Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA ANAK DENGAN DEMAM THYPOID

A. LANDASAN TEORI
1. Pengertian
Typhoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala
demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran (Rampengan, 2008).
Demam typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistematik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi (Sumarmo, 2008).
Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada
pencernaan dan gangguan kesadaran (Nursalam, 2005).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna
dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan
gangguan kesadaran. Kesimpulannya yaitu, Typhoid adalah suatu penyakit infeksi
usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A. B dan C yang dapat menular
melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.
2. Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah bakteri Salmonella typhi. Infeksi umumnya
diperoleh dari makanan atau air yang terkontaminasi bakteri dari tinja yang
terinfeksi (Valman, 2006).
Etiologi penyakit demam typhoid menurut Rampengan (2008) disebabkan
oleh infeksi kuman Salmonella typhos atau Eberthella typhosa yang merupakan
kuman gram negative, motil dan tidak menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup
baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang sedikit lebih rendah, serta
mati pada suhu 70˚c ataupun oleh antiseptik. Sampai saat ini, diketahui bahwa
kuman ini hanya menyerang manusia.
Salmonella typhosa mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
a. Antigen O = Ohne Hauch = antigen somatic (tidak menyebar).
b. Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flgela dan bersifat
termolabil.
c. Antigen V1 = Kapsul = merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman
dan melindungi antigen O terhadap fagositosis.
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut agglutinin. Salmonella
typhosa juga memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multiple antibiotic.
Ada 3 spesies utama, yaitu :
a. Salmonella typhosa (satu serotipe).
b. Salmonella choleraesius (satu serotipe).
c. Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotipe).
3. Patofisiologi
Penyakit typhoid adalah penyakit menular yang sumber infeksinya berasal dari
feses dan urine, sedangkan lalat sebagai pembawa atau penyebar dari kuman
tersebut (Ngastiyah, 2005).
Kuman masuk melalui mulut. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam
lambung oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus, ke jaringan
limfoid dan berkembang biak menyerang vili usus halus kemudian kuman masuk ke
peredaran darah (bakterimia primer), dan mencapai sel-sel retikulo endoteleal, hati,
limpa dan organ-organ lainnya ( Suriadi, 2006).
Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel retikulo
endotelial melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan menimbulkan
bakterimia untuk kedua kalinya. Selanjutnya kuman masuk ke beberapa jaringan
organ tubuh, terutama limpa, usus dan kandung empedu. Pada minggu pertama
sakit, terjadi Hiperplasia plaks player. Ini terjadi pada kelenjar limfoid usus halus.
Minggu ke dua terjadi nekrosis dan pada minggu ke tiga terjadi Ulserasi plaks
player. Pada minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan
sikatrik. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan, bahkan sampai perforasi usus.
Selain itu hepar, kelenjar mesentrial dan limpa membesar. Gejala demam
disebabkan oleh endotoksil, sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan
oleh kelaianan pada usus halus (Suriadi, 2006).
Perjalanan penyakit demam typhoid juga di sampaikan oleh Rohim (2002)
adalah: pada fase awal demam typhoid biasa ditemukan adanya gejala saluran napas
atas. Ada kemungkinan sebagian kuman ini masuk ke dalam peredaran darah
melalui jaringan limfoid di faring. Terbukti dalam suatu penelitian bahwa
Salmonella typhi berhasil diisolasi dari jaringan tonsil penderita demam typhoid,
walaupun pada Salmonella typhi percobaan lain seseorang yang berkumur dengan
air yang mengandung hidup ternyata tidak menjadi terinfeksi. Pada tahap awal ini
penderita juga sering mengeluh nyeri telan yang disebabkan karena kekeringan
mukosa mulut. Lidah tampak kotor tertutup selaput berwarna putih sampai
kecoklatan yang merupakan sisa makanan, sel epitel mati dan bakteri, kadang-
kadang tepi lidah tampak hiperemis dan tremor. Bila terjadi infeksi dari nasofaring
melalui saluran tuba eustachi ke telinga tengah dan hal ini dapat terjadi otitis media.
Perubahan pada jaringan limfoid didaerah ileocecal yang timbul selama
demam typhoid dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: hyperplasia, nekrosis
jaringan, ulserasi, dan penyembuhan. Adanya perubahan pada nodus peyer tersebut
menyebabkan penderita mengalami gejala intestinal yaitu nyeri perut, diare,
perdarahan dan perforasi. Diare dengan gambaran pea soup merupakan karakteristik
yang khas, dijumpai dari 50% kasus dan biasanya timbul pada minggu kedua.
Karena respon imunologi yang terlibat dalam patogenesis demam typhoid adalah
sel mononuklear maka keterlibatan sel poli morfo nuclear hanya sedikit dan pada
umumnya tidak terjadi pelepasan prostaglandin sehingga tidak terjadi aktivasi
adenil siklase. Hal ini menerangkan mengapa pada serotipe invasif tidak didapatkan
adanya diare. Tetapi bila terjadi diare seringkali hal ini mendahului fase demam
enterik. Penulis lain mengatakan bahwa diare dapat terjadi oleh karena toksin yang
berhubungan dengan toksin kolera dan enterotoksin E. coli yang peka terhadap
panas.
Nyeri perut pada demam typhoid dapat bersifat menyebar atau terlokalisir di
kanan bawah daerah ileum terminalis. Nyeri ini disebabkan karena mediator yang
dihasilkan pada proses inflamasi (histamine, bradikinin, dan serotonin) merangsang
ujung saraf sehingga menimbulkan rasa nyeri. Selain itu rasa nyeri dapat
disebabkan karena peregangan kapsul yang membungkus hati dan limpa karena
organ tersebut membesar.
Perdarahan dapat timbul apabila proses nekrosis sudah mengenai lapisan
mukosa dan submukosa sehingga terjadi erosi pada pembuluh darah. Konstipasi
dapat terjadi pada ulserasi tahap lanjut, dan merupakan tanda prognosis yang baik.
Ulkus biasanya menyembuh sendiri tanpa meninggalkan jaringan parut, tetapi ulkus
dapat menembus lapisan serosa sehingga terjadi perforasi. Pada keadaan ini tampak
adanya distensi abdomen. Distensi abdomen ditandai dengan meteorismus atau
timpani yang disebabkan konstipasi dan penumpukan tinja atau kurangnya tonus
pada lapisan otot intestinal atau lambung.
4. Manifestasi Klinik
Menurut ngastiyah (2005), demam thypoid pada anak biasanya lebih ringan
daripada orang dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi
terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, kemudian menyusul
gejala klinis yang biasanya ditemukan, yaitu:
1. Demam
Pada kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu bersifat febris
remitten dan suhu tidak tinggi sekali. Minggu pertama, suhu tubuh berangsur-
angsur naik setiap hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore
dan malam hari. Dalam minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal
kembali.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat ditemukan keadaan perut kembung.
Hati dan limpa membesar disertai nyeri dan peradangan.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun, yaitu apatis sampai samnolen.
Jarang terjadi supor, koma atau gelisah (kecuali penyakit berat dan terlambat
mendapatkan pengobatan). Gejala lain yang juga dapat ditemukan pada
punggung dan anggota gerak dapat ditemukan reseol, yaitu bintik-bintik
kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit, yang ditemukan pada
minggu pertama demam, kadang-kadang ditemukan pula trakikardi dan
epistaksis.
4. Relaps
Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam thypoid, akan
tetap berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah
suhu badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps
terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat
dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti.
Soedarto (2007) mengemukakan bahwa manifestasi klinis klasik yang
umum ditemui pada penderita demam typhoid biasanya disebut febris remitter
atau demam yang bertahap naiknya dan berubah-ubah sesuai dengan keadaan
lingkungan dengan perincian :
1. Minggu pertama, demam lebih dari 40°C, nadi yang lemah bersifat
dikrotik, dengan denyut nadi 80-100 per menit.
2. Minggu kedua, suhu tetap tinggi, penderita mengalami delirium, lidah
tampak kering mengkilat, denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan
limpa dapat diraba.
3. Minggu ketiga, jika keadaan membaik : suhu tubuh turun, gejala dan
keluhan berkurang. Jika keadaan memburuk : penderita
mengalami delirium, stupor, otot-otot bergerak terus, terjadi inkontinensia
alvi dan urine. Selain itu terjadi meteorisme dan timpani, dan tekanan
perut meningkat, disertai nyeri perut. Penderita kemudian kolaps, dan
akhirnya meninggal dunia akibat terjadinya degenerasi mikardial toksik.
4. Minggu keempat, bila keadaan membaik, penderita akan mengalami
penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya
pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.
5. Komplikasi
a. Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perporasi usus
3. Ilius paralitik
b. Komplikasi extra intestinal
1. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis),
miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
2. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma
uremia hemolitik.
3. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan
arthritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis,
polineuritis perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.

6. Penatalaksanaan
a. Perawatan.
1. Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk
mencegah komplikasi perdarahan usus.
2. Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi
bila ada komplikasi perdarahan.
b. Diet.
1. Diet yang sesuai ,tinggi kalori dan tinggi protein serta tidak mengandung
banyak serat.
2. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
3. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi TIM.
4. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama
7 hari.
c. Obat-obatan.
1. Klorampenikol
2. Tiampenikol
3. Kotrimoxazol
4. Amoxilin dan ampicillin

7. Pencegahan
a. Cuci tangan setelah dari toilet dan khususnya sebelum makan atau
mempersiapkan makanan
b. Hindari minum susu mentah (yang belum disterilisasi)
c. Hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih
d. Hindari makanan pedas

8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan
laboratorium, yang terdiri dari :
a. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada
sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang
terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh
karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam
typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid.
Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium
yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan
yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat
demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu
pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu
kambuh biakan darah dapat positif kembali.
3. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat
menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan
bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4. Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
biakan mungkin negatif.
d. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam
serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah
divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji
widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang
disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien
membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
1. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
2. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
3. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita
typhoid.
Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :
a. Faktor yang berhubungan dengan anak :
1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai
dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya
pada minggu ke-5 atau ke-6.
3. Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat
menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi
seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
4. Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti
mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
5. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut
dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi
sistem retikuloendotelial.
6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan
kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O
biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer
aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab
itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang
mempunyai nilai diagnostik.
7. Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya :
keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun
dengan hasil titer yang rendah.
8. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin
terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang
bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa
lalu.
b. Faktor-faktor Teknis
1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung
antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu
spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi
hasil uji widal.
3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada
penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen
dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain

9. Prognosis
Umumnya baik bila pasien cepat berobat. Prognosis kurang baik bila terdapat
gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia atau febris kontinu, penurunan
kesadaran, komplikasi berat seperti dehidrasi, asidosis, perforasi usus dan gizi
buruk.
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat
kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya
pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6 % dan pada orang dewasa 7,4 %
rata-rata 5,7 % (Juwono Rachmat, 1996).

10. Tumbuh kembang anak pada usia 6-12 tahun


Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik
berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi
tingkat sel.
Pertumbuhan BB 2-4 kg/tahun dan pada anak wanita sudah mulai
mengembangkan cirri sex sekundernya.
Perkembangan menitikberatkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi
termasuk perubahan social dan emosi.
a. Motorik kasar :
1. Loncat tali
2. Badminton
3. Memukul
4. Motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan
secara bertahap meningkatkan irama dan keleluasan
b. Motorik halus :
1. Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan
tangan
2. Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat
model dan bermain alat musik
c. Kognitif :
1. Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi
2. Dapat mempertimbangkan sejumlah alternative dalam
pemecahan masalah
3. Dapat memberikan cara kerja dan melacak urutan
kejadian kembali sejak awal
4. Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan
dating
d. Bahasa :
1. Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak
2. Dapat mempertimbangkan sejumlah alternative dalam
pemecahan masalah
3. Dapat memberikan cara kerja dan melacak urutan
kejadian kembali sejak awal
4. Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan
datang

11. Dampak hospitalisasi


Hospitalisasi atau sakit dan di rawat di RS bagi anak atau keluarga dapat
meninggalkan stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung
pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan
Penyebab anak stress meliputi :
a. Psikososial
Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran
b. Fisiologis
Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri
c. Lingkungan asing
Kebiasaan sehari-hari berubah
d. Pemberian obat kimia
Reaksi anak saat di rawat di RS usia sekolahy (6 – 12 tahun)
a. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya
b. Dampak mengekspresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa
nyeri
c. Selalu ingin tahu alasan tindakan
d. Berusaha independen dan produktif
Reaksi orang tua
a. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur,
pengobatan dan dampaknya terhadap masa depan anak
b. Ftrustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta
tidak familiernya peraturan rumah sakit
PATHWAY
bakteri Salmonella thypi &
Salmonella paratypi

Dimusnahkan asam Makanan & minuman


lambung
Berkembang biak di
usus
Mati

Imunitas humoral
(Imunoglobulin A) kurang
baik

Menembus sel epitel

Berkembang biak di
lamina propia

Ditelan (makrofag) sel


fagosif

Erosi Pem. Hyperplasia & Makrofag Plaques


darah plaques nekrose jaringan hiperaktif payeri
payeri

Kelenjar getah bening


Perdarahan Lap. Otot masenterika
sal cerna
Lap. Serosa Bakteremia II
Pk perdarahan usus Symtomatik Sirkulasi darah

Perforasi Bakterimia
1
asymtomatik
Nyeri akut
1 2 3

Bakteremia II Kantung Splenomegali


Symtomatik empedu Lumen Hepatomegali
usus

Feses Usus
Metabolisme Nyeri otot Nyeri akut
meningkat Anoreksia Nyeri kepala
mual, muntah Salmonella dlm
makrofag teraktivitas

Ketidakseimb
angan nutrisi Hiperaktif melepaskan
kurang dari sintokin
kebutuhan tubuh

Reaksi inflamasi Resiko infeksi


Intoleransi aktivitas
Hipertermi
B. LANDASAN TEORI KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1. Identitas, sering ditemukan pada anak berumur di atas satu tahun.

2. Keluhan utama berupa perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan

kurang bersemangat, serta nafsu makan kurang (terutama selama masa inkubasi).

3. Suhu tubuh. Pada kasus yang khas, demam berlangsung selama tiga minggu,

bersifat febris remiten, dan suhunya tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama

suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap harinya, biasanya menurun pada pagi hari

dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien terus

berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga, suhu berangsur turun dan

normal kembali pada akhir minggu ketiga.

4. Kesadaran. Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak beberapa dalam,

yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi spoor, koma, atau gelisah (kecuali bila

penyakitnya berat dan terlambat mendapat pengobatan). Di samping gejala-gejala

tersebut mungkin terdapat gejala lainnya. Pada punggung dan anggota gerak dapat

ditemukan reseola, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler

kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam. Kadang-kadang

ditemukan pula bradikardia dan epistaksis pada anak besar.

5. Pemeriksaan fisik

1) Mulut, terdapat napas yang berbau tidak sedap serta bibir kering dan pecah-

pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (Cated tongue), sementara

ujung dan tepinya berwarna kemerahan, dan jarang disertai tremor.

2) Abdomen, dapat ditemukan keadaan perut kembung (Meteorismus). Bisa

terjadi konstipasi, atau mungkin diare atau normal.


3) Hati dan limpa membesar disertai dengan nyeri pada perabaan.

6. Pemeriksaan laboratorium

1) Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leukopenia, limfositosis

relative, dan aneosiniofilia pada permulaan sakit.

2) Darah untuk kultur (biakan, empedu) dan widal.

3) Bukan empedu basil Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah pasien

pada minggu pertama sakit. Selanjutnya, lebih sering ditemukan dalam urin

dan feces.

4) Pemeriksaan widal

Untuk membuat diagnosis, pemeriksaan yang diperlukan ialah liter zat anti

terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih menunjukkan kenaikan

yang progresif (Nursalam, 2005).

2. Diagnosa keperawatan
a. Resiko tinggi ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit b/d hipertermi
dan muntah.
 Tujuan :
Ketidakseimbangan volume cairan tidak terjadi
 Kriteria hasil :
Membran mukosa normal, bibir lembab, TTV dalam batas normal, tanda-
tanda dehidrasi tidak ada
Intervensi Rasional
1. Monitor TTV 1. Merupakan indicator secara dini
tentang hipovolemia
2. Monitor intake dan output dan 2. Menurunkan output dan konsentrasi
konsentrasi urine urine akan meningkatkan
kepekaan/endapan sebagai salah satu
kesan adanya dehidrasi dan
membutuhkan peningkatan cairan
3. Beri cairan sedikit demi sedikit 3. Untuk meminimalkan hilangnya
tapi sering cairan

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake makanan yang
tidak adekuat
 Tujuan :
Nutrisi terpenuhi
 Kriteria hasil :
Nafsu makan bertambah, BB stabil/ideal, peristaltic usus normal, nilai
laboratorium normal, konjungtiva dan membrane mukosa tidak pucat
Intervensi Rasional
1. Kaji status nutrisi anak 1. Memberikan gambaran tentang status
nutrisi dari anak
2. Kaji makanan yang disukai dan 2. Dapat membantu untuk memenuhi
tidak disukai oleh anak kebutuhan nutrisi dari anak
3. Anjurkan kepada orang tua untuk 3. Dengan makan sedikit demi sedikit
memberikan makanan sedikit tapi sering dapat memenuhi nutrisi
demi sedikit tapi sering. dari anak secara bertahap
4. Berikan makanan sesuai dengan 4. Diet yang sesuai dapat membantu
diet yang diberikan / tidak proses penyembuhan dan pemenuhan
merangsang muntah nutrisi
5. Timbang BB tiap hari 5. Memberikan informasi tentang
kebutuhan diet/keefektifan terapi
6. Pertahankan kebersihan mulut 6. Mulut yang bersih dapat
anak. meningkatkan nafsu makan anak
7. Jelaskan pentingnya intake 7. untuk mempercepat proses
nutrisi yang adekuat penyembuhan penyakit.
8. Kolaborasi dengan ahli gizi 8. Memungkinkan saluran usus untuk
dalam pemberian diit imsalnya memastikan kembali proses
cairan jernih berubah menjadi pencernaan. Protein perlu untuk
makanan yang dihancurkan, penyembuhan integritas jaringan.
rendah sisa, protein tinggi, tinggi Rendah serat menurunkan respon
kalori dan rendah serat peristaltic terhadap makanan.
9. Kolaborasi dengan dokter dalam 9. Antimietik untuk membantu
pemberian obat antimietik mengurangi atau menghilangkan
gejala mual dan muntah
c. Hipertermi b/d proses infeksi salmonella typhi
 Tujuan :
Hipertermi teratasi
 Kriteria hasil :
Suhu, nadi, pernapasan dalam batas normal
Intervensi Rasional
1. Observasi suhu tubuh anak 1. Memantau status kondisi dari anak
dan perkembangan dari penyakit
2. Anjurkan keluarga untuk 2. Dengan melakukan pembatasan
membatasi aktifitas anak aktifitas dapat mengurangi resiko
terjadinya komplikasi lebih lanjut
3. Beri kompres air hangat 3. Membantu menurunkan suhu tubuh
4. Anjurkan keluarga untuk 4. Membantu agar anak merasa nyaman
memakaikan pakaian yang dapat
menyerap keringat(pakaian tipis)
5. Kolaborasi dengan dokter dalam 5. antipiretik yang membantu untuk
pemberian obat antipiretik menurunkan panas

d. Intoleransi aktifitas b/d kelemahan fisik


 Tujuan :
Dapat beraktifitas secara mandiri
 Kriteria hasil :
Mampu melakukan aktifitas, bergerak dan menunjukan peningkatan kekuatan
otot
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat aktifitas anak 1. Memberikan gambaran tentang
keadaan umum anak
2. Berikan lingkungan yang tenang 2. Lingkungan yang tenang dan nyaman
dan batasi pengunjung dapat membantu anak untuk lebih
3. Bantu penuhi kebutuhan sehari- tenang dan rileks
hari anak 3. Dapat memenuhi kebutuhan anak
4. Bantu anak mobilisasi secara
bertahap 4. Untuk mencegah terjadinya dekubitus
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, arief, dkk. (2000). Kapita selekta kedokteran. Edisi ketiga. Jilid 2. FKUI.
Jakarta : media Aesculapius.
Suriadi, SKp, MSN & Rita Yulianni, SKp, M.Psi. (2006). Asuhan keperawatan pada
anak. Edisi 2. Jakarta.ISBN 979-95115-4-2.
Suriadi, dkk, 2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I, CV. Sagung, Jakarta.
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit: Edisi 2. EGC. Jakarta.
Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Trofik pada Anak: Edisi. 2. EGC. Jakarta
Rohim Abdul.2002 . Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa & Penatalaksanaan: Edisi 1.
Jakarta.
Suriadi. 2006. Asuhan Keperawatan pada Anak: Edisi 2. Jakarta.
M,Nurs, Nursalam. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak: Edisi 1. Jakarta
S.Poorwo Soedarmo, Sumarmo. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Anak. Jakarta.
Valman Bernad. 2006. Gangguan & Penyakit Yang Sering Menyerang Anak Serta
Cara Mengatasinya: Edisi pertama. Yogyakarta.
W. Sudoyo. Aru. 2006 Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai