Anda di halaman 1dari 5

Senja terakhir

Kelompok Sandikala Senja:

1. Nabil (Anak)
2. Adeliyus (Ayah)
3. Moza (Ibu)
4. Hikma (Masyarakat)
5. Syifa (Masyarakat)
6. Zharifa (Masyarakat )
7. Nabilla(Opening/Prolog)

(suara angin)

(gema senja)

“ayah, lihatlah senja disana, begitu indah bukan?”

“iya nak senja yang selalu kita rindukan”

“betul ayah, aku selalu ingin menjadi senja. Dimana kedatangannya membawa kebahagiaan
dan kepergiannya selalu dirindukan”

“apa aku bisa seperti senja yah?”

“kedatanganmu tentu saja selalu membawa kebahagiaan nak. Lantas untuk kepergian, kau
hendak pergi kemana?”

“ntahlah ayah, tak usah ayah jadikan beban pikiran. Aku hanya ingin menghabiskan waktu
indah ini dengan Bahagia”

(backsound suara pasar yang sedang ramai)

“sangat mudah menjadi seorang kaya raya sekarang. Dengan berjulan ikan, dan mengurangi
timbangan dari ikan-ikan itu saja sudah membuatku untuk sangat besar(tertawa sinis).
Mereka tentu tidak akan mengetahui jika aku telah berbuat culas selama ini”

(backsound tepi pantai)


“tadi seorang investor datang menemuiku di pasar ikan. Ia memintaku untuk mengurus
proyek pembangunan yang akan ia buat didesa kita”

“wah benarkah? Lalu apakah engkau menerima tawaran dari sang investor itu?”

“tentu saja aku terima, sangat rugi rasanya bila sang kucing membiarkan ikan asin dimakan
oleh kucing lain. Tentu ini akan menambah kekayaan ku ”

(ekspresi licik)

“HAHAHA (menghamburkan duit ke atas) . Sungguh menyenangkan menjadi seorang kaya


raya. Aku tidak perlu Lelah bekerja untuk menghasilkan uang, duduk saja dirumah pun aku
menghasilkan uang”

“apakah engkau sadar telah memakai uang haram,yah”

“ini demi mu juga nak, asal engkau tidak mengecap pahitnya hidup sebagai seorang miskin
yang tak dihargai”

“iya nak, kami tak ingin kau merasakan hal yang terjadi pada kami terjadi juga padamu”

“apakah engkau tidak merasa senang dengan kehidupan sekarang ini”

“aku tak butuh uang itu, aku hanya ingin keluarga kita kembali hangat layaknya dulu kala”

“sedikit pun kau tak menghargai usaha ku ini, bahkan selama ini telah berusaha kebohongan-
kebohonganku ini demi engkau!”

“oh jadi selama ini engkaula yang telah menggelapkan dana proyek”

“jangan kau bertindak kurang ajar kepada ayahmu sendiri seperti ini”

(tetangga mendengar pertengkaran yang terjadi)

“HA? Jadi selama ini benar dugaan ku bahwa ia telah menggelapkan dana pembangunan
proyek itu ”

“ooh… ini biadab terhormat, yang menjual janji tanpa bukti”

“berkenalan dengan uang tanpa meletakkan rasa kemanusiaan! ”

“hey pria licik, dengan teganya kau menggelapkan dana proyek pembangunan itu. Setelah
dengan semena-mena kau membeli tanah-tanah rakyat dengan harga murah dan tak masuk
akal. Sekarang apalagi yang kau perbuat?”
“sungguh kau pria licik tak berhati Nurani. Lihat saja, suatu hari nanti kau akan menerima
balasan atas perbuatan kejimu. Sungguh, sumpah ku tak pernah meleset”

“sudahlah aku sudah tak percaya lagi pada kalian, aku sudah muak. Aku akan meninggalkan
tempat ini sekarang juga!“

“dasar anak tak tahu diuntung”

“bukannya berterima kasih, tapi malah kau hina kami”

(backsound menegangkan)

*3 bulan kemudian

“uhuk….uhuk…..(suara batuk), sudah lama aku tak mendengar kabar anak kita”

“iya yah, semenjak kepergiannya itu….aku pun terkadang memikirkan seperti apa nasibnya
diluar sana sekarang ini”

(ibu menelpon sang anak)

“tutt….tutt….tut(suara panggilan tak dijawab), sudah 3 kali kucoba menelponnya tapi…tak


satupun dia jawab”

“mungkin dia sedang sibuk sekarang dengan pekerjaan barunya bu, aku hanya berdo’a
semoga diluar sana ia dalam keadaan yang baik-baik saja”

“aamiin ya Allah”

“kita coba menolponnya lagi nanti bu”

“iya yah”

*beberapa jam kemudian

“tut…tut….(suara panggilan masuk), Assalamualaikum nak, apa kabar kamu sekarang?”

“Alhamdulillah baik buk, kalian…apa kabarnya disana?”

“Alhamdulillah ibu baik, tetapi… ayahmu tidak nak. Ayahmu sekarang terbaring lemah
dikasur, sudah 1 bulan, semenjak kepergianmu itu ayahmu selalu memikirkanmu, sampai ia
tak mau makan, minum, dan kurang tidur. Dan sekarang ia terkena penyakit jantung nak”

“Ahh…pria itu, aku tak peduli lagi dengannya. Aku sudah tak ingin lagi memangndang
mukanya”
“astagfirullah…janganla engkau seperti itu nak, ayahmu ingin melihat bagaimana keadaan
engkau sekarang, jika ada waktu maukah kau datang kesini nak?”

“sudah kubilang bu…aku tak ingin mendengar sura dan memandang wajah pria licik itu bu”

“Halo nak ayah….tut..tut..tut (suara panggilan diakhiri), dia memakhiri panggilannya bu”

“astagfirullah, yang sabar ya yah. Mungkin beberapa hari lagi dia akan menelpon kembali”

“semoga saja bu”

*beberapa hari kemudian

tut…tut…tut (suara panggilan masuk)

“Assalamualaikum bu, iya ada apa bu?”

“Waalaikumussalam nak, itu nak… ibu mau bilang sesuatu hal”

“iya bu, kenapa?”

“ayahmu…sudah tiada nak”

“INNALILLAHI WA INNAILAIHI ROJI’UN, astagfirullah….kenapa bu, kenapa ayah


meninggalkan kita”

(sang anak menangis)

“ayahmu sudah tiada semenjak 1 hari yang lalu nak. Ketika itu senja tampak begitu indah,
sehingga kami pergi ketepi pantai berdua. Setelah kami sampai disana ayahmu berkata
“ketika aku melihat senja ini aku selalu ingat dengan anak itu bu, anak yang selalu kusayangi
dan kubanggakan”. Dan tak klama setelah ia mengatakan itu…ia pun menghembuskan
nafasnya untuk terakhir kalinya, ibu ingin mengabarinya denganmu. Akan tetapi ibu takut
engkau tak mau datang kesini”

“astagfirullah bu, kenapa ibu tak mengabariku saja. Ya Allah ampunilah segala dosa
kesalahan yang telah ia perbuat selama didunia ini”

“Aamiin ya Allah”

(ibu ikut menagis)


“Dia memanglah pria licik yang tidak memiliki hati. Akan tetapi dia tetap ayahku, dia yang
merawatku, dia yang mendidikku, dan karena dia juga aku dapat tumbuh besar hingga saat
ini”

“sudahla nak, tak ada guna menyesalinya. Sekarang dia sudah tiada, sebaiknya kita
mendo’akannya saja nak”

“MAAFKAN ANAKMU INI YAH….”

Anda mungkin juga menyukai