FLORENCE T. N. SILALAHI
130407044
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pengolahan anaerob satu tahap dan
dua tahap terhadap kinerja bioreaktor dalam pengolahan limbah cair tahu ditinjau dari
laju degradasi substrat (COD), laju pertumbuhan mikroorganisme (VSS), laju produksi
Volatile Fatty Acid (VFA) dan produksi biogas. Penelitian ini dimulai dengan tahap
aklimatisasi yaitu proses adaptasi mikroorganisme yang berasal dari kotoran sapi
dengan limbah cair tahu. Aklimatisasi dilakukan dalam suasana asam (pH 5,5) dan
dalam suasana netral (pH 7). Kemudian dilanjutkan dengan pengoperasian bioreaktor
secara batch selama 40 hari untuk pengolahan anaerob satu tahap (pH 7), sementara
untuk tahap pertama pengolahan anaerob dua tahap (pH 5,5) berlangsung dua hari dan
dilanjutkan dengan tahap kedua pengolahan anaerob dua tahap (pH 7) yang berlangsung
38 hari. Berdasarkan hasil analisa penyisihan COD diperoleh hasil 76,6% untuk anaerob
satu tahap dan 83,05% untuk anaerob dua tahap. Sementara konsentrasi VFA pada
tahap pertama anaerob dua tahap meningkat sebesar 33% dari konsentrasi VFA anaerob
satu tahap. Yield biogas anaerob satu tahap sebesar 0,24 L/g CODterkonversi dan 0,27 L/g
CODterkonversi untuk anaerob dua tahap.
Kata kunci: Limbah Cair Tahu, Anaerob, Bioreaktor Satu Tahap, Bioreaktor Dua
Tahap, pH, COD, VSS, VFA, Biogas.
Puji dan Syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat
untuk menyelesaikan pendidikan sarjana dan memperoleh gelar Sarjana Teknik,
dengan judul:
“PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU DENGAN BIOREAKTOR
ANAEROB SATU TAHAP DAN DUA TAHAP SECARA BATCH”
Secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada ibu Dr.Halimatuddahliana, ST,
MSc selaku pembimbing pertama dan kepada bapak Dr.Amir Husin, ST, MT selaku
pembimbing kedua yang telah membimbing dalam menyelesaika tugas akhir ini, dan
tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Netti Herlina, MT. selaku Ketua Program Studi Teknik Lingkungan
Universitas Sumatera Utara serta sebagai Dosen Penguji Tugas Akhir ini
2. Ibu Isra’ Suryati, ST, Msi. selaku Koordinator Tugas Akhir
3. Bapak Ir. Joni Mulyadi, M.T. selaku Dosen Penguji Tugas Akhir ini.
Dalam kesempatan ini penulis juga memberikan dedikasi dan ucapan terima kasih
kepada:
1. Orang tua tercinta, abang dan adik serta saudara-saudara,
2. Rekan-rekan teknik lingkungan stambuk 2013 yang senantiasa mendukung,
mendoakan, dan memotivasi dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Demikian tugas akhir ini disusun dengan penuh motivasi dan semangat. Semoga
dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, khususnya bagi perkembangan ilmu
pengetahuan di Teknik Lingkungan Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian tugas akhir ini masih terdapat banyak
kekurangan baik dari segi isi, bahasa maupun penyuusunannya. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan
tugas akhir ini.
Medan, Februari 2018
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian .....................................................................................................3
1.5 Ruang Lingkup ..........................................................................................................4
ii
iii
iv
Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair Tahu Putih dan Tahu Kuning ............................5
Tabel 2.2 Baku Mutu Air Limbah Cair Tahu ...............................................................5
Tabel 4.1 Karakteristik Limbah Cair Tahu ..................................................................1
Tabel 4.2 Karakteristik Inokulum ................................................................................3
Tabel 4.3 Karakteristik Bahan Campuran ....................................................................3
vi
vii
Persamaan 3.1 Rumus penetapan kadar Chemical Oxygen Demand (COD) ................4
Persamaan 3.2 Rumus penetapan kadar Volatile Suspended Solid (VSS) ....................5
Persamaan 3.3 Rumus penetapan kadar Volatile Fatty Acid (VFA) .............................5
Persamaan 3.3 Rumus perhitungan yield Biogas ..........................................................6
viii
ix
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 05 tahun 2014 menyatakan, air
limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair. Proses
produksi tahu menghasilkan limbah cair dalam kuantitas yang besar yaitu 17±3 L/kg
kedelai yang diolah (Romli, 2009). Menurut Budiman dan Amirsan (2015), limbah cair
tahu mengandung bahan organik yang tinggi serta padatan tersuspensi maupun terlarut.
Umumnya kandungan organik yang terdapat pada limbah cair tahu adalah karbohidrat
(53,37%), protein (32,75%), dan lemak (13,88%) (Hidayat, 2015). Limbah yang
mengandung bahan organik yang tinggi, apabila dibuang langsung ke sungai dapat
mengakibatkan terganggunya kualitas air dan menurunkan daya dukung lingkungan
perairan (Rossiana, 2006).
Salah satu cara untuk mengetahui seberapa jauh beban pencemaran pada limbah cair
adalah dengan mengukur Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen
Demand (COD) (Masturi, 1997). Pengolahan limbah cair yang sesuai untuk mengatasi
kandungan bahan organik yang tinggi adalah dengan pengolahan secara anaerobik.
Bahan organik tersebut akan didegradasi oleh mikroorganisme menjadi metana (van
Lier, dkk., 2008).
Faktor yang menentukan berhasil tidaknya proses pengolahan limbah cair organik
secara biologi adalah mikroorganisme. Dalam proses anaerobik, mikroorganisme yang
digunakan berasal dari bakteri anaerob dan archaea (Hanifah, 2003). Proses anaerob
berlangsung lambat, maka diperlukan starter untuk mempercepat proses perombakan
bahan organik, biasanya digunakan lumpur aktif organik, kotoran hewan atau cairan isi
Secara garis besar penguraian senyawa organik secara anaerob dapat dibagi menjadi
dua, yakni penguraian satu tahap dan dua tahap. Pada proses penguraian satu tahap
terjadi dua tahapan reaksi sekaligus, yaitu pembentukan asam dan pengubahan asam
menjadi metan (Khasristya dan Amaru, 2004). Hal ini menyebabkan proses hidrolisa
kurang efektif karena kondisi operasi pertumbuhan antara mikroorganisme
pembentukan asam (hidrolisis dan asidogenesis) dan pembentukan metana (asetogenesis
dan metanogenesis) berbeda (Lang, L. Y., 2007). Sedangkan pada proses penguraian
dua tahap, proses hidrolisa terjadi ditahap pertama dan pada tahap kedua terjadi proses
pembentukan metan oleh bakteri metanogenesis. Proses penguraian dua tahap ini dapat
menguraikan senyawa organik dalam jumlah yang lebih besar dan lebih cepat (Kholiq,
2007).
Proses anaerob dua tahap pertama kali dikembangkan oleh Pohland dan Ghosh (1971).
Sejak itu, beberapa penelitian sudah menggunakan reaktor anaerob dua tahap untuk
mengolah berbagai limbah. Salah satu penelitian terdahulu oleh Ghosh et. al. (1985)
menggunakan beberapa jenis limbah industri cair sebagai substrat, dan didapatkan hasil
pengolahan anaerob dua tahap terbukti lebih unggul dari pengolahan anaerob satu tahap.
Penelitian menggunakan reaktor anaerob dua tahap juga dilakukan oleh Yazar, et. al.
(2016) dalam pengolahan whey keju dengan pengoperasian reaktor secara batch.
Didapatkan hasil bahwa penyisihan COD pada reaktor anaerob dua tahap meningkat
21% dari reaktor satu tahap, lalu gas metan bernilai 4 kali lipat lebih tinggi pada
I-2
Universitas Sumatera Utara
anaerob dua tahap dibandingkan reaktor anaerob satu tahap. Percobaan sejenis juga
dilakukan oleh Trisakti, et. al. (2016) dalam upaya meningkatkan produksi biogas dari
limbah cair kelapa sawit, dan didapatkan hasil bahwa penurunan COD meningkat 5%
yaitu sebesar 81% jika dibandingkan dengan reaktor anaerob satu tahap dan menaikan
produksi biogas 1,6 kali lipat dari reaktor anaerob satu tahap, yaitu dari 0,36 L CH4/g
VS menjadi 0,58 L CH4/g VS.
Proses anaerob dua tahap sebagaimana yang telah diaplikasikan terhadap limbah whey
keju dan limbah cair kelapa sawit pada penelitian sebelumnya diharapkan dapat
digunakan untuk pengolahan limbah cair tahu guna meningkatkan penurunan kadar
COD dan peningkatan produksi biogas. Pada penelitian ini, akan dibandingkan
pengolahan limbah cair tahu dengan bioreaktor anaerob satu tahap dengan dua tahap,
dimana inokulum yang digunakan adalah kotoran sapi. parameter yang dianalisis adalah
nilai COD (Chemical Oxygen Demand), VSS (Volatile Suspended Solid), VFA (Volatile
Fatty Acid) dan produksi biogas yang dihasilkan selama proses anaerob berlangsung.
I-3
Universitas Sumatera Utara
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hidrolika Teknik Sipil Fakultas Teknik USU.
Adapun bahan utama yang digunakan pada penelitian ini yaitu limbah cair industri tahu
di Kecamatan Medan Polonia. Metode yang digunakan adalah metode batch
mengunakan reaktor anaerob satu tahap dan dua tahap.
I-4
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sebagian besar limbah cair industri tahu bersumber dari cairan kental yang disebut
dadih (whey) yang terpisah dari gumpalan tahu. Sedangkan sumber limbah cair lainnya
berasal dari proses sortasi dan pembersihan, pengupasan kulit, pencucian, penyaringan,
pencucian peralatan proses dan lantai (Pohan, 2008).
Limbah cair industri tahu yang merembes ke dalam air tanah, sehingga menyebabkan
pencemaran air tanah. Bila air tanah tercemar, maka kualitasnya akan menurun sehingga
Beberapa karakteristik limbah cair industri tahu yang penting antara lain:
a. Padatan Tersuspensi
Yaitu bahan-bahan yang melayang dan tidak larut dalam air. Padatan tersuspensi
sangat berhubungan erat dengan tingkat kekeruhan air. Kekeruhan menggambarkan
sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan
dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan
oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut. Semakin
tinggi kandungan bahan tersuspensi tersebut, maka air semakin keruh (Effendi,
2003).
II-2
c. Nitrogen-Total
Yaitu campuran senyawa kompleks antara lain asam-asam amino, gula amino, dan
protein (polimer asam amino). Ammonia (NH3) merupakan senyawa alkali yang
berupa gas tidak berwarna dan dapat larut dalam air. Pada kadar dibawah 1 ppm
dapat terdeteksi bau yang sangat menyengat. Kadar NH 3 yang tinggi dalam air
selalu menunjukkan adanya pencemaran. Ammonia bebas (NH 3) yang tidak
terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksisitas ammonia terhadap
organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut,
pH, dan suhu (Effendi, 2003). Pada lingkungan asam atau netral, NH3 ada dalam
bentuk ion NH4+. Pada lingkungan basa, NH3 akan dilepas ke atmosfer (Sataresmi,
2002).
Senyawa-senyawa organik yang terkandung dalam limbah cair tahu akan terurai
oleh mikroorganisme menjadi karbondioksida (CO2), air serta ammonium,
selanjutnya ammonium akan dirubah menjadi nitrat. Proses perubahan ammonia
menjadi nitrit dan ahirnya menjadi nitrat disebut proses nitrifikasi. Untuk
menghilangkan ammonia dalam limbah cair sangat penting, karena ammonia
bersifat racun bagi biota akuatik (Herlambang, 2005).
II-3
Nilai BOD yang tinggi menunjukkan terdapat banyak senyawa organik dalam
limbah, sehingga banyak oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk
menguraikan senyawa organik. Nilai BOD yang rendah menunjukkan terjadinya
penguraian limbah organik oleh mikroorganisme (Zulkifli dan Ami, 2001).
Penguraian bahan organik secara biologis oleh mikroorganisme menyangkut reaksi
oksidasi dengan hasil akhir karbon dioksida (CO2) dan air (H2O).
Kebutuhan oksigen dalam air limbah ditunjukkan melalui BOD dan COD.
Biological Oxygen Demand (BOD) adalah oksigen yang diperlukan oleh
mikroorganisme untuk mengoksidasi senyawa-senyawa kimia. Nilai BOD
bermanfaat untuk mengetahui apakah air limbah tersebut mengalami biodegradasi
atau tidak, yakni dengan membuat perbandingan antara nilai BOD dan COD.
Oksidasi berjalan sangat lambat dan secara teoritis memerlukan waktu tak
terbatas. Dalam waktu 5 hari (BOD5), oksidasi organik karbon akan mencapai
60%-70% dan dalam waktu 20 hari akan mencapai 95%. COD adalah kebutuhan
oksigen dalam proses oksidasi secara kimia. Nilai COD akan selalu lebih besar
daripada BOD karena kebanyakan senyawa lebih mudah teroksidasi secara kimia
daripada secara biologi. Pengukuran COD membutuhkan waktu yang jauh lebih
cepat, yakni dapat dilakukan selama 3 jam, sedangkan pengukuran BOD paling
tidak memerlukan waktu 5 hari. Jika nilai antara BOD dan COD sudah diketahui,
kondisi air limbah dapat diketahui (Kaswinarni, 2007).
II-4
Tabel 2.1 Karakteristik Limbah Cair ITahu Putih dan Tahu Kuning
Tahu Putih Tahu Kuning
Parameter Satuan
<100 Kg/hari >100 Kg/hari <100 Kg/hari >100 Kg/hari
Jumlah
Liter 150-430 >1000 460-780 >2000
limbah cair
DO mg/l 1,5-2,2 1,93 1,3-1,5 1,2
BOD mg/l 2800-4300 4100 3500-3600 5800
pH - 3,4-3,8 3,56 3,8-3,9 3,66
TSS mg/l 615-629 >640 716-760 >800
Sumber : Departemen Pertanian, 2009
Menurut Kaswinarni (2007), limbah cair tahu memiliki suhu sekitar 37-45°C;
kekeruhan 535-585 FTU; warna 2.225-2.250 Pt.Co; amonia 23,3-23,5 mg/L; dan COD
7.500-14.000 mg/L.
Industri tahu harus mengolah limbah cair sampai sesuai dengan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.5 tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah,
dimana tercantum dalam Tabel 2.2.
Parameter Kadar
BOD5 150 mg/l
COD 300 mg/l
TSS 200 mg/l
pH 6-9
Kuantitas air limbah paling tinggi 20 m3/ton
Sumber: Permen LH No.5 tahun 2014, Lampiran XVIII
II-5
Pada umumnya air limbah mengandung bahan organik dengan konsentrasi relatif
rendah, sehingga lebih efisien dan ekonomis jika diolah dengan menggunakan aerobik,
II-6
Proses pendegradasian bahan organik secara anaerobik terlihat pada Gambar 2.1. Gas
metan merupakan hasil dari fermentasi bahan-bahan organik yang dimanfaatkan sebagai
biogas (Hambali, dkk., 2008).
II-7
Tahapan-tahapan yang terjadi dalam proses degradasi anaerobik adalah sebagai berikut
(Sunarto dkk, 2013):
1. Proses Hidrolisis
Proses hidrolisis adalah proses dimana aktivitas kelompok bakteri hidrolitik
menguraikan bahan organik kompleks. Aktivitas terjadi karena bahan organik tidak
larut seperti polisakarida, lemak, protein, dan karbohidrat akan dikonsumsi bakteri
saprofilik, dimana enzim ekstraseluler akan mengubahnya menjadi bahan organik
larut (Indriyati, 2005). Bakteri hidrolitik yang terlibat dalam proses ini seperti
II-8
2. Proses Asidogenesis
Asidogenesis adalah terjadinya tahapan konversi produk-produk yang dihasilkan
dari proses hidrolisis oleh bakteri asidogenik menjadi substrat metanogenik (Clinton
dan Herlina, 2015). Pada proses ini, bahan organik terlarut akan diubah menjadi
asam organik rantai pendek seperti asam butirat, asam propionate, asam amino,
asam butirat, maupun asam rantai panjang lainnya menjadi asam organik yang
mudah menguap/volatil seperti asam asetat (Indriyati, 2005). Bakteri yang terlibat
dalam proses ini adalah bakteri asidogenik seperti Clostridium (Jenie, 1993).
3. Proses Asetogenesis
Asetogenesis adalah tahapan penguraian asam butirat dan propionat oleh bakteri
pembentuk asam menjadi asam asetat, gas H2, dan CO2 (Clinton dan Herlina,
2015).Selama proses asetogenesis, produk dari asidogenesis yang tidak dapat diubah
secara langusg menjasi metana oleh bakteri metanogen akan diubah menjadi
substrat metanogen. VFA dan alkohol dioksidasi menjadi substrat metanogen seperti
asetat, hidrogen, dan karbondioksida. Produk hidrogen meningkatkan tekanan
parsial hidrogen, hal ini dianggap sebagai produk limbah dari proses asetogenesis
dan menghambat metabolisme bakteri asetogenetik. Tahap selanjutnya adalah
metanogenesis, selama proses metanogenesis hidrogen akan diubah menjadi metana.
Asetogenesis dan metanogenesis biasanya sejajar, sebagai simbiosis dari dua
kelompok organisme (Megawati dan Aji, 2014). Bakteri yang terlibat dalam proses
ini adalah bakteri asetogenik seperti Syntrobacter wolinii dan Syntrophomonas
wolfei (Jenie, 1993).
4. Proses Metanogenesis
Proses ini merupakan tahap akhir dari keseluruhan konversi zat organik menjadi
CH4 dan CO2. Sumber utama pembentuk gas metan adalah asam asetat (70-80%),
H2, CO2 (ikbal dan Nugroho, 2006). Metana juga terbentuk dari beberapa senyawa
organik selain asetat. Oleh karena itu, semua produk fermentasi lainnya harus
dikonversi ke senyawa yang dapat digunakan secara langsung atau tidak langsung
oleh pembentuk bakteri (Gerardi, 2003).Tahap ini merupakan tahap yang paling
II-9
Sistem dua fase dapat dioperasikan untuk memberikan kondisi yang optimal bagi
mikroorganisme dalam setiap tahap untuk lebih efisien dalam pencernaan. Pada
tahap pertama dari sistem dua fase, fase fermentasi asam, mikrorganisme asidogenik
mencerna padatan organik dan organik terlarut yang kompleks, mengkonversi
mereka ke VFA. Pada tahap kedua, mikrorganisme yang memproduksi metan
(metanogen) memanfaatkan VFA untuk menghasilkan metana dan karbon dioksida
(Wust, 2003).
Pengolahan secara anaerobik dilakukan dengan cara mengumpulkan limbah cair dalam
wadah atau digester dalam keadaan anaerob dengan penambahan media maupun tanpa
media (Hambali, dkk., 2008). Keberadaan media ditujukan sebagai tempat melekatnya
bakteri anaerob. Menurut Indriyati (2005), Keuntungan dan kerugian pengolahan
anaerob adalah dalam prosesnya menghasilkan energi berupa biogas, lumpur yang
II-10
II-11
2. Pengadukan
Pengadukan berfungsi untuk memecah lapisan kerak di permukaan cairan dalam
sistem yang menggunakan bahan baku yang sukar dicerna (misalnya jerami yang
mengandung senyawa lignin). Lapisan kerak tersebut perlu dipecah agar
mengurangi hambatan terhadap laju gas metan yang dihasilkan (Hambali, dkk.,
2008).
II-12
6. Nutrisi
Unsur karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P) merupakan tiga nutrien utama
(makronutrien) yang dibutuhkan oleh bakteri dalam melakukan metabolisme sel
untuk menghasilkan senyawa-senyawa penting dalam pertumbuhan bakteri. Unsur C
merupakan unsur utama yang berperan dalam penyusunan sel-sel bakteri. Unsur N
memiliki peranan yang sangat penting dalam penyusunan asam nukleat, asam
II-13
Terdapat 5 fase yang dialami mikroba atau mikroorganisme dalam proses pembentukan
biomassa, yaitu :
1. Lag Phase
Fase ini merupakan fase awal dimana mikroorganisme menyesuaikan diri dengan
media dan substratnya. Perubahan bentuk dan pertumbuhan mikroorganisme tidak
terlihat nyata. Fase ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu terjadinya sedikit
perubahan terhadap massa sel tanpa diikuti oleh perubahan jumlah sel dan
peningkatan laju pertumbuhan menuju karakteristik pertumbuhan selanjutnya. Pada
bagian ini sel-sel muda menjadi sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan
(Gaudy, 1981).
2. Exponential Phase
Di dalam fase ini, mikroorganisme telah menyesuaikan diri dengan lingkungan
tempat hidup dan mulai dengan cepat bereaksi dan memanfaatkan nutrisi yang ada
didalam lingkungannya untuk diproses dan diubah menjadi suatu bentuk biomassa.
II-14
Bahan buangan organik akan dioksidasi oleh dikromat yang digunakan sebagai
sumber oksigen (oxidizing agent) menjadi gas CO2 dan H2O serta jumlah ion chrom
Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik yang
terdapat dalam air kimiawi dapat ditentukan dengan cara penambahna potassium
permanganat atau potassium dikromat berlebih dalam suasan asam pana suhu 60-
70˚C. Kelebihan potassium permanganat dapat dinetralisir dengan penambahan
Na2C2O4 (Widyaningsih, 2011).
II-15
Konsentrasi VFA adalah salah satu hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam
mengontrol pengolahan secara anaerobik (Ahring, dkk., 1995). VFA dihasilkan
oleh fermentasi asidogenesis yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber
karbon untuk mendukung proses biologi, produksi metana, atau berfungsi sebagai
substrat pilihan untuk produksi biopolimer (Pratt, dkk., 2012). Hasil penelitian
Siegert dan Banks (2005), menyatakan bahwa kehadiran peningkatan konsentrasi
VFA dalam sistem anaerobik terbukti dapat menghambat kinerja mikroba pada
proses hidrolisis selulosa dan glukosa. Pada pH 6 terjadi proses penghambatan
(inhibition) yang disebabkan oleh kandungan total VFA berlebih, yaitu 9 g/L. Hal
ini diperkuat dengan pendapat Siegert dan Banks, yang menyatakan fermentasi
glukosa akan terhambat pada VFA dengan konsentrasi melebihi 4 g/L.
II-16
3.3.2 Aklimatisasi
Bibit yang dipakai sebelumnya harus diaklimatisasi. Tujuan aklimatisasi adalah
mempersiapkan mikroba pada lingkungan kerja yang baru agar dapat hidup dan bekerja
menghasilkan produk sesuai yang diinginkan (Munawaroh, dkk., 2013).. Bibit yang
dipakai berasal dari kotoran sapi. Lingkungan asal mikroba ini berbeda dengan
lingkungan kerja baru hingga membutuhkan aklimatisasi. Kotoran sapi segar dicampur
dengan aquades dengan perbandingan 1:1 kemudian disaring untuk memisahkan
padatan yang ada dikotoran sapi tersebut. Kotoran sapi yang telah disaring dicampurkan
ke dengan limbah tahu dengan perbandingan kotoran sapi dan limbah cair tahu 1:4.
Aklimatisasi dilakukan dengan dua kondisi, yang pertama dengan kondisi pH asam
yaitu 5,5 untuk inokulum tahap asidogenesisi, dan pH netral yaitu 7 untuk inokulum
tahap metanogenesis (Iriani, dkk., 2017). Kemudian dimasukkan ke dalam bioreaktor
diinkubasi dalam keadaan anaerob. Inkunasi dilakukan sampai proses tersebut bisa
III-2
III-3
(e)
(a)
(b)
Keterangan Gambar:
(a) Statif
(b) Water Displacement
(c) Inlet
(d) Inlet Gas Nitrogen
(e) Outlet
Keterangan:
a = Volume titrasi dengan KMnO4 (ml)
b = Volume titrasi blanko dengan KMnO4 (ml)
f = faktor KMnO4
V = Volume sampel (ml)
0,2 = 1 KmnO4 ~ 1 gr O2
III-4
Besarnya nilai VSS yang diperoleh dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 3.2:
Keterangan:
d = berat cawan dan residu (termasuk kertas saring) setelah pemanasan 105˚C (mg)
a = berat cawan dan residu (termasuk kertas saring) setelah pembakaran 550˚C (mg)
V = volume sampel (ml)
Keterangan:
a = Volume titrasi sampel HCl (ml)
b = Volume titrasi blanko dengan HCl (ml)
V = Volume sampel (ml)
III-5
3.4.1 Analisa Nilai COD, VSS, VFA dan Volume Kumulatif Biogas
Analisis dilakukan terhadap data COD, VSS, VFA dan Volume Kumulatif Biogas pada
limbah cair tahu selama running reaktor. Data setiap parameter disajikan dalam bentuk
tabel dan diplotkan dalam bentuk grafik dengan sumbu X adalah waktu pengamatan dan
sumbu Y merupakan konsentrasi setiap parameter.
Keterangan:
V = Volume kumulatif biogas (L)
COD0 = Konsentrasi COD saat awal pengolahan (g)
CODt = Konsentrasi COD saat akhir pengolahan (g)
III-6
Mulai
Perakitan reaktor
Selesai
Mulai
Disediakan 5,6 liter limbah cair tahu dan kotoran sapi 1,4 liter.
Dihomogenkan, dan dilakukan pengukuran pH.
Setiap hari pH dikontrol, dan setiap 3 hari dianalisa laju volumetrik biogas dan
diambil 50 ml sampel untuk pengukuran COD, VSS, VFA. Kemudian diakhir
pengolahan dilakukan uji kromatografi untuk mengetahui komposisi gas.
Selesai
III-7
Alur proses running pada bioreaktor anaerob dua tahap dapat digambarkan flowchart
pada Gambar 3.3.
Mulai
Disediakan 5,6 liter limbah cair tahu dan kotoran sapi 1,4
liter. Dihomogenkan, dan dilakukan pengukuran pH.
Setiap hari pH dikontrol. Setiap 12 jam (tahap pertama) dan setiap 3 hari
hingga hari ke 40 dianalisa laju volumetrik biogas dan diambil 50 ml
sampel untuk pengukuran COD, VSS, VFA. Kemudian diakhir pengolahan
dilakukan uji kromatografi untuk mengetahui komposisi gas.
Selesai
III-8
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa limbah cair tahu memiliki konsentrasi COD
yaitu 2489 mg/l, konsentrasi TSS yaitu 760 mg/l, dan nilai pH yaitu 3,9. Hal ini sejalan
dengan teori bahwa limbah cair tahu memiliki konsentrasi COD berkisar 1500-14000
mg/l (Herlambang, 2002), konsentrasi TSS berkisar 640-800 mg/l, konsentrasi BOD
berkisar 900-5800 mg/l, dan nilai pH berkisar 3,4-3,9 (Departemen pertanian, 2006).
Kandungan senyawa organik COD dan BOD yang cukup tinggi pada limbah cair tahu
menunjukkan bahwa limbah dominan mengandung senyawa organik yang bersifat
kompleks (Indarto, 2010). Angka COD biasanya lebih besar 2-3 kali angka BOD (Razif
dan Ali, 1996). Menurut Eckenfelder (1989), jika nilai BOD kurang dari sepertiga dari
nilai COD, maka limbah tersebut banyak mengandung zat anorganik.
Dari hasil analisa karakteristik awal dapat diketahui limbah cair tahu memiliki nilai
COD lebih dari 1000 mg/l, maka limbah tersebut dapat diolah dengan proses anaerob.
Hal ini sejalan dengan pendapat Asmadi dan Suharno (2012) bahwa konsentrasi COD
minimum untuk mencapai keberhasilan pengolahan anaerob adalah 1000 mg/l,
sementara batas maksimum untuk pengolahan anaerob adalah 30000 mg/l (Eckenfelder,
1995). Melalui proses anaerob senyawa-senyawa organik kompleks akan terurai
menjadi senyawa organik sederhana serta menghasilkan produk samping berupa biogas.
Kotoran sapi diencerkan dengan air (1:1) dan disaring untuk menghilangkan partikel-
partikel kasar. Cairan yang lolos saringan diaklimatisasi dengan limbah cair tahu
dengan perbandingan 1:4 dalam kondisi anaerob secara batch. Aklimatisasi dilakukan
guna untuk mempersiapkan mikroba pada lingkungan kerja yang baru agar dapat hidup
dan bekerja menghasilkan produk sesuai yang diinginkan (Munawaroh, dkk., 2013).
Aklimatisasi dilakukan dalam dua suasana pH (Indri, 2017), yaitu suasana asam (pH
5,5) untuk inokulum proses anaerob dua tahap – tahap pertama (tahap asidifikasi) dan
suasana netral (pH 7) untuk inokulum proses anaerob dua tahap – tahap kedua (tahap
metanogenesis), juga untuk inokulum proses anaerob satu tahap. Pengkonsian pH
dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH. Proses aklimatisasi berlangsung selama
10 hari, berakhirnya proses aklimatisasi ditandai dengan terbentuknya biogas yang
mengindikasikan bakteri sudah dapat beradaptasi (Utami, A. R, 2011). Kotoran sapi
yang telah diaklimatisasi akan dijadikan inokulum untuk proses pengolahan anaerob
satu tahap dan dua tahap.
Menurut Dhadse et al (2012) bakteri yang terkandung dalam kotoran sapi terbagi atas
dua kelompok yaitu bakteri metanogenik yang meliputi Methanobrevibacter
ruminatium, Methanobacterium formicium, Methanosarcina frisa, dan Methanthix
IV-2
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat konsentrasi VSS yang diperoleh setelah aklimatisasi
dalam suasana pH asam dan netral berturut-turut adalah 4437,38 mg/l dan 4206,91 mg/l.
Konsentrasi VSS yang didapatkan dalam percobaan ini telah memenuhi syarat untuk
pengolahan anaerobik yaitu, konsentrasi VSS lebih dari 4000 mg/l atau minimal 2000 –
4000 mg/l (Syahrin, dkk., 2016).
IV-3
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa pada R1 dan R2 dioperasikan dalam suasana
pH yang berbeda. Pada bioreaktor anaerob satu tahap (R1) pH diatur dalam suasana
netral. Sedangkan pada bioreaktor anaerobik dua tahap (R2), tahap pertama (R2-1)
dimana terjadi proses asidifikasi dioperasikan selama dua hari dalam kondisi asam yaitu
pH 5,5 (Madyanaova, 2005), pada tahap kedua (R2-1) dimana terjadi proses
metanogenesis pH diatur dalam suasana netral, yaitu 7 (Benefield dan Rendal, 1980).
4.2.1. Pengamatan Profil pH pada Bioreaktor Anaerob Satu Tahap dan Dua
Tahap
Faktor pH sangat berperan pada pengolahan anaerob karena pada rentang pH yang tidak
sesuai, mikroba tidak dapat tumbuh dengan maksimum dan bahkan dapat menyebabkan
kematian (Simamora dkk, 2006). Pada penelitian ini pengukuran pH dilakukan dengan
menggunakan pH meter. Hasil pengamatan pH selama proses pengolahan secara
anaerob pada R1, R2-1, R2-2 dapat dilihat pada Gambar 4.1.
IV-4
7,5
pH
7,0
6,5
6,0
-10 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 4041
Lama Pengamatan (Hari)
(a)
6,5
6,0
pH
5,5
5,0
4,5
0 0,5 1 1,5 2
Lama Pengamatan (Hari)
(b)
8,0
7,5
7,0
pH
6,5
6,0
-10 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 404140
Lama pengamatan (Hari)
(c)
Gambar 4.1 Profil pH digester pada (a) R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap)
(b) R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama)
(c) R2-2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Kedua)
IV-5
Derajat keasaman (pH) pada R2-1 stabil diangka 5,5 seperti yang ditampilkan Gambar
4.1b. Pada awal pengolahan pH bahan campuran diatur dalam suasana asam (pH 5,5),
dan hingga t=24 jam stabil di pH 5,5. ). Keadaan pH yang stabil pada R2-1
menunjukkan produksi VFA dan ammonium bicarbonate berkesinambungan dalam
jumlah yang seimbang (Syaichurrozi, 2015).
Profil pH pada R2-2 sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 4.1c berada dalam
rentang 7 – 7,6. Pengamatan pH pada R2-2 berlangsung selama 38 hari yang dimulai
setelah t=48 jam pada R2-1. Setelah melewati proses R2-1 selama dua hari, limbah cair
tahu dikeluarkan dan kembali diatur pH pada kondisi optimum proses metanogenesis
yaitu pH 7 (netral) dengan menambahkan NaOH lalu kembali ditambahkan inokulum
sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam bioreaktor. Dari pengamatan pH pada R2-2
diketahui bahwa perubahan pH pada R2-2 sama dengan R1 yaitu cenderung mengalami
kenaikan. Hal ini menunjukkan pada proses ini asam-asam organik dipecah, akibatnya
pH campuran mengalami kenaikan
Menurut Campbell dan Reece (2008), pH merupakan faktor penting proses penguraian
bahan organik secara anaerob karena pH mempengaruhi aktivitas mikroorganisme.
Dalam penelitian ini, profil pH pada R1, R2-1, dan R2-2 menunjukkan bahwa derajat
keasaman (pH) pada masing-masing proses masih mendukung proses anaerobik pada
IV-6
Proses penanganan limbah secara anaerob agar dapat berjalan baik dan efisien, maka
perlu diperhatikan beberapa faktor yang memepengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
diantaranya berupa keasaman yang dinyatakan dengan pH (Jenie dan Rahayu, 1993).
Dalam penelitian Lang (2007), profil pH pada tahap asidifikasi pengolahan limbah cair
kelapa sawit secara anaerob dua tahap berada dalam rentang 5,5 – 6,0. Proses
asidogenesis merupakan proses penguraian bahan kompleks organik tersuspensi
menjadi monomer organik terlarut yang kemudian diurai menjadi asam-asam organik
volatile. Terurainya bahan organik tersebut dapat tampak dari meningkatnya parameter
VFA (Soetopo dkk, 2014).
4.2.2. Pengaruh Bioreaktor Anaerob Satu Tahap dan Dua Tahap terhadap
Reduksi Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical Oxygen Demand (COD) menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan agar
bahan yang terdapat pada limbah cair dapat teroksidasi secara kimiawi, baik yang dapat
didegradasi oleh mikroorganisme maupun yang sukar didegradasi (Mulyadi, 1994).
Hasil analisa COD pada R1, R2-1 dan R2-2 dapat dilihat pada Gambar 4.2.
3000
2500
COD (mg/l)
2000
1500
1000
500
0
-10 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 4041
Lama Pengamatan (Hari)
(a)
IV-7
2500
2000
COD (mg/l)
1500
1000
500
0
-1 0 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 4041
Lama pengamatan (Hari)
(C)
Gambar 4.2 Konsentrasi COD pada (a) R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap)
(b) R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama)
(c) R2-2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Kedua)
Berdasarkan Gambar 4.2a, b dan c dapat dilihat reduksi atau penyisihan COD pada R2,
R2-1, dan R2-2 diamati setiap 12 jam selama dua hari, kemudian selanjutnya setiap tiga
hari hingga akhir pengolahan (hari ke-40). Gambar 4.2a menunjukkan konsentrasi awal
COD pada R1 yaitu 2598 mg/L, kemudian terus mengalami penurunan hingga 605 mg/l
saat akhir pengolahan (hari ke-40). Pada t=0 sampai t=48 jam menunjukkan penurunan
yang sangat kecil yaitu 112 mg/l atau 4% dari COD awal. Konsentrasi COD mengalami
penurunan terbesar pada hari ke-14 yaitu turun 300 mg/l atau turun 12% dari hari ke-11.
Mikroba mendegradasi substrat, dimana protein dihidrolisis menjadi asam-asam amino,
karbohidrat dihidolisis menjadi gula-gula sederhana, dan lemak dihidrolisis menjadi
asam-asam berantai pendek. Hal ini menunjukkan adanya aktivitas bakteri didalam
IV-8
Konsentrasi COD pada R2-1 sebagaimana yang ditampilkan Gambar 4.2b mengalami
penurunan yang signifikan. Pada awal pengolahan konsentrasi COD adalah 2615 mg/L,
kemudian selama dua hari waktu operasi konsentrasi COD mengalami penurunan
sebesar 670 mg/l atau 25,6 % , dengan penurunan terbesar pada t=48 jam yaitu 196 mg/l
atau sebesar 8 % dari t=36 jam. Penurunan konsentrasi COD yang signifikan (P>0.05)
pada tahap R2-1 dimana terjadi proses asidifikasi ini menunjukkan proses hidrolisis
berlangsung cepat, hal ini disebabkan oleh sesuainya kondisi pH yang dibutuhkan
bakteri pada tahap ini. Menurut Ismawati (2006), proses hidrolisis berlangsung pada
hari ke-2 sampai hari ke-5 dimana terjadi proses penguraian senyawa kompleks menjadi
senyawa yang lebih sederhana pada bahan biomassa. Efisiensi penyisihan pada tahap ini
sesuai dengan pendapat Blonskaja, V., et al (2003) bahwa, tahap asidogenik
menunjukkan penurunan COD yang selalu lebih rendah dari 54%. Begitu juga dengan
Hutabarat, E.V (2016) menyatakan penyisihan COD pada tahap asidogenesis yaitu
sebesar 27,78 %.
Proses pada R2-2 merupakan lanjutan dari R2-1. Pada R2-2 proses hidrolisis masih
tetap berlangsung meskipun pada tahapan ini didominasi proses pembentukan metan.
Dari Gambar 4.2c dapat dilihat COD dianalisa setelah t=48 jam pada R2-1 hingga hari
ke-40. Konsentrasi COD pada akhir pengolahan R2-1 adalah 1945 mg/l kemudian
ditambahkan inokulum kotoran sapi pada saat memasuki R2-2, hal ini menyebabkan
konsentrasi awal COD pada R2-2 naik 108 mg/l menjadi 2055 mg/l. kemudian pada
hari ke-5 menjadi 1924 mg/l dan terus menurun hingga 443 mg/l pada hari ke-40. Pada
tahap ini terjadi kenaikan konsentrasi COD.
Penurunan konsentrasi COD pada R1, R2-1, dan R2-2 menjelaskan bahwa terjadi proses
degradasi didalam bioreaktor. Hal ini di dukung oleh pernyataan Haryati (2006) yang
menjelaskan bahwa proses degradasi anerobik dapat menurunkan nilai COD.
O’Flaherty et al (2006) menyatakan bahwa perombakan limbah cair secara biologis,
tahap anaerobik merupakan tahapan yang sangat menentukan keberhasilan proses
IV-9
Berdasarkan analisa konsentrasi COD yang ditampilkan pada Gambar 4.2, dapat
dihitung persen penyisihan COD pada R1 dan R2 selama 40 hari waktu operasi.
Pengaruh pengolahan anaerob satu tahap dan dua tahap dengan efisiensi penyisihan
COD dapat dilihat pada Gambar 4.3.
83,10
100 76,70
Penyisihan COD (%)
80
60
40
20
0
R1 R2
Gambar 4.3 Efisiensi Penyisihan COD pada R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap ) dan R2
(Bioreaktor Anaerob Dua Tahap)
Berdasarkan Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa efisiensi penyisihan COD selama proses
pengolahan anaerob secara batch dalam waktu operasi 40 hari pada R1 (bioreaktor
anaerob satu tahap) dan R2 (bioreaktor anaerob dua tahap) berturut-turut adalah sebesar
76,7 % dan 83,1 %.
Hasil degradasi bahan organik yang diperoleh pada penelitian ini, hampir sama dengan
hasil penelitian Anggraini (2014) mengevaluasi di anaerobik satu tahap sistem batch
yang mana mampu menurunkan 76% konsentrasi COD dari 1.680 mg/l menjadi 405
mg/l dalam 30 hari. Efektivitas pengolahan anaerob dalam menurunkan COD juga
dibuktikan Yazar, et al (2016) dengan mengolah whey keju mengunakan anaerob satu
IV-10
Pengaruh pengolahan anaerob satu tahap dan dua tahap terhadap konsentrasi COD dapat
dilihat dengan analisis regresi digunakan untuk mengetahui nilai determinasi waktu
operasi terhadap konsentrasi COD. Nawari (2010), menyatakan bahwa nilai determinasi
yang mendekati 1 atau -1 menunjukkan pengaruh variabel bebas terhadap variabel
terikat semakin besar, sedangkan bila semakin mendekati 0 menyatakan pengaruh
semakin kecil. Grafik regresi penyisihan COD pada R1 dan R2 ditampilkan pada
berikut.
3000
2500
COD (mg/l)
2000
y = -52,34x + 2476,2
1500 R² = 0,9532
1000
500 y = -50,933x + 2260,4
R² = 0,9554
0
-1 0 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 4041
Lama pengamatan (Hari)
R1 R2 Linear (R1) Linear (R2)
Gambar 4.4 Regresi Konsentrasi COD pada R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap) dan R2
(Bioreaktor Anaerob Dua Tahap)
Berdasarkan Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa persamaan regresi untuk pada R1
(bioreaktor anaerob satu tahap) selama 40 hari terhadap konsentrasi COD adalah
y = -52,34x + 2476,2 dengan slope -52,34 dan untuk R2 (bioreaktor anaerob dua tahap)
adalah y = -50,933x + 2260,4 dengan slope -50,933. Persamaan tersebut menunjukkan
bahwa variabel waktu berbanding terbalik dengan konsentrasi COD. Sehingga dapat
disimpulkan dapat semakin lama waktu operasi, maka semakin kecil konsentrasi COD.
Koefisien Determinasi menunjukkan nilai 0,9532 untuk anaerob satu tahap, hal tersebut
menunjukkan peningkatan waktu penyisihan memberikan pengaruh 95,32% terhadap
konsentrasi COD. Sedangkan Koefisien Determinasi menunjukkan nilai 0,9554 untuk
IV-11
4.2.3. Pengaruh Bioreaktor Anaerob Satu Tahap dan Dua Tahap terhadap
Pertumbuhan Mikroorganisme
Pertumbuhan mikroorganisme di dalam bioreaktor diamati sebagai Volatile Suspended
Solid (VSS) yang merupakan konsentrasi padatan tersuspensi yang menguap pada suhu
± 550OC (Suyasa, 2015). Prinsip pengukuran VSS dilakukan dengan metode gravimetri
atau metode berat kering sel (Mary, 1998). Pertumbuhan mikroorganisme pada R1, R2-
1 dan R2-2 dapat dilihat pada Gambar 4.5.
2000
1500
VSS (mg/l)
1000
500
0
-10 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 4041
Lama Pengamatan (Hari)
(a)
2000
1500
VSS (mg/l)
1000
500
0
0 0,5 1 1,5 2
Lama Pengamataan (Hari)
(b)
IV-12
1500
VSS (mg/l)
1000
500
0
-1 0 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 4041
Lama Pengamatan (Hari)
(c)
Gambar 4.5 Konsentrasi VSS pada (a) R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap)
(b) R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama)
(c) R2-2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Kedua)
Berdasarkan Gambar 4.5a, b, dan c dapat diketahui konsentrasi VSS pada R2, R2-1, dan
R2-2 diamati setiap 12 jam selama dua hari, kemudian selanjutnya setiap tiga hari
hingga akhir pengolahan (hari ke-40). Gambar 4.5a menunjukkan konsentrasi VSS pada
awal proses pengolahan menggunakan bioreaktor anaerob satu tahap 967 mg/l. Kadar
VSS naik dari t=12 jam sampai hari ke-14, kemudian cenderung mulai menurun pada
hari ke-17 hingga pada akhir pengolahan (hari ke-40). Hasil ini juga menunjukkan
bahwa semakin berkurang jumlah nutrisi, maka semakin menurun pula populasi bakteri.
Kadar VSS pada paling tertinggi ada pada hari ke-14 yaitu 1644 mg/l dan pada akhir
pengolahan kadar VSS adalah 468 mg/l. Pada hari ke-0 sampai hari ke-2 masih
memiliki pertumbuhan yang lambat (fase lag). Hal ini dapat disebabkan oleh tidak
optimumnya suasana pH yang dibutuhkan oleh bakteri fermentatif.Akan tetapi pada hari
ke-5 sudah mulai terjadi peningkatan pertumbuhan hingga mencapai pertumbuhan
optimum pada hari ke-14 (fase log). Fase stasioner terjadi setelah hari ke-14 hingga hari
ke-40.
Konsentrasi VSS pada R2-1 mengalamai kenaikan dan belum mengalami penurunan
sebagaimana yang ditampilkan Gambar 4.5b. Konsentrasi awal VSS yaitu sebesar 1014
mg/l, kemudian meningkat hingga t=48 jam dengan konsentrasi VSS 1176 mg/l.
Inokulum yang dipakai dalam proses pengolahan ini telah diaklimatisasi atau telah
melewati fase pertumbuhan adaptasi. Maka fase pertumbuhan bakteri anaerob yang
IV-13
Konsentrasi VSS pada R2-2 diamati selama 38 hari dimana sebelum memasuki R2-2,
kembali ditambahkan kotoran sapi yang telah diaklimatisasi dalam suasana netral (pH
7) sebanyak 1,4 ml pada R2-2. Dapat dilihat pada Gambar 4.5c konsentrasi awal VSS
pada R2-2 adalah 1605 mg/l, kemudian pada pengamatan hari ke-5 VSS kadar menjadi
1732 mg/l dan terus meningkat mencapai pertumbuhan optimum (fase eksponsial) yaitu
1794 mg/L pada hari ke-8 dan mengalami penurunan pada hari ke-11 hingga
konsentrasi VSS 394 mg/l pada akhir pengolahan (hari ke-40). Pada bioreaktor ini,
bakteri mencapai pertumbuhan optimum (fase eksponensial) pada hari ke-8, kemudian
cenderung menurun pada hari ke-11. Penurunan konsentrasi populasi mikroba
diakibatkan jumlah kebutuhan nutrisinya berkurang (Soemarno, 2007).
Kurva pertumbuhan mikroba yang diperoleh dari penelitian ini kurang sesuai dengan
kurva pertumbuhan mikroorganisme pada umumnya, yang didalamnya dalamnya
terdapat beberapa fase pertumbuhan mikroorganisme, antara lain: lag phase,
exponential phase, logarithmic phase, stationer phase, dan death phase (Soemarno,
2007). Hal ini dapat disebabkan oleh tidak seimbangnya faktor non biologi seperti
nutrient, temperatur serta faktor biologi seperti asosiasi kehidupann diantara
mikroorganisme (Shuler dan Korgi, 1992)
Di dalam reaktor anaerob terdapat dua jenis bakteri yang sangat berperan, yakni bakteri
asidogenik dan bakteri metanogenik. Kedua jenis bakteri ini perlu seimbang. Bakteri-
bakteri ini memanfaatkan bahan organik dan memproduksi metan dan gas lainnya
dalam siklus hidupnya pada kondisi anaerob. Mereka memerlukan kondisi tertentu dan
sensitif terhadap lingkungan mikro dalam reaktor seperti temperatur, keasaman dan
IV-14
4.2.4. Pengaruh Bioreaktor Anaerob Satu Tahap dan Dua Tahap terhadap
Produksi Volatile Fatty Acid (VFA)
VFA (Volatile Fatty Acid) merupakan asam organik berantai pendek (asam format,
asam asetat, asam propinonat, asam butirat dan asam pentanoat) hasil dari proses
asidifikasi (Ziemiński and Magdalena, 2012). VFA yang diuji pada penelitian ini adalah
konsentrasi asam asetat sebagai hasil konversi dari bahan organik dari tahap hidrolisis
dan asidogenesis. Metode yang digunakan untuk analisa VFA adalah metode destilasi
uap (steam destilation) (Tanuwiria, 2000). Konsentrasi VFA hasil penelitian ini
ditampilkan pada Gambar 4.6.
400
350
Nilai VFA (mg/l)
300
250
200
150
100
50
0
-10 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 4041
Lama pengamatan (Hari)
(a)
IV-15
600
500
VFA (mg/l)
400
300
200
100
0
-10 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 4041
Lama pengamatan (Hari)
(c)
Gambar 4.6 Konsentrasi VFA Pada (a) R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap)
(b) R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama)
(c) R2-2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Kedua)
Dari Gambar 4.6a, b, dan c dapat dilihat hubungan konsentrasi VSS pada R1, R2-1, dan
R2-2 diamati setiap 12 jam selama dua hari, kemudian selanjutnya setiap tiga hari
hingga akhir pengolahan (hari ke-40). Pada Gambar 4.6a, konsentrasi VFA pada awal
proses pengolahan menggunakan bioreaktor anaerob satu tahap adalah 30 mg/l,
kemudian perlahan meningkat mulai pada t=36 jam yaitu 40 mg/l. Konsentrasi VFA
paling tinggi dihasilkan pada hari ke-14, yaitu 340 mg/l. Hal ini mengindikasikan
bahwa hingga hari ke-14 tahap ini didominasi oleh proses asidifikasi. Penurunan jumlah
VFA mulai terjadi pada hari ke-17, dan di hari ke-40 kadar VFA 90 mg/l. Hal ini
disebabkan oleh VFA yang dihasilkan mulai dikonversi menjadi CH4 dan CO2.
IV-16
Konsentrasi VFA pada R2-2 yang ditunjukkan pada Gambar 4.6c yang mulai diamati
pada setelah 48 jam pada R2-1. Nilai VFA pada keluaran R2-1 yaitu 510 mg/L, yang
kemudian akan diuraikan oleh bakteri pembentuk metana menjadi gas metan (CH4) dan
kabon dioksida (CO2). Hal tersebut menyebabkan konsentrasi VFA pada R2-2
cenderung menurun hingga hari ke-40 dimana konsentrsai VFA sebanyak 50 mg/l.
Terbentuknya VFA menjadi salah satu tanda bahwa proses asidogenesis berjalan
dengan baik. Proses asidogenesis merupakan proses penguraian bahan kompleks
organik tersuspensi menjadi monomer organik terlarut yang kemudian diurai menjadi
asam-asam organik volatile, hidrogen (H2) dan karbon dioksida (CO2) (Ziemiński and
Magdalena, 2012). Konsentrasi VFA > 2.000 mg/l menurunkan kinerja pada saat proses
hidrolisis dan peruraian anaerobik dan menyebabkan kematikan pada mikroorganisme
sehingga produksi biogas berkurang (Wiesman, 2007). Hal ini menunjukkan produksi
VFA yang dihasilkan pada R1 dan R2-1 masih mendukung proses pengolahan anaerob.
Produksi VFA yang dihasilkan pada R1 dan R2-1 saat konsentrasi maksimum
ditampilkan pada Gambar 4.7.
510
600
500 340
VFA (mg/l)
400
300
200
100
0
R1 R2-1
Gambar 4.7 Konsentrasi VFA maksimum pada R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap)
dan R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama)
IV-17
Tingginya kadar volatile fatty acid (VFA) yang dihasilkan pada R2-1 dibandingkan
dengan VFA yang dihasilkan pada R1 disebabkan oleh sesuainya pH yang dibutuhkan
bakteri asidogenenik untuk berkembangbiak. Faktor pH sangat berperan pada
dekomposisi anaerob karena pada rentang pH yang tidak sesuai, mikroba tidak dapat
tumbuh dengan maksimum dan bahkan dapat menyebabkan kematian. pH optimum
untuk tahap pembentukan asam pada proses anaerobik berkisar 5,0-6,5 (McCArty,
1964, dari Madyanaova, 2005).
4.2.5. Pengaruh Bioreaktor Anaerob Satu Tahap dan Dua Tahap terhadap
Produksi Biogas
Proses terakhir dari proses anaerobik adalah proses metanogenesis. Metanogenesis
merupakan langkah penting dalam proses pengolahan anaerobik secara keseluruhan,
karena proses ini adalah yang paling lambat pada proses reaksi biokimia, mengubah
asam-asam volatil menjadi gas CH4, CO2, dan lain sebagainya (Shuler dan Kargi, 2002).
Produksi harian biogas pada penelitian ini ditampilkan pada Gambar 4.8.
450
400
Volume Biogas (ml)
350
300
250
200
150
100
50
0
-1 0 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 4041
Lama Pengamatan (Hari)
(a)
IV-18
200
100
0
00 0,5 1 1,5 2
Lama Pengamatan (Hari)
(b)
600
Volume Biogas (ml)
500
400
300
200
100
0
-1 0 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 40
41
Lama Pengamatan (Hari)
(c)
Gambar 4.8 Produksi biogas harian Pada (a) R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap)
(b) R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama)
(c) R2-2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Kedua)
Volume awal biogas yang dihasilkan R-1 sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar
4.8a adalah 0 ml, kemudian mengalami kenaikan pada hari ke-5 jam yaitu 180 ml.
Volume harian biogas paling tinggi pada hari ke-20 yaitu 405 ml dan pada hari ke-40
volume biogas sebesar 105 ml. Pada R2-1 tidak terdapat biogas yang dihasilkan selama
2 hari seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.8b. hal ini menunjukkan pada tahap ini
hanya berlangsung pembentukan asam dan tahap metanogenesis belum berlangsung.
Setelah 2 hari belangsung proses asidifikasi maka dilanjutkan dengan proses
metanogenesis pada R2-2, dimana menghasilkan biogas seperti yang ditampilkan pada
Gambar 4.8c. pada awal pengolahan belum menghasilkan gas kemudian pada hari ke-5
biogas sihasilkan sejumlah 236 ml.
IV-19
5.000
Volume Kumulatif Biogas
4.000
3.000
(ml)
2.000
1.000
0
-1 0 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 4041
Lama Pengamatan (Hari)
(a)
5.000
Volume Kumulatif Biogas
4.000
3.000
(ml)
2.000
1.000
0
00 0,5 1 1,5 2
Lama Pengamatan (Hari)
(b)
IV-20
(ml) 3.000
2.000
1.000
0
-1 0 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 4041
Lama Pengamatan (Hari)
(c)
Gambar 4.9 Biogas kumulatif pada (a) R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap)
(b) R2-1 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Pertama)
(c) R2-2 (Bioreaktor Anaerob Dua Tahap – Tahap Kedua)
Berdasarkan Gambar 4.9a dapat dilihat bahwa volume kumulatif biogas hari ke-40 pada
pengolahan limbah cair tahu dengan menggunakan R1 (biorekator anaerob satu tahap)
adalah 3360 ml. Biogas yang dihasilkan pada pengolahan limbah cair tahu dengan
proses anaerob satu tahap ini cenderung sedikit. Ketidaksesuaian bakteri asam dan
metan dapat menyebabkan produksi gas tidak optimal. Pada R2-1 (Bioreaktor Anaerob
Dua Tahap – Tahap Pertama) tidak terdapat biogas yang dihasilkan selama 2 hari seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 4.9b. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahap ini hanya
berlangsung proses asidifikasi dimana biogas belum terbentuk. Kemudian dilanjutkan
tahap kedua dimana biogas mulai terbentuk sebagaimana yang ditunjukkan pada
Gambar 4.9c bahwa volume kumulatif biogas hari ke-40 adalah 4091 ml.
Hasil Yield biogas yang dihasilkan pada R1 (Bioreaktor Anaerob Satu Tahap) dan R2
(Bioreaktor Anaerob Dua Tahap) ditampilkan pada Gambar 4.10.
IV-21
Hasil yield biogas dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 3.4 yaitu dengan
membagi volume kumulatif biogas dengan konsentrasi COD yang terkonversi, maka
didapatkan hasil sebagaimana yang ditampilkan Gambar 4.9 yaitu yield biogas yang
didapat pada R1 dan R2 masing-masing yaitu 0,24 L/g CODterkonversi dan 0,27 L/g
CODterkonversi. Pada penelitian Myrasandi, P (2012) dalam mengolah limbah cair tahu
menggunakan pengolahan anaerobik satu tahap didapatkan yield biogas tertinggi
sebesar 0,247 L CH4/g CODterkonversi.
IV-22
3000 500
2000
300
1500
200
1000
500 100
0 0
-1 0 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 4041
COD VSS VFA volume biogas
Lama Pengamatan (Hari)
(a)
3000 500
Volume Harian Biogas (ml)
2500 400
COD, VSS, VFA (mg/l)
2000
300
1500
200
1000
500 100
0 0
0 0,5 1 1,5 2
COD VSS VFA Volume Biogas
Lama Pengamatan (Hari)
(b)
IV-23
1500 300
1000 200
500 100
0 0
-1 0 2 5 8 11 14 17 20 23 26 29 32 35 38 4041
COD VSS VFA Volume Biogas
Lama Pengamatan (Hari)
(c)
Parameter COD, VSS, VFA, dan volume biogas sebagaimana yang ditampilkan pada
Gambar 4.11 memiliki keterkaitan satu sama lain, yaitu jika terjadi peningkatan
populasi mikroorganisme (VSS) maka konsentrasi COD akan menurun. Jika konsentrasi
COD yang tereduksi meningkat maka konsentrasi VFA yang dihasilkan juga akan
meningkat. Jika konsentrasi VFA meningkat maka produksi biogas juga akan
meningkat. pada awal proses pengolahan terjadi peningkatan konsentrasi VSS dan
penurunan konsentrasi COD. Hal ini terjadi karena mikroba menggunakan bahan
organik sebagai sumber energi dan karbon sehingga terjadi peningkatan populasi
mikroba yang juga berdampak pada turunnya konsentrasi COD. Bahan-bahan organik
menjadi asam organik, selanjutnya dirombak menjadi asam asetat, dan proses berlanjut
membentuk gas metan dan CO2 (O’Flaherty et al, 2006).
Berdasarkan Gambar 4.11a dapat dilihat bahwa konsentrasi COD mengalami penurunan
yang besar hingga hari ke-14 kemudian selanjutnya mengalami penurunan yang relatif
kecil hingga hari ke-40. Sementara konsentrasi VSS mengalami kenaikan hingga hari
ke-14 kemudian cenderung menurun hingga hari ke-40. Hal yang sama juga terjadi pada
konsentrasi VFA dimana mengalami kenaikan dari t=36 jam hingga hari ke-14 dan
selanjutnya cenderung menurun hingga akhir pengolahan. Sedangkan volume biogas
IV-24
Berdasarkan Gambar 4.11b dapat dilihat bahwa konsentrasi COD mengalami penurunan
yang signifikan selama 48 jam, konsentrasi VSS mengalami kenaikan hingga t=48 jam,
dan konsentrasi VFA juga meningkat hingga t=48 jam. Sedangkan pada R2-1
(Bioreaktor anaerob dua tahap – tahap pertama) belum menghasilkan biogas hingga
akhir pengolahan. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahap ini hanya berlangsung tahap
asidifikasi dimana terjadi proses pembentukan asam (VFA) yang akan digunakan
sebagai bahan pembentukan biogas pada R2-2.
Setelah proses pada asidifikasi pada R2-1 selama 48 jam selesai maka akan dilanjutkan
pada proses metanogenesis pada R2-2. Berdasarkan Gambar 4.11c dapat dilihat bahwa
konsentrasi COD mengalami penurunan yang relatif kecil hingga akhir pengolahan.
Sementara konsentrasi VSS mengalami kenaikan hingga hari ke-8, kemudian
selanjutnya cenderung menurun hingga hari ke-40. Konsentrasi VFA selama tahap ini
cenderung menurun hingga akhir pengolahan. Sedangkan volume biogas meningkat
mulai hari ke-5 hingga hari ke-14 kemudian menurun hingga hari ke-40. Hal ini
membuktikan pada R2-2 didominasi dengan proses metanogenesis, dimana produk hasil
pengolahan pada R2-1 menjadi bahan untuk menghasilkan biogas.
IV-25
5.1 Kesimpulan
Dari hasil percobaan pengolahan limbah cair industri tahu dengan bioreaktor anaerob
satu tahap dan dua tahap dengan sistem batch dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pengolahan limbah cair tahu dengan bioreaktor anaerob satu tahap dapat
menurunkan kadar COD dari 2597,92 mg/l hingga 605,28 mg/l dengan efisiensi
76,7%, dan bioreaktor anaerob dua tahap mampu menurunkan kadar COD dari
2614,56 mg/l hingga 443,04 mg/l, dengan efisiensi 83,05%.
2. Pertumbuhan mikroorganisme yang diamati dari kadar Volatile Suspended Solid
(VSS) pada bioreaktor satu tahap mencapai pertumbuhan optimum pada hari ke-14
yaitu 1643,9 mg/l dan pada akhir pengolahan kadar VSS adalah 467,8 mg/l, dan
pertumbuhan bioreaktor dua tahap mencapai pertumbuhan optimum yaitu 1794,3
mg/l dan pada akhir pengolahan kadar VSS adalah 394,1 mg/l.
3. Produksi Volatile Fatty Acid (VFA) maksimum yang dihasilakan pada bioreaktor
anaerob satu tahap adalah 340 mg/l, dan pada bioreaktor dua tahap adalah 510 mg/l.
4. Produksi biogas kumulatif yang dihasilkan pada pengolahan anaerob satu tahap
adalah 3360 ml, dan biorektor anaerob dua tahap menghasilkan biogas sebanyak
4091 ml.
5.2 Saran
Angraini., Mumu, S., Yulianti, P. 2014. Pengolahan Limbah Cair Tahu secara Anaerob
menggunakan Sistem Batch. Jurnal Teknik Lingkungan Institut Teknologi
Nasional Bandung. Vol 2(1).
Astuti, M. 2007. Pengantar Ilmu Statistik untuk Peternakan dan Kesehatan. Hewan.
Cetakan pertama. Binasti Publisher, Bogor.
Benefield, L.D., Randall, C.W.(1980). Biological Process Design for Wastewater
Treatment. : Prentice Hall Inc, Englewood Cliffs.
Budiman dan Amirsan. 2015. Efektifitas Abu Sekam Padi Dan Arang Aktif Dalam
Menurunkan Kadar Bod Dan Cod Pada Limbah Cair Industri Tahu Super Afifah
Kota Palu. Jurnal Kesehatan Tadulako. Vol 1 (2)
Darsono. 2007. Pengolahan Limbah Cair Tahu Secara Anaerob Dan Aerob. Program
Studi Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Atma Jaya. J
Teknologi Industri 9 (1) : 9-20.
Dhiauddin, F. 2014. Aplikasi Anaerobic Treatment Pada Limbah Cair Ikan Dengan
Menggunakan Reaktor Mesophilic. Skiripsi Universitas Syiah Kuala: Banda
Aceh.
Dhadse, Dieter dan Angelika Steinhauser. 2008. Biogas from Waste and Renewable
Resources: An Introduction. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. Kga,
Germany.
Eckenfelder, W.W., Patoczka, J.B., and Pulliam, G.W. 1988. Anaerobic Versus Aerobic
Treatment in the USA. New York:Pergamon Press.
Faisal, M., Asri, G., Farid, M., and Hiroyuki D. 2016. Effect of Organic Loading on
Production of Methane Biogas From Tofu Wastewater Treated by Thermophilic
Stirred Anaerobic Reactor. Rasayan Journal of Chemistry. Vol 9(2). Pages 133 -
138
Ginting, Perdana. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan Dan Limbah Industri. Cetakan
pertama. Bandung: Yrama Widya
Giska,dkk. 2013. Analisis Nilai Tambah dan Strategi Pemasaran Usaha Industri Tahu
di Kota Medan. Jurnal Agribisnis vol.2 no.1 tahun 2013. Medan.
Hambali, E., Mujdalipah, S., Tambunan, A. H., Pattiwiri, A. W., dan Hendroko, R.,
2008. Teknologi Bioenergi. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta. 52-62
Hanifah,T A Christine Jose dan Titania T. Nugroho. 2001. Pengolahan Limbah Cair
Tapioka Dengan Teknologi EM (Effective Mikroorganisms). Jurnal Natur
Indonesia III (2)
Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan Yang Menjadi Sumber Energi. Alternatif.
Wartazoa 16(3): 160-169.
Herlambang, A, 2002, Teknologi Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu, Pusat
Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan (BPPT) dan Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Samarinda.
Hidayat, R. 2015. Pemanfaatan Limbah Cair Tahu Menjadi Produk NATA DE SOYA
Menggunakan Metode Fermentasi. Skripsi Program Studi Pendidikan Kimia.
UIN Sunan Gunung Djati: Bandung.
Husin, A. 2008. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu dengan Biofiltrasi Anaerob
dalam Reaktor Fixed-Bed (Tesis). Program Pascasarjana Teknik Kimia USU
Indriyati, 2005. Pengolahan Limbah Cair Organik secara Biologi Menggunakan
Reaktor Anaerobik Lekat Diam. Jurnal Akuakultur Indonesia1(3). 341-343.
ii
iii
Reaktor
Reaktor anaerob
Analisis COD
Analisis VSS
Pengukuran Biogas
Pengukuran gas dengan Water Displacement Pengukuran gas dengan Water Displacement
Pengambilan dan Pengawetan Sampel