid
itu.
I nilah
masjid
yang
luar
biasa
terkenalnya
di
kalangan
umat
I slam
Syiah.
K alau
pemerintahan
I ran
dikontrol
ketat
oleh
para
mullah,
di
Qum
inilah
pusat
mullah.
D emokrasi
di
I ran
memang
demokrasi
yang
dikontrol
oleh
ulama.
P residennya
dipilih
secara
demokraAs
untuk
masa
jabatan
paling
lama
dua
kali.
Tapi,
sang
presiden
harus
taat
kepada
pemimpin
terAnggi
agama
yang
sekarang
dipegang
I mam
K hamenei.
Siapa
pun
bisa
mencalonkan
diri
sebagai
presiden
(Adak
harus
dari
partai),
tapi
harus
lolos
seleksi
oleh
dewan
ulama.
Tapi,
sang
imam
bukan
seorang
diktator
mutlak.
D ia
dipilih
secara
demokraAs
oleh
sebuah
lembaga
yang
beranggota
85
mullah.
SeAap
mullah
itu
pun
dipilih
langsung
secara
demokraAs
oleh
rakyat.
Dalam
prakAk
sehari-‐hari,
ternyata
Adak
seseram
yang
kita
bayangkan.
Amat
jarang
lembaga
keagamaan
itu
mengintervensi
pemerintah.
“Dalam
lima
tahun
terakhir,
kami
belum
pernah
mendengar
campur
tangan
mullah
ke
pemerintah,”
ujar
seorang
C EO
perusahaan
besar
di
Teheran.
Saya
memang
kaget
melihat
kehidupan
sehari-‐hari
di
I ran,
termasuk
di
kota
suci
Qum.
Banyak
sekali
wanita
yang
mengendarai
mobil.
Tidak
seperA
di
negara-‐negara
di
jazirah
Arab
yang
wanitanya
dilarang
mengendarai
mobil.
Bahkan,
orang
I ran
menilai
negara
yang
melarang
wanita
mengendarai
mobil
dan
melarang
wanita
memilih
dalam
pemilu
bukanlah
negara
yang
bisa
menyebut
dirinya
negara
I slam.
Dan
lihatlah
cara
wanita
I ran
berpakaian.
Termasuk
di
kota
suci
Qum.
Memang,
semua
wanita
diwajibkan
mengenakan
kerudung
(termasuk
wanita
asing),
tapi
ya
Adak
lebih
dari
kerudung
itu.
Bukan
jilbab,
apalagi
burqa.
K erudung
itu
menutup
rapi
kepala,
tapi
boleh
menyisakan
bagian
depan
rambut
mereka.
Maka,
siapa
pun
bisa
melihat
mode
bagian
depan
rambut
wanita
I ran.
Ada
yang
dibuat
modis
sedikit
keriAng
dan
sedikit
dijuntaikan
keluar
dari
kerudung.
Ada
pula
yang
terlihat
dibuat
modis
dengan
cara
mewarnai
rambut
mereka.
Ada
yang
blonde,
ada
pula
yang
kemerah-‐merahan.
Bagaimana
baju
mereka?
P akaian
atas
wanita
I ran
umumnya
juga
sangat
modis.
Baju
panjang
sebatas
lutut
atau
sampai
ke
mata
kaki.
P akaian
bawahnya
hampir
100
persen
celana
panjang
yang
cukup
ketat.
Ada
yang
terbuat
dari
kain
biasa,
tapi
banyak
juga
yang
celana
jins.
D engan
tampilan
pakaian
seperA
itu,
ditambah
dengan
tubuh
mereka
yang
umumnya
langsing,
wanita
I ran
terlihat
sangat
modis.
Apalagi,
seperA
kata
orang
I ran,
di
antara
sepuluh
wanita
I ran,
yang
canAk
ada
sebelas!
Sedikit
sekali
saya
melihat
wanita
I ran
yang
memakai
burqa,
itu
pun
Adak
ada
yang
sampai
menutup
wajah.
Sampai
di
kota
Qum,
sembahyang
J umatnya
memang
sudah
selesai.
Ribuan
orang
bubaran
keluar
dari
masjid.
Saya
pun
melawan
arus
masuk
ke
masjid
melalui
pintu
15.
Setelah
salat
Duhur,
saya
ikut
ziarah
ke
makam
FaAmah
yang
dikunjungi
ribuan
jamaah
itu.
Makam
itu
berada
di
dalam
masjid
sehingga
suasananya
mengesankan
seperA
ziarah
ke
makan
Rasulullah
di
Masjid
Nabawi.
Apalagi,
banyak
juga
orang
yang
kemudian
salat
dan
membaca
Alquran
di
dekat
situ
yang
mengesankan
orang
seperA
berada
di
Raudlah.
Yang
juga
menarik
adalah
strata
sosialnya.
K ota
Metropolitan
Teheran
berpenduduk
16
juta
dan
dengan
ukuran
50
km
garis
tengah
adalah
kota
yang
sangat
besar.
Sebanding
dengan
Jakarta
dengan
J abotabek-‐nya.
Tetapi,
Adak
terlihat
ada
keruwetan
lalu
lintas
di
Teheran.
Memang,
Teheran
Adak
memiliki
kawasan
yang
canAk
seperA
J alan
Thamrin-‐Sudirman,
namun
sama
sekali
Adak
terlihat
ada
kawasan
kumuh
seperA
P ejompongan
dan
Bendungan
Hilir.
Memang,
Adak
banyak
gedung
pencakar
langit
yang
canAk,
tapi
juga
Adak
terlihat
gubuk
dan
bangunan
kumuh.
Kota
Teheran
Adak
memiliki
bagian
kota
yang
terlihat
mewah,
tetapi
juga
Adak
terlihat
ada
bagian
kota
yang
miskin.
Teheran
bukan
kota
yang
sangat
bersih,
tapi
juga
Adak
terasa
kotor.
Di
jalan-‐jalan
yang
penuh
dengan
mobil
itu
saya
Adak
melihat
ada
Mercy
mewah,
apalagi
Ferrari,
tapi
juga
Adak
ada
bajaj,
motor,
atau
mobil
kelas
600
hingga
1.000
cc.
Lebih
dari
90
persen
mobil
yang
memenuhi
jalan
adalah
sedan
kelas
1.500
hingga
2.000
cc.
Saya
Adak
melihat
ada
mal-‐mal
yang
besar
di
Teheran.
Tapi,
saya
juga
sama
sekali
Adak
melihat
ada
pedagang
kaki
lima,
apalagi
pengemis.
W anitanya
juga
Adak
ada
yang
sampai
pakai
burqa,
tapi
juga
Adak
ada
yang
berpakaian
merangsang.
Orangnya
rata-‐rata
juga
ramah
dan
sopan.
Baik
dalam
sikap
maupun
kata-‐kata.
Pemerataan
pembangunan
terasa
sekali
berhasil
diwujudkan
di
I ran.
Semua
rumah
bisa
masak
dengan
gas
yang
dialirkan
melalui
pipa
tersentral.
D emikian
juga,
99
persen
rumah
di
Iran
menikmaA
listrik
“untuk
Adak
menyebutkan
100
persen.
Melihat
I ran
seperA
itu
saya
jadi
teringat
makna
kata
yang
ditempatkan
di
bagian
tengah-‐
tengah
Alquran:
W al
Yatalaththaf!
Tahan Banting dengan Tradisi
Keilmuan dan Bazari
Bagaimana
I ran
ke
depan?
Mengapa
setelah
lebih
30
tahun
diisolasi
dan
diembargo
Amerika
Serikat,
I ran
Adak
kolaps
seperA
Burma,
K orut
atau
K uba?
Banyak
faktor
yang
melatarbelakanginya.
P ertama,
saat
mulai
diisolasi
dulu
kondisi
I ran
sudah
cukup
maju.
Kedua,
tradisi
keilmuan
bangsa
I ran
termasuk
yang
terbaik
di
dunia.
K eAga,
I ran
penghasil
minyak
dan
gas
yang
sangat
besar.
K eempat,
jumlah
penduduk
I ran
cukup
besar
untuk
bisa
mengembangkan
ekonomi
domesAk.
K elima,
tradisi
dagang
masyarakat
I ran
sudah
terkenal
dengan
golongan
bazari-‐nya.
Tradisi
dagang
itu
Adak
mudah
dikalahkan.
P edagang
selalu
bisa
berkelit
dari
kesulitan.
I ni
berbeda
dengan
tradisi
agraris.
SeperA
C ina,
meski
60
tahun
dikungkung
oleh
komunisme
Mao
Zedong
yang
kaku,
penduduknya
tetap
Adak
lupa
kebiasaan
dagang.
D emikian
juga
warga
I ran.
I ni
terbukA
sampai
sekarang
pun.
Setelah
lebih
20
tahun
diisolasi
pun
sektor
jasa
masih
menyumbang
sampai
40
persen
G DP
negara
itu.
P enduduk
I ran
yang
75
juta
orang
juga
menjadi
kekuatan
ekonomi
tersendiri.
Apalagi
saat
mulai
diisolasi
oleh
Amerika
tahun
80-‐an,
kondisi
I ran
sudah
Adak
tergolong
negara
miskin.
K elas
menengah
di
I ran
sangat
dominan.
I nilah
faktor
yang
dulu
membuat
revolusi
I slam
I ran
tahun
1979
berhasil
menumbangkan
diktator
Syah
P ahlevi.
Keberhasilan
itu
disebabkan
masyarakat
di
I ran
didominasi
kaum
bazari.
P edagang
kelas
menengah.
Yakni
bukan
konglomerat
yang
ketakutan
ditebas
penguasa,
dan
bukan
pedagang
kecil
yang
takut
kehilangan
tempat
bergantung.
Belum
lagi
kekayaan
alamnya.
I ran
adalah
negara
kedua
terbesar
penghasil
minyak
dan
gas
alam.
Bukan
hanya
memiliki
cadangan
besar,
tapi
juga
mampu
melakukan
drilling
dan
pengolahan
sendiri.
Tidak
ada
lagi
ketergantungan
akan
teknologi
drilling
dan
pengolahan.
Salah
satu
sumber
gasnya,
yang
baru
saja
ditemukan,
akan
membuat
negara
itu
kian
berkibar.
D i
lepas
pantainya,
di
Teluk
P arsi,
ditemukan
ladang
gas
terbesar
di
dunia.
L adang
itu
setengahnya
berada
di
wilayah
Qatar
dan
setengahnya
lagi
di
wilayah
I ran.
Tahun
1999
lalu
Qatar
sudah
berhasil
menyedot
gas
bawah
laut
itu
dari
wilayah
Qatar.
K alau
I ran
Adak
menyedotnya
dari
wilayah
I ran
tentu
semua
gas
itu
akan
disedot
Qatar.
K arena
itu
I ran
juga
bergegas
menyedotnya
dari
sisi
Amur.
Tahun
2003
lalu
I ran
sudah
berhasil
menyedot
gas
itu
dan
akan
terus
meningkatkan
sedotannya.
‘’Tiga
tahun
lagi
kemampuan
I ran
menyedot
gas
itu
sudah
sama
dengan
Qatar,’’
ujar
C EO
perusahaan
gas
di
sana.
Untuk
menggambarkan
seberapa
besar
potensi
gas
itu
baiknya
dikuAp
kata-‐kata
C EO
yang
saya
temui
di
atas.
‘’Seluruh
gas
I ran
di
situ
harganya
12
triliun
dolar
Amerika,’’
katanya.
I ni
sama
dengan
12
kali
seluruh
kekuatan
ekonomi
I ndonesia
yang
1
triliun
dolar
Amerika
saat
ini.
‘’Kalau
gas
itu
diambil
dalam
skala
seperA
sekarang
baru
akan
habis
dalam
200
tahun,’’
tambahnya.
Gas
itu
letaknya
memang
3.000
meter
di
bawah
laut,
namun
dalamnya
laut
sendiri
hanya
50
meter.
Secara
teknis
ini
jauh
lebih
mudah
pengambilan
gasnya
daripada
misalnya
gas
bawah
laut
I ndonesia
di
Masela,
di
laut
Maluku
Tenggara.
Memang
masih
ada
kendala
ekonomi
yang
mendasar.
D efisit
anggaran
masih
menghantui,
subsidi
masih
besar,
laju
inflasi
masih
Anggi
dan
akses
perdagangannya
masih
terjepit
oleh
sanksi
Amerika.
I nflasi
yang
Anggi
itu
akibat
naiknya
harga
bahan
makanan,
gas
dan
B BM.
Bahkan
akibat
inflasi
itu
I ran
harus
mencetak
mata
uang
dengan
pecahan
lebih
besar
dari
rupiah.
K alau
pecahan
rupiah
paling
besar
Rp100
ribu,
real
I ran
terbesar
adalah
500
ribu
real
(1
real
hampir
sama
dengan
Rp1).
Bahkan
ada
juga
real
lembaran
1
juta,
meski
penggunaannya
hanya
di
lingkungan
terbatas.
SeperA
I ndonesia,
I ran
juga
merencanakan
menghapus
empat
nol
di
belakang
real
yang
terlalu
panjang
itu.
H anya
saja,
penghapusan
nol
tersebut
baru
akan
dilakukan
setelah
inflasinya
stabil
kelak.
I tulah
sebabnya
P emerintah
I ran
kini
maA-‐maAan
memperbaiki
fondasi
ekonominya.
Tahun
lalu
parlemen
I ran
sudah
menyetujui
dilaksanakannya
reformasi
ekonomi.
Sebuah
reformasi
yang
sangat
penAng
dan
mendasar.
I nA
dari
reformasi
itu
adalah
menjadikan
ekonomi
I ran
sebagai
‘’ekonomi
pasar’’.
ArAnya
harga-‐harga
harus
ditentukan
oleh
pasar.
Tidak
boleh
lagi
ada
subsidi.
Reformasi
ekonomi
itu
ditargetkan
harus
berhasil
dalam
lima
tahun
ke
depan.
Begitu
penAngnya
reformasi
untuk
meletakkan
dasar-‐dasar
ekonomi
I ran
itu,
sampai-‐sampai
Presiden
Ahmadinejad
berani
mengambil
resiko
dihujat
dan
dibenci
rakyatnya
dua
tahun
terakhir
ini.
Subsidi
pun
dia
hapus.
H arga-‐harga
merangkak
naik.
Ahmadinejad
Adak
takut
Adak
popular
karena
ini
memang
sudah
masa
jabatannya
yang
kedua,
yang
Adak
mungkin
bisa
maju
lagi
jadi
presiden.
Bahwa
kini
I ran
memilih
jalan
ekonomi
pasar
sungguh
mengejutkan.
Alasannya
pun
sangat
ekonomi:
untuk
meningkatkan
produkAvitas
nasional
dan
keadilan
sosial.
Subsidi
(subsidi
BBM
tahun
lalu
mencapai
84
juta
dolar
Amerika),
menurut
pemerintah,
lebih
banyak
jatuh
kepada
orang
kaya.
K arena
itu
daripada
anggaran
dialokasikan
untuk
subsidi
lebih
baik
langsung
diarahkan
untuk
golongan
yang
berhak.
Pemikiran
reformasi
ekonomi
seperA
itulah
yang
Adak
ada
di
negara-‐negara
lain
yang
diisolasi
Amerika
Serikat.
I nilah
juga
faktor
yang
membuat
I ran
Adak
akan
terAnggal
seperA
Burma,
K uba
atau
L ibya.
D engan
bendera
sebagai
Negara
I slam
pun
I ran
tetap
menjunjung
Anggi
ilmu
ekonomi
yang
benar.
Tradisi
keilmuan
di
I ran,
termasuk
ilmu
ekonomi,
memang
sudah
Anggi
sejak
zaman
awal
peradaban.
I nilah
salah
satu
bangsa
tertua
di
dunia
dengan
peradaban
Arya
yang
Anggi.
Dalam
situasi
terjepit
sekarang
pun,
tradisi
keilmuan
itu
tetap
menonjol.
I ran
kini
tercatat
sebagai
satu
di
antara
15
negara
yang
mampu
mengembangkan
nanoteknologi.
I ran
juga
termasuk
10
negara
yang
mampu
membuat
dan
meluncurkan
sendiri
roket
luar
angkasa.
Di
bidang
rekayasa
kesehatan,
I ran
juga
menonjol:
teknologi
stemcell,
kloning,
dan
jantung
buatan
sudah
sangat
dikenal
di
dunia.
Bahkan
untuk
stemcell
I ran
masuk
10
besar
dunia.
Maka
Adak
heran
kalau
I ran
juga
Adak
keAnggalan
dalam
penguasaan
teknologi
perminyakan,
pembangkit
listrik,
dan
otomoAf.
J angankan
jenis
teknologi
itu,
nuklir
pun
I ran
sudah
bisa
membuat,
lengkap
dengan
kemampuannya
memproduksi
uranium
hexaflourade
yang
selama
ini
hanya
dimiliki
oleh
enam
negara.
AS
kelihatannya
berhasil
membuat
Burma,
K orut,
K uba
dan
L ibya
menderita
dengan
embargonya.
Tapi
Adak
untuk
I ran.
K e
depan
posisi
I ran
justru
kian
baik,
antara
lain
karena
dibantu
oleh
Amerika
Serikat
sendiri.
Sudah
lama
I ran
ingin
menumbangkan
Saddam
H usein
di
I rak,
namun
selalu
gagal.
P erang
I ran-‐Irak
yang
sampai
delapan
tahun
pun
Adak
berhasil
mengalahkan
Saddam
H usein.
I ran
Adak
menyangka
bahwa
Saddam
dengan
mudah
ditumbangkan
oleh
Amerika.
D engan
tumbangnya
Saddam
H usein
maka
I rak
kini
dikuasai
oleh
para
pemimpin
yang
haA
mereka
memihak
I ran.
Banyak
pemimpin
I rak
saat
ini
adalah
mereka
yang
di
masa
Saddam
dulu
terusir
ke
luar
negeri,
dan
mereka
bersembunyi
di
I ran.
Bahkan
saat
terjadi
perang
I ran-‐Irak
dulu,
mereka
ikut
angkat
senjata
bersama
tentara
I ran
menyerbu
I rak.
Demokrasi
yang
diperjuangkan
AS
di
I rak
telah
membuat
golongan
mayoritas
berkuasa
di
Irak.
P adahal
mayoritas
rakyat
I rak
adalah
I slam
Syi’ah.
Golongan
Sunni
hanya
40
persen,
itu
pun
Adak
utuh.
Yang
separo
adalah
keturunan
Arab
sedang
separo
lagi
keturunan
K urdi.
Ada
kecenderungan
keturunan
K urdi
memilih
berkoalisi
dengan
Syi’ah.
P adahal
yang
golongan
Arab
itu
pun
masih
juga
terpecah-‐pecah
ke
dalam
berbagai
kabilah.
Saddam
H usein,
misalnya,
datang
dari
suku
Tikrit
yang
jumlahnya
hanya
sekitar
10
persen
dari
penduduk
Irak.
Korea
Nuklir Tidak Habis Pikir
Saya
tak
habis
pikir:
tetangga
terdekat
J epang
ini
sama
sekali
tak
terpengaruh
oleh
heboh
pembangkit
listrik
tenaga
nuklir
(PLTN)
Fukushima.
Korea
Selatan
tetap
bersemangat,
bukan
saja
menjalankan
P LTN
yang
sudah
ada,
melainkan
juga
terus
membangun
P LTN
baru.
Gempa
dan
tsunami
hebat
yang
menghancurkan
P LTN
Fukushima
pada
Maret
lalu
ternyata
sebatas
membuat
K orsel
lebih
waspada.
Tak
ada
satupun
P LTN
di
K orsel
yang
berjumlah
20
unit
itu
yang
dihenAkan
operasinya.
Bahkan,
yang
sedang
dibangun
pun
tetap
dikebut
penyelesaiannya.
Akhir
bulan
lalu,
setelah
memeriksakan
liver
baru
saya
di
rumah
sakit
di
Tianjin,
saya
mampir
ke
K orsel.
J arak
ke
negara
itu,
dari
Tianjin,
hanya
satu
jam
penerbangan.
Saya
ingin
menyaksikan
benarkah
pemerintah
K orsel
tak
terpengaruh
tekanan
anAnuklir
yang
dengan
kejadian
di
Fukushima
mendapat
momentum
yang
tepat.
Ternyata
benar.
Saya
dibawa
ke
pantai
tenggara
K orsel
yang
posisinya
menghadap
ke
arah
Fukuoka,
J epang.
K orsel
memiliki
20
P LTN
dan
semuanya
di
pantai.
P rakAs,
sepanjang
pantai
Amur
dan
selatan
K orsel
padat
dengan
P LTN.
Di
lokasi
yang
saya
Anjau
ini,
misalnya.
Bukan
hanya
P LTN
yang
sudah
ada
sebanyak
4
unit
tetap
beroperasi,
bahkan
akan
ditambah
lagi
dua
unit
baru.
Dua
unit
baru
ini
saya
lihat
sedang
giat-‐giatnya
diselesaikan.
Terlihat
begitu
banyak
pekerja
di
kedua
proyek
itu.
K orsel
yang
dikenal
disiplin
pada
jadwal
proyek
itu
memang
ingin
menyelesaikan
dua
proyek
P LTN
itu
satu
bulan
lebih
cepat
dari
jadwal
seharusnya:
akhir
tahun
ini
juga.
Dua
unit
yang
sedang
dalam
penyelesaian
itu
salah
satunya
dibangun
grup
Samsung.
Rupanya,
Samsung
pun
sudah
merambah
ke
bidang
pembangunan
P LTN.
I ni
bukan
kunjungan
saya
yang
pertama
ke
P LTN.
Tahun
lalu
saya
ke
P LTN
Genka
di
K yushu,
J epang.
Namun,
baru
kali
ini
saya
melihat
proyek
PLTN
yang
sedang
dikerjakan.
I nilah
kesempatan
baik
bagi
saya
untuk
melihat
‘jantung’-‐nya
PLTN
yang
tak
mungkin
bisa
dilihat
lagi
setelah
proyek
itu
selesai.
Kebetulan
tahap
pembangunan
P LTN
oleh
Samsung
ini
sudah
mencapai
AAk
menjelang
akhir.
Bangunan
fisik
reaktornya
sudah
jadi,
namun
masih
bisa
dimasuki
untuk
melihat
dalamnya.
Bagian-‐bagian
yang
berada
di
bawah
air
sudah
dipasang.
Tapi,
karena
airnya
sangat
jernih,
bagian
ini
masih
bisa
dilihat
samar-‐samar.
Reaktornya
sendiri
yang
kelak
diisi
uranium
itu
belum
dipasang,
tapi
sudah
siap
di
sebelah
‘kolam’
itu.
Tinggal
mengangkat
dan
memasukkannya
ke
kolam,
disatukan
dengan
bagian
bawahnya
yang
sudah
berada
di
dalam
air.
Peralatan-‐peralatan
lain
juga
sudah
dipasang,
tapi
masih
bisa
diAnjau
dari
jarak
dekat:
proses
steam
(uap),
turbin,
generator,
dan
ruang
kontrol.
Berada
di
dalam
kubah
besar
bangunan
P LTN
yang
sudah
jadi,
kita
bisa
melihat
tebal
dan
berlapis-‐lapisnya
material
yang
sangat
khusus
untuk
dinding
kubah
itu.
K ita
juga
bisa
melihat
sistem
pendingin
yang
berlapis-‐lapis
yang
sudah
Adak
akan
seperA
Fukushima
yang
memang
masih
menggunakan
teknologi
40
tahun
lalu
itu.
Ketergantungan
K orsel
akan
P LTN
memang
tak
bisa
dihindari
lagi.
Sudah
terlalu
besar
peran
PLTN
untuk
pasokan
listrik
di
K orsel:
sudah
30
persen
(30
persennya
lagi
P LTU
batubara
dan
sisanya
P LTG).
Kalau
P LTN
di
K orsel
dihenAkan,
ekonomi
Negara
Ginseng
yang
sedang
ingin
mengalahkan
Jepang
itu
bisa
langsung
runtuh.
Apalagi
K orsel
telanjur
mengandalkan
P LTN
bukan
hanya
untuk
kecukupan
pasokannya,
tapi
juga
untuk
menjaga
keandalan
listriknya,
efisiensinya,
dan
murahnya
harga
listrik.
Soal
murah
ini
saya
hampir-‐hampir
tak
percaya.
Sebab,
keAka
di
J epang
tahun
lalu
saya
mendapat
keterangan
harga
listrik
dari
P LTN
masih
17
cent
dolar
AS
per
kWh.
Rasanya
saya
tak
salah
dengar
saat
itu.
Rasanya
saya
juga
sudah
mengulangi
beberapa
kali
pertanyaan
saya
itu
dan
jawabnya
sama:
17
cent
dolar
AS
per
kWh.
(Baru
setelah
di
P LN
saya
tahu
bahwa
dalam
menulis
kWh,
huruf
W -‐nya
harus
besar
karena
berasal
dari
nama
orang
yang
menemukan
listrik,
J ames
W am).
Tapi,
di
K orsel
ini
saya
dapat
penjelasan
yang
sangat
mengejutkan.
H arga
listrik
dari
P LTN
hanya
3,9
cent
dolar
AS
per
kWh.
Untuk
rupiah
sekarang,
ini
hanya
sekitar
Rp350
per
kWh.
Bandingkan
dengan
harga
listrik
dari
P LTU
batubara
yang
kini
sudah
mencapai
Rp600
per
kWh.
Atau
bandingkan
dengan
harga
listrik
yang
diproduksi
dengan
minyak
solar
di
Tambak
Lorok
(Semarang)
atau
di
Muara
Tawar,
Tanjung
P riok
dan
Muara
K arang
(semuanya
di
sekitar
J akarta)
yang
saat
ini
mencapai
Rp3.000
per
kWh.
P rakAs,
10
kali
lipat
lebih
mahal
daripada
listrik
nuklir
K orsel.
Apalagi,
kalau
dibanding
dengan
produksi
listrik
di
pulau-‐
pulau
luar
J awa
yang
mencapai
Rp3.500
per
kWh.
Saya
sungguh
mengira
salah
dengar.
L ebih
lima
kali
saya
mengulangi
pertanyaan
saya
itu.
KhawaAr
masih
salah
dengar,
saya
minta
dituliskan
di
atas
kertas.
Mula-‐mula
saya
yang
menuliskannya.
D ia
pun
membenarkan.
L alu
saya
minta
dia
sendiri
yang
menulis.
Ternyata
sama:
3,9
cent
dolar
AS
per
kWh.
Saya
masih
takut
teperdaya.
K eAka
mengunjungi
P LTA
(pembangkit
listrik
tenaga
air)
pumped
storage
di
Yang
Yang,
Aga
jam
naik
mobil
dari
Seoul,
saya
bertanya
ke
pejabat
Anggi
Kepco
(PLN-‐nya
K orsel).
I ni
berarA
saya
bertanya
ke
pihak
pembeli.
Saya
ingin
membandingkan
keterangan
pihak
P LTN
(penjual
listrik)
dengan
keterangan
Kepco
sebagai
pihak
pembeli
(untuk
disalurkan
ke
masyarakat).
P ertanyaan
saya:
berapakah
Kepco
membeli
listrik
dari
pembangkit-‐pembangkit
nuklir?
J awabnya:
3,9
cent
dolar
AS
per
kWh.
Bahkan,
pejabat
Anggi
‘PLN
K orsel’
itu
menuliskan
daear
harga
listrik
yang
dia
beli
dari
berbagai
jenis
pembangkit.
Nuklir
3,9
cent,
P LTU
batubara:
6,0
cent,
P LTA:
13,8
cent,
P LTA
pumped
storage:
20,1
cent.
PLTA
pumped
storage
jadi
paling
mahal
karena
sifatnya
yang
khusus.
I nilah
pembangkit
listrik
yang
menggunakan
air,
tapi
hanya
dijalankan
lima
jam
sehari,
yang
disebut
waktu
beban
puncak.
Kalau
di
I ndonesia,
beban
puncak
itu
terjadi
antara
pukul
6
sore
sampai
10
malam,
keAka
semua
orang
menyalakan
listrik
di
rumah
masing-‐masing.
Pada
jam-‐jam
seperA
itu
semua
air
di
waduk
yang
di
atas
sana
ditumpahkan
ke
turbin
untuk
menghasilkan
listrik.
Setelah
pukul
10
malam,
keAka
rumah-‐rumah
mulai
memaAkan
listrik,
operasi
dihenAkan.
Air
yang
sudah
diterjunkan
ke
waduk
bawah
tadi
dipompa
lagi
ke
atas
dimasukkan
ke
waduk
atas.
Begitulah
terus-‐menerus
sepanjang
hari.
Airnya
diputar
dengan
cara
yang
amat
mahal.
Untuk
kali
pertama
P LN
akan
membangun
proyek
seperA
ini
di
C isokan,
dekat
Bandung.
Setelah
diadakan
peneliAan,
untuk
seluruh
J awa
hanya
satu
tempat
ini
yang
bisa
dipakai
untuk
pembangkit
listrik
sistem
khusus
ini.
Setelah
dapat
keyakinan
harga
tadi,
barulah
saya
mengerA
mengapa
industri
di
K orsel
bisa
dapat
harga
listrik
lebih
murah
dari
I ndonesia.
P adahal,
di
C ina
saja,
yang
harga-‐harga
barangnya
lebih
murah,
listrik
untuk
industrinya
lebih
mahal
dari
I ndonesia.
Dari
sini
juga
saya
tahu
bahwa
maA
lampu
di
K orsel
jadi
yang
terbaik
di
dunia.
Setahun
hanya
maA
lampu
3
menit.
Salah
satunya
karena
pasokan
listriknya
sangat
andal.
(Indonesia:
2009
maA
lampu
150
kali;
2010
turun
jadi
50
kali;
2011
ini
ditargetkan
hanya
9
kali
rata-‐
rata
per
pelanggan
per
tahun).
Dari
sini
pula
saya
bisa
maklum
mengapa
pemerintah
Uni
Emirat
Arab
tak
membatalkan
proyek
nuklirnya.
Samsung
juga
yang
akan
mengerjakan
empat
unit
P LTN
di
Uni
Emirat
Arab,
masing-‐masing
1.400
MW
itu.
‘’Kami
terus
bekerja
di
sana,’’
ujar
pejabat
Anggi
Samsung
yang
menemani
saya.
Tapi,
Adakkah
rakyat
K orsel
takut
akan
terjadi
seperA
di
Fukushima?
I tu
yang
membuat
saya
bertanya-‐tanya.
K alaupun
pemerintahnya
tak
terpengaruh,
apakah
rakyatnya
juga
tak
takut?
Saya
pun
mencari
kesempatan
untuk
menanyakan
hal
itu
pada
orang
biasa
di
keramaian
K ota
Seoul.
Ada
yang
pekerjaannya
supir,
ada
juga
yang
pegawai
kantor
swasta.
Pertanyaan
yang
saya
ajukan
sama:
apa
tak
takut
dengan
listrik
nuklir?
J awabnya
mirip-‐
mirip:
ada
juga
ketakutan
itu,
tapi
tak
seberapa
besar.
Lalu
saya
bertanya
lagi:
seandainya
rasa
takut
itu
dibuat
skala
antara
1
(Adak
takut
sama
sekali)
sampai
100
(sangat
takut),
di
skala
berapakah
ketakutan
Anda
itu?
J awab
mereka
juga
mirip-‐mirip:
di
antara
skala
15
sampai
20.Wallahualam.***
Singapura
Belajar
dari
Ambisi
Singapura
Menguasai
Dunia
Bulan
ini,
C EO
Grup
J awa
P os
D ahlan
I skan
mondar-‐mandir
Surabaya-‐Singapura.
Antara
lain,
terkait
dengan
urusan
P T
P etrogas
W ira
J aAm,
anak
perusahaan
B UMD
J aAm,
yang
berpatungan
dengan
perusahaan
Singapura
untuk
membangun
shore
base
senilai
Rp
250
miliar
di
L amongan.
D i
luar
urusan
perusahaan
yang
dipimpinnya
itu,
inilah
catatannya
perihal
ambisi
Singapura
menguasai
dunia.
Dua
perisAwa
besar
menjadi
pembicaraan
sangat
hot
di
Singapura
dalam
sebulan
terakhir.
Yakni,
pengambilalihan
dua
bisnis
besar
di
Bangkok
(rumah
sakit
terbaik
di
Thailand
dan
perusahaan
telekomunikasi
milik
keluarga
P erdana
Menteri
Thailand
Taksin
Shinawatra)
serta
rencana
pembelian
salah
satu
operator
pelabuhan
terbesar
di
dunia,
P &O.
Tiga
proyek
tersebut
dibeli
oleh
Temasek
H olding,
satu-‐satunya
holding
company
yang
membawahkan
seluruh
bisnis
milik
B UMN
Singapura.
D i
negeri
kecil
itu,
seluruh
perusahaan
milik
negara
memang
di
bawah
satu
komando:
Temasek
H oldings.
Di
bawah
Temasek
itulah,
baru
ada
grup-‐grup
besar.
Misalnya,
grup
telekomunikasi
(yang
saat
ini
di
I ndonesia,
antara
lain,
sudah
menjadi
pemilik
saham
dari
I ndosat
dan
Telkomsel),
grup
keuangan
dan
perbankan
(di
I ndonesia
saat
ini
memiliki
saham
Bank
D anamon
dan
Bank
NISP),
grup
angkutan
udara
(memiliki
Bandara
C hangi,
Singapore
Airlines,
dan
banyak
lagi),
grup
konstruksi,
grup
ritel
(kini
di
I ndonesia
sedang
membangun
mal
di
kawasan
Bubutan,
Surabaya),
grup
transportasi
kelautan
(memiliki
pelabuhan
Singapura,
P SA),
serta
banyak
grup
lagi.
Karena
di
bawah
satu
komando,
maka
Temasek
menjadi
sangat
fleksibel
dalam
pergerakan
ekspansinya.
K ini
model
Temasek
itu
di-‐copy
oleh
pemerintah
Malaysia
dengan
membentuk
Khazanah
H oldings.
Semua
perusahaan
negara
di
Malaysia
berada
dalam
komando
K hazanah
Holdings.
Saya
beruntung
pernah
diajak
berdiskusi
oleh
C EO
Temasek
H oldings
H o
C hing
di
kantornya
yang
simpel
di
Singapura.
W anita
itu
sangat
sederhana
dan
rendah
haA
meski
mengendalikan
begitu
banyak
grup
bisnis
di
bawah
Temasek.
Saya
juga
pernah
berdiskusi
dengan
jajaran
direksi
K hazanah
H oldings
di
kantornya,
Menara
Kembang,
K uala
L umpur.
Mereka
juga
sedang
bersemangat
memajukan
seluruh
perusahaan
negara
Malaysia.
Indonesia
sebetulnya
pernah
punya
ide
untuk
mengikuA
jejak
Singapura
itu.
Tetapi,
karena
terlalu
banyaknya
kepenAngan
poliAk
yang
terkait
di
dalamnya,
ide
tersebut
sampai
sekarang
Adak
terlaksana.
Sebagai
negara
yang
hanya
mampu
mengandalkan
jasa,
Singapura
memang
harus
maA-‐
maAan
untuk
memperkuat
sektor
jasa.
Sebagai
negara
yang
hanya
terdiri
atas
satu
kota
(penduduknya
3
juta
jiwa
atau
sama
dengan
penduduk
kota
Surabaya),
tentu
pasar
domesAknya
sangat
terbatas.
K arena
itu,
mau
Adak
mau
harus
ekspansi
ke
negara
lain.
Misalnya,
dengan
membeli
perusahaan
telekomunikasi
di
Indonesia
dan
Thailand
saja,
pelanggan
luar
negerinya
bisa
mencapai
berkali-‐kali
lipat
daripada
pelanggan
di
dalam
negerinya.
D emikian
juga
dengan
membeli
bank-‐bank
di
Indonesia,
Malaysia,
Thailand,
I ndia,
dan
bahkan
kini
sudah
membeli
saham
bank
terbesar
di
Tiongkok,
nasabah
luar
negerinya
menjadi
ribuan
kali
lipat
daripada
nasabah
di
dalam
negeri.
Kecilnya
wilayah
Singapura
ternyata
bisa
“diperluas”
ke
negara
lain
tanpa
menjajah
teritorial
negara-‐negara
itu.
C ontohnya,
keAka
mulai
banyak
orang
berobat
ke
Bangkok
karena
di
sana
kini
terdapat
rumah
sakit
yang
amat
modern
dengan
biaya
jauh
lebih
murah
daripada
rumah
sakit
di
Singapura.
Tentu
saja
jasa
rumah
sakit
di
Singapura
mulai
tergerogoA.
K arena
itu,
dibelilah
rumah
sakit
di
Bangkok
tersebut.
Begitu
juga
saat
Malaysia
mulai
membangun
pelabuhan
Tanjung
P elepas
di
dekat
Singapura,
pelabuhan
Singapura
Adak
Anggal
diam.
Apalagi,
dari
tahun
ke
tahun,
staAsAk
menunjukkan
bahwa
pelabuhan-‐pelabuhan
di
Tiongkok
terus
membesar
sehingga
bisa
mengancam
“kebesaran”
pelabuhan
Singapura.
K arena
itulah,
pelabuhan
Singapura
membuat
langkah
menghebohkan:
berencana
membeli
P &O,
perusahaan
pelabuhan
di
L ondon
yang
termasuk
salah
satu
terbesar
di
dunia.
Maksudnya,
jika
pelabuhan
Singapura
berhasil
membeli
P &O,
mendadak
sontak
pelabuhan
Singapura
akan
menjadi
pelabuhan
terbesar
di
dunia.
Bisa
dibayangkan,
bagaimana
negara
sekecil
itu
bisa
punya
pelabuhan
di
30
negara
di
dunia.
(Di
I ndonesia,
misalnya,
P &O
sudah
memiliki
saham
di
P elabuhan
P eA
K emas
Surabaya).
Posisi
pelabuhan
Singapura
belakangan
memang
terus
terancam.
Ada
empat
pelabuhan
besar
di
Tiongkok
yang
siap
menggeser
kebesaran
Singapura:
Shenzhen,
Tianjin,
D alian,
dan
Shanghai.
Terutama
Shanghai.
I tu
tentu
belum
termasuk
pelabuhan
H ongkong.
Dalam
waktu
lima
tahun
ke
depan,
Shanghai
dipasAkan
menggeser
Singapura
karena
kini
berhasil
membangun
pelabuhan
di
tengah
laut
yang
amat
besar.
Untuk
menuju
pelabuhan
itu,
harus
dibangun
jembatan
layang
di
atas
laut
sejauh
38
km!
J embatan
itu
kini
sudah
jadi
dan
sudah
diresmikan.
Karena
itu,
pelabuhan
Singapura
all-‐out
dalam
berusaha
membeli
P &O.
D engan
membeli
P&O,
tanpa
membangun
pelabuhan
baru
(dan
memang
lahannya
sudah
Adak
ada),
pelabuhan
Singapura
bisa
langsung
menjadi
yang
terbesar
di
dunia.
J auh
meninggalkan
pelabuhan
Shanghai
yang
membuntuAnya.
Tentu,
banyak
pelabuhan
di
dunia
juga
ingin
membeli
P &O.
Namun,
karena
tawaran
Singapura
terus
naik,
semua
penawar
tersisih.
K ecuali
satu:
D ubai!
Maka,
dua
negara
itu
terus
saling
kejar
dalam
mengajukan
penawaran.
Singapura
terakhir
mengajukan
harga
fantasAs:
sekitar
Rp
80
triliun!
I tu
pun
akan
dibayar
kontan.
Tetapi,
D ubai
yang
kini
berambisi
menjadi
New
York
belahan
bumi
lain
masih
terus
menaikkan
tawaran.
D ubai
kini
memang
all-‐out
menjadi
pusat
keuangan
dunia.
Negeri
kecil
itu
kini
juga
terus
meliberalisasikan
apa
pun
yang
bisa
membuatnya
jadi
pusat
keuangan
dunia.
Semua
mata
kini
sedang
menatap
D ubai.
Termasuk,
dalam
persaingannya
dengan
Singapura
untuk
membeli
P &O.
Ternyata,
D ubai
akhirnya
menang.
Singapura
lempar
handuk
dua
pekan
lalu.
Gagallah
ambisi
Singapura
untuk
menjadi
yang
terbesar
di
dunia.
Namun,
harapan
itu
belum
sepenuhnya
hilang.
K arena
P &O
juga
memiliki
enam
pelabuhan
di
Amerika
Serikat,
otomaAs
enam
pelabuhan
di
negeri
adidaya
itu
jadi
milik
D ubai.
AS
pun
heboh.
Bagaimana
sebuah
negeri
di
Arab
yang
mereka
citrakan
sebagai
pusat
teroris
menjadi
pemilik
enam
pelabuhan
di
AS.
P adahal,
salah
satu
kebijaksanaan
AS
untuk
membentengi
diri
dari
terorisme
adalah
menjaga
pelabuhannya.
Tidak
heran
bila
ada
upaya
di
AS
untuk
menggagalkan
transaksi
tersebut.
I ni
bakal
persis
seperA
keAka
perusahaan
Tiongkok
berhasil
membeli
sebuah
perusahaan
minyak
AS
yang
punya
cadangan
minyak
sangat
besar
itu.
Transaksi
perusahaan
Tiongkok
tersebut
dianggap
membahayakan
kepenAngan
AS.
K arena
itu,
harus
dibatalkan.
Apakah
D ubai
akan
senasib
dengan
Tiongkok?
(*)
Komite
Aksi
Merebut
Uang
Inves
Kembali
Senin,
23
Maret
2009
KeAka
ke
Singapura
kemarin,
saya
mencatat
dua
perisAwa
menarik
yang
terkait
dengan
krisis
ekonomi
dunia
sekarang
ini.
Yang
pertama
mengenai
aksi
para
pembeli
minibond.
Yang
kedua
mengenai
dikaitkannya
gaji
pegawai
negeri
dengan
krisis
ekonomi.
Mengenai
minibond,
aksi
itulah
yang
bisa
menjadi
harapan
baru
bagi
orang-‐orang
I ndonesia
yang
uangnya
amblas
di
Singapura.
Terutama,
mereka
yang
menempatkan
uangnya
dalam
bentuk
minibond.
“ Kami
berharap
teman-‐teman
dari
I ndonesia
bergabung
bersama
kami
untuk
meminta
uang
itu
kembali,”
ujar
Steve
Yap
kepada
saya.
“Uang
keluarga
saya
sendiri
lebih
Rp
2
miliar
terbelit
di
situ,”
ujar
Steve,
yang
dua
tahun
lalu
pensiun
dari
perusahaan
asing
di
Singapura.
Menurut
Steve,
55,
tercatat
8.000
orang
yang
menempatkan
uangnya
di
minibond.
Banyak
juga
yang
dari
Surabaya,
J akarta,
dan
kota-‐kota
lain
di
I ndonesia.
Steve
dan
teman-‐teman
Singapuranya
sudah
membentuk
komite
aksi
untuk
mengurus
investasi
mereka
di
perusahaan
derivaAf
itu.
“Asal
kita
kompak,
harapan
untuk
meraih
uang
itu
sangat
besar.
D i
Hongkong
sudah
berhasil,”
katanya.
Steve
juga
sudah
memasang
iklan
di
harian
berbahasa
Mandarin,
Guo
J i
Ribao
(Jawa
P os
Group),
di
J akarta
pekan
lalu.
“Kami
berharap
kalau
sudah
terkumpul
1.000
orang,
baru
komite
mulai
memasukkan
klaim
dan
langkah
hukum
lainnya,”
ujar
Steve.
Untuk
itu
sebuah
pertemuan
investor
minibond
sudah
dilaksanakan
awal
bulan
tadi.
Sebuah
pertemuan
lagi
akan
dilakukan
sebelum
akhir
bulan
ini.
Di
antara
8.000
investor
minibond
tersebut,
sudah
sekitar
4.000
orang
yang
melakukan
klaim.
Tapi,
Adak
ada
yang
terorganisasi
sehingga
Adak
berhasil.
K alau
t oh
ada
yang
mendapatkan
kembali
uangnya,
mereka
hanyalah
orang-‐orang
yang
dianggap
sangat
miskin
dengan
nilai
investasi
yang
kecil.
Minibond
(lihat
buku
saya
yang
berjudul
K entut
Model
Ekonomi)
ternyata
sebenarnya
bukanlah
sebuah
b ond.
Minibond
ternyata
produk
derivaAf
yang
dikeluarkan
P T
Minibond,
sebuah
perusahaan
dengan
modal
hanya
2
dolar
yang
berpusat
di
sebuah
pulau
nyaris
tak
berpenghuni
di
L aut
K aribia
sana.
Banyak
orang
yang
tertarik
untuk
menempatkan
uangnya
di
Minibond
karena
bisa
mendapat
bunga
sedikit
lebih
baik
daripada
bentuk-‐bentuk
invetasi
lain,
seperA
deposito
atau
membeli
b ond.
K arena
dinamakan
minibond,
orang
mengira
ini
juga
sebuah
b ond
yang
biasanya
disandarkan
pada
jaminan
sebuah
perusahaan.
Tidak
tahunya,
minibond
hanyalah
nama.
P rakAknya,
uang
yang
terkumpul
dibelikan
produk-‐produk
derivaAf,
terutama
yang
jaminannya
adalah
kredit
yang
jelek
(default
credit
swaps/DCS)
yang
juga
disebutsubprime
morgate.
Yang
menarik,
minibond
ini
hanya
dijual
di
H ongkong,
Taiwan,
dan
Singapura.
Tidak
ada
di
Jepang,
Eropa,
atau
AS
sendiri.
Banyak
sekali
pensiunan
menempatkan
uangnya
di
sana,
sehingga
keAka
terjadi
krisis,
banyak
investor
yang
menjerit.
“Di
sini
ada
yang
sampai
jadi
sopir
taksi,”
ujar
Steve.
“Satu-‐satunya
uang
untuk
sumber
hidupnya
ditaruh
di
minibond,”
tambahnya.
Komite
Aksi
Minibond
di
Singapura
ini
juga
sudah
menunjuk
pengacara
bernama
C onrad
Campos.
“Tidak
gampang
cari
pengacara
untuk
kasus
ini.
Banyak
pengacara
yang
terkait
dengan
insAtusi
keuangan.
K ami
mencari
pengacara
yang
Adak
memiliki
benturan
kepenAngan,”
katanya.
“Juga
yang
bisa
diajak
nego
soal
bayaran
dan
takAk
untuk
berjuang,”
tambahnya.
Komite
ini
juga
sudah
membangun
website
(hmp://www.miagsg.com)
sehingga
siapa
pun
bisa
berorganisasi
lewat
website
itu.
Semua
syarat
dan
tanya
jawab
disediakan
di
website
itu.
Singapura
memang
punya
pengalaman
melakukan
klaim
secara
bersama-‐sama
melaluiwebsite
seperA
itu.
Yang
paling
terkenal
keAka
5.000
orang
menggugat
sebuah
klub
yang
menjanjikan
kenyamanan,
tapi
mencari
anggota
melebihi
kapasitas
klub.
Gugatan
ramai-‐ramai
itu
ternyata
menang.
Tidak
ada
demo,
Adak
ada
perusakan.
Tapi,
aksi
mereka
sangat
effekAf.
Cerita
menarik
kedua
adalah
tersiarnya
edaran
untuk
pegawai
negeri
di
sana.
K arena
krisis
ekonomi
Adak
segera
membaik,
pegawai
negeri
menerima
edaran
bahwa
kemungkinan
gaji
mereka
dipotong.
I ni
terutama
untuk
golongan
yang
atas.
D emikian
juga
bonus
untuk
pegawai
negeri
tahun
ini
sangat
mungkin
nol.
Karena
yang
demikian
ini
baru
terjadi
pertama,
orang
pun
menarik
kesimpulan
bahwa
gaji
pegawai
negeri
di
Singapura
juga
dikaitkan
dengan
kinerja
capaian
ekonomi
negara.
K alau
ekonomi
negara
jelek,
gaji
pegawai
negeri
juga
dipotong.
D engan
demikian,
negara
Singapura
seperA
sebuah
perusahaan
swasta
saja.
Memang
di
sana
ada
unsur
bonus
dalam
komponen
gaji.
Terutama
bonus
tahunan.
Mirip
yang
terjadi
di
swasta.
K alau
pertumbuhan
ekonomi
negara
sangat
baik,
bonusnya
juga
sangat
baik.
D engan
demikian,
pegawai
negeri
juga
harus
memikirkan
apakah
pekerjaan
yang
dia
lakukan
membuat
pertumbuhan
ekonomi
negara
naik
atau
turun.
Di
I ndonesia
bonus
pegawai
negeri
bisanya
diberikan
dalam
bentuk
gaji
ke-‐13.
I tu
pun
Adak
pernah
dikaitkan
dengan
performanceekonomi
negara.
Tapi,
kalau
sistem
itu
diterapkan,
mungkin
juga
Adak
pernah
ada
yang
bisa
dapat
bonus,
mengingat
belum
terukurnya
kinerja
pegawai
negeri
dalam
ikut
menumbuhkan
ekonomi.
J angan-‐jangan
malah
hanya
menghambat.
Tapi,
baru
sekali
ini
terjadi
pegawai
negeri
Adak
akan
dapat
bonus
pertumbuhan
dan
bahkan
gajinya
dipotong.
Tahun
ini
pertumbuhan
Singapura
kira-‐kira
memang
akan
minus
lima.
Bahkan,
bisa-‐bisa
akan
minus
delapan.
I ndonesia
yang
diperkirakan
bisa
tumbuh
4,5
persen,
kalau
benar-‐benar
terjadi,
akan
menjadi
negara
dengan
pertumbuhan
nomor
empat
terbaik
di
dunia
setelah
Tiongkok
(8),
I ndia
(6),
Arab
Saudi
(5).
Negara-‐negara
selebihnya
akan
tumbuh
di
bawah
itu,
bahkan
mayoritas
akan
minus.
(*)
Taiwan
Melejit
Naik
ke
Gedung
Tertinggi
di
Dunia
di
Taiwan
17
J anuari
2006
Taiwan,-‐
Bagaimana
gedung
seAnggi
setengah
kilometer
Adak
patah
atau
tumbang
keAka
berayun-‐ayun?
Berikut
catatan
C EO
J awa
P os
Group
D AHLAN
I SKAN
dari
kunjungan
ke
gedung
terAnggi
di
dunia,
Taipei
101.
DI
sela-‐sela
kunjungan
saya
ke
Taipei
(Taiwan)
yang
kurang
dari
24
jam
pekan
lalu,
saya
sempatkan
naik
gedung
terAnggi
di
dunia
saat
ini:
Gedung
101.
Tentu
sudah
agak
malam,
karena
harus
dinner
dulu
dengan
pengusaha
di
Taipei.
D ari
mana-‐mana
gedung
ini
terlihat
karena
di
Taipei
memang
Adak
terlalu
banyak
pencakar
langit.
Taiwan
memang
terkenal
sebagai
wilayah
yang
perbedaan
kaya-‐miskinnya
Adak
terlalu
mencolok.
D i
satu
sisi
Adak
banyak
gedung
hebat,
di
lain
sisi
Adak
ada
kaki
lima
atau
toko-‐
toko
yang
jelek.
Saya
kira
Taiwanlah
yang
golongan
kelas
menengahnya
sangat
dominan.
Gedung
itu
dinamakan
101
karena
terdiri
atas
101
lantai.
Tinggi
gedung
ini
509
meter
(setengah
kilometer
lebih)
dari
permukaan
tanah.
Sebenarnya
masih
harus
ditambah
30
meter
lagi
kalau
lantai-‐lantai
bawah
tanahnya
dihitung.
Memang,
Gedung
101
Adak
akan
bertahan
lama
sebagai
yang
terAnggi
di
dunia.
D alam
lima
tahun
ke
depan
sudah
akan
dikalahkan
oleh
Shanghai.
Gedung
di
Shanghai
itu
sempat
tertunda
pembangunannya
oleh
krisis
moneter
Asia,
namun
kini
sudah
dimulai.
Yang
di
Shanghai
pun
segera
dikalahkan
pula
oleh
gedung
lain
di
D ubai
yang
dirancang
seAnggi
800
meter.
Meski
segera
kalah,
Gedung
101
tetap
memiliki
keunikan
tersendiri.
Arsitekturnya
sangat
menarik,
seperA
pohon
bambu,
yang
sangat
melambangkan
Asia
Timur.
I ni
berbeda
dengan
gedung
kembar
W TC
yang
dihancurkan
teroris
di
New
York
itu,
yang
arsitekturnya
hanya
seperA
kotak
yang
didirikan.
Sebagian
besar
arsitek
New
York
Adak
menyukai
bentuk
gedung
WTC
saat
itu,
karena
dianggap
hanya
merusak
tata
gedung
Anggi
di
sana.
Gedung
101
juga
berbeda
dengan
S EARS
Tower
di
C hicago
yang
kesannya
”hanya”
modern,
atau
gedung
kembar
K uala
L umpur
yang
mirip
bentuk
jagung
kupas.
Gedung
101
benar-‐
benar
sangat
Asia
Timur.
Memang,
keAka
membangun
Gedung
101
perdebatan
sangat
panjang,
karena
Taipei
punya
dua
kelemahan
mendasar
sekaligus:
gempa
dan
taipun.
Bentuk
bambu
mengesankan
bahwa
gedung
itu
akan
lentur
terhadap
gempa
maupun
angin
topan.
Letak
kelenturannya
tentu
bukan
pada
bentuk
bambunya
itu,
melainkan
pada
sebuah
benda
yang
diletakkan
di
lantai
89.
Benda
ini
beratnya
(jangan
kaget):
800
ton!
Bentuknya
bulat
berjenjang-‐jenjang
seperA
rumah
tawon
yang
bulat.
Begitu
beratnya
sehingga
bola
baja
ini
harus
digantung
dan
disangga
sekaligus.
Alat
penggantungnya
adalah
kabel-‐kabel
baja
seperA
untuk
jembatan
gantung.
Sedang
penyangganya
adalah
hidrolik
di
empat
sudutnya.
Penyangga
hidrolik
itulah
yang
membuat
lentur.
Saat
terjadi
gempa
atau
saat
angin
topan
mengganas,
bola
itu
sebenarnya
seperA
bandul
(pendulum):
bergerak
ke
arah
berlawanan
dari
gempa
atau
angin,
yang
fleksibilitasnya
ditopang
oleh
hidrolik
tersebut.
D engan
demikian,
meski
puncak
gedung
berayun
sampai
lebih
1,5
meter,
gedung
Adak
akan
patah
atau
roboh!
Karena,
bola
baja
yang
garis
tengahnya
5,5
meter
itu
memang
sangat
besar,
dan
harus
digantung,
Aga
lantai
sendiri
harus
dipakai
untuk
penyeimbang
itu.
Semua
pengunjung
bisa
melihatnya,
termasuk
kalau
bola
itu
sedang
bergerak
yang
berarA
sebenarnya
puncak
gedung
sedang
berayun.
Ruang
di
sekeliling
”atraksi”
itu
dipakai
untuk
observatorium,
tempat
pengunjung
melihat
ibu
kota
Taiwan
dari
semua
arah.
Bola
penyeimbang
seperA
itu,
yang
dulu-‐dulu
seperA
menjadi
”rahasia”
dan
selalu
disembunyikan
di
ruang
tertutup,
di
Gedung
101
malah
dijadikan
bagian
dari
atraksi:
ngeri-‐ngeri-‐menyenangkan!
SeperA
juga
keAka
naik
ke
gedung
kembar
W TC
di
New
York
setahun
sebelum
hancur,
naik
ke
Gedung
101
juga
harus
membayar.
Sekitar
Rp
100.000
per
orang.
L ie-‐nya
Adak
sebesar
W TC
New
York,
tapi
kecepatannya
dua
kali
lipat.
I nilah
lie
tercepat
di
dunia
saat
ini:
1.000
meter
per
menit.
Toshiba
memenangkan
tender
lie
supercepat
ini.
H arga
satu
lie-‐nya
sekitar
Rp
20
miliar.
Berada
di
lie
itu
kita
bisa
melihat
displai
di
layar
mengenai
sudah
berapa
deAk,
sedang
di
keAnggian
berapa
dan
di
lantai
mana.
Meski
begitu
cepat,
keAka
berangkat
Adak
terasa
ada
kejut
sama
sekali.
D emikian
juga
keAka
akan
berhenA
di
puncak
gedung
juga
Adak
ada
rasa
sama
sekali.
L ie
ini
memang
dilengkapi
anAkejut
dan
anA-‐kebablasan.
H anya
telinga
yang
pengang,
sehingga
saya
harus
beberapa
kali
seolah-‐olah
menelan
ludah
untuk
mengembalikan
pendengaran
menjadi
normal.
Saya
sudah
dua
kali
ke
gedung
ini,
tapi
baru
pekan
lalu
naik
ke
puncak.
Saya
suka
ke
sini
karena
di
lantai
Aganya
ada
restoran
J epang
all-‐you-‐can
eat
yang
sangat
komplet
dan
enak.
Tapi,
saya
Adak
pernah
belanja
di
malnya
karena
Adak
bisa
menggunakan
uang
dari
plasAk.
Semua
barang
bermerek
harus
dibayar
dengan
uang
Taiwan
beneran.
Di
sekitar
gedung
ini
memang
belum
tertata
indah.
Masih
ada
proyek
pembangunan
stasiun
kereta
bawah
tanah.
Gedung-‐gedung
sekitarnya
juga
masih
banyak
yang
lama
sehingga
101
seperA
sebatang
bambu
yang
tumbuh
Anggi
sendirian.
Tapi,
saya
melihat
bahwa
pelan-‐pelan,
pusat
pusat
kota
Taipei
akan
bergeser
ke
sini.(jpnn)
www.dahlaniskan.co