: (tidak menoleh benar) Malam lebaran Narto, dengarlah tabuh itu bersahut sahutan. Pada
malam lebaran seperti ini dia pergi, pergi dengan tidak meningglakan kata
Ibu
Gunarto : (Heran) Masih saja terima barang jahitan itu, Bu? Bukankah Mintarsih tak perlu lagi bekerja
membanting tulang sekarang ?
Ibu
: Biarlah, Narto. Nanti kalau ia sudah bersuami. Kepandaiaannya itu takkan sia-sia.
Gunarto : (memandang ibunya dengan kasih. Sebenarnya Ibu hendak mengatakan penghasilan kita
belum cukup untuk makan sekeluarga. (diam sebentar). Tapi bagaimana dengan lamaran
orang itu, Bu?
Ibu
: Mintarsih nampaknya belum mau bersuami, tetapi orang itu mendesaknya juga.
Gunarto : Maaf, bukan maksudku untuk menjual adikku sendiri. Aku sudah bosan terlalu mata duitan
dalam hidup yang serba penuh derita ini.
Ibu
: (terkenang) Ayahmu oarang beruang punya tanah dan kekayaan, waktu kami baru
menikah. Tetapi kemudian bagaikan pohon ditiup angin. Daunnya keguguran. Aku tak mau
terkena dau kali. Aku tak mau. Mintarsih harus bersuamikan orang yang berbudi tinggi
mesti ..
Gunarto : (mencoba tertawa) Tapi kalau kedua-duanya sekaligus, ada harta dan ada hati?
Ibu
: Di mana akan dicari, Narto? Mintarsih memang gadis yang cantik, tapi pada saat ini kita tak
ada uang di rumah .. sedikit hari lagi uang simpan terkakhir pun habis.
menderita. Sedari kecil ia sudah merasakan pahit getir penghidupan. Tetapi kita mesti
dapat megatasi segala kesukaran ini, Bu. Mesti .. Min mesti dapat senang sedikit. Itu
kewajibanku, aku mesti lebih keras berusaha. Ah, jika aku ada uang barang dau ratus lima
puluh ribu rupiah aja