Jbptitbpp GDL Trisuryair 31354 5 2008ts C
Jbptitbpp GDL Trisuryair 31354 5 2008ts C
33
Persamaan umum Distribusi Gumbel untuk mencari nilai X jika diketahui periode
ulang T adalah :
S
X=X+ ( Y − Yn) ............................... Rumus 2. 34
Sn
untuk T < 20
⎡ ⎛ T − 1 ⎞⎤
Y = − ln ⎢− ln⎜ ⎟⎥ ............................... Rumus 2. 35
⎣ ⎝ T ⎠⎦
untuk T ≥ 20
Y = ln T ............................... Rumus 2. 36
Keterangan :
X = hujan harian maksimum tahunan pada tahun pengamatan (mm)
X = rata-rata hujan harian maksimum tahunan (mm)
Y = faktor reduksi Gumbel
S = standard Deviasi X (mm)
Yn = nilai rata-rata dari reduksi variat (mean of reduced variate), nilainya
tergantung dari jumlah data n (lihat tabel Yn)
Sn = deviasi standard dari reduksi variat (standard deviation of reduced
variate), nilainya tergantung dari jumlah data n (lihat tabel Sn)
P(X≤x) = peluang kumulatif sebagai fungsi dari Y
P(X≥x) = 1 - P(X≤x)
e = bilangan natural (2.71828...)
T = periode ulang (tahun)
Tabel 2. 6 Hubungan antara deviasi standar dan reduksi variat (Sn) dengan
jumlah data
(− Y)
P(X ≤ x) = e −e ............................... Rumus 2. 37
⎛ 1 ⎞
a = 1 . 282 ⎜⎜ ⎟⎟ ............................... Rumus 2. 40
⎝ SL ⎠
Y
log X = + Xo ............................... Rumus 2. 41
a
Keterangan :
Xi = hujan harian maksimum pada tahun pengamatan ke i (mm)
XL = log X = hujan harian maksimum dalam logaritmik
X L = log X = rata-rata hujan harian maksimum dalam logaritmik
SL = standard deviasi dari rangkaian data dalam harga logaritmik
a, Xo = parameter frechet
P(X≤x) = Peluang kumulatif sebagai fungsi dari Y
P(X≥x) = 1 - P(X≤x)
e = bilangan natural (2.71828...)
X = X + k ⋅ S ............................... Rumus 2. 42
X−X
k= ............................... Rumus 2. 43
S
II - 26
n
∑X ............................... Rumus 2. 44
X= i =1
∑ (X − X )
n
2
............................... Rumus 2. 45
S= i=1
n −1
dimana :
X = data hujan harian maksimum tahunan (mm)
X = rata-rata hujan harian maksimum tahunan (mm)
S = standard deviasi dari rangkaian data (mm)
k = faktor frekuensi dari Pearson III
P(X≥x) = Peluang terlampaui sebagai fungsi dari Cs dan k (interpolasi dari tabel)
∑ (log X )
n
2
i − log X ............................... Rumus 2. 47
Sy = i=1
n −1
Cs = ⎢
∑ (
⎡n LogX − LogX 3 ⎤
i
⎥
)
( )
............................... Rumus 2. 48
⎢ (n − 1)(n − 2 )S 2 ⎥
⎣ y ⎦
Y = Y + k ⋅ Sy ............................... Rumus 2. 49
IIY- −27Y
k=
Sy
............................... Rumus 2. 50
Keterangan :
Xi = hujan harian maksimum pada tahun pengamatan ke i
Y = log X = hujan harian maksimum dalam logaritmik (mm)
Y = log X = rata-rata hujan harian maksimum dalam logaritmik
Sy = standard deviasi dari rangkaian data dalam harga logaritmik
n = jumlah tahun pengamatan
Cs = koefisien skewness (koefisien kemencengan)
k = faktor frekuensi dari Log-Pearson III
P(X≥x) = Peluang terlampaui sebagai fungsi dari Cs dan k (interpolasi dari tabel)
Tabel 2. 7 Nilai-nilai K untuk distribusi Pearson III dan log Pearson Tipe III
II - 28
Sumber : Linsley, Kohler, 1996
Tabel 2. 8 Nilai K Distribusi Pearson tipe III dan log Pearson III
II - 29
Sumber : Soewarno, 1995
II - 30
Untuk mengetahui apakah data tersebut benar sesuai dengan jenis sebaran teoritis
yang dipilih maka perlu dilakukan pengujian lebih lanjut. Untuk keperluan
analisis uji kesesuaian dipakai dua metode statistik sebagai berikut :
K
(Oi - Ei )2
χ 2
hitung =∑ ............................... Rumus 2. 51
i =1 Ei
n
Ei = ............................... Rumus 2. 52
K
dimana :
Oi = nilai yang diamati
Ei = nilai yang diharapkan
K = jumlah kelas (1 + 3,22 Log n)
n = jumlah data
II - 31
Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga χ2hitung < χ2critis.
Harga χ2critis dapat dilihat dari tabel nilai kritis uji chi kuadrat yang tergantung dari
taraf signifikan (α) dan derajat kebebasan (dk).
Derajat kebebasan (dk) mempunyai nilai yang di dapat dari perhitungan sebagai
berikut :
dk = K - ( P + 1) ............................... Rumus 2. 53
dimana :
dk = derajat kebebasan
K = jumlah kelas
P = jumlah parameter distribusi terpilih
II - 32
Tabel 2. 9 Nilai kritis untuk distribusi Chi-Kuadrat (uji satu sisi)
m
P= ............................... Rumus 2. 54
(n + 1)
dimana :
m = nomor urut data
n = banyaknya data
dimana :
Dmax = selisih maksimum antara peluang empiris dengan teoritis
Pe = peluang empiris
Pt = peluang teoritis
5. Tentukan harga Do dari tabel nilai kritis uji K-S, dengan taraf signifikan
diambil 5% dari jumlah data.
6. Apabila Dmax < Do, maka distribusi teoritis yang dipilih untuk menentukan
persamaan distribusi dapat diterima. Sebaliknya jika Dmax > Do, maka
distribusi teoritis yang dipilih tidak dapat diterima.
Dalam kajian ini dianalisis besarnya kejadian curah hujan maksimum harian
dengan periode ulang 1.01 tahun; 1.11 tahun; 1.25 tahun; 2 tahun; 5 tahun; 10
tahun; 20 tahun; 25 tahun; 50 tahun; 100 tahun; 200 tahun dan 1000 tahun sesuai
dengan persamaan distribusi frekwensi terpilih.
II - 35
yaitu untuk kajian ini dipilih distribusi 6 jam yang didistribusikan dengan cara
Mononobe.
Prosentase distribusi hujan yang terjadi dihitung dengan rumus Mononobe sebagai
berikut (Sosrodarsono, 2006) :
2/3
R24 ⎛ 24 ⎞
Rt = ⎜ ⎟ ............................... Rumus 2. 56
24 ⎝ T ⎠
Keterangan :
Rt = rerata hujan dari awal sampai jam ke t (mm/jam)
T = waktu hujan sampai jam ke t
R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam
Keterangan :
RT = intensitas curah hujan pada jam t (mm/jam)
t = waktu (jam)
Rt = rerata hujan dari awal sampai jam ke t (mm/jam)
R(t-1) = rerata curah hujan dari awal sampai jam ke (t – 1)
Selanjutnya rasio (prosentase) hujan tiap jam terhadap tinggi hujan total pada
distribusi hujan ditetapkan dengan persamaan :
RT
rT = ............................... Rumus 2. 58
∑ RT
1. Keadaan hujan.
2. Luas dan bentuk daerah pengaliran.
3. Kemiringan daerah pengaliran dan kemiringan dasar pegunungan.
4. Daya infiltrasi tanah dan perkolasi tanah.
5. Kebasahan tanah.
6. Suhu, udara, angin dan evaporasi.
7. Letak daerah aliran terhadap arah angin.
8. Daya tampung palung sungai dan daerah sekitarnya.
Bila tidak terdapat pengukuran limpasan yang terjadi maka untuk DAS tertentu
besarnya koefisien limpasan dapat dilihat pada tabel berikut :
Rn = C * R T ............................... Rumus 2. 59
dimana :
Rn = hujan netto (mm/jam)
C = koefisien pengaliran
RT = intensitas curah hujan (mm/jam)
Rising Limb :
II - 38
Hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan mengalami proses kehilangan air
akibat intersepsi, infiltrasi, dan kemudian sisanya menjadi limpasan air
permukaan (surface run-off). Limpasan air menuju ke sungai dan tinggi muka
air mulai bergerak naik sampai debit puncak (Qp), disebut “Rissing Limb” atau
kurva yang menggambarkan naiknya debit aliran permukaan sejak awal
pengaruh hujan sampai dengan terjadinya debit puncak.
Recession Limb :
Setelah debit puncak tercapai, selanjutnya grafik debit mulai menurun, disebut
“Recession Limb” atau kurva yang menggambarkan turunnya debit aliran
permukaan sejak tercapainya puncak sampai dengan akhir pengaruh hujan.
Inflection Point :
Setelah debitnya menurun, mulailah penarikan tampungan dari tanah karena
kontribusi “ Surface run-off” ke kontribusi “Ground water run-off”
Time Lag/Basin Lag :
Adalah waktu yang diukur dari pusat hyetograf (pertengahan terjadinya hujan)
sampai dengan puncak hidrograf.
Time of Concentration :
Adalah waktu yang diukur dari hyetrograf sampai dengan “Inflection point”.
Atau waktu antara berakhirnya hujan sampai dengan terjadinya debit puncak.
Recession Time:
Adalah waktu antara terjadinya puncak aliran sampai dengan berakhirnya
pengaruh hujan terhadap aliran.
Time Base :
Adalah total waktu terjadinya pengaruh hujan terhadap aliran.
II - 39
Daerah Tangkapan Air dipandang sebagai blok yang sistimnya ditandai
oleh respons Q input tertentu, sebagai berikut :
• Input : Hujan efektif dan Basin Recharge
• Proses : Merupakan kombinasi dari karakteristik hujan seperti ; tipe,
intensitas, durasi dan distribusi hujan, defisit kelembaban tanah, berlangsung
arahnya hujan, kondisi iklim serta karakteristik DAS seperti ; ukuran DAS,
bentuk DAS, Elevasi DAS, rerata kemiringan sungai, kerapatan sungai,
kerapatan drainase, susunan sistim sungai, jenis tanah, jenis vegetasi penutup.
• Output (Response) : Setiap DAS mempunyai karakteristik hujan dan kondisi
fisik yang berbeda, sehingga setiap hidrograf disetiap DAS mempunyai
komponen hidrograf yang berbeda.
Output
Input
B. Karakteristik DAS
(Luas, Bentuk, Elevasi DAS, Base flow
Basin Recharge Kemiringan & Kerapatan Sungai,
t
Proses
II - 40
Hidrograf satuan menggambarkan respon dari daerah tangkapan air dalam
menghasilkan direct runoff akibat eksistensi hujan setinggi 1 mm selama 1 jam.
Dalam konsep hidrograf satuan diasumsikan daerah tangkapan air berperilaku
linier terhadap hujan yang turun. Dengan asumsi ini, aliran yang terjadi hanya
dipengaruhi oleh karakteristik DAS, sehingga pengaruh distribusi hujan terhadap
besaran dan distribusi aliran dapat ditentukan melalui konsep superposisi dari
aliran tersebut akibat satuan hujan dalam mm/jam (inch/jam). Dengan demikian
DAS yang mempunyai karakteristik yang sama akan memiliki hidrograf satuan
yang sama. Berdasarkan konsep ini, hidrograf aliran yang ditimbulkan oleh setiap
hujan yang turun di suatu DAS dapat ditentukan dengan menggunakan Hidrograf
satuannya.
Berdasarkan konsep hidrograf satuan, besarnya total volume dari aliran
permukaan adalah sama dengan luas areal di bawah kurva dari hidrograf satuan,
artinya sama dengan volume air setebal 1 mm (inch) yang berada dipermukaan
DAS.
Hal ini dilakukan karena tidak semua DAS mempunyai Pos Duga Air Automatis
yang dapat dengan mudah menentukan hidrograf aliran sungai yang bersangkutan
dan kebanyakan hanya memiliki data pengukuran curah hujan harian.
Dengan hidrograf satuan sintetik dapat diketahui debit banjir rencana dari data
hujan dengan mentranformasikan hyetograf menjadi hidrograf aliran sungai.
Beberapa metode untuk perhitungan hidrograf sintetik dan unit hidrograf sintetik
telah dikembangkan anatara lain : Nakayasu unit hydrograph dan Snyder unit
hydrograph.
II - 42
Gambar 2. 2 Model Hidrograf Sintetik Nakayasu
C . A . R0
Qp = ............................... Rumus 2. 61
3,6 (0,3 Tp + T0,3 )
Tp = tg + 0,8 Tr
tg = 0,21 x L0,7 (untuk L ≤ 15 km)
tg = 0,4 + 0,058 x L (untuk L > 15 km)
T0,3 = α x tg
Tb = Tp + T0,3 + 1,5T0,3 + 2 T0,3
dimana :
Qp = debit puncak banjir (m3/det)
C = koefisien pengaliran
A = luas DAS (km2)
R0 = hujan satuan (1 mm)
Tp = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak sampai
menjadi 30% dari debit puncak
tg = waktu konsentrasi (jam)
Tr = satuan waktu hujan, diambil 1 jam
α = parameter hidrograf, bernilai antara 1,5 ~ 3,5
L = panjang sungai (m)
Wakt u t ur un -1 : Tp ≤ t 2 < Tp + T 0 ,3
..................... Rumus 2. 63
Qt = Qp * 0 ,3 ^ [ (t -Tp)/(T0 ,3 ) ]
Wakt u t ur un -2 : Tp + ≤ t 3 < Tp + T 0 ,3 + 1 .5 T0 .3
Wakt u t ur un -3 : t4 ≥ Tp + T 0 ,3 + 1 .5 T0 .3
L ............................... Rumus 2. 67
Dd =
A
Qb=0.475 A0.6444 .D 0.9435 ............................... Rumus 2. 68
Keterangan :
Dd = kerapatan jaringan sungai (km/km2)
II - 44
L = panjang total sungai (km)
A = luas DAS (km2)
Qb = aliran dasar (m3/dtk)
Qp = q p × A ............................... Rumus 2. 69
Cp
q p = 0 . 278 ............................... Rumus 2. 70
tp
tp ............................... Rumus 2. 71
tr =
5.5
Keterangan :
Koefisien-koefisien Ct dan Cp harus ditentukan secara empirik, karena besarnya
berubah-ubah antara daerah yang satu dengan yang lain.
Ct = Koefisien yang tergantung dari slope basinnya, (0.75 ~ 3.00)
Ct, dapat menggunakan rumus pendekatan dari Taylor & Schwarz,
0 .6
Ct = ............................... Rumus 2. 73
S
II - 46
Qp = Debit puncak (m3/det/mm)
qp = Puncak hidrograf satuan (m3/det/mm/km2)
S = Kemiringan rata-rata daerah pengaliran
h = tinggi hujan = 1 mm
Tb = Time base untuk small watershed (A≤100mi2) dapat dipakai
persamaan:
Tb = 4 × tp ............................... Rumus 2. 74
Bila : tr> tp :
Bila tr < tp :
Tp = tp + 0.50 tr ............................... Rumus 2. 77
2.4.1. Evapotranspirasi
Evaporasi adalah proses perubahan fisik yang mengubah cairan atau bahan padat
menjadi gas melalui proses perpindahan panas. Besarnya harga evaporasi sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang terkadang tidak merata diseluruh
daerah (Sosrodarsono, 1980).
II - 47
Besaran evapotranspirasi dihitung memakai cara Penman modifikasi (FAO),
dengan masukan data iklim berikut: letak lintang, temperatur, kelembaban relatif,
kecepatan angin dan lama penyinaran matahari (Sosrodarsono, 1980: 60).
Persamaan Penman dirumuskan sebagai berikut:
Untuk kondisi iklim Indonesia dimana Relatif Humidity (RH) cukup tinggi dan
kecepatan angin antara rendah dan sedang, harga c tersebut berkisar antara 0,86
sampai dengan 1,1. Menggunakan perkiraan data rerata tersebut dan angka
perbandingan kecepatan angin siang dan malam tidak terlalu berbeda, harga c
untuk Indonesia disajikan pada tabel di bawah ini :
Bulan C
Jan 1 .1 0
Feb 1 .1 0
M ar 1 .0 0
Apr 0 .9 0
M ay 0 .9 0
Jun 0 .9 0
Jul 0 .9 0
Aug 1 .0 0
Sep 1 .1 0
Oct 1 .1 0
Nov 1 .1 0
Dec 1 .1 0
Sumber : Sos r odar s ono, 1 9 8 0
W= ∆ / ∆γ ............................... Rumus 2. 79
P
γ= 0,386 * ............................... Rumus 2. 80
L
II - 48
L= 595 – 0,51*T ............................... Rumus 2. 81
P= 1013 – 0,1055*E ............................... Rumus 2. 82
D= 2*(0,00738 T+0,8072)T-0,00116 ............................... Rumus 2. 83
Rn= Rns - Rn1 ............................... Rumus 2. 84
Rns= ( 1 - α ) * Rs ............................... Rumus 2. 85
Rs= ( a + b n/N ) * Ra ............................... Rumus 2. 86
Rn1= f (t) * f (ed) * f(n/N) ............................... Rumus 2. 87
ed= ea * Rh ............................... Rumus 2. 88
ea= 33.8639*((0,00738*Tc+0,8072)8–0,000019*(1,8*T+48) +0,001316))
............................... Rumus 2. 89
U 2 * Ur
Ud= ............................... Rumus 2. 90
(43,2 * (1 + Ur ))
Ud
Ur= ............................... Rumus 2. 91
Un
dimana :
E = elevasi diatas muka laut (m)
U2 = kecepatan angin pada ketinggian 2 m diatas permukaan tanah (km/hr)
Ur = kecepatan rasio (km/hr)
Ud = kecepatan angin siang(km/hr)
Un = kecepatan angin malam (km/hr)
α = albedo atau faktor pantulan (diambil 0.25)
II - 49
Air 0,05-0,10 Diberbagai tempat
Tanah kosong 0,11-0,18 Eropa barat
Hutan spruce 0,05-0,08 Eropa barat
Hutan pinus 0,10-0,12 Eropa barat
Hutan bambu 0,12 Kenya
Hutan evergreen 0,14 Kenya
Hutan tropis daun lebar 0,18 Kenya
Tanaman the 0,16 Kenya
Tanaman tebu 0,05-0,18 Hawai
Tanaman kentang 0,15-0,27 Eropa barat
Tanaman jagung 0,12-0,24 Amerika utara
Padang rumput 0,14-0,25 Diberbagai tempat
Tanaman sayuran 0,25 Amerika utara
Sumber : Asdak, 1995 : 136
Nilai fungsi-fungsi :
f (u)= 0,27 ( 1+ u/100) ............................... Rumus 2. 92
f (T)= 11,25 * 1,0133T ............................... Rumus 2. 93
f (ed)= 0.34 – 0,044 (ed)0.5 ............................... Rumus 2. 94
f (n/N)= 0,1 + 0,9 n/N ............................... Rumus 2. 95
II - 50
dimana :
Ul = kecepatan angin dilokasi perencanaan
Up = kecepatan angin dilokasi pengukuran
Ll = elevasi lokasi perencanaan
Lp = elevasi lokasi pengukuran
Tabel 2. 14 Hubungan Suhu (t) dengan nilai ea (mbar), w, (1-w) dan f(t)
Hubungan Suhu (t ) dengan nilai ea (mbar), w, (1 -w) dan f(t )
Suhu ea w (1 -w)
f(t )
('C) (mbar) el. 0 -2 5 0 m
2 4 .0 0 2 9 .8 5 0 .7 3 5 0 .2 6 5 1 5 .4 0
2 4 .2 0 3 0 .2 1 0 .7 3 7 0 .2 6 3 1 5 .4 5
2 4 .4 0 3 0 .5 7 0 .7 3 9 0 .2 6 1 1 5 .5 0
2 4 .6 0 3 0 .9 4 0 .7 4 1 0 .2 5 9 1 5 .5 5
2 4 .8 0 3 1 .3 1 0 .7 4 3 0 .2 5 7 1 5 .6 0
2 5 .0 0 3 1 .6 9 0 .7 4 5 0 .2 5 5 1 5 .6 5
2 5 .2 0 3 2 .0 6 0 .7 4 7 0 .2 5 3 1 5 .7 0
2 5 .4 0 3 2 .4 5 0 .7 4 9 0 .2 5 1 1 5 .7 5
2 5 .6 0 3 2 .8 3 0 .7 5 1 0 .2 4 9 1 5 .8 0
2 5 .8 0 3 3 .2 2 0 .7 5 3 0 .2 4 7 1 5 .8 5
2 6 .0 0 3 3 .6 2 0 .7 5 5 0 .2 4 5 1 5 .9 0
2 6 .2 0 3 4 .0 2 0 .7 5 7 0 .2 4 3 1 5 .9 4
2 6 .4 0 3 4 .4 2 0 .7 5 9 0 .2 4 1 1 5 .9 8
2 6 .6 0 3 4 .8 3 0 .7 6 1 0 .2 3 9 1 6 .0 2
2 6 .8 0 3 5 .2 5 0 .7 6 3 0 .2 3 7 1 6 .0 6
2 7 .0 0 3 5 .6 6 0 .7 6 5 0 .2 3 5 1 6 .1 0
2 7 .2 0 3 6 .0 9 0 .7 6 7 0 .2 3 3 1 6 .1 4
2 7 .4 0 3 6 .5 0 0 .7 6 9 0 .2 3 1 1 6 .1 8
2 7 .6 0 3 6 .9 4 0 .7 7 1 0 .2 2 9 1 6 .2 2
2 7 .8 0 3 7 .3 7 0 .7 7 3 0 .2 2 7 1 6 .2 6
2 8 .0 0 3 7 .8 1 0 .7 7 5 0 .2 2 5 1 6 .3 0
2 8 .2 0 3 8 .2 5 0 .7 7 7 0 .2 2 3 1 6 .3 4
2 8 .4 0 3 8 .7 0 0 .7 7 9 0 .2 2 1 1 6 .3 8
2 8 .6 0 3 9 .1 4 0 .7 8 1 0 .2 1 9 1 6 .4 2
2 8 .8 0 3 9 .6 1 0 .7 8 3 0 .2 1 7 1 6 .4 6
2 9 .0 0 4 0 .0 6 0 .7 8 5 0 .2 1 5 1 6 .5 0
Sumber : Kebut uhan Air Tanaman, Depar t emen Per t anian, 1977
II - 51
Tabel 2. 15 Besaran Nilai Angot (Ra) dalam Evaporasi Ekuivalen (mm/hr)
Dalam Hubungannya dengan letak Lintang
LU LS
Bulan
5 4 2 0 2 4 6 8 10
Jan 13 1 4 .3 1 4 .7 15 1 5 .3 1 5 .5 1 5 .8 1 6 .1 1 6 .1
Feb 14 15 1 5 .3 1 5 .5 1 5 .7 1 5 .8 16 1 6 .1 16
M ar 15 1 5 .5 1 5 .6 1 5 .7 1 5 .7 1 5 .6 1 5 .6 1 5 .5 1 5 .3
Apr 1 5 .1 1 5 .5 1 5 .3 1 5 .3 1 5 .1 1 4 .9 1 4 .7 1 4 .4 14
M ay 1 5 .3 1 4 .5 1 4 .6 1 4 .4 1 4 .1 1 3 .8 1 3 .4 1 3 .1 1 2 .6
Jun 15 1 4 .4 1 4 .2 1 3 .9 1 3 .5 1 3 .2 1 2 .8 1 2 .4 1 2 .6
Jul 1 5 .1 1 4 .6 1 4 .3 1 4 .1 1 3 .7 1 3 .4 1 3 .1 1 2 .7 1 1 .8
Aug 1 5 .3 1 5 .1 1 4 .9 1 4 .8 1 4 .5 1 4 .3 14 1 3 .7 1 2 .2
Sep 1 5 .1 1 5 .3 1 5 .3 1 5 .3 1 5 .2 1 5 .1 15 1 4 .9 1 3 .3
Oct 1 5 .7 1 5 .1 1 5 .3 1 5 .4 1 5 .5 1 5 .6 1 5 .7 1 5 .8 1 4 .6
Nov 1 4 .8 1 4 .5 1 4 .8 1 5 .1 1 5 .3 1 5 .5 1 5 .8 16 1 5 .6
Dec 1 4 .6 1 4 .1 1 4 .4 1 4 .8 1 5 .1 1 5 .4 1 5 .7 16 16
Sumber : Kebut uhan Air Tanaman, Depar t emen Per t anian, 1 9 7 7
dimana :
Q = debit andalan, m3/det
BF = base flow, m3/det/km2
Dro = direct run off, m3/det/km2
F = catchment area, km2
i = infiltrasi, mm (diambil 0.4*Ws)
Vn = storage volume, mm
Ws = water surplus, mm
R = curah hujan bulanan, mm
EL = limit evapotranspirasi, mm
ETo = evapotranspirasi potensial, mm
E = evapotranspirasi pada bidang terbuka, mm
∆Vn = Vn - Vn-1 = storage bulanan, mm
Vn = 0,50 (1 + K) i + K(Vn-1)
K = koefisien infiltrasi = 0,60
II - 53
menjadi aliran permukaan dan sebagian lagi akan meresap masuk kedalam tanah.
Infiltrasi air akan menjenuhkan tanah permukaan dan kemudian air akan
merambat menjadi perkolasi dan keluar menuju sungai sebagai aliran dasar.
Tampungan yang telah mendapat tambahan air perkolasi disebut tampungan akhir
air tanah (end storage groundwater). Pada bulan selanjutnya tampungan akhir ini
akan menjadi tampungan awal dan seterusnya setelah ditambah air perkolasi
II - 54
menjadi tampungan akhir. Proses ini terjadi terus menerus sebagai fungsi waktu.
Bila kondisi tampungan memungkinkan maka tampungan ini akan menjadi aliran
air tanah.
Tampungan awal ditentukan secara coba-coba. Sementara tampungan awal bulan
berikutnya dihitung dengan rumus :
BSG i-1 = ESGi – GWFi ............................... Rumus 2. 106
dimana :
BSG i-1 = tampungan awal bulan ke i;
ESGi = tampungan akhir bulan ke-i
GWFi = aliran air tanah bulan ke -i
PENGUAPAN PELUHAN II - 55
(EVAPOTRANSPIRASI)
HUJAN
(RAINFALL)
KELEBIHAN
KELENGASAN ALIRAN LANGSUNG
(RECHARGE) (RUNOFF)
TAM PUNGAN KELENGASAN
(M OISTURE STORAGE)
Gambar 2. 4 Diagram Model Hujan-Limpasan NRECA
Metode NRECA dapat digunakan untuk menghitung debit harian dari hujan
berdasarkan keseimbangan air di DAS.
Tabel 2. 16 Nilai parameter NRECA
No Parameter Keterangan
1. NOMINAL 100 + C * (hujan tahunan rata-rata), dimana
C = 0.2, untuk daerah dengan hujan sepanjang tahun
C < 0.2, untuk daerah dengan hujan musiman
Hujan NOMINAL dapat dikurangi hingga 25 % untuk daerah
dengan tetumbuhan terbatas dan penutup tanah yang tipis
2. PSUB PSUB = 0.5, untuk daerah tangkapan hujan normal / biasa
0.5 < PSUB = 0.9, untuk daerah dengan akuifer permeable
besar.
0.3 = PSUB < 0.5, untuk daerah dengan akuifer lapisan tanah
yang tipis.
3. GWF GWF = 0.5, untuk daerah tangkapan hujan yang normal/ biasa
0.5 < GWF = 0.8, untuk daerah yang memiliki aliran menerus
kecil.
0.2 = GWF < 0.5, untuk daerah yang memiliki aliran yang
dapat diandalkan.
II - 56
Data masukan yang diperlukan dari model hujan limpasan NRECA sebagai
berikut:
1. Hujan kawasan harian dari suatu DAS
2. Evapotranspirasi potensial bulanan dari DAS (PET)
3. Kapasitas tampungan kelengasan (NOM)
4. Persentasi limpasan yang keluar dari DAS di sub surface (PSUB)
5. Persentasi limpasan tampungan air tanah menuju ke sungai (GWF)
6. Nilai awal dari tampungan kelengasan tanah (SMS) dan air tanah (GWS),
7. Faktor Tanaman (CF).
Model NRECA dikalibrasi dengan cara konvensional Trial & Error terhadap debit
aktual di lapangan. Karena data debit aktual lapangan tidak ada, maka tidak
dilakukan kalibrasi.
II - 57
Acuan perhitungan kebutuhan air domestik dalam liter per orang per hari
(l/org/hari) sesuai dengan kategori kota terhadap jumlah penduduk mengacu pada
standar yang dikeluarkan oleh Departemen Kimpraswil tahun 2003 sesuai tabel
berikut :
Kat egor i Kot a Jumlah Penduduk (jiwa) Kebut uhan (l/or g/hr )
M et r opolit an > 1 ,0 0 0 ,0 0 0 150 - 210
Besar 5 0 0 ,0 0 0 - 1 ,0 0 0 ,0 0 0 120 - 150
Sedang 1 0 0 ,0 0 0 - 5 0 0 ,0 0 0 100 - 120
Kecil 2 0 ,0 0 0 - 1 0 0 ,0 0 0 90 - 100
Semi Ur ban 3 ,0 0 0 - 2 0 ,0 0 0 60 - 90
Rur al < 3 ,0 0 0 30 - 60
Sumber : Dit jen Cipt a Kar ya Dep. Kimpr aswil 2 0 0 3
Kebutuhan air niaga dalam kajian ini ditinjau dari sektor kebutuhan air untuk
ternak dan diproyeksikan meningkat dari tahun ke tahun pada lokasi kajian
ditingkat distrik (kecamatan). Jenis ternak yang berpotensi untuk dikembangkan
pada daerah kajian adalah sapi, kambing, babi, ayam dan bebek. Persamaan yang
dipakai untuk proyeksi pertumbuhan populasi ternak adalah :
dimana :
F = Populasi ternak pada tahun ke-n (ekor)
P = Populasi ternak pada awal proyeksi (ekor)
i = laju pertumbuhan ternak
n = periode proyeksi (tahun)
Acuan perhitungan kebutuhan air untuk ternak dalam liter per ekor per hari
(l/ekor/hari) sesuai tabel berikut (Environmental Engineering in Developing
Countries, Eli Dahi 1989) :
II - 58
Tabel 2. 18 Standar Kebutuhan Air Ternak
dimana :
F = Populasi nelayan pada tahun ke-n (orang)
P = Populasi nelayan pada awal proyeksi (orang)
i = laju pertumbuhan nelayan
n = periode proyeksi (tahun)
Perhitungan kebutuhan air untuk industri ikan/udang beku adalah 3.75 m3/ton
ikan. Nilai ini dihitung berdasarkan ukuran kontainer pembeku ikan (cool storage)
0.3m x 0.4m x 0.5m dengan kapasitas sebesar 8 kg ikan/udang beku per kontainer.
2.5.4. Kebutuhan Air Sarana Prasarana
Kebutuhan air sarana prasarana diproyeksikan berdasarkan jumlah infrastruktur
yang ada di lokasi kajian antara lain sarana kesehatan, sarana ibadah, kantor
II - 59
pemerintah, barak pegawai, wisma tamu PEMDA dan sarana pendidikan. Untuk
sarana kesehatan kebutuhan airnya dihitung berdasarkan kapasitas daya tampung
pasien. Untuk sarana ibadah kebutuhan airnya dihitung berdasarkan kapasitas
jamaah. Untuk kantor pemerintah kebutuhan airnya dihitung berdasarkan jumlah
pegawai. Untuk barak pegawai dan wisma PEMDA kebutuhan airnya dihitung
berdasarkan kapasitas tampung penghuni. Untuk sekolah kebutuhan airnya
dihitung berdasarkan jumlah murid.
Acuan perhitungan kebutuhan air untuk sarana prasarana dalam liter per orang per
hari (l/org/hari) sesuai tabel berikut (Environmental Engineering in Developing
Countries, Eli Dahi 1989) :
(1) Umum
Kebutuhan air untuk tanaman dihitung untuk menentukan neraca air guna
dibandingkan terhadap ketersediaan air yang ada untuk kepentingan pertanian.
Oleh karenanya, untuk analisa neraca air dalam pekerjaan ini digunakan metode
yang sama dengan metode perhitungan kebutuhan besarnya air irigasi (NFR)
seperti yang tercantum dalam Buku Kriteria Perencanaan irigasi, Dep. Pekerjaan
Umum, Th,. 1986.
II - 60
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam analisis ini adalah evapotranspirasi,
perkolasi, curah hujan efektif, pola dan waktu tanam, koefisien tanaman serta
penggantian lapisan air.
(2) Perkolasi
Pada daerah-daerah rendah (low land) dimana kondisi air tanahnya relatif dangkal
dan atau bahkan lahannya tergenang, mengingat kondisi tanahnya, umumnya
besarnya perkolasi (setelah) diambil sama dengan 2~3 mm/hari. Untuk itu dalam
analisa neraca air pada pekerjaan perencanaan ini besarnya perkolasi pada daerah
kajian diambil sama dengan 3 mm/hari
dimana :
Re = hujan efektif (mm/hari)
R80 = jumlah curah hujan setengah bulanan yang terpenuhi 80% dari waktu
dalam periode yang bersangkutan (mm)
n = jumlah data curah hujan setengah bulanan
II - 61
R50 = jumlah curah hujan tengah bulanan yang terpenuhi 50% dari
waktu dalam periode yang bersangkutan (mm)
n = jumlah data curah hujan setengah bulanan
Eto = evapotranspirasi (mm/hari)
D = kedalaman muka air tanah yang diperlukan (mm)
Nilai D pada beberapa jenis tanaman dapat dilihat pada tabel berikut :
II - 63
Adapun guna keperluan analisa neraca air sendiri dalam dalam perencanaan ini
dipergunakan formula sebagai berikut :
Penentuan besaran nilai koefisien tanaman dapat dilihat pada tabel berikut:
II - 64
Sumber : KP-01 Perencanaan Irigasi, Dep. PU 1986
II - 65
Sumber : VT. Chow, 1988
Gambar 2. 5 Ilustrasi zona tampungan pada reservoir multiguna
Dead Storage
Zona ini disebut tampungan mati yang berfungsi untuk menyediakan tempat untuk
sedimen, rekreasi dan populasi ikan. Air yang akan didistribusikan dari embung
tidak berasal dari zona ini, kecuali proses alam seperti evaporasi dan bocoran.
II - 66
Pola operasi embung meliputi penggunaan kapasitas tampungan dan pengaturan
penyaluran air dengan berbagai tinjauan baik dari segi tujuan kegiatan,
penggunaan air dan periode waktu penggunaan. Pada prinsipnya rencana pola
operasi embung akan memberikan panduan kepada setiap pengelola embung
dalam mengoperasikan embung.
Ai+ 1 h i+ 1
Ai hi
Vi
Vcum = Vi +
(hi+1 − hi ) [A + A i+1 + A i ⋅ A i+1 ]
i ..................... Rumus 2. 119
3
dimana :
Vcum : Volume pada elevasi hi+1 (m3)
Vi : Volume pada elevasi hi (m3)
hi+1 : Elevasi kontur atas (m)
hi : Elevasi kontur bawah (m)
II - 67
Ai : Luas permukaan pada elevasi hi (m2)
Ai+1 : Luas permukaan pada elevasi hi+1 (m2)
Dari elevasi, luas permukaan dan volume tersebut dapat dibuat grafik sebagai
acuan untuk interpolasi pada perhitungan water balance.
dimana :
St : Storage pada akhir bulan ke t (m3)
St-1 : Storage pada pada akhir bulan sebelumnya sebagai storage pada awal
bulan berikutnya (m3)
It : Inflow bulanan ke dalam embung (m3)
Y.dt : Kebutuhan bulanan (m3)
Y : Kebutuhan air rata-rata tahunan (m3)
dt : Demand factor (faktor kebutuhan air bulanan)
At.et : Kehilangan air akibat evaporasi bulanan (m3)
At : Luas permukaan rata-rata genangan (m2)
et : Evaporasi bulanan (m')
St : Tampungan bulanan (m3)
Qt : Limpasan bulanan melalui spillway (m3)
Masukan air ke embung yang diperhitungkan dalam kajian ini hanya air sungai.
Sedangkan kehilangan air akibat evaporasi (At.et) merupakan kehilangan yang
signifikan sebagai fungsi dari luas permukaan genangan rata-rata. Kehilangan lain
berupa berupa bocoran yang melalui tubuh embung dan infiltrasi ke dalam tanah
tidak diperhitungkan (diabaikan).
II - 68
Untuk perhitungan water balance ini, maka nilai St diperoleh dengan cara coba-
coba dan di rata-rata dengan St-1 sesuai persamaan berikut :
⎛ S + St ⎞
S t = ⎜ t −1 ⎟ ............................... Rumus 2. 121
⎝ 2 ⎠
Nilai St rata-rata ini digunakan untuk mencari nilai At dengan cara interpolasi dari
Grafik hubungan Elevasi-Luas Permukaan-Volume. Lalu nilai At dimasukkan
kedalam persamaan water balance di atas dan di-check apakah sudah tercapai
keseimbangan. Apabila belum tercapai keseimbangan, maka terus dilakukan
iterasi sedemikian rupa sehingga persamaan water balance diatas terpenuhi
keseimbangannya.
Dalam kajian ini, maka akan disimulasikan penggunaan embung untuk banyak
tujuan yaitu suplai air domestik, niaga, industri, sarana prasarana, irigasi dan
maintenance flow.
Adanya inflasi menyebabkan daya beli sejumlah uang pada saat ini lebih tinggi
dari pada daya beli uang tersebut di masa yang akan datang. Keadaan penurunan
nilai uang terhadap barang di masa datang disebut sebagai time preference. Inflasi
hanya berpengaruh pada lingkup komponen dalam suatu proyek, terutama
kaitannya dengan peralatan maupun material industri yang di impor dari luar
negeri. Dalam lingkup keseluruhan analisis ekonomi teknik, inflasi tidak
diperhitungkan karena bila terjadi kenaikan cost maka benefit juga akan ikut naik.
II - 70
Bunga uang yang digunakan untuk menghitung nilai waktu uang agar daya beli
uang tersebut akan kurang lebih sama antara daya beli sekarang dengan daya
belinya pada saat yang akan datang. Bunga adalah sejumlah uang yang dibayarkan
oleh peminjam, untuk uang yang dipinjamkan kepada pemilik uang tersebut. Nilai
bunga (rate of interest) adalah nilai bunga yang ditentukan berdasarkan jumlah
uang yang dipinjamkan per-satuan waktu misalnya per-tahun. Nilai bunga
tergantung pada waktu kapan pinjaman diberikan, formula dasar untuk
perhitungan nilai uang masa yang akan datang, nilai uang setelah discount dan
nilai seri seragam dapat terlihat seperti pada Tabel.2.22.
II - 71
Tabel 2. 22 Faktor-Faktor Pemajemukan Bunga
Single-payment compound-amount
2 F P (F/P,i%, n) F = P (F/P,i%, n) F = P(1 + i)n
(SPCAF)
⎡ i(1 + i)n ⎤
4 A P (A/P, i%, n) A = P (A/P, i%, n) A = P⎢ ⎥ Capit al-r ecover y (CRF)
⎣ (1 + i) − 1⎦
n
⎡ i ⎤
5 A F (A/F, i%, n) A = F (A/F, i%, n) A = F⎢ ⎥ Sinking-fund (SF)
⎣(1 + i) − 1⎦
n
Not es :
i : int er est r at e
n : per iod
A : unifor m ser ies
F : fut ur e wor t h
P : pr esent wor t h
II - 72
2.9. Indikator Kelayakan Ekonomi
Proyek-proyek publik adalah proyek-proyek yang dikuasai, dibiayai, dan
dioperasikan oleh badan-badan pemerintah. Terdapat banyak macam pekerjaan
publik, dan walaupun pekerjaan tersebut ukurannya dapat bermacam-macam,
pekerjaan-pekerjaan ini sering kali lebih besar daripada perusahaan-perusahaan
swasta. Karena memerlukan pengeluaran modal, maka terhadap proyek-proyek
tersebut dikenakan juga prinsip-prinsip ekonomi teknik sehubungan dengan
desain, akuisisi dan operasinya. Akan tetapi karena merupakan proyek, sejumlah
faktor khusus penting yang muncul biasanya tidak ditemukan dalam bisnis yang
dibiayai dan dioperasikan oleh swasta. Perbedaan-perbedaan antara proyek-
proyek publik dan swasta dapat dilihat dalam tabel berikut (E. Paul DeGarmo Cs,
1999).
II - 73
Sebagai konsekuensi dari perbedaan-perbedaan itu, sering kali sulit untuk
membuat studi ekonomi teknik dan keputusan investasi untuk proyek-proyek
pekerjaan publik secara persis sama dengan proyek-proyek yang dimiliki oleh
swasta. Kriteria pemilihan yang berbeda sering kali digunakan, yang menciptakan
masalah-masalah terhadap masyarakat (yang membayar rekening), terhadap
mereka yang membuat keputusan, dan terhadap mereka yang mengelola proyek-
proyek pekerjaan publik.
II - 74
pengorbanan konsumsi sekarang dalam rangka memperoleh benefit di masa yang
akan datang.
Metode NPV membandingkan semua komponen biaya dan manfaat dari suatu
usulan alternatif pada acuan yang sama, sehingga dapat diperbandingkan satu
dengan lainnya. Dalam hal ini yang digunakan adalah besaran netto (setelah
diskon) dan secara matematis diformulasikan seperti pada rumus 2.122.
n
Bt n
Ct n
B t − Ct
NPV = ∑ (1 + i)
t =0
t
− ∑ (1 + i)
t =0
t
= ∑ ...............................
t = 0 (1 + i)
t Rumus 2. 122
dengan:
Bt = Besaran total dari komponen manfaat pada tahun ke n (PV manfaat)
Ct = Besaran total dari komponen biaya pada tahun ke n (PV biaya)
i = Tingkat suku bunga
n = Waktu yang ingin dicari
Dari persamaan tersebut maka NPV merupakan selisih antara total PV manfaat
dan total PV biaya, untuk menghitung nilai sekarang terlebih dulu ditentukan
tingkat bunga relevan. Suatu rencana rencana proyek dianggap layak jika nilai
NPV lebih besar dari nol dan sebaliknya bila nilai NPV lebih kecil dari nol maka
dianggap tidak layak.
Metode rasio manfaat biaya (Benefit Cost Ratio, BCR) diperoleh dengan
membandingkan nilai PV manfaat dengan PV biaya. Jika hasil perhitungan
II - 75
diperoleh BCR lebih besar dari satu (B/C > 1) maka rencana proyek dikatakan
layak tetapi jika BCR yang diperoleh lebih kecil dari satu (B/C < 1) maka rencana
proyek dinyatakan tidak layak.
Dalam perhitungan ini digunakan rumus 2.123, dengan pembilang adalah jumlah
PV arus benefit (bruto) dan penyebut adalah jumlah PV arus biaya (bruto).
Dengan demikian diperoleh:
n
B t
∑ (1 + i) t
BCR = t =0
n
............................... Rumus 2. 123
Ct
∑
t =0 (1 + i) t
dengan:
Bt = Besaran total dari komponen manfaat pada tahun ke n (PV manfaat)
Ct = Besaran total dari komponen biaya pada tahun ke n (PV biaya)
i = Tingkat suku bunga
n = Waktu
II - 76
Bila tingkat bunga EIRR lebih besar daripada tingkat bunga yang relevan atau
tingkat kelayakan yang disyaratkan, maka investasi dinyatakan layak dan
demikian pula sebaliknya bila lebih kecil daripada tingkat kelayakan yang
disyaratkan, maka dinyatakan tidak layak. Biasanya tingkat bunga yang
disyaratkan berdasarkan suku bunga pinjaman perbankan yang berlaku di pasaran
(Opportunity Cost of Capital).
Pada biaya dan manfaat tahunan konstan perhitungan EIRR dapat dilakukan dengan
dasar tahunan tetapi bila tidak konstan maka dilakukan dengan dasar nilai sekarang
(present value) yang dihitung dengan cara coba-coba (trial and error)
menggunakan rumus 2.124
NPV1
L2
i1 i2
L1
NPV2
EIRR = i1 + L1
NPV1 ............................... Rumus 2. 124
= i1 + x (i2 − i1 )
NPV1 − NPV2
dengan:
NPV1=NPV bernilai positif
NPV2=NPV bernilai negatif
i1=Suku bunga pertama
i2=Suku bunga kedua
II - 77
Perbedaan antara IRR dengan EIRR adalah penggunaan istilah IRR berlaku secara
umum dan dipakai dalam menganalisis kelayakan ekonomi yang bersifat tangible
maupun intangible sedangkan EIRR lebih kepada analisis yang bersifat intangible
dan berlaku untuk analisis lingkup tertentu saja.
Analisa sensitivitas dilakukan dengan mengubah nilai dari suatu parameter pada
suatu saat untuk selanjutnya dilihat bagaimana pengaruhnya terhadap
akseptabilitas suatu alternatif investasi. Parameter-parameter yang biasanya
berubah dan perubahannya bisa mempengaruhi keputusan-keputusan dalam kajian
ekonomi teknik adalah biaya investasi, tingkat bunga, aliran kas, waktu, dan lain
sebagainya.
II - 78
2.11. Penyusunan Kebijakan Strategis Dengan Analisis SWOT
Analisis perencanaan strategis merupakan hal yang sangat penting karena setiap
saat terjadi perubahan akibat dinamisasi antara lain peningkatan inflasi, penurunan
tingkat pertumbuhan ekonomi, perubahan teknologi yang semakin canggih, dan
perubahan kondisi demografis.
II - 79
Tahap 4 : Evaluasi pilihan alternatif dan pilih alternatif yang terbaik.
Caranya dengan membahas sisi pro maupun kontra.
II - 80
DIAGRAM ANALISIS SWOT
BERBAGAI PELUANG
KUADRAN IV KUADRAN II
BERBAGAI ANCAM AN
Kuadran 3 : Daerah menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi di lain
pihak, ia menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi daerah
ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal daerah sehingga dapat
merebut peluang pasar yang lebih baik.
II - 81
Kuadran 4 : Ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, daerah
tersebut menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal.
Model yang dipakai pada tahap ini terdiri dari tiga, yaitu:
Matrik Faktor Strategi Eksternal
Matrik Faktor Strategi Internal
II - 82
2.11.4. Matrik Faktor Strategi Eksternal
Sebelum membuat matrik faktor strategi eksternal, kita perlu mengetahui terlebih
dahulu faktor strategi eksternal EFAS (External Strategic Factors Analysis
Summary). Jika perencana strategi telah menyelesaikan analisis faktor-faktor
strategis eksternalnya (peluang dan ancaman), ia juga harus menganalisis faktor-
faktor strategis internal (kekuatan dan kelemahan) dengan cara yang sama. Jadi,
sebelum strategi diterapkan, perencana strategi harus menganalisis lingkungan
eksternal untuk mengetahui berbagai kemungkinan peluang dan ancaman.
Masalah strategis yang akan dimonitor harus ditentukan karena masalah ini
mungkin dapat mempengaruhi kemajuan daerah di masa yang akan datang. Untuk
itu penggunaan metode-metode kuantitatif sangat dianjurkan untuk membuat
peramalan (forecasting) dan asumsi, seperti ekstrapolasi, brainstorming, statistical
modelling, riset operasi, dan sebagainya.
II - 83
a) Struktur Organisasi Daerah
Struktur organisasi daerah dapat menggambarkan kelebihan maupun kekurangan
serta potensi yang dimiliki oleh daerah. Struktur organisasi ini merupakan
kekuatan internal daerah yang bersangkutan.
b) Budaya daerah
Budaya daerah merupakan kumpulan nilai, harapan serta kebiasaan masyarakat di
daerah tersebut, yang pada umumnya tetap dipertahankan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Para pengambil keputusan harus ekstra hati-hati dalam mempertimbangkan
budaya daerah ini saat menganalisis faktor strategis internal karena kadang-
kadang faktor strategis internal tersebut bertentangan dengan budaya daerah yang
ada sehingga kurang mendapat dorongan dan dukungan dari masyarakat.
2. Tahap Analisis
Setelah mengumpulkan semua informasi yang berpengaruh terhadap
kelangsungan perkembangan daerah, tahap selanjutnya adalah memanfaatkan
semua informasi tersebut dalam model-model kuantitatif perumusan strategi.
Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis daerah adalah Matrik
SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan
ancaman eksternal yang dihadapi daerah dapat disesuaikan dengan kekuatan dan
kelemahan yang dimilikinya. Matrik ini dapat menghasilkan empat set
kemungkinan alternatif strategis.
II - 84
M ODEL M ATRIX SWOT
EFAS
PELUANG / STRATEGI SO STRATEGI WO
OPPORTUNITIES (O)
Tent ukan 5 -1 0 Cipt akan st r at egi yang Cipt akan st r at egi yang
fakt or peluang menggunakan kekuat an meminimalkan
ekst er nal unt uk memanfaat kan kelemahan unt uk
peluang memanfaat kan peluang
a) Strategi SO
Strategi ini dibuat berdasarkan program pengembangan daerah yang sudah ada,
yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan
peluang sebesar-besarnya.
b) Strategi ST
Ini adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki daerah untuk
mengatasi ancaman.
c) Strategi WO
Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara
meminimalkan kelemahan yang ada.
II - 85
d) Strategi WT
Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha
meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah alat yang fleksibel, simpel dan mampu
dipergunakan dalam menganalisis suatu masalah yang memiliki kriteria atau
atribut yang kompleks yang menyebabkan pemilihan alternatif menjadi sulit. AHP
berguna karena kemampuannya dalam menghadapi situasi kompleks tersebut
melalui prosedur bagi pemilihan alternatif yang sulit dari suatu rencana,
II - 86
kebijaksanaan atau tindakan. Metode ini berlangsung dengan penilaian yang
dilakukan oleh pengambil keputusan berdasarkan ukuran-ukuran yang telah
ditetapkan untuk mengevaluasi alternatif tersebut.
Prosedur AHP dimulai dengan mengidentifikasi tujuan dan memberi prioritas bagi
elemen-elemen pengambilan keputusan. Elemen-elemen ini termasuk alternatif
tindakan dan kriteria atau atribut yang dipergunakan untuk memberi tingkat
prioritas. Proses penyusunan elemen-elemen tersebut dan hubungannya dikenal
sebagai struktur hirarki. Struktur berupa hirarki karena elemen pengambilan
keputusan dapat terdiri dari tingkat yang berbeda-beda.
Secara garis besar prosedur AHP dilakukan dalam empat langkah yaitu :
II - 87
2. Melakukan pembobotan alternatif
Pembobotan alternatif ini diperlukan untuk mengetahui bagaimana kondisi setiap
alternatif yang ada dilihat dari kriteria-kriteria yang ada. Untuk keperluan tersebut
perlu dibuat matriks profil yang memuat penilaian bagi tiap alternatif terhadap
masing-masing kriteria.
4. Memeriksa konsistensi
Karena pengukuran yang dilakukan tidak eksak, maka akan muncul ketidak
konsistenan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengecekan tentang konsistensi
penilaian yang dilakukan. Bapak Teori AHP, Thomas L. Saaty telah mensyaratkan
batas konsistensi hingga sebesar 10%. Jika rasio inkonsistensi melebihi syarat
tersebut, maka penilaian harus diulang sampai memenuhi batas 10%.
Reciprocal, artinya perbandingan yang dilakukan bersifat timbal balik antara satu
elemen dengan elemen lain. Jika A = 4 B, maka B = ¼ A.
II - 88
Dasar matematis model AHP adalah operasi matrik, yang dirumuskan secara
umum sebagai berikut :
Kr it er ia A1 A2 … An
A2 w2 /w1 … … …
… … … … …
dimana :
A1 ... An = kriteria / sub kriteria / alternatif program
w1 ... wn = bobot dari kriteria / sub kriteria / alternatif program
Matriks tersebut memiliki nilai yang seluruhnya positif dan dapat memenuhi nilai
timbal balik aij = 1/aji yang disebut matriks resiprok (reciprocal matrix). Jika
matriks ini dikalikan dengan vektor kolom (w1,.....wn) diperoleh vektor nw, yaitu
:
II - 89
Untuk mencapai nilai w yang tak unik, nilai matrik di atas dinormalisasi dengan
cara membaginya dengan jumlah kolom masing-masing. Dengan demikian matrik
perbandingan dapat dikembalikan ke dalam skala semula. Pada kasus ini, tiap
kolom dalam A dinormalisir. Diketahui bahwa dalam A terdapat nilai aij = 1/aji
sebagai kebalikannya. Dengan demikian akan diperoleh aii = 1.
A akan konsisten jika memenuhi persamaan :
n
− ∑ λ...............................
λ max − n i Rumus 2. 127
CI = μ = = i=2
n −1 n −1
CI = Consistency Index
λmax = eigenvalue terbesar.
Untuk menguji arti konsistensi, CI dibandingkan dengan suatu nilai indeks acak
rata-rata dengan masukan acak yang dibuat dari matrik reciprocal yang
menggunakan skala 1~9 sesuai tabel berikut:
Or de M at r ix (n) 2 3 4 5 6 7 8
RI 0 0 .5 2 0 .8 9 1 .1 1 1 .2 5 1 .3 5 1 .4 0
Or de M at r ix (n) 9 10 11 12 13 14 15
RI 1 .4 5 1 .4 9 1 .5 1 1 .5 4 1 .5 6 1 .5 7 1 .5 8
Sumber : Thomas L. Saat y, 1 9 9 4
II - 90
Perbandingan antara CI dan RI untuk matriks tertentu didefinisikan sebagai Rasio
Konsistensi (CR). Nilai CR yang baik adalah yang kurang dari 0,10.
Hubungan lain yang dapat dilihat berkaitan dengan nilai eigenvalue adalah :
n wj
λ max = ∑a
j=i
ij
wi
............................... Rumus 2. 128
dengan penempatan aij =1/aji dan turunkan persamaan tersebut menjadi bentuk
sebagai berikut :
1 ⎛ 1 ⎞⎟
(λ max − 1) = ∑ ⎜ ij y ⎟
⎜ y + ............................... Rumus 2. 129
n ⎝ ij ⎠
Setiap bentuk di dalam kurung memiliki nilai minimum pada yij = 1, dan
karenanya λmax = n, mudah untuk memperlihatkan bahwa jumlah di dalam kurung
harus mencapai minimumnya pada yij = 1, yaitu aij= wi/wj, secara konsisten.
Dengan ketidak konsistenan λmax selalu lebih besar dari n.
Eigenvalue λmax untuk skala perbandingan adalah satu cara untuk menghasilkan
total pembobotan. Pengertian tentang persamaan yang mempunyai tingkat yang
berdekatan pada hirarki akan memberikan keputusan yang berbeda. Pada banyak
penggunaan lain, Saaty (1971) menyarankan satu elemen pada tingkat terendah
akan berhubungan dengan tingkat yang tertinggi. Pada penggunaan tersebut,
elemen pada tingkat tertinggi merupakan kriteria untuk penilaian relatif terhadap
elemen pada tingkat terendah. Adanya struktur hirarki adalah merupakan hal yang
penting terhadap hubungan antar tingkatan hirarki sebagaimana pada tingkatan
tersebut dilakukan penilaian.
II - 91
2.12.2. Penyusunan Hirarki Keputusan
Penyusunan hirarki dimaksudkan untuk menstruktur permasalahan yang kompleks
menjadi elemen-elemen pokok secara hirarkis. Hirarki merupakan alat dasar dari
pikiran manusia, dalam rangka menata suatu elemen ke dalam beberapa level.
Hirarki dapat dibedakan menjadi dua yakni hirarki struktural dan fungsional. Dari
bentuk struktural ini dapat dipilah menjadi bentuk liner (sederhana), dan tidak
linier.
Dalam hirarki, level 1 (puncak) disebut : tujuan / goal hirarki, yang sekaligus
merupakan tujuan diaplikasikannya model AHP atau merupakan tujuan dari studi
yang menggunakan alat AHP dalam analisis, dan karenanya level ini harus hanya
terdiri atas 1 elemen.
Pada level 2 disebut "Kriteria Utama" yang akan digunakan dalam menilai tujuan
pada level 1.
Sedangkan level 3 disebut "subkriteria".
Kecuali level 1, semua level dapat terdiri atas lebih dari satu elemen. Level paling
akhir merupakan elemen dari suatu objek masalah yang dibahas dalam suatu studi
perencanaan atau disebut "Elemen Alternatif Keputusan" yang mungkin akan
diambil.
Penyusunan hirarki dapat dilakukan oleh seorang atau beberapa orang yang
paham terhadap permasalahan yang dikaji. Perencana atau peneliti dapat
menggunakan hirarki yang telah disusun pihak lain, asalkan relevan dengan
masalah yang dikaji atau dipecahkan. Dalam hal tertentu hirarki yang disusun oleh
pihak lain, dapat dimodifikasi oleh pihak perencana / pengguna sesuai dengan
kondisi objektif di lapangan. Yang paling penting tidaklah terletak pada "siapa
penyusunnya" melainkan terletak pada "kemampuan penyusun dalam memadukan
wawasan, pengalaman, rasionalitas dengan intuisi/instinknya untuk menghasilkan
hirarki yang sahih dan handal. Namun demikian penyusun yang berasal dari pihak
pembuat keputusan yang bergabung dengan para "expert" dan pihak yang terkait
II - 92
langsung dengan masalah yang di pecahkan bila disertai empat kemampuan
tersebut di atas, merupakan penyusun hirarki yang paling efektif.
Struktur hirarki dibuat sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pada
umumnya, langkah pembuatan struktur AHP adalah sebagai berikut :
II - 93
Gambar 2. 12 Model Diagram AHP
II - 94
Sementara, bagan alir penentuan prioritas program pengelolaan sumber daya air
adalah sebagai berikut :
ANALISIS KRITERIA
Tujuan :
Kelompok kr it er ia/ sub kr it er ia yang
Kondisi daer ah kajian ber dasar kan Penyeder hanaan/pengelompokan
lebih umum, misal Teknis, Ekonomi,
kr it er ia t olok ukur yang diajukan kr it er ia t olok ukur ke dalam
Lingkungan
beber apa kr it er ia yang lebih umum
PEMBOBOTAN KRITERIA /
SUBKRITERIA
ANALISIS PRIORITAS
Ur ut an bobot pr ior it as masing-
Tujuan :
masing pr ogr am dalam t iap
Penent uan hir ar ki bobot pr ior it as Ur ut an bobot pr ior it as masing-
kelompok kr it er ia yang lebih umum
masing-masing pr ogr am masing pr ogr am dalam keselur uhan
ber dasar kan analisis t er hadap kelompok kr it er ia/ sub kr it er ia
Kelompok kr it er ia/ sub kr it er ia hasil
keselur uhan kr it er ia/ sub kr it er ia
analisis kr it er ia
ALTERNATIF PROGRAM
PENGELOLAAN SUMBER
DAYA AIR
Nilai
Skala
Dengan Definisi Ket er angan
Kepent ingan
Angka
St r ongly mor e Per lu dan kuat J elas dan nyat a fakt or t er sebut
5
impor t ant kepent ingannya lebih pent ing dar i yang lainnya
Secara umum tidak diharapkan konsistensi kardinal untuk berlaku dimana pun di
dalam matrik karena perasaan orang tidak sesuai dengan rumusan yang eksak.
Lagipula tidak diharapkan konsistensi ordinal, karena pertimbangan orang tidak
bersifat transitif. Bagaimanapun, untuk memperbaiki konsistensi dalam
pertimbangan numerik, apapun nilai aij yang ditetapkan dalam membandingkan
kegiatan i dengan kegiatan j, nilai resiproknya adalah aij. Jadi aij = 1/aji.
II - 96
Secara umum skala penilaian yang ditetapkan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
(1) Skala tersebut harus dapat menggambarkan perbedaan-perbedaan dalam
perasaan manusia ketika mereka membuat perbandingan. Skala tersebut
harus sedapat mungkin menggambarkan semua perbedaan perasaan yang
dimiliki manusia.
(2) Jika seseorang menentukan nilai-nilai skala dengan x1, x2,..., xp, maka
harus dipenuhi bahwa xi+1- xi = 1, dimana i = 1,…, p-1.
b) Pengisian Pembobotan
Pengisian ini merupakan respon dari para perencana atau pembuat keputusan atas
tingkat kepentingan relatif suatu elemen dengan elemen lainnya atau prioritas
antar elemen yang ada dijadikan kriteria dan sub-kriteria dalam pengambilan
keputusan. Sebelumnya harus diperlukan syarat bahwa responden telah mengerti
makna dan atau menyetujui hirarki yang terwujud.
Proses pengisian ini dapat dilakukan dengan metode kuesioner atau simulasi
dalam kelompok kerja. Pengisian ini pada dasarnya adalah pengisian matrik
perbandingan berpasangan dengan menggunakan skala tertentu, antara lain skala 1
sampai 9. Sebelum melangkah ke tahap berikutnya, maka nilai persepsi
perbandingan elemen berpasangan ini dirata-ratakan antara satu responden dan
responden lain dengan metode tertentu menurut keperluan, sebelum disusun ke
dalam matrik. Apabila telah berada dalam matrik, maka setiap matrik perlu
II - 97
dinormalisasikan dengan operasi matrik tertentu sebelum masuk ke dalam analisis
berikutnya.
c) Rasio Inkonsistensi
Inkonsistensi rasio adalah angka yang menunjukkan sejauh mana konsistensi
penilaian yang dilakukan. Definisi konsisten secara ilustratif adalah sebagai
berikut. Jika kita menilai program A = 3 kali lebih penting dari program B dan
program B = 2 kali lebih penting dari program C, maka penilaian akan disebut
konsisten jika kita menilai program A = 6 kali lebih penting dari program C. Kita
mendapat nilai 6 dengan mengalikan nilai 3 dan 2.
Inkonsistensi rasio ini sangat penting mengingat penilaian yang kita lakukan
jarang sekali konsisten, terutama ketika penilaian tersebut bersifat intangible,
tidak mempunyai skala penilaian yang jelas. Tetapi tentunya sulit untuk menuntut
100 % konsisten karena dalam dunia nyata, kekonsistenan itu juga tidak selalu
terjadi.
Thomas L. Saaty, Bapak Teori AHP, telah mensyaratkan rasio inkonsistensi tidak
boleh lebih dari 0,1 (10%). Jika nilainya melebihi 0,1 berarti melebihi batas
toleransi sehingga perbandingan harus diubah sehingga memenuhi syarat.
II - 98