Traktus Biliaris
Penyusun:
Pembimbing:
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan referat yang berjudul “Traktus
Biliaris“. Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dr. Sri Wahyuningsih, Sp.Rad
selaku pembimbing dibagian SMF Radiologi RS Ibnu Sina Gresik dan rekan-rekan yang
telah membantu penulis dalam pembuatan laporan kasus ini.
Semoga referat ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi para pembaca dan
rekan-rekan sejawat.
Penulis
2
DAFTAR ISI
JUDUL........................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................5
2.1 Anatomi.............................................................................................................................5
2.2 Fisiologi............................................................................................................................6
2.3 Batu Empedu (Kolelitiasis)...............................................................................................6
2.4 Kolesistitis.........................................................................................................................9
2.5 Kolangitis........................................................................................................................10
2.6 Kista Duktus Koledokus.................................................................................................14
2.7 Atresia Bilier...................................................................................................................16
2.8 Neoplasma.......................................................................................................................20
BAB III KESIMPULAN......................................................................................................2326
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................27
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pencitraan menggunakan USG, CT Scan, MRI, MRCP, dan ERCP memegang peranan
penting dalam diagnosis pada kelainan traktus bilier. Pengetahuan diagnostik klinis dan
radiologi yang khas dari berbagai etiologi penting dipelajari untuk menginterpretasikan
gambaran radiologi secara akurat.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Secara anatomis, kantung empedu atau vesica fellea terletak di antara dua
lobus hepar. Vesica fellea merupakan tempat penyimpanan asam empedu yang
berbentuk kantung piriformis, memiliki panjang 7-10 cm dan lebar 3-4 cm, serta dapat
menampung sebanyak 30-50 mL empedu. Vesica fellea terdiri dari empat bagian yaitu
korpus, fundus, infundibulum dan kolum. Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus
hepatosit, yang kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung
dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus
komunis di porta hepatis.
Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus
komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara
umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju
pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri (Avunduk, 2002). Suplai darah
ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang berasal dari arteri
hepatikus kanan, sementara liran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran
venanya. Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan
parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal
dari T8 dan T9. Saraf postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan
berjalan bersama dengan arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu.
Saraf parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus (Welling & Simeone, 2016).
5
2.2 Fisiologi
a. USG
7
Tampak gambaran hiperdens
c. MRI – MRCP
Manifestasi batu ditunjukkan dengan sinyal void pada MRCP, batu kolesterol
ditunjukkan dengan gambaran isointense atau hipointense, sementara batu pigmen
tampak hiperintense karena adanya ion besi.
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non
bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang
menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simtomatik dan
kolelitiasis yang asimtomatik. Pada kolelitiasis yang asimtomatik, perlu dijelaskan
pada pasien bahwa tidak diperlukan tindakan sampai kolelitiasis menjadi simtomatik.
Kolesistektomi sampai saat ini masih merupakan baku emas dalam penanganan
kolelitiasis dengan gejala (simtomatik). Saat ini, laparoskopik kolesistektomi
merupakan tindakan yang paling umum dilakukan untuk pengangkatan batu empedu,
terutama pada kasus yang sudah mengalami komplikasi seperti kolangitis. Pada orang
dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran batu dengan obat-obatan
seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acid (UDCA), extracorporeal shock-
wave lithotripsy (ESWL.Terapi medikamentosa dengan UDCA untuk menurunkan
saturasi kolesterol empedu dan menghasilkan suatu cairan lamelar yang menguraikan
kolesterol dari batu serta mencegah pembentukan inti batu. Sementara Untuk batu
saluran empedu, ERCP terapeutik merupakan modalitas utama, dengan melakukan
sfingterektomi endoskopi untuk mengeluarkan batu saluran empedu.
8
2.4 Kolesistitis
Kolesisititis adalah inflamasi akut atau kronis dari kandung empedu, biasanya
berhubungan dengan batu empedu yang tersangkut pada duktus sistikus, menyebabkan
distensi kandung empedu yang nyeri. Batu-batu (kalkuli) dibuat oleh kolesterol,
kalsium, bilirubin, atau campuran, disebabkan oleh perubahan pada komposisi
empedu. Terdapat beberapa Etiologi dari kolesistitis :
Patofisiologi yang paling umum pada kolesistitis, inflamasi pada dinding kandung
empedu biasanya terjadi setelah terdapat batu empedu yang terjepit di dalam duktus
sistikus. Darah yang mengalir ke kantung empedu mungkin menjadi terganggu yang
pada gilirannya akan menyebabkan permasalahan dengan pengisian dan
pengosongan normal pada kantung empedu. Batu bisa menghalangi saluran pipa
cystic yang akan mengakibatkan empedu menjadi terjerat didalam kantung
empedu karena radang disekitar batu di dalam saluran pipa. Kalau aliran
empedu tersumbat, kandung empedu akan mengalami inflamasi dan distensi.
Manifestasi klinis yang ditimbulkan berupa ikterus, demam, nyeri epigastric dengan
murphy sign positif, dan pada pemeriksaan penunjang ditemukan leukositosis dan
transaminitis ringan (Bass,2014). Pada USG akan tampak gambaran double layer
vessel
9
a. USG
b. CT Scan
Penatalaksanaan
kolesistitis akut secara umum adalah pemberian antibiotik dan Non-steroid anti-
inflamatory drugs (NSAID) dapat diberikan untuk mengatasi nyeri. Salah satu NSAID
yang dapat dipilih adalah diclofenac atau indomethacin. Tata laksana umum lainnya
termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan rendah lemak.
Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi
peritonitis, kolangitis, dan septikemia. Terapi definitif untuk kolesistitis akut adalah
kolesistektomi, selain tentunya pemberian antibiotik dan analgetik. Pada pasien sakit
kritis dengan kolesistitis akut akalkulus, kolesistektomi bukanlah terapi definitif.
Penentuan saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan.
Apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (72 jam) atau ditunggu 6-8 minggu setelah
terapi konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Ahli bedah yang pro operasi
dini menyatakan, timbulnya gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif
10
dapat dihindarkan, lama perawatan di rumah sakit dapat lebih singkat dan biaya dapat
ditekan
2.5 Kolangitis
Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto polos
abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar 15% batu
saluran empedu yang terdiri dari kalsium tinggi dengan gambaran radioopak
yang dapat dilihat. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar hidrops, kandung empedu kadang juga dapat terlihat sebagai massa
jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus
b. USG
menebal karena fibrosis atau edema karena peradangan maupun sebab lain. Batu
11
yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena
duktus biliaris.
C. CT Scan
Pada CT scan menunjukkan dilatasi duktus biliaris (panah hitam) dan dilatasi duktus
pankreatikus (panah
oleh musin.
D. ERCP
12
Endoscope Cholangiopancreotography (ERCP) menunjukkan duktus biliaris yang
berdilatasi pada bagian tengah dan distal (dengan gambaran filling defect)
Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif harus diberikan segera setelah
akses vena didapatkan untuk koreksi kekurangan volume/dehidrasi dan menormalkan
tekanan darah. Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian antibiotik dan drainase bilier.
Pedoman pemberian antibiotik sebaiknya berdasrkan pola infeksi spesifik dan resistensi
lokal rumah sakit. Beberapa panduan menyarankan pada kolangitis akut ringan sebaiknya
pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan sefalosporin generasi pertama atau kedua,
penisilin dan penghambat β laktam. Sedangkan kolangitis sedang sampai berat sebaiknya
pemberian antibiotik minimal 5-7 hari dengan sefalosporin generasi ketiga atau keempat.
Drainase bilier biasanya diperlukan pada pasien kolangitis akut untuk menghilangkan
sumber infeksi dan juga karena obstruksi dapat menurunkan ekskresi bilier antibiotik.
Beratnya penyakit menetukan dan menegaskan saatnya untuk dilakukan drainase. Drainase
dapat dilakukan secara elektif pada pasien kolangitis akut ringan, dalam 24-28 jam pada
pasien kolangitis sedang, dan segera (dalam beberapa jam) pada pasien kolangitis berat
karena tidak akan merespon dengan pemberian antibiotik saja. ERCP lebih jadi pilihan
dibandingkan PTBD (percutaneus biliary drainage) karena lebih tidah invasif, lebih aman,
dapat dilakukan bedside dan dapat membersihkan batu saluran empedu, tidak perlu koreksi
koagulopati dan dapat dilakukan tanpa paparan radiasi jika perlu (pada pasien hamil).
13
2.6 Kista Duktus Koledokus
Kista duktus koledokus adalah pelebaran kistik dari duktus biliaris yang
biasanya didapat secara kongenital. Insiden terjadinya kista duktus koledokus
ini berkisar 1 dalam 13.000 kelahiran hidup, sekitar 25-45% kasus didiagnosis
pada neonatus, dan 2/3 kasus diidentifikasi saat dia dewasa. (Mortele KJ,2006)
Etiologi pasti Kista Duktus Koledokus sampai saat ini masih belum diketahui
dengan jelas. Terdapat beberapa teori berkenaan dengan etiologi dan
patogenesis dari kista duktus koledokus:
1. Terjadinya kegagalan rekanalisasi sehingga terjadi kelemahan
kongenital pada dinding duktus biliaris, dimana hal ini merupakan
hipotesis awal
2. Terdapatnya abnormalitas pada inervasi dari distal common bile duct
yang
menyebabkan terjadinya obstruksi fungsional dan dilatasi proksimal
3. Kelemahan yang didapat dari dinding duktus biliarisyang berhubungan
dengan PBM, pertama kali diperkenalkan oleh Babbit (1969), dimana
digambarkan terdapatnya common pancreaticobiliary channel pada
kistaduktus koledokus, dan terjadinya refluks enzim pankreas dapat
menyebabkankerusakan pada duktus biliaris dan dilatasi,
4. Terdapatnya obstruksi dari bagiandistal duktus biliaris. Stenosis sering
ditemukan dibagian bawah dari kista tipe 1,tetapi apakah penyebabnya
kongenital ataupun sekunder akibat adari inflamasi masih belum jelas.
14
5. Tipe 5 melibatkan saluran empedu intrahepatik, biasanya multiple
(caroli’s disease) dan kadang-kandang soliter. Kista saluran empedu
intrahepatik mungkin bilobus atau unilobus, dengan 90% dari kista
unilobus terjadi di sisi kiri. Frekuensi kista tipe 5 lebih tinggi jika dalam
pemeriksaan untuk diagnosis menggunakan teknik pencitraan
a. USG
15
b. ERCP
c.
16
Kelainan patologi sistem bilier ekstrahepatik berbeda-beda pada setiap
pasien. Namun jika disederhanakan, maka kelainan patologis itu dapat
diklasifikasikan berdasarkan lokasi atresia yang sering ditemukan:(1)
- Tipe 1 : terjadi atresia pada ductus choledocus
- Tipe II : terjadi atresia pada ductus hepaticus communis, dengan
stuktur kistik ditemukan pada porta hepatis
- Type III : (ditemukan pada >90% pasien): terjadi atresia pada ductus
hepaticus dextra dan sinistra hingga setinggi porta hepatis.
17
c. MRC ( Magnetic Resonance Cholangiography )
Terapi medikamentosa
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam
empedu ( asam itokolat), dengan memberikan :
- Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis per oral. Fenobarbital akan
merangsang enzim glukoronil transferase ( untuk mengubah bilirubin
indirek menjadi bilirubin direk ); enzim sitokrom P-450 ( untuk oksigenasi
toksin), enzim na+ K+ ATPase ( menginduksi aliran empedu).
- Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuei jadwal
pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam
empedu sekunder.
2 ) Melindungi hati dari zat toksik dengan memberikan :
- Asam ursodeoksikolat, 8-12mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis peroral. Asam
ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat
yang hepatotoksik.
Terapi Nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides ( MCT)
untuk mengatasi malabsorbsi lemak
18
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak3
Non medikamentosa :
- Konsultasi
- Evaluasi kolestasis neonatal dapat dilakukan di pelayanan kesehatan
primer dengan bergantung pada rehabilitasi temuan laboratorium. Tes non-
bedah dan eksplorasi bedah lainnya hanya dapat dilakukan di pusat
pelayanan kesehatan yang berpengalaman menangani kelainan seperti ini.
Dokter umum tidak boleh menunda diagnosis atresia bilier. Bila
ditemukan bayi yang dicurigai menderita icterus obstruktif, maka haus
segera di rujuk ke dokter subspesialis.2
Terapi Bedah
Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis atresia
bilier hasilnya meragukan, maka Fitzgerald menganjurkan laparatomi eksplorasi
pada keadaan sebagai berikut:
Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direk> 4 mg/dl atau terus meningkat,
meskipun telah diberikan fenobarbital atau telah dilakukan uji prednison
selama 5 hari.
Gamma-GT meningkat > 5 kali (normal
Tidak ada defisiensi alfa-1 antitripsin
Pada sintigrafi hepatobilier tidak ditemukan ekskresi ke usus.
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan, maka segera dilakukan intervensi
bedah portoenterostomi terhadap atresia bilier yang correctable yaitu tipe I dan II.
Pada atresia bilier yang non-correctable terlebih dahulu dilakukan laparatomi
eksplorasi untuk menentukan patensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati
dengan bantuan frozen section. Bila masih ada duktus bilier yang paten, maka
dilakukan operasi Kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang paten, tetap
dikerjakan operasi Kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan
jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka
panjang). Ada peneliti yang menyatakan adanya kasus-kasus atresia bilier tipe III
dengan keberhasilan hidup > 10 tahun setelah menjalani operasi Kasai. 9
Di negara maju dilakukan transplantasi hati terhadap penderita:
- Atresia bilier tipe III
19
- Yang telah mengalami sirosis
- Kualitas hidup buruk, dengan proses tumbuh kembang yang sangat terhambat
- Pasca operasi portoenterostomi yang tidak berhasil memperbaiki aliran
empedu 9
2.8 Neoplasma
20
Cholangiokarsinoma merupakan adenokarsinoma yang muncul
pada ductus biliaris.
USG
21
22
Hasil : USG
Didapatkan nodul multipel di kedua lobus hepar
Tak tampak kelainan pada ginjal, limpa, pankreas dan kandung empedu
Tidak tampak massa intraabdomen.
Terdapat dilatasi duktus biliarisa dan vesika biliaris
Kesan : Metastasis tumor di hepar.
Penatalaksanaan
Transplantasi hati
Operasi ini meliputi anastomosis jejunum dengan segmen III duktus pada
globus kiri yang biasanya dicapai di atas tumor hilar. Jaundice menghilang
kira-kira 3 bulan pada 75% pasien. Jika bypass segmen III tidak mungkin
dicapai (akibat metastasis atau atrofi), maka dapat dilakukan operasi
anastomosis duktus hepatikus sisi kanan dapat dilakukan pada segmen V.
Operasi paliatif jarang sekali diindikasikan pada pusat-pusat kesehatan
dengan fasilitas ERCP dan intervensi biliaris perkutaneus (Dooley, 2011).
24
Terapi fotodinamik intraduktal dikombinasikan dengan pemasangan stent
pada pasien kolangikarsinoma menunjukkan manfaat. Tatalaksana ini mahal
namun menawarkan paliasi yang baik. Terapi ini masih dalam penelitian
(Dooley, 2011).
25
BAB III
KESIMPULAN
Duktus biliaris merupakan bagian dari system biler yang memiliki peran dan
fungsi yang sangat penting. Secara anatomi, duktus biliaris memiliki panjang sekitar 8
cm. Duktus biliaris akan bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang
akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis.
26
DAFTAR PUSTAKA
Dooley, J. S., et al., 2011, Sherlock’s Disease of Liver and Biliary System, Twelfth
Khan, S. H., et al., 2012, Guidelines for The Diagnosis and Treatment of
Welling, T.H. & Simeone, D.M. 2016. Gallbladder and Biliary Tract: Anatomy and Structured.
Sabiston C,David. 2011. Buku Ajar Bedah Sabiston (alih bahasa : Andrianto P &Timan I.S).
Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi IV.Jakarta: Balai
Fauzi A. 2011. Kolangitis Akut. Dalam: Rani A, Simadibrata M, Syam AF, Editor. Buku ajar
Mortele KJ, Rocha TC. 2006. Multimodality imaging of pancreatic and biliary congenital
27