Anda di halaman 1dari 10

1

DIREKTORAT JENDERAL STRATEGI PERTAHANAN


KEMENTERIAN PERTAHANAN

TERMS OF REFERENCE(ToR)
FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) I
LINGSTRA GATHERING T.A. 2020

tentang

“DAMAI DI TANAH PAPUA: STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PENDEKATAN”

Latar Belakang
Sejak dinyatakan integrasinya ke wilayah NKRI pada tahun 1969 oleh PBB
hingga kini, Papua tidak pernah luput dari konflik vertikal dan horizontal, yang
implikasinya antara lain merefleksikan ancaman disintegrasi bangsa yang cukup
serius. Berbagai upaya pemerintah di semua aspek kehidupan telah dilaksanakan,
namun belum memberikan hasil yang maksimal dalam menciptakan perdamaian
yang langgeng di Tanah Papua.
Pelaksanaan Pepera di Tanah Papua pada tahun 1969 yang disetujui oleh
PBB, yang diwakili oleh 1026 orang anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP),
secara bulat menyatakan bahwa Papua telah memilih untuk berintegrasi dengan
NKRI.Dan hasil Sidang Umum PBB padatanggal 19 November 1969, telah
menghasilkan Resolusi PBB nomor 2504, menyatakan bahwadari 102 negara yang
ikut di dalam Sidang Umum tersebut, 82 negara menyatakan “setuju” Tanah Papua
bergabung dengan Indonesia, 30 negara lainnya menyatan “abstain”, dan tidak ada
satu negarapun yang tidak setuju. Hal ini telah menunjukkan bahwa dunia
Internasional sudah secara bulat mengakui keabsahan Pepera tahun 1969
tersebut.Resolusi PBB No 2504 tersebut merupakan pernyataan tegas akan
pengakuan PBB atas kedaulatan NKRI terhadap Papua. Sehingga perlu
digarisbawahi bahwa setiap upaya pemisahan dari NKRI merupakan tindakan
penentangan terhadap hukum internasional yang telah berlaku, termasuk terhadap
piagam PBB itu sendiri.
Hasil Pepera telah berakhir, keputusan yang final dan dapat dipertanggung-
jawabkan secara de facto serta de jure. Bergabungnya Tanah Papua juga ditengarai
telah ada jauh sebelum diproklamirkan kemerdekaan Indonesia, hal ini diperkuat
oleh adanya peta yang dibuat oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1931, serta
pernyataan Belanda untuk menyerahkan Papua kepangkuan Indonesia setahun
setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949. Namun
dengan berlandaskan tuduhan-tuduhan, mulai dari keabsahan hasil Pepera,
perbedaan etnis, genosida, ketidakadilan dalam berbagai bidang, eksploitasi
kekayaan alam, rasisme terhadap etnis Papua, sekelompok gerakan separatis
menyatakan ingin memisahkan diri dari kerangka NKRI.
Meningkatnya gerakan separatisme Papua dimasa-masa kini mendapatkan
dukungan bukan saja dari pihak dalam, seperti aparat pemerintah, tokoh masyarakat
2

dan keagamaan, para mahasiswa dan pelajar bahkan juga mendapatkan dukungan
dari luar negeri seperti dari para senator dan pemimpin dari beberapa negara
Pasifik, Afrika, dan Eropa serta pemimpin kelompok keagamaan. Bahkan
pergerakan separatis yang tadinya terpisah dalam Gerakan kelompok mencoba
untuk menyatukan diri dibawah Gerakan organisasi United Liberation Movement of
West Papua (ULMWP) dan telah menggunakan platform organisasi internasional
dan kawasan untuk menyuarakan keinginannya.
Ancaman separatism di Papua hingga kini belum dapat diatasi sepenuhnya.
Ditandai dengan adanya sejumlah aksi kelompok bersenjata tertentu dalam skala
kecil yang melakukan aksi kekerasan dan penembakan di Papua serta gerakan
politik OPM di luar negeri, diantaranya pendirian perwakilan OPM di Inggris dan di
Vanuatu oleh Benny Wenda serta isu internasionalisasi Papua oleh Veronica
Koman. Melihat teror dan kekerasan yang masih terus berlangsung di Papua,
sepertinya semua itu merupakan kasus yang tampak dalam bentuk dipermukaan
saja, sedangkan akar-akar permasalahannya yang besar dan kompleks membenam
ke dalam.
Demikian multidimensionalnya permasalah Papua menjadi pekerjaan rumah
yang membutuhkan keseriusan dalam penyelesaiannya bagi Pemerintah RI.
Dihubungkan dengan tugas pokok Kementerian Pertahanan yaitu menjaga
kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa, khususnya di
wilayah Papua, maka perlu dirumuskan strategi, kebijakan dan pendekatan yang
tepat dalam menangani isu-isu tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan pemetaan
masalah yang lebih rinci dengan daftar identifikasi masalahnya dari sisi pertahanan
dalam mencari pemecahan masalah yang berkembang di Tanah Papua. Berbagai
pendekatan yang sesuai rujukan di bidang pertahanan sudah selayaknya dijadikan
alternatif pendekatan oleh Kementerian Pertahanan dan TNI dalam mencari solusi
perdamaian di Tanah Papua.
Tujuan Pelaksanaan
Diharapkan FGD ini dapat memicu pemikiran-pemikiran strategis yang dapat
memberikan kontribusi terhadap strategi dan kebijakan untuk merajut perdamaian di
Tanah Papua dari sisi pendekatan pertahanan.
Permasalahan dan Pertanyaan Pendahuluan Kepada Nara Sumber
FGD terkait Papua ini akan melibatkan 3 pembicara yang akan membahas pokok
bahasan yang berbeda masing-masingnya, dimana para nara sumber membahas
isu-isu terkait, yaitu:
1. Nara sumber pertama, membahas bidang isu internasionalisasi Papua,
yaitu Bapak Duta Besar Teuku Faizasyah, Staf Ahli Menlu. Pertanyaan
yang diharapkan dapat dijawab oleh nara sumber pertama diantaranya
adalah:

a. Apakah langkah-langkah kebijakan nasional yang perlu dilaksanakan


untuk meminimalisir isu internasionalisasi Papua di forum
internasional?
3

b. Pendekatan apa yang harus dilaksanakan di forum internasional dalam


menangani isu-isu Papua?
c. Bagaimana pendekatan yang diharapkan dalam menggalang negara-
negara Pasifik Selatan dan keterlibatan pihak agama?
d. Bagaimanakah kebijakan umum Kemlu dalam menyelesaikan isu-isu
internasionalisasi Papua?

2. Nara sumber kedua, membahas bidang isu kebijakan dalam negeri


Pemerintah RI, yaitu Ibu Dr. Adriana Elizabeth, M.Soc.Sc.,dari Pusat
Penelitian Politik, LIPI. Pertanyaan yang diharapkan dapat dijawab oleh
nara sumber kedua diantaranya adalah:

a. Pendekatan dan kebijakan seperti apakah yang perlu dilaksanakan


pemerintah RI dalam menyelenggarakan pembangunan di Papua?
b. Apakah pendekatan yang lebih tepat dilaksanakan di Tanah Papua
dalam meningkatkan rasa nasionalisme dan kebangsaan?
c. Bagaimanakah Pemerintah RI seharusnya melaksanakan diplomasi
dengan pihak-pihak separatis Papua?
d. Pendekatan berdasarkan teori yang seperti apakah yang seharusnya
dilaksanakan dalam penyelesaian masalah di Papua?

3. Nara sumber ketiga, membahas bidang isu kondisi terkini terkait


kebijakanNasional di bidangpertahanan dan keamanan di Papua, yaitu
Pangdam XVII/Cendrawasih Mayjen TNI Herman Asaribab. Pertanyaan
yang diharapkan dapat dijawab oleh nara sumber ketiga diantaranya
adalah:

a. Apakah yang menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan program


kerja terkait pertahanan di Papua?
b. Bagaimanakah kebijakan, strategi dan pendekatan yang selama ini
dilaksanakan oleh aparat keamanan di Papua?
c. Apakah modifikasi strategi, kebijakan dan pendekatan yang perlu
dilaksanakan dalam pelaksanaan tugas pertahanan di Papua?
d. Pendekatan interdisipliner yang sebagaimana seharusnya diterapkan
di Papua dalam menyelenggarakan tugas pertahanan?
Nara Sumber
1. PraktisiKemlu:Duta Besar Teuku Faizasyah, Staf Ahli Menlu
2.Peneliti: Dr. Adriana Elizabeth, M.Soc.Sc., dari Pusat Penelitian Politik,
LIPI
3. Praktisi : Pangdam XVII/Cendrawasih Mayjen TNI Herman Asaribab.
Moderator : Dr. Ian Montratama, Universitas Pertamina
Waktu dan Tempat
4

Kegiatan FGD dengan tema “Damai di Tanah Papua: Strategi, Kebijakan Dan
Pendekatan” akan diselenggarakan pada:
1. Hari / Tanggal : 3 September 2020
2. Waktu : 09.00 s.d. 12.00 WIB
3. Tempat: Aula Nusantara I, Gedung Urip SumohardjoJl. Merdeka Barat No. 13
– 14 Jakarta Pusat
Susunan Acara
1. Pukul 08.00 – 09.00 : Registrasi peserta
2. Pukul 09.00 – 09.15 : Pembukaan
3. Pukul 09.15 – 09.30 : Foto Bersama
4. Pukul 09.30 – 10.30 : Paparan Narasumber
5. Pukul 10.40 – 10.50 : Coffee Break
6. Pukul 10.50 – 11.30 : Tanya jawab
7 Pukul 11.30 – 11.40 : Penutupan

Penutup
Demikian Term of Reference kegiatan FGD II Lingstra Gathering I TA 2020 terkait
“Damai di Tanah Papua: Strategi, Kebijakan dan Pendekatan” ini dibuat untuk
mendapatkan gambaran lengkap kepada seluruh undangan.

Direktur Jenderal
Strategi Pertahanan,

Dr. rer. pol. Rodon Pedrason, M.A


Mayor Jenderal TNI

Paraf:
1. Ses Dirjen Strahan :
2. Dirkersinhan :
3. Kabagum :
4. Kasubdit Mltr :
5. Kasubbag TU :
5

a. Apakah langkah-langkah kebijakan nasional yang perlu dilaksanakan


untuk meminimalisir isu internasionalisasi Papua di forum
internasional?
b. Pendekatan apa yang harus dilaksanakan di forum internasional dalam
menangani isu-isu Papua?
c. Bagaimana pendekatan yang diharapkan dalam menggalang negara-
negara Pasifik Selatan dan keterlibatan pihak agama?
d. Bagaimanakah kebijakan umum Kemlu dalam menyelesaikan isu-isu
internasionalisasi Papua?

Kebijakan nasional :
Sudah ada otsus dan berbagai keputusan pemerintah pusat tentang percepatan
pembangunan di Papua. Dalam kaitan dengan hal itu maka perlu diingat : bahwa
membangun tanah papua dan membangun manusia papua adalah 2 hal yang
berbeda. Membangun tanah papua tanpa membangun manusioa papua hanya akan
menambah persoalan papua (marginalisasi OAP). Contohnya pembangunan jalan
trans papua. Tujuannya sesungguhnya baik, yaitu untuk mengatasi isolasi daerah.
Tetapi perlu diingat sisi dialektika dari pembangunan jalan ini juga menimbulkan arus
masuk orang luar yang semakin tinggi yang justru dapat menimbulkan marginalisasi
di wilayah-wilayah yang dilewati oleh jalan tersebut.
Marginalisasi yang muncul di wilayah-wilayah yang dilewati di jalan tersebut adalah
sebagai akibat masuknya orang luar yang kompetitif berhadapan dengan
masyarakat lokal yang belum mampu beradaptasi dengan perkembangan
masyarakat luar. Penguasaaan ekonomi di wilayah pegunungan itu masih dikuasai
oleh saudara-saudara dari nusantara. Jalan trans berpengaruh pada arus masuk
barang ke wilayah-wilayah pegunungan. Pada satu sisi masyarakat lokal masih
menjadi masyarakat yang komsumtif, dan dengan demikian mereka hanya dapat
menjadi pembeli pada masyarakat nusantara pemilik kios dan kebutuhan-kebutuhan
lain. D ilain sisi para pemimpin daerah di wilayah tersebut tidak peka dengan hal
tersebut yakni tidak mampu mempersiapkan masyarakat lokal menjadi masyarakat
yang produktif. Maka dengan demikian jurang antara orang kaya dan orang miskin di
wilayah tersebut semakin lebar. Hal ini akan menjadi bom waktu di 5 atau 10 tahun
mendatang. Ketika marginalisasi di bidang ekonomi ini semakin terstruktur maka
marginalisasi akan bermutasi dari bidang ekonomi ke bidang politik. Sebagai akibat
akan terjadi krisis yang bisa lebih besar dari krisis yang terjadi sekarang.
Krisis tersebut akan terlihat oleh masyarakat internasional sebagai pengabaian
terhadap OAP. Krisis tersebut adalah sebagai akibat dialektika pembangunan. Jadi
niat baik kita untuk mengatasi isolasi daerah justru memunculkan problem baru
yakni gap marginalisasi yang semakin lebar di wilayah terisolasi. Tadinya sebelum
pembangunan jalan trans problem kita hanyalah isolasi, kini justru memunculkan
masalah baru.
6

Jadi pertanyaan apakah langkah-langkah kebijakan nasional yang perlu


dilaksanakan untuk meminimalisir isu internasionalisasi Papua di forum
internasional? Kiranya dapat di jawab dengan: kita harus terus membangun tetapi
dengan berpikir “be yonce”. Kita harus terus membangun tetapi tekanan
pembangunan haruslah benar-benar tertuju pada orang asli Papua (bukan sekedar
membangun orang Papua dan tanah Papua).
Sudah waktunya orang Jakarta berhenti untuk “sok tahu” atas problem Papua. Kita
berterima kasih untuk kepedulian “orang Jakarta” tetapi jangan sampai kepedulian
itu justru menjadi sebuah sikap “sok tahu”. Sudah lebih 50 tahun Papua berintegrasi
tetapi persoalan atau konflik Papua tidak kunjung surut bahkan menampakan
intensitas yang semakin tinggi. Kita sebagai sebuah bangsa harus mau berhenti
sejenak dan dengan kerendahan hati mau bertanya: Apa Yang Salah?
Sebagai sebuah bangsa kita harus lebih banyak mengajukan pertanyaan-
pertanyaan untuk memahami problem Papua. Kita harus menahan diri untuk
memberi banyak jawaban tetapi lebih banyak refleksi. Refleksi nasional atas
problem Papua harus dilakukan bukan hanya sekali tetapi harus lebih sering.

Dalam tesis saya di Universitas Pertahanan Indonesia sudah saya sampaikan


bahwa konflik Papua masih akan terus berlangsung dalam 50 bahkan sampai 100
tahun mendatang. Sebab problem kita bukan sekedar bagaimana kita membangun
Papua tetapi bagaimana kita berpikir tentang Papua. Dan problem “berpikir tentang
Papua” lebih sering di kopi paste dari universitas-universitas besar ke dalam
pemerintah lalu dikopi paste menjadi kebijakan-kebijakan yang datang dari luar dan
bukan kebijakan yang lahir dari kedalaman hati orang Papua.
Selama kita berlum membenahi problem mendasar yaitu “bagaimana kita berpikir
tentang Papua” selama itu pula Papua akan menjadi hantu bagi kita semua yang
akan datang dalam tidur kita menjelang sidang-sidang PBB.

Maka dengan demikian penjelasan ini sekaligus memberi perbandingan terhadap


pertanyaan pertama dari pemateri, yakni sebaik apapun pendekatan yang kita
lakukan pada negara-negara lain tidak akan berarti tanpa menyelesaikan problem
Papua yang mendasar yang berlangsung di atas Tanah Papua.

PERTANYAAN KETIGA
Terkait agama perlu ada kesadaran pertama bahwa agama dan juga negara adalah
identitas yang terkonstruksi bukan identitas yang terberi. Karena itu agama hanya
menenangkan tetapi tidak menyelesaikan akar soal. Ini perlu diketahui oleh seluruh
orang Jakarta sehingga sikap “sok tahu” dapat dikurangi. Agama hanyalah
akselerator problem Papua bukan triger. Triger persoalan Papua sesungguhnya ada
pada relasi OAP dengan identitas-identitas yang terkonstruksi (Negara dan juga
7

Agama). Seperti dikatakan oleh Antonio Gidens, problem kita bukan pada dualisme
tetapi pada dualitas.
Mengapa agama hanya bersifat menenangkan? Pertama, Karena agama bukanlah
identitas yang terberi tetapi hanyalah identitas yang terkonstruksi. Saya bisa pinda
kewarganegaraan, saya bisa pindah agama tetapi saya tetaplah Habelino Sawaki,
Ayah saya bermarga Sawaki, leluhur saya juga menggunakan sawaki, anak cucu
saya akan memakai nama sawaki. Sawaki adalah identitas yang terberi sejak Tuhan
menciptakan tanah Papua. Kedua, agama bisa menjadi alat kapitalis untuk
mengeksploitasi OAP. Para tokoh agama bisa menjadi bagian dari konspirasi untuk
mengeruk kekayaan Papua dan tetap mengabaikan hak-hak dasar OAP. Ini yang
saya sebut sebagai problem berpikir tentang Papua. Sejak awal ada kekeliruan
berpikir bahwa agama menjadi problem Papua. Menyamakan OAP dengan Kristen,
Katolik, Islam adalah kekeliruan berpikir yang fatal. Bahkan teramat fatal. Karena
akibatnya bukan hanya menyebabkan kegagalan pembangunan tetapi juga
menyebabkan efek lanjutan yakni dengan memunculkan masalah baru.
Kalau para hadirin ke Papua dan melakukan penelitian secara baik, dapat ditemukan
bahwa institusi keagamaan hanya menjadi alat kapitalis bahkan institusi keagamaan
telah menjadi alat untuk memiskinkan orang Papua. Agama telah menjadi candu
seperti yang pernah disampaikan oleh Karl Marx.
Pendekatan pada negara-negara pasifik tentu harus berbeda dengan pendekatan
pada negara-negara lain sebab negara pasifik memandang Papua sebagai bagian
dari saudara serumpun melanesia. Tetapi sebaik apapun pendekatan yang
dilakukan selama problem mendasar yang berlangsung di Tanah Papua tidak
diselesaikan makan pendekatan tersebut hanyalah bersifat menenangkan tetapi
tidak menyelesaikan akar soal. Papua akan tetap menjadi hantu bagi kita di setiap
tahun, setiap kali forum-forum internasional di gelar.

PERTANYAAN KEEMPAT
Jadi dengan demikian pendekatan yang dilakukan kemlu sudah jelas hanya bersifat
sementara. Kemlu tidak dapat berbuat banyak jika kementrian lain yang lebih fokus
pada urusan di dalam tanah Papua tidak mampu menyelesaikan problem mendasar
di Tanah Papua.
8

PANGDAM
a. Apakah yang menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan program kerja terkait
pertahanan di Papua?
b. Bagaimanakah kebijakan, strategi dan pendekatan yang selama ini dilaksanakan
oleh aparat keamanan di Papua?
c. Apakah modifikasi strategi, kebijakan dan pendekatan yang perlu dilaksanakan
dalam pelaksanaan tugas pertahanan di Papua?
d. Pendekatan interdisipliner yang sebagaimana seharusnya diterapkan di Papua
dalam menyelenggarakan tugas pertahanan?

Problem mendasar kita adalah sejak integrasi kita lebih menitikberatkan


pembangunan pada pembangunan fisik semata dan kita lupa membangun karakter
manusia Papua. Contohnya: para pejabat setelah menduduki jabatan dan turun
lantas minta merdeka. Karakter manusia ini juga termasuk di dalamnya membangun
rasa memiliki. Demonstrasi yang terjadi hampir selalu berakhir dengan pembakaran
gedung-gedung pemerintah. Ini menunjukan bahwa negara belum berhasil
membangun karakter manusia Papua. Masih ada kelompok yang meneriakan Papua
merdeka (kita dapat mengatakan jumlahnya tidak seberapa) ini juga bentuk bahwa
kita belum berhasil membangun karakter manusia Papua. Kita sudah merdeka dan
seharusnya kita berjuang mengisi kemerdekaan, namun yang terjadi di Papua
seolah kita masih dalam masa perjuangan merebut kemerdekaan. Apa yang salah?
Pola pendekatan kah? Ataukah manusia yang memimpin yang keliru? Sebagai
alumni universitas pertahanan indonesia, saya tidak pesimis tetapi saya prihatin
dengan kondisi ini. Mau sampai kapan kita begini terus? Negara lain sudah sampai
di bulan dan sedang melakukan penelitian menuju galaksi lain sedang kita masih
berkutat di persoalan ideologi dan karakter kebangsaaan.

Persoalan Marginalisasi Orang Asli Papua hampir menjadi isu utama yang kini
sedang mengemuka. Di tambah dengan globalisasi yang merasuki seluruh sendi
kehidupan, menjadikan isu marginalisasi OAP laksana benang kusut dan "talingkar".
Karena itu identifikasi akar persoalan, menjadi hal yang mendasar untuk dilakukan.
Sebab tanpa identifikasi akar persoalan, solusi yang tepat sulit diperoleh. Bahkan,
bisa memunculkan persoalan baru.
Menurut hemat saya, ada dua faktor yang menyebabkan OAP menjadi
termarginalkan di atas tanah leluhurnya sendiri, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal (faktor yang berasal dari dalam) adalah menyangkut kesiapan SDM
dari OAP sendiri dan hal-hal yang sifatnya karakter seperti ketekukan, keuletan,
kejujuran, kedisiplinan dan lain-lain. Faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar)
adalah menyangkut kebijakan pemerintah terhadap OAP di bidang politik, ekonomi,
sosial budaya dan lain-lain bidang hidup.
9

Tugas dan tanggung jawab orang muda adalah mendorong forum-forum serta
diskusi-diskusi yang terbuka dan meluas untuk membahas akar persoalan
marginalisasi OAP secara tuntas serta melalui jalan-jalan mana saja solusi yang
telah didiskusikan dapat dikerjakan. Jika hal ini dilakukan secara terus menerus dan
terpadu serta melibatkan stakeholders yang kompeten di bidangnya, akan muncul
sebuah optimisme baru yakni OAP dapat benar-benar menjadi tuan di atas
negerinya sendiri.
Marginalisasi OAP tidak boleh kita percayakan di atas pundak kelompok yang
selama ini hanya menjadikannya sebagai lips service semata. Tanggung jawab ini
memiliki dampak yang maha berat jika tidak dikerjakan segera, yakni akan
menambah rumitnya persoalan. Karena itu, kita tidak boleh main-main dengan
persoalan marginalisasi OAP. Jangan sampai di 100 atau 500 tahun ke depan orang
Papua hanya tinggal di dalam buku sejarah karena punah akibat marginal di atas
tanahnya sendiri.

Marginalisasi yang tidak segera ditangani dengan baik akan menimbulkan letupan.
Apapun idiologi yang dianut, memuliakan orang asli Papua adalah sebuah
keharusan. Memuliakan OAP jangan direduksi menjadi pembangunan infrastruktur
semata. Membangun OAP dan membangun Papua adalah dua hal yang berbeda.
Gerakan Papua merdeka tidak jatuh dari langit begitu saja, tetapi lahir sebagai
akibat struktur politik dan struktur ekonomi yang dirasakan tidak adil. Bahkan semua
gerakan dekolonisasi dalam seluruh sejarah umat manusia muncul sebagai akibat
struktur politik dan struktur ekonomi yang dianggap tidak adil. Gerakan Papua
merdeka lahir pada setiap saman dengan segala bentuknya (soft maupun radikal)
adalah sebagai interpretasi mithe ratu adil. Mithe ini senantiasa diinterpretasikan
kembali oleh setiap generasi seturut dengan tantangan eksternal. Tidak ada jalan
bagi Jakarta untuk menyelesaikan persoalan Papua merdeka tanpa kesungguhan
hati melampaui apa yang dikatakan Keijne. Memahami orang Papua artinya juga
memahami mithe yang menggerakan alam bawah sadar orang Papua. Tanpa
memiliki hati yang murni, kita tidak akan pernah mampu memahami apa yang
berlangsung di dalam pikiran dan hati orang asli Papua. Apakah pernyataan ini
adalah sebuah pesimisme? Tergantung sudut pandang saudara. Tapi menurut saya
ini adalah sebuah tantangan yang akan dihadapi oleh siapa pun pemimpin Republik
ini. Perdamaian memang penting tetapi keadilan jauh lebih penting. Berapa lama
konflik Papua akan berlangsung sangat ditentukan oleh bagaimana seluruh pihak
diluar papua (termasuk negara dan juga gereja) bersikap terhadap OAP.
10

Beberapa contoh problem pembangunan karakter kebangsaan:


1. Mengapa OAP bisa terima orang pendatang di tanah Papua tetapi orang
Papua masih didiskriminasi di daerah lain? Orang pendatang bisa jadi PNS di
Papua mengapa OAP tidak bisa jadi PNS di daerah lain? Orang pendatang
bisa jadi pengusaha di Papua mengapa OAP tidak bisa jadi pengusaha di
daerah lain? Ini harusnya menjadi tugas siapa? Negara. Mengapa negara
diam dan anggap ini nmsalah sepele?
2. Anggota TNI POLRI yang jual amunisi pada kelompok bersenjata ini
menunjukan ada idiologi ganda pada aparat. Mengapa negara diam dan tidak
mengambil tindakan tegas?
3. Yang merasakan otsus itu elit papua, bukan masyarakat kecil. Mengapa
negara diam. Jangan pakai alasan otsus sudah diberikan terus masalah
selesai. Negara punya tanggungjawab untuk membina para elite papua.
Apakah negara sudah membentuk sebuah wadah yang berfungsi mengontrol
jalannya otsus? Kalau sudah ada apakah sudah melakukan hal tersebut?
Bangun manusia untuk merasa sebagai bagian dari NKRI. Siapa yang harus
melakukan hal tersebut? Negara. Bagaimana melakukannya? Negara punya
banyak alat dan kemampuan untuk melakukan hal tersebut. Saya tidak perlu
mendikte negara terkkait hal ini.
4. Kelompok-kelompok yang bikin rusuh dan menghasut baik di masyrakat
maupun di medsos mengapa negara diam dan tidak memburu para pelaku?
5. Terkait pelurusan sejarah, negara harusnya bersikap tegas. Bisa intervensi
melalui pendidikan supaya hal ini diperkuat lagi. Ini tugas negara.
6. Bagaimana mental idiologi generasi muda? Negara harus melakukan sesuatu
untuk mengatasi persoalan mental idiologi. Lakukan pelatihan-pelatihan untuk
membinan mental idiologi generasi muda Papua.

Anda mungkin juga menyukai