Anda di halaman 1dari 11

PERISTIWA PENEMBAKAN NDUGA DALAM PRESPEKTIF

KETAHANAN

OLEH:

KELOMPOK 4

UNIVERSITAS KATOLIK SANTO THOMAS

SUMATERA UTARA

MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

segala berkat dan rahmat-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah

ini tepat pada waktunya.

Adapun judul dari makalah ini adalah

“Peristiwa Penembakan Nduga Dalam Prespektif Ketahanan” merupakan salah

satu tugas Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Katolik Santo

Thomas dan diharapkan berguna bagi kita.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada

dosen mata kuliah serta kawan-kawan sekalian.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang

sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, penulis

mengucapkan terimakasih dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, November 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus

1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah

barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu

masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda, sama dengan daerah-daerah

lainnya. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan

Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.

Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua Barat

memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia

mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke

Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia

menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua Barat, Belanda

mempercepat program pendidikan di Papua Barat untuk persiapan kemerdekaan.

Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956

dan tentara Papua pada 1957.

Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal

antar warga sipil, konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan

orang asli Papua telah mengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini

belum tuntas diatasi. Masih adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh

adanya tuntutan Merdeka dan Referendum, serta terjadinya pengibaran bendera

bintang kejora, dan berlangsungnya aksi pengembalian Undang-undang No. 21

Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.


Konflik yang belum diselesaikan ini sangat memengaruhi kadar relasi di

antara orang asli Papua, orang Papua dengan penduduk lainnya, dan antara orang

asli Papua dan Pemerintah RI. Di satu pihak, orang Papua dicurigai sebagai

anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanya stigma separatis

membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak memercayai

pemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain ini,

dialog konstruktif tak akan pernah terjadi antara pemerintah dan orang Papua.

Apabila berbagai masalah yang melatarbelakangi konflik ini tidak

dicarikan solusinya, maka Papua tetap menjadi tanah konflik. Korban akan terus

berjatuhan. Hal ini pada gilirannya akan menghambat proses pembangunan yang

dilaksanakan di Tanah Papua.

Dari tengah situasi konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen,

Katolik, Islam, Hindu dan Budha Provinsi Papua melancarkan kampanye

perdamaian. Kampanye ini dilakukan dengan moto: Papua Tanah Damai (PTD).

Dalam perkembangan selanjutnya, para pimpinan agama menjadikan PTD sebagai

suatu visi bersama dari masa depan Tanah Papua yang perlu diperjuangkan secara

bersama oleh setiap orang yang hidup di Tanah Papua.

Sekalipun diakui oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat

terdalam dari setiap orang, termasuk semua orang yang hidup di Tanah Papua,

kenyataan memperlihatkan bahwa banyak orang belum merasa penting untuk

melibatkan diri dalam upaya menciptakan perdamaian di Tanah Papua. Orang asli

Papua, baik yang tinggal di kota maupun di kampung-kampung, belum terlibat

secara penuh dalam kampanye perdamaian ini. Padahal mereka sebagai pemilik
negeri ini sudah semestinya memimpin-atau setidaknya terlibat dalam berbagai

upaya untuk mewujudkan perdamaian di tanah leluhurnya.

Jadi pada kesempatan ini kami akan menejelaskan peristiwa penembakan

dalam prespektif ketahanan pada daerah Nduga Papua yang masih sering terjadi

konflik oleh oranganisasi-organisasi yang ingin merdekakan papua.

Rumusan Masalah

1. Mengetahui arti dari ketahanan nasional?

2. Menjelaskan aspek-aspek yang penting pada peristiwa penembakan

Nduga?
BAB II

PEMBAHASAN

Ketahanan nasional bukan merupakan sebuah disiplin ilmu tersendiri,

melainkan merupakan kumulasi dari hasil ketahanan yang terdapat pada elemen

‘gatra’ yang ada pada masyarakat dan mencakup gatra ideologi, politik, ekonomi,

sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Ketahanan nasional akan baik apabila ketahanan gatra ideologi, politik,

ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan baik. Ilmu untuk menjadikan

ketahanan nasional baik tidak berada pada disiplin ilmu ketahanan nasional.

Namun, ada pada bidang disiplin ilmu ideologi yang merupakan bagian dari

disiplin ilmu politik dan sosial budaya, bidang disiplin ilmu politik, ilmu ekonomi,

ilmu sosial budaya. Disiplin ilmu yang membentuk disiplin ilmu pertahanan dan

keamanan.

Secara praktis ketahanan diartikan sebagai kemampuan sebuah entitas

untuk kembali kepada bentuk aslinya bila mendapat tantangan, gangguan,

hambatan dan ancaman. Ketahanan nasional (dan di daerah) dikatakan baik

apabila ketahanan pada lima gatra dapat menciptakan keadaan yang mendukung

kelangsungan pembangunan dalam kerangka pembangunan masyarakat Pancasila.

Penegakan hukum

Aspek yang pertama dan utama signifikan dalam merespons peristiwa

penembakan di Nduga, Papua, ialah terjadinya pembunuhan terhadap karyawan

PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018. Kejadian tersebut menunjukkan telah

terjadi tindak pidana pembunuhan. Oleh karenanya, tindakan pertama ialah


melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap pelaku guna

mempertanggungjawabkan tindakannya melalui proses pengadilan.

Dari proses penyidikan akan didapatkan motif dan latar belakang

tindakannya. Mulai dari pembunuhan yang direncanakan hingga kemungkinan

adanya motif pemberontakan. Proses hukum harus dilaksanakan hingga majelis

hakim sampai kepada keputusannya untuk menjatuhkan hukuman.

Proses ini pada dasarnya merupakan proses penegakan hukum karena

pembunuhan yang direncanakan dengan bersenjata hingga rencana

pemberontakan semua terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Namun, sebelum dapat mengajukan ke depan pengadilan, para pelaku

pembunuhan kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) harus ditangkap.

Polri dan Tentara memiliki kemampuan untuk mengejar KKSB sebagai

penegak hukum untuk menangkap dan melakukan operasi militer pengejaran

terhadap KKSB.

Pemberian nama teror atas pemberontakan bagi KKSB tidak serta-merta

otomatis memberi alasan untuk pengerahan TNI. Pengerahan TNI ditentukan

keputusan politik sesuai dengan ketentuan UU TNI. Pengerahan TNI juga tidak

serta-merta menjadi tindakan pelanggaran hak asasi manusia.

Mengefektifkan Pembangunan

Aspek lain yang perlu mendapat perhatian ialah bagaimana untuk

mengefektifkan pembangunan bagi rakyat Papua. Fokus perhatian di sini ialah

bagaimana anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat diserap secara efektif oleh

program-program kepala daerah dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat Papua.


Belum lepas dari ingatan kita bagaimana kucuran anggaran kepada

Provinsi Timor Timur tidak mampu menjadikan rakyat Timor Timur merasa

sebagai bagian dari NKRI, yang pada akhirnya melalui jajak pendapat

mengakibatkan lepasnya Provinsi Timor Timur dan berubah menjadi Republik

Demokratik Timor Leste.

Mengucurkan pemberian dalam bentuk pembangunan yang berlimpah

tidak senantiasa berarti kita telah memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua.

Pembangunan yang dimaksudkan berujung pada peningkatan kesejahteraan saja

belum cukup. Namun, sebaliknya kita juga mempunyai ekspektasi terhadap

mereka tentang kepatuhan terhadap konstitusi serta peraturan perundang-

undangan.

Untuk itu, diperlukan kesadaran dan efektivitas upaya fungsional di

tingkat pemerintah daerah, untuk menjamin suksesnya pembangunan, dan

mempercepat efektivitas fasilitas otonomi khusus bagi peningkatan kesejahteraan

rayak di Papua.

Pendekatan represif saja tanpa memberi ruang untuk menyampaikan

harapan mereka dalam sebuah dialog akan dapat menimbulkan reaksi yang keras.

Namun, pendekatan kesejahteraan tanpa kehadiran negara untuk mengawal

konsensus dasar bangsa yang terdiri dari Pancasila, UUD Negara RI 1945, NKRI,

dan makna seloka Bhinneka Tunggal Ika akan mudah disalahgunakaan karena

memang posisi unik Papua dalam proses penyatuan menjadi bagian dari NKRI,

dan masih hidupnya aspirasi yang belum menerima fakta itu, serta bermimpi

tentang kemerdekaan Papua. Dapat dikatakan proses nation building sebagai


bagian dari NKRI bagi Papua memang berjalan di belakang daerah-daerah lain di

Indonesia. Oleh karena itu, memerlukan perhatian khusus.

Penanganan masalah Papua tidak terlepas dari proses demokratisasi di

Indonesia serta implikasinya bagi implementasi otonomi khusus bagi provinsi

Papua. Indeks demokrasi Papua tidak menunjukkan peningkatan sepanjang 2009-

2017. Skor untuk aspek hak politik dan lembaga demokrasi masih timpang dengan

aspek kebebasan sipil dalam hal keamanan tidak ditindak lanjuti dengan

mendalami masalah untuk mendapatkan akar penyebab.

Dari penjelasan diatas disimpulkan bahwa daerah Nduga termasuk daerah

rawan terjadinya gangguan kekerasan bersenjata dari kelompok kriminial

separatis bersenjata (KKSB). Perlu mendapat perhatian, tentang proteksi

keamanan bagi para pekerja sipil dalam proyek pembangunan di daerah rawan

maupun masyarakat yang berada didaerah tersebut. Mengerahkan untuk

melaksanakan proyek pembangunan di daerah rawan seperti Nduga. Kegiatan ini

sekali lagi merupakan bentuk kegiatan operasi militer selain perang dalam

perbantuan kepada pemerintah sipil di masa damai.

Iklim Yang Kondusif

Oleh karena itu, kebijakan dari pemerintah pusat perlu lebih diartikulasi bagi

kepentingan rakyat Papua dan terukur. Sebagaimana disebut dalam uraian di atas,

perlunya keseimbangan antara pembangunan dan pengawasan. Karena itu, kebijakan

terhadap rakyat Papua perlu disesuaikan melalui koordinasi dan musyawarah dengan

para pemangku kepentingan sehingga dicapai kebijakan nasional yang mencakup

seluruh fungsi pemerintahan melalui satu whole of government approach.

Diharapkan, melalui tindakan tegas penegakan hukum, dapat dipulihkan

kembali tingkat ketahanan keamanan dan melalui pendekatan yang lebih terpadu
dapat ditingkatkan ketahanan sosial budaya dan ekonomi. Bila kondisi ketahanan

gatra sosial budaya, ekonomi, dan keamanan dapat ditingkatkan, hal tersebut dapat

membangun iklim yang kondusif bagi pembangunan indeks gatra lainnya.

Khususnya, gatra ideologi sebagai perekat NKRI. Apabila kita mampu meningkatkan

ketahanan pada tiap gatra yang ada dalam masyarakat, dapat kita katakan bahwa

kondisi ketahanan nasional di daerah Papua dalam kondisi baik.

Dengan becermin pada pengalaman peristiwa gangguan kekerasan bersenjata

yang dilakukan KKSB selama 2018, langkah-langkah yang dapat dilakukan seperti

tersebut di atas menjadi pertimbangan bagi perbaikan indeks ketahanan nasional

untuk Provinsi Papua pada 2019.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ketahanan nasional bukan merupakan sebuah disiplin ilmu tersendiri,

melainkan merupakan kumulasi dari hasil ketahanan yang terdapat pada elemen

‘gatra’ yang ada pada masyarakat dan mencakup gatra ideologi, politik, ekonomi,

sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Perlunya keseimbangan antara pembangunan dan pengawasan, hal tersebut

dapat membangun iklim yang kondusif bagi pembangunan indeks gatra lainnya.

Khususnya, gatra ideologi sebagai perekat NKRI. Apabila kita mampu meningkatkan

ketahanan pada tiap gatra yang ada dalam masyarakat, dapat kita katakan bahwa

kondisi ketahanan nasional di daerah Papua dalam kondisi baik.

Anda mungkin juga menyukai