Anda di halaman 1dari 40

PEWARNA ALAMI BATIK DARI TANAMAN NILA

(Indigofera) DENGAN METODE PENGASAMAN

TUGAS AKHIR
disajikan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Ahli Madya Program Studi Teknik Kimia

Oleh
A. Amar Mualimin
5511310002

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama Mahasiswa : A. Amar Mualimin


NIM : 5511310002

Tugas Akhir

Judul : Pewarna Alami Batik Dari Tanaman Nila (Indigofera)


--------- -Dengan Metode Pengasaman

telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian tugas
akhir.

Pembimbing

Prima Astuti Handayani, S.T., M.T.


NIP. 197203252000032001

ii
PENGESAHAN KELULUSAN

Tugas Akhir
Judul : Pewarna Alami Batik Dari Tanaman Nila (Indigofera)
----------Dengan Metode Pengasaman
Oleh : A. Amar Mualimin
NIM 5511310002
telah dipertahankan dalam sidang Tugas Akhir Program Studi Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang, dan disahkan pada:
Hari :
Tanggal :

Dekan Fakultas Teknik Ketua Prodi Teknik Kimia DIII

Drs. Muhammad Harlanu, M. Pd. Prima Astuti Handayani, S.T., M.T.


NIP. 196602151991021001 NIP. 197203252000032001

Penguji Pembimbing

Dr. Megawati, S.T., M.T. Prima Astuti Handayani, S.T., M.T.


NIP. 197211062006042001 NIP. 197203252000032001

iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO
 Hargailah orang lain jika kamu ingin dihargai.
 Apa yang kamu inginkan belum tentu menjadi apa yang kamu butuhkan,
apa yang kamu butuhkan belum tentu menjadi apa yang kamu harapkan,
sedikit berharap, perbanyaklah bersyukur. Sesungguhnya Tuhan telah
memberikan apa yang tidak kamu inginkan tapi apa yang benar-benar
kamu butuhkan.

PERSEMBAHAN
1. Bapak, Ibu dan saudara-saudaraku tercinta
2. Dosen-dosenku
3. Teman-temanku
4. Almamaterku

iv
INTISARI

Mualimin, A. Amar. 2013. Pewarna Alami Batik Dari Tanaman Nila


(Indigofera) Dengan Metode Pengasaman. Tugas Akhir. Program Studi Teknik
Kimia DIII, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang.

Indigo merupakan zat warna biru alami batik yang diambil dari daun
tanaman nila, yang ramah lingkungan dan tidak bersifat karsinogenik. Untuk
dapat mengambil zat warna indigo, glikosida indikan yang terkandung pada daun
tanaman nila dihidrolisis terlebih dahulu menjadi indoksil dan glukosa. Hidrolisis
dapat menggunakan enzim atau asam mineral encer. Indoksil kemudian dioksidasi
menjadi indigo. Pemungutan zat warna biru dari tanaman nila dilakukan dengan
metode pengasaman. Pengamatan dilakukan pada variasi konsentrasi asam
klorida, waktu aerasi, jenis asam dan jenis zat pengikat.
Bahan yang digunakan adalah daun indigo yang baru berumur ± 2 bulan,
aquades, asam klorida, asam sulfat, sodium hidroksida, gula jawa, kapur, tawas
dan tunjung. Alat yang digunakan pada aerasi adalah glass beaker dan air pump
daun nila direndam dalam asam dengan konsentrasi tertentu selama 24 jam. Filtrat
hasil rendaman kemudian dioksidasi dengan cara mengalirkan udara pada filtrat
menggunakan air pump selama 12 jam. Aplikasi sampel dilakukan dengan
pencelupan kain pada larutan zat pengikat tunjung, tawas dan kapur.
Hasil percobaan diperoleh bahwa semakin lama waktu aerasi, kadar indigo
yang dihasilkan semakin tinggi. Konsentrasi asam klorida yang menghasilkan
kadar indigo paling tinggi adalah pada konsentrasi 0,01 M dengan kadar indigo
mencapai 26,88 ppm. Asam sulfat 0,01 M menghasilkan kadar indigo yang tinggi
yaitu 29,20 ppm, dibandingkan dengan asam klorida 0,01 M. Penggunaan jenis
zat pengikat pada aplikasi kain, memberikan kenampakan warna yang berbeda-
beda. Dengan zat pengikat tunjung menghasilkan warna biru tua kehijauan, kapur
menghasilkan warna biru muda dan tawas menghasilkan warna biru.

v
PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas rahmat, taufik, dan
hidayahNya, penulis dapat menyelesaikan penyususnan tugas akhir dengan judul,
“Pewarna Alami Batik Dari Tanaman Nila (Indigofera) Dengan Metode
Pengasaman”.
Tugas akhir ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Ahli
Madya pada Program Studi Teknik Kimia DIII Fakultas Teknik Universitas
Negeri Semarang. Penulis menyadari bahwa selesainya tugas ini adalah karena
adanya dorongan, bantuan, dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Muhammad Harlanu, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Teknik
Universitas Negeri Semarang.
2. Prima Astuti Handayani, S.T., M.T. selaku Ketua Program Studi D3
Teknik Kimia sekaligus sebagai dosen pembimbing tugas akhir ini.
3. Dr. Megawati, S.T., M.T. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
masukan dan pengarahan dalam penyempurnaan penyusunan Tugas Akhir.
4. Bapak, Ibu dan keluargaku terima kasih atas curahan kasih sayang dan
perhatiannya dalam mendidik dan membesarkanku serta doa yang selalu
menyertaiku.
5. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu hingga
terselesaikannya tugas akhir ini.

Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua dan bagi perkembangan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan semoga Allah SWT membalas dengan
imbalan yang setimpal bagi pihak-pihak yang telah membantu berupa apapun,
baik materi maupun doa.

Semarang, Februari 2013

Penulis

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ............................................................................ iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ......................................................................... iv
INTI SARI................................................................................................................v
PRAKATA ............................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................1


1.1 Latar Belakang ...........................................................................1
1.2 Permasalahan .............................................................................3
1.3 Tujuan ........................................................................................3
1.4 Manfaat ......................................................................................4
BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................5
2.1 Batik ...........................................................................................5
2.2 Pewarna Alami Batik .................................................................6
2.3 Tanaman Nila (indigofera) .........................................................7
2.4 Pemungutan Zat Warna Indigo ...................................................9
2.5 Analisis Kadar Indigo Dengan Spektrofotometri UV-VIS .........9
BAB III PROSEDUR KERJA ......................................................................11
3.1 Alat...........................................................................................11
3.2 Bahan .......................................................................................11
3.3 Rangkaian Alat ........................................................................12
3.4 Cara Kerja ................................................................................12
3.4.1 Variasi Konsentrasi Asam Klorida Dan Jenis Asam Dalam
Larutan Rendemen ................................................................12

vii
3.4.2 Aplikasi Pada Kain .................................................................13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................14
4.1 Pengaruh Waktu Aerasi Terhadap Kadar Indigo ......................14
4.2 Pengaruh Konsentrasi Asam Terhadap Kadar Indigo ...............15
4.3 Pengaruh Jenis Asam Terhadap Kadar Indigo…... ...................15
4.4 Pengaruh Zat Pengikat ..............................................................17
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ............................................................19
5.1 Simpulan ...................................................................................19
5.2 Saran .........................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................20


LAMPIRAN ...........................................................................................................22

viii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Perbedaan Zat Pewarna Sintetis dan Alami ......................................................6


4.1 Data Kadar Indigo Dengan Waktu Aerasi ......................................................15
4.2 Data Pengaruh Konsentrasi Asam Terhadap Kadar Indigo ............................15
4.3 Data Kadar Indigo Perendaman dengan Asam Klorida dan Asam Sulfat ......16
4.4 Data Perubahan Warna Yang Dihasilkan oleh Zat Pengikat ..........................18

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Struktur Zat Warna Indigo ...............................................................................8


3.1 Rangkaian Alat Proses Oksidasi .....................................................................12
4.1 Data Kadar Indigo Dengan Waktu Aerasi ......................................................15
4.2 Data Pengaruh Konsentrasi Asam Terhadap Kadar Indigo ............................16
4.3 Data Kadar Indigo Perendaman dengan Asam Klorida dan
Asam Sulfat ....................................................................................................17

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Cara Kerja Pemungutan Zat Warna Indigo Dengan Pengasaman ..................22


2. Cara Kerja Aplikasi Pada Kain .......................................................................23
3. Data Pengamatan Selama Proses Pemungutan Zat Warna Indigo ..................24
4. Data Hasil Uji Spektrofotometri UV-VIS Laboratorium MIPA UNNES ......25
5. Dokumentasi Proses Pemungutan Pewarna Alami .........................................26

xi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Batik merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang sudah diakui
UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 sebagai salah satu warisan tak benda
bangsa Indonesia. Batik pada dasarnya adalah teknik menghias permukaan tekstil
dengan cara menahan pewarna. Dapat dikatakan bahwa teknik ini dijumpai
dimana saja dan merupakan salah satu tahapan pencapaian dalam peradaban
manusia. Di pulau Jawa teknik tersebut menggunakan alat yang bernama canting
untuk menggoreskan motif-motif dengan lilin di atas sehelai kain. Konon Batik
berasal dari kata BATHIK (bahasa Jawa) yang secara etimologi berasal dari kata
Jawa kuno yang berarti dengan teliti atau cermat (Rini, dkk 2011).
Pada mulanya semua bahan pewarnaan batik dibuat dari bahan-bahan
alami yang berasal dari lingkungan setempat. Bahan pewarnaan alami tersebut
juga lazim digunakan untuk karya-karya seni lain di kepulauan Nusantara. Sumber
bahan pewarna yang digunakan adalah bagian kulit kayu, buah, bunga dan akar
suatu tanaman. Di awal abad ke-20 warna sintetis/kimia mulai digunakan luas
oleh pengrajin-pengrajin batik di Pekalongan (Rini, dkk 2011).
Teknik pewarnaan sintetis/kimia menggeser teknik pewarnaan alami
karena proses pengerjaan jauh lebih mudah, dan warna yang dihasilkan lebih
beragam. Media kain yang digunakan pada awalnya adalah kain katun, karena
pada dasarnya warna-warna alami hanya dapat terserap sempurna pada bahan
baku serat alami. Seiring bergesernya waktu, kebutuhan kain batik semakin
meningkat, dan produksi kain batik yang menggunakan bahan pewarna
sintetis/kimia juga meningkat. Hal tersebut akan menimbulkan masalah baru yaitu
masalah pencemaran lingkungan. Pembuangan limbah pewarna sintetis/kimia ke
sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu akan merusak lingkungan di daerah
sekitar sentra-sentra industri batik (Rini, dkk 2011).

1
2

Limbah tersebut terutama berasal dari proses pewarnaan batik yang masih
menggunakan pewarna sintesis naptol, remasol, indigosol, dan sejenisnya.
Pewarna-pewarna berbahan kimia itu tergolong tidak ramah lingkungan. Apabila
mengalir ke dalam tanah, bahan-bahan itu bisa merusak ekosistem tanah.
Pasalnya, bakteri tanah tidak mampu mendegradasi bahan-bahan kimia tersebut.
Bukan hanya itu, jika masuk ke tubuh, bahan-bahan yang bersifat karsinogenik itu
akan membahayakan kesehatan manusia. Agar hasil pembuatan batik tidak terlalu
mencemari lingkungan dan membahayakan manusia, bahan pewarna sintetis itu
harus diganti dengan pewarna dari alam (Brono 2010).
Zat warna alam untuk bahan tekstil pada umumnya diperoleh dari hasil
ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga.
Pengrajin-pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhan-tumbuhan yang dapat
mewarnai bahan tekstil beberapa diantaranya adalah daun pohon nila (indigofera),
kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn), kayu tegeran (Cudraina
javanensis), kunyit (Curcuma), teh (The), akar mengkudu (Morinda citrifelia),
kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), daun
jambu biji (Psidium guajava) (Susanto 1973).
Tanaman Indigofera dikenal dengan nama nila, tom jawa, tarum alus,
tarum kayu (Indonesia), indigo (Inggris), nila, tarum (Malaysia), tagung-tagung,
taiom, taiung (Filipina). Merupakan tumbuhan asli Afrika Timur dan Afrika
bagian Selatan serta telah diperkenalkan ke Laos, Vietnam, Filipina dan Indonesia
(Sumatera, Jawa, Sumba dan Flores). Pigmen warna yang ditimbulkannya
dikelompokan ke dalam pewarna lemak karena ditimbulkan kembali pada serat
melalui proses redoks, pewarna ini seringkali memperlihatkan kekekalan yang
istimewa terhadap cahaya dan pencucian. Tanaman nila (indigofera) dimanfaatkan
secara luas sebagai sumber pewarna biru (Adalina, dkk 2010).
Tanaman nila (indigofera) mengandung glukosida indikan. Setelah
tanaman ini direndam di dalam air terjadi proses hidrolisis oleh enzim, menurut
Hassan Shadily dan Prof. Mr. Ag. Pringgodigdo dalam bukunya disebutkan
bahwa glukosida indikan juga dapat dihidrolisis dengan asam encer, dalam
bukunya yang berjudul pengantar kimia buku panduan mahasiswa kedokteran
3

Darmin Sumardjo menyebutkan asam yang digunakan untuk menghidrolisis


gugus glikosida adalah asam mineral, yang akan mengubah indikan menjadi
indoksil (tarum putih) dan glukosa. Indoksil dapat dioksidasi menjadi indigo
dengan warna biru (Adalina, dkk 2010; Shadily dan Pringgodigdo, 1973;
Sumarjdo 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka saya tertarik untuk membuat pewarna
batik dari tanaman nila (indigofera) sebagai bahan pengganti pewarna sintetis
dengan metode pengasaman serta aplikasi zat pewarna pada kain batik.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaruh waktu oksidasi terhadap kadar indigo yang dihasilkan?
b. Bagaimana pengaruh konsentrasi asam encer pada saat hidrolisis terhadap
kadar indigo yang dihasilkan?
c. Bagaimana pengaruh jenis asam yang digunakan terhadap kadar indigo yang
dihasilkan?
d. Bagaimana pengaruh zat pengikat warna terhadap warna yang dihasilkan pada
kain?
1.3 Tujuan
Tujuan dari tugas akhir ini antara lain:
a. Mengetahui pengaruh waktu oksidasi terhadap kadar indigo yang dihasilkan.
b. Mengetahui pengaruh konsentrasi asam encer terhadap kadar zat warna biru.
c. Mengetahui pengaruh jenis asam yang digunakan terhadap kadar indigo yang
dihasilkan.
d. Mengetahui pengaruh zat pengikat warna terhadap warna yang dihasilkan
pada kain.
4

1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diberikan dari tugas akhir ini antara lain:
a. Sebagai pengganti pewarna sintetis batik yang tidak menimbulkan kerusakan
pada lingkungan dan kesehatan.
b. Sebagai pelestarian penggunaan zat warna alami yang mulai ditinggalkan.
c. Meningkatkan nilai estetika batik dengan penggunaan pewarna alami.
d. Sebagai pelestarian batik yang merupakan budaya asli Indonesia.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Batik
Batik merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang sudah diakui
UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 sebagai salah satu warisan tak benda
bangsa Indonesia. Batik pada dasarnya adalah teknik menghias permukaan
tekstil dengan cara menahan pewarna. Dapat dikatakan bahwa teknik ini
dijumpai dimana saja dan merupakan salah satu tahapan pencapaian dalam
peradaban manusia. Di pulau Jawa teknik tersebut menggunakan alat yang
bernama canting untuk menggoreskan motif-motif dengan lilin diatas sehelai
kain. Konon Batik berasal dari kata BATHIK (bahasa Jawa) yang secara
etimologi berasal dari kata Jawa kuno yang berarti dengan teliti atau cermat
(Rini, dkk 2011).
Pada mulanya semua bahan pewarnaan batik dibuat dari bahan-bahan
alami yang berasal dari lingkungan setempat. Bahan pewarnaan alami tersebut
juga lazim digunakan untuk karya-karya seni lain di kepulauan Nusantara.
Sumber bahan pewarna yang digunakan adalah bagian kulit kayu, buah, bunga
dan akar suatu tanaman. Di awal abad ke-20 warna sintetis/kimia mulai
digunakan luas oleh pengrajin-pengrajin batik di Pekalongan (Rini, dkk 2011).
Teknik pewarnaan sintetis/kimia menggeser teknik pewarnaan alami
karena proses pengerjaan jauh lebih mudah, dan warna yang dihasilkan lebih
beragam. Media kain yang digunakan pada awalnya adalah kain katun, karena
pada dasarnya warna-warna alami hanya dapat terserap sempurna pada bahan
baku serat alami. Seiring bergesernya waktu, kebutuhan kain batik semakin
meningkat, dan produksi kain batik yang menggunakan bahan pewarna
sintetis/kimia juga meningkat. Hal tersebut akan menimbulkan masalah baru
yaitu masalah pencemaran lingkungan. Pembuangan limbah pewarna
sintetis/kimia ke sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu akan merusak
lingkungan di daerah sekitar sentra-sentra industri batik. Berdasarkan hasil
identifikasi dari Kementerian Lingkungan Hidup, terdapat 48.287 UKM Batik

5
6

yang proses produksinya menyebabkan pencemaran sungai di Indonesia karena


menggunakan lilin/wax, pewarna sintetis/kimia dan bahan bahan kimia lainnya
secara berlebihan (Rini, dkk 2011).
Limbah tersebut terutama berasal dari proses pewarnaan batik yang masih
menggunakan pewarna sintesis naptol, remasol, indigosol, dan sejenisnya.
Pewarna-pewarna berbahan kimia itu tergolong tidak ramah lingkungan.
Apabila mengalir ke dalam tanah, bahan-bahan itu bisa merusak ekosistem
tanah. Pasalnya, bakteri tanah tidak mampu mendegradasi bahan-bahan kimia
tersebut. Bukan hanya itu, jika masuk ke tubuh, bahan-bahan yang bersifat
karsinogenik itu akan membahayakan kesehatan manusia. Agar hasil
pembuatan batik tidak terlalu mencemari lingkungan dan membahayakan
manusia, bahan pewarna sintetis itu harus diganti dengan pewarna dari alam
(Brono 2010).
2.2 Pewarna Alami Batik
Pewarna dapat dipilih atas dasar sumber serta pembuatannya, yaitu
pewarna alami dan pewarna sintetis. Pewarna alami ada yang berasal dari
mineral dan ada yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pewarna alami tumbuh-
tumbuhan didapat dari ekstrak pigmen tumbuh-tumbuhan. Sementara, pewarna
sintetis diperoleh melalui proses kimia (Pitojo dan Zumiati 2009).
Tabel 2.1 Perbedaan Zat Pewarna Sintetis dan Alami
Spesifikasi Zat Pewarna Sintetis Zat Pewarna Alami
Lebih cerah Lebih pudar
Warna yang dihasilkan
Lebih homogen Tidak homogen
Variasi warna Banyak Sedikit
Harga Lebih murah Lebih mahal
Ketersediaan Tidak terbatas Terbatas
Kestabilan Stabil Kurang stabil
(Lee 2005)
Dalam kenyataannya, penggunaan pewarna nabati dihadapkan pada
beberapa kelemahan sebagai berikut (Pitojo dan Zumiati 2009):
a. Bahan baku pewarna berjumlah banyak
Untuk memperoleh zat warna nabati dalam jumlah relatif banyak,
biasanya diperlukan bahan baku yang banyak.
7

b. Hasil biasanya tidak eksak


Hasil yang diperoleh akan bervariasi dan beragam atau tidak konsisten.
c. Peka terhadap pemanasan
Perlakuan panas pada pemasakan bahan makanan, misalnya
pengeringan atau perebusan bahan pangan akan mengubah sifat fisika
dan kimia bahan pangan.
d. Peka terhadap keasaman larutan
Beberapa jenis zat warna nabati juga dapat terpengaruh oleh kondisi
keasaman larutan.
e. Kurang ekonomis
Secara teoritis, jika dinilai dengan satuan harga, pewarna nabati lebih
mahal dibandingkan dengan pewarna sintetis.
Zat warna alam untuk bahan tekstil pada umumnya diperoleh dari hasil
ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga.
Pengrajin-pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhan-tumbuhan yang
dapat mewarnai bahan tekstil beberapa diantaranya adalah daun pohon nila
(indigofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn), kayu tegeran
(Cudraina javanensis), kunyit (Curcuma), teh (The), akar mengkudu (Morinda
citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa
orelana), daun jambu biji (Psidium guajava) (Susanto 1973).
2.3 Tanaman Nila (indigofera)
Tumbuhan ini dikenal dengan nama: Tom jawa, tarum alus, tarum kayu
(Indonesia), indigo (Inggris), nila, tarum (Malaysia), tagung-tagung, taiom,
taiung (Filipina). Merupakan tumbuhan asli Afrika Timur dan Afrika bagian
Selatan serta telah diperkenalkan ke Laos, Vietnam, Filipina dan Indonesia
(Sumatera, Jawa, Sumba dan Flores) (Adalina, dkk 2010).
Pigmen warna yang ditimbulkannya dikelompokan ke dalam pewarna
lemak karena ditimbulkan kembali pada serat melalui proses redoks, pewarna
ini seringkali memperlihatkan kekekalan yang istimewa terhadap cahaya dan
pencucian. Jenis-jenis indigofera dimanfaatkan secara luas sebagai sumber
pewarna biru. Jenis ini sebagai tanaman penutup tanah dan sebagai pupuk
8

hijau, khususnya diperkebunan teh, kopi dan karet. Daunnya digunakan dalam
pengobatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit ayan dan gangguan
syaraf, untuk luka dan borok (Adalina, dkk 2010).
Budidaya dan perdagangan internasional secara besar-besaran dimulai
dalam abad 16 di India dan Asia Tenggara. Di Indonesia indogofera masih
dibudidayakan di beberapa desa Pantai Utara Jawa dan diseluruh wilayah
Indonesia Bagian Timur yang digunakan untuk mewarnai kain tradisional dan
kain untuk keperluan upacara adat (Adalina, dkk 2010).
Tanaman indigofera mengandung glukosida indikan. Setelah tanaman ini
direndam di dalam air, proses hidrolisis oleh enzim akan mengubah indikan
menjadi indoksil (tarum putih) dan glukosa. Indoksil dapat dioksidasi menjadi
tarum biru. Kandungan daun Indigofera arecta terdiri dari: N 4,46 %, P2O5
0,02%, K2O 1,95 %, CaO 4,48 % menurut bobot kering (Adalina, dkk 2010).

Gambar 2.1 Struktur Zat Warna Indigo


Tanaman indigofera termasuk perdu kecil dan terna dengan percabangan
tegak atau memencar, tertutup indumentum yang berupa bulu-bulu bercabang
dua. Daunnya berseling, bersirip ganjil kadang-kadang beranak daun tiga atau
tunggal. Bunganya tersusun dalam suatu tandan di ketiak daun, bertangkai,
daun kelopaknya berbentuk genta bergerigi lima, daun mahkotanya berbentuk
kupu-kupu. Buah bertipe polong, berbentuk pita, lurus atau bengkok, berisi 1-
20 biji. Semainya dengan perkecambahan epigeal, keping bijinya tebal, cepat
rontok. Dapat tumbuh dari 0-1,650 meter di atas permukaan laut (dpl) dan
tumbuh subur di tanah gembur yang kaya akan bahan organik. Sebagai
tanaman penghasil pewama di tanam di dataran tinggi dan sebagai tanaman
sekunder di tanah sawah, lahan berdrainase cukup baik. Sebagai tanaman
9

penutup tanah dapat ditanam di kebun dengan sedikit naungan atau tanpa
naungan. Menyenangi iklim panas dan lembab dengan curah hujan tidak
kurang dari 1.750 mm/th (Adalina, dkk 2010).
2.4 Pemungutan Zat Warna Indigo
Indigo merupakan kelompok senyawa karbonil, adalah salah satu zat
pewama tertua yang dikenal dalam hal zat pewarna alami. Merupakan derivat
(turunan) dan kelompok senyawa organik g!ukosida yang tidak berwarna dari
bentuk "enol"nya dari suatu indoksil, misalnya indikan. Tanaman nila
(indigofera) mengandung glukosida indikan. Setelah tanaman ini direndam di
dalam air terjadi proses hidrolisis oleh enzim, menurut Hassan Shadily dan
Prof. Mr. Ag. Pringgodigdo dalam bukunya disebutkan bahwa glukosida
indikan juga dapat dihidrolisis dengan asam encer, dalam bukunya yang
berjudul pengantar kimia buku panduan mahasiswa kedokteran Darmin
Sumardjo menyebutkan asam yang digunakan untuk menghidrolisis gugus
glikosida adalah asam mineral, yang akan mengubah indikan menjadi indoksil
(tarum putih) dan glukosa. Indoksil dapat dioksidasi menjadi indigo dengan
warna biru (Adalina, dkk 2010; Shadily dan Pringgodigdo 1973; Sumarjdo
2006).

.…1

Glukosida indikan indoksil


Indoksil glukosa
glukosa
(Kim et al 2009)
2.5 Analisis Kadar Indigo dengan Spektrofotometri UV-Vis
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menganalisis kadar indigo
adalah spektrofotometri dengan pelarut organik, titrimetri redox untuk
mengetahui leuko indigo yang teroksidasi dan hidrodinamik voltametri
(Vuorema 2008)
Spektrofotometri merupakan salah satu metode dalam kimia analisa yang
digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kuantitatif
dan kualitatif yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya.
10

Sedangkan peralatan yang digunakan dalam spektrofometri disebut


spektrofotometer. Cahaya yang dimaksud dapat berupa cahaya visibel (380–
700 nm), UV (200–380 nm) dan inframerah (700–3000 nm), sedangkan materi
dapat berupa atom dan molekul namun yang lebih berperan adalah elektron
yang ada pada atom ataupun molekul yang bersangkutan (Mayangsari dkk
2012).
Warna larutan kimia tergantung pada jenis sinar yang dipancarkan dan
ditangkap oleh mata, sehingga senyawa kimia ada yang berwarna atau tidak.
Spektrofotometer merupakan alat pengukur kualitatif dan kuantitatif karena
jumlah sinarnya yang diserap oleh partikel di dalam larutan juga tergantung
pada jenis dan jumlah partikel (Anwar dan Adijuwana 1989).
Warna indigo sangat dipengaruhi oleh keadaan fisik zat warna dan
lingkungan di sekitarnya, misalnya pada fasa uap zat warna indigo berwarna
merah, sedangkan pada fasa padat menjadi berwarna biru. Zat warna indigo
juga bersifat solvatokromik, yaitu akan berbeda warnanya bila dilarutkan dalam
pelarut yang berbeda kepolarannya. Dalam hal ini akan terjadi efek
hipsokromik atau terjadi penurunan panjang gelombang maksimumnya bila
kepolaran pelarutnya berkurang, hal tersebut karena jika pelarut kurang polar
maka ikatan hidrogen intramolekuler akan berkurang, sehinga struktur zat
warna dapat memuntir dan menjadi kurang planar (Mayangsari dkk 2012).
Keuntungan dari analisis spekstroskopi adalah sangat sedikitnya sampel yang
digunakan untuk analisis lengkap (Markham 1988).
BAB III
PROSEDUR KERJA

3.1 Alat
a. Timbangan Analitik
b. Beaker glass
c. Labu takar
d. Gelas ukur
e. Gelas arloji
f. Pengaduk kaca
g. Spatula
h. Pipet tetes
i. Pisau, gunting
j. Kipas angin
k. Saringan
l. Air pump

3.2 Bahan
a. Daun indigofera
b. Kapur
c. Sodium hidroksida
d. Aquades
e. Asam klorida
f. Asam sulfat
g. Tawas
h. Tunjung
i. Indikator pH

11
12

3.3 RangkaianAlat

b
c
a

Gambar 3.1 Rangkaian Alat Proses Oksidasi


Keterangan:
a = glass beaker
b = selang
c = air pump

3.4 Cara Kerja


3.4.1 Variasi Konsentrasi Asam Klorida Dan Jenis Asam Dalam Larutan
Rendaman
1. Pisahkan daun dari batangnya, kemudian cuci bersih.
2. Rendam 400 gram daun dalam 1,2 L larutan asam klorida 0,01 M
selama 1 hari.
3. Pisahkan cairan rendamannya dari daunnya.
4. Dilakukan oksidasi dengan cara aerasi yaitu menyuplai udara ke
dalam larutan selama 12 jam.
5. Pada jam ke 4, ke 8 dan ke 12 diambil 15 mL sampel untuk diuji
kadar indigonya.
6. Pisahkan endapan dari filtratnya, kemudian endapan diangin-
anginkan sampai kering dan menjadi serbuk.
13

7. Dilakukan langkah yang sama dari 1-6 untuk asam klorida dengan
konsentrasi 0,001, 0,1 dan asam sulfat kecuali langkah ke 5,
pengambilan sampel hanya pada jam ke 12.
3.4.2 Aplikasi Pada Kain
1. Buat 100 mL larutan sodium hidroksida sampai pH 11.
2. Tambahkan 1 gram gula merah pada larutan dan 1 gram pewarna
indigo sambil diaduk, sampai larut sempurna.
3. Celupkan kain berwana putih kedalam larutan warna indigo,
kemudian diangin-anginkan.
4. Celupkan lagi kedalam larutan kapur dengan komposisi 14 gram
kapur per 200 mL air, kemudian diangin-anginkan.
5. Dilakukan langkah yang sama dari 1-4 untuk tawas dan tunjung.
Untuk tunjung komposisi larutannya adalah 10 gram per 200 mL air,
sedangkan untuk tawas sama dengan kapur.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada percobaan pewarna alami dari tanaman nila menggunakan asam


klorida dengan konsentrasi rendah sebagai katalis pada hidrolisis glukosida
indikan menjadi indoksil dan glukosa. Untuk menentukan konsentrasi asam
klorida yang dapat menghasilkan kadar indigo tertinggi, asam klorida dibuat
dengan konsentrasi 0,1 M, 0,01 M dan 0,001 M. Pada percobaan ini digunakan
asam sulfat sebagai pembanding pada proses hidrolisis. Bahan utama yang
digunakan untuk pemungutan zat warna alami ini adalah daun dari tanaman nila.
Daun yang digunakan dalam percobaan adalah daun yang masih muda dengan
umur ± 2 bulan dan segar, karena semakin segar daun yang digunakan, kandungan
glukosida indikan masih banyak, sehingga rendemen yang dihasilkan maksimal.
Preparasi sampel tanaman nila dilakukan dengan memisahkan daun dari
batangnya, karena konsentrasi glukosida indikan dalam tanaman nila berada pada
daun.
Untuk mendapatkan pewarna alami dari daun nila, pertama bahan
dihidrolisis dengan cara merendam daun nila segar sebanyak 400 gram
menggunakan asam klorida dengan konsentrasi 0,01 M, waktu perendaman 24
jam. Filtrat hasil perendaman kemudian dioksidasi dengan cara aerasi, yaitu
menyuplai udara ke dalam larutan selama 12 jam. Dilakukan langkah yang sama
untuk asam klorida dengan konsentrasi 0,001 M, 0,1 M dan asam sulfat 0,01 M.
Pengamatan yang dilakukan pada percobaan ini meliputi pengaruh
konsentrasi asam terhadap kadar indigo, pengaruh waktu oksidasi terhadap kadar
indigo, pengaruh jenis asam terhadap kadar indigo, dan pengaruh zat pengikat
warna terhadap warna yang dihasilkan pada kain.
4.1 Pengaruh Waktu Oksidasi Terhadap Kadar Indigo
Aerasi bertujuan untuk mengoksidasi indoksil menjadi indigo, yang
merupakan zat pewarna alami. Filtrat hasil perendaman daun nila menggunakan
asam klorida dengan konsentrasi 0,001 M dioksidasi dengan cara menyuplai udara

14
15

ke dalam filtrat menggunakan air pump selama 12 jam, setiap 4 jam sekali sampel
diambil untuk dianalisa kadar indigonya.
Tabel 4.1 Data Kadar Indigo dengan Waktu Aerasi
No. Waktu Aerasi (jam) Kadar Indigo (ppm)
1. 4 22,65
2. 8 22,96
3 12 23,78

24
kadar indigo (ppm)

23

22
4 8 12
waktu aerasi (jam)

Gambar 4.1 Data Kadar Indigo dengan Waktu Aerasi


Dari tabel 4.1 dapat diperoleh bahwa semakin lama waktu oksidasi kadar
indigo semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh semakin banyak konsentrasi
oksigen dalam filtrat, indoksil yang terkandung dalam filtrat semakin banyak pula
yang teroksidasi.
4.2 Pengaruh Konsentrasi Asam Terhadap Kadar Indigo
Untuk menentukan konsentrasi asam klorida yang dapat menghasilkan
kadar indigo tertinggi, asam klorida dibuat dengan konsentrasi 0,1 M, 0,01 M dan
0,001 M pada saat perendaman.
Tabel 4.2 Data Pengaruh Konsentrasi Asam Terhadap Kadar Indigo
No. Konsentrasi Asam Klorida (M) Kadar Indigo (ppm)
1. 0,001 23,78
2. 0,01 26,88
3 0,1 15,77
16

30

25

kadar indigo (ppm)


20

15

10

0
0,001 0,01 0,1
konsentrasi asam klorida (M)

Gambar 4.2 Data Pengaruh Konsentrasi Asam Terhadap Kadar Indigo


Dari tabel 4.2 diperoleh data perendaman menggunakan asam klorida
dengan konsentrasi 0,01 M menghasilkan rendemen paling tinggi. Menurut
Hassan Shadily dan Prof. Mr. Ag. Pringgodigdo dalam bukunya disebutkan
bahwa glukosida indikan dapat dihidrolisis dengan asam encer, ini berarti bahwa
konsentrasi asam encer yang dapat menghidrolisis glukosida indikan secara
optimal berada pada kisaran 0,01 M.
4.3 Pengaruh Jenis Asam Terhadap Kadar Indigo
Untuk mengetahui jenis asam mineral yang dapat menghasilkan kadar
indigo paling banyak digunakan asam sulfat konsentrasi yang sama dengan
konsentrasi asam klorida yang menghasilkan kadar indigo paling banyak yaitu
0,01 M.
Tabel 4.3 Data Kadar Indigo Perendaman dengan Asam Klorida dan
Asam Sulfat
No. Jenis Asam Kadar Indigo (ppm)
1. Asam Klorida 26,88
2. Asam Sulfat 29,20
17

30

kadar indigo (ppm)


29

28

27

26

25
asam klorida asam sulfat
jenis asam pada konsentrasi 0,01 M

Gambar 4.3 Data Kadar Indigo Perendaman dengan Asam Klorida dan Asam
Sulfat
Dari tabel 4.3 diperoleh data bahwa perendaman menggunakan asam sulfat
menghasilkan kadar indigo yang lebih besar yaitu 29,20 ppm, dari pada kadar
indigo pada perendaman menggunakan asam klorida yaitu 26,88 ppm. Hal ini
disebabkan oleh asam kuat yang melepas proton (H+) secara sempurna didalam
air, akan mempengaruhi pemutusan ikatan glikosida (Handoko 2006) glukosida
indikan kemudian akan terurai menjadi indoksil dan glukosa, indoksil yang
dihasilkan dioksidasi menjadi indigo. Semakin banyak glukosida indikan yang
terurai menjadi indoksil dan glukosa, maka semakin banyak pula indigo yang
akan dihasilkan.
4.4 Pengaruh Zat Pengikat
Untuk menghasilkan warna yang baik maka hasil celupan warna perlu
diberi bahan pengikat (beits atau fiksasi). Bahan pembantu ini diantaraanya: jeruk
sitrun, jeruk nipis, cuka, sendawa, borak, tawaas, gula batu, gula jawa, gula aren,
tunjung, prusi, tetes, air kapur, tape, pisang klutuk, daun jambu klutuk. Selain itu
jenis masing-masing zat pengikat dalam proses pewarnaan kain batik dengan zat
warna alam menghasilkan arah warna yang berbeda (Soebandi dkk 2011).
Pada percobaan ini, digunakan kapur, tawas dan tunjung. Sebelum kain
dicelupkan, zat warna indigo dilarutkan terlebih dahulu ke dalam air dengan cara
membuat larutan sodium hidroksida hingga pH 11, setelah itu masukkan gula
jawa dan pewarna indigo ke dalam larutan sodium hidroksida. Gula berperan
sebagai agen pereduksi untuk mereduksi pewarna indigo agar larut dalam air,
18

sedangkan sodium hidroksida berperan sebagai katalis (Vuorema 2008). Selain itu
sodium hidroksida berfungsi untuk meningkatkan daya gabung zat warna terhadap
kain. Pencelupan pada pH 10,5 – 11,5 memberikan ketuaan warna lebih tinggi
dari hasil celup diatas pH 12,5 dan dibawah pH 9. (Mayangsari dkk 2012)
Setelah pewarna indigo larut dalam air, kain dicelupkan ke dalam larutan
kemudian diangin-anginkan. Setelah kering kemudian baru dicelup ke dalam
larutan zat pengikat.
Tabel 4.4 Data Perubahan Warna Yang Dihasilkan oleh Zat Pengikat
No. Zat Pengunci Sebelum dicelup Sesudah dicelup
1. Kapur Biru Biru muda
2. Tunjung Biru Biru tua
kehijauan
3 Tawas Biru Biru

Perubahan warna yang dihasilkan dari ketiga zat pengikat yang paling
kelihatan adalah penggunaan tunjung. Hal ini disebabkan kandungan besi dalam
tunjung membuat warna pada kain tua. Sedangkan penggunaan kapur
menghasilkan warna biru muda dan tawas menghasilkan warna biru seperti
aslinya.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
a. Semakin lama waktu oksidasi kadar indigo semakin tinggi.
b. Konsentrasi asam klorida 0,01 M menghasilkan kadar indigo paling tinggi
yaitu 26,88 ppm dibandingkan dengan konsentrasi 0,1 M dan 0,001 M.
c. Asam sulfat 0,01 M menghasilkan kadar indigo paling tinggi yaitu 29,20
ppm daripada dengan asam klorida 0,01 M.
d. Zat pengikat dapat mempengaruhi kenampakan warna yang dihasilkan.

5.2 Saran
a. Sebaiknya menggunakan daun nila yang berusia 4-6 bulan untuk
mendapatkan zat warna indigo lebih banyak.
b. Pada saat aerasi disarankan penggunaan wadah yang besar dan mudah
dibersihkan. Untuk mengantisipasi pembentukan buih yang banyak dan
membersihkan indigo yang menempel pada dinding wadah.

19
20

DAFTAR PUSTAKA

Adalina, Y. dkk. 2010. Sumber Bahan Pewarna Alami Sebagai Tinta Sidik Jari
Pemilu. Bogor : Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan Dan
Konservas Alam Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan
Departemen Kehutanan.
Anwar, Muhammad Nur dan H. Adijuwana. 1989. Teknik Spektrofotometer dalam
Analisis Biologis. Bogor: PAU-IPB.
Brono, Haryo. 2010. Mewarnai Batik Dengan Indigofera.
http://haryobrono.blogspot.com/2010/11/mewarnai-batik-dengan-
indigofera.html [akses 14/12/13].
Handoko, D. S. P. 2006. Kinetika Hidrolisis Maltosa Pada Variasi Suhu Dan
Jenis Asam Sebagai Katalis. Jember: Jurusan Kimia Universitas Jember.
Kim, J.Y. et al. 2009. Mining And Identification Of A Glucosidase Family
Enzyme With High Activity Toward The Plant Extract Indican. Journal of
Molecular Catalysis B: Enzymatic. 57: 284–291.
Lee TA, Sci BH, Counsel. 2005. The Food From Hell Food Colouring. The
Internet Journal of Toxicology. Vol 2 No 2. China: Queers Network
Research.
Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: ITB.
Mayangsari, P. dkk .2012. Review: Usaha Untuk Menjaga Ketuaan Warna Hasil
Pencelupan Kain Denim Dengan Zat Warna Indigo Dengan Mengatur pH
Larutan Celup. Bandung: STT Tekstil.
Pitojo Setijo dan Zumiati. 2009. Pewarna Nabati Makanan. Yogyakarta:
Kanisius.
Rini, S. dkk. 2011. Pesona Warna Alami Indonesia. Jakarta: Yayasan
Keanekaragaman Indonesia.
Sewan Susanto. 1973. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogayakarta: BPKB
Shadily, H. dan Pringgodigdo. 1973. Ensiklopedia Umum. Yogyakarta: kanisius.
Sumardjo, D. 2006. Pengantar Kimia Buku Panduan Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta: Kedoteran EGC.
21

Soebandi, B. dkk. 2011. Eksplorasi Bahan Fiksasi Untuk Menentukanjenis Dan


Arah Warna Pada Proses Pewarnaankain Batik Dengan Zat Warna Alam
(ZPA). Bandung: FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.
Vuorema, A. 2008. Reduction And Analysis Methods Of Indigo. Finland:
Department of Chemistry University of Turku.
22

Lampiran 1
Cara Kerja Pemungutan Zat Warna Indigo Dengan Pengasaman

Daun nila

Di bersihkan

Daun nila bersih

Rendam dalam larutan asam


klorida dengan variasi
konsentrasi 0.1 M, 0.01 M,
0.001 M dan asam sulfat 0.01 M

Daun nila dalam larutan


asam

Diamkan selama 24 jam


Pisahkan

Daun Filtrat
Dioksidasi selama 12 jam
Diambil sampel setiap 4 jam
sekali untuk asam klorida
konsentrasi 0.001 M

Campuran
Diamkan agar mengendap
Pisahkan

Indigo Filtrat
23

Lampiran 2

Cara Kerja Aplikasi Pada Kain

Indigo Gula merah Larutan NaOH pH 11

Aduk hingga larut sempurna


Di celup-celupkan
Larutan zat warna Kain putih
Kain diambil

Larutan zat warna Kain berwarna


Diangin-anginkan sampai
lembab
Celupkan kedalam larutan
zat pengunci

Kain berwarna
24

Lampiran 3

Data Pengamatan Selama Proses Pemungutan Zat Warna Indigo


No Perlakuan Pengamatan
1. Daun nila segar dipisahkan dari Daun terpisah
batangnya
2. Daun nila direndam pada larutan - Aroma asam bercampur bau khas daun
asam klorida 0,1 M, 0,01 M, nila
0,001 M dan asam sulfat 0,01 M - Pada konsentrasi 0,1 M warna daun
nila berubah menjadi coklat,
sedangkan pada konsentrasi lain yang
lain tetap hijau.
3. Rendaman dipisahkan - Filtrat HCl 0,1 M berwarna hijau
kebiruan, HCl 0,01 berwarna coklat
kehijauan, HCl 0,001 coklat kehijauan,
dan asam sulfat 0,01 M coklat
kehijauan.
4. Filtrat diaerasi selama 12 jam - Terbentuk buih dan buih berubah
warna menjadi biru. HCl pada
konsentrasi 0,1 M menghasilkan buih
paling banyak, namun sukar berubah
menjadi biru.
5. Endapkan 1 malam dan ambil - Filtrat berwarna coklat
residunya - Residu berwana biru dongker, pada
HCl 0,001 M, 0,01 M dan H2SO4 0,01
M dihasilkan indigo berbentuk padat,
HCl 0,01 dihasilkan indigo berbentuk
serbuk.
25

Lampiran 4

Data Hasil Uji Spektrofotometri UV-VIS Laboratorium MIPA UNNES


1. Data Panjang Gelombang Zat Wrna Indigo Pada Konsentrasi 40 ppm
No Panjang gelombang (nm) Absorbansi
1. 1013 0,138
2. 907 0,12
3. 877 0,084
4. 741 0,078
5. 386 3,287
6. 297 3,512

2. Data Absorbansi Larutan Indigo Berbagai Konsentrasi Pada Panjang


Gelombang 386 nm
No Konsentrasi Indigo (ppm) Absorbansi
1. 0 0
2. 20 1,685
3. 40 3,01
4. 60 3,135
5. 80 3,135
6. 100 3,135

3. Data Konsentrasi Sampel Yang Diujikan

No Sampel absorbansi Konsentrasi (ppm)


1. HCl 0,001 M jam ke 4 0,933 22,65
2. HCl 0,001 M jam ke 8 0,947 22,985
3. HCl 0,001 M jam ke 12 0,98 23,779
4. HCl 0,01 M 1,108 26,884
5. HCl 0,1 M 0,65 15,766
6. H2S04 0,01 M 1,203 29,2
26

Lampiran 5

Dokumentasi Proses Pemungutan Pewarna Alami

1. Proses hidrolisis

Daun nila

Perendaman daun nila dengan larutan asam

Setelah proses hidrolisis daun dan filtrat dipisahkan


27

2. Proses oksidasi

Proses oksidasi

Pengendapan selama 1 malam

Zat warna indigo


28

3. Proses pengaplikasian pada kain

Pelarutan indigo kedalam air

Pencelupan kain pada larutan zat warna

Sebelum pencelupan pada larutan zat pengikat

Saat pencelupan pada larutan zat pengikat


29

Setelah pencelupan pada zat pengikat

Anda mungkin juga menyukai