Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

Traktus Biliaris

Penyusun:

Febrian Kukuh Prasetyo / 19710007

Resha Adin Nugraha /19710029

Pembimbing:

dr. Sri Wahyuningsih, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK SMF RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
RSUD IBNU SINA KABUPATEN GRESIK
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan referat yang berjudul “Traktus
Biliaris“. Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dr. Sri Wahyuningsih, Sp.Rad
selaku pembimbing dibagian SMF Radiologi RS Ibnu Sina Gresik dan rekan-rekan yang
telah membantu penulis dalam pembuatan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak


kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
guna perbaikan dalam pembuatan laporan kasus selanjutnya.

Semoga referat ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi para pembaca dan
rekan-rekan sejawat.

Gresik, 12 Februari 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

JUDUL........................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................5
2.1 Anatomi.............................................................................................................................5
2.2 Fisiologi............................................................................................................................6
2.3 Batu Empedu (Kolelitiasis)...............................................................................................6
2.4 Kolesistitis.........................................................................................................................9
2.5 Kolangitis........................................................................................................................10
2.6 Kista Duktus Koledokus.................................................................................................14
2.7 Atresia Bilier...................................................................................................................16
2.8 Neoplasma.......................................................................................................................20
BAB III KESIMPULAN......................................................................................................2326
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................27

3
BAB I

PENDAHULUAN

Beberapa kelainan mempengaruhi sistem bilier dan mempengaruhi drainase


empedu yang normal kedalam duodenum. Penyakit kandung empedu merupakan kelainan
pada sistem bilier, kelainan ini mencakup batu, infeksi, neoplasma, dan karsinoma. Kelainan
tersebut menyebabkan perlambatan atau berhentinya aliran empedu sehingga menyebabkan
berbagai macam manifestasi klinis.

Pencitraan menggunakan USG, CT Scan, MRI, MRCP, dan ERCP memegang peranan
penting dalam diagnosis pada kelainan traktus bilier. Pengetahuan diagnostik klinis dan
radiologi yang khas dari berbagai etiologi penting dipelajari untuk menginterpretasikan
gambaran radiologi secara akurat.

Untuk mendeteksi dan mendiagnosis penyakit saluran empedu secara tepat,


pengetahuan tentang varian bawaan dan anomali anatomi kandung empedu sangat penting.
Pengetahuan tentang patogenesis diperlukan untuk menerangkan gambaran pembentukan batu
empedu dan pencitraan radiologis yang dihasilkan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Secara anatomis, kantung empedu atau vesica fellea terletak di antara dua
lobus hepar. Vesica fellea merupakan tempat penyimpanan asam empedu yang
berbentuk kantung piriformis, memiliki panjang 7-10 cm dan lebar 3-4 cm, serta dapat
menampung sebanyak 30-50 mL empedu. Vesica fellea terdiri dari empat bagian yaitu
korpus, fundus, infundibulum dan kolum. Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus
hepatosit, yang kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung
dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus
komunis di porta hepatis.

Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus
komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara
umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju
pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri (Avunduk, 2002). Suplai darah
ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang berasal dari arteri
hepatikus kanan, sementara liran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran
venanya. Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan
parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal
dari T8 dan T9. Saraf postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan
berjalan bersama dengan arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu.
Saraf parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus (Welling & Simeone, 2016).

Gambar 1. Anatomi saluran empedu

5
2.2 Fisiologi

Sebagai bahan sekresi, empedu mempunyai tiga fungsi utama :


1. garam empedu, fosfolipid dan kolesterol beragregasi di dalam empedu
untuk membentuk micelles campuran. Dengan emulsifikasi, komplek micelles
ini memungkinkan absorpsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak (A,D,
E, K) yang ada di dalam usus dan absorpsi mineral tertentu (kalsium, tembaga,
besi) juga dipermudah.
2. Empedu bertindak sebagai vehikel untuk ekskresi usus bagi banyak senyawa
yang dihasilkan secara endogen dan eksogen (seperti bilirubin).
3. Sebagai penetralisir asam lambung, empedu membantu mempertahankan
lingkungan alkali yang tepat di dalam duodenum, yang dengan adanya garam
empedu, memungkinkan aktivitas maksimum enzim pencernaan sesudah
makan (Sabiston, 2011)

2.3 Batu Empedu (Kolelitiasis)

Kolelitiasis adalah pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu


kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu di kandung
empedu umumnya tidak menunjukkan simtom (silent gall stones) kecuali bila batu
tersebut migrasi ke leher kandung empedu atau ke dalam duktus koledokus. Obstruksi
akan mengakibatkan iritasi kimiawi dari mukosa kandungan empedu oleh cairan
empedu yang tertinggal diikuti oleh invasi bakteri, hal ini akan mengakibatkan
kolesistitis akut dan kronik. Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya,
batu empedu di golongkan atas 3 (tiga) golongan : batu kolesterol, batu pigmen, dan
batu campuran.

Manifestasi klinis dari kolelitiasis yakni kolesistitis akut dengan peritonitis


lokal atau umum, hidrops kandung empedu, empiema kandung empedu, atau
pankreatitis. Pada pemeriksaan ditemukan icterus, nyeri tekan dengan punktum
maksimum didaerah letak anatomi kandung empedu. Tanda murphy positif apabila
nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena kandung
empedu (Lesmana,2007).

a. USG

Merupakan sarana diagnosis pencitraan pilihan dan pemeriksaan rutin untuk


menilai penyakit batu empedu. Sensitivitas untuk mendeteksi batu kandung empedu
lebih dari 96%.Penemuan yang khas berupa focus ekogenik di sertai bayangan akustik.
USG juga akan menampakkan ketebalan dinding,gas intramural dan pengumpulan
6
cairan perikoleistik. Cairan perikolesistik dan gas intramural sangat spesifik untuk
kolesistitis akut. USG dapat juga secara akurat mengidentifikasi pelebaran saluran
empedu baik intra dan ekstrahepatik.

Tampak gambaran hiperekoik dengan akustik shadow dibawahnya


b. CT Scan

7
Tampak gambaran hiperdens
c. MRI – MRCP

Manifestasi batu ditunjukkan dengan sinyal void pada MRCP, batu kolesterol
ditunjukkan dengan gambaran isointense atau hipointense, sementara batu pigmen
tampak hiperintense karena adanya ion besi.
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non
bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang
menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simtomatik dan
kolelitiasis yang asimtomatik. Pada kolelitiasis yang asimtomatik, perlu dijelaskan
pada pasien bahwa tidak diperlukan tindakan sampai kolelitiasis menjadi simtomatik.
Kolesistektomi sampai saat ini masih merupakan baku emas dalam penanganan
kolelitiasis dengan gejala (simtomatik). Saat ini, laparoskopik kolesistektomi
merupakan tindakan yang paling umum dilakukan untuk pengangkatan batu empedu,
terutama pada kasus yang sudah mengalami komplikasi seperti kolangitis. Pada orang
dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran batu dengan obat-obatan
seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acid (UDCA), extracorporeal shock-
wave lithotripsy (ESWL.Terapi medikamentosa dengan UDCA untuk menurunkan
saturasi kolesterol empedu dan menghasilkan suatu cairan lamelar yang menguraikan
kolesterol dari batu serta mencegah pembentukan inti batu. Sementara Untuk batu
saluran empedu, ERCP terapeutik merupakan modalitas utama, dengan melakukan
sfingterektomi endoskopi untuk mengeluarkan batu saluran empedu.

8
2.4 Kolesistitis

Kolesisititis adalah inflamasi akut atau kronis dari kandung empedu, biasanya
berhubungan dengan batu empedu yang tersangkut pada duktus sistikus, menyebabkan
distensi kandung empedu yang nyeri. Batu-batu (kalkuli) dibuat oleh kolesterol,
kalsium, bilirubin, atau campuran, disebabkan oleh perubahan pada komposisi
empedu. Terdapat beberapa Etiologi dari kolesistitis :

- Peradangan mekanis akibat dari tekanan intralumen


- Peradangan kimiawi akibat pelepasan lisolesitin (akibat kerja fosfolipase pada
lesitin dalam empedu)
- Peradangan bakteri

Patofisiologi yang paling umum pada kolesistitis, inflamasi pada dinding kandung
empedu biasanya terjadi setelah terdapat batu empedu yang terjepit di dalam duktus
sistikus. Darah yang mengalir ke kantung empedu mungkin menjadi terganggu yang
pada gilirannya akan menyebabkan permasalahan dengan pengisian dan
pengosongan normal pada kantung empedu. Batu bisa menghalangi saluran pipa
cystic yang akan mengakibatkan empedu menjadi terjerat didalam kantung
empedu karena radang disekitar batu di dalam saluran pipa. Kalau aliran
empedu tersumbat, kandung empedu akan mengalami inflamasi dan distensi.
Manifestasi klinis yang ditimbulkan berupa ikterus, demam, nyeri epigastric dengan
murphy sign positif, dan pada pemeriksaan penunjang ditemukan leukositosis dan
transaminitis ringan (Bass,2014). Pada USG akan tampak gambaran double layer
vessel

9
a. USG

b. CT Scan

Penatalaksanaan
kolesistitis akut secara umum adalah pemberian antibiotik dan Non-steroid anti-
inflamatory drugs (NSAID) dapat diberikan untuk mengatasi nyeri. Salah satu NSAID
yang dapat dipilih adalah diclofenac atau indomethacin. Tata laksana umum lainnya
termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan rendah lemak.
Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi
peritonitis, kolangitis, dan septikemia. Terapi definitif untuk kolesistitis akut adalah
kolesistektomi, selain tentunya pemberian antibiotik dan analgetik. Pada pasien sakit
kritis dengan kolesistitis akut akalkulus, kolesistektomi bukanlah terapi definitif.
Penentuan saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan.
Apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (72 jam) atau ditunggu 6-8 minggu setelah
terapi konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Ahli bedah yang pro operasi
dini menyatakan, timbulnya gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif
10
dapat dihindarkan, lama perawatan di rumah sakit dapat lebih singkat dan biaya dapat
ditekan

2.5 Kolangitis

Kolangitis merupakan superimpose infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi


saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu namun dapat pula
ditimbulkan oleh neoplasma ataupun striktur. Bagaimanapun berat penyebab
obstruksi, kolangitis tidak akan terjadi tanpa cairan empedu yang terinfeksi. Kasus
obstruksi akibat keganasan hanya 25-40% yang hasil kultur empedunya positif.
Koledokolitiasis menjadi penyebab tersering kolangitis.
Manifestasi klinis didapatkan demam, ikterus, nyeri perut kanan atas (trias
charcot), splenomegali, leukositosis, peningkatan bilirubin, dan transaminitis.
(Fauzi,2011).

a. Foto Polos Abdomen

Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto polos

abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar 15% batu

saluran empedu yang terdiri dari kalsium tinggi dengan gambaran radioopak

yang dapat dilihat. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang

membesar hidrops, kandung empedu kadang juga dapat terlihat sebagai massa

jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus

besar, di fleksura hepatika.

b. USG

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi

untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu

intrahepatik maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat kandung empedu yang

menebal karena fibrosis atau edema karena peradangan maupun sebab lain. Batu
11
yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena

terhalang udara di dalam usus. Dengan ultrasonografi akan tampak dilatasi

duktus biliaris.

C. CT Scan

Pada CT scan menunjukkan dilatasi duktus biliaris (panah hitam) dan dilatasi duktus

pankreatikus (panah

putih), dimana keduanya terisi

oleh musin.

D. ERCP

12
Endoscope Cholangiopancreotography (ERCP) menunjukkan duktus biliaris yang
berdilatasi pada bagian tengah dan distal (dengan gambaran filling defect)

Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif harus diberikan segera setelah
akses vena didapatkan untuk koreksi kekurangan volume/dehidrasi dan menormalkan
tekanan darah. Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian antibiotik dan drainase bilier.
Pedoman pemberian antibiotik sebaiknya berdasrkan pola infeksi spesifik dan resistensi
lokal rumah sakit. Beberapa panduan menyarankan pada kolangitis akut ringan sebaiknya
pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan sefalosporin generasi pertama atau kedua,
penisilin dan penghambat β laktam. Sedangkan kolangitis sedang sampai berat sebaiknya
pemberian antibiotik minimal 5-7 hari dengan sefalosporin generasi ketiga atau keempat.

Drainase bilier biasanya diperlukan pada pasien kolangitis akut untuk menghilangkan
sumber infeksi dan juga karena obstruksi dapat menurunkan ekskresi bilier antibiotik.
Beratnya penyakit menetukan dan menegaskan saatnya untuk dilakukan drainase. Drainase
dapat dilakukan secara elektif pada pasien kolangitis akut ringan, dalam 24-28 jam pada
pasien kolangitis sedang, dan segera (dalam beberapa jam) pada pasien kolangitis berat
karena tidak akan merespon dengan pemberian antibiotik saja. ERCP lebih jadi pilihan
dibandingkan PTBD (percutaneus biliary drainage) karena lebih tidah invasif, lebih aman,
dapat dilakukan bedside dan dapat membersihkan batu saluran empedu, tidak perlu koreksi
koagulopati dan dapat dilakukan tanpa paparan radiasi jika perlu (pada pasien hamil).
13
2.6 Kista Duktus Koledokus

Kista duktus koledokus adalah pelebaran kistik dari duktus biliaris yang
biasanya didapat secara kongenital. Insiden terjadinya kista duktus koledokus
ini berkisar 1 dalam 13.000 kelahiran hidup, sekitar 25-45% kasus didiagnosis
pada neonatus, dan 2/3 kasus diidentifikasi saat dia dewasa. (Mortele KJ,2006)

Etiologi pasti Kista Duktus Koledokus sampai saat ini masih belum diketahui
dengan jelas. Terdapat beberapa teori berkenaan dengan etiologi dan
patogenesis dari kista duktus koledokus:
1. Terjadinya kegagalan rekanalisasi sehingga terjadi kelemahan
kongenital pada dinding duktus biliaris, dimana hal ini merupakan
hipotesis awal
2. Terdapatnya abnormalitas pada inervasi dari distal common bile duct
yang
menyebabkan terjadinya obstruksi fungsional dan dilatasi proksimal
3. Kelemahan yang didapat dari dinding duktus biliarisyang berhubungan
dengan PBM, pertama kali diperkenalkan oleh Babbit (1969), dimana
digambarkan terdapatnya common pancreaticobiliary channel pada
kistaduktus koledokus, dan terjadinya refluks enzim pankreas dapat
menyebabkankerusakan pada duktus biliaris dan dilatasi,
4. Terdapatnya obstruksi dari bagiandistal duktus biliaris. Stenosis sering
ditemukan dibagian bawah dari kista tipe 1,tetapi apakah penyebabnya
kongenital ataupun sekunder akibat adari inflamasi masih belum jelas.

Kista Duktus Koledokus dibagi menjadi 5 klasifikasi :

1. Tipe 1 kista koledoukus. Berupa dilatasi saluran empedu ekstrahepatik.


Tipe ini adalah tipe kista yang paling umum, ditemukan 75 – 85 %
kasus. mencangkup dilatasi fusiform atau sacular dari duktus koledokus
dengan melibatkan sebagian hingga seluruh duktus
2. Tipe 2 divertikulum koledokus. Tampak seperti divertikulum yang
menonjol pada dinding duktus koledokus, sedangkan duktus billiaris
intrahepatik dan ektrahepatik normal.
3. Tipe 3 kista intraduodenum atau “koledokel”. Berupa dilatasi kistik dari
saluran empedu di dalam dinding duodenum. Sistem duktus normal dan
duktus koledokus biasanya memasuki choledochocele ke dalam dinding
dari duodenum.
4. Tipe 4 mengacu pada multiple kista. Dibagi menjadi :

Tipe 4 A lesi terdapat pada saluran empedu intra dan ekstrahepatik.

Tipe 4 B lesi hanya terdapat pada saluran empedu ekstrahepatik.

14
5. Tipe 5 melibatkan saluran empedu intrahepatik, biasanya multiple
(caroli’s disease) dan kadang-kandang soliter. Kista saluran empedu
intrahepatik mungkin bilobus atau unilobus, dengan 90% dari kista
unilobus terjadi di sisi kiri. Frekuensi kista tipe 5 lebih tinggi jika dalam
pemeriksaan untuk diagnosis menggunakan teknik pencitraan

Manifestasi klinis yang ditimbulkan adalah ikterus, nyeri perut kuadran


kanan atas, dan teraba massa pada perut kuadran kanan atas. Dari pemeriksaan
penunjang didapatkan peningkatan bilirubin dan Alkali fosfatase

a. USG

Tampak bayangan massa kistik

15
b. ERCP
c.

Penatalaksanaa dari kista duktus koledokus yaitu dengan eksisi bedah


kista dengan pembentukan anastomosis Roux-en-Y hepatikojejunostomi /
koledokojejunostomi. Sebuah artikel terbaru yang diterbitkan dalam Journal of
Surgery menyarankan bahwa kista koledochal juga dapat diobati dengan
hepatikojejunostomi laparoskopi sayatan tunggal dengan hasil yang sebanding
dan jaringan parut yang lebih sedikit.

2.7 Atresia Bilier

Atresia bilier merupakan penyakit hati yang ditandai dengan obstruksi


dan fibro-obliterasi progresif saluran bilier ekstrahepatik. Kelainan ini
merupakan salah satu penyebab utama kolestasis yang harus segera mendapat
terapi bedah bahkan transplantasi hati pada kebanyakan bayi baru lahir.
Atresia bilier bukanlah penyakit keturunan. Hal ini dibuktikan dengan
adanya kasus bayi lahir kembar identik dengan hanya satu anak yang memiliki
penyakit ini. Atresia bilier paling mungkin disebabkan oleh suatu peristiwa
yang terjadi selama hidup janin atau sekitar waktu kelahiran. Kemungkinan
untuk "memicu" hal tersebut bisa saja salah satu atau kombinasi dari faktor-
faktor berikut: 1
- infeksi virus atau bakteri, implikasi reovirus
- masalah dengan sistem kekebalan tubuh
- komponen abnormal empedu
- kesalahan dalam perkembangan hati dan saluran empedu

16
Kelainan patologi sistem bilier ekstrahepatik berbeda-beda pada setiap
pasien. Namun jika disederhanakan, maka kelainan patologis itu dapat
diklasifikasikan berdasarkan lokasi atresia yang sering ditemukan:(1)
- Tipe 1 : terjadi atresia pada ductus choledocus
- Tipe II : terjadi atresia pada ductus hepaticus communis, dengan
stuktur kistik ditemukan pada porta hepatis
- Type III : (ditemukan pada >90% pasien): terjadi atresia pada ductus
hepaticus dextra dan sinistra hingga setinggi porta hepatis.

Pada pemeriksaan radiologis penyakit atresia bilier didapatkan :


a. USG

b. HSS ( Hepatobiliary Scintisscanning )

17
c. MRC ( Magnetic Resonance Cholangiography )

Terapi medikamentosa
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam
empedu ( asam itokolat), dengan memberikan :
- Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis per oral. Fenobarbital akan
merangsang enzim glukoronil transferase ( untuk mengubah bilirubin
indirek menjadi bilirubin direk ); enzim sitokrom P-450 ( untuk oksigenasi
toksin), enzim na+ K+ ATPase ( menginduksi aliran empedu).
- Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuei jadwal
pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam
empedu sekunder.
2 ) Melindungi hati dari zat toksik dengan memberikan :
- Asam ursodeoksikolat, 8-12mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis peroral. Asam
ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat
yang hepatotoksik.
Terapi Nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides ( MCT)
untuk mengatasi malabsorbsi lemak

18
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak3
Non medikamentosa :
- Konsultasi
- Evaluasi kolestasis neonatal dapat dilakukan di pelayanan kesehatan
primer dengan bergantung pada rehabilitasi temuan laboratorium. Tes non-
bedah dan eksplorasi bedah lainnya hanya dapat dilakukan di pusat
pelayanan kesehatan yang berpengalaman menangani kelainan seperti ini.
Dokter umum tidak boleh menunda diagnosis atresia bilier. Bila
ditemukan bayi yang dicurigai menderita icterus obstruktif, maka haus
segera di rujuk ke dokter subspesialis.2

Terapi Bedah
Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis atresia
bilier hasilnya meragukan, maka Fitzgerald menganjurkan laparatomi eksplorasi
pada keadaan sebagai berikut:
 Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direk> 4 mg/dl atau terus meningkat,
meskipun telah diberikan fenobarbital atau telah dilakukan uji prednison
selama 5 hari.
 Gamma-GT meningkat > 5 kali (normal
 Tidak ada defisiensi alfa-1 antitripsin
 Pada sintigrafi hepatobilier tidak ditemukan ekskresi ke usus.
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan, maka segera dilakukan intervensi
bedah portoenterostomi terhadap atresia bilier yang correctable yaitu tipe I dan II.
Pada atresia bilier yang non-correctable terlebih dahulu dilakukan laparatomi
eksplorasi untuk menentukan patensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati
dengan bantuan frozen section. Bila masih ada duktus bilier yang paten, maka
dilakukan operasi Kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang paten, tetap
dikerjakan operasi Kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan
jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka
panjang). Ada peneliti yang menyatakan adanya kasus-kasus atresia bilier tipe III
dengan keberhasilan hidup > 10 tahun setelah menjalani operasi Kasai. 9
Di negara maju dilakukan transplantasi hati terhadap penderita:
- Atresia bilier tipe III
19
- Yang telah mengalami sirosis
- Kualitas hidup buruk, dengan proses tumbuh kembang yang sangat terhambat
- Pasca operasi portoenterostomi yang tidak berhasil memperbaiki aliran
empedu 9

2.8 Neoplasma

a. Tumor Jinak ductus biliaris


Sistadenoma biliaris ( Billiary Mucinous Cytic Neoplasm )
Sistadenoma dan sistadenocarcinoma jarang ditemukan, didapatkan tumor
kista unilocular maupun multilocular berasal dari biliaris dan didaptkan pada
lebih dari 85% wanita paruh baya. Sitadenoma biliaris terlihat seperti massa
kista dengan kapsul yang berbatas tegas, dengan septum interna dan nodulus
mural dengan kalsifikasi kapsula yang jarang. Walaupun gambaran
sistadenoma cenderung dindingnya dan septum internal lebih tebal dan lebih
sering berisi papilla intratumoral dan polypoid.

Orang yang dicurigai dengan diagnosis MBCA / Cistadenoma Billiaris dapat


dianjurkan dengan tindakan seperti “Cyst aspiration”, Laparoskopi, Interna
drainage by roux-en-ye, sclerotherapy dan dekompresi dari kista itu sendiri

b. Tumor Maligna dari Duktus biliaris

20
Cholangiokarsinoma merupakan adenokarsinoma yang muncul
pada ductus biliaris.

Keganasan ini termasuk jarang, namun memiliki prognosis yang


buruk. Manifestasi cacing hati, kolangitis sklerosis primer, hepatolitiasis,
dan malformasi bilier selama ini diketahui merupakan faktor resiko
kejadian kolangiokarsinoma.

USG

21
22
Hasil : USG
Didapatkan nodul multipel di kedua lobus hepar
Tak tampak kelainan pada ginjal, limpa, pankreas dan kandung empedu
Tidak tampak massa intraabdomen.
Terdapat dilatasi duktus biliarisa dan vesika biliaris
Kesan : Metastasis tumor di hepar.

Penatalaksanaan

Operasi reseksi adalah terapi utama untuk kolangiokarsinoma. Kolangio-


karsinoma distal direseksi dengan pankreaduodenektomi, dengan
kemungkinan hidup 5 tahun sekitar 30%. Pada pasien dengan penyebaran
tumor sepanjang duktus biliaris komunis, dapat dilakukan reseksi hati dan
pankreaduodenektomi. Karsinoma middle duktus biliaris dilakukan reseksi
dengan eksisi pohon bliaris dan limfadenektomi hilar (Khan, 2012).

Tumor tipe hilar (Klatskin) direseksi dengan hepatektomi kanan atau


kiri diperluas tergantung duktus hepatikus yang terlibat. Pohon biliaris
dieksisi dan duktus biliaris bagian proksimalnya di drainase ke dalam Roux-
en-Y loop di usus halus. Limfadenektomi hilar radikal dilakukan karena
adanya kemungkinan diseminasi limfatik. Pada tumor klatskin, biasa
dilakukan lobektomi kaudate karena 1 segmen duktus akan bergabung
dengan duktus hepatikus lainnya dan sangat mungkin telah terinfiltrasi oleh
tumor. Angka harapan hidup setelah reseksi agresif kolangikarsinoma
adalah 18-40 bulan. Reseksi lokal dapat dilakukan pada tumor Bismuth tipe
I atau II dengan mortalitas perioperatif yang rendah (Dooley, 2011).

Transplantasi hati

Pada umumnya kolangiokarsinoma dikontraindikasikan untuk


transplantasi hati. Kolangiokarsinoma yang unresektabel memiliki rekurensi
yang tinggi. Pada kolangiokarsinoma unresektabel stadium awal, kombinasi
transplantasi hati dengan kemoradiasi perioperatif dapat memperpanjang
harapan hidup (Khan, 2012).
23
Operasi Paliatif

Operasi ini meliputi anastomosis jejunum dengan segmen III duktus pada
globus kiri yang biasanya dicapai di atas tumor hilar. Jaundice menghilang
kira-kira 3 bulan pada 75% pasien. Jika bypass segmen III tidak mungkin
dicapai (akibat metastasis atau atrofi), maka dapat dilakukan operasi
anastomosis duktus hepatikus sisi kanan dapat dilakukan pada segmen V.
Operasi paliatif jarang sekali diindikasikan pada pusat-pusat kesehatan
dengan fasilitas ERCP dan intervensi biliaris perkutaneus (Dooley, 2011).

Terapi Paliatif non Operasi

Pada pasien-pasien dengan tumor yang inresektabel, ikterus dan gatal


dapat diobati dengan menempatkan endoprostesis melintasi striktur baik
menggunakan rute endoskopi atau dengan rute perkutaneus. Dengan rute
endoskopi, dapat diinsersikan stent dengan keberhasilan 90%. Komplikasi
awal yang utama adalah kolangitis (7%). Mortalitas dalam 30 hari antara
10-28% tergantung dari meluasnya tumor ke hilum. Insersi endoprotesis
perkutaneus transhepatik juga efektif tetapi memiliki resiko komplikasi
yang tinggi seperti perdarahan dan kebocoran empedu. Endoprostesis metal
mes dengan perluasan diameter 10 mm di dalam striktur setelah insersi
kateter dengan ukuran 5-7 French lebih mahal dibandingkan dengan tipe
plastik tetapi memiliki kekuatan yang lebih lama (Dooley, 2011).

Belum ada penelitian yang membandingkan antara terapi operasi


paliatif dengan terapi paliatif non operasi. Umumnya teknik nonoperatif
diterapkan pada pasien yang memiliki resiko tinggi dengan harapan hidup
yang pendek (Dooley, 2011).

Tidak ada bukti yang mendukung keberhasilan kemoterapi atau


radioterapi pada pasien yang telah mengalami metastasis. Peran radioterapi
eksternal atau kombinasi radioterapi dengan drainase bilier tidak terbukti.
Obat sitotoksik seperti gemcytabin sediri atau dikombinasikan dengan
cysplatin juga tidak efektif (Dooley, 2011)..

24
Terapi fotodinamik intraduktal dikombinasikan dengan pemasangan stent
pada pasien kolangikarsinoma menunjukkan manfaat. Tatalaksana ini mahal
namun menawarkan paliasi yang baik. Terapi ini masih dalam penelitian
(Dooley, 2011).

25
BAB III

KESIMPULAN

Duktus biliaris merupakan bagian dari system biler yang memiliki peran dan
fungsi yang sangat penting. Secara anatomi, duktus biliaris memiliki panjang sekitar 8
cm. Duktus biliaris akan bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang
akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis.

Penyakit pada duktus biliaris cukup banyak didapat. Choledocholithiasis adalah


salah satu kelainan patologis yang paling umum yang mempengaruhi saluran empedu.
Kondisi lain termasuk penyakit inflamasi, infeksi ganas, bawaan dan iatrogenic.

Pencitraan menggunakan Ultrasonografi (USG), Magnetic Resonance Imaging


(MRI), dan Computed Tomography (CT) memainkan peran penting dalam diagnosis
penyakit kandung empedu dan empedu. Pada penyakit ductus biliaris yang paling
sering seperti Choledocolithiasis, pemeriksaan radiologis yang paling baik bisa
dilakukan dengan CT kontras juga bisa dilakukan dengan MRCP ataupun ERCP.

Gangguan pada ductus biliaris dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang


kedepannya. Maka dari itu sebagi tenaga kesehatan kita memerlukan pemeriksaan
lanjut untuk menegakkan diagnosis yang lebih akurat dibanding pemeriksaan medis
lainnya.

Pemeriksaan CT, MRI, dengan MRCP, cholangiografi direk, USG endoskopi


adalah pemeriksaan yang bisa diterapkan untuk penegakkan diagnosis dan untuk
menentukan tahap pembedahan selanjutnya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Dooley, J. S., et al., 2011, Sherlock’s Disease of Liver and Biliary System, Twelfth

Edition, UK : Blackwell Publishing.

Khan, S. H., et al., 2012, Guidelines for The Diagnosis and Treatment of

Cholangiocarcinoma: An Update, London.

Welling, T.H. & Simeone, D.M. 2016. Gallbladder and Biliary Tract: Anatomy and Structured.

Yamada’s Textbook of Gastroenterology

Sabiston C,David. 2011. Buku Ajar Bedah Sabiston (alih bahasa : Andrianto P &Timan I.S).

Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi IV.Jakarta: Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.479 – 481

Bass, T. H. 2014. Biliary Tract. Gastrointestinal Surgery – Pathophysiology and Management

Fauzi A. 2011. Kolangitis Akut. Dalam: Rani A, Simadibrata M, Syam AF, Editor. Buku ajar

Gastroenterohepatologi. Edisi-1. Jakarta: Interna Publishing; 579-90.

Mortele KJ, Rocha TC. 2006. Multimodality imaging of pancreatic and biliary congenital

anomalies. Radiographics. 26 : 715-31

27

Anda mungkin juga menyukai