Anda di halaman 1dari 112

:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105

Universitas Narotama Surabaya


Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

DAFTAR ISI

Vunieta 145
Perlindungan Hukum Terhadap Emiten Atas Cidera Janji Pada Perjanjian Full Commitment

David Setiyawan 155


Status Hukum Wajib Pajak Warga Negara Indonesia Yang Tinggal Menetap Di Luar Negeri

Raditya Afrisal Hidayat dan Mochamad Eko Budi Dharmawan 170


Pengelolaan Sumber Daya Alam Minyak Dan Gas Berkaitan Dengan Penanaman
Modal Asing Di Indonesia

Kuwido Prahoro dan Trisadini Prasastinah Usanti 193


Tanggung Gugat Dalam Transaksi Melalui Internet Banking

Tutiek Retnowati dan Sandra Novialita 206


Tanggung Gugat Pengembang Apartemen Yang Menjual Apartemen Yang Masih Belum
Mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan

Evi Retno Wulan 216


Urgensi Asas Subyek Teritorial Pada Pemberantasan Kejahatan Siber

Suwardi dan Arief Dwi Atmoko 229


Pembaharuan Hukum Agraria Di Indonesia

Widyawati Boediningsih dan Evan Wijaya 245


Penerapan Pembatasan Yudisial (Judicial Restraint) Bagi Pelaku Lgbt
( Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-Xiv/2016)
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP EMITEN ATAS CIDERA


JANJI PADA PERJANJIAN FULL COMMITMENT
Vunieta
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga
Email: vunietavv@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini digunakan untuk menemukan kepastian hukum melalui perlindungan
hukum yang dapat dimiliki ketika terdapat perjanjian kesanggupan penuh antara
Penjamin Emisi Efek dan Emiten yang dilanggar oleh Penjamin Emisi Efek ketika tidak
seluruh efek habis terjual. Penulisan penelitian ini dibuat secara yuridis normatif dengan
pendekatan perUndang-Undangan dan pendekatan konseptual sesuai dengan isu hukum
yang diangkat. Melalui penelitian ini diketahui bahwa perjanjian kesanggupan penuh
bila tidak dijalankan oleh Penjamin Emisi Efek, memiliki konsekuensi hukum layaknya
ketika cidera janji pada umumnya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Oleh karena demikian diperlukan upaya preventif yang lebih kongkrit agar
tidak terjadi cidera janji oleh Pejamin Emisi Efek sebagai bentuk perlindungan hukum
yaitu dengan menjamin kredibilitas penjamin melalui perbaharuan ijin setiap tahunnya.

Kata Kunci: Cidera Janji, Perjanjian Kesanggupan Penuh, Perlindungan Hukum

ABSTRACT
This research is aimed to find legal certainty through legal protection when there was a
full commitment agreement between Underwriter and Issuer, that is breached by
Underwriter since not all share had been sold. This research is normative juridical
research through a regulatory approach and conceptual approach with the legal problem.
Through this research, we will know, when the full commitment agreement has not
fulfilled by Underwriter, have legal consequences as a breach of contract which is
regulated in Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Therefore, it needs preventive legal
effort, to prevent the breach of contract by Underwriter as to the legal protection,
through the guarantee of the credibility by renewal permission as Underwriter in every
year.

Keyword: Breach of Contract, Full Commitment Agreement, Legal Protection

PENDAHULUAN
Kelembagaan pasar modal dibawahi oleh Menteri Keuangan dan dibantu oleh
Otoritas Jasa Keuangan dalam melakukan pengawasannya. Dibawahnya terbagi menjadi
tiga yang merupakan SRO atau Self Regulatory Organization yang didalamnya dikenal
dengan adanya Perusahaan Efek. Salah satu kegiatan dari perusahaan efek ini adalah
sebagai penjamin emisi efek. Perusahaan atau dalam hal ini adalah Emiten tentunya
tidak menginginkan dalam pelaksanaan penawaran umum timbul keraguan apakah efek
yang dilepas ke pasar terjual habis atau tidak. Bila setelah dilepas ke pasar tidak terjual
habis, maka ini merupakan bencana bagi perusahaan, hal mana selain mengakibatkan
kerugian sebab dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan tidak dapat ditarik kembali, juga
akan menjatuhkan reputasi perusahaan.

145
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Otoritas Jasa Keuangan yang menggantikan peran Bapepam-LK juga telah


menerbitkan peraturan mengenai izin penjamin emisi dan perantara pedagang efek
untuk meningkatkan kualitas pelaku usaha bidang itu melalui penerbitan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut dengan POJK). Tujuan penerbitan POJK
itu adalah untuk meningkatkan kualitas Penjamin Emisi Efek (PEE) dan atau Perantara
Pedagang Efek (PPE) antara lain melalui peningkatan tata kelola yang baik,
peningkatan kualitas kepemilikan, pengendalian dan kepengurusan. Sehingga dengan
adanya penjaminan emisi efek yang dilakukan diharapkan memberikan perlindungan
dalam transaksi yang dilakukan oleh Emiten ketika masuk dalam pasar perdana.
Komitmen dan hal-hal lain yang berkenaan dengan emisi saham tersebut
dituangkan dalam suatu agreement yang lazim disebut dengan Perjanjian Penjaminan
Emisi Efek. Perjanjian ini dibuat antara pihak emiten dengan pihak Perusahaan
Penjamin Emisi.1 Terdapat 4 (empat jenis kontrak yang dikenal antara lain best effort
commitment, full commitment, standby commitment, all or none commitment). Berbagai
macam bentuk perjanjian yang ditawarkan oleh perusahaan efek dalam melakukan
penjaminan emisi efek tersebut untuk menarik kepercayaan dari emiten agar
menggunakan jasanya. Sehingga cukup banyak yang menggunakan perjanjian
penjaminan emisi efek dengan full commitement. Dengan perjanjian penjaminan
tersebut tentunya harus dituangkan dalam prospektus dan sesuai dengan Pasal 39
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (untuk selanjutnya disebut
dengan UU PM) bahwa Penjamin Emisi Efek wajib mematuhi semua ketentuan dalam
kontrak penjaminan emisi Efek sebagaimana dimuat dalam Pernyataan Pendaftaran.
Akan tetapi hingga saat ini tidak secara tegas menjelaskan apabila underwriter
tidak membeli sisa efek yang tidak terjual. Sehingga timbul permasalahan yaitu
bagaimana pertanggungjawaban hukum underwriter terhadap emiten atas pelanggaran
tersebut beserta akibat hukumnya. Sehingga perlu ditelaah lebih lanjut mengenai
perlindungan hukum apa yang dapat diajukan oleh emiten ketika terjadi cidera janji oleh
penjamin emisi efek. Sehingga menjadi hal penting untuk penulis mengangkat judul
Perlindungan Hukum Terhadap Emiten Dalam Cidera Janji Pada Perjanjian Full
Commitment.

METODOLOGI PENELITIAN
Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif
yang dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis masalah hukum yang ada.
Penggunaan metode penelitian normatif ditunjang melalui pendekatan peraturan
perUndang-Undangan dengan menelaah peraturan perUndang-Undangan terkait, dan
pendekatan konseptual melalui pemahaman dengan memperdalam asas-asas dan
doktrin-doktrin para sarjana yang diimplementasikan dan relevan dengan penulisan ini.

PEMBAHASAN

1. Akibat Hukum Cidera Janji dalam Perjanjian Full Commitment


Dalam menjalankan fungsinya, pasar modal dibagi menjadi tiga macam, yaitu
pasar perdana, pasar sekunder, dan bursa paralel. Pasar perdana adalah penjualan
perdana efek atau penjualan efek oleh perusahaan yang menerbitkan efek sebelum efek

1
Mieke Yustia Ayu Ratnasari, Hubungan Hukum Dalam Perjanjian Emisi Saham
Antara Penjual Saham Dan Pembeli Saham Dalam Pasar Modal Indonesia, Bangka
Belitung: Jurnal Ilmiah Universitas Bangka Belitung, 2012, h. 2.
146
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

tersebut dijual melalui bursa efek. Pada pasar perdana, efek dijual dengan harga emisi,
sehingga perusahaan yang menerbitkan emisi hanya memperoleh dana dari penjualan
tersebut. Kedua, pasar sekunder adalah penjualan efek setelah penjualan pada pasar
perdana berakhir. Pada pasar sekunder ini harga efek ditentukan berdasarkan kurs efek
tersebut. Naik turunnya kurs suatu efek ditentukan oleh daya tarik menarik antara
permintaan dan penawaran efek tersebut. Pasar sekunder atau juga dikenal dengan
istilah secondary market adalah merupakan pasar keuangan yang digunakan untuk
memperdagangkan sekuritas yang telah diterbitkan dalam penawaran umum perdana.
Dalam perjanjian penjaminan emisi efek, emiten akan memberikan kuasa
kepada penjamin emisi untuk menjual efek atau saham yang ditawarkan dalam
penawaran umum tersebut. Selain itu perjanjian emisi ini juga akan memberikan kuasa
kepada penjamin emisi untuk membentuk sindikasi bagi penjaminan emisi yang akan
dilakukannya. 2 Dalam hal adanya lebih dari satu penjamin pelaksana emisi maka
pembagian tugas tersebut tidak akan membebaskan keduanya dari tanggung jawabnya
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Semakin besar nilai suatu penawaran umum
yang dilakukan oleh emiten akan memerlukan adanya lebih dari suatu Penjamin Emisi
Efek. Ketika kondisi lebih dari Penjamin Emisi Efek, maka terdapat pula satu atau lebih
penjamin emisi efek yang ditunjuk diantara Penjamin Utama Emisi Efek dalam sindikat
Penjamin Emisi Efek yang bertanggung jawab dalam sindikat penjamin efek yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan serta penyelenggaraan emisi efek, yang disebut
dengan Penjamin Pelaksana Emisi Efek. Penjamin Pelaksana Emisi efek ini nantinya
memiliki tugas melakukan penjaminan atas pelaksanaan kontrak yang dilakukan oleh
beberapa penjamin emisi (sindikasi). Dengan demikian ia berperan sebagai penjembatan
atau “koordinator” yang bertanggung jawab atas dijalankannya kontrak penjaminan
emisi efek yang bersifat sindikasi.
Ketika akan diterbitkannya efek pertama kalinya atau yang disebut dengan
Initial Pubic Offering (IPO), maka penjamin emisi efek melakukan perjanjian dengan
penjaminan emisi efek dengan emiten. Perjanjian emisi adalah sebuah ikatan yang ada
antara penjamin emisi dan emiten dalam melakukan penjualan dan distribusi efek yang
akan dikeluarkan emiten untuk pertama kalinya.
Dalam hukum pasar modal terdapat 4 (empat) jenis kontrak yang dikenal antara
lain best effort commitment, full commitment, standby commitment, all or none
commitment. Perjanjian dalam bentuk full commitment atau perjanjian dengan
kesanggupan penuh ini, mewajibkan penjamin emisi efek atau yang dikenal dengan
underwriter, untuk membeli sisa efek yang tidak terjual. Adanya kontrak full
commitment ini banyak dipilih sebagai suatu strategi dalam meyakinkan calon investor
mengenai kulitas efek yang akan diterbitkan, reputasi dari emiten, bonafiditas
perusahaan mengemisi efek. Sedangkan best effort commitment merupakan perjnajian
atas kesanggupan underwriter untuk berusaha sebaik-baiknya agar efek yang ditawarkan
dapat dijual dengan jumlah besar. Sehingga jika terdapat sisa efek yang tidak terjual,
underwriter tidak memilik kewajiban untuk membeli sisa efek tersebut.3 Ketiga, dikenal
dengan standby commitment yaitu merupakan kesanggupan penjamin emisi efek untuk
membeli efek pada saat efek dalam harga tertentu yang telah disepakati bersama dengan

2
Hamud M. Balfas, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta: Tatanusa, 2012, h.
276
3
Mas Rahmah, Agus Sudjatmiko, dan lainnya, “Buku Ajar Hukum Pasar Modal”,
Surabaya: Universitas Airlangga, 2006, h. 50
147
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

emiten sbelumnya. Keempat dikenal dengan all or none commitment, yaitu ketika
penjamin emisi efek berusaha untuk menjual semua efek laku, namun jika efek tidak
laku, efek yang sudah dibeli oleh investor ditarik dan dibatalkan transaksinya dan
kemudia dikembalikan kepada emiten.4
Sama dengan perjanjian pada umumnya, bahwa dalam perjanjian penjaminan
emisi efek terdapat 4 syarat sah mutlak yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUHPerdata) dalam Pasal 1320, syarat
tersebut antara lain:
a. Kesepakatan kedua belah pihak mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Adanya suatu hal tertentu;
d. Adanya sebab yang diperbolehkan.
Pertama, kesepakat memiliki arti suatu keserasian kehendak antara pihak satu
dengan pihak yang lain untuk mengadakan suatu perikatan. Masing-masing pihak yang
telah sepakat tersebut selanjutnya mengikatkan diri secara sukarela. Sebagaimana dalam
Pasal 1321 KUHPerdata bahwa kesepakatan adalah tidak sah apabila kesepakatan
diberikan karena kekhilafan atau adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan dari pihak
lain. Berkaitan dengan perjanjian full commitment yang dilakukan emiten dan juga
Perusahaan Efek, maka yang menjadi poin penting disini adalah antara mereka yang
melakukan perjanjian telah sepakat. Sepakat dalam arti emiten mengerti mengenai isi
perjanjian dengan benar sebagaimana yang dijelaskan oleh Penjamin Emisi Efek. Tidak
ada informasi sesat yang diberikan oleh salah satu pihak, sehingga mereka dengan sadar
menyepakati dengan dilakukannya penandatanganan perjanjian penjaminan.
Kedua, mengenai kecakapan, bahwa dalam perjanjian penjaminan emisi efek
bagi emiten disyaratkan sebuah perseroan terbatas (untuk selanjutnya disebut PT) yang
sudah berstatus sebagai PT terbuka sebagaimana klasifikasi wajib yang disyaratkan
untuk badan hukum masuk dalam bursa efek. Apabila emiten merupakan PT tertutup
maka disyaratkan untuk ia melakukan penawaran umum menjadi PT terbuka untuk
dianggap cakap dalam melakukan perjanjian full commitment.
Begitu pula terhadap underwriter, diharapkan perusahaan efek juga telah
memenuhi perijinan sebagaimana yang diatur dalam UU PM. Dalam hal ini diatur
dalam BAB V bagian kesatu dalam UU PM. Jika perusahaan efek yang melakukan
kegiatan penjaminan emisi efek tidak memiliki ijin yang dimaksud dan dilakukan oleh
representasi orang yang tidak berwenang dalam jabatannya, maka demikian perjanjian
dapat dibatalkan.
Ketiga, suatu hal tertentu yang merupakan syarat objektif dalam menentukan
sahnya perjanjian. Suatu hal tertentu merupakan objek yang disepakati oleh para pihak
untuk diperjanjikan. Objek perjanjian adalah isi dari prestasi yang menjadi pokok
perjanjian dalam memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. 5
Begitu pula dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam perjanjian penjaminan
emisi efek dengan full commitment, maka harus dijelaskan mengenai hak-hak dan
kewajiban apa saja bagi para pihak. Objek dari perjanjian juga harus dijelaskan dengan
terang mengenai jumlah efek yang dikeluarkan dan ditanggung oleh underwriter. Ke-
empat, suatu hal yang diperbolehkan. Dalam Pasal 1337 KUHPerdata dinyatakan suatu
sebab adalah diperbolehkan apabila tidak dilarang oleh peraturan perUndang-undang
atau apabila berlawanan dengan keasusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan

4
Ibid.
5
Ibid., h. 83
148
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

demikian perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam perjanjian full commitement juga
harus berisi klausul yang diperbolehkan. Tidak boleh dalam perjanjian disisipkan
klausul-klausul yang mengandung hal-hal yang bertentangan dengan peraturan
perUndang-undang, keasusilaan dan ketertiban umum. Apabila terdapat klausul
tersebut, maka demi hukum klasul terkait akan batal.
Terkait dengan syarat sahnya perjanjian baik perjanjian pada umumnya
termasuk perjanjian full commitment, maka jika salah satu pihak tidak melakukan
prestasi yang seharusnya maka dapat dikatakan ia telah melakukan cidera janji. Cidera
janji atau yang dikenal dengan wanprestasi dalam KUHPerdata diatur secara umum
pada Pasal 1243 KUHPerdata, yaitu merupakan kondisi dimana tidak dipenuhinya
kesepakatan baik dalam perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-
undang. Kesepakatan yang diatur sebagaimana dalam KUHPerdata adalah:
a. Kewajiban untuk memberikan sesuatu oleh satu pihak kepada pihak lain;
b. Kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan (hukum) wujud dan kualitasnya telah
disepakati bersama;
c. Kewajiban untuk tidak melakukan suatu perbuatan, termasuk di dalamnya untuk
menghentikan suatu perbuatan.
Jika salah satu atau beberapa pihak tidak melakukan salah satu dari tiga kualifikasi
kewajiban tersebut, maka dapat dikatakan terjadi cidera janji atau wanprestasi. Cidera
janji yang dimaksud, dalam keadaaan tertentu tidak termasuk dalam cidera janji apabila
terjadi beberapa keadaan seperti overmacht, Rechtsverwerking, Non adimpleti
contractus.6
Kemudian dalam UU PM mengenai cidera janji juga dituliskan pada Pasal 39 UU
PM “Penjamin Emisi Efek wajib mematuhi semua ketentuan dalam kontrak penjaminan
emisi Efek sebagaimana dimuat dalam Pernyataan Pendaftaran.” Pernyataan
Pendaftaran berdasarkan Pasal 1 (19) UU PM adalah dokumen yang wajib disampaikan
kepada Badan Pengawas Pasar Modal oleh Emiten dalam rangka Penawaran Umum
atau Perusahaan Publik. Didalam pernyataan pendaftaran tersebut, penjamin emisi efek
juga bertanggung jawab atas kebenaran dari pernyataan yang telah dibuat. Sehingga
terhadap perjanjian penjaminan yang terdapat dalam pernyataan pendaftaran juga harus
dipatuhi pelaksanaannya. Apabila penjamin emisi tidak memenuhi kesepakatan
perjanjian full commitment dapat dikatakan wanprestasi/cidera janji.
Pada perjanjian full commitment, yang telah disepakati oleh PEE dan emiten,
ketika tidak terjualnya seluruh saham emiten saat IPO, memberikan kewajiban bagi
PEE untuk melaksanakan kewajibannya dalam perlakukan penanggungan. Dalam hal
ini PEE sebagai pihak yang diwajibkan untuk membeli sisa saham yang tidak habis
terjual saat penawaran umum pertama kali oleh emiten. Pembelian saham secara
keseluruhan, mungkin memberikan tanggung jawab cukup besar bagi PEE, sehingga
sering ia bekerjasama dengan PEE lainnya untuk melakukan penanggungan.
Wanprestasi dalam Pasal 1243 KUHPerdata yaitu tidak memenuhi kesepakatan
baik dalam perjanjian maupun perikatan yang timbul dari undang-undang. Seperti yang
telah dijelaskan pada poin-poin di atas Wanprestasi dapat terjadi kesalahan debitur dan
keadaan-keadaan lainnya, seperti keadaan memaksa. Pasal 39 UUPM menegaskan
penjamin emisi wajib mematuhi perjanjian sesuai kontrak yang dibuat dengan emiten.
Apabila penjamin emisi tidak memenuhi kesepakatan perjanjian full commitment dapat
dikatakan melakukan wanprestasi.

6
Ibid., h. 59
149
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Dampak khususnya bagi para pihak yang terikat kontrak full commitment adalah
atas terjadinya wanprestasi ini, maka dilanggarnya kesepakatan yang mana dalam Pasal
1320 KUHPerdata merupakan syarat subyektif. Kesepakatan tersebut nantinya akan
dapat dimohonkan pembatalan melalui pengadilan yang mana disertai dengan ganti
kerugian yang seharusnya diberikan pada emiten dan investor (apabila ada kerugian).
Dalam perjanjian penjaminan emisi efek dengan tipe full commitment
wanprestasi dapat berwujud underwriter tidak membeli semua sisa efek yang tidak
terjual, underwriter membeli sebagian saja, atau underwriter terlambat memenuhi
perjanjian membeli sisa efek yang tidak terjual tersebut. Sebagai akibat adanya
wanprestasi yang dilakukan oleh Penjamin emisi efek dan atau penjamin pelaksana
emisi efek akan menciderai keamanan bertransaksi oleh para investor pada pasar modal.
Investor akan semakin ragu untuk menggunakan pasar modal dalam berinvestasi akan
membawa dampak pada perkembangan pasar global dari tiap perusahaan yang
melakukan penawaran umum baik baru dalam pasar primer ataupun sekunder. Hal ini
tentu akan menjadi temuan OJK perihal lembaga PEE yang melakukan wanprestasi.

2. Perlindungan Hukum Bagi Emiten terhadap Cidera Janji oleh Underwriter


Turunnya kepercayaan oleh investor dalam berinvestasi maupun emiten dalam
melakukan penawaran umum dalam pasar modal dapat terjadi karena faktor private dan
publik. Faktor privat yang dimaksud adalah faktor yang sifatnya keperdataan antara
para pihak dalam ruang lingkup pasar modal. Pada faktor ini dapat terjadi karena cidera
janji atau wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pihak di
dalamnya. Sedangkan dalam faktor publik lebih dikenal dengan kejahatan dan
pelanggaran dalam pasar modal, sebagaimana yang telah diatur dalam UU PM seperti
tindak pidana penipuan, manipulasi pasar dan lain sebagainya. Tindak pidana di pasar
modal mempunyai karakteristik yang khas antara lain adalah barang yang menjadi objek
dari tindak pidana tersebut lebih mengarah pada informasi, salin itu pelaku tidak
mengandalkan kemampuan fisik seperti pencurian, dan lain sebagainya, tetapi lebih
kepada kemampuan untuk membaca situasi pasar.7
Oleh karena itu, diperlukan perlindungan hukum dengan upaya pencegahan
mulai dari awal proses sebelum dilakukan penawaran umum oleh PEE hingga
berjalannya transaksi bursa di bursa efek, hal tersebut harus dilaksanakan secara hati-
hati. Pada langkah awal yang sering menimbulkan ketidakpercayaan emiten yang baru
akan melaksanakan penawaran umum dalam bursa adalah tidak terpenuhinya janji atau
komitment oleh PEE sendiri. Dalam hal perjanjian penjaminan, PEE yang dapat
bertindak sekaligus sebagai agen penjual efek dalam pasar perdana, dapat melakukan
cidera janji. Cidera janji yang dimaksud antara lain dalam pelaksanaan perjanjian full
commitment dimana seharusnya PEE memberikan penjaminan pembelian seluruh efek
yang telah dikeluarkan oleh emiten ketika efek tersebut tidak habis seluruhnya terjual
dalam pasar perdana.
Namun, pada faktanya tidak dipenuhi pelaksanaan perjanjian tersebut
menimbulkan kerugian bagi emiten, dan menyebabkan keragu-raguan bagi para calon
emiten untuk melakukan IPO. Dengan demikian, diperlukanlah suatu perlindungan
hukum bagi emiten terhadap PEE yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi
kewajibannya sebagaimana yang telah disepakati oleh para pihak.

7
Firman Halawa dan Marlina, Upaya Penegakan Hukum atas Insider Trading
Sebagai Kejahatan Asal (Predicate Critme) dalam Tindak Pidana Pencucian Uang,
Jurnal Mecatoria, Vol. 5 No. 2 (2012), h. 68
150
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Penegakan hukum yang dimaksud tidak hanya secara yuridik tetapi juga
mengandung maksud pembinaan. Pembinaan yang mengarahkan pada seluruh pihak
yang terlibat untuk secara aktif dan bekerja sama dalam menerapkan prinsip good faith
dan asas baik dalam perjanjian dan pasar modal sendiri, sehingga menciptakan iklim
yang nyaman bagi investor.8 Penerapan beberapa prinsip atau asas dalam transaksi pasar
modal juga seharunya dilakukan dengan maksimal dan baik. Misalnya dalam penerapan
prinsip keterbukaan yang merupakan pedoman umum bagi para pihak dalam pasar
modal memberi informasi kepada masyarakat dalam waktu yang tepat atas seluruh
informasi material mengenai usaha efeknya yang berpengaruh terhadap suatu
keputusan. Keterbukaan informasi merupakan hal yang mutlak dibutuhkan dalam pasar
modal efisien. Keterbukaan informasi dalam praktiknya membawa beragam penafsiran
publik dengan sudut pandang dan kepentingan yang berbeda beda dimana pihak yang
paling dirugikan adalah investor. 9 Dalam kaitannya dengan hal ini, PEE harusnya
memberikan informasi sejak awal secara terbuka dan transparan kepada emiten
mengenai kondisi yang mungkin akan terjadi, sehingga PEE juga tidak memaksakan
diri untuk melakukan penjaminan efek ketika ia merasa tidak sanggup.
Bagi investor sebaiknya membekali diri dengan pemahan yang cukup sebelum
mengambil keputusan untuk melakukan transaksi efek. Begitu pula oleh emiten yang
akan melakukan IPO, sebaiknya memastikan dengan uji coba kelapangan bahwa PEE
yang digunakan telah terdaftar dan memiliki izin usaha terkait serta memiliki track yang
baik dalam menjalankan kerjasamanya dengan emiten sebelumnya. Uji coba ini juga
seharusnya dikonsultasikan oleh para calon emiten kepada konsultan pasar modal yang
terpercaya.
Selain itu, sebetulnya dari aspek yuridis sendiri, telah memberikan emiten
payung hukum berupa UU PM dan peraturan perundang-undangan penunjang lainnya
tetang pasar modal. Selain itu, layaknya perjanjian pada umumnya, perjanjian yang
dilakukan oleh emiten dan PEE juga tunduk pada KUHPerdata mengenai syarat sah
perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata. Oleh sebab itu, sebenarnya dalam peraturan di
Indonesia telah diberikan upaya perlindungan hukum secara preventif yang bersifat
yuridik berupa peraturan perundang-undangn sebagai bingkai hukumnya. Serta
perlindungan hukum melalui asas-asas yang menjadi dasar norma hukum untuk dapat
terhindar adanya wanprestasi oleh PEE terhadap emiten dalam perjanjian penjaminan
emisi efek.
Selain perlindungan hukum secara preventif juga penting untuk mengetahui
perlindungan hukum dan upaya perlindungan hukum represif dapat dilakukan ketika
telah terjadinya wanprestasi oleh PEE atas perjanjian atau kontrak yang dilakukan PEE
dan Emiten. Dalam UU PM sendiri sebenarnya telah diatur, seperti dalam Pasal 111.
Pasal 111 UU PM hanya menjelaskan pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut baik
sendiri maupun bersama pihak lain. Belum terdapat ketentuan adanya perpanjangan
masa penawaran umum. Pada perjanjian full commitment resiko lebih dominan pada
underwriter. Sehingga underwriter harus membayar ganti rugi atas sisa efek tersebut.
Gugatan berdasarkan adanya wanprestasi atas suatu perjanjian mensyaratkan adanya

8
Satriyo Wahyu Harsoyo, Tinjauan Yuridis Pengajuan Pembatalan Perjanjian
Jual Beli Saham Perusahaan Secara Sepihak, Jurnal Arena Hukum, Vol. 8, No. 1
(2015) h. 131
9
Satia Nur Maharani, Mendorong Pasar Modal Efisien dan Berdaya Saing Global,
Jurnal Ekonomi Modernisasi, vol. 2 No. 1 (2006), Februari, h. 37
151
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

pelanggaran terhadap pasal-pasal perjanjian yang pernah dibuat oleh para pihak (baik
secara lisan maupun tulisan).
Selain perlindungan secara perdata, ada pula ketentuan pidana yang diatur dalam
Pasal 103-110 UU PM mengancam setiap pihak yang terbukti melakukan tindak pidana
di bidang pasar modal diancam pidana penjara bervariasi antara satu sampai sepuluh
tahun. Underwriter yang tidak membeli sisa efek yang tidak terjual termasuk
wanprestasi dan dapat merugikan pihak lain yakni kepentingan emiten.
Adapun akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi dalam suatu
perjanjian adalah hukuman atau sanksi hukum berikut ini:
a. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (pasal
1234 BW).
b. Apabila perikatan itu timbal balik. Kreditur dapat menuntut pembatalan/dapat
dibatalkan perikatannya melalui hakim (pasal 1266 BW).
c. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak
terjadi wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 BW).
d. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan
disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 BW).
e. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka Pengadilan Negeri,
dan debitur dinyatakan bersalah.
Ganti rugi dalam hukum perdata dapat timbul dikarenakan wanprestasi akibat
dari suatu perjanjian atau dapat timbul dikarenakan oleh Perbuatan Melanggar
Hukum.10 Ganti rugi yang muncul dari wanprestasi adalah jika ada pihak-pihak dalam
perjanjian yang tidak melaksanakan komitmentnya yang sudah dituangkan dalam
perjanjian, maka menurut hukum dia dapat dimintakan tanggung jawabnya, jika pihak
lain dalam perjanjian tersebut menderita kerugian karenanya. Kewajiban pembayaran
ganti kerugian yang dimaksud dalam KUHPerdata memperincikan kerugian (yang harus
diganti) dalam tiga komponen yaitu biaya, rugi dan bunga.
Selain dengan pembayaran ganti kerugian, dapat dilakukan upaya berupa pembatalan
perikatan atau perjanjian yang diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata.
Pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan. Permintaan ini juga harus
dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di
dalam persetujuan. Dalam hal tersebut para pihak yang merasa dirugikan karena adanya
wanprestasi yang dilakukan pihak lain, maka atas tindakan debitornya ia dapat
memohonkan agar dilakukan pengakhiran perjanjian. Sesungguhnya syarat batal disini
lebih tepat untuk di interpretasikan dengan putusnya suatu perjanjian, karena perjanjian
tersebut tidak menghilangkan dan membatalkan tindakan-tindakan yang telah dilakukan
oleh para pihak sebelumnya, kecuali apabila disepakati demikian. Hal tersebut
dikarenakan pembatalan dalam perjanjian timbal balik akan memberikan dampak yang
cukup signifikan bagi investor lainnya telah membeli efek yang dikeluarkan.
Dengan pembatalan perjanjian maka emiten akan dianggap tidak lagi memiliki
hubungan hukum sejak awal dengan PEE. Sehingga posisi PEE dalam kelembagaan dan
yang disyaratkan dalam undang-undang menjadi kosong. Hal tersebut juga membawa
dampak emiten tidak dapat memasarkan atau melakukan penawaran umum tanpa
adanya PEE, yang mengakibatkan ditariknya seluruh efek yang telah diminati oleh
investor lainnya. Sehingga nantinya apabila perjanjian yang terjadi antara emiten dan

10
M.A. Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1979), h. 11.
152
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

PEE tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh PEE oleh karena wanprestasi, maka emiten
dalam hal ini dapat mengajukan pembatalan ke Pengadilan tempat emiten berada.
Namun, memang pengajuan gugatan akan memerlukan waktu dan tenaga yang
cukup banyak dan lama. Belum lagi tidak semua pihak yang menangani perkara pasar
modal mengerti benar dan berkecimpung dalam pasar modal. Oleh sebab itu diharapkan
pemerintah sebagai perwakilan rakyat dapat memberikan kebijakannya yang dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan agar memberikan solusinya melalui cara atau
metode lainnya.

Kesimpulan dan Saran


Sebagai langkah preventif agar para pihak dalam bertransaksi di pasar modal
merada aman, maka perlu dalam perjanjian penjaminan emisi efek antara PEE dan
emiten dituliskan klausu-klausul yang jelas jika terdapat kondisi cidera janji beserta
konsekuensinya. Selain itu, penting bagi emiten sebelum masuk dalam dunia pasar
modal untuk berkonsultasi pada pihak yang terpercaya mengenai penunjukan PEE yang
memiliki kredibilitas yang baik. Dalam hal lain, diperlukan langkah preventif yang
berarti perlindungan hukum yang dapat diajukan oleh emiten kepada PEE yang
wanprestasi adalah berdasarkan UUPM dapat mengajukan permohonan ganti rugi
ataupun putusnya perjanjian melalui pengadilan negeri. Sehingga ketika PEE tidak
membeli sisa efek yang ditawarkan dalam perjanjian full commitment, maka emiten
dapat melakukan gugat waprestasi kepada PEE ke pengadilan atas kerugian yang
dialaminya.
Ijin untuk menjadi PEE memang dibutuhkan, sehingga tidak sembarang lembaga
dalam meng-klaim dirinya sebagai PEE yang ikut berkecimpung dalam pasar modal.
Akan tetapi memang lebih baik, untuk menjamin kredibilitas dari PEE, ijin untuk
menjadi PEE harus diperbaharui paling lambat satu tahun satu kali. Sebagai bingkai
hukum saat ini, perlindungan hukum secara represif juga dapat dilakukan dengan cara
pengajuan gugatan pengadilan oleh emiten yang merasa dirugikan. Namun, pengajuan
gugatan akan memerlukan waktu dan tenaga yang cukup banyak dan lama. Belum lagi
tidak semua pihak yang menangani perkara pasar modal mengerti benar dan
berkecimpung dalam pasar modal. Oleh sebab itu diharapkan pemerintah sebagai
perwakilan rakyat dapat memberikan kebijakannya yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan agar memberikan solusinya melalui cara atau metode lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Halawa, Firman dan Marlina, Upaya Penegakan Hukum atas Insider Trading Sebagai
Kejahatan Asal (Predicate Critme) dalam Tindak Pidana Pencucian Uang,
Jurnal Mecatoria, Vol. 5 No. 2, 2012.
Harsoyo, Satriyo Wahyu, Tinjauan Yuridis Pengajuan Pembatalan Perjanjian Jual Beli
Saham Perusahaan Secara Sepihak, Jurnal Arena Hukum, Vol. 8, No. 1, 2015.
M.A. Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1979.
Maharani, Satia Nur, Mendorong Pasar Modal Efisien dan Berdaya Saing Global,
Jurnal Ekonomi Modernisasi, vol. 2 No. 1, Februari, 2006.
Mas Rahmah, Agus Sudjatmiko, dan lainnya, Buku Ajar Hukum Pasar Modal,
Surabaya: Universitas Airlangga, 2006.
M. Balfas, Hamud, Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta: Tatanusa, 2012.

153
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Ratnasari, Mieke Yustia Ayu, Hubungan Hukum Dalam Perjanjian Emisi Saham
Antara Penjual Saham Dan Pembeli Saham Dalam Pasar Modal Indonesia,
Bangka Belitung: Jurnal Ilmiah Universitas Bangka Belitung, 2012.

154
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

STATUS HUKUM WAJIB PAJAK WARGA NEGARA INDONESIA


YANG TINGGAL MENETAP DI LUAR NEGERI
David Setiyawan
Fakultas Hukum, Universitas Narotama
Email: d4v3st@gmail.com

ABSTRAK

Warga Negara Indonesia (WNI) yang menetap di luar negeri memiliki permasalahan dual
tax resident sehingga secara administrasi perpajakan mengalami pemajakan ganda dan
tambahan beban administrasi perpajakan. Hal ini dapat terjadi karena sebelum menetap di
luar negeri WNI tersebut memiliki NPWP di Indonesia dan pada saat menetap di luar negeri
diberikan lagi status wajib pajak di negaranyang bersangkutan. Adanya konsep perpajakan
internasional terkait konflik status tax resident menimbulkan ketidakpastian status wajib
pajak negara manakah WNI tersebut. Pada dasarnya konsep pajak internasional maupun
perpajakan Indonesia menganut asas keberadaan untuk menentukan status wajib pajak
seseorang. Dengan demikian selama dapat dibuktikan dengan dokumen resmi terkait
keberadaan WNI tersebut telah menetap di luar negeri, maka seharusnya kewajiban pajak
subjektif dalam negeri WNI tersebut telah berakhir. Oleh karena itu WNI tersebut dapat
mengajukan pencabutan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan apabila ditolak dapat
mengajukan upaya hukum Gugatan.

Kata kunci: WNI, dual tax residence, kewajiban pajak subjektif, pencabutan
NPWP

ABSTRACT

Indonesian citizens who reside abroad have dual tax resident issues, therefore has a double
taxation on tax administration and has additional tax administration burden. This is
happened since before settling abroad, the Indonesian citizen has a Tax ID (NPWP) in
Indonesia and when settling abroad, is given the status of a taxpayer in the country
concerned. The existence of an international taxation concept regarding the conflict of tax
resident status raises uncertainty over which state taxpayer status is the citizen. Basically,
the concept of international taxation and Indonesian taxation adheres to the principle of
existence to determine one's taxpayer status. Thus, as long as it can be proven by official
documents related to the existence of the Indonesian Citizens who have settled abroad, then
the subjective tax obligations of the Indonesian citizen should have ended. Therefore, the
Indonesian citizen can submit revocation of the Taxpayer Identification Number (NPWP)
and if rejected, he can file a legal caim for the claim.

Keywords: Indonesian Citizens, dual tax residence, subjective tax obligations, revocation
of Tax ID.

155
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

PENDAHULUAN
Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUDNRI 1945) mengatur tentang pajak yang memiliki sifat memaksa
diatur oleh undang-undang. Sebagai perwujudan atas pasal tersebut, telah
diterbitkan undang-undang yang mengatur secara khusus tentang masalah
perpajakan antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (“UU KUP”);
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
( “UU PPh”);
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang
PajaPertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (“ UU PPN”);
d. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana terakhir diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa (“ UU PPSP”);
e. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (“ UU
PP” ).
UU KUP sebagai hukum formil, digunakan sebagai rujukan dalam
rangka mengetahui hak dan kewajiban warga negara di bidang perpajakan.
Dalam hukum formil tersebut disebutkan bahwa salah satu kewajiban
perpajakan bagi warga negara adalah membayar pajak sebagai kontribusi wajib
atau bersifat memaksa. Hal ini sejalan dengan definisi pajak itu sendiri yang
diatur dalam UU KUP yang menyatakan bahwa Pajak adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang kepada orang pribadi atau badan yang sifatnya
memaksa sesuai undang-undang, yang tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan dipergunakan untuk keperluannegara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Ketentuan perpajakan juga mengatur bahwa dalam rangka menciptakan
tertib administrasi pembayaran pajak, maka kewajiban mendaftarkan diri
sebagai wajib pajak adalah suatu keharusan. Dalam hal ini, kewajiban
mendaftarkan diri sebagai wajib pajak yang diwujudkan dalam bentuk NPWP
(selanjutnya disingkat NPWP) dilakukan setelah dipenuhinya syarat subjektif
dan objektif.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka yang
menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah Status Wajib Pajak
Warga Negara Indonesia Yang Tinggal Menetap Di Luar Negeri. Adapun
rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Apa status hukum wajib pajak Warga Negara Indonesia yang tinggal
menetap di Luar Negeri?
2. Apa upaya hukum yang dapat ditempuh dalam rangka menghindari dual tax
resident?
156
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

METODOLOGI PENELITIAN

Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yang
dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis masalah hukum yang ada. Penggunaan
metode penelitian normatif ditunjang melalui pendekatan peraturan perUndang-Undangan
dengan menelaah peraturan perUndang-Undangan terkait, dan pendekatan konseptual
melalui pemahaman dengan memperdalam asas-asas dan doktrin-doktrin para sarjana
yang diimplementasikan dan relevan dengan penulisan ini.

PEMBAHASAN
1. Kewajiban Pajak Subjektif Warga Negara Indonesia Dalam Rangka

Penentuan Status Wajib Pajak Dalam Negeri

Benjamin Franklin yang kita kenal wajahnya terpampang di mata uang


dolar Amerika pernah menyatakan “In this world nothing can be said to be
certain, except death and taxes,”. Tulisan tersebut dia tulis dalam surat yang
dikirimkan kepada Jean-Baptiste Le Roy pada tahun 1789. Memang isu terkait
kepastian hukum di bidang perpajakan sebelumnya pernah diutarakan oleh
Daniel Defoe pada tahun 1726 dalam tulisan The Political History of the Devil,
namun hal tersebut menjadi terkenal usai
Benjamin Franklin mempopulerkannya.3
Kita sadari atau tidak, dalam hidup manusia tidak pernah dilepaskan dari
pajak. Sejak manusia lahir sampai dengan meninggal, pajak tidak pernah
dilepaskan dari kehidupan manusia. Pajak sebagai iuran yang memiliki sifat
memaksa yang keberadaannya diatur oleh undang-undang, merupakan tulung
punggung penerimaan negara yang nantinya akan digunakan sebagai sumber
pendapatan dan belanja negara.
Apabila diperhatikan dalam situs Kementerian Keuangan, diperoleh
data bahwa peranan perpajakan dalam menyumbang penerimaan negara
meningkat tajam dari tahun 2014 sebesar 74,0% menjadi sebesar 80,6% pada
tahun 2018. Hal ini tentunya disebabkan oleh berbagai macam aspek misalnya
peningkatan kepatuhan Wajib Pajak, perluasan objek dan subjek pajak, serta
penguatan basis pajak melalui program ekstensifikasi perpajakan.
Ekstensifikasi perpajakan ditujukan untuk menjaring sebanyak-banyaknya
Wajib Pajak agar dikemudian hari diperoleh potensi perpajakan dari Wajib
Pajak tersebut.
Berdasarkan ketentuan perpajakan, kriteria Wajib Pajak termasuk di
dalamnya adalah orang pribadi atau badan yang meliputi :4
1. pembayar pajak;
2. pemotong pajak; dan
3. pemungut pajak.

3
Daniel Defoe, The Political History of the Devil, Oxford, London, 1726,
h. 246

157
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Adapun kriteria dari Badan berdasarkan ketentuan perpajakan diartikan


sebagai sekumpulan orang dan/atau modal dalam bentuk kesatuan, baik itu
yang melakukan usaha maupun tidak. 4 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, LN Tahun 2007 No. 85, TLN No.
4740, ps. 1 angka 2
Di dalam ketentuan perpajakan tidak dijelaskan secara tegas mengenai
definisi orang pribadi, namun demikian dalam praktek perpajakan yang berlaku
secara umum, orang pribadi diartikan sebagai manusia (bukan badan usaha
maupun badan hukum).
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU KUP telah dinyatakan secara
tegas bahwa setiap orang pribadi yang telah memenuhi persyaratan subjektif
dan objektif wajib mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak di Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan.
Proses pendaftaran orang pribadi tersebut sebagai Wajib Pajak dibuktikan
dengan diterbitkannya NPWP yang berfungsi sebagai sarana administrasi dalam
menjalankan hak dan kewajiban pajaknya
Persyaratan objektif dalam hal ini adalah orang pribadi tersebut telah
mendapatkan penghasilan sebagai objek pajak atau diwajibkan untuk
melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan perpajakan.
Sedangkan syarat subjektif diartikan sebagai ketentuan terkait subjek pajak
dalam hal ini adalah orang pribadi tersebut.
Berdasarkan UU PPh dinyatakan bahwa yang menjadi subjek pajak
salah satunya adalah orang pribadi. Selanjutnya subjek pajak dalam ketentuan
perpajakan dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar
negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri sesuai dengan UU PPh
diartikan sebagai orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu
tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal
di Indonesia.5

2. Tax Resident Orang Pribadi Dalam Hukum Pajak Internasional

Sebelum kita membahas tentang status wajib pajak dalam hukum pajak
internasional alangkah baiknya apabila terlebih dahulu dilakukan sedikit
pembahasan tentang pajak internasional agar diperoleh pemahaman yang
menyeluruh tentang hal tersebut. Pajak sebagai tulang punggung penerimaan di
setiap negara tentunya mengharuskan negara tersebut untuk membuat aturan-
aturan tentang perpajakan baik dalam skala domestik maupun skala
internasional.
Terlebih lagi dalam era globalisasi hubungan antar negara saat ini
berkembang sangat pesat baik itu dalam bidang politik, sosial budaya,
teknologi, maupun bidang perekonomian. Perkembangan tersebut membuat
jarak antar negara bahkan sekat-sekat pembatas terasa tidak ada lagi. Hal-hal
tersebut dalam kenyataannya menyebabkan aliran modal, barang dan jasa
158
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

maupun sumber daya manusia dari dan ke suatu negara menjadi begitu mudah.
Di bidang perpajakan, transaksi lintas batas negara tersebut menimbulkan
permasalahan tersendiri dimana hal tersebut masuk dalam ruang lingkup hukum
pajak internasional. Peraturan perpajakan terkait penghasilan dari masing-
masing negara tersebut tentunya berkaitan dengan aspek internasional atas
transaksi lintas batas yang terjadi.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa ruang lingkup dari
aspek internasional dari peraturan perundang-undangan perpajakan dari suatu
negara adalah :8
1. Pemajakan atas penghasilan yang diperoleh oleh subjek pajak dalam negeri
dari suatu negara atas penghasilan yang diperoleh dari luar negeri (taxation
of foreign income);
2. Pemajakan oleh suatu negara atas subjek pajak luar negeri yang
memperoleh penghasilan di negara tersebut (taxation of non-resident).
Berkaitan dengan hal tersebut, objek pemajakan dalam hukum perpajakan
internasional dapat dibagi menjadi beberapa hal yaitu :
a. Penghasilan dari penjualan barang dan/atau jasa dari transaksi antar negara
atau lintas batas;
b. Penghasilan dari kegiatan investasi lintas batas negara;
c. Penghasilan dari orang pribadi di luar negeri dari statusnya sebagai
karyawan maupun sebagai professional.
Lebih lanjut dalam konsep perpajakan internasional terdapat beberapa
asas yang diterapkan oleh suatu negara dalam rangka melakukan pemungutan
pajak. Beberapa asas tersebut dikemukakan oleh Prof. Rochmat Sumitro sebagai
berikut:9
a. Asas Domisili
Berdasarkan asas ini, pengenaan pajak didasarkan pada domisili dari subjek
pajak tersebut. Negara yang menerapkan asas ini biasanya menganut prinsip
world wide income, yaitu pajak dikenakan kepada mereka yang berdomisili
di suatu negara atas seluruh penghasilan yang bersumber dari berbagai
negara.
b. Asas Sumber
Asas ini menganut prinsip pengenaan pajak di lakukan di negara dimana
sumber penghasilan berasal.

Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi, Konsep dan Aplikasi


8

Perpajakan Internasional, DANNY DARUSSALAM Tax Center, Jakarta, 2010,


h. 2

Prof. R. Sumitro, Hukum Pajak Internasional Indonesia : Perkembangan


9

dan Pengaruhnya, PT Eresco, Bandung, 1986, h. 43-55

159
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

c. Asas Kewarganegaraan
Dalam asas ini prinsip pengenaan pajak menganut kewarganegaraan
seseorang dan tidak memandang dimana dia berada.
d. Asas Teritorial
Asas ini menganut prinsip bahwa pengenaan pajak hanya atas penghasilan
yang diperoleh dari wilayah satu negara, sehingga apabila terkait
penghasilan yang berasal dari luar negara tersebut, maka tidak akan dikenai
pajak lagi.
e. Asas Campuran
Asas ini merupakan campuran dari asas-asas di atas, dimana suatu
negara apabila menerapkan asas ini maka pengenaan pajak akan dilakukan
berdasarkan asas-asas apa saja yang diterapkan
Dalam kenyataannya, masing-masing negara dimungkinkan
mengenakan pajak atas penghasilan yang sama sehingga menimbulkan
pemajakan berganda atas objek yang sama. Kondisi ini akan memberatkan bagi
subjek pajak karena selain dari sisi administrasi harus dilakukan dua kali, selain
itu subjek pajak tersebut dimungkinkan membayar pajak lebih besar. Dalam hal
ini pemajakan berganda secara yuridis dapat terjadi apabila dalam suatu periode
terjadi pemajakan oleh 2 (dua) negara yang berbeda atas penghasilan yang
sama.
Pengenaan pajak ganda dalam konsep hukum pajak internasional
biasanya terjadi karena adanya perbedaan penerapan asas-asas di atas.
Perbedaan prinsip akan menimbulkan konflik yuridiksi antara satu negara
dengan negara lainnya dimana menurut Rachmanto Surahmat konflik yuridiksi
tersebut dapat dibedakan menjadi beberapa hal sebagai berikut:10
a. Konflik antara asas domisili dengan asas sumber
Secara umum penyebab timbulnya pemajakan berganda berasal dari konflik
asas domisili dan asas sumber. Hal ini dapat terjadi karena negara
sumber mengenakan pajak terhadap semua penghasilan yang berasal dari
negara tersebut sementara di saat yang sama negara domisili mengenakan
pajak atas seluruh penghasilan yang telah diterima oleh penduduknya.

b. Konflik karena perbedaan definisi “tax resident”


Hal ini terjadi karena seseorang disaat yang bersamaan dapat ditetapkan
sebagai tax resident dari dua negara. Perbedaan ketentuan terkait definisi
tax resident atau wajib pajak antara satu negara dengan negara yang lain
menyebabkan seseorang memiliki status dual tax resident karena masing-
masing negara menetapkannya sebagai wajib pajak di negara yang
bersangkutan.

Rachmanto Surahmat, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Sebuah


10

Pengantar, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, h. 21-22

160
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

c. Perbedaan definisi tentang sumber penghasilan


Dapat terjadi bahwa dua negara memiliki perbedaan persepsi atas sebuah
penghasilan sehingga penghasilan tersebut dikenakan pajak di dua negara
tersebut. Sebagai contoh adalah penghasilan terkait jasa dari pihak luar
negeri terutang pajak di negara domisili namun terkadang negara sumber
menetapkan penghasilan tersebut berdasarkan konsep transfer pricing
bahwa penghasilan itu merupakan dividen terselubung sehingga terutang
pajak di negara sumber. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya
pengenaan pajak berganda atas subjek pajak tersebut.
Dalam pembahasan di atas dijelaskan bahwa salah satu penyebab adanya
pengenaan pajak berganda adalah karena adanya perbedaan definisi dari tax
resident. Perbedaan tersebut menciptakan adanya dual tax resident dari
seseorang sehingga secara administrasi perpajakan diharuskan melakukan
kewajibannya dua kali di dua negara yang berbeda
Tax resident atau dalam istilah perpajakan Indonesia sering disebut
sebagai subjek pajak pada dasarnya adalah sesuatu yang dapat diberi hak dan
kewajiban perpajakan. Dalam hal orang pribadi, telah dijelaskan di atas bahwa
subjek pajak dibagi menjadi dua yaitu resident atau subjek pajak orang pribadi
dalam negeri dan nonresident atau subjek pajak orang pribadi luar negeri.
Dalam konteks perpajakan internasional, untuk istilah subjek pajak digunakan
kata “person”. Hal ini dapat dilihat dalam persetujuan penghindaran pajak
berganda atau yang kita kenal dengan istilah tax treaty baik itu United Nation
Model maupun OECD Model. Istilah person dalam hal ini digunakan untuk
menentukan siapa yang berhak untuk menerima manfaat berdasarkan tax treaty
tersebut. Adapun yang dimaksud dengan siapa yang berhak di atas merujuk
kepada resident atau subjek pajak orang pribadi dalam negeri dari salah satu
negara atau bahkan kedua negara yang mengadakan perjanjian penghindaran
pajak berganda tersebut.

3. Status Tax Resident Warga Negara Indonesia yang Tinggal Menetap Di


Luar Negeri

Salah satu dampak dari kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN


(MEA) adalah terkait terbukanya pasar tenaga kerja di wilayah ASEAN untuk
beberapa bidang jasa. Hal ini menciptakan kesempatan bagi WNI untuk bekerja
di sektor-sektor tersebut dan mengharuskannya untuk menetap di luar negeri.
Selain hal tersebut, adanya kemudahan dalam memperoleh beasiswa dan
kesempatan untuk bekerja di luar negeri dengan iming-iming gaji besar
membuat banyak WNI yang akhirnya memutuskan untuk berpindah dan
menetap di luar negeri.
Selain hal tersebut, banyak faktor yang mempengaruhi bagi para WNI
untuk menetap di luar negeri yang salah satunya terkait dengan kebijakan
pemerintah dalam hal investasi. Kemudahan investasi di Indonesia yang
dituangkan dalam semakin sedikitnya Daftar Negatif Investasi mendorong
peningkatan Foreign Direct Investment (FDI) yang ditandai dengan adanya
peningkatan jumlah Perusahaan Penanaman Modal Asing (PT PMA).
Peningkatan PT PMA di Indonesia secara langsung juga berdampak bagi
peningkatan WNI sebagai karyawan maupun sebagai pemegang saham, dimana

161
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

dengan status WNI tersebut sebagai karyawan, dimungkinkan bagi dia untuk
melakukan perpindahan ke negara lain yang masih dalam satu group dengan
pemegang saham tersebut.
Bagi WNI yang berkerja dan akhirnya menetap di luar negeri tentunya
dari konsep perpajakan internasional akan menimbulkan permasalahan
tersendiri khususnya terkait dengan status wajib pajaknya. Terdapat
kemungkinan bahwa WNI tersebut akan memiliki status dual tax resident. Hal
ini dapat terjadi karena pengenaan pajak di Indonesia menerapkan konsep
worldwide income system dan di saat yang bersamaan WNI tersebut berada di
negara lain sehingga mengakibatkan dia ditetapkan sebagai wajib pajak negara
tersebut.
Pada dasarnya dalam perpajakan internasional telah diatur tentang
mekanisme bagaimana cara untuk menghindari resident ganda tersebut, namun
demikian dalam kenyataannya masing-masing negara merasa memiliki hak
untuk melakukan pengenaan pajak mengingat pentingnya penerimaan pajak,
sehingga terdapat ketidakpastian bagi WNI tersebut terkait status wajib
pajaknya.
Mekanisme tersebut dalam istilah hukum pajak internasional dikenal
dengan tie-breaker rules yang juga telah diadopsi dalam P3B Indonesia dengan
negara Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat pada Pasal 4 ayat (2) dan ayat
(3). Ketentuan tersebut adalah:
a. Permanent Home
Penentuan seseorang menjadi resident suatu negara ditentukan berdasarkan
rumah yang tetap yang ditinggali oleh seseorang tersebut;
b. Center of vital interest
Apabila ternyata orang tersebut memiliki dua rumah tetap di dua negara
yang berbeda, maka didasarkan pada pusat kepentingan ekonomi atau
pribadi;
c. Habitual Abode
Tes yang ketiga ini dilakukan dalam hal terdapat kondisi dimana pusat
kepentingan ekonomi dan pribadi ternyata terdapat di dua negara sehingga
penentuannya didasarkan pada dimanakah orang tersebut biasa berada;
d. Citizenship
Mekanisme yang keempat didasarkan pada kewarganegaraan apabila
ternyata ketiga tes di atas tidak dapat ditentukan hasilnya;
e. Mutual Agreement
Dalam P3B juga ditentukan bahwa apabila ternyata keempat tes tersebut
tidak dapat digunakan untuk menentukan status resident dari seseorang,
maka penyelesaian dilakukan melalui kesepakatan bersama oleh pejabat
yang berwenang di kedua negara.

Otoritas pajak di masing-masing negara tentunya memiliki kepentingan


untuk mendapatkan penerimaan pajak dari WNI tersebut, sehingga akan
menggantungkan status wajib pajak WNI di masing-masing negara. Hal
tersebut akan menimbulkan ketidakadilan karena WNI tersebut tentunya akan
dikenai pajak berganda. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh WNI tersebut
adalah melakukan upaya hukum yang secara detail akan dibahas di bab
berikutnya.

162
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

4. Konsekuensi Dual Tax Resident Dan Kaitannya Dengan Metode


Penghindaran Pajak Berganda

Sebelum membahas lebih lanjut upaya hukum yang dapat ditempuh oleh
WNI dalam rangka menghindari adanya dual tax resident, maka alangkah lebih
baik apabila dilakukan kajian mengapa harus dilakukan upaya hukum agar tidak
terdapat kondisi dual tax resident.
Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu penyebab
terjadinya pajak berganda adalah karena konflik tax resident dimana konflik
terkait dual tax resident akan berdampak pada pemajakan berganda bagi WNI
dan tentunya secara administrasi maupun jumlah pajak yang dibayar akan
menjadi lebih banyak. Hal ini dapat terjadi karena atas penghasilan yang sama
akan dikenakan pajak di dua negara yang berbeda. Sebagai ilustrasi atas hal
tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:

Contoh:
Budi adalah WNI yang sekarang bekerja dan menetap di Singapura. Sesuai
dengan ketentuan perpajakan negara Singapura, maka Budi ditetapkan sebagai
wajib pajak negara Singapura sehingga seluruh penghasilan yang bersumber
dari Singapura akan dikenakan pajak di negara tersebut. Di saat yang
bersamaan, Budi yang masih WNI memiliki NPWP di Indonesia dimana sistem
perpajakan di Indonesia menganut worldwide income yang mengharuskan Budi
melaporkan penghasilannya tersebut walaupun bersumber dari luar
Indonesia. Dengan demikian Budi diharuskan untuk melaporkan pajak di negara
Singapura dan Indonesia dimana konsekuensi pelaporan tersebut menyebabkan
pembayaran pajak dua kali (ganda).
Perpajakan ganda tersebut termasuk di dalamnya adalah mekanisme
pembayaran, dan pelaporan. Dengan adanya masing-masing negara
memberikan kewajiban kepada Budi maka secara otomatis Budi dibebani
pembayaran pajak maupun administrasi pajak dua kali.
Terlebih lagi dengan sistem perpajakan di Indonesia yang menganut
sistem self-assessment dimana wajib pajak diberi kebebasan untuk menghitung
sendiri, membayar pajak hasil penghitungannya tersebut, dan melaporkannya
melalui SPT, maka dimungkinkan terdapat kelalaian karena selama ini tinggal
di luar negeri. Sebagai bentuk pengawasan atas kepatuhan terhadap sistem
tersebut, maka mekanisme yang telah diatur adalah melalui himbauan ataupun
pemeriksaan oleh Kantor Pelayanan Pajak yang tentunya hal tersebut ingin
dihindari para pihak.
Belum lagi masalah pemahaman tentang mekanisme penghitungan
pajak terkait dengan penghasilan dari luar negeri tentunya menambah rumit
permasalahan perpajakan yang dihadapi oleh WNI tersebut. Walaupun
reformasi pajak selama ini telah menyentuh kepada reformasi di bidang
penghitungan dan pelaporan, tidak dapat dipungkiri bahwa fakta di lapangan
masih banyak ditemui wajib pajak yang mengeluh terkait susahnya
penghitungan pajak dan pengisian SPT itu sendiri. Situasi tersebut juga
diperburuk dengan adanya ketidakkonsistenan para petugas pajak dalam
melakukan interpretasi atas peraturan perpajakan.

163
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Hal ini dapat dilihat berdasarkan data survei yang dilakukan oleh World
Bank dalam bentuk peringkat Easy of Doing Business (EODB) di 190 negara,
dimana Indonesia pada tahun 2017 berada di peringkat 91. Adapun survei
tersebut dilakukan dengan membandingkan 10 indikator di masing- masing
negara yang salah satunya terkait perpajakan. Pada tahun 2018 peringkat
Indonesia meningkat menjadi 72 dari 190 negara, namun apabila dibandingkan
dengan negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, maupun Thailand
maka peringkat Indonesia masih jauh di bawah mereka.
Isu perpajakan memang menjadi salah satu hal yang membuat peringkat
Indonesia tidak dapat naik secara signifikan karena tidak bisa dipungkiri bahwa
pajak berperan penting dalam investasi. Dalam hal ini, diharapkan pemerintah
akan melakukan reformasi administrasi perpajakan sehingga peringkat
Indonesia dapat naik secara signifikan dimana salah satunya terkait
penghindaran pajak berganda. Meskipun pemerintah Indonesia membutuhkan
penerimaan pajak, namun demikian diharapkan permasalahan pajak berganda
dapat diselesaikan menyentuh ke esensi dual tax resident sehingga persepsi
negara lain terkait perpajakan Indonesia menjadi lebih baik.
Memang dalam prakteknya telah terdapat metode penghindaran pajak
berganda, namun demikian metode tersebut sama sekali belum menyentuh
kepada penyelesaian terkait dual tax resident. Hal ini dibuktikan dengan sampai
saat ini di Indonesia tidak terdapat aturan yang jelas terkait mekanisme mutual
agreement dalam rangka penyelesaian permasalahan resident tersebut. Metode
yang dikenalkan justru lebih mengarah kepada bagaimana cara untuk
menghindari pajak berganda dari segi penghitungan (meringankan jumlah
pajak yang terhutang) bukan dalam rangka menyelesaikan esensi permasalahan
konflik dual tax resident.

5. Penentuan Subjek Pajak Luar Negeri Orang Pribadi dalam Hukum Pajak
Indonesia

Permasalahan terkait pemajakan berganda yang disebabkan oleh dual


tax resident pada dasarnya dapat diselesaikan apabila terdapat penegasan terkait
status WNI yang tinggal menetap di luar negeri. Dalam hal ini adalah apakah
pada saat WNI tersebut telah menetap di luar negeri dan mendapatkan status
sebagai wajib pajak negara yang bersangkutan maka WNI tersebut dalam sudut
pandang hukum pajak Indonesia seharusnya sudah menjadi subjek pajak luar
negeri ataukah masih menjadi wajib pajak dalam negeri Indonesia
Selama ini praktek yang terjadi adalah kebanyakan WNI tersebut masih
melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) di Indonesia. Di satu sisi
adanya program Tax Amnesty mengharuskan bagi WNI tersebut untuk
melaporkan hartanya dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sesudah menyampaikan
laporan amnesti sehingga menciptakan kesimpangsiuran terkait dengan
administrasi NPWPnya.
Sebelum membahas lebih lanjut terkait dengan upaya hukum yang dapat
ditempuh oleh WNI terkait dengan dual tax resident, maka harus dilakukan
kajian lebih lanjut dalam hal kondisi apakah NPWP dapat dicabut sehingga
tidak terdapat lagi status wajib pajak WNI tersebut di Indonesia.

164
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Dalam sistem administrasi perpajakan di Indonesia NPWP digunakan


sebagai tanda pengenal diri dalam melaksanakan hak dan kewajiban di bidang
perpajakan. Ketentuan perpajakan bahkan mengatur delik pidana bagi para
pihak yang tidak melakukan kewajiban dalam hal pendaftaran NPWP. Dalam
bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa kewajiban untuk mendaftarkan diri
dalam rangka mendapatkan NPWP adalah apabila telah dipenuhi adanya syarat
subjektif dan objektif. Sebaliknya apabila syarat subjektif dan/atau objektif
tersebut tidak lagi dipenuhi, maka dapat dilakukan pencabutan NPWP.
Norma yang tercantum dalam UU PPh terkait berakhirnya syarat
subjektif adalah apabila WNI tersebut meninggal dunia atau meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya. Dengan demikian apabila WNI tersebut
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya dapat dikatakan bahwa WNI
tersebut tidak lagi termasuk dalam subjek pajak dalam negeri atau dengan kata
lain termasuk subjek pajak luar negeri dari sudut pandang hukum pajak di
Indonesia.
Dalam hal ini perlu dilakukan kajian lebih lanjut apakah definisi
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya dalam hal ini harus melepas
status kewarganegaraannya ataukah mengikuti prinsip keberadaannya. Di lain
pihak apakah dapat dikatakan bahwa ketentuan perpajakan di Indonesia
mengikuti asas kewarganegaraan ataukah asas keberadaan sesuai dengan
konsep hukum pajak internasional dimana kewarganegaraan sendiri menempati
urutan keempat sesudah adanya tes keberadaan.

6. Upaya Hukum yang Dapat Ditempuh Dalam Rangka Menghindari Dual


Tax Resident
Dual tax resident sebagai konsekuensi yang timbul akibat WNI
menetap di luar negeri pada dasarnya dapat dihindari agar tidak terdapat potensi
pajak berganda maupun masalah administrasi perpajakan. Dalam hal ini terdapat
hak yang dijamin oleh ketentuan perpajakan bagi WNI tersebut untuk
mengajukan upaya hukum dalam rangka menghindari adanya dual tax resident.
Beberapa upaya hukum yang dapat ditempuh oleh WNI tersebut dalam
hal ini adalah:
1. Mengajukan permohonan pencabutan NPWP di Indonesia
Berdasarkan pembahasan yang telah disampaikan di atas, sepanjang WNI
yang menetap di luar negeri dapat membuktikan keberadaannya dengan
dokumen resmi, maka seharusnya statusnya berubah menjadi wajib pajak
luar negeri sehingga dapat mengajukan permohonan pencabutan NPWP di
Indonesia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (6) UU KUP dinyatakan bahwa
NPWP dapat dihapuskan apabila sudah tidak lagi memenuhi syarat subjektif.
Dalam hal ini ketika kewajiban pajak subjektif WNI tersebut berakhir pada
saat meninggalkan Indonesia selama-lamanya yang dimaknai dengan
menetap di luar negeri, maka syarat pencabutan NPWP seharusnya telah
terpenuhi
19
Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-115848.99/2017/PP/M.IIIA Tahun
2018, h. 94

165
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Permohonan tersebut dapat diajukan oleh WNI melalui formulir


hardcopy atau secara elektronik melalui aplikasi yang tersedia di laman
website Direktorat Jenderal Pajak.20 Untuk permohonan melalui formulir
hardcopy, wajib disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat WNI
tersebut terdaftar, sedangkan untuk permohonan melalui aplikasi, maka WNI
tersebut tetap wajib menyampaikan dokumen pendukung ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar dalam jangka waktu maksimal 14 hari
kerja setelah menyampaikan permohonan melalui aplikasi di laman website
Direktorat Jenderal Pajak.
Kantor Pelayanan Pajak setelah menerima permohonan yang telah lengkap,
melakukan pemeriksaan dan harus menerbitkan keputusan dalam jangka
waktu 6 bulan
2. Mengajukan permohonan Gugatan ke Pengadilan Pajak
Apabila permohonan WNI tersebut ditolak, maka sesuai dengan ketentuan
perpajakan terdapat hak untuk mengajukan upaya hukum Gugatan. Dalam
hal ini upaya Gugatan diajukan terhadap Keputusan penolakan penghapusan
NPWP. Keputusan penolakan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat
(2) huruf c UU KUP termasuk di dalam kategori objek Gugatan sehingga
secara formal telah memenuhi ketentuan untuk diajukan Gugatan
Dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP secara khusus dinyatakan
bahwa semua keputusan yang berkaitan dengan perpajakan yang diterbitkan
pihak Kantor Pelayanan Pajak dapat diajukan Gugatan kecuali terkait Pasal
25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP. Hal ini karena pasal-pasal tersebut adalah
terkait dengan proses keberatan dimana apabila Wajib Pajak mengajukan
proses keberatan dan pihak Kantor Pajak menerbitkan Keputusan Keberatan,
maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah Banding dan bukan
Gugatan
Kompetensi absolut terkait sengketa Gugatan di bidang perpajakan
berada di Pengadilan Pajak. Dalam kasus ini, berdasarkan pasal 40 UU PP
permohonan Gugatan harus diajukan oleh WNI tersebut dalam Bahasa
Indonesia, dalam jangka waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
diterima Keputusan, dan disampaikan ke Pengadilan Pajak.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Per - 20/Pj/2013 tentang Tata


20

Cara Pendaftaran Dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak,


Pelaporan Usaha Dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak,
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Dan Pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak, Serta Perubahan Data
Dan Pemindahan Wajib Pajak, ps. 1

166
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Berdasarkan permohonan tersebut, Pengadilan Pajak akan memproses


Gugatan melalui sidang pemeriksaan dimana WNI dapat menunjuk kuasa
untuk mewakili selama persidangan. Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan
menerbitkan Putusan Gugatan dimana sesuai dengan Pasal 80 UU PP bentuk
Putusan tersebut dapat menolak, mengabulkan sebagian atau seluruhnya,
atau membatalkan. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan
berkekuatan hukum tetap, sehingga apabila ternyata permohonan Gugatan
tersebut ditolak, maka satu-satunya upaya hukum yang dapat ditempuh
adalah Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
3. Mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung
Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat
ditempuh oleh WNI apabila permohonan Gugatan yang diajukan ke
Pengadilan Pajak ditolak. Sesuai dengan Pasal 89 UU PP, permohonan
hanya dapat diajukan 1 (satu) kali ke Mahkamah Agung dan melalui
Pengadilan Pajak.

PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan penulis pada
bab- bab sebelumnya, maka penulis menyimpulkan bahwa:
1. Status wajib pajak WNI yang menetap di luar negeri sesuai dengan hukum
pajak Indonesia merupakan wajib pajak luar negeri karena berdasarkan
konsep keberadaannya, kewajiban pajak subjektif WNI tersebut di
Indonesia telah berakhir.
2. Untuk menghindari adanya dual tax resident, maka WNI tersebut dapat
mengajukan upaya hukum pencabutan/penghapusan NPWP ke Kantor
Pelayanan Pajak. Apabila permohonan tersebut ditolak, maka dapat
menempuh upaya hukum Gugatan ke Pengadilan Pajak. Upaya hukum
terakhir yang dapat ditempuh adalah Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung apabila permohonan Gugatan tidak dikabulkan

167
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Defoe, Daniel, The Political History of the Devil, Oxford, London, 1726
Gunadi, Panduan Komprehensif Ketentuan Umum Perpajakan, Edisi Revisi
2016, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2016
Pohan, Chairil Anwar, Manajemen Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak
dan
Bisnis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2013
Kurniawan, Anang Mury, Tax Treaty Memahami Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda melalui Studi Kasus, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2012
Darussalam, John Hutagaol, dan Danny Septriadi, Konsep dan Aplikasi Perpajakan
Internasional, Danny Darussalam Tax Center, Jakarta 2010
R. Sumitro, Hukum Pajak Internasional Indonesia: Perkembangan
dan Pengaruhnya, PT Eresco, Bandung, 1986
Surahmat, Rachmanto, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Sebuah
Pengantar, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011
Hutagaol, John, Darussalam, dan Danny Septriadi, Kapita Selekta Perpajakan,
Salemba Empat, Jakarta, 2006

Jurnal

Rokilah, Implikasi Kewarganegaraan Ganda Bagi Warga Negara Indonesia,


dalam Ajudikasi, Vol. 1 No. 2 halaman 53 – 62 Desember 2017, diunduh dari
http://ejurnal.lppmunsera.org/index.php/ajudikasi/article/download/497/55
9 pada 19 Oktober 2018

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-


Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, LN Tahun 2007 No. 85, TLN No. 4740
Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, LN Tahun 2008 No.
133, TLN No. 4893
Per - 02/PJ/2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor Per-20/PJ/2013 Tentang Tata Cara Pendaftaran Dan Pemberian
Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha Dan Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Dan Pencabutan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Perubahan Data Dan Pemindahan
Wajib Pajak
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Malaysia
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Singapura

168
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dan


Pemerintah Amerika Serikat

Putusan Pengadilan Pajak


Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-115848.99/2017/PP/M.IIIA Tahun 2018

169
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MINYAK DAN GAS


BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA
1Raditya Afrisal Hidayat, 2Mochamad Eko Budi Dharmawan
1,2
Magister Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga
1radityafrisal94@gmail.com

2karang.empatv@yahoo.co.id

ABSTRAK

Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan yang ada di Indonesia. Mengingat
pentingnya sumber daya alam migas maka migas dikuasai oleh negara. Penguasaan sumber daya alam migas di
Indonesia berdasarkan Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun
(UUD 1945). Dalam putusan Mahkamah Konstitusi 002/PUU-1/2003 tentang Uji Materi Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mendefinisikan penguasaan negara adalah mengadakan fungsi kebijakan
(beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan
pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bila dimaknai secara
bertingkat berdasarkan efektivitas untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat maka fungsi pengelolaan
(beheersdaad) menjadi yang paling utama. Pertamina merupakan perwujudan negara untuk menjalankan fungsi
pengelolaan. Namun, industri migas memiliki sifat high risk, high capital, dan high knowlede sehingga sangat susah
untuk mengelola semua SDA Migas. Oleh karena itu diperlukan kerja sama negara dengan International Oil Company
(IOC)
Kata Kunci : Penguasaan Negara, Minyak dan Gas Bumi, Pertamina, International Oil Company (IOC)

ABSTRACT

Oil and Gas is a natural resource that is not renewable that exist in Indonesia. Given the importance of the natural
resources of oil and gas, the gas is controlled by the state. Authorization of natural resources of oil and gas in
Indonesia by the Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) article 33 paragraph (2) and (3).
In the Mahkamah Konstitusi decision 002 / PUU-1/2003 on Judicial Review of Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi defines the authorization of the state is to hold a policy function (beleid), the
maintenance action (bestuursdaad), regulation (regelendaad), management (beheersdaad), and control
(toezichthoudensdaad) for the purpose of the prosperity of the people. When interpreted in stages based on
effectiveness to achieve the greatest prosperity of the people of the functions of management (beheersdaad) being the
most important. Pertamina is a manifestation of the state to carry out management functions. However, the nature of
the oil and gas industry has a high risk, high capital and high knowlede so it is very difficult to manage all the natural
resources of oil and gas. Ther fore we need cooperation countries with the International Oil Company (IOC)
Kata Kunci : State Authorization, Oil and Gas, Pertamina, International Oil Company (IOC)

170
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kaya raya dengan sumber daya alam yang melimpah.
Indonesia memiliki kekayaan tambang emas terbesar di dunia, kekayaan cadangan minyak
dan gas yang melimpah, kekayaan hutan tropis terbesar di dunia dengan berbagai
keanekaragaman hayati, negara kepulauan terbesar di dunia, negara yang kaya akan sumber
daya manusia dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa1 yang menempatkan
Indonesia sebagai negara ke 4 (empat) yang memiliki jumlah penduduk paling banyak di
dunia.
Sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia harus dikelola dengan baik.
Sumber daya alam tak punya nilai ekonomis apa pun, kecuali sebatas catatan kekayaan
negara. Negara dengan sumber daya alam terbatas seperti Singapura dan Jepang menjadi
negara yang maju tanpa memiliki sumber daya alam yang memadai. Mereka justru
mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya. Indonesia yang
memiliki kekayaan alam yang melimpah seharusnya menjadi negara yang sangat maju.
Salah satu sumber daya alam Indonesia adalah Minyak dan Gas (Migas). Dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Selanjutnya
disebut UU Migas)2 Pasal 1 angka 1 UU Migas menjelaskan bahwa minyak bumi adalah
hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur
atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan
bitumen yang diperoleh dan proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau
endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak
berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka
2 UU Migas dijelaskan bahwa gas bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang
dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dan proses
penambangan minyak dan gas bumi.
Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Minyak dan Gas Energi Sumber Daya
Alam, hingga awal Januari 2013, Indonesia memiliki cadangan minyak bumi sebesar
7.549,81 MMSTB dan hingga Januari 2010, Indonesia memiliki cadangan gas bumi
sebesar 157.14 TSCF yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan cadangan
minyak dan gas bumi terbesar di Asia Tenggara.

1
Sensus Penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistika.
2
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152.

171
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Tabel 1.1 Peta Cadangan Minyak Bumi Indonesia

Sumber. http://migas.esdm.go.id/public/images/uploads/posts/gerbang_260_9.jpg
s

Tabel 1.2. Peta Cadangan Gas Bumi Indonesia

Sumber. http://migas.esdm.go.id/public/images/uploads/posts/gerbang_273_5.jpg

Minyak dan gas mempunyai peran bagi pendapatan negara. Sejak Ekspor migas
dilakukan tahun 1969, penerimaan migas mendominasi penerimaan negara dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) hingga 19873. Baru setelah 1988, peran penerimaan
perpajakan sudah mengalahkan posisi dominan penerimaan migas dalam APBN4. Pada
tahun 2014, Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat realisasi
penerimaan sektor minyak dan gas mencapai Rp 320,25 triliun melebihi target APBN 2014
sebesar Rp 309,933 triliun5.
Mengingat pentingnya sumber daya alam migas maka migas dikuasai oleh negara.

3
Saragih, Sejarah Perminyakan di Indonesia, CV Aghrino Abadi, Jakarta, 2010, h.101.
4
Ibid.
5
Bisnis.liputan6.com/read/2155417/ini-realisasi-penerimaan-negara-dari-sektor- migas.

172
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Penguasaan sumber daya alam migas di Indonesia dikuasai oleh negara berdasarkan Pasal
33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) yang berbunyi :

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara;
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat;

Ketentuan UUD 1945 lebih mengarah pada "prinsip penguasaan" oleh negara, dan
dalam penjabarannya lebih memberikan kesempatan yang luas kepada perusahaan-
perusahaan negara (Badan Usaha Milik Negara/BUMN) untuk berperan besar dalam
perekonomian nasional. Hal ini sebagai manifestasi tanggung jawab negara untuk
memaksimalkan pemanfaatan potensi ekonomi nasional guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, sehingga jelas peran negara dalam perekonomian nasional adalah cukup besar6.
Namun industri migas membutuhkan modal yang besar, teknologi dan sumber daya
manusia yang memadai dengan risiko yang sangat tinggi khususnya di sektor hulu. Oleh
karenanya negara membutuhkan penanaman modal baik dari dalam negeri maupun luar
negeri. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (selanjutnya disebut UU Penanaman Modal)7, yang disebut penanaman
modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam
negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah negara
Republik Indonesia. Kehadiran investor diharapkan dapat membawa dampak positif,
membuka lapangan pekerjaan sehingga dapat menggerakkan roda perekonomian baik skala
lokal maupun nasional. Investor akan datang dengan sendirinya bila segala hal yang
dibutuhkan telah tersedia untuk itu8.
Pada sektor migas khususnya kegiatan hulu hampir 70% produksi migas di
Indonesia dikelola oleh perusahaan asing seperti Chevron (Amerika Serikat), Total
(Perancis), ConocoPhilips (Amerika Serikat), British Petroleum (Inggris), dan ExxonMobil
(Amerika Serikat). Sedangkan sisanya sekitar 30% produksi migas Indonesia diproduksi
langsung oleh perusahaan perusahaan migas nasional9.
Tata kelola dalam sumber daya alam minyak dan gas ini harus dilakukan dengan
sangat baik, karena migas merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan (unrenewable
resources) sehingga dapat habis suatu waktu nanti. Minyak bumi sangat penting karena
merupakan salah satu sumber energi yang paling utama saat ini. Contoh dalam mobilisasi
manusia sehari-hari yang memerlukan kendaraan. Tenaga yang diperoleh oleh kendaraan
tersebut berasal dari pembakaran bahan bakar minyak (BBM). Gas bumi juga penting

6
Muchammad Zaidun, "Penerapan Prinsip-Prinsip Penanaman Modal Asing di Indonesia", Disertasi,
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2005, h.22.
7
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4724.
8
Lusiana, Usaha Penanaman Modal di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, h.104-105.
9
Gde Pradnyana, Nasionalisme Migas, Nayottama Press Holdings, Banten, 2014, h.4.

173
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga gas/uap, bahan bakar industri ringan,
menengah, berat, dan masih banyak lainnya. Negara harus mengelola sumber daya alam
minyak dan gas sebaik mungkin sebagaimana diamanatkan dalam konsideran UU Migas
yang berbunyi :
Huruf b :
"Bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang
dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang
banyak yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga
pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat."
Huruf c :
"Bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam
memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang
meningkat dan berkelanjutan."

Menurut R. Priyono, fungsi strategis migas bagi negara dan bangsa Indonesia yang
meliputi10:
1. Minyak dan gas berfungsi mendatangkan devisa dari hasil produksinya;
2. Minyak gas menjadi pemenuhan kebutuhan pasokan migas bagi dalam negeri (domestik);
3. Minyak dan gas mendorong kebangkitan ekonomi dan "survive" nya bangsa Indonesia
yang sangat erat berkaitan dengan pertahanan dan keamanan nasional;
4. Minyak dan gas mendorong terjadinya multiplier effect atau efek domino bagi
terbangunnya ekonomi nasional secara terintegrasi, berdasarkan asas gotong royong;
5. Minyak dan gas ikut menyediakan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia dari tingkat
paling bawah hingga paling tinggi;
6. Sebagai sarana meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia dalam standar
kualitas internasional;
7. Minyak dan gas berfungsi sebagai alat strategis, pemersatu bangsa dan menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
8. Minyak dan gas berfungsi sebagai alat strategis pencapaian kemakmuran sebesar-
besarnya rakyat Indonesia sampai tingkat desa;
9. Minyak dan gas menjaga kedaulatan teritorial negara Indonesia seperti Proyek Natuna di
laut China Selatan, dan Proyek Masela di Laut Arafura, Maluku Tenggara Barat. Selain
itu, memberikan blok-blok migas yang berada di garis terdepan ketiga Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI) kepada Pertamina.

Dalam rangka memaksimalkan penerimaan negara, Pemerintah sudah beberapa kali


mencoba berbagai bentuk kontrak pengelolaan Wilayah Kerja (WK) migas, mulai dari
bentuk konsesi peninggalan Belanda, kemudian Bung Karno memperkenalkan bentuk
Kontrak Karya pada periode 1960-1965. Bentuk kontrak ini kemudian disempurnakan
menjadi bentuk kontrak bagi hasil pada era Ibnu Sutowo memimpin Pertamina tahun 1970-
an. Bentuk-bentuk kontrak bagi hasil ini dalam perjalanannya hingga sekarang telah 4
(empat) kali diperbaharui yang tentunya disesuaikan dengan lingkungan persaingan regional

10
AM Putut Prabantoro, Migas The Untold Story, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014, h.46.

174
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

maupun internasional dalam merebut peluang investasi serta agar menarik investor
melakukan eksplorasi di Indonesia11.
Dari penjelasan di atas terlihat korelasi antara penguasaan negara terhadap sumber
daya alam minyak dan gas dengan penanaman modal asing di Indonesia. Sifat khas dari
industri migas itu sendiri yang menyebabkan diperlukannya pengelolaan yang tepat dan
profesional dengan modal yang besar seperti yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan
multinasional (MNCs). Dalam hal ini Indonesia sebagai host country berkewajiban
menjamin adanya kepastian hukum atas penanaman modal yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan multinasional tersebut. Indonesia juga harus melindungi hak-hak yang dimiliki
oleh warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam konstitusi UUD 1945 bahwa
pengelolaan sumber daya alam ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan latar belakang mengenai pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas
berkaitan dengan penanaman modal asing di Indonesia, maka permasalahan yang akan
dikaji sebagai berikut :
1. Penguasaan negara terhadap sumber daya alam minyak dan gas di Indonesia;
2. Kerja sama pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas antara Pemerintah Indonesia
dengan penanam modal asing di Indonesia

METODE PENELITIAN
Tipe penelitian yang digunakan adalah doctrinal research. Menurut Terry Hutchinson
Doctrinal research adalah research which provides a systemic exposition of the rules
governing a particular legal category, analysis the relationship between rules, explain
areas of difficuly and, perhaps, predicts future development12. Diterjemahkan secara bebas
bahwa penelitian doktrinal adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis
mengenai kaidah-kaidah hukum yang mengatur kategori hukum tertentu, menganalisis
hubungan antar kaidah-kaidah hukum, menjelaskan area yang sulit, dan bahkan
memprediksi perkembangan mendatang.

PEMBAHASAN
1 PENGUASAAN NEGARA TERHADAP SUMBER DAYA ALAM MINYAK DAN
GAS DI INDONESIA

Konsep Penguasaan Negara

Dasar konstitusional penguasaan negara terhadap sumber daya alam diatur dalam
Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 di bawah BAB XIV tentang Kesejahteraan Sosial yang
menyatakan dengan jelas bahwa (2) "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara". (3) "Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

11
Gde Pradnyana, Op.Cit. h.4.
12
Terry Hutchinson, Research and Writing in Law, Lawbook Co, Sydney, 2002, h. 9 sebagaimana dikutip
Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cet.VI, Ed.I. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 20005, h.32.

175
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

merupakan tujuan dari setiap pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam nasional13.
Tujuan ini dipandang sebagai kepentingan yang tidak dapat diabaikan sebab selain
merupakan amanat konstitusi, juga didambakan oleh setiap warga negara dan menjadi
tanggung jawab negara sebagai konsekuensi dari hak penguasaan negara itu sendiri14.
Minyak dan gas adalah salah satu sumber kekayaan alam yang ada di bumi
Indonesia. Berdasarkan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 maka minyak dan gas
dikuasai oleh negara. Prinsip penguasaan negara atas sumber daya alam migas
sebagaimana dimaksudkan dalam UUD 1945 dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia di bidang migas, yaitu UU Migas. Sebelumnya pengaturan
mengenai migas diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi ( selanjutnya disebut UU Migas 1960) yang
merupakan undang-undang pertama yang mengatur mengenai migas. Dalam Pasal 2 UU
Migas 1960 dinyatakan :
"Segala bahan galian minyak dan gas bumi yang ada di dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara."

Kelembagaan Migas di Indonesia


Sistem yang dianut oleh UUD 1945, Presiden Republik Indonesia mempunyai
kedudukan sebagai kepala negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan15. Presiden
sebagai kepala pemerintahan dinyatakan secara tegas dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
Presiden adalah pemegang kekuasaan cabang eksekutif tertinggi di Indonesia. Presiden
bersama Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR) menjalankan fungsi pengaturan
(regelendaad) dengan membentuk UU Migas sebagai UU yang mengatur mengenai
pengelolaan migas di Indonesia. Presiden juga berwenang mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) di bidang migas untuk pelaksanaan teknis dari sebuah Undang-undang.
Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan membentuk Badan Pelaksana
yaitu Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas)
yang melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu migas. SKK Migas dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 09 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. SKK Migas bertugas
melaksanakan penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
SKK Migas berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). SKK Migas dipimpin oleh
kepala yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. SKK Migas bertujuan agar
pengambilan sumber daya alam migas milik negara dapat memberikan manfaat dan
penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pada sektor hilir, Pemerintah membentuk Badan Pengatur yaitu Badan Pengatur
Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap
penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak dan gas bumi pada kegiatan usaha

13
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, h.32.
14
Ibid.
15
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII
Press, 2005, h.105.

176
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

hilir. BPH Migas dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 tentang Badan
Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha
Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa. Fungsi dari BPH Migas adalah melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak
dan pengangkutan gas bumi melalui pipa, dalam suatu pengaturan agar ketersediaan dan
distribusi bahan bakar minyak yang ditetapkan Pemerintah dapat terjamin di seluruh
wilayah negara kesatuan republik Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan gas bumi
dalam negeri. Untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan bahan
bakar minyak dan pengangkutan gas bumi melalui pipa.
Lembaga yang telah dijelaskan di atas tidak ada yang bertindak sebagai operator.
Untuk mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui sumber daya alam
migas, kelima fungsi negara sebagaimana dimaksud oleh Mahkamah Konstitusi, bila
dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektivitas untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat maka fungsi pengelolaan (beheersdaad) menjadi yang paling utama.
Pengelolaan oleh negara secara langsung diharapkan akan menciptakan keuntungan yang
diperoleh akan lebih maksimal dari sumber daya alam migas. Hal ini dapat dilakukan
sepanjang negara memiliki kemampuan modal yang cukup, teknologi yang memadai, dan
sumber daya manusia yang memadai.

Pelaksana Investasi Migas oleh Negara


Fungsi negara sebagai entrepreneur menurut W. Friedmann sejalan dengan konsep
penguasaan negara sebagai pengelola (beheersdaad) sebagaimana menurut Mahkamah
Konstitusi. Hal ini juga sejalan dengan pengertian "penguasaan negara" menurut Bagir
Manan yang salah satunya adalah bahwa ada penyertaan modal oleh negara dalam bentuk
perusahaan negara untuk usaha-usaha tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak16.
Juga sejalan dengan pengertian "dikuasai oleh negara" menurut Muhammad Yamin yaitu
negara tidak hanya mengatur melainkan juga menyelenggarakan terutama untuk
memperbaiki dan mempertinggi produksi17. Bahkan dapat dirumuskan dari pengertian
"menguasai negara" menurut Panitia Keuangan dan Perekonomian bahwa konsep menguasai
negara di sektor migas tidak hanya negara sebagai penguasa, pengatur, pengawas sumber
daya alam migas namun negara juga harus meningkatkan penyertaan pada sektor migas yang
merupakan sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak18. Untuk menjalankan fungsi
sebagaimana dijelaskan di atas, maka negara membutuhkan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) untuk melaksanakan fungsinya.
Salah satu BUMN yang bertugas mengelola penambangan minyak dan gas bumi di
Indonesia adalah PT Pertamina. Pertamina adalah hasil gabungan dari perusahaan Pertamin
dengan Permina yang didirikan pada tanggal 10 Desember 1957. Pertamina berubah status

16
Muchammad Zaidun dan Mas Rahmah, Strategi Mewujudkan Kemandirian Nasional di Sektor Migas
(Minyak dan Gas Bumi) dan Ketahanan Energi Nasional Melalui Kebijakan Divestasi Saham Untuk Investor Asing,
Penelitian, LPPM-Unair, Surabaya, 2013.
17
Ibid.
18
Ibid.

177
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

menjadi persero sebagai tindak lanjut dikeluarkannya UU Migas. Pendiriannya berdasarkan


Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) Menjadi Perusahaan Perseroan
(Persero). Akta pendirian perusahaan perusahaan telah disahkan oleh Menteri Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia melalui surat nomor C-24025 HT.01.01.TH.2003 tanggal 9 Oktober
2003 dan diumumkan dalam Berita negara No. 93 Tambahan Nomor 93 Tambahan Nomor
11620 tanggal 21 November 2004. Anggaran dasar perusahaan telah mengalami beberapa
kali perubahan untuk menyesuaikan struktur modal perusahaan yang diaktakan dengan Akta
Notaris Lenny Janis Ishak, S.H., Nomor 1 tanggal 1 Agustus 2012, yang telah disetujui oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Surat Keputusan Nomor AHU-
43594.AH.01.02 Tahun 2012 tanggal 10 Agustus 201219.
Negara melalui Pertamina menjalankan fungsinya sebagai pengelola/operator
(beheersdaad) dalam sumber daya alam migas. Namun, mengingat sifat industri migas
terutama di sektor hulu yang high risk, high capital, dan high knowledge, maka akan
beresiko ketika negara melaksanakan sendiri industri migasnya. Sebagai contoh sepanjang
2009-2012, proyek pengeboran migas di laut banyak menuai kegagalan. Di Selat Makasar,
Marathon telah mengebor dua sumur di Blok Pasangkayu yang ternyata kering, Exxon Mobil
Oil Indonesia mengebor dua sumur di Blok Mandar dan lainnya di Blok Surumana yang juga
kering dan tidak ekonomis, Conoco Philips, Statoil, dan Talisman Energy juga melakukan
pengeboran yang ternyata sumur kosong20. Menurut Deputi Operasi SKK Migas, sepanjang
2009-2012, para kontraktor proyek laut dalam telah kehilangan investasi senilai 2,4 miliar
dolar AS atau sebesar 31,2 triliun rupiah (kurs 1 dollar = 13 ribu rupiah). Bisa dibayangkan
bila negara mengalami kerugian seperti itu tanpa memperoleh hasil apa pun.
Selain itu, karena pengusahaan bahan galian menyangkut kepentingan umum dan
negara, maka dapat dilakukan bersama-sama dengan badan hukum perdata dalam bentuk
kontrak kerja sama. Dalam keadaan yang demikian, penguasa negara atau pemerintah
menurut Kranenburg dan Vegting bertindak sebagai organ dari badan hukum publik yang
berupa badan hukum perdata (private rechtpersoonlijkeheid)21. Negara sebagai subyek
hukum memiliki kekayaan dan mempunyai wewenang mengusahakan dan menggunakan
kekayaan yang dimilikinya dalam posisi sebagai majikan dan badan hukum perdata sebagai
pemborong atau pembeli22. Kebanyakan hal ini dilakukan dalam bentuk hukum karena
hukum yang berlaku dalam kerja sama itu adalah hukum perdata23.
Berdasarkan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi

19
Laporan Keuangan Konsolidasian PT. Pertamina dan Entitas Anak Tahun 2014.
20
Pria Indirasardjana, Minyak Untuk Presiden, Grasindo, Jakarta, 2014 (selanjutnya disebut Pria
Indirasardjana II), h.154.
21
Abrar Saleng, Op.Cit., h.58.
22
R.Kranenburg dan W.G. Vegting, Inleiding in het Nederlands Administratiefrecht, H.D Tjeenk Willink &
Zoon N.V. Haarlem, 1955, p.183 sebagaimana dikutip Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta,
2004, h.58.
23
Ibid.

178
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga


keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Dalam pasal tersebut terdapat
asas tentang efisiensi berkeadilan yang berarti adalah asas dalam pengelolaan energi yang
harus mencapai pemerataan akses terhadap energi dengan harga yang ekonomis dan
terjangkau.
Untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam migas di Indonesia secara maksimal
ketika negara tidak memiliki modal, sumber daya manusia, dan teknologi yang dibutuhkan.
Maka diperlukan kerja sama dalam pengelolaannya. Kerja sama itu diperlukan untuk
menciptakan efisiensi berkeadilan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (4)
UUD 1945.
Pasal 33 UUD 1945 tidak melarang negara untuk bekerja sama dalam melakukan
pengelolaan sumber daya alamnya. Sepanjang kerja sama yang dilakukan tidak bertentangan
dengan prinsip "dikuasai negara" dan "dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat".

2. KERJA SAMA PENGELOLAAN MINYAK DAN GAS ANTARA PEMERINTAH


DENGAN PERUSAHAAN ASING
Rasionalitas Kerja Sama

Titik berat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 adalah frasa kata "untuk sebesar
besarnya kemakmuran rakyat". Tidak disebutkan bahwa negara harus melaksanakan sendiri
pengelolaan sumber daya alam migasnya. Pengelolaan migas yang dimiliki oleh bumi
Indonesia harus menciptakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.
Bila negara untuk mencapai tujuan dari pengelolaan sumber daya alam migas
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 3 UU Migas
melakukan sendiri semua pengelolaan sumber daya alam migas di wilayah
pertambangannya, maka akan sangat susah mengingat sifat industri migas khususnya di
sektor hulu yang high risk, high capital, dan high knowledge. High risk dapat diartikan
bahwa pengelolaan migas memiliki risiko yang besar. Karena dalam melaksanakan
eksplorasi belum tentu akan menemukan migas. Padahal telah mengeluarkan biaya yang
banyak. High capital dapat diartikan bahwa pengelolaan migas memerlukan modal yang
besar seperti teknologi, penggunaan alat, dan membayar sumber daya manusianya. High
knowledge dapat diartikan bahwa pengelolaan migas memerlukan sumber ilmu
pengetahuan yang sangat tinggi. Diperlukan kemampuan khusus untuk terjun di sektor ini.
Tidak sembarangan orang dapat melakukannya. Tetapi dibalik semua itu terdapat sifat
industri migas yang lain yaitu high gain yang menjanjikan keuntungan yang besar dalam
pengelolaannya. Dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam migas tersebut, negara
dapat melaksanakan kerja sama dengan para pelaku industri minyak
Industri minyak dan gas dunia memiliki dua pelaku yang sangat menonjol yaitu
International Oil Company (IOC) dan National Oil Company (NOC)24. IOC adalah
perusahaan publik multinasional yang bergerak dibidang minyak dan gas, dengan wilayah

24
NN, Pengaruh International Oil Company Terhadap Ketahanan Energi di Indonesia, http://
repository.unhas.ac.id/.

179
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

kerja yang melewati batas negara dan berada di seluruh benua25. NOC adalah perusahaan
minyak dan gas yang didirikan oleh negara untuk mengelola sumber daya hidrokarbon26.
Beberapa NOC banyak yang fokus beraktivitas dalam negerinya sendiri tetapi saat ini ada
juga yang turut bersaing dengan IOC dengan mulai merambah ke berbagai negara. Di
Indonesia, perusahaan seperti Chevron (Amerika Serikat), Total (Perancis), ConocoPhilips
(Amerika Serikat), British Petroleum (Inggris) dan ExxonMobil (Amerika Serikat) adalah
contoh dari IOC. Sedangkan Pertamina adalah contoh dari NOC.
IOC inilah yang memiliki kemampuan yang cukup dalam melakukan pengelolaan
sumber daya alam migas baik dari segi modal, teknologi, dan kemampuan sumber daya
manusianya sebagaimana sifat yang dimiliki oleh industri migas. Ketika negara tidak
memiliki modal, teknologi dan sumber daya manusia yang memadai maka negara melalui
Pemerintah dapat bekerja sama dengan perusahaan multinasional tersebut.
Perusahaan IOC migas yang ada di Indonesia kebanyakan merupakan anak
perusahaan dari induk perusahaannya. Seperti Shell Indonesia yang merupakan anak
perusahaan dari Royal Dutch Shell plc, yang berbadan hukum Inggris dan Wales27. PT.
Chevron Pacific Indonesia dan Chevron Indonesia Company, yang merupakan anak
perusahaan dari Chevron Corporation28. Hal tersebut dikarenakan secara yuridis masing-
masing kesatuan perusahaan IOC itu terdaftar sebagai perusahaan di negara penerima modal
dalam hal ini Indonesia sebagai tempat di mana IOC itu melakukan usahanya. Selain itu,
Indonesia mewajibkan perusahaan MNC yang beroperasi di wilayahnya untuk membentuk
badan hukum Indonesia untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas investasi yang diberikan oleh
Pemerintah. Oleh karenanya, bila melaksanakan kerja sama, maka Pemerintah menjalin
kerja sama dengan anak perusahaan dari IOC.
Kerja sama antara negara dan anak perusahaan IOC menjadi penting untuk mencapai
tujuan dari pengelolaan migas nasional. Aspek pertama perlunya kerja sama dalam
pengelolaan sumber daya alam migas adalah anak perusahaan IOC berpengaruh penting
terhadap ketersediaan energi migas di Indonesia. Agar Indonesia memiliki ketersediaan
energi, diperlukan investasi dari anak perusahaan IOC untuk mengembangkan sumber daya
alam migas yang ada di Indonesia. Minyak selama ini mendominasi pasokan energi primer
di Indonesia, dengan pangsa sekitar 43%29. Sedangkan gas bumi merupakan jenis energi
primer utama ketiga di Indonesia, setelah minyak bumi dan batubara, dengan pangsa sekitar
22% (tanpa biomassa)30. Gas bumi merupakan sumber daya energi dengan potensi yang
cukup tinggi. sebagian besar produksi gas bumi saat ini dijadikan sebagai komoditas ekspor

25
Ibid.
26
Ibid.
27
Shell Indonesia, “Profil Shell Indonesia”, http://www.shell.co.id/id/aboutshell/ shell-
businesses/profile.html.
28
Chevron Indonesia, “Chevron di Indonesia”, http://www.chevronindonesia.com/a/, dikunjungi pada
tanggal 17 November 2015.
29
Dewan Energi Nasional, Outlook Energi Indonesia, 2014, h.107.
30
Ibid, h. 108.

180
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

dalam bentuk LNG dan gas pipa. Sebagian besar produksi minyak dan gas bumi di Indonesia
diproduksi oleh kontraktor asing dengan kontrak bagi hasil31. Chevron menjadi perusahaan
dengan presentase produksi minyak terbesar di Indonesia dengan 47% sedangkan Total E&P
Indonesia menjadi perusahaan dengan presentase produksi gas terbesar di Indonesia dengan
memproduksi 25% gas di Indonesia. Sedangkan NOC Indonesia yaitu Pertamina hanya
mampu memproduksi 18% produksi minyak Indonesia dan memproduksi 16% produksi gas
di Indonesia.
Aspek kedua rasionalitas kerja sama adalah mengenai risiko dalam industri migas
khususnya sektor hulu. Dalam tahap eksplorasi saja, yaitu tahap untuk menemukan cadangan
migas. Diperlukan biaya rata-rata mencapai 10 juta-15 juta dollar Amerika per sumur32.
Dalam kegiatan eksplorasi tersebut merupakan kegiatan yang sangat padat modal dan tinggi
risikonya. Sementara peluang untuk menemukan cadangan minyak dan gas mungkin hanya
10%33. Bank juga sulit membiayai eksplorasi minyak yang belum keluar dari tanah atau laut
lepas karena bank dalam menyalurkan kredit harus memperhatikan prinsip kehati-hatian
karena bank mengelola dana masyarakat, sehingga dana yang digunakan untuk eksplorasi
berasal dari modal anak perusahaan IOC itu sendiri. Risiko kehilangan banyak modal dalam
kegiatan hulu migas tersebut dialihkan pada kontraktor kontrak kerja sama melalui
mekanisme Cost Recovery. Cost Recovery adalah pengembalian biaya eksplorasi dan
eksploitasi migas dari Pemerintah kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Sebagian besar dari KKKS di Indonesia adalah anak perusahaan IOC. Cost Recovery
tersebut dibayarkan dalam bentuk produksi migas, yang dinilai dengan Weighted Average
Price (WAP), yaitu harga rata-rata tertimbang dihitung berdasarkan nilai lifting selama satu
tahun dibagi dengan jumlah satuan lifting selama periode yang sama34.

Bentuk Kerja Sama

Sepanjang sejarah pengusahaan minyak di Indonesia, terdapat tiga model kontrak


kerja sama antara Pemerintah dan kontraktor, yaitu : (a) sistem konsesi, (b) sistem kontrak
karya, dan (c) sistem production sharing contract, yang dikenal sebagai PSC.
Sistem konsesi atau lebih dikenal dengan dengan istilah "Kontrak 5a" adalah sistem
yang berlaku pada zaman kolonial Hindia-Belanda yang mengacu pada Indische Mijnwet
1899, beleid pertama yang dibuat oleh Pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk mengatur
pengusahaan pertambangan di Nusantara35. Konsesi merupakan suatu perjanjian antara suatu
negara pemilik atau pemegang kuasa pertambangan minyak dan gas bumi dengan investor,

31
PricewaterhouseCooper, Oil & Gas in Indonesia : Investment and Taxation Guide May, 2014, h. 11.
32
Eronu Telaumbanua, “Besarnya Biaya Eksplorasi Sumur Minyak”,
http://beritadaerah.co.id/2014/03/11/besarnya-biaya-eksplorasi-sumur-minyak/, 11 Maret 2014.
33
Pria Indirasardjana I, Op.Cit, h.80.
34
Abdul Nasir, Sejarah Sistem Fiskal Migas Indonesia, Grasindo Jakarta, 2014, h. 78.
35
M.Kholid Syeirazi, Di Bawah Bendera Asing (Liberalisasi Industri Migas di Indonesia), LP3ES, Jakarta,
2009, h.73-74.

181
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

di mana investor akan mendapatkan hak untuk melakukan eksplorasi dan jika berhasil,
melakukan produksi serta memasarkan minyak dan gas bumi tanpa melibatkan negara
pemberi konsesi dalam manajemen operasi36.
Prinsip-prinsip kerja sama di dalam sistem konsesi secara umum adalah (a)
kepemilikan sumber daya migas bumi dihasilkan berada di tangan kontraktor (mineral
right); (b) Kontraktor diberi wewenang penuh dalam mengelola operasi pertambangan
(mining right); (c) Dalam batas-batas tertentu, kepemilikan aset berada di tangan
kontraktor; (d) Negara mendapatkan sejumlah royalti yang dihitung dari pendapatan kotor.;
(e) Kontraktor diwajibkan membayar pajak tanah dan pajak penghasilan dari penghasilan
bersih. Kelemahan utama sistem konsesi adalah ketidakterlibatan negara pemilik
(Pemerintah)37. Konsesi memberi hak kepada kontraktor untuk memasarkan hasil
produksi, termasuk hak melakukan transportasi dan mengekspor sendiri38.
Sistem kontrak karya berlaku saat diundangkannya UU Migas 1960 pada tanggal 26
Oktober 1960 di era presiden Soekarno. Kontrak karya adalah sistem yang diberlakukan
dalam kerja sama pengelolaan migas setelah tidak diberlakukannya lagi sistem konsesi.
Berlaku sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 196339. Dalam sistem ini, perusahaan
pertambangan migas hanya diberikan kuasa pertambangan saja, tetapi tidak meliputi hak atas
tanah, kontraktor memegang manajemen operasi dan sifat kontraknya adalah profit
sharing40. Regulasi ini mengatur bahwa sumber daya migas adalah milik negara. Status
perusahaan minyak diturunkan dari pemegang konsesi menjadi kontraktor negara41.
Perjanjian kontak karya memuat lima ketentuan pokok, antara lain42:
a. Setiap Perusahaan melepas hak konsesi yang diperoleh pada masa Pemerintahan kolonial,
dan sebagai gantinya setuju bertindak sebagai kontraktor perusahaan negara;
b. Perusahaan diberi kontrak berjangka waktu 20 tahun untuk melanjutkan eksploitasi di
daerah konsesi lama;
c. Fasilitas pemasaran dan distribusi diberikan kepada perusahaan negara yang mengontrak
dalam waktu 5 tahun dengan harga yang telah disetujui bersama;
d. Fasilitas kilang akan diserahkan kepada Indonesia dalam waktu 10-15 tahun dengan nilai
yang telah disetujui bersama.

Sistem perjanjian karya yang diperkenalkan melalui UU Migas tidak berlangsung

36
Rudi M.Simamora, Hukum Minyak dan Gas Bumi, Djambatan, Jakarta, 2000, h.55.
37
Dewi Wulan, Karakteristik Production Sharing Contract Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2010, h.29.
38
Ibid.

39
Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h.257.

40
Ibid.
41
Satuan Kerja Khusus Migas, “Mengenal Kontrak Hulu Migas Indonesia”,
http://www.skkmigas.go.id/mengenal-kontrak-hulu-migas-indonesia, 13 Agustus 2013.
42
Dewi Wulan, Op.Cit., h.30.

182
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

lama karena pada tahun 1964 sistem perjanjian karya digantikan dengan sistem kontrak
production sharing (PSC)/ Kontrak Bagi Hasil43. PSC yang diperkenalkan pada masa itu
karena tiga hal yaitu44: (1) Indonesia adalah negeri yang memiliki kandungan migas
berlimpah, tetapi tidak memiliki kemampuan finansial untuk mengelola kegiatan sektor hulu
yang membutuhkan modal sangat besar dan berisiko tinggi; (2) Indonesia belum memiliki
teknologi memadai untuk melakukan kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi; (3)
Indonesia belum memiliki tenaga kerja yang kompeten untuk mendukung dan menjalankan
kegiatan-kegiatan usaha hulu migas. Dengan sistem PSC, dalam jangka panjang diharapkan
akan terjadi alih teknologi dan pengetahuan serta akumulasi modal, sehingga bangsa
Indonesia kelak dapat sepenuhnya mengelola kekayaan migas sendiri untuk kemakmuran
rakyat45.
Sejak 1964, PSC telah melalui beberapa generasi46. PSC generasi I (1964-1977)
mempunyai substansi yang sama dengan yang dikemukakan oleh Ibnu Sutowo hanya karena
pada tahun 1973/1974 terjadi lonjakan harga minyak dunia, sehingga Pemerintah
menetapkan kebijakan sejak tahun 1974 kontraktor wajib melaksanakan pembayaran
tambahan kepada Pemerintah47. PSC generasi I mempunyai prinsip-prinsip sebagai
berikut48:
1. Manajemen operasi berada di tangan Pertamina.
2. Kontraktor menyediakan seluruh biaya operasi perminyakan.
3. Kontraktor akan memperoleh kembali seluruh biaya operasinya dengan ketentuan
maksimum 40% setiap tahun.
4. Dari 60% dibagi menjadi Pertamina 65% dan kontraktor 35%.
5. Pertamina membayar pajak pendapatan kontraktor kepada Pemerintah.
6. Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) untuk dalam negeri
secara proporsional (maksimum 25% bagiannya) dengan harga US$ 0.20/barel.
7. Semua peralatan dan fasilitas yang dibeli oleh kontraktor menjadi milik Pertamina.
8. Interest kontraktor ditawarkan kepada perusahaan nasional Indonesia setelah dinyatakan
komersial.
9. Sejak tahun 1974 sampai dengan tahun 1977, kontraktor diwajibkan memberikan
tambahan pembayaran kepada Pemerintah.

PSC generasi II (1978-1987) merupakan perubahan yang disebabkan oleh pengaruh


asing, dalam hal ini Pemerintah Amerika Serikat yang mengeluarkan IRS Ruling yang
antara lain menetapkan bahwa penyetoran Net Operating Income PSC dianggap sebagai

43
Ibid.
44
Rudi M.Simamora, Op.Cit, h.93.
45
M.Kholid Syeirazi, Op.Cit, h.78.
46
Ibid.
47
Adrian Sutedi, Op.Cit, h.261.
48
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, h.318-319.

183
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

pembayaran royalti kepada Pemerintah, karena pembayaran pajak Pertamina dan


kontraktor dibayarkan oleh Pertamina, disarankan kontraktor membayar pajak langsung
kepada Pemerintah sehingga kontraktor membayar pajak sebesar 56% secara langsung
kepada Pemerintah49. PSC generasi II mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut50:
1. Tidak ada pembatasan pengembalian biaya operasi yang diperhitungkan oleh kontraktor.
2. Setelah dikurangi biaya-biaya, pembagian hasil menjadi 65,91% untuk Pertamina;
34,09% untuk kontraktor. Sedangkan gas: 31,80% untuk Pertamina; 68,20 % untuk
kontraktor.
3. Kontraktor membayar pajak 56 % secara langsung kepada Pemerintah.
4. Kontraktor mendapat insentif, yaitu harga ekspor penuh minyak mentah Domestic Market
Obligation setelah lima tahun pertama produksi.
5. Insentif pengembangan 20% dari modal yang dikeluarkan untuk fasilitas produksi.

PSC generasi III (1988-2001) menjamin bahwa Pemerintah akan mendapat bagian
minyak per tahun51. Di dalam PSC III muncul istilah First Tranche Petroleum (FTP) sebesar
20 % yaitu bagian dari produksi kotor yang harus diambil lebih dahulu untuk dibagi antara
Pemerintah dan kontraktor sebelum dipotong Cost Recovery52.
Pembagian hasil berubah menjadi minyak : 71,15% untuk Pertamina; 28,85% untuk
kontraktor. Gas: 42,31% untuk Pertamina; 57,69% untuk kontraktor53. Akan tetapi, setelah
dikurangi pajak, komposisi pembagian hasilnya untuk masing-masing pihak adalah54:
1. Minyak: 65 % untuk Pertamina; 15 % untuk kontraktor; dan
2. Gas: 70 % untuk Pertamina dan 30 % untuk kontraktor.

PSC generasi IV (2001-sekarang) dimulai sejak diundangkannya UU Migas pada


tanggal 23 November 2001 oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri55.
PSC generasi IV mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut56:
1. Jangka waktu 30 tahun dengan masa eksplorasi 6 tahun dan perpanjangan masa
eksplorasi selama 4 tahun. Kontrak yang telah habis jangka waktunya dapat
diperpanjang kembali 20 tahun.
2. Kontraktor menyisihkan 25% wilayah kerjanya pada tiga tahun pertama, 25% pada
enam tahun pertama, dan 30% pada saat atau sebelum akhir tahun ke 10.
3. Kontraktor wajib mengajukan program kerja dan anggaran (WP&B) untuk

49
Adrian Sutedi, Op.Cit., h.261-262.
50
Salim HS, Op.Cit., h.320.
51
M.Kholid Syeirazi, Op.Cit., h.79.
52
Ibid.
53
Salim HS, Op.Cit., h.320.
54
Ibid.
55
Syaiful Bakhri, Hukum Migas, Total Media, Jakarta, 2012, h.40.
56
M. Kholid Syeirazi, Op.Cit., h.80-82.

184
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

mendapatkan persetujuan badan pelaksana yang terdiri dari komitmen pasti selama tiga
tahun dan komitmen enam tahun dengan penekanan pada program kerja berdasarkan
ketentuan kontrak.
4. Manajemen operasi, termasuk persetujuan program kerja dan anggaran, menjadi
tanggung jawab badan pelaksana, sedangkan pelaksanaan program kerja dan anggaran
menjadi tanggung jawab kontraktor.
5. Pengalihan interest ekonomi kepada perusahaan afiliasi cukup dengan sepengetahuan
badan pelaksana, sedangkan pengalihan perusahaan non-afiliasi harus dengan
persetujuan badan pelaksana dan Pemerintah.
6. Terhadap kontraktor berlaku kebijakan Ring Fence; kontraktor hanya boleh menangani
satu wilayah kerja.
7. Kredit investasi dan biaya operasi yang dikeluarkan kontraktor akan diperoleh kembali
melalui hasil penjualan atau pembagian minyak mentah setiap tahun kalender.
8. Kontraktor wajib menyediakan dana untuk membeli dan menyewa peralatan. peralatan-
peralatan yang dibeli menjadi milik Pemerintah ketika peralatan tersebut masuk ke
Indonesia, penguasaannya diserahkan kepada kontraktor.
9. Ketentuan mengenai First Tranche Petroleum I, yaitu hak untuk mengambil dan
menerima sebagian hasil minyak (20% atau 15%) lebih dahulu sebelum dikurangi biaya
operasi dan produksi setiap tahun, dibagi antara badan pelaksana dan kontraktor sesuai
dengan bagian masing-masing yang tercantum dalam kontrak kerja sama. First Tranche
Petroleum II adalah hak badan pelaksana untuk mengambil dan menerima sebagian hasil
minyak (10%) lebih dahulu sebelum dikurangi biaya operasi dan produksi setiap tahun.
Hal tersebut tidak dapat dibagi antara badan pelaksana dan kontraktor.
10. Pemerintah menerima kompensasi informasi, bonus peralatan, dan bonus produksi dari
kontraktor yang tidak dibebankan pada biaya operasi.
11. Kontraktor wajib menyediakan 25% dari hasil produksinya untuk kebutuhan dalam
negeri.
12. Kontraktor harus memperkerjakan tenaga kerja Indonesia yang bermutu dan wajib
membantu pelatihan tenaga kerja badan pelaksana.
13. Jika terjadi perselisihan, akan diserahkan kepada badan arbitrase dengan menggunakan
aturan International Chamber of Commerce (ICC).
14. Badan pelaksana wajib membuat pembukuan dan akuntansi yang lengkap. Pembukuan
dan akuntansi pada masa eksplorasi wajib dibuat oleh kontraktor.
15. Badan pelaksana berhak meminta kepada kontraktor 10% interest penuh dari
keseluruhan hak dan kewajiban dalam kontrak untuk ditawarkan kepada "Partisipan
Indonesia" (Pemda, BUMD atau perusahaan berbadan hukum Indonesia yang sahamnya
dimiliki Indonesia).

Perubahan mendasar terletak pada pihak yang bekerja sama, pada UU Migas 1960
yang menjadi para pihaknya adalah Pertamina dengan kontraktor. Sedangkan pada UU
Migas, yang menjadi pihaknya adalah badan pelaksana dengan badan usaha dan atau badan
usaha tetap.
Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU Migas, badan usaha adalah perusahaan berbentuk
badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan

185
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

dalam wilayah negara kesatuan republik Indonesia. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 18 UU
Migas, bentuk usaha tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar
wilayah negara kesatuan republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah negara
kesatuan republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku di republik Indonesia. Namun bila menggunakan bentuk badan usaha, maka
berdasarkan pasal 20 UUPM tidak akan mendapatkan fasilitas-fasilitas sebagaimana yang
berlaku bagi penanam modal asing yang diatur dalam pasal 18 UUPM. Bentuk badan usaha
ini dapat digunakan sebagai cara masuk IOC ke Indonesia dengan konsekuensi tidak
mendapatkan fasilitas penanam modal asing.
Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (1) UU Migas kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha
hilir dapat dilaksanakan oleh (a) badan usaha yang berbentuk; (b) badan usaha milik negara;
(c) badan usaha milik daerah; (d) koperasi; (e) badan usaha swasta. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk memberi kesempatan seluas-luasnya kepada badan usaha, baik yang
berskala besar, menengah, maupun kecil untuk melakukan kegiatan usaha hulu dan kegiatan
usaha hilir dengan skala operasional yang didasarkan pada kemampuan keuangan dan teknis
badan usaha yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 11 UU Migas, kegiatan usaha hulu dilaksanakan oleh badan usaha
atau bentuk usaha tetap berdasarkan kontrak kerja sama dengan badan pelaksana. Namun di
sektor hilir berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU Migas bentuk usaha tetap dilarang
melaksanakan kegiatan usaha hilir. Pada Pasal 23 ayat (1) UU Migas, kegiatan usaha hilir
hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha setelah mendapat izin usaha dari Pemerintah.
Bentuk usaha tetap difokuskan kepada kegiatan usaha hulu karena berkaitan dengan risiko
tinggi yang banyak dilakukan oleh perusahaan internasional yang mempunyai jaringan
internasional yang luas. Juga untuk memberikan iklim investasi yang kondusif untuk
menarik penanam modal, termasuk penanam modal asing, diberi kesempatan untuk tidak
perlu membentuk badan usaha.
Dalam UU Migas tidak diberikan definisi yang jelas mengenai PSC/kontrak bagi
hasil. Pasal 1 angka 19 UU Migas hanya menyebutkan bahwa kontrak bagi hasil adalah salah
satu kontrak kerja sama yang dapat digunakan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
migas di Indonesia. Definisi PSC/kontrak bagi hasil justru terdapat dalam Pasal 1 angka 1
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994 tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerja
Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi yang menyebutkan bahwa kontrak bagi
hasil adalah bentuk kerja sama antara Pertamina dan kontraktor untuk melaksanakan usaha
eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil
produksi.
PSC merupakan salah satu bentuk kerja sama yang disebutkan dalam kontrak kerja
sama wajib memuat paling sedikit57:
a. penerimaan negara;
b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
c. kewajiban pengeluaran dana;
d. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;
e. jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f. penyelesaian perselisihan;

57
Pasal 11 ayat (3) UU Migas

186
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

g. kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
h. berakhirnya kontrak;
i. kewajiban pascaoperasi pertambangan;
j. keselamatan dan kesehatan kerja;
k. pengelolaan lingkungan hidup;
l. pengalihan hak dan kewajiban;
m. pelaporan yang diperlukan;
n. rencana pengembangan lapangan;
o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.

Selain sistem-sistem yang pernah dan sedang dipakai Indonesia tersebut, pada
praktiknya masih ada jenis kontrak lainnya yaitu58:
a. Technical Assistance Contract (TAC) atau kontrak bantuan teknik, yaitu kontrak
Pertamina dengan perusahaan swasta nasional dalam rangka merehabilitasi sumur-sumur
atau lapangan minyak yang ditinggalkan dalam kuasa pertambangan Pertamina,
tujuannya untuk meningkatkan produksi sumur-sumur yang sudah tua. Produksi yang
dibagi adalah produksi setelah dikurangi secondary recovery, pembagian produksi
sebesar 65%-35% bagian kontraktor TAC lebih besar dibandingkan dengan bagian
kontraktor kontrak production sharing, hal ini disebabkan karena risiko yang lebih besar
karena TAC dilakukan terhadap wilayah kerja yang kuantitas minyaknya tidak lagi
banyak karena merupakan wilayah kerja "sisa". Prinsip-prinsip dasar TAC adalah sebagai
berikut :
1. TAC hanya mencakup eksploitasi atau pengembangan saja. Kontraktor tidak
diwajibkan melakukan kegiatan eksplorasi berupa seismik, pengeboran eksplorasi dan
lain-lain;
2. Penggantian biaya operasi sebesar maksimum 65% dari minyak dan gas bumi yang
dihasilkan dan tidak digunakan untuk kegiatan produksi;
3. TAC tidak mengenal First Tranche Petroleum sebagaimana dikenal dalam production
sharing;
4. Masa berlaku TAC adalah 20 tahun, jangka waktu 20 tahun diberikan menyesuaikan
dengan kontrak production sharing. Masa berlakunya production sharing yang 30
tahun artinya adalah 10 tahun pertama digunakan untuk masa eksplorasi dan 20 taun
berikutnya untuk masa pengembangan atau produksi. Oleh karena dalam TAC tidak
ada kegiatan eksplorasi masa berlaku kontraknya hanya untuk 20 tahun. Dalam jangka
waktu 20 tahun tersebut, jika dalam 2 tahun pertama belum dapat dipastikan akan ada
produksi komersial, kontraktor dapat meminta perpanjangan untuk 1 kali 2 tahun
berikutnya, dan jika sampai tahun keempat produksi komersial tetap tidak dapat
dilakukan, maka TAC putus dengan sendirinya;
5. Sejalan dengan prinsip-prinsip di atas, firm commitment dari kontraktor dalam bentuk
rencana kerja dan rancangan hanya untuk jangka waktu 4 tahun pertama yang
dirancang untuk program pengembangan bukan eksplorasi seperti kontrak production

58
Meiry Arriyanti, Op.Cit., h.23-27.

187
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

sharing.
6. Dalam TAC juga tidak dikenal penyisihan/penyerahan kembali wilayah kerja
(relinquishment) karena wilayah kerja yang dikelola oleh kontraktor adalah wilayah
kerja Pertamina dan Pertamina tidak menyerahkannya kepada kontraktor. Namun
kontraktor, setiap saat dalam masa berlakunya perjanjian, tetap diwajibkan untuk
menyerahkan kembali kepada Pertamina lapangan-lapangan yang terbukti sudah tidak
komersial;
7. Prinsip kepemilikan peralatan dan aset sama seperti kontrak production sharing,
namun tetapi kepada kontraktor diberikan hak pengawasan atas aset-aset tersebut dan
berkewajiban untuk memelihara sepanjang masa berlaku perjanjian.

b. Kontrak Enhanched Oil Recovery (EOR), yaitu kerja sama antara Pertamina dan
perusahaan swasta dalam rangka meningkatkan produksi minyak pada sumur dan
lapangan minyak dan masih dioperasikan Pertamina dan sudah mengalami penurunan
produksi dengan menggunakan teknologi tinggi meliputi usaha secondary dan tertiary
recovery;
c. Kerja Sama Operasi Bersama (Joint Operating Arrangement/JOA), yaitu kontrak yang
memiliki prinsip-prinsip yang dasarnya sama dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam
kontrak production sharing. Perbedaan utamanya adalah dalam masalah penyertaan
modal. Jika dikontrak production sharing seluruh dana disediakan oleh kontraktor,
sedangkan dalam JOA sebagian dana, misalnya disediakan oleh Pertamina, sisanya oleh
kontraktor;
d. Badan Operasi Bersama (Joint Operating Body/JOB), yaitu kontrak yang pada prinsipnya
sama dengan JOA. Pertamina ikut dalam pendanaan akan tetapi dalam JOB peranan
Pertamina lebih dominan lagi, yaitu menempatkan wakilnya dari Pertamina di manajemen
secara langsung. Biasanya General Manager dari JOB merupakan wakil Pertamina dan
yang bertindak sebagai operator adalah Pertamina bukan kontraktor.

Sistem-sistem kontrak lain sebagaimana dijelaskan di atas tersebut dapat ditemukan


dalam ketentuan peralihan Pasal 104 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004
sebagaimana di rubah dua kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009
tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi huruf c,d,e, dan g. Kontrak-kontrak
tersebut merupakan kontrak yang dilaksanakan oleh Pertamina dengan kontraktor swasta.
Dapat disimpulkan bahwa MNCs bila ingin melakukan kegiatan usaha hulu migas
dapat melakukan kontrak kerja sama bagi hasil dengan SKK Migas. Selain itu, MNCs dapat
melakukan kerja sama dengan Pertamina dengan menggarap wilayah kerja Pertamina. Kerja
sama tersebut dapat berupa TAC, EOR, JOA, dan JOB.

PENUTUP

1. Kesimpulan

Bahwa dasar penguasaan negara terhadap sumber daya alam di Indonesia adalah
pasal 33 ayat (2) dan 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi (2) "Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh

188
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

negara". (3) "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Penguasaan negara
terhadap sumber daya alamnya harus menitikberatkan terhadap sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Penguasaan negara dikonstruksikan oleh UUD 1945 diperoleh negara
dari rakyat secara kolektif untuk memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan
fungsi kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regale-
ndaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam UU Migas disebutkan mengenai beberapa
lembaga yang bertugas untuk mewujudkan penguasaan negara terhadap sumber daya alam
migas antara lain Pemerintah, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas (SKK Migas), dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas).
Sedangkan Pertamina yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak
di bidang migas merupakan perwujudan penguasaan negara sebagai pengelola
(beheersdaad).
Industri migas terutama di sektor hulu memiliki karakteristik high risk, high
capital, dan high knowledge, sehingga sangat berisiko bagi negara bila melakukan
pengelolaan sendiri. Kerja sama antara negara dan anak perusahaan IOC menjadi penting
untuk mencapai tujuan dari pengelolaan migas nasional. Aspek pertama rasionalitas kerja
sama dalam pengelolaan sumber daya alam migas adalah anak perusahaan IOC
berpengaruh penting terhadap ketersediaan energi migas di Indonesia. Aspek kedua
rasionalitas kerja sama adalah mengenai risiko dalam industri migas khususnya sektor
hulu. Aspek ketiga rasionalitas kerja sama adalah mengenai lapangan pekerjaan yang
dihasilkan oleh anak perusahaan IOC. Sepanjang sejarah pengusahaan minyak di
Indonesia, terdapat tiga model kontrak kerja sama antara Pemerintah dan kontraktor, yaitu :
(a) sistem konsesi, (b) sistem kontrak karya, dan (c) sistem production sharing contract,
yang dikenal sebagai PSC. Anak perusahaan IOC yang juga termasuk dalam MNCs dalam
melakukan pengusahaan migas di Indonesia dapat melakukan kerja sama baik dengan
pemerintah Indonesia ataupun menggarap lapangan kerja Pertamina.

2. Saran

- Pertamina diberikan kedudukan yang lebih dalam melaksanakan pengusahaan sumber


daya alam migas di Indonesia. Ketika Pertamina menyatakan siap dengan segala sumber
daya yang dibutuhkan untuk mengusahakan migas, maka Pemerintah harus menunjuk
Pertamina sebagai operator.

- Membentuk BUMN baru yang bertugas mewakili negara dalam komite proyek migas dan
bertanggung jawab mengedepankan kepentingan negara. BUMN baru tersebut tidak
berperan sebagai “operator” dari proyek migas dan tidak menjalankan atau mengelola
proyek sendiri. BUMN ini dibentuk khusus untuk mengawal tujuan yang ingin dicapai
pemerintah melalui kemitraannya dengan semua perusahaan minyak, termasuk Pertamina.

189
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII
Press, 2005.

Bakhri, Syaiful, Hukum Migas, Total Media, Jakarta, 2012.

HS, Salim, Hukum Pertambangan di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.

Indirasardjana, Pria, 2020 Indonesia Dalam Krisis Bencana Minyak Nasional, Gramedia, Jakarta, 2014.

Lusiana, Usaha Penanaman Modal di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012.

Nasir, Abdul, Sejarah Sistem Fiskal Migas Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2014.

Prabantoro, AM Putut, Migas The Untold Story, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014.

Pradnyana, Gde, Nasionalisme Migas, Nayottama Press Holdings, Banten, 2014.

Saleng, Abrar, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004.

Saragih, Sejarah Perminyakan di Indonesia, CV Aghrino Abadi, Jakarta, 2010.

Syeirazi, M.Kholid, Di Bawah Bendera Asing (Liberalisasi Industri Migas di Indonesia), LP3ES, Jakarta,
2009.

Simamora, Rudi M., Hukum Minyak dan Gas Bumi, Djambatan, Jakarta, 2000.

Sutedi, Adrian, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

INTERNET

Eronu Telaumbanua, “Besarnya Biaya Eksplorasi Sumur Minyak”,


http://beritadaerah.co.id/2014/03/11/besarnya-biaya-eksplorasi-sumur-minyak/, 11 Maret 2014.

Satuan Kerja Khusus Migas, “Mengenal Kontrak Hulu Migas Indonesia”,


http://www.skkmigas.go.id/mengenal-kontrak-hulu-migas-indonesia, 13 Agustus 2013.

Shell Indonesia, “Profil Shell Indonesia”, http://www. Shell.co.id/id/ab/shell- businesses/profile.html.

Chevron Indonesia, “Chevron di Indonesia”, http://www.chevron indonesia.com/about/.

Bisnis.liputan6.com/read/2155417/ini-realisasi-penerimaan-negara-dari-sektor- migas.

NN, Pengaruh International Oil Company Terhadap Ketahanan Energi di Indonesia, http://
repository.unhas.ac.id/.

190
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

SKRIPSI

Dewi Wulan, Karakteristik Production Sharing Contract Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2010.

DISERTASI

Muchammad Zaidun, Penerapan Prinsip-Prinsip Penanaman Modal Asing di Indonesia, Disertasi, Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2005.

PENELITIAN

Muchammad Zaidun dan Mas Rahmah, Strategi Mewujudkan Kemandirian Nasional di Sektor Migas
(Minyak dan Gas Bumi) dan Ketahanan Energi Nasional Melalui Kebijakan Divestasi Saham Untuk Investor Asing,
Penelitian, LPPM-Unair, Surabaya, 2013.

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1125.

Undang-Undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2070.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2971.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 136 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 67 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 106 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 sebagaimana di rubah dua kali terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 sebagaimana di rubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
30 tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4996.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 24.

191
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2013
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 24.

PUTUSAN PENGADILAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Uji Materi Undang-Undang Nomor 20


Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-1/2003 Uji Materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 Uji Materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

192
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

TANGGUNG GUGAT DALAM TRANSAKSI MELALUI INTERNET BANKING

Kuwido Prahoro, Trisadini Prasastinah Usanti


Program Studi Magister Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga
1
mr.kuwido@gmail.com

Abstract
Economic development in Indonesia is inseparable from the strategic role held by banking institutions. The
important position of the bank in supporting the economic activities of the community creates a business
orientation for the bank in conducting various transactions. In developing its business, the bank utilizes
technological advances to improve systems and services for customers. One form of banking services that utilizes
technology is the creation of internet banking services. Internet banking services make it easy for customers to
conduct banking transactions anywhere and anytime. Efficiency and effectiveness are the advantages of internet
banking, so that it becomes an attraction for customers to use internet banking services. But on the other hand,
internet banking services are also prone to be misused by parties who are not responsible for taking advantage
through cybercrime. In this journal, the author focuses on the forms of misuse of internet banking services and
accountability if losses arise due to the use of internet banking services. Hopefully this journal can be a useful
reading and add insight to the reader.

Keywords: Banking, Internet Banking, Customers.

ABSTRACT
Perkembangan ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari peran strategis yang dimiliki oleh lembaga perbankan.
Posisi penting yang dimiliki bank dalam mendukung kegiatan ekonomi masyarakat melahirkan orientasi bisnis
bagi bank dalam melakukan berbagai macam transaksi. Dalam mengembangkan bisnisnya, bank memanfaatkan
kemajuan teknologi untuk meningkatkan sistem dan layanan kepada nasabah. Salah satu bentuk layanan
perbankan yang memanfaatkan teknologi adalah terciptanya layanan internet banking. Dengan adanya, layanan
internet banking memberikan kemudahan bagi nasabah untuk melakukan transaksi perbankan di mana saja dan
kapan saja. Efisiensi dan efektifitas inilah yang menjadi keunggulan internet banking, sehingga menjadi daya
Tarik bagi nasabah untuk menggunakan layanan internet banking. Namun di sisi lain layanan internet banking
juga rawan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan melalui
kejahatan siber. Dalam jurnal ini, penulis memfokuskan pada bentuk penyalahgunaan layanan internet banking
dan tanggung gugat apabila timbul kerugian akibat penggunaan layanan internet banking. Semoga jurnal ini dapat
menjadi bacaan yang bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembacanya.

Kata Kunci: Perbankan, Internet Banking, Nasabah.

PENDAHULUAN
Perkembangan ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari peran strategis yang dimiliki
oleh lembaga perbankan. Bank sebagai salah satu lembaga keuangan yang ada di Indonesia
berfungsi sebagai perantara antara pihak yang mempunyai kelebihan dana dengan pihak yang
kekurangan dana. Posisi penting yang dimiliki bank dalam mendukung kegiatan ekonomi
masyarakat melahirkan orientasi bisnis bagi bank dalam melakukan berbagai macam transaksi.
Transaksi perbankan yang utama adalah menghimpun dana (funding) dan menyalurkan dana
(lending), disamping itu transaksi perbankan lainnya dalam rangka mendukung kegiatan
menghimpun dan menyalurkan dana adalah memberikan jasa-jasa bank lainnya (services).1
Berkaitan dengan bisnis yang dijalankan, bank turut menggunakan kemajuan teknologi
untuk pengembangan sistem bank dan meningkatkan pelayanan kepada nasabah. Pelayanan
melalui fasilitas electronic banking dalam bentuk internet banking merupakan salah satu
1
Trisadini Prasastinah Usanti, Prinsip Kehati-hatian Pada Transaksi Perbankan, Airlangga University
Press, Surabaya, 2013, h.1.

193
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

bentuk dari delivery channel pelayanan bank yang mengubah konsep pelayanan dengan
transaksi manual menjadi pelayanan dengan transaksi berbasis teknologi.
Kehadiran layanan internet banking dalam bisnis perbankan diharapkan menjadi solusi
yang efektif dalam era informasi seperti saat ini, bahwa konsumen (nasabah) sangat
mengedepankan aspek kemudahan, fleksibilitas, efisiensi, dan kesederhanaan dalam
melakukan suatu transaksi. Kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan layanan internet
banking tidak selamanya berjalan lancar tanpa ada kendala. Dalam praktiknya, penggunaan
layanan ini terkadang timbul masalah atau kesalahan yang penyebabnya bukan hanya muncul
dari pihak nasabah sendiri, tetapi juga bisa dari pihak bank ataupun pihak ketiga.
Penyalahgunaan data pribadi nasabah merupakan salah satu pintu masuk dalam kejahatan yang
berkaitan dengan internet banking. Prinsip kerahasiaan dalam konteks perlindungan hukum
atas data pribadi nasabah sudah sewajibnya diterapkan, akan tetapi masih didapati kejahatan
dalam internet banking juga disebabkan oleh minimnya pengamanan yang dilakukan oleh bank
sebagai penyedia jasa dalam melindungi data dan dana nasabah dengan dalih untuk mengejar
kemudahan bagi nasabah.
Perlindungan terhadap nasabah perbankan merupakan salah satu permasalahan yang
sampai saat ini belum mendapatkan tempat yang baik di dalam sistem perbankan nasional.2
Nasabah seringkali berada di posisi yang tidak diuntungkan apabila terjadi perselisihan antara
bank dengan nasabahnya. Pemahaman mengenai bentuk tanggung jawab para pelaku, dimulai
dari adanya hubungan hukum yang terjadi diantara kedua belah pihak dalam suatu perikatan.
Hubungan antara bank dengan masyarakat selain dilandasi hubungan kepercayaan masyarakat
(fiduciary relationship) kepada perbankan juga membawa konsekuensi hukum sebagai akibat
adanya hubungan tersebut.3
Seperti dalam kasus Gugatan Perbuatan Melawan Hukum antara Tjho Winarto sebagai
Penggugat melawan PT. Bank Permata, Tbk selaku Tergugat dan PT. Grapari Telkomsel selaku
Turut Tergugat atas penyalahgunaan layanan internet banking, di mana gugatan terkait telah
disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Salinan Putusan Nomor
92/Pdt.G/2015/PN. Jkt. Sel. yang selanjutnya putusan Majelis Hakim juga telah dikuatkan oleh
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1731 K/Pdt/2017, dalam hal ini
Penggugat telah kehilangan dana/simpanan di rekening tabungan yang telah disimpan di tempat
Tergugat yang selanjutnya Penggugat menuntut ganti rugi kepada Tergugat atas hilangnya
dana/simpanan di rekeningnya. Hilangnya dana/simpanan Penggugat ini ditengarai karena ada
pihak yang tidak bertanggung jawab dapat megakses rekening Penggugat melalui internet
banking di mana pelaku dapat mengetahui data pribadi milik Penggugat yang mana data
tersebut harusnya disimpan dan dirahasiakan dengan baik oleh Tergugat.
Adanya bentuk kejahatan dalam layanan internet banking tersebut menuntut perbaikan
sistem hukum yang efektif dan handal dalam mencegah dan menanggulangi berbagai kejahatan
cyber ke depan. Perbankan perlu meningkatkan keamanan layanan internet banking antara lain
melalui standarisasi pembuatan aplikasi internet banking dan adanya deteksi dini mengenai
panduan apabila terjadi fraud dengan pemberian informasi yang jelas kepada nasabah tentang
segala hal yang berkaitan dengan transaksi melalui layanan internet banking. Hal ini berkaitan
dengan perlindungan dan tanggung jawab bank kepada nasabah jika terjadi kerugian yang
disebabkan penggunaan produk ataupun layanan internet banking tersebut, sehingga bank
sebagai lembaga keuangan tidak kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

2
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2000,
h.130.
3
Agus Yudha Hernoko, “Lembaga Jaminan Hak Tanggungan sebagai Penunjang Kegiatan Perkreditan
Nasional, Tesis, Program Pascasarjana, Unair Surabaya, 1998, h.44.

194
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Oleh karena itu, masalah penyalahgunaan internet banking dan tanggung gugat bilamana
timbul kerugian dalam transaksi melalui internet banking seperti yang sudah diuraikan diatas
menjadi sangat penting untuk dibahas lebih lanjut.
1. Tujuan Penelitian
Menganalisis bentuk penyalahgunaan transaksi melalui internet banking dan
menganalisis tanggung gugat dalam kerugian akibat transaksi melalui internet banking.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian hukum untuk keperluan akademis digunakan untuk menyusun karya
akademis4. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam menyusun suatu
pendapat hukum/legal opinion (LO) tentang transaksi internet banking tanggung gugat
dalam kerugian yang timbul akibat transaksi melalui internet banking.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka metode yang digunakan
adalah metode penelitian hukum yang bertujuan untuk mencari pemecahan atas isu
hukum yang timbul didalamnya, sehingga hasil yang akan dicapai kemudian adalah
memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang diajukan.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case
approach).5 Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh dari
sumber bahan hukum primer yang berkaitan dengan perbankan, perlindungan
konsumen, dan sumber bahan hukum sekunder yang diperoleh dari sumber-sumber
yang menunjang pembahasan permasalahan yang berupa pendapat-pendapat hukum,
ajaran-ajaran hukum, literatur hukum, surat kabar, dan artikel dari internet yang
berkaitan.

METODOLOGI PENELITIAN
Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yang
dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis masalah hukum yang ada. Penggunaan
metode penelitian normatif ditunjang melalui pendekatan peraturan perUndang-
Undangan dengan menelaah peraturan perUndang-Undangan terkait, dan pendekatan
konseptual melalui pemahaman dengan memperdalam asas-asas dan doktrin-doktrin
para sarjana yang diimplementasikan dan relevan dengan penulisan ini.

PEMBAHASAN
1. Bentuk Penyalahgunaan Transaksi Melalui Internet Banking
Internet banking adalah wujud nyata dari perkembangan teknologi yang
dimanfaatkan dalam dunia perbankan. Operasional internet banking memanfaatkan
teknologi jaringan internet yang semakin canggih dan terus berkembang.
Pengertian internet banking adalah suatu bentuk pemanfaatan media jaringan
internet oleh bank untuk mempromosikan dan sekaligus melakukan transaksi
secara online, baik dari produk yang sifatnya konvensional maupun yang baru.6
Menurut Bank Indonesia, internet banking adalah salah satu pelayanan jasa
bank yang memungkinkan nasabahnya untuk memperoleh informasi, melakukan
komunikasi, dan melakukan transaksi perbankan melalui jaringan internet.
Merujuk pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/18/DPNP/2004 tentang
4
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, Hal. 225.
5
Ibid , hal. 113
6
Budi Agus Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h.19.

195
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Penerapan Manajemen Risiko Pada Aktivitas Pelayanan Jasa Melalui Internet


(Internet Banking) angka I.2, jaringan kegiatan internet banking dibedakan
menjadi 3 (tiga), yaitu:
1. Informational Internet Banking
Pelayanan jasa bank kepada nasabah dalam bentuk informasi melalui eksekusi
transaksi.
2. Communicative Internet Banking
Pelayanan jasa bank kepada nasabah dalam bentuk komunikasi atau
melakukan interaksi dengan bank penyedia layanan internet banking secara
terbatas dan tidak melakukan eksekusi transaksi.
3. Transactional Internet Banking
Pelayanan jasa bank kepada nasabah untuk melakukan interaksi dengan
penyedia layanan internet banking dan melakukan eksekusi serta transaksi.
Pemanfataan teknologi internet banking dalam perkembangannya semakin
banyak diaplikasikan pada industri perbankan. Hal ini tentu tidak terlepas dari
banyaknya kemudahan yang didapat dengan keunggulan internet. Sebagai produk
perbankan yang mengalami kemajuan sangat pesat, internet banking dalam
penggunaannya harus diawasi oleh peraturan-peraturan yang relevan dan oleh
regulator perbankan. Penggunaan layanan internet banking perlu diawasi karena
dalam menggunakan teknologi informasi atau internet sangat rawan oleh tindak
kejahatan.
Pesatnya perkembangan teknologi yang dimanfaatkan dalam bentuk aplikasi
layanan internet banking tidak hanya semata-mata menimbulkan keuntungan yang
diperoleh baik dari sisi bank sebagai penyedia jasa maupun nasabah dalam hal ini
yang berlaku sebagai konsumen. Dalam praktiknya masih banyak terdapat
kelemahan dalam sistem teknologi yang diadopsi oleh perbankan, yang selanjutnya
kelemahan tersebut menjadi titik celah yang dimanfaatkan untuk melakukan
penyalahgunaan dalam layanan internet banking.
Cybercrime merupakan sisi gelap dari adanya kemajuan teknologi yang
memiliki dampak negatif bagi seluruh bidang kehidupan modern, tak terkecuali
bidang perbankan. Cybercrime merupakan bentuk atau dimensi baru dari kejahatan
masa kini. Beberapa julukan atau sebutan lain yang ditujukan kepada jenis
kejahatan baru ini antara lain, sebagai kejahatan dunia maya (cyber space/virtual
space offence), dimensi baru dari high tech crime, dimensi baru dari transnational
crime, dan dimensi baru dari white collar crime.7
Dalam kaitannya dengan cybercrime di bidang perbankan adalah salah satu
jenis kejahatan internet yang menjadikan pihak bank sebagai korban baik langsung
maupun tidak langsung. Dalam konteks hukum perbankan, kejahatan ini
digolongkan ke dalam “tindak pidana di bidang perbankan” bukan “tindak pidana
perbankan”. Kedua istilah tersebut nampaknya serupa tapi tak sama. Menurut
Marulak Pardede, tindak pidana di bidang perbankan adalah tindak pidana yang
terjadi di kalangan dunia perbankan, baik yang diatur dalam Undang-Undang
Perbankan maupun dalam perundang-undangan lainnya. Sedangkan tindak pidana
perbankan adalah tindak pidana yang hanya diatur dalam Undang-Undang
Perbankan, termasuk di dalamnya Undang-Undang Bank Indonesia.8

7
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia,
RajaGrafindo P'ersada, Jakarta, 2006, h.1.
8
Marulak Pardede, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, h. 13.

196
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Cybercrime di bidang perbankan muncul dengan memanfaatkan kelalaian atau


kelengahan pihak bank, merchant maupun pihak nasabah. Oleh karena itu yang
menjadi korban bisa siapapun baik itu pihak bank, merchant, atau pihak nasabah,
tergantung dari jenis kejahatannya. Secara garis besar bentuk tindak kejahatan yang
terjadi dalam penyalahgunaan terhadap suatu sistem atau jaringan komputer dan
yang menggunakan komputer sebagai instrument delicti, juga dapat terjadi di dunia
perbankan.
Apabila dikaitkan dengan kejahatan internet banking dalam perbankan,
beberapa bentuk potensi kejahatan internet banking antara lain:9
a. Typo Site: dalam bentuk kejahatan ini, pelaku membuat nama situs palsu yang
sama persis dengan situs asli dan membuat alamat yang mirip dengan situs
asli. Pelaku menunggu kesempatan jika ada nasabah yang salah mengetikkan
alamat dari situs palsu buatannya. Jika hal ini terjadi maka pelaku akan
memperoleh informasi user dan password nasabah tersebut dan dapat
dimanfaatkan untuk merugikan korban (nasabah). Contoh typosite adalah:
www.klikbca.com (situs asli BCA) dibuat tiruannya yang hampir serupa
menjadi www.klickbca.co.id.
b. Keylogger/keystroke logger: awalnya merupakan suatu program yang
diciptakan dengan tujuan untuk parental control agar para orang tua yang
bekerja siang dan malam dapat mengontrol apa saja yang dilakukan oleh
anaknya dalam jaringan komputer tersebut. Namun selanjutnya program ini
justru disalahgunakan. Dalam kejahatan ini, program digunakan untuk
merekam karakter apa saja yang diketikkan oleh pengguna komputer. Hal ini
sering terjadi pada tempat mengakses internet umum seperti di warnet.
Program ini akan merekam karakter-karakter yang diketik oleh user dan
berharap akan mendapatkan data penting seperti user ID maupun password.
Semakin sering mengakses internet di tempat umum, semakin rentan pula
terkena modus operandi yang dikenal dengan istilah keylogger atau keystroke
recorder ini. Cara kerja dari modus ini sebenarnya sangat sederhana, tetapi
banyak pengguna warnet di tempat umum yang tidak sadar dan lengah
aktifitasnya sedang dicatat orang lain. Pelaku memasang keylogger di
komputer-komputer umum sehingga keylogger tersebut akan merekam semua
tombol keyboard yang ditekan oleh pengguna berikutnya. Di lain waktu pelaku
akan mengambil hasil “jebakannya” di komputer yang sama dan berharap akan
memperoleh informasi penting dari para korban, seperti user ID dan password.
Oleh karena itu dalam edukasi kepada nasabah, bank selalu memberitahukan
kepada nasabah untuk tidak melakukan transaksi internet banking di
komputer-komputer umum.
c. Sniffing: usaha untuk mendapatkan user ID dan password dengan jalan
mengamati paket data yang diunggah maupun diunduh pada jaringan
komputer. Kejahatan ini biasanya dilakukan oleh orang yang sudah sangat ahli.
d. Brute Force Attacking: usaha untuk mendapatkan password atau key dengan
mencoba semua kombinasi angka, huruf, tanda baca dan simbol lainnya.
e. Web Deface: sistem exploitation dengan tujuan mengganti tampilan halaman
muka suatu situs persis dengan tampilan halaman muka situs internet banking
suatu bank. Pelaku mengelabui nasabah dengan membuat situs yang berbeda

9
Direktorat Hukum Bank Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Rekonstruksi Hukum
Dalam Menanggulangi Kajahatan Dunia Maya di Bidang Perbankan, Interim Report, 2003, h.82.

197
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

dengan situs asli dari suatu bank. Namun, pelaku membuat halaman muka situs
yang dibuat olehnya tersebut sama dengan halaman muka situs suatu bank.
Jadi pelaku meng-hyperlink situs tersebut, sehingga apabila nasabah tidak
memperhatikan situs tersebut dan tertipu oleh tampilan halaman muka yang
mirip dengan situs asli suatu bank, maka nasabah tersebut akan masuk jebakan
si pelaku.
f. Email Spamming: mengirimkan junk e-mail berupa iklan produk dan
sejenisnya pada alamat e-mail seseorang. Pelaku mengirimkan e-mail yang
mengatasnamakan situs suatu bank, yang seolah-olah e-mail tersebut
dikirimkan oleh pihak bank kepada e-mail nasabah tersebut. E-mail tersebut
biasanya berupa penawaran iklan produk bank atau meminta nasabah tersebut
untuk mengkonfirmasi ulang data-datanya dengan alasan untuk keperluan
bank, sehingga jika ada nasabah yang tertipu dan mengikuti pesan dari e-mail
palsu tersebut maka pelaku dapat mengetahui data-data yang dimiliki oleh
nasabah tersebut.
g. Denial of Service: membanjiri data dalam jumlah sangat besar dengan maksud
untuk melemahkan sistem sasaran. Jika data yang sudah dimasukkan melebihi
dari kapasitas sistem tersebut maka sistem tersebut akan terganggu, sehingga
saat sistem terganggu maka pelaku akan lebih mudah menerobos sistem
tersebut.
h. Virus, Worm, Trojan: menyebarkan virus, worm maupun trojan dengan
tujuan untuk melemahkan sistem komputer, memperoleh data-data dari
sistem korban dan untuk mencemarkan nama baik pembuat perangkat lunak
tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, bentuk penyalahgunaan dalam layanan internet
banking dapat dipengaruhi oleh faktor kesalahan dari pengguna maupun
kelemahan pada sistem perbankan. Keamanan dalam penggunaan layanan internet
banking seyogyanya menjadi fokus pihak bank yang menyediakan fasilitas layanan
internet banking, yang dapat dilakukan dengan membuat sistem pengamanan
berlapis yang sulit untuk diretas atau disusupi oleh tindakan yang bersifat ilegal.

2. Tanggung Gugat Dalam Transaksi Melalui Internet Banking


Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Perbankan yang dimaksud dengan nasabah
adalah pihak yang menggunakan jasa bank.10 Nasabah bank dibagi menjadi
nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang
menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian
bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sementara mengenai nasabah debitur
adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank
dengan nasabah yang bersangkutan.
Sehubungan dengan asas yang melandasi hubungan hukum antara bank
dengan nasabah, sebagaimana penjelasan Pasal 29 ayat (3) dan (4) Undang-Undang
Perbankan disebutkan bahwa hubungan antara bank dengan nasabah didasarkan
sebagai suatu hubungan kepercayaan (fiduciary relationship).11 Bank tidak boleh
hanya memperhatikan semata-mata kepentingannya sendiri, tetapi juga harus

10
Trisadini P. Usanti, Abd. Shomad, Hukum Perbankan, Lutfansah Mediatama, Surabaya, 2015, h.15.
11
Ibid.

198
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

memperhatikan kepentingan nasabah, baik nasabah penyimpan dana maupun


pengguna dana.
Semua transaksi perbankan pada dasarnya selalu diawali dengan
kontrak/perjanjian. Kontrak/perjanjian tersebut bertujuan untuk memberikan
kemudahan dan kepastian hukum diantara para pihak. Kontrak pada dasarnya
merupakan bagian penting dari suatu proses bisnis yang syarat dengan pertukaran
kepentingan di antara para pelakunya. Dalam perjanjian internet banking antara
bank dengan nasabah, ditentukan bahwa bank menerima dan menjalankan setiap
instruksi dari nasabah sebagai instruksi yang sah berdasarkan penggunaan user ID
dan PIN atau menilai maupun membuktikan sebaliknya.
Di dalam perjanjian internet banking antara bank dengan nasabah, banyak
ditemukan syarat-syarat baku yang sangat merugikan kepentingan nasabah
tersebut. Perjanjian dengan syarat-syarat baku yang telah memuat syarat-syarat
yang membatasi kewajiban kreditur. Syarat yang demikian dinamakan syarat
eksenorasi klausul. Akibatnya, tanggung jawab salah satu pihak menjadi dibatasi.
Beban tanggung jawab yang mungkin diberikan oleh peraturan perundang-
undangan dihapus oleh penyusun perjanjian dengan syarat-syarat eksenorasi.12
Selain terdapat klausul eksenorasi, dalam perjanjian internet banking juga
terdapat klausul force majeure. Pada hakikatnya klausul force majeure merupakan
klausul yang membebaskan debitur untuk bertanggung jawab atas tidak
dipenuhinya kewajiban yang ditentukan baginya, hal ini ditentukan dalam undang-
undang. Jadi walaupun klausul force majeure tidak dicantumkan dalam perjanjian,
namun debitur yang bersangkutan tetap saja dibebaskan dari tanggung jawab
karena itu merupakan ketentuan undang-undang. Klausul force majeure digunakan
untuk menguraikan suatu syarat perjanjian di mana salah satu pihak atau kedua
pihak dimaafkan untuk tidak melaksanakan prestasinya, baik seluruh maupun
sebagian, yang berkaitan dengan terjadinya peristiwa tertentu yang berada di luar
kekuasaannya.13
Nasabah merupakan bagian yang penting dalam berjalannya bisnis yang
dilakukan oleh lembaga keuangan perbankan. Peran nasabah sangat besar terhadap
keberlangsungan operasional suatu bank, yaitu dengan menyimpan dana/uang
mereka di bank. Dana tersebut selanjutnya menjadi sumber dana utama bagi
perbankan untuk menjalankan kegiatan usahanya. Oleh karena itu, perlindungan
hukum terhadap nasabah seyogyanya mendapat perhatian khusus baik dari pihak
bank maupun pemerintah sebagai pihak yang membuat peraturan perundang-
undangan.
Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat
dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan
hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketenteraman sehingga memungkinkan
manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia. Selanjutnya menurut
Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah upaya untuk melindungi
kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya
untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.14

12
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Daya Widy, Jakarta, 1999, h. 104.
13
Sjahdeini, Kebebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam
Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Institut Bank Indonesia, Jakarta, 1993, h. 2.
14
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, h. 121.

199
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Bank Indonesia sebagai pelaksana otoritas moneter mempunyai peranan


penting dalam usaha melindungi dan menjamin agar nasabah tidak mengalami
kerugian akibat tindakan bank yang salah. Sebagai otoritas pengawas industri
perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kegiatan
nasabah dalam hubungannya dengan bank dengan mengeluarkan berbagi regulasi
bidang perbankan mengenai perlindungan nasabah, diantaranya adalah:15
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005, tanggal 20 Januari 2005,
tentang Transaparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi
Nasabah;
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005, tanggal 20 Januari 2005,
tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/10/PBI/2008, tanggal 20 Februari 2008;
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006,
tentang Mediasi Perbankan yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/1/PBI/2008, tanggal 29 Januari 2008.
Pemberian informasi terkait layanan internet banking merupakan suatu
kewajiban bagi pihak bank kepada nasabahnya sebagaimana dalam peraturan
perundang-undangan terkait yang telah mengatur mengenai kewajiban tersebut.
Pemberian informasi tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk perlindungan
preventif kepada nasabah pengguna layanan internet banking, sehingga nasabah
dapat mengetahui jenis, bentuk dan risiko yang melekat pada produk layanan
internet banking. Dengan diketahuinya hal ini oleh nasabah, maka nasabah akan
bisa meminimalisir untuk melakukan pencegahan agar tidak menjadi korban
kejahatan internet banking.
Selain mengenai kejelasan informasi produk bank kepada nasabah,
perlindungan preventif lainnya yang diberikan oleh bank kepada nasabah ialah
berupa kebijakan privasi dan proteksi berlapis terhadap sistem layanan internet
banking. Kebijakan privasi adalah kebijakan untuk tidak menjual, menukar, atau
memperlihatkan segala informasi yang berkaitan dengan nasabah atau pengunjung
situs internet banking. Hal ini merupakan penerapan dari asas kerahasiaan di mana
bank wajib merahasiakan keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya.
Sementara terkait proteksi terhadap sistem layanan internet banking, bank
menerapkan otorisasi berlapis dalam hal nasabah yang akan melakukan transaksi
agar dapat dipastikan bahwa transaksi yang dilakukan adalah benar permintaan dari
nasabah yang bersangkutan.
Dalam hal nasabah telah mengalami kerugian akibat transaksi melalui layanan
internet banking, bentuk tanggung jawab bank kepada nasabah diupayakan dalam
hal penanganan dan penyelesaian berbagai keluhan dan pengaduan nasabah akibat
adanya kerugian tersebut. Bank harus merespon keluhan dan pengaduan nasabah
dengan sigap, serta menetapkan standar waktu yang jelas dan berlaku secara umum
di setiap bank dalam proses menyelesaikan setiap aduan dari nasabah. Beberapa
bentuk pertanggung jawaban bank terhadap aduan oleh nasabah yang mengalami
kerugian akibat transaksi melalui internet banking adalah:
1. Complain handling;
2. Upaya damai;
3. Mediasi perbankan;

15
Andika Persada Putra, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Dengan Mediasi”, Jurnal, Jurnal Yuridika
Volume 28, Unair Surabaya, 2013, h. 16.

200
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

4. Jalur pengadilan.
Selain itu, jika kesalahan yang menyebabkan kerugian nasabah terjadi akibat
sistem bank, selanjutnya pihak bank akan melakukan audit terhadap sistemnya
dengan berbagai pertimbangan dan dengan beberapa cara seperti renewable system
(pembaruan sistem) dan melakukan enhancement (peningkatan), yaitu
memperbaiki tingkat layanan internet banking agar dapat diakses oleh para user
dengan baik seiring pertumbuhan transaksi. Peningkatan ini biasanya dilakukan
pada sisi networking (jaringan), sistem, aplikasi, dan database.
Sehubungan dengan sengketa antara Tjho Winarto sebagai Penggugat
melawan PT. Bank Permata, Tbk selaku Tergugat dan PT. Grapari Telkomsel
selaku Turut Tergugat atas penyalahgunaan layanan internet banking, hal ini
diawali dengan hilangnya dana simpanan/tabungan milik Penggugat sebesar Rp.
245.000.000,00 (dua ratus empat puluh lima juta rupiah) akibat rekeningnya yang
dapat diakses oleh pihak yang tidak bertanggung jawab yang dapat masuk melalui
sistem layanan internet banking milik Tergugat. Penggugat dalam petitumnya
menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
tidak melaksanakan prinsip kehati-hatian sehingga data pribadinya bisa diketahui
oleh orang lain sehingga berdampak pada hilangnya dana simpanan/tabungan milik
Penggugat.
Dalam sengketa ini, Penggugat telah mengajukan komplain kepada Tergugat
dan selanjutnya oleh Tergugat ditangani melalui mekanisme complain handling
akan tetapi tidak membuahkan hasil yang memuaskan pihak Penggugat. Upaya
damai dan mediasi juga telah ditempuh kedua belah pihak, namun sayang sekali
lagi tidak ada hasil kesepakatan di antara para pihak. Sengketa ini selanjutnya
disidangkan di Pengadilan di mana gugatan terkait telah disidangkan di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dengan Salinan Putusan Nomor 92/Pdt.G/2015/PN. Jkt. Sel.
yang selanjutnya putusan Majelis Hakim juga telah dikuatkan oleh Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1731 K/Pdt/2017.
Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa, gugatan Penggugat Error in
Persona karena Penggugat mendalilkan adanya dugaan perbuatan hukum pidana
berupa pembobolan rekening dan tindak kejahatan perbankan yang dilakukan
oleh seseorang pelaku akan tetapi dalam tuntutannya Penggugat meminta ganti
kerugian kepada Tergugat. Bahwa dengan demikian gugatan Penggugat
merupakan gugatan yang cacat hukum karena pertanggungjawaban sebagai
akibat dari perbuatan pidana yang didalilkan Penggugat tersebut hanya dapat
diminta pertanggung-jawaban kepada pelaku, dengan demikian gugatan
Penggugat harus dinyatakan ditolak untuk seluruhnya.
Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah menyatakan
Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak melakukan prinsip
kehati-hatian dalam perbankan yang mengakibatkan kerugian pada Penggugat,
dihubungkan dengan alat bukti P7 yang berupa print screen percakapan BBM
antara perwakilan Tergugat dan Penggugat yang pada intinya menyatakan bahwa
nomor handphone Penggugat berada di bawah penguasaan orang lain sehingga
dapat digunakan untuk melakukan kejahatan dalam transaksi internet banking,
maka Majelis Hakim memberikan pertimbangan bahwa bobolnya rekening
Penggugat tersebut bukan disebabkan perbuatan Tergugat. Oleh karena itu,
gugatan Penggugat ditolak seluruhnya karena Penggugat tidak berhasil
membuktikan dalil-dalil gugatannya.

201
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Putusan Majelis Hakim pada Tingkat I ini juga telah dikuatkan oleh Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1731 K/Pdt/2017 yang menyatakan
bahwa putusan Judex Facti (Pengadilan Negeri) telah tepat dalam menerapkan
hukum dan mengambil keputusan.
Bahwa sehubungan dengan perkara tersebut, penulis berpandangan bahwa
Majelis Hakim perlu untuk melakukan eksplorasi hukum dengan memperhatikan
ketentuan:
a. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan:
“Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.”
b. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan:
“Dalam memberikan kredit dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib
menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah
yang mempercayakan dananya kepada bank.”
c. Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan:
“Bank dilarang memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang
keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan
oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44.”
d. Pasal 7 huruf f Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen:
Kewajiban pelaku usaha adalah:
(f). “Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.”
e. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen:
“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
f. Pasal 9 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang
Tranparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah:
“Bank wajib meminta persetujuan tertulis dari Nasabah dalam hal Bank akan
memberikan dan atau menyebarluaskan Data Pribadi Nasabah kepada Pihak
Lain untuk tujuan komersial, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan perundang-
undangan lain yang berlaku.”
g. Pasal 8 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/1/PBI/2014 tentang
Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran:
“Dalam membuat perjanjian dengan Konsumen, Penyelenggara dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian yang bersifat menyatakan pelepasan/pengalihan tanggung jawab
Penyelenggara kepada Konsumen.”
h. Pasal 14 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/1/PBI/2014 tentang
Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran:
“Penyelenggara wajib menjaga kerahasiaan data dan/atau informasi
Konsumen.”
Seluruh aturan hukum di atas menunjukkan bahwa tidak berarti Bank bisa
melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban hukum atas kelalaian dan juga atas

202
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

celah yang dimanfaatkan pihak ketiga atas adanya cacat dalam penyelenggaraan
internet banking.

PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Penggunaan fasilitas layanan internet banking semakin menarik minat
masyarakat yang dalam hal ini selaku nasabah perbankan, mengingat manfaat yang
diberikan oleh layanan internet banking yang memberikan kemudahan bagi
nasabah dalam melakukan transaksi sehingga unsur efektifitas dan efisiensi bisa
didapat oleh nasabah. Semakin banyaknya minat masyarakat dalam penggunaan
layanan internet banking ini juga menimbulkan banyak celah kejahatan bagi pihak
yang tidak bertanggung jawab dalam melakukan penyalahgunann terhadap layanan
internet banking. Bentuk kejahatan internet banking ini antara lain adalah typo site,
keylogger, sniffing, brute force attacking, web deface, email spamming, denial of
service, dan virus, worm, trojan. Kejahatan internet banking tersebut tentu saja
berkaitan erat dengan adanya unsur human error maupun system error yang
mengakibatkan layanan internet banking menjadi disalah gunakan.
b. Bentuk perlindungan hukum dan tanggung jawab bank kepada nasabah dilakukan
secara preventif dan represif. Bentuk upaya preventif yang dilakukan perbankan
antara lain dengan memberikan informasi secara lisan dan/atau tertulis berkaitan
dengan produk bank, tidak menukar, atau memperlihatkan segala informasi yang
berkaitan dengan nasabah atau pengunjung situs internet banking, dan kebijakan
privasi dan proteksi berlapis terhadap sistem layanan internet banking. Sementara
terkait upaya represif yang dilakukan oleh bank manakala nasabah mengalami
kerugian akibat kejahatan layanan internet banking adalah dengan menyediakan
layanan complain handling, menawarkan upaya damai, melakukan mediasi, dan
terakhir melalui jalur persidangan di pengadilan.
2. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan tersebut di atas, maka hendaknya perlu
dibentuk suatu peraturan khusus yang mengatur tentang perlindungan data pribadi
nasabah berkaitan dengan penyalahgunaan dalam layanan internet banking yang
mengatur mengenai tanggung jawab bank terhadap penyalahgunaan data pribadi
nasabah oleh pihak ketiga baik secara perdata, pidana, dan mekanisme pemberian
ganti rugi kepada nasabah. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum
atas segala hal yang berkaitan dengan penggunaan layanan internet banking,
sehingga baik dari pihak bank maupun nasabah yang menjalankan perikatan
mendapat perlindungan hukum yang pasti dan adil bagi masing-masing pihak.
Selain itu, perlu dilakukan sinergi antara Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa
Keuangan sebagai regulator bekerja sama dengan bank untuk melakukan upaya
sosialisasi dan edukasi yang berkesinambungan kepada nasabah terkait dengan
manfaat layanan internet banking yang senantiasa mengalami perubahan seiring
kemajuan teknologi dan juga terkait dengan kejahatan siber khususnya berkaitan
dengan disalahgunakannya data privasi nasabah sehingga dapat masuk dalam
system layanan internet banking dan mengambil keuntungan dari hasil
penyalahgunaan tersebut.

203
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Arief, Barda Nawawi, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia, RajaGrafindo P'ersada, Jakarta, 2006.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2000.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Prenadamedia Group, Jakarta,
2014.
Nasution, A.Z., Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Daya Widy, Jakarta,
1999.
Pardede, Marulak, Hukum Pidana Bank, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
Rahardjo, Satjipto, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.
Riswandi, Budi Agus, Aspek Hukum Internet Banking, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Sjahdeini, Kebebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak
Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Institut Bank Indonesia, Jakarta, 1993.
Usanti, Trisadini Prasastinah, Prinsip Kehati-hatian Pada Transaksi Perbankan, Airlangga
University Press, Surabaya, 2013.
Usanti, Trisadini P., Abd. Shomad, Hukum Perbankan, Lutfansah Mediatama, Surabaya, 2015.

Peraturan Perundang-undangan:
Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7);
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3821);
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank
dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2005 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4475);
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/10/PBI/2008 tentang perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4824);
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4808);
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem
Pembayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5498);

204
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen


Sektor Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 118);
Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/18/DPNP/2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko Pada
Aktivitas Pelayanan Jasa Melalui Internet (Internet Banking);
Putusan Nomor 92/Pdt.G/2015/PN. Jkt. Sel. yang diajukan oleh Tjho Winarto terhadap PT.
Bank Permata Tbk dan PT. Grapari Telkomsel;
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1731 K/Pdt/2017.

Jurnal:
Agus Yudha Hernoko, “Lembaga Jaminan Hak Tanggungan sebagai Penunjang Kegiatan
Perkreditan Nasional”, Tesis, Program Pascasarjana, Unair Surabaya, 1998.
Andika Persada Putra, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Dengan Mediasi”, Jurnal, Jurnal
Yuridika Volume 28, Unair Surabaya, 2013.
Direktorat Hukum Bank Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Rekonstruksi Hukum Dalam Menanggulangi Kajahatan Dunia Maya di Bidang
Perbankan, Interim Report, 2003.

205
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

TANGGUNG GUGAT PENGEMBANG APARTEMEN YANG


MENJUAL APARTEMEN YANG MASIH BELUM
MENDAPATKAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN

1
Tutiek Retnowati, 2 Sandra Novialita
1,2
Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Narotama
1
tutiek_retnowati@yahoo.com
2
snovialita@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini mempunyai dua rumusan masalah, yakni Bagaimana perlindungan hukum konsumen
yang membeli apartemen tidak memiliki izin bangunan dan Bagaimana kewajiban pengembang
apartemen yang menjual apartemen yang masih memiliki tidak memperoleh izin bangunan.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan legislasi dan pendekatan konsep. kesimpulan
sebagai berikut: Perlindungan hukum terhadap konsumen yang membeli apartemen tidak memiliki
izin bangunan, bahwa pengembang dalam membangun apartemen harus memenuhi persyaratan
yang harus memiliki IMB. Pengembang membangun apartemen hingga level 25, sedangkan
mereka tidak memiliki IMB (masih dalam proses mengajukan izin), telah memasarkan apartemen
mereka, ketika Pemerintah Provinsi melarang pengembang apartemen membangun hingga
ketinggian / level 20. Jadi itu menyakitkan pembeli yang telah membeli apartemen di tingkat itu.
Konsumen dan pengembang telah terikat dalam perjanjian jual beli, sehingga kegagalan
memberikan hak kepada konsumen untuk menuntut ganti rugi. Tanggung jawab pengembang
apartemen yang menjual apartemen yang masih belum mendapatkan izin bangunan, bahwa
pengembang yang gagal membangun, karena larangan dari Badan Pemerintah DKI, dapat
dikatakan telah melakukan tindakan melanggar hukum. X Pengembang yang melakukan tindakan
melanggar hukum, memberikan hak kepada konsumen sebagai bentuk perlindungan hukum untuk
mendapatkan kompensasi.

Kata Kunci: Akuntan, Pengembang Apartemen, Izin Mendirikan Bangunan

ABSTRACT
Research entitled Liability for Apartments Developers Who Sell Apartments Who Still Have Not
Got Building Permits, by addressing the issue How legal protection of consumers who buy an
apartment does not have a building permit and How is the liability of apartment developers who
sell apartments that still have not obtained a building permit. Research with the approach method
of legislation and concept approach, obtained a conclusion as follows: Legal protection of
consumers who buy an apartment does not have a building permit, that developers in building an
apartment must meet the requirements of which must have IMB. Developers build apartments up
to level 25, whereas they do not have an IMB (still in the process of applying for permits), have
marketed their apartment, when the DKI Government prohibits apartment developers from
building up to elevation / level 20. So it hurts buyers who have bought apartments at that level.
Consumers and developers have been bound in the sale and purchase agreement, so that failure
gives the right to the consumer to sue for damages. The liability of apartment developers who sell
apartments that still do not get a building permit, that developers who failed to build, due to a ban
from the DKI Government Agency, can be said to have committed unlawful acts. X Developers
who commit unlawful acts, grant the consumer the right as a form of legal protection to obtain
compensation.

Keywords: Accountant, Apartment Developer, Building Permit

206
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Izin Mendirikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat IMB
menurut pasal 1 angka 1 Permenpera No. 05/PRT/M/2016adalah perizinan yang
diberikan oleh pemerintah daerah kecuali untuk bangunan gedung fungsi khusus
oleh Pemerintah kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru,
mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai
dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
IMB diperlukan dalam setiap membangun rumah bahwa dalam upaya
tertib penyelenggaraan pendirian bangunan sesuai dengan tata ruang, perlu
dilakukan pengendalian IMB,maka setiap pendirian bangunan harus terlebih
dahulu mengajukan permohonan izin.
Pengembang yang membangun rumah dan dipasarkan, yang berarti antara
pengembang dengan konsumen terikat dalam suatu hubungan hukum keperdataan,
yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik, disebut
dengan prestasi.Mengenai bentuk prestasi, sebagaimana Pasal 1234 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata), yang
menentukan bahwa “perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.Hal ini berarti bahwa wujud
prestasi berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu”.Apabila salah satu pihak tidak berprestasi, maka sebagaimana pasal 1239
KUH Perdata, yang menentukan bahwa “tiap perikatan untuk berbuat sesuatu,
atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan
penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi
kewajibannya”.Ketentuan pasal 1239 KUH Perdata dapat juga disebut
wanprestasi menurut Abdulkadir Muhammad diartikan sebagai “tidak memenuhi
kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan”.1 Menurut Subekti, seseorang
dikatakan telah wanprestasi apabila:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 20.

207
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.


c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.2
Dijumpai banyak apartemen yang baru dibangun, tetapi pengembang telah
memasarkannya yang dikenal dengan pre-project selling, pemasaran produk
properti sebelum dibangun (sistem indent), dalam pemasaran produk properti
sudah marak dalam dua dekade terakhir ini, seiring dengan pertumbuhan industri
properti di Indonesia. Alasan pengembang melakukan praktik pre-project
selling adalah test the water. Mengetahui respon pasar atas produk properti yang
akan dibangun. Dalam kenyataannya, praktik pre-project selling berpotensi
menempatkan konsumen dalam situasi penuh resiko, ketika pengembang abal-
abal hanya bermodalkan brosur dan maket mengumpulkan dana masyarakat
dengan janji akan membangun produk properti.
Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (selanjutnya
disingkat Pemda DKI), memberikan dispensasi kepada pengembang boleh
memasarkan produk properti ketika IMB dalam proses, tetapi kebijakan ini
berbuah malapetaka ketika IMB yang disetujui Pemda DKI berbeda dengan
usulan pengembang. Seperti kasus X, pengembang mengajukan permohonan
membangun apartemen 25 lantai, oleh Pemda DKI, dengan alasan keselamatan
penerbangan, hanya disetujui 20 lantai. Padahal pada lantai 21 sampai dengan
lantai 25 telah ada konsumen yang memesan lantai, sampai akhirnya Pemda DKI
menghentikan dispensasi kepada pengembang untuk menjual produk properti
yang IMB-nya masih dalam proses. Nomor keanggotaan pengembang dalam
asosiasi perusahaan properti (REI). Dalam hal ada sengketa dengan pengembang,
konsumen dapat meminta bantuan organisasi pengembang untuk melakukan
mediasi.
Kasus lain konsumen properti Y, telah membayar lunas pesanan unit
apartemen yang masih berupa gambar, tindakan konsumen membayar lunas
produk properti yang masih berupa gambar/maket adalah sangat beresiko.

2
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, h. 45.

208
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Menurut pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun


1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat UU No. 8 Tahun
1999, menentukan:
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

Konsumen berhak untuk mendapatkan ganti kerugian berupa pengembalian uang


atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, dan
tenggang waktu yang diberikan hanya 7 (tujuh) hari sejak transaksi dan harus
dapat membuktikan kesalahan pengembang.
Berdasarkan uraian sebagtaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa
pengembang apartemen menjual apartemen yang belum memenuhi ketentuan
adanya IMB dan keterbangunan 20 %, ketika tanggal realisasi pengembang tidak
memenuhi kewajibannya

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, maka rumusan masalah
yang akan diteliti adalah :
a. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen yang membeli
apartemen belum memiliki ijin mendirikan bangunan ?
b. Bagaimana tanggung gugat pengembang apartemen yang menjual
apartemen yang masih belum mendapatkan izin mendirikan bangunan?

209
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

METODE PENELITIAN
Tipe penelitian dalam skripsi ini menggunakan tipe penelitian
normatif.Penelitian hukum normatif menurut Peter Mahmud Marzuki yaitu
”Suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”.3
Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma.4 Pendekatan yang digunakan yaitu
statute approach dan conceptual approach. Statute approachadalah
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dari
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang dihadapi.5
Sedangkan pendekatan secara conceptual approach adalah pendekatan yang
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di
dalam ilmu hukum6.

PEMBAHASAN
1) Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Yang Membeli Apartemen
Yang Masih Belum Memiliki Ijin Mendirikan Bangunan
Apabila merujuk pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 jo
Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 bahwa PPJB dilakukan
setelah memenuhi persyaratan kepastian atas izin kelayakan dari Pemerintah
Daerah setempat atau pembangunannya selesai, atas: a) status kepemilikan tanah
b) kepemilikan IMB; c) ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; d)
keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan e) hal yang
diperjanjikan. Jual beli yang obyeknya rumah susun atau apartemen, menurut
Eman Ramelan bahwa setelah pembangunan selesai baru dapat dijual dan telah

3
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010,
h.35.
4
Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004, h.
118
5
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h. 93
6
Ibid.

210
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

memenuhi persyaratan yakni telah mendapatkan izin layak huni, akta pemisahan,
diterbitkannya hak milik atas sarusun.7
Dibuatnya PPJB disebabkan beberapa hal antara lain:
a. sertifikat belum terbit atas nama pihak penjual, dan masih dalam proses di
Kantor Pertanahan;
b. sertifikat belum atas nama pihak penjual, dan masi dalam proses balik
nama keatas nama pihak penjual;
c. sertifikat sudah ada dan atas nama pihak penjual tapi harga jual beli yang
telah disepakati belum semuanya dibayar oleh pihak pembeli kepada pihak
penjual;
d. sertifikat sudah ada, sudah atas nama pihak penjual dan harga sudah
dibayar lunas oleh pihak pembeli kepada pihak penjual, tetapi persyaratan
belum lengkap;
e. sertifikat pernah dijadikan sebagai jaminan di Bank dan masih belum
dilakukan roya.8

Pengembang baru boleh menjual apartemen tersebut dengan ketentuan jelas


status pemilikan tanah, kepemilikan Izin Mendirikan Bangunan (selanjutnya
disingkat IMB), keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen). Mengenai
keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dijelaskan oleh Pejelasan
pasal 43 ayat (2) huruf b UU No. 20 Tahun 2011 “bahwa 20% (dua puluh
persen) dari volume konstruksi bangunan rumah susun yang sedang
dipasarkan”. IMB diperlukan dalam setiap membangun rumah bahwa dalam
upaya tertib penyelenggaraan pendirian bangunan sesuai dengan tata ruang,
perlu dilakukan pengendalian IMB, maka setiap pendirian bangunan harus
terlebih dahulu mengajukan permohonan izin. Pengertian IMB sendiri merupakan
suatu produk hukum yang berisi persetujuan atau perizinan yang dikeluarkan oleh
Kepala Daerah Setempat (Pemerintah kabupaten/kota) dan wajib dimiliki/diurus
pemilik bangunan yang ingin membangun, merobohkan, menambah/mengurangi
luas, ataupun merenovasi suatu bangunan.
Mendirikan rumah susun disertakan IMB, Adrian Sutedi berpendapat Izin
(verguning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-Undang

7
Eman Ramelan, Rumah Susun : Prospek dan Problematikanya, Seminar Nasional,
Pembangunan Rumah Susun (Prospek, Problem, Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum),
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya, 26 November 2014, h. 6.
8
Eman Ramelan et.all (selanjutnya disebut Eman Ramelan et.all 2), Perlindungan Hukum
Bagi Konsumen Pembeli Satuan Rumah Susun/Strata Title/Apartemen, Laksbang Mediatama,
Yogyakarta, 2014, hl 19.

211
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

atau Peraturan Pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari


ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan, jadi izin itu
prinsipnya adalah sebagai dispensasi atau pelepasan/pembebasan dari suatu
larangan.9.
Konsumen sebagai pembeli apartemen, terikat dalam hubungan hukum
dengan pengembang selaku pelaku usaha. Hubungan hukum tersebut didasarkan
atas perjanjian jual beli, di mana dalam perjanjian jual beli prestasi atau kewajiban
penjual atau pengembang apartemen adalah berjanji akan menyerahkan apartemen
yang dijual, dan pembeli selaku konsumen berjanji akan membayar harga
apartemen sebagaimana yang dijanjikan.
Hubungan hukum didasarkan atas perjanjian jual beli apartemen, dibuat
telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, sehingga perjanjian tersebut mengikat
kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang sebagaimana pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata.Perjanjian jual beli, mewajibkan penjual apartemen
untuk menyerahkan apartemen tersebut sesuai dengan yang diperjanjikan,
sedangkan kewajiban pembeli apartemen adalah untuk membayar harga
pembelian apartemen. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya,
maka memberikan hak kepada pihak lain untuk membayar penggantian biaya,
rugi dan bunga. Namun terhadap penjualan apartemen yang belum memiliki izin,
padahal izin merupakan suatu keharusan bagi pemilik apartemen sebelum
membangunya, maka dapat dimintakan penggantian kerugian atas dasar perbuatan
melanggar hukum
2) Tanggung Gugat Pengembang Apartemen Yang Menjual Apartemen
Yang Masih Belum Mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan
Perihal perlindungan hukum terhadap konsumen pembeli apartemen yang
dibangun oleh pengembang apartemen, karena dibatalkannya pembelian
apartemen melalui PPJB pada lantai 21 sampai 25 tersebut, maka konsumen
dirugikan. Pengembang apartemen, yang membangun apartemen padahal belum
memiliki IMB (masih dalam proses) dengan alasan apapaun perbuatan

9
Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, h. 168.

212
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

pengembang tersebut melanggar hukum, sehingga konsumen yang dirugikan


dapat menggugat ganti rugi atas dasar perbuatan melanggar hukum.
Pengembang apartemen, dikatakan telah melakukan perbuatan melanggar
hukum, apabila melakukan perbuatan yang memenuhi keseluruhan unsurpasal
1365 KUH Perdata, yang menentukan: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut”
Pengembang apartemen, yang membangun apartemen padahal belum
memenuhi persyaratan IMB, meskipun ada dispensasi dari Pemda DKI, yang
isinya memperkenankan kepada pengembang boleh memasarkan produk properti
ketika IMB dalam proses, tetapi kebijakan ini berbuah malapetaka ketika IMB
yang disetujui Pemda DKI berbeda dengan usulan pengembang. Seperti kasus
Pengambang X, pengembang mengajukan permohonan membangun apartemen 25
lantai, oleh Pemda DKI, dengan alasan keselamatan penerbangan, hanya disetujui
20 lantai, tidakan Pengembang apartemen, dapat dikatakan telah melakukan
perbuatan melanggar hukum, karena keseluruhan unsur pasal 1365 KUH Perdata
telah terpenuhi.
Terhadap tindakan Pengembang apartemen, tersebut konsumen yang
menjadi korbn berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap konsumen yang
membeli apartemen belum memiliki ijin mendirikan bangunan, konsumen
mendapatkan perlindungan hukum dengan menggugat ganti rugi berupa
penggantian biaya, rugi dan bunga sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365 jo
pasal 1243 KUH Perdata.
Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai tanggung gugat
pengembang apartemen yang menjual apartemen yang masih belum mendapatkan
izin mendirikan bangunan dapat dijelaskan bahwa pengembang apartemen yang
gagal membangun lantai 20 sampai 25 apartemen dapat dikatakan telah
melakukan perbuatan melanggar hukum terhadap pembeli. Dikatakan telah
melakukan perbuatan melanggar hukum, karena telah melakukan perbuatan
melanggar pasal 43 UU No. 20 Tahun 2011 jo pasal 231 Perda No. 7 Tahun 2010.

213
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Penggantian yang didapat oleh pembeli apartemen tersebut berupa penggantian


biaya, rugi dan bunga sebagaimana pasal 1243 KUH Perdata.

PENUTUP
Kesimpulan
a. Perlindungan hukum terhadap konsumen yang membeli apartemen belum
memiliki ijin mendirikan bangunan, bahwa pengembang dalam membangun
apartemen harus memenuhi persyaratan di antaranya harua memiliki IMB.
Pengembang membangun apartemen hingga tingkat 25, padahal belum
memiliki IMB (masih dalam proses pengajuan izin), telah memasarkan
apartemennya, ketika IMB tersebut melarang pengembang apartemen
membangun lebih dari ketinggian/tingkat 20. Sehingga merugikan pembeli
yang telah membeli apartemen pada tingkat tersebut. Konsumen dan
pengembang telah terikat dalam perjanjian jual beli, sehingga kegagalan
tersebut memberikan hak kepada konsumen menggugat ganti kerugian.
b. Tanggung gugat pengembang apartemen yang menjual apartemen yang
masih belum mendapatkan izin mendirikan bangunan, bahwa pengembang
yang gagal membangun, karena adanya suatu larangan dari Dinas
Pemerintah DKI, dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melanggar
hukum. Pengembang X yang melakukan perbuatan melanggar hukum,
memberikan hak kepada konsumen sebagai bentuk perlindungan hukum
untuk mendapatkan ganti kerugian.
Saran
a. Hendaknya pengembang tidak memasarkan apartemen lebih dahulu, karena
apartemen boleh di pasarkan tidak hanya memenuhi persyaratan IMB,
melainkan termasuk keterbangunan apartemen 20 % dan syarat lainnya. Hal
ini untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen dan
terhindar gugatan ganti rugi.
b. Hendaknya konsumen menggugat pengembang apartemen berupa ganti
kerugian atas dasar telah melakukan perbuatan melanggar hukum, agar

214
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

pengembang menjadi jera dan pengembang apartemen lainnya tidak


melakukan hal yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta,


2004

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,


Jakarta, 2010

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002

Ramelan, Eman, Rumah Susun : Prospek dan Problematikanya, Seminar


Nasional, Pembangunan Rumah Susun (Prospek, Problem, Kepastian
Hukum dan Perlindungan Hukum), Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Airlangga Surabaya, 26 November 2014

Ramelan, Eman, et.all, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pembeli Satuan


Rumah Susun/Strata Title/Apartemen, Laksbang Mediatama, Yogyakarta,
2014

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004

Sutedi, Adrian, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010

215
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

URGENSI ASAS SUBYEK TERITORIAL PADA PEMBERANTASAN


KEJAHATAN SIBER

Evi Retno Wulan


Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Narotama
evi.retno@narotama.ac.id

ABSTRAK

Dibentuknya dan ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2008


Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4843, untuk selanjutnya disingkat UU No 11/ 2008)
dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor I1 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
(Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5952,
untuk selanjutnya disingkat UU No 19/2016) diharapkan dapat menanggulangi tindak pidana
siber yang semakin meresahkan masyarakat serta menjamin kepastian dan pemanfaatan
cyberspace (ruang siber) supaya lebih dapat berkembang secara optimal. Ketentuan yang
mengatur masalah yurisdiksi kriminal dapat dilihat di Pasal 2 dan penjelasannya dalam UU
No 11/ 2008.

Kata kunci : yurisdiksi, cybercrime, cyberspace, teritorial, transborder

ABSTRACT
Establishment and enactment of Law of the Republic of Indonesia No. 11/2008
concerning Information and Electronic Transactions (Statute Book No. 58/2008, Supplement
to Statute Book No. 4843, hereinafter abbreviated to Law No. 11/2008) and Law of the
Republic of Indonesia No. 19/16 concerning Amendment to Law Number I1 Year 2008
Regarding Information and Electronic Transactions (State Gazette Year 2016 Number 251,
Supplement to State Gazette Number 5952, hereinafter abbreviated to Law No. 19/2016), is
expected to be able to cope with cybercrime which is increasingly unsettling the public and
guaranteeing certainty and use of cyberspace (cyber space) so that it can develop optimally.
Provisions governing criminal jurisdiction can be seen in Article 2 and its explanation in Law
No. 11/2008
Keywords: jurisdiction, cybercrime, cyberspace, territorial, transborder

216
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Salah satu keunikan tindak pidana siber adalah bahwa satu tindak pidana yang dilakukan
di suatu negara dapat menimbulkan akibat yang dilarang di negara lain, dan satu tindak
pidana siber bisa dilakukan di lebih dari satu negara. Ketika delik (perbuatan pidana) ini
terjadi , permasalahan yang muncul adalah mengenai yurisdiksi kriminal penegakan
hukumnya terhadap tindak pidana siber tersebut karena setiap negara memiliki kedaulatan
penuh terhadap wilayahnya. Untuk itu, selain penting bagi aparat hukum kita untuk
melakukan kerjasama dengan berbagai negara dalam mengungkap suatu tindak pidana
tertentu, juga yang tidak kalah pentingnya adalah pengaturan dalam hukum Nasional tentang
ketentuan yurisdiksi kriminal yang sesuai dengan karakteristik ruang siber.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No 11/2008, UU No 11/2008 ini disamping
memberlakukan yurisdiksi kriminal asas teritorial juga memberlakukan perluasan yurisdiksi
kriminal asas teritorial dan yurisdikisi kriminal asas ekstra teritorial karena menyatakan
berlakunya hukum pidana Indonesia terhadap pelaku tindak pidana di luar wilayah Indonesia.
Berlakunya peluasan yuridiksi kriminal asas teritorial tersebut bersifat terbatas,yaitu hanya
didasarkan pada akibat hukum yang terjadi di wilayah Indonesia (yuridiksi kriminal asas
teritorial obyektif, yaitu dalam rumusan “di luar wilayah hukum Indonesia yang memiliki
akibat hukum di wilayah hukum Indonesia). Demikian pula dengan berlakunya yurisdiksi
kriminal asas ekstra teritorial bersifat terbatas karena hanya didasarkan pada kepentingan
Negara Indonesia yang dirugikan oleh pelaku tindak pidana siber di luar wilayah Indonesia
(yuridiksi kriminal asas perlindungan dalam rumusan “ di luar wilayah hukum Indonesia dan
merugikan kepentingan Indonesia). Dalam ketentuan pasal 2 UU No 11/2008 ini tidak
ditegaskan berlakunya yurisdiksi kriminal asas teritorial Subyektif yaitu keberlakuan hukum
ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya
dilakukan di negara lain , yang sangat penting dalam pemberantasan tindak pidana siber yang
seringkali perbuatannya dimulai di suatu wilayah negara dan penyelesaiannya ada di negara
lain.
Teknologi informasi membawa hubungan antar negara di dunia menjadi tanpa batas dan
mampu membawa perubahan konsep-konsep sosial, ekonomi dan budaya di masyarakat
dengan sangat cepat dan masif. Teknologi informasi selain membawa manfaat dan kontribusi
terhadap masyarakat tetapi di sisi lain menjadi sarana dalam melakukan perbuatan melawan
hukum. Perkembangan teknologi informasi mendorong adaptasi/ penyesuaian ketentuan-
ketentuan konvensional menjadi lebih responsif terhadap kondisi masyarakat yang semakin
dinamis karena teknologi informasi dapat berdampak pada kehidupan yang sesungguhnya.
Persoalan hukum yang seringkali muncul terkait tindak pidana teknologi informasi ini adalah
dapat dilakukan siapapun, dimanapun, borderless (tak terbatas) dan bersifat anonim (tanpa
nama, tidak ber-identitas). Dibentuknya dan ditetapkannya Undang-Undang Republik
Indonesia No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran
Negara Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4843, untuk selanjutnya
disingkat UU No 11/ 2008) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor I1 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5952, untuk selanjutnya disingkat UU No 19/2016) diharapkan dapat
menanggulangi tindak pidana siber yang semakin meresahkan masyarakat serta menjamin
kepastian dan pemanfaatan cyberspace (ruang siber) supaya lebih dapat berkembang secara

217
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

optimal. Pengaturan mengenai masalah yurisdiksi kriminal merupakan hal penting, dan dalam
pembentukan undang-undang khusus mengenai cybercrime (tindak pidana siber) perlu
dipikirkan bentuk yurisdiksi kriminal yang mampu menjangkau kejahatan di dunia cyber
mengingat kejahatan ini punya karakter yang khas dan sifatnya transborder (lintas negara).
Ketentuan yang mengatur masalah yurisdiksi kriminal dapat dilihat di Pasal 2 dan
penjelasannya dalam UU No 11/ 2008 , yang isi selengkapnya adalah sebagai berikut : “ UU
ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah
hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar
wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia”1 .
Penjelasan Pasal 2 UU No 11/2008 : “ Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi
tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh
warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar
wilayah hukum Indonesia baik oleh Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing
atau Badan Hukum Indonesia maupun Badan Hukum Asing yang memiliki akibat hukum di
Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan
Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal. Yang dimaksud
dengan”merugikan kepentingan Indonesia” meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan
kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa,
pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara, serta badan hukum
Indonesia” 2.
Salah satu keunikan tindak pidana siber adalah bahwa satu tindak pidana yang dilakukan
di suatu negara dapat menimbulkan akibat yang dilarang di negara lain, dan satu tindak
pidana siber bisa dilakukan di lebih dari satu negara. Ketika delik (perbuatan pidana) ini
terjadi , permasalahan yang muncul adalah mengenai yurisdiksi kriminal penegakan
hukumnya terhadap tindak pidana siber tersebut karena setiap negara memiliki kedaulatan
penuh terhadap wilayahnya. Untuk itu, selain penting bagi aparat hukum kita untuk
melakukan kerjasama dengan berbagai negara dalam mengungkap suatu tindak pidana
tertentu, juga yang tidak kalah pentingnya adalah pengaturan dalam hukum Nasional tentang
ketentuan yurisdiksi kriminal yang sesuai dengan karakteristik ruang siber dan selaras dengan
asas no safe haven (tidak ada tempat yang aman untuk berlindung) bagi pelaku tindak pidana
siber . Dalam ketentuan pasal 2 UU No 11/2008 ini tidak ditegaskan berlakunya yurisdiksi
kriminal asas teritorial Subyektif yaitu keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat
perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain , yang
sangat penting dalam pemberantasan tindak pidana siber yang seringkali perbuatannya
dimulai di suatu wilayah negara dan penyelesaiannya ada di negara lain. Bila dibaca secara
seksama pada pasal 2 dan penjelasannya dalam UU No 11/2008 unsur-unsurnya adalah :
1. Setiap orang (warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan
hukum Indonesia maupun badan hukum asing )
2. Melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini
3. Di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia,
4. Memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah
hukum Indonesia
5. Merugikan kepentingan Indonesia

1
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transasksi
Elektronik
2
Penjelasan Pasal 2 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik

218
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Di dalam ketentuan pasal 2 UU No 11/2008 ini tidak ada ketentuan pengaturan dan
pemberlakuan secara tegas tentang Hukum Nasional Indonesia yang dapat diberlakukan atau
diterapkan pada tindak pidana siber yang dilakukan di Indonesia dan juga dilakukan di negara
lain dalam proses penyelesaiannya tindak pidana siber tersebut.

2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang mengenai berbagai kelemahan yang timbul dalam upaya penegakkan
hukum terhadap tindak pidana siber , maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut ;
Apakah perlu asas subyek teritorial diatur dan ditambahkan secara tegas dalam pasal 2 UU
No 11 / 2008 ?

METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian adalah suatu jalan untuk memecahkan masalah yang ada dengan
mengumpulkan, menyusun serta menginterpretasikan data-data guna menemukan,
mengembangkan atau menguji kebenaran suatu penelitian ilmiah, karena mutu nilai validitas
dari hasil penelitian ilmiah sangat ditentukan oleh ketepatan pemilihan metode yang sesuai
maka penelitian dapat dilaksanakan dengan baik dan dengan hasil yang memuaskan. Adapun
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum yang dipergunakan adalah penelitian yuridis normatif, yaitu tipe
penelitian dengan mengkaji atau menganalisa peraturan perundangan-undangan maupun dari
berbagai sumber kepustakaaan lainnya yang dapat menjelaskan dan memberikan landasan
yuridis3, terkait dengan permasalahan yang berkaitan dengan ketentuan pemberlakuan
yurisdiksi kriminal yang terdapat dalam dalam pasal 2 UU No 11/ 2008 juncto UU No
19/2016 . Dengan demikian, penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti berbagai bahan kepustakaan4 dengan
menggunakan metode berpikir deduktif. Adapun yang dimaksud metode berfikir deduktif
adalah cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya
umum yang sudah dibuktikan kebenarannya dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang
sifatnya khusus5.

b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach)6.
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
approach) yaitu suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang
berkaitan dengan ketentuan pemberlakuan yurisdiksi kriminaltindak pidana siber di Indonesia
. Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan konseptual (conceptual approach) adalah
pendekatan yang ditujukan untuk memahami konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum
yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan ketentuan
pemberlakuan yurisdiksi kriminal tindak pidana siber di Indonesia.

3
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu tinjauan singkat, Rajawali, Jakarta,
1985 hlm. 15
4
Ibid.
5
Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 23
6
Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hlm.
246

219
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

c. Sumber Bahan Hukum


Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian doktrinal (doctrinal research) ini
terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder7.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat8 yang berupa
peraturan perundang-undangan yang akan dijadikan dasar analisis dalam
penelitian ini, meliputi UU No 11/ 2008 juncto UU No 19/2016.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
hukum primer9, seperti buku-buku, hasil penelitian, jurnal hukum, artikel
ilmiah, media massa, media internet dan lain sebagainya.
d. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk dapat menghimpun beberapa bahan hukum secara sistematis, komprehensif dan
mendalam, dalam penelitian ini digunakan metode pengumpulan data berupa kepustakaan
dan dokumentasi (library and documentation research). Dalam penelitian kepustakaan dan
dokumentasi ini dimaksudkan untuk menghimpun, mengidentifikasi dan menganalisa
terhadap berbagai sumber bahan hukum yang berasal dari beberapa peraturan perundang-
undangan, tulisan ilmiah maupun berbagai dokumen hukum lainnya yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini
e. Metode Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, bahan hukum yang terhimpun akan dianalisis secara normatif
kualitatif dengan jalan mengkaji, menafsirkan dan mengkonstruksi pernyataan yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan maupun dokumen hukum lainnya yang terkait dengan
permasalahan yang berkaitan dengan ketentuan pemberlakuan yurisdiksi kriminal yang
terdapat dalam dalam pasal 2 UU No 11 / 2008.

PEMBAHASAN

Kajian perlu diaturnya ketegasan rumusan tentang asas subyek teritorial


pada pasal 2 UU No 11 / 2008

Dari isi pasal 2 UU No 11 / 2008 , bisa disimpulkan :


A. Perbuatannya berada di wilayah hukum Indonesia
1. Perbuatannya memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia saja, dengan
syarat :
a. Setiap orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun
berkewarganegaraaan asing;
b. Orang tersebut berada di wilayah hukum Indonesia;
c. Melakukan kejahatan sebagaimana yang telah tercantum dalam undang-undang
tersebut;
a. Kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia;
dan
b. Merugikan kepentingan Indonesia.

7
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990,hlm.
12
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Peneltian Hukum, UI Press, 1986, hlm. 52
9
Ronny Hanitijo Soemitro, op. cit., hlm. 12

220
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

2. Perbuatannya memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum Indonesia saja,


dengan syarat :
a. Setiap orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun
berkewarganegaraaan asing;
b. Orang tersebut berada di wilayah hukum Indonesia;
c. Melakukan kejahatan sebagaimana yang telah tercantum dalam undang-
undang tersebut;
d. Kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum
Indonesia; dan
e. Merugikan kepentingan Indonesia.
3. Perbuatannya memiliki akibat hukum di wilayah dan di luar wilayah hukum
Indonesia, dengan syarat :
a. Setiap orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun
berkewarganegaraaan asing;
b. Orang tersebut berada di wilayah hukum Indonesia;
c. Melakukan kejahatan sebagaimana yang telah tercantum dalam undang-
undang tersebut;
d. Kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia
e. Kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum
Indonesia; dan
f. Merugikan kepentingan Indonesia.
B. Perbuatannya berada di luar wilayah hukum Indonesia
1. Perbuatannya memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia saja, dengan
syarat :
a. Setiap orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun
berkewarganegaraaan asing;
b. Orang tersebut berada di luar wilayah hukum Indonesia;
c. Melakukan kejahatan sebagaimana yang telah tercantum dalam undang-
undang tersebut;
d. Kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia; dan
e. Merugikan kepentingan Indonesia.
2. Perbuatannya memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum Indonesia saja ,
dengan syarat :
a. Setiap orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun
berkewarganegaraaan asing;
b. Orang tersebut berada di luar wilayah hukum Indonesia;
c. Melakukan kejahatan sebagaimana yang telah tercantum dalam undang-
undang tersebut;
d. Kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum
Indonesia; dan
e. Merugikan kepentingan Indonesia.
3. Perbuatannya memiliki akibat hukum di wilayah dan di luar wilayah hukum
Indonesia, dengan syarat :
a. Setiap orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun
berkewarganegaraaan asing;
b. Orang tersebut berada di luar wilayah hukum Indonesia;

221
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

c. Melakukan kejahatan sebagaimana yang telah tercantum dalam undang-


undang tersebut;
d. Kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia;
e. Kejahatan yang dilakukan memiliki akibat hukum di luar wilayah hukum
Indonesia; dan
f. Merugikan kepentingan Indonesia

Dengan kajian pasal 2 UU No 11/2008 dapat ditarik kesimpulan bahwa yurisdiksi


kriminal UU ini tidak hanya berlaku pada wilayah kedaulatan Indonesia, melainkan juga di
luar Indonesia , itu artinya berlakunya hukum pidana Indonesia terhadap pelaku tindak pidana
di luar wilayah Indonesia. Berlakunya perluasan yuridiksi teritorial tersebut bersifat
terbatas,yaitu hanya didasarkan pada akibat hukum yang terjadi di wilayah Indonesia
(yuridiksi kriminal asas teritorial obyektif, yaitu dalam rumusan “di luar wilayah hukum
Indonesia yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia). Dengan kata lain, Pasal
2 UU No 11/2008 tersebut telah melampaui (ekstra) asas yurisdiksi kriminal asas teritorial.
Pasal 2 UU No 11/2008 memuat asas yurisdiksi kriminal asas ekstrateritorial dengan sangat
jelas. Tersurat bahwa konstruksi hukum UU N0 11/2008 bukan hanya berlaku bagi warga
negara Indonesia, melainkan juga warga negara asing, baik yang berada di dalam maupun di
luar wilayah Indonesia. Berlakunya yurisdiksi kriminal ekstrateritorial bersifat terbatas
karena hanya didasarkan pada kepentingan Negara Indonesia yang dirugikan oleh pelaku
tindak pidana siber di luar wilayah Indonesia (yuridiksi kriminal asas perlindungan dalam
rumusan “ di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia).
Argumen yuridis yang mendasari berlakunya pasal 2 tersebut itu adalah apabila perbuatan
hukum yang dilakukan “memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar
wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia”. Dengan demikian jelas
bahwa akibat hukum di dalam dan/atau di luar wilayah Indonesia saja tidak cukup, tetapi
perbuatan hukum itu juga harus merugikan kepentingan Indonesia. Dalam ketentuan pasal 2
UU No 11/2008 ini tidak ditegaskan berlakunya asas teritorial Subyektif , yang sangat
penting dalam pemberantasan tindak pidana siber yang seringkali perbuatannya dimulai di
suatu wilayah negara dan penyelesaiannya atau efeknya ada di negara lain. Selain itu asas-
asas yurisdiksi kriminallainnya seperti asas Nasional baik aktif maupun pasif tidak menjadi
dasar berlakunya hukum pidana terhadap tindak pidana siber. Demikian pula asas bendera
negara kapal dan asas pesawat Negara terdaftar sebagai perluasan asas teritorial tidak
berlaku.
Dari kajian yurisdiksi kriminal hukum tersebut diatas yang sudah di atur di Indonesia
berdasarkan UU No 11/2008, penulis akan mencoba melakukan kajian melalui permisalan
deskripsi kasus tindak pidana siber yang memuat penerapan unsur unsur yurisdiksi kriminal
hukum yang yang berlaku di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 2 UU No 11/2008
tersebut.

Sebagai contoh deskripsi kasus tindak pidana siber :

- Hari Selasa ( 06/01/2017 ) : A Warga Negara singapore di Indonesia mengirim


penawaran penjualan barang ( yang sebenarnya fiktif ) melalui email ke B Warga
Negara Malaysia yang berada di Malaysia;
- Hari Jumat ( 09/01/2017 ) : B mengirim jawaban ke A melalui email, yang isinya
persetujuannya atas penawaran barang yang ditawarkan A dengan memesan barang
tersebut , sekaligus pemberitahuan alamat pengiriman barang ;

222
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

- Hari Jumat ( 09/01/2017 ) : A langsung menjawab melalui email , yang isinya akan
langsung memproses pesanan A, dan akan memberi kabar selanjutnya ke B pada Hari
Kamis ( 12/01/2017 );
- Hari Kamis ( 12/01/2017 ) : A berada di India dan mengirim email ke B yang isinya
pemberitahuan no rekening A , dan juga pemberitahuan barang pesanan A sudah siap
dikirim , serta akan dikirim hari ini juga Hari Kamis ( 12/01/2017 ) dengan ketentuan
A harus melakukan transfer pembayaran terlebih dahulu ke no rekening B;
- Hari Kamis ( 12/01/2017 ) : B melakukan proses transfer dana ke A , dan mengirim
email ke A yang isinya pemberitahuan pembayaran telah dilakukan;
- Hari Kamis ( 12/01/2017 ) : A melakukan pengecekan atas pembayaran yang telah
dilakukan B , dan mengirim email ke B bahwa barang sudah dikirim ke B hari ini
Kamis ( 12/01/2017 ) dan akan sampai di B paling lambat Hari Selasa ( 31/01/2017 );
- Hari Sabtu ( 14/01/2017 ) : A berada di Indonesia sampai lagi;
- Hari Selasa ( 31/01/2017 ) : barang tidak kunjung datang dan B mengirim email ke A
tetapi tidak bisa terkirim kirim , karena memang email tersebut sudah dihapus oleh A
pada pada Hari Jumat ( 13/01/017 ). B menyadari telah tertipu oleh A .
UU No 11/2008 tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan, tetapi
walaupun UU No 11/2008 tersebut tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana
penipuan , Penipuan secara online pada dasarnya sama dengan penipuan konvensional. Yang
membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan Sistem Elektronik
(komputer, internet, perangkat telekomunikasi). Sehingga secara hukum, penipuan secara
online dapat diperlakukan sama sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam KUHP.
Namun terkait dengan timbulnya kerugian konsumen dalam transaksi elektronik terdapat
ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU No 11/2008.
Bila mengacu pada UU No 11/2008 , perbuatan yang dilarang pada UU No 11/2008 ada
pada Bab VII pasal 27 s/d 37 , dengan ketentuan pasal 27 mengatur tentang perbuatan asusila,
perjudian, penghinaan, pemerasan , pasal 28 mengatur tentang berita bohong dan
menyesatkan, berita kebencian dan permusuhan , pasal 29 mengatur tentang ancaman
kekerasan dan menakut-nakuti , pasal 30 mengatur tentang akses komputer pihak lain tanpa
izin, cracking , pasal 31 mengatur tentang penyadapan, perubahan, penghilangan informasi,
pasal 32 mengatur tentang pemindahan, perusakan dan membuka informasi rahasia, pasal 33
mengatur tentang virus, membuat sistem tidak bekerja, pasal 34 mengatur tentang software
terlarang, pasal 35 mengatur tentang menjadikan seolah dokumen otentik, pasal 36 mengatur
tentang perbuatan pada pasal 27 s/d pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain,
sedangkan pada pasal 37 mengatur tentang yurisdiksi Indonesia melalui UU No 11/2008 ini,
yaitu berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan perbuatan Pasal 27 s/d pasal 36 di luar
wilayah Indonesia ,yang ditujukan terhadap sistem elektronik di wilayah yurisdiksi Indonesia
. Jadi permisalan deskripsi kasus, bila dikaitkan dengan perbuatan yang dilarang dalam UU
No 11/2008, maka pasal yang mendekati untuk bisa digunakan menjerat A sebagai pelaku
adalah pasal 28 ayat (1) yaitu tentang berita bohong , yang selengkapnya berbunyi “Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”.
Kata “bohong” dan “menyesatkan” adalah dua hal yang berbeda. Dalam frasa “menyebarkan
berita bohong” yang diatur adalah perbuatannya, sedangkan dalam kata “menyesatkan” yang
diatur adalah akibatnya. Adapun untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal
28 ayat (1) UU No 11/2008, semua unsur dari pasal tersebut haruslah terpenuhi. Unsur-unsur
tersebut yaitu:
1. Setiap orang;

223
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

2. Dengan sengaja dan tanpa hak. Terkait unsur ini, perlu dicermati (unsur, ed)
’perbuatan dengan sengaja’ itu, apakah memang terkandung niat jahat dalam
perbuatan itu, apakah perbuatan itu dilakukan tanpa hak, misal kalau pers yang
melakukannya tentu mereka punya hak, namun, bila ada sengketa dengan pers, UU
Pers (UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, ed) yang jadi acuannya.
3. Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan. ( karena rumusan unsur
menggunakan kata “dan”, artinya kedua unsurnya harus terpenuhi untuk pemidanaan.
yaitu menyebarkan berita bohong (tidak sesuai dengan hal/keadaan yang sebenarnya)
dan menyesatkan (menyebabkan seseorang berpandangan pemikiran salah/keliru).
Apabila berita bohong tersebut tidak menyebabkan seseorang berpandangan salah,
maka tidak dapat dilakukan pemidanaan.
4. Yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Unsur yang
terakhir ini mensyaratkan berita bohong dan menyesatkan tersebut harus
mengakibatkan suatu kerugian konsumen. Artinya, tidak dapat dilakukan
pemidanaan, apabila tidak terjadi kerugian konsumen di dalam transaksi elektronik.
Dalam hal ini , maka unsur mengakibatkan kerugian konsumen ( B ) tidak terpenuhi
karena perbuatan yang dilakukan A sebagai pelaku pada waktu di Indonesia belum membuat
kerugian pada konsumen ( B belum melakukan transfer dana ) . Kerugian B baru terjadi
ketika A berada di India yang pada waktu itu melakukan proses pengiriman melalui email
dengan isi memberitahukan kepada B no rek nya ( A ) dan menyuruh B melakukan transfer
dana saat itu juga .
Sedangkan bila dikaji melalui KUHP, penipuan diatur dalam pasal 378 KUHP , dengan
ketentuan “Pasal 378 KUHP merumuskan sebagai berikut : "Barang siapa dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya
memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana
penjara paling lama 4 tahun."
Melihat pada perumusan pasal tersebut di atas, bisa dijabarkan unsur-unsur pasal tersebut
terkait dengan tindak pidana penipuan adalah :
1. Barangsiapa = menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan perbuatan;
2. Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan
piutang ( membujuk = melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang,
sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk
perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian; barang = segala sesuatu
yang berwujud, termasuk uang );
3. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara
melawan hukum ( menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak =
menguntungkan diri sendiri dengan tidak berhak );
4. Dengan menggunakan nama atau keadaan palsu, akal cerdik (tipu muslihat) atau
karangan perkataan bohong ( nama palsu = nama yang bukan nama sendiri; keadaan
palsu = misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, notaris, bank, yang
sebenarnya ia bukan penjabat itu; akal cerdik atau tipu muslihat = suatu tipu yang
demikian liciknya, sehingga seorang yang berpikiran normal dapat tertipu.
Karena sifat / kualifikasi tindak pidana penipuan adalah merupakan delik formil –materiel,
maka secara yuridis teoritis juga diperlukan pembuktian bahwa korban penipuan dalam
menyerahkan suatu benda dan seterusnya kepada pelaku tersebut, haruslah benar-benar
kausaliteit (berhubungan dan disebabkan oleh cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana
ditentukan dalam pasal 378 KUHP. Proses menggerakkan korban ( B ) untuk mentransfer

224
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

sejumlah dana dan B tergerak melakukan transfer dana saat itu juga ke A dilakukan oleh A
pada waktu di India . Yang artinya unsur adanya korban yang tergerak belum atau tidak
terpenuhi ketika pelaku berada di Indonesia, karena unsur tersebut terpenuhi ketika pelaku
berada di India. Dan itu artinya tidak bisa pasal 378 KUHP ini digunakan untuk menjerat
pelaku karena salah satu unsur penipuan tidak terpenuhi.
Dari rumusan-rumusan dan kajian Pasal 28 ayat (1) UU No 11/2008 dan Pasal 378 KUHP
tersebut , dapat kita ketahui bahwa keduanya mengatur hal yang berbeda. Pasal 378 KUHP
mengatur penipuan dengan unsur unsur memakai nama palsu atau palsu , adanya tipu
muslihat atau rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain , dengan tujuan memberi
hutang maupun menghapuskan piutang . Sementara Pasal 28 ayat (1) UU No 11/2008
mengatur mengenai berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik , tapi, rumusan Pasal 28 ayat (1) UU No 11/2008 tidak mensyaratkan adanya unsur
“menguntungkan diri sendiri atau orang lain” sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP
tentang penipuan . Walaupun begitu, kedua tindak pidana tersebut memiliki suatu kesamaan,
yaitu dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Pihak kepolisian dapat mengenakan
pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana
penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP dan memenuhi unsur-unsur tindak
pidana Pasal 28 ayat (1) UU No 11/2008, artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya
terpenuhi, polisi dapat menggunakan kedua pasal tersebut.
Bila permisalan deskripsi kasus tersebut dikaji dengan dijerat dengan delik yang belum
selesai, dalam hal ini delik percobaan atau poging yang diatur dalam pasal 53 KUHP, tetap
tidak akan bisa dikarenakan sebelum menjerat dengan percobaan atau poging, hal yang harus
ditentukan terlebih dahulu adalah jenis tindak pidana apa yang dilanggar oleh A , yang
berdasarkan kajian penulis diatas tersebut pasal 378 KUHP dan pasal 28 ayat (1 ) UU No
11/2008 tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum untuk menjerat A .
Atau anggap saja , misal A dituntut dengan delik percobaan atau poging delik penipuan (
pasal 378 KUHP ) atau delik percobaan atau poging menyebarkan berita bohong ( pasal 28
ayat (1) ), menurut penulis tetap tidak akan bisa ( penulis mencoba mengkaji dari unsur delik
percobaan atau poging itu sendiri ) , dengan kajian sebagai berikut: Dalam hukum pidana
percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau aspek.
Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum pidana dibicarakan
hal percobaan, berarti tujuan yang dikejar tidak tercapai 10. Pada pasal 53 KUHP hanya
menentukan kapan percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53
KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat
dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Adanya niat atau kehendak dari pelaku;
b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat atau kehendak itu;
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.
Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan
kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan kata lain suatu percobaan
dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut. Dari permisalan deskripsi kasus tersebut
diatas, unsur pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku ( A )
tidak bisa terpenuhi, dikarenakan memang pelaksanaannya bukan tidak selesai melainkan
belum diselesaikan oleh pelaku ketika di Indonesia, dan baru diseleaikan ketika A berada di
India ( melalui email mengirimkan no rekening pelaku ke korban dan menyuruh korban

10
Wijono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT. Eresco, 1989), hlm. 97.

225
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

langsung melakukan transfer dana ke no rekening pelaku tesrebut ). Kata “ tidak “ dalam
unsur pelaksanaan tersebut mengandung makna bahwa perbuatan tersebut seharusnya sudah
selesai tetapi karena faktor lain , maka membuat pelaksanaan perbuatan tersebut menjadi
tidak bisa diselesaikan. Berbeda dengan arti kata “ belum “ yang mengandung makna bahwa
suatu perbuatan tersebut memang belum waktunya diselesaikan. Dengan tidak terpenuhinya
unsur ketiga suatu perbuatan dikatakan poging atau percobaan tersebut, maka A tidak bisa
dikenai atau dijerat dengan pasal poging atau percobaan yang ada dalam pasal 53 ayat (1)
KUHP , dikarenakan semua unsur baik itu adanya unsur niat, unsur permulaan pelaksanaan
dai niat dan unsur pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku
harus terpenuhi. Salah satu unsur tidak bisa dipenuhi , maka suatu perbuatan tidak bisa
dikategorikan perbuatan tersebut dalam hal ini poging atau percobaan.
Jadi berdasarkan uraian kajian tersebut diatas, dari tindak pidana siber penipuan yang
dilakukan oleh A di Indonesia dan penyelesaiannya di India , Negara Indonesia akan sulit
menuntut dan mengadili A, dikarenakan :
- Perbuatan pidana atau delik siber yang dilakukan oleh A terhadap B itu dilakukan di
dua Negara yaitu Indonesia dan India , sedangkan semua unsur unsur baik dalam delik
penipuan sesuai pasal 378 KUHP dan atau juga dalam delik menyebarkan berita
bohong sesuai pasal 28 ayat ( 1 ) UU No 11/2008 baru bisa terpenuhi dengan locus
delicti di Indonesia .
- Pasal 2 UU No 11/2008 tidak mengatur secara tegas ketentuan memberlakukan
yurisdiksi kriminal asas subyek teritorial yang sebenarnya sangat penting dalam
proses pemberantasan kejahatan siber , karena yang seringkali perbuatannya dimulai
di suatu wilayah negara dan penyelesaiannya atau efeknya ada di negara lain .
Berdasarkan kajian atau analisa yag telah penulis uraikan diatas, sebenarnya Indonesia
bisa menuntut dan mengadili A , apabila semua proses yang dilakukan A locus delictinya di
Indonesia saja ( 1 Negara ). A bisa dijerat dengan pasal 378 KUHP ( penipuan ) dan atau bisa
dijerat dengan pasal 28 ayat 1) UU No 11/2008 ( menyebarkan berita bohong ) , karena
kendala dalam menuntut dan mengadili A dengan delik penipuan ( pasal 378 KUHP )
dikarenakan unsur tergeraknya korban ( B ) dilakukan A bukan di Indonesia tapi di India,
sehingga unsur tersebut tidak bisa dipenuhi . Sedangkan kendala dalam menuntut dan
mengadili A dengan delik menyebarkan berita bohong ( pasal 28 ayat (1) UU No 11/2008 )
dikarenakan unsur mengakibatkan kerugian konsumen dalam hal ini B baru terjadi ketika A
di India dan bukan di Indonesia. Dengan tidak adanya ketegasan dalam ketentuan pasal 2 UU
No 11 Th 2008 yang menyebutkan dan mengatur secara detail bahwa jangkauan yurisdiksi
kriminal Indonesia juga berlaku untuk tindak pidana siber yang proses rangkaiannya
dilakukan di Indonesia dan juga dilakukan di negara lain dalam penyelesaiannya, itu artinya
Indonesia tidak memberlakukan yurisdiksi kriminal asas subyek teritorial ( perbuatan dan
penyelesaian tindak pidana siber dilakukan Negara yang berbeda ). Dan dengan tidak adanya
ketegasan dalam pengaturan ketentuan pemberlakuan yurisdiksi kriminal asas subyek
teritorial dalam tindak pidana siber pada rumusan ketentuan pasal UU No 11/2008 akan
membuat Hukum Nasional Indonesia ( Indonesian cyberlaw ) akan mengalami hambatan
dalam menangkap maupun mengadili pelaku tindak pidana siber , karena karakteristik tindak
pidana siber yang lintas teritorial dalam rangkaian proses pelaksanaanya tidak diatur dan
disebutkan secara tegas dalam rumusan pasal 2 UU No 11/2008. Tentunya dengan tidak
adanya ketegasan pengaturan pemberlakuan yurisdiksi kriminal asas subyek teritorial pada
pasal 2 UU No 11/2008 akan menjadikan proses penegakkan hukum tindak pidana siber
tidak bisa terwujud, karena Hukum Nasional Indonesia tidak bisa digunakan sebagai dasar
hukum dalam menjerat pelaku tindak pidana siber yang rangkaian prosesnya ( locus

226
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

delictinya ) di Indonesia dan di negara luar Indonesia sebagai locus delicti dalam
penyelesaiannya.
Dikarenakan kendala dari produk Hukum Nasional Negara Indonesia yang tidak
bisa digunakan sebagai dasar hukum dalam menangkap maupun mengadili pelaku tindak
pidana siber yang proses tindak pidana siber tersebut dilakukan dengan locus delicti
Indonesia dan luar Negara Indonesia sebagai locus delicti dalam penyelesaiannya adalah
tidak adanya ketegasan penyebutan maupun pengaturan ketentuan pemberlakuan yurisdiksi
kriminal asas subyek teritorial , maka tentunya diperlukan suatu solusi daam mengatasi
kendala tersebut, karena kendala tersebut sebenarnya bisa teratasi bila dalam ketentuan pasal
2 UU No 11 Th 2008 pengaturan secara tegas bahwa Indonesia dalam jangkauan yurisdiksi
kriminal atas tindak pidana siber yang perbuatan dalam melakukan tindak pidana atau delik
siber dilakukan di Indonesia dan penyelesaian tindak pidana siber tersebut dilakukan Negara
yang berbeda , yaitu dengan menggunakan asas subyek teritorial ( perbuatan dan
penyelesaian tindak pidana siber dilakukan Negara yang berbeda ).

PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perlu
ditambahkan ketegasan pengaturan yurisdiksi kriminal asas subyek teritorial dalam pasal 2
UU No 11 / 2008
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang ada, maka dapat disampaikan saran bahwa pada rumusan
pasal 2 UU 11/2008, perlu ditambahkan ketegasaan pengaturan yurisdiksi kriminal asas
subyek teritorial .

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Bahiej, 2009, Hukum Pidana, Teras, Yogyakarta


Amiroeddin Sjarif S.H, Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, PT
Rineka Cipta, Jakarta 1997Chazawi Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1;
Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja
Grafindo, Jakarta
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum, Materi Kuliah Program Pasca
Sarjana Ilmu Hukum UNDIP 2001
Derrel Menthe, Jurisdiction in Cyberspace : A Theory of International Spaces, 4 Mich Tech
Review, 1998
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional (Bandung: Keni Media, 2011)
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Cet 2 ( Bandung : Cv Yrama Widya, 2015)
J.G Starke, Introduction to International Law, 9th ed, (London: Butterworths, 2000)

227
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,
Malang, 2005
Kanter, E.Y., dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya
(Jakarta : Alumni AHM-PTHM, 1982)
Kanter E.Y & S.R. Sianturi, 2002.Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta
Lamintang , Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia ( Bandung:Sinar Baru, 1984 )
Loqman Loebby, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana (Jakarta : Universitas
Tarumanagara, 1996)
Moeljatno. 1984. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta : PT. Bina Aksara
Peter Grabosky, Elektronic Crime, pearson rentice Hall, New Jersey, 2007.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1990
Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung,
2002
Soedarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1991
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu tinjauan singkat,
Rajawali, Jakarta, 1985
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transasksi Elektronik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor I1 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Wijono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT. Eresco, 1989)

228
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

PEMBAHARUAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA

1
Suwardi, 2Arief Dwi Atmoko
Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Narotama
1
suwardi@narotama.ac.id

ABSTRAK
Kebijakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasa
Pokok- pokok Agraria (UUPA) dipusatkan pada pelayanan bagi rakyat banyak,terutama
golongan petani,yang merupakan bagianterbesar rakyat Indonesia yang keadaan ekonominya
lemah. Pada masa itu, mulai dilaksanakan ketentuan-ketentuan landre form mengenai
pembatasan penguasaan tanah pertanian, larangan pemilikan tanah secara guntai (absentee),
redistribusi tanah yang terkena ketentuan landreform dan absentee, pengaturan bagi-hasil
dan gadai tanah pertanian. Selain itu, dilaksanakan juga penghapusan hak-hak kolonial dan
ketentuan konversi hakhak tanah yang semula diatur dalam perangkat hukum yang lama,
menjadi hak-hak baru menurut UUPA.

Kata Kunci : UUPA, pembaruan, tanah, petani

ABSTRACT

The policy of implementing Law Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian


Regulations (UUPA) is centered on services for the people, especially the peasantry, which is
the largest part of the Indonesian people whose economic conditions are weak. At that time,
the provisions of landreform began to be implemented concerning restrictions on the control
of agricultural land, the prohibition of land ownership in a hurry (absentee), redistribution of
land affected by landreform and absentee provisions, profit-sharing arrangements and
agricultural land pawn. In addition, the abolition of colonial rights and the provisions on the
conversion of land rights which were originally stipulated in the old legal instruments,
became new rights according to the LoGA.

Keywords: UUPA, renewal, land, farmers

229
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Tanah adalah sumber kehidupan,
kekuasaan, dan kesejahteraan.1 Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempu nyai arti
dan sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai
social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial dikalangan masyarakat untuk
hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pemba
ngunan. Sesuai dengan sifatnya yang multidimensional dan sarat dengan persoalan keadilan,
permasa lahan tentang pertanahan seakan tidak pernah surut. Pengaturan tentang struktur
pertanahan/ keagrarian telah disadari sejak berabad-abad lamanya oleh negara-negara
didunia. Perombakan dan pembaharuan struktur pertanahan/ keagrarian dilakukan untuk
memenuhi asas keadilan dan meningkatkan kesejahtera an rakyat.
Kebijakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok -pokok Agraria (UUPA) dipusatkan pada pelayanan bagi rakyat banyak,
terutama golongan petani, yang merupakan bagian terbesar rakyat Indonesia dan yang
keadaan ekonominya lemah. Pada masa itu, mulai dilaksanakan ketentuan-ketentuan
landreform mengenai pembatasan penguasaan tanah pertanian, larangan pemilikan tanah
secara guntai (absentee), redis tribusi tanah yang terkena ketentuan landreform dan
absentee, pengaturan bagi-hasil dan gadai tanah pertanian. Selain itu, dilaksanakan juga
penghapusan hak-hak kolonial dan ketentuan konversi hakhak tanah yang semula diatur
dalam perangkat hukum yang lama, menjadi hak-hak baru menurut UUPA.
Menurut Utrecht yang dikutip oleh Budi Harsono, hukum Agraria dalam arti sempit sama
dengan Hukum Tanah. Hukum Agraria dan Hukum Tanah menjadi bagian dari Hukum Tata
Usaha Negara, yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan
akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melalui
tugas mereka itu. Jadi istilah hukum agraria dalam lingkungan administrasi pemerintahan
dibatasi pada perangkat perundang-undangan yang memberi landasan hukum bagi penguasa
dalam menjalankan kebijakannya di bidang pertanahan.
Adapun konsep pembaruan agraria sendiri memiliki bentuk dan sifat yang berbeda tergantung
pada zaman dan negara tempat terjadinya pembaruan agraria tersebut.
Hal ini mengingat persamaan mendasar dalam pembaruan agraria, yakni inti dari pembaruan
agraria adalah pemerataan sumber daya agraria.2
Pemerintah melaksanakan kebijakan penyelenggaraan pembangunan dengan menguta
makan pertumbuhan. Di bidang pertanahan, kebijakan tersebut diterapkan dengan
menguta makan persediaan tanah bagi usaha perusahaan-perusahaan industri, perkebunan
besar dan pembangunan perumahan mewah yang dikenal sebagai “real estates” dikota-kota
besar, yang semuanya itu memerlukan tanah rakyat, termasuk yang semula diperuntukkan
bagi usaha pertanian.

1
Cholid, Sofyan, Redistribusi Tanah Dalam Usaha Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Petani Jurnal Ilmu
Kesejahteraan Sosial, Jilid 4 No. 2 Oktober 166-187 2006
2
Bakri, Muhammad ,2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Refor masi
Agraria),

230
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Hal ini didukung dengan perubahan kebijakan pertanahan (prorakyat menjadi prokapi
talis-liberalis) yang terbukti semakin menjauh dari perwujudan pemerataan hasil
pembangu nan, dan hal itu berarti semakin sulit untuk mewujudkan keadilan sosial.
Berbagai fenomena yang mendukung konstatasi tersebut di atas, adalah :
(1) Tanah difungsikan sebagai mekanisme akumulasi modal yang berakibat terhadap
terpinggir kannya hak-hak pemilik tanah pertanian.
(2) Seiring dengan perkembangan kapitalisme, nilai tanah hanya dilihat berdasarkan nilai
ekonomisnya (tanah sebagai komoditas), nilai-nilai non ekonomis menjadi terabaikan.
(3) Perubahan fungsi tanah, tanah sebagai salah satu faktor produksi utama menjadi sarana
investasi dan alat spekulasi/akumulasi modal.
(4) Globalisasi ekonomi mendorong kebijakan pertanahan yang semakin adaptif terhadap
mekanisme pasar, namun belum diikuti dengan penguatan akses rakyat dan masyarakat
hukum adat/tradisional/lokal terhadap perolehan dan pemanfaatan tanah.
Kebijakan yang propertumbuhan tersebut di atas telah menimbulkan berbagai dampak lain:
(1) Tanah semakin langka dan mundur kualitasnya.
(2) Konflik penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk tanah, baik yang
bersifat struktural maupun horizontal semakin tajam dan meningkat kuantitasnya.
(3) Kemiskinan dan semakin terbatasnya lapangan kerja, yang antara lain disebabkan karena
alih fungsi tanah, utamanya tanah pertanian, untuk penggunaan nonpertanian (industri,
perumahan, jasa/pariwisata, infrastruktur, dan lain-lain).
(4) Semakin timpangnya akses terhadap perolehan dan pemanfaatan tanah/sumber daya
alam, karena perbedaan akses modal dan akses politik.
(5) Semakin terdesaknya hak-hak masyarakat adat/masyarakat lokal terhadap sumber daya
alam yang menjadi ruang hidupnya, baik karena diambil secara formal oleh pihak
lain (dengan atau tanpa ganti kerugian yang memadai) atau karena tidak diakuinya
(secara lang sung atau tidak langsung) hak-hak masyarakat adat/masyarakat lokal atas
sumber daya alam termasuk tanah oleh Negara.
Kenyataan-kenyataan pelaksanaan kebijakan di bidang Agraria sejak Era Reformasi,
menim bulkan pihak-pihak pemerhati rakyat banyak untuk mencabut, mengubah, bahkan
mengganti UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Sejalan dengan hal tersebut, isi
Pasal 6 Kete tapan (TAP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI)
Nomor IX/MPR/2001 tanggal 9 Nopember 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam, menugaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, “untuk
segera menga tur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan
peraturan pelaksana annya, yang tidak sejalan dengan ketetapan ini.”
Bahwa UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, dengan konsepsi, semangat dan
asas-asas dasar yang melandasinya, tidak bertentangan dengan, bahkan sejalan dengan
keten tuan TAP MPR RI IX/MPR/2001 tersebut dan masih relevan, untuk masa kini
dan menda tang. Dengan menyadari kekurangan dan kelemahan-kelemahannya, yang
perlu dilakukan bukan menggantinya, melainkan menyempurnakan pasal-pasalnya.
Presiden selaku manda taris MPR menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34
Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan. Isi Keppres tersebut
memerintahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan
langkah-langkah percepatan penyusunan RUU Penyempurnaan UUPA dan RUU tentang
Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan. Apabila
didalami, kalimat penyempurnaan secara semantik berarti sesuatu yang sudah baik dijadikan
231
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

semakin lebih baik, bukan pembaharuan. Sehingga, konsep-konsep substansi UUPA dapat
dipertahan kan sedangkan kelemahan dan kekurangannya dapat disesuaikan dengan
perkembangan kekinian.3
Bachriadi mengungkapkan “Kekeliruan pembangunan yang mendasar adalah tidak
ditem patkannya pembaruan agraria yang berupa penataan kembali penguasaan,
penggunaan, peman faatan, peruntukan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria sebagai
pra-kondisi dari pemba ngunan…Pembaruan agraria dipercayai pula sebagai proses
perombakan dan pembangu nan kembali struktur sosial masyarakat, khususnya masyarakat
pedesaan, sehingga tercipta dasar pertanian yang sehat, terjaminnya kepastian penguasaan
atas tanah bagi rakyat sebagai sumber daya kehidupan mereka, sistem kesejahteraan sosial
dan jaminan sosial bagi rakyat pedesaan, serta penggunaan sumberdaya alam sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
(Deklarasi Pembaruan Agraria, Jogjakarta 1998).
“Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi
Indo nesia.” (Soekarno, 1960).
Saat ini pemerintah kembali membangkitkan Reforma Agraria dalam konsep baru,
dengan konsep Reforma Agraria baru yang sedang dihadapi Bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian yang telah diungkapkan pada latar belakang, maka penulis
merumuskan masalah ini adalah sebagaimana diungkapkan sbb:
1. Apakah Pembaharuan Agraria Sebagai Pondasi Pembangunan ?
2. Apakah diperlukan suatu Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia dalam suatu
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyempurnaan UUPA terkait dengan globalisasi ?

METODOLOGI PENELITIAN
Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yang
dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis masalah hukum yang ada. Penggunaan metode
penelitian normatif ditunjang melalui pendekatan peraturan perUndang-Undangan dengan
menelaah peraturan perUndang-Undangan terkait, dan pendekatan konseptual melalui
pemahaman dengan memperdalam asas-asas dan doktrin-doktrin para sarjana yang
diimplementasikan dan relevan dengan penulisan ini

PEMBAHASAN
a. Pembaharuan Agraria Sebagai Pondasi Pembangunan
Indonesia merupakan salah satu negara yang melaksanakan pembaharuan struktur
pertanahan pada periode 1960-an. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) negara
sebagai organisasi kekuasan rakyat pada tingkatan yang tertinggi menguasai tanah untuk
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan semangat perubahan dan
pembaharuan secara mendasar terhadap struktur pertanahan agar dapat memenuhi
kepentingan dan keadilan bagi rakyat maka sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 dikeluarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

3
Abdurahman, 1995, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya Bandung. Alting,
Husein, 2010,

232
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Agraria (UUPA) pada Tanggal 24 September 1960. Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria


ini merupakan fundamental pengaturan dan pembaharuan struktur pertanahan di Indone
sia.Tujuan pokok dari UUPA adalah :
(1) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat
untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat,
terutama rak yat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur;
(2) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan;
(3) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 sebagai induk reformasi agraria belum
mam pu menjadi jawaban atas permasalahan agraria diIndonesia. Selain karena banyak
amanatnya belum dilaksanakan, banyak juga aturan-aturan dibawahnya yang bertentangan
dengan Panca sila, UUD 1945. Oleh karena itu, sangat mendesak adanya penegasan dan
revitalisasi nilai-nilai Pancasila didalam politik agraria nasional.
Di Indonesia, kendati telah lebih dari 50 Tahun UUPA lahir, namun sampai saat ini belum
banyak memberikan arti. Bahkan maraknya kasus-kasus konflik pertanahan seperti kasus
sengketa Mesuji dan kasus pertambangan di Bima, merupakan kasus konflik agraria yang
terjadi. Bahkan banyak pihak berpendapat bahwa terjadinya kasus-kasus seperti di atas adalah
akibat inkonsistensi berbagai pihak, terutama pemerintah dalam pelaksanaan UUPA. Terbukti
reformasi agraria malah menjauhkan rakyat dari sektor agraris.4
Dalam mengemban tugas menyelenggarakan administrasi pertanahan. Badan
Pertanahan Nasional berpedoman pada empat prinsip pertanahan yang memberikan amanat
dalam berkontri busi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yaitu : menata
kehidu pan bersama yang lebih berkeadilan; mewujudkan keberlanjutan sistem
kemasyarakatan; kebangsaan dan kenegaraan Indonesia; serta mewujudkan keharmonisan
(terselesaikannya sengketadan konflik pertanahan).
Dalam mencapai visi dan misinya, selanjutnya Badan Pertanahan telah menetapkan 11
agenda pertanahan yang terdiri atas :
1). Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional RI;
2). Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertifikasi tanah secara
menyeluruh di Seluruh Indonesia;
3). Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah;
4). Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-
daerah konflik di seluruh tanah air;
5). Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan secara
sistematis;
6). Membangun Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional dan sistem pengamanan
dokumen pertanahan di Seluruh Indonesia;
7). Menangani masalah Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN) serta meningkatkan partisipasi
dan pemberdayaan masyarakat;
8). Membangun basis data penguasaan dan pemilikan tanah skala besar;

4
Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta. Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelak sanaannnya, Djambatan,Jakarta.

233
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

9). Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang


telah ditetapkan;
10). Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional RI;
11). Mengembangkan dan memperbarui politik, hukum, dan kebijakan pertanahan (Reforma
Agraria).
Berangkat dari 4 (empat) prinsip dan 11 (sebelas) agenda inilah selanjutnya ditetapkan
tujuan dari pelaksanaan Reforma Agraria yang terdiri dari enam rumusan yaitu :
a. Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang
lebih adil;
b. Mengurangi kemiskinan;
c. Menciptakan lapangan kerja;
d. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah;
e. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan;
f. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup dan meningkatkan ketahanan
pangan.
Adapun strategi dari pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasioanal (PPAN) sebagai
mana yang telah dirumuskan oleh BPN-RI adalah sebagai berikut:
1). Melakukan penataan atas konsentrasi aset dan atas tanah-tanah terlantar melalui penataan
politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan UUPA.
2). Mengalokasikan tanah yang langsung dikuasai oleh negara (obyek Reforma Agraria) untuk
rakyat (subjek Reforma Agraria).
Tidak dijalankan pembaharuan agaraia khusunya landreform di Indonesia justru
menjadikan masyarakat Indonesia, khusunya masyarakat-masyarakat yang kehidupanya
tergantung pada sumberdaya agraria baik masyarakat petani dipedesaan ataupun komunitas
masyarakat adat yang hidup mengelola sumberdaya lahan secara turun-temurun harus
berkonflik dengan sektor private/swasta yang di beriijin oleh negara untuk mengelola
sumberdaya lahan diIndonesia.5
Dalam kontes tersebut sesungunya pola landreform dengan pendekatan komunal adalah
dalam upaya mengupayakan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun kelompok
sosial yang sudah berkembang pada masyarakat komunal. Selanjutnya landreform adalah
upaya mendorong tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan nilai dan kesejahteraan, Pende
katan pola komunal pada masyarakat komunal adalah dalam upaya pembangunan yang
menaruh keperca yaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan
kemampuan yang ada padanya. Kepercayaaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang
sama, kebebasan memi lih, dan kekuasaan yang memutuskan, berikutnya adalah pembangu
nan yang berkelanjutan artinya bukan hanya ramah lingkungan tetapi tradisi-tradisi lokal
harus ditingkatkan kwalitasnya untuk keberlanjutan sistim dan produktifitas lahan sehingga
menjadikan masyarakat untuk mempunyai kemampuan membangun secara mandiri dan
independence yaitu pembangunan berarti mengurangi ketergantungan untuk menciptakan
hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati. Hal tersebut yang harus menjadi
perhatian bagi perancang, perencana dan pelaksana model pembaharuan agraria nantinya.

5
Kartohadiprodjo, Soediman, 1967, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, PT Pembangunan, Jakarta.
Kasim, If dhal, 1996, Tanah Sebagai Komoditas : Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru, ELSAM,
Jakarta

234
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

b. Perlunya Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia


Tanah adalah aset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju
masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya haruslah didasarkan pada
prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini
harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dagangan, objek spekulasi,
dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 3
UUD 1945.
Kebijakan pertanahan didasarkan kepada upaya konsisten untuk menjalankan amanat
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu “…bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasi negara untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran
rakyat…”. Oleh karena itu, merupakan tugas negara untuk melindungi hak-hak rakyat atas
tanah dan memberikan akses yang adil atas sumber daya agraria, termasuk tanah.
Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diatas, dapat dikemukakan prinsip-prinsip
kebija kan pertanahan nasional, diantaranya:
a) Kebijakan pertanahan diletakkan sebagai dasar bagi pelaksanaan program pembangunan
dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi;
b) Kebijakan pertanahan merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh kegiatan
pembangunan sektoral yang memiliki kaitan baik secara langsung maupun tidak dengan
pertanahan;
c) Kebijakan pertanahan dibangun atas dasar partisipasi seluruh kelompok masyarakat
sebagai upaya mewujudkan prinsip good governance dalam pengelolaan pertanahan;
d) Kebijakan pertanahan diarahkan kepada upaya menjalankan TAP MPR No. IX/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Pembaruan Agraria sebagai suatu isu, bersifat kompleks dan multidimensi, dan oleh
karena itu pendefinisiannya tidaklah sederhana. Namun demikian, tanpa bermaksud
menyederhanakan kompleksitas permasalahannya, pembaruan agraria (agrarian reform)
pada intinya meliputi hal -hal sebagai berikut :
a) Suatu proses yang berkesinambungan artinya dilaksanakan dalam satu kerangka waktu
(time frame), tetapi selama tujuan pembaruan agraria belum tercapai, pembaruan agraria
perlu terus diupayakan;
b) Berkenaan dengan restrukturisasi pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan sumber daya
alam (sumber agraria) oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan;
c) Dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan perlindungan hukum atas
kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam (sumber daya agraria), serta
terwu judnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Reformasi agraria tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik, perdebatan ideologi, dan
campur tangan pihak internasional dimasa lampau. Apa yang terjadi di masa lampau tersebut
masih beresonansi dengan keberadaan struktur agraria di Indonesia kini. Sehingga sekarang
ini sangat mendesak diperlukan suatu studi yang lebih komprehensif mengenai gagasan
reforma agraria di Indonesia, terutama dalam menata politik pertanahan nasional yang
menuai banyak masalah.
RUU Pertanahan mencakup sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangan
terkait tanah, seperti UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Perlindungan dan Penge
lolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, serta UU Pertambangan,
Mineral dan Batubara. Aspek-aspek hukum adat juga ditata ke dalam sistem keagrariaan
nasional. Dengan demikian, tampak adanya penerimaan terhadap paham sektoralisme dalam
penyempurnaan UUPA.
235
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Unsur yuridis dalam RUU ini adalah sebagai amanat dalam arah kebijakan pembaruan
agraria yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d dan e TAP MPR IX/MPR/2001 yaitu :
1) Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul
selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna
menja min terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip
pembaruan agrarian.
2) Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan
pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan
sumberdaya agraria yang terjadi.
Sedangkan unsur filosofis dalam RUU ini adalah mengatur tanah secara komprehensif
untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan unsur sosiologisnya, tersebaranya pengaturan agraria
diberbagai bidang atau sektor sehingga dibutuhkan suatu sinkronisasi yang mengatur secara
komprehensif tentanh pertanahan. Berdasarkan pendapat-pendapat yang ada dalam
masyarakat melalui organisai kemasyarakatan RUU tentang Pertahanan berdampak kepada
upaya-upaya hukum untuk memuluskan proses eksploitasi tanah secara liberal. Melalui
mekanisme privatisasi, libera lisasi dan deregulasi para penguasa modal semakin terfasilitasi
untuk melakukan eksploitasi sumber-sumber agraria yang ada.
Pembaharuan agraria, atau sering juga digunakan istilah “Reforma Agraria” sebagai
peng ganti istilah “Agrarian Reform”, merupakan suatu keniscayaan yang harus
dilakukan. Selu ruh pihak hampir pasti menyetujui dilakukannya pembaruan agraria di
Indonesia, sebagaimana telah termaktub dalam Tap MPR No. IX Tahun 2001. Lahirnya
ketetapan ini yang inisiatornya berasal dari kalangan non pemerintah menunjukkan bahwa
ada kesepakatan tentang perlunya pembaruan agraria dijadikan perhatian bersama.
Jadi hukum-hukum di Indonesia juga harus ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan
negara sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 yakni untuk membangun
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa,
memajukan kesejahte raan dan kemakmuran rakyat. Ketentuan konstitusi tersebut haruslah
menjadi instrumen dasar dalam penataan kembali politik agraria nasional dalam kerangka
reforma agraria dengan menjadi kan Pancasila sebagai paradigma politik hukum, sehingga
Pancasila dapat berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms dalam
konteks kehidupan bernegara.
c. Penyempurnaan UUPA Yang Tepat Untuk Dapat Mengatasi Terpaan Globalisasi
Upaya positivisasi aturan hukum demi mencapai kepastian hukum, mengakibatkan
hukum positif itu harus berbentuk tertulis. Di Indonesia, pengaruh ajaran legisme sangat
berperan dalam positivisasi norma hukum. Bentuk hukum positif yang tertulis menduduki
posisi utama dalam sistem peraturan perundangundangan Indonesia, dan karenanya kepastian
hukum menjadi unsur utama dari hukum. 6
Dari sudut pandang teoritis, suatu peraturan perundang-undangan sebagai aturan hukum
tertulis yang baik yang diharapkan mampu memenuhi unsur dasar hukum yakni keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum, setidaknya harus memenuhi 4 (empat) unsur sebagai
berikut:

6
E. Utrecht, 1988, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Pustaka Tinta Mas, Surabaya. Gau tama,
Sudargo, 1998, Tafsiran UUPA 1960, Rineka Cipta, Jakarta.

236
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

1) Unsur yuridis, artinya bahwa suatu perundang-undangan harus jelas kewenangan pembua
tannya, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, dan keharusan mengikuti tata cara tertentu.
2) Unsur sosiologis, artinya bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat materi
muatannya akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan.
3) Unsur filosofis, artinya bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat harus memper
hati kan nilai-nilai yang baik dan ideal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
ber negara, seperti tentang keadilan, kebenaran, kesejahteraan, dan sebagainya.
4) Unsur teknik perancangan, artinya bahwa dalam menyusun peraturan perundang-
undangan bahasa hukumnya harus dirumuskan secara jelas, tegas, dan tepat.
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan tidak boleh menggunakan rumusan
yang tidak jelas, sehingga rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti atau sistematika
yang tidak baik, bahasa yang berbelit-belit, dan lain-lain.
Adapun secara teknis, dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasar kan
pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi :
1) Kejelasan tujuan, dalam arti setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
2) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, dalam arti setiap jenis peraturan perun
dang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-
undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan
atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang;
3) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dalam arti pembentukan peraturan
perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis pera turan perundang-undangannya;
4) Dapat dilaksanakan, dalam arti setiap pembentukan peraturan perundangundangan harus
memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis;
5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan, dalam arti setiap peraturan perundangundangan
dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan berma syarakat, berbangsa, dan bernegara;
6) Kejelasan rumusan, dalam arti setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan
kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga
tidak menim bulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya; dan
7) Keterbukaan, dalam arti dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan mulai
dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan.
Persyaratan, unsur dan asas diatas jika dikategorisasi maka dapat dikelompokkan pada
dua kelompok besar yakni asas atau persyaratan formal dan material.
Terkait dengan pembentukan rancangan undang-undang dalam rangka pembaruan hukum di
bidang agraria, sejumlah prinsip dan dasar kebijakan yang digariskan dalam Ketetapan MPR
No.IX/MPR 2001 harus diperhatikan dan menjadi landasan dalam penyusunan berbagai
undang-undang dimaksud. Selain itu, agar adanya undang-undang yang hendak dibentuk
menjadi suatu solusi bagi persoalan keagrariaan yang ada dan mampu mencapai unsur
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang berimbang sebagaimana dicita-citakan, dan
237
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

mampu menjadi suatu hukum yang responsif, maka dalam proses tersebut perlu diperhatikan
beberapa hal yang dapat dijadikan dasar pijakan yang merupakan hasil pemikiran yang
berakar langsung dari kebutuhan masyarakat. Pembangunan hukum yang dilandasi dengan
sikap proaktif didasarkan pada penelitian dan kebutuhan hukum akan menghasilkan produk
hukum yang efektif.
Menurut Maria S.W. Sumardjono setidaknya terdapat empat hal yang perlu
diperhatikan sebagai dasar berpijak bagi pembuat kebijakan di masa yang akan datang, yang
diantaranya adalah :
1). Prinsip-prinsip dasar yang diletakkan oleh UUPA perlu dipertegas dan dikembangkan
orientasinya agar dapat diterjemahkan dalam kebijakan yang konseptual sekaligus
operasio nal dalam menjawab berbagai kebutuhan dan dapat menuntun ke arah
perubahan yang dinamis.
2). Perlu persamaan persepsi pembuat kebijakan berkenaan dengan berbagai hal yang
prinsipil, agar tidak menunda jalan keluar dari permasalahan yang ada.
3). Tanpa mengingkari banyaknya kebijakan yang berhasil diterbitkan, masih terdapat kesan
adanya pembuat kebijakan yang bersifat parsial atau untuk memenuhi kebutuhan jangka
pendek, karena belum ielasnya urutan prioritas kebijakan yang harus diterbitkan.
4). Masih diperlukan adanya suatu cetak biru kebijakan di bidang pertanahan yang dengan
jelas menunjukkan hubungan antara prinsip kebijakan, tujuan yang hendak dicapai, serta
sasaran nya.
Agenda Pembaruan agrarian yang dituangkan dalam TAP MPR IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, belum sepenuhnya
diimplementasikan dalam Prolegnas. Hal itu terutama terlihat dari prolegnas 2010-2014. Hal
ini mencerminkan juga program pembaruan hukum agraria belum menjadi program yang
menjadi prioritas untuk dilaksanakan.
Pemahanan dan serta keinginan pemerintah dan DPR dalam melaksanakan pembaruan
hukum agraria masih belum memenuhi harapan para pembaru agraria di tanah air. Dalam
daftar prolegnas 2010 sampai dengan 2014 terdapat beberapa RUU di bidang pertanahan
yakni antara lain RUU tentang Pengambilalihan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan,
RUU tentang Pengadilan Keagrarian, RUU tentang Pertanahan, RUU tentang Perubahan atas
UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang
berkaitan dengan Tanah, dan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 56/Prp/Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Namun terkait isu-isu pokok dalam pembaruan
hukum agraria sebagaimana telah dipaparkandalam bagian sebelumnya, penulis membatasi
untuk melakukan kajian dan analisa pada 3 RUU yaitu: RUU tentang Pengambilalihan Tanah
untuk Kepentingan Pembangu nan, RUU tentang Pengadilan Keagrariaan dan RUU tentang
Pertanahan.7
Pemikiran yang berkembang di tingkat dunia selama ini telah menyepakati, bahwa
negara-negara berkembang sudah saatnya melaksanakan kebijakan pembaruan agraria secara
sungguh-sungguh. Asumsi dasar yang melandasinya adalah, karena sebagian besar rakyatnya
masih meng gantungkan hidupnya pada tanah. Dalam kondisi demikian, penataan penguasaan
tanah menjadi lebih adil merupakan instrumen yang esensial untuk mengurangi kemiskinan

7
Gunanegara, 2008, Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Tata Nusa, Jakarta.
Hamidi, Jazim ,2005,

238
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

dan ketimpangan pendapatan terutama di pedesaan. Pemikiran ini sudah muncul semenjak
Konferensi oleh FAO yang bertajuk “World Conference on Agrarian Reform and Rural
Development” Tahun 1979. Dalam pertemuan ini, pembaruan agraria merupakan hal yang
mendesak dan dilabeli status “keharusan”. Respon Indonesia terhadap hasil pertemuan ini
misalnya tampak dengan kehadiran Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang baru berdiri
Tahun 1988 berdasarkan Keppres No. 26 Tahun 1988, mekipun ternyata peranannya
tidak sesuai dengan harapan para pemerhati masalah agraria nasional.
Perubahan peta pemikiran yang cepat di tingkat dunia akhir-akhir ini merupakan kondisi
yang harus dipertimbangkan dalam setiap pilihan kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal
konsep dan pendekatan pembangunan pedesaan dan agraria, yang keduanya saling terkait
erat. Kegagalam penerapan konsep modernisasi oleh kaum developmentalis di negara-negara
berkem bang melahirkan banyak pemikiran-pemikiran baru yang sulit ditolak kehadirannya
karena misalnya lebih humanis, adil, dan sangat mempertimbangkan kondisi lingkungan.
Negara-negara berkembang yang berada pada posisi pengadopsi pemikiran-pemikiran
tersebut, maka setiap kebijakan pemerintahnya dipengaruhi oleh isu-isu yang berkembang
tersebut. Demikian halnya, dengan kebijakan terhadap masalah pertanahan dan sumber daya
alam secara umum (agraria).
Kedudukan lembaga yang menangani pertanahan/agraria dalam susunan kabinet/
pemerin tahan, berbeda-beda, mengalami pasang surut sesuai dengan nuansa politik yang
mempengaruhi penentu kebijakan nasional di zamannya. Dengan dikeluarkannya Peraturan
Presiden No.10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional dalam rangka penguatan
kelembagaan Badan Pertanahan Nasional, maka Badan Pertanahan Nasional berperan
melaksanakan tugas pemerinta han di bidang pertanahan baik secara nasional, regional,
maupun sektoral. Badan Pertanahan Nasional (BPN-RI) diharapkan dapat menjadi garda
terdepan bangsa dalam mewujudkan tanah dan pertanahan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, serta keadilan dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan
dan kenegaraan Republik Indonesia. Hal ini tentu tidak mudah, banyak hambatan dan
tantangan kedepan yang harus dihadapi. BPN-RI harus mampu mengembangkan dan
menyelenggarakan politik dan kebijakan pertanahan sesuai konsep pembaruan agraria
sebagai upaya perwujudan tatanan kehidupan bersama yang bersandar pada ekonomi
kerakyatan, keadilan, demokratis, dan partisipatif.
Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat sebagai dampak dari perkembangan
di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya maka gagasan atau pemikiran tentang
pertanahan juga terus berkembang. BPN-RI dituntun agar mampu mengakomodasi seluruh
perkembangan dinamika pertanahan yang semakin kompleks. Berbagai rumusan dan
formulasi program-program strategis dibidang pertanahan harus segera dilaksanakan. BPN-
RI harus menata kelem bagaannya sehingga mampu meningkatkan pelayanan dibidang
pertanahan, memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah, menyelesaikan berbagai
persoalan pertanahan, mengem bangkan dan memperbaharui politik, hukum, dan kebijakan
pertanahan, serta melaksanakan peraturan perundang-undangan secara konsisten. Dengan
demikian maka BPN-RI mampu menjadi lembaga yang dapat mewujudkan cita-cita bangsa
yakni menjadikan tanah dan pertana han untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, serta
keadilan dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik
Indonesia.
Dalam upaya mewujudkan cita-cita bangsa di bidang pertanahan maka BPN-RI ke depan
harus melaksanakan berbagai agenda sebagai berikut :
1. Penataan dan Penguatan Kelembagaan BPN-RI
239
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Badan Pertanahan Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik


Indonesia Nomor 26 Tahun 1988. Dalam rangka penguatan kelembagaan Badan Pertanahan
Nasional telah ditetapkan Peraturan Persiden No.10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional. Kebijakan ini memandatkan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan
sektoral. BPN-RI harus mampu memberikan pelayanan di bidang pertanahan kepada
masyarakat secara berkualitas, bebas KKN, efektif dan efisien, terjangkau, akuntabel, adil,
serta tidak diskriminatif. Untuk itu BPN-RI harus melaksana kan penataan dan penguatan
kelembagaan melalui reformasi birorasi.8
Reformasi Birokrasi sudah bergulir pada setiap instansi pemerintah pusat dan daerah.
Reformasi Birokrasi merupakan perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi, antara lain
kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas aparatur,
pengawasan, dan pelayanan publik. Hal yang penting dalam reformasi birokrasi adalah
perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja. Reformasi Birokrasi
harus diwujudkan dalam perubahan secara signifikan (evolusi yang dipercepat) melalui
tindakan atau rangkaian kegiatan pembaharuan secara komprehensif, sistematis, dan
berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal tersebut maka BPN-RI harus melaksanakan beberapa
agenda sebagai berikut:
a. Penataan kelembagaan dan penyederhanaan ketatalaksanaan.
Konsep kelembagaan harus disusun berdasarkan visi dan misi yang ingin dicapai.
Struktur kelembagaan harus berdasarkan pada prinsip efektif, efisien, rasional, dan
proporsional (pembidangan sesuai dengan beban dan sifat tugas).
Terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel
dalam administrasi pemerintahan maupun pelayanan kepada masyarakat. Penerapan
otomatisasi administrasi perkantoran (melalui komputerisasi) dan sistem manajemen
yang efisien dan efektif.
b. Peningkatan sumber daya manusia.
Sumber daya manusia harus dibangun berbasis kinerja yaitu profesional, netral, dan
sejahtera. Kepegawaian berbasis kinerja harus dibangun meliputi standar kompetensi,
kom petitif, transparan, penggunaan metode assessment centre, fit and propertest, jabatan
terbuka, orientasi pada prestasi kerja, berorientasi hasil dan kualitas, dan ada catatan
prestasi harian pegawai.
Pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, pola pikirsikap-perilaku produktif,
didukung analisis kebutuhan diklat, dan penyaluran pasca diklat. Jumlah dan komposisi
pegawai yang ideal sesuai dengan tugas, fungsi, dan beban kerja. Penerapan reward and
punishment (peng hargaan, sanksi tegas, kriteria dan konsistensi pemberian
penghargaan). Peningkatan kesejah teraan pegawai melalui penerapan remunerasi dan
pengaturan tunjangan secara adil dan layak.
c. Peningkatan pelayanan publik.
Pelayanan publik merupakan barometer dari transparansi dan akuntabilitas lembaga.
Penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat harus berparadigma penyelenggaraan

8
Hutagalung, Ari Sukanti dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan,
PT. Raja Grafindo persada, Jakarta Ibrahim, Johny, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif,
Bayu Publishing Malang.

240
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

good governance yakni menjadi entrepreneurial competitive government (pemerintahan


yang kompetitif), customer driven dan accountable government (pemerintahan
tanggap/responsif), serta global-cosmopolit orientation government (pemerintahan yang
berorientasi global).
Penerapan prinsip pelayanan prima yang meliputi metode dan prosedur pelayanan,
produk dan jasa pelayanan, penetapan standar pelayanan, indeks kepuasan masyarakat,
pengemba ngan model dan penanganan keluhan masyarakat, modernisasi administrasi
melalui otomati sasi administrasi perkantoran elektronis di setiap Kantor Pertanahan,
penerapan dan pengem bangan e-government, serta publikasi secara terbuka prosedur,
biaya dan waktu pelayanan.
2. Penyusunan Kerangka Kebijakan Pertanahan
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Pasal 33 ayat (3), pengelolaan
sumber daya alam termasuk pertanahan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Satu hal yang perlu dipahami bahwa pengelolaan sumber daya alam
merupakan suatu sistem yang saling terkait satu dengan lainnya. Semua kebijakan yang
berhubungan dengan pengelo laan sumber daya alam harus sinkron satu dengan yang
lainnya karena masing-masing kebija kan akan saling mempengaruhi. Oleh karena itu,
penyusunan kerangka kebijakan pertanahan sangat diperlukan untuk dipergunakan sebagai
pedoman oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun sektor swasta, dalam
menangani masalah-masalah pertanahan sesuai dengan bidang tugas dan kepentingannya
masing-masing.
Ada empat komponen yang harus dianalisis dalam pengembangan kebijakan
pertanahan
(1) komponen hukum dan konflik pertanahan;
(2) komponen administrasi pertanahan;
(3) komponen penguasaan dan penggunaan tanah serta;
(4) komponen institusi pertanahan.
Jika empat komponen tersebut dapat dirangkai dalam kerangka yang komprehensif dan
sistematis maka pengelolaan pertanahan secara berkeadilan, transparan, partisipatif dan
akun tabel dapat terwujud.
3. Peningkatan Pelayanan Administrasi Pertanahan.
Lambatnya pencatatan atau pendaftaran tanah merupakan akibat dari sistem pendaftaran
yang rumit dan biaya pendaftaran yang mahal sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat
luas. Sistem pendaftaran tanah yang ada juga belum menjangkau penguasaan tanah oleh
masyara kat adat sehingga penguasaan tanah oleh masyarakat adat sebagian besar belum
dicatat secara formal.
Oleh karena itu, pengembangan kebijakan administrasi pertanahan ke depan diarahkan
pada penyederhanaan sistem pencatatan tanah yang bisa mempercepat proses pendaftaran
tanah, termasuk pendaftaran tanah adat. Penyederhanaan sistem pencatatan ini juga
mencakup penca tatan atas berbagai jenis transaksi tanah termasuk perpindahan status
kepemilikan karena jual beli, waris, sewa ataupun transaksi lainnya yang ke depan
diperkirakan akan semakin intensif.
Penataan terhadap struktur biaya pertanahan yang terjangkau oleh masyarakat luas
namun tetap dapat menopang keberlanjutan dari sistem pencatatan tersebut juga harus
dilaksanakan. Dengan demikian diharapakan percepatan pencatatan atau pendaftaran tanah
dapat terwujud.
4. Pengaturan Penguasaan dan Penatagunaan Pertanahan.
241
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Reformasi agraria menyatakan adanya hak penguasaan yang dijamin negara kepada
rakyat yang menjadi subjek agraria. Satu hal yang penting untuk dirumuskan dalam
kebijakan pengua saan tanah adalah kategorisasi terhadap jenis hak yang akan diberikan
atas pengua saan sebidang tanah, baik itu penguasaan oleh perorangan/badan hukum
maupun penguasaan bersama (komunal). Hak atas tanah yang diberikan memberikan hak
dan kewajiban bagi pemilik tanah untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan jenis
haknya.
Pengelompokan jenis hak atas tanah sebaiknya mempertimbangkan jangka waktu
pengua saan tanah (permanen atau sementara) serta peruntukkan penggunaan atas tanah
tersebut agar sinergi dengan kebijakan rencana tata ruang yang ada. Kebijakan
penatagunaan tanah menjadi mediasi atau interface dari sistem penguasaan tanah dan
sistem penataan ruang. Kebijakan penatagunaan tanah harus sesuai dengan rencana tata
ruang yang ada. Penggunaan tanah untuk fungsi sosial lebih diutamakan dari penguasaan
dan pemilikan tanah untuk kepentingan pribadi.
5. Penyelesaian Permasalahan Pertanahan
Tanah memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat strategis, baik secara sosial, ekonomi
maupun politik. Nilai strategis itu menjadi contested resources yang potensial melahirkan
perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan. Faktor penyebab utama timbulnya
seng keta dan konflik tanah dalam konteks pembangunan sesungguhnya bukan semata-
mata terletak pada persoalan teknis administratif pertanahan, seperti adanya kekacauan
dalam pengelolaan dan mekanisme pengaturan administrasi pertanahan. Masalah tersebut
hanyalah satu dari sekian banyak turunan masalah pertanahan yang berakar dari pilihan
paradigma pembangunan yang tidak selaras dengan kepentingan sebagian besar rakyat
Indonesia serta kurangnya aturan hukum mengenai penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah.
Untuk itu Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga pemerintah yang
menjalankan tugas di bidang pertanahan harus mampu menyusun dan merumuskan
berbagai kebijakan untuk mengatasi berbagai persoalaan terkait dengan sengketa dan
konflik pertanahan. Harus ada upaya komprehensif untuk merumuskan strategi
pembangunan yang secara paradig matis/filosofis berpijak pada kepentingan sebagian
besar rakyat Indonesia serta melakukan pembaruan agraria melalui penataan penguasan,
pemilikan, penggunaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah. Selain itu BPN-RI harus
meningkatkan kualitas pelayanan dan penertiban administratif pertanahan. Jika kedua
upaya tersebut dilaksanakan maka diharapkan dapat mereduksi adanya perkara, masalah,
sengketa dan konflik pertanahan.
6. Membangun Basis Data Pertanahan.
Sistem basis data mengacu pada sistem pengumpulan, penyusunan, dan pencatatan
(record) serta menyimpan dengan memanfaatkan komputer sebagai mesin mengolah
dengan tujuan dapat menyediakan informasi setiap saat untuk berbagai kepentingan. Salah
satu usaha BPN-RI untuk mengotimalkan tugas-tugas pelayanan pertanahan dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi adalah pembangunan dan pengambangan
Komputerisasi Kantor Pertana han (KKP) karena Kantor Pertanahan merupakan basis
terdepan dalam kegiatan pelayanan. Selain itu pengembangan model pelayanan yang
berbasis on-line system dilakukan dengan pembangunan dan pengembangan Larasita.
Dengan adanya pelayanan ini diharapakan pelaya nan pertanahan dapat menjangkau
semua lapisan masyarakat, khususnya masyarakat yang rendah aksesibilitas untuk datang
ke Kantor Pertanahan. Untuk itu BPN-RI ke depan diharap kan mampu melaksana kan
242
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

pembangunan dan pengambangan komputerisasi kantor pertana han diseluruh Kantor


Pertanahan Republik Indonesia serta terus meningkatkan pembangunan dan
pengembangan Larasita. Dengan demikikian pelayanan pertanahan secara berkualitas,
transparan, partisipatif, dan akuntabel dapat terwujud.
Dengan melaksanakan berbagai agenda penataan tersebut, Badan Pertanahan Nasional
(BPN -RI) diharapkan mampu menjadi garda terdepan bangsa dalam mewujudkan cita-cita
bangsa untuk menjadikan tanah dan pertanahan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
serta keadilan dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan
Republik Indonesia.

PENUTUP

a. Kesimpulan
Pembaharuan Agraria adalah suatu keniscayaan untuk mewujudkan keadilan dalam
upaya menyejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat petani, nelayan dan masyarakat
adat yang harus disertai dengan Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia.
Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia diperlukan untuk mengantisipasi
kemajuan dan perkembangan zaman, khususnya di bidang pertanahan sesuai dengan arus
globalisasi dengan melakukan penyempurnaan UUPA dalam suatu RUU Penyempurnaan
UUPA. Penyem purnaan UUPA hanya pada hal-hal yang bersifat praktikal dalam rangka
penyesuaian dengan perkembangan globalisasi yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian
bangsa, sedangkan konsep filosofis UUPA tetap harus dipertahankan.

b. Saran
Dalam rangka “penyempurnaan UUPA”, maka produk hukum yang dihasilkan fungsinya
tidak terbatas pada social control tetapi juga berfungsi sebagai social engineering. Mengenai
masalah-masalah terkini yang berkembang di lapangan sebagai konsekuensi dari globalisasi
diakomodir dalam penyempurnaan ini sehingga ada landasan yuridis untuk mengatasi
permasa lahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat di satu pihak dan melindungi
masyarakat dari pihak manapun karena adanya kekosongan dan ketidak pastian hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, 1995, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di
Indonesia, PT. Citra Aditya Bandung. Alting, Husein, 2010,
Bakri, Muhammad ,2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Refor
masi Agraria),
Cholid, Sofyan., “Redistribusi Tanah Dalam Usaha Pengentasan Kemiskinan Masyarakat
Petani” Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, Jilid 4, Nomor 2, Oktober, 166-187. 2006

Citra Media, Yogyakarta Basah, Sjachran, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan
Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung.
Boeke, JH, 1983, Prakapitalisme Di Asia, Sinar Harapan, Jakarta. Burhan, Ashsofa, 1996,
Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
243
:: HUKUM BISNIS :: EISSN 2460-0105
Universitas Narotama Surabaya
Volume 3 Nomor 2, Oktober 2019

Butt, Peter, 1980, Introduction to Land Law, The Law Book Company Limited, Sydney.
Deliar nov, 2005, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Erwiningsih, Winahyu, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogya
karta.
E. Utrecht, 1988, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Pustaka Tinta Mas, Surabaya. Gau
tama, Sudargo, 1998, Tafsiran UUPA 1960, Rineka Cipta, Jakarta.
Gunanegara, 2008, Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Tata
Nusa, Jakarta. Hamidi, Jazim ,2005,
Hutagalung, Arie Sukanti, dkk. Asas-Asas Hukum Agraria : Bahan Bacaan Pelengkap
Perkulia han Hukum Agraria. Jakarta. 2001

Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta. Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria
Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannnya, Djamba tan, Jakarta.
Husken, Frans, dan Benyamin White, 1989, Java: Social Differentiation, Food Production
and Agrarian Control dalam Gilian Hart dkk: Agrarian Transformation : Local Process
and State in Southeast Asia, University of California Press, Berkeley-Los Angelos-
London.
Hutagalung, Ari Sukanti dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah Di Bidang
Pertanahan, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta Ibrahim, Johny, 2006, Teori dan
Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing Malang.
Iskandar Syah, Mudakir, 2010, Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Upaya
Hukum Masyarakat Yang Terkena Pembebasan dan Pencabutan Hak, Jala Permata
Aksara, Jakarta. Jhingan, M.L, 2004, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West
Publishing Co, Fifth Edition, 1979).

244
PENERAPAN PEMBATASAN YUDISIAL (JUDICIAL
RESTRAINT) BAGI PELAKU LGBT ( STUDI KASUS PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-XIV/2016)
1
Widyawati Boediningsih, 2Evan Wijaya
Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Narotama
1
widyawati@narotama.ac.id

ABSTRAK
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara penegakan konstitusi dituntut
untuk melakukan judicial review terhadap Undang-Undang Dasar Negara. Dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya bertindak dalam aktivitas yudisial sebagai legislator
positif atau melakukan pembatasan yudisial sebagai legislator negatif. Lesbian, Gay,
Biseksual dan transgender yang selanjutnya disingkat LGBT adalah salah satu fenomena
menarik untuk dipelajari dalam hal yuridis. Kepastian hukum dibutuhkan dalam
penyelesaian kasus LGBT yang telah merajalela di masyarakat.

Kata kunci: Mahkamah Konstitusi, LGBT, legislator positif, legislator negatif, kepastian
hukum

ABSTRACT
The existence of the Constitutional Court as a constitutional enforcement state institution
is required to conduct judicial review of the Constitution State Law. In carrying out its
duties and obligations acting in judicial activity as a positive legislator or performing
judicial restrictions as a negative legislator.Lesbian, Gay, Bisexual and transgender
hereafter abbreviated LGBT is one interesting phenomenon to be studied in terms of
juridical. Legal certainty is needed in the solution of the LGBT case that has been rampant
in the community.
Keywords: Constitutional Court, LGBT, positive legislators, negative legislators, legal
certainty

PENDAHULUAN

Pancasila yang merupakan dasar Negara Indonesia dalam sila pertama yang berbunyi
"Ketuhanan Yang Maha Esa" mencerminkan bahwa norma agama menjadi pedoman
dalam bersikap dan berperilaku.Mayoritas ajaran agama di Indonesia melarang bahkan
mengharamkan eksistensi homoseksual. Oleh karena itu homoseksual dianggap sebagai
bentuk penyimpangan seksual,pendosa,terlaknat bahkan penyakit sosial.Homoseksualitas
apabila diilihat dari sudut pandang norma agama termasuk penyimpangan karena
bertentangan dengan ajaran dan menyalahi perintah Sang Khalik serta melanggar
kodratnya sebagai makhluk ciptaan-Nya.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi atau yang disingkat dengan MK tersebut
masyarakat awam merasa adanya ketidakpastian hukum karena dianggap MK telah
melegalkan atau menghalalkan perbuatan zina dan LGBT,padahal faktanya dalam amar

245
putusannya hanya menolak kehendak pemohon untuk memperluas makna dan menolak
untuk membuat rumusan norma hukum pidana yang sama sekali baru yang dapat dilihat
dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai perzinahan,
pasal 285 KUHP mengenai perkosaan,dan pasal 292 KUHP mengenai pencabulan
(homoseksual).Dalam petitum (apa yang diminta) pemohon meminta agar pasal
perzinahan bukan saja berlaku bagi laki-laki atau perempuan yang terikat
perkawinan,melainkan bagi semua laki-laki dan atau perempuan yang tidak terikat
perkawinan,dalam hal pasal perkosaan,pemohon meminta agar pasal perkosaan tidak
hanya menjerat laki-laki yang memperkosa perempuan,melainkan bisa mencakup setiap
orang (baik laki-laki maupun perempuan) yang melakukan kekerasan seksual,selanjutnya
yaitu dalam pasal perbuatan cabul, pemohon meminta agar tidak hanya perbuatan asusila
orang dewasa terhadap anak-anak dari jenis kelamin sama yang dapat dipidana, melainkan
juga bagi setiap orang (baik dewasa maupun anak-anak) yang melakukan asusila itu.
Kesalahpahaman atau kurangnya informasi yang memadai dalam membaca putusan dapat
mengakibatkan fatalnya penafsiran atas kesimpulan yang diambil.Sebagai contoh ada
berita yang diberi judul, “Empat Hakim Konstitusi Setujui Zina dan LGBT Dipidana”.
Apa akibatnya jika ada banyak orang yang salah paham mengartikan maksud dari judul
tersebut,tentu fatal pasti, dalam logika penalaran yang salah maka dapat diartikan sisanya
lima hakim konstitusi (dari total jumlah ada sembilan hakim MK) menolak,jika mayoritas
hakim MK menolak berarti MK menolak zina dan LGBT dapat dipidana dalam arti lain
MK melegalkan atau membolehkan zina dan LGBT.Padahal faktanya dalam substansi dan
arah putusan MK tidak ada maksud begitu.Dalam membaca putusan pengadilan memang
banyak ditemukan bahasa-bahasa hukum yang rumit dan sulit dimengerti orang
awam,agar tidak salah paham dalam mengartikan maksud dari putusan tersebut ada
baiknya bertanya kepada orang-orang yang tepat dan paham ,dengan begitu dapat
diperolehnya kebenaran informasi yang akurat.
Dalam UU nomor 8 tahun 2011 tentang MK telah disebutkan bahwa dalam amar
putusannya mengeluarkan beberapa macam putusan antara lain mengabulkan,menolak dan
tidak dapat diterima.Akan tetapi dalam penerapannya ada juga model putusan lain yang
pernah diputus MK seperti inkonstitusional bersyarat bahkan hingga dapat membuat
norma baru dalam lingkup batasan kewenangannya.Dalam kasus diatas MK menerapkan
pembatasan yudisial bagi pelaku LGBT walaupun dalam pendapat yang berbeda
(dissenting opinion) beberapa para hakim menggunakan pandangan aktivisme judicial
(judicial activism) yang lebih kearah konsep judge made law dimana para hakim dapat
membuat norma baru bahkan kriminalisasi suatu perbuatan.Dari isu konstitusional diatas
maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian normatif yang berjudul Penerapan
Pembatasan Yudisial (Judicial Restraint) bagi Pelaku LGBT (Studi Kasus Putusan MK
nomor 46/PUU-XIV/2016).Mengingat banyak orang yang bertanya mengenai eksistensi
putusan MK tersebut.Berdasarkan dari uraian yang sudah dipaparkan diatas maka ada dua
permasalahan di dalamnya yaitu :
1) Apakah dasar pertimbangan hakim MK dalam memutus perkara LGBT sudah
sesuai dengan kepastian hukum ?

246
2) Apakah penyimpangan seksual bertentangan dengan norma-norma dalam
kehidupan masyarakat?

METODELOGI PENELITIAN

Dalam penelitian ini digunakan tipe penelitian yuridis normatif, artinya penelitian
ini didasarkan pada penelusuran studi pustaka atas seperangkat norma yang telah ada,
khususnya Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-XIV/2016)

Penelitian ini menggunakan pendekatan Peraturan Perundang - Undangan (Statute


Approach) dan pendekatan penelitian melalui konsep, asas, doktrin dan pendapat para
sarjana (Conseptul Appro-ach)

PEMBAHASAN

Dasar Pertimbangan Hakim MK

Dalam memutuskan suatu perkara diperlukan suara terbanyak (voting) dalam


mengambil suatu keputusan tersebut.Keputusan tersebut didasarkan atas dasar
pertimbangan para hakim MK dan tentunya berdasarkan atas logika hukum yang runtut
dan sistematis sehingga menghasilkan kebenaran sesuai dengan kaidah hukum yang
berlaku.Dalam pembahasan ini akan diuraikan ratio legis dari hakim-hakim MK yang
berkaitan dengan putusan tentang LGBT. Hakim MK berjumlah sembilan orang
diantaranya lima orang yang menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya
sedangkan empat orang yang setuju mengabulkan permohonan para pemohon.Oleh karena
suara terbanyak diperoleh dari lima hakim tersebut maka bunyi amar putusan MK
menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.Bila dipahami secara menyeluruh,
inti dari permohonan para pemohon adalah pengujian pasal perzinaan,pemerkosaan dan
pencabulan sesama jenis (kesusilaan) dalam KUHP. Salah satu Hakim MK yang bernama
Maria Farida Indrati berpendapat bahwa produk hukum yang dikeluarkan MK memang
benar berupa putusan yang kedudukan dan daya ikatnya setara dengan Undang-Undang
(UU), akan tetapi MK dalam konteks ini berperan sebagai negative legislator yang berarti
tidak berwenang mengubah rumusan delik dalam pasal,yang dikatakan berwenang adalah
lembaga legislator yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden1.Lembaga
pembuat UU tersebut berperan sebagai positive legislator yang berwenang dalam
merumuskan kebijakan politik. Dalam hal ini pemohon meminta MK untuk melakukan
kebijakan pidana atau politik hukum pidana (criminal policy) yang berarti merumuskan
perbuatan biasa menjadi perbuatan pidana (delik) / kriminalisasi,sehingga MK tidak
mempunyai kewenangan dalam merumuskan kebijakan pidana.Dalam

1
Lulu Anjarsari, Ranah Kewenangan Pembentuk UU, MK Tolak Uji Aturan Perzinaan,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=14202#.WqDs2kxuLOY,
diakses pada tanggal 7 Maret 2018.

247
putusannya,disebutkan maksud permohonan para pemohon adalah meminta memperluas
cakupan atau ruang lingkup,bahkan mengubah,jenis-jenis perbuatan yang dapat dipidana
dalam pasal-pasal yang diuji2. Beliau menjelaskan pula bahwa MK melalui putusannya
telah berulang kali menyatakan suatu norma UU konstitusional bersyarat atau
inkonstitusional bersyarat.Hal ini dapat diartikan adanya syarat pemaknaan tertentu
terhadap suatu norma UU untuk dapat dikatakan konstitusional,bahwa jika syarat yang
dimaksud tidak terpenuhi maka norma UU menjadi inkonstitusional.Pokok pengujian UU
ini adalah berisi permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan
tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh MK3. Hal itu karena merupakan salah satu bentuk
pembatasan hak dan kebebasan seseorang dimana pembatasan yang dimaksud berkaitan
dengan pasal 28J ayat (2) UUD 1945 adalah kewenangan eksklusif dari lembaga
legislatif.Selama ada kaitan dengan kebijakan politik hukum pidana berarti termasuk
dalam kekuasaan dan kewenangan penuh dari wilayah legislatif atau pembentuk
UU 4 .Beliau juga menjelaskan bahwa meskipun secara konstitusional memiliki
kewenangan menetapkan kebijakan kriminalisasi,legislator harus kritis.Legislator harus
tanggap memperhatikan bukan hanya perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia akan tetapi juga perkembangan dunia.5 Dalam
pemahaman kriminalisasi semua hakim MK sepakat bahwa mahkamah seharusnya
mengambil sikap membatasi diri (judicial restraint) untuk tidak menjadi positive
legislator yang dapat diartikan menggunakan kewenangan pembentuk UU dengan
memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana6.Akan tetapi permasalahannya norma UU
a quo secara nyata mereduksi dan bertentangan dengan ajaran agama dan kaidah
ketuhanan yang hakikatnya bersifat given (terberi) bagi kesejahteraan dan ketertiban
dalam hidup bermasyarakat 7 . Beliau juga berpendapat sebab adultery (perzinaan) dan
fornication (percabulan) sejatinya merupakan mala in se dan bukan mala prohibita karena
sifat ketercelaannya bersifat intrinsik dan jelas disebutkan dalam Al-Quran serta berbagai
kitab suci lain sehingga aspek persetujuan atau perwakilan rakyat tidak menjadi aspek
yang sine qua non seperti ketika suatu negara harus memutuskan akan melakukan atau
tidak melakukan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan yang bersifa mala prohibita8.Dia
mengatakan dengan menyatakan bahwa zina seharusnya meliputi adultery (perzinaan) dan
fornication (percabulan) ,maka Mahkamah seharusnya memang tidak menjadi positive
legislator atau memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana,akan tetapi seharusnya
mengembalikan konsep zina sesuai nilai hukum dan keadilan menurut berbagai nilai
agama dan hukum yang hidup dalam masyarakat di Indonesia yang selama ini telah
dipersempit ruang lingkupnya selama ratusan tahun oleh hukum positif warisan
pemerintah kolonial Hindia Belanda sehingga hanya meliputi adultery (perzinaan) saja

2
Ibid..
3
Ibid..
4
Ibid..
5
Agus Sahbani, Dalih Wewenang Pembentuk UU, MK Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a32af7a950cd/dalih-wewenang-pembentuk-uu--mk-
tolak-perluasan-pasal-kesusilaan, diakses pada tanggal 7 Maret 2018.
6
Ibid..
7
Agus Sahbani, loc.cit
8
Ibid..

248
berdasarkan pasal 284 KUHP9.Oleh karena itu beliau menyarankan agar Mahkamah dalam
konteks ini seharusnya berijtihad (menciptakan hukum),melakukan moral reading of the
constitution dan bukan justru menerapkan prinsip judicial restraint (menahan diri agar
tidak masuk mencampuri kewenangan lembaga lain ) 10 .Upaya rekriminalisasi melalui
putusan pengadilan sejatinya juga bukanlah hal yang tabu atau bahkan diharamkan bagi
hakim karena melalui judicial activism khususnya dalam persoalan ini justru hakim MK
berkewajiban untuk menjaga,meluruskan dan menyelaraskan hukum pidana dengan
dinamika kehidupan masyarakat 11 . Dengan demikian berdasarkan ratio decidendi
sebagaimana tersebut diatas,kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya
mengabulkan permohonan para pemohon,papar beliau dalam kutipan yang ada pada
putusan MK.12
Hubungan LGBT dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat
Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya tidak lepas dari norma.Adanya
hubungan antara norma dan masyarakat.Norma adalah aturan yang digunakan sebagai
pedoman atau acuan dalam bersikap dan bertingkah laku di kehidupan
masyarakat.Pembagian norma di Indonesia dapat dibagi menjadi empat macam norma
antara lain norma agama,norma kesopanan,norma kesusilaan dan norma hukum.Dimulai
dari norma agama,norma agama adalah norma yang bersumber dari Tuhan Yang Maha
Esa.Bila dilihat dari sumbernya maka pedoman yang utama untuk menjalankannya adalah
kitab suci.Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam suku dan khas
budaya yang berbeda-beda satu sama lain.Dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 telah
disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.Indonesia mengakui enam macam agama antara lain
Islam,Kristen,Katolik,Budha,Hindu dan Khonghucu.Apabila dilihat secara objektif semua
ajaran agama tersebut mengajarkan bahwa manusia telah diciptakan untuk saling
berpasangan satu sama lainnya dengan lawan jenis yang berbeda.Semua agama tidak
mengajarkan manusia untuk berpasangan atau melakukan perkawinan dengan jenis
kelamin yang sama.LGBT merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual yang telah
mencederai norma agama karena tindakan yang dilakukan bertentangan dengan ajaran
atau kodrat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai ciptaan-Nya.
Setelah norma agama terdapat pula norma kesopanan.Norma kesopanan adalah
aturan atau pedoman yang berbicara mengenai kepatuhan, kepantasan dan kebiasaan yang
berlaku pada masyarakat.Norma kesopanan bersumber dari tata pergaulan masyarakat
tentang etika sopan santun, dan tata krama dalam masyarakat.Norma kesopanan dapat juga
disebut sebagai norma adat suatu masyarakat tertentu.Indonesia yang menjunjung tinggi
nilai luhur adat budaya tentu menganggap tindakan LGBT telah melampaui batas wajar
atau tidak sebagaimana mestinya.Hubungan ketertarikan yang dilakukan oleh pelaku yang
menyukai sesama jenis kelaminnya dinilai tidak wajar dan dapat merusak budaya khas
adat masyarakat setempat.Tentunya hal ini dapat melunturkan nilai corak khas adat

9
Ibid..
10
Ibid..
11
Ibid..
12
Ibid..

249
budaya masyarakat setempat.Tindakan LGBT dapat dikatakan bertentangan dengan norma
kesopanan karena telah melanggar etika dalam bersikap.
Selanjutnya adalah norma kesusilaan.Pendapat norma kesusilaan menurut C.S.T .
Kansil menyatakan bahwa norma kesusilaan adalah peraturan hidup yang dianggap
sebagai suara hati sanubari manusia (insan kamil). Setiap manusia memiliki hati nurani
yang membedakan dengan makhluk lainnya.Beberapa contoh norma kesusilaan yang
dapat ditemui di masyarakat antara lain berkata jujur dan benar,berlaku adil terhadap
sesama,menghormati dan menghargai orang lain,dll.Tindakan LGBT dapat dikatakan
bertentangan dengan norma kesusilaan karena telah melanggar hak orang lain untuk
melanjutkan keturunan.Pelaku LGBT tidak dapat menghasilkan keturunan tentunya dapat
menyebabkan punahnya manusia.
Yang terakhir adalah norma hukum.Dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan
bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum.Hal tersebut berarti segala tindakan
yang dilakukan oleh subjek hukum diatur oleh hukum yang berlaku.Norma hukum adalah
norma atau aturan yang bersumber dari pemerintah atau negara. Norma hukum dibuat
oleh pejabat pemerintah yang berwenang dengan tertulis dan sistematika tertentu.Sanksi
norma hukum bersifat tegas,mengatur dan memaksa bagi yang melanggar aturan yang
telah dibuat.Norma hukum menjadi aturan yang ampuh dan terakhir apabila norma-norma
lainnya tidak dapat menimbulkan efek jera atau dampak positif bagi pelaku.Tindakan
LGBT menyebabkan banyak kerugian yang merusak tatanan nilai dan norma yang ada di
masyarakat oleh karena itu maka dibutuhkan adanya norma hukum untuk mengatur
tindakan yang dilakukan oleh pelaku LGBT agar dapat mengatasi tindakan yang
menyimpang dari ajaran agama,ajaran kesopanan atau adat,ajaran kesusilaan.Dengan
demikian maka akan terwujudnya tindakan yang sebagaimana mestinya (tidak
menyimpang) dan tidak bertentangan dengan ajaran nilai dan norma-norma yang ada
dalam masyarakat.
Hubungan LGBT dikaitkan dengan norma dasar negara (Pancasila)
Dalam hal ini akan dijelaskan dalam setiap butirnya bahwa LGBT telah bertentangan
dengan Pancasila.Dimulai dari Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa
mempunyai arti filosofi bahwa negara berperan turut serta dalam mengatur urusan
agama.Penerapannya dapat dilihat dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan,pada Pasal 1 dijelaskan bahwa “Perkawinan ialah ikatan bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (1) dijelaskan bahwa “Pada asasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami”. Menurut KBBI online, makna suami merupakan pria
yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita, sedangkan makna istri adalah wanita
(perempuan) yang telah menikah atau yang bersuami.Dalam penjelasan tersebut telah
terlihat bahwa LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) telah bertentangan
dengan sila pertama.Secara umum LGBT dapat diartikan bahwa adanya ketertarikan
secara fisik maupun emosional kepada pasangan yang sejenis atau kelamin yang
sama.Negara berdasarkan UU Perkawinan telah mengatur secara jelas bahwa hanya
mengakui suatu hubungan perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan

250
perempuan.Dalam hal ini hubungan yang dilakukan oleh kaum LGBT dapat dikatakan
bertentangan dengan sila pertama.Kaum LGBT tidak mempercayai ajaran agama bahwa
manusia diciptakan saling berpasangan satu sama lain (lawan jenis).Selain itu mereka juga
tidak dapat melakukan perkawinan di Indonesia karena sudah jelas diatur hanya
perkawinan antara pria dan wanita yang diakui oleh Negara.
Selanjutnya sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,secara
kodrat manusia dalam kehidupan sehari-hari menjalani peran sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial.Dikatakan makhluk individu berarti setiap manusia mempunyai hak
asasi nya masing-masing,dikatakan makhluk sosial bahwa berdasarkan teori Zoon
politicon yang dikemukakan oleh Aristoteles menerangkan bahwa setiap manusia tidak
dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain dalam hidup. Pengaturan mengenai hak
asasi manusia telah disebutkan dalam Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 bahwa “Setiap manusia
wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbagsa dan bernegara”. Selanjutnya pada Pasal 28 J ayat (2) dijelaskan bahwa “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan perimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.Penjelasan tersebut mempunyai arti
bahwa setiap individu termasuk kaum LGBT mempunyai hak asasi yang sama seperti hak
hidup, hak bersosialisasi maupun hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi.Akan tetapi
dalam penerapannya di kehidupan bermasyarakat pelaku LGBT telah melanggar nilai
norma dan agama.Ketika suatu hak asasi bersinggungan dengan hak orang lain maka dapat
dikatakan telah terjadi pelanggaran hak.Mayoritas masyarakat berpandangan bahwa
tindakan LGBT telah bertentangan dengan nilai moral dan agama maka dapat dikatakan
bertentangan dengan bunyi sila kedua.Akan tetapi pelaku LGBT tetap harus dihormati
kodratnya sebagai manusia,tidak boleh ada diskriminasi atau tindakan mengucilkan justru
pelaku LGBT harus dirangkul,diberikan solusi dan penanganan agar sembuh normal dari
penyimpangan yang telah dilakukan.
Selanjutnya sila ketiga yang berbunyi Persatuan Indonesia menjelaskan bahwa
Indonesia mempunyai budaya yang beraneka ragam dan multikultur.Dari keanekaragaman
budaya tersebut tercipta suatu semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-
beda tetapi tetap satu jua.Dalam kehidupan yang multikultur maka telah adanya beberapa
norma yang telah diterapkan antara lain norma hukum,norma kesopanan,norma kesusilaan
dan norma agama.Norma agama bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa,norma hukum
bersumber dari aturan secara tertulis yang dibuat oleh negara,norma kesopanan dan
kesusilaan bersumber dari aturan tidak tertulis yang berkaitan dengan moral dan etika
manusia.Perilaku LGBT dapat dikatakan telah bertentangan dengan sila ketiga karena
dapat menyebabkan perpecahan antar manusia.Secara mutlak masyarakat menganggap
pasangan adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan,selain itu pasangan yang
mempunyai hubungan sesama jenis dianggap telah bertentangan dengan moral dan nilai
agama.
Selanjutnya sila keempat yang berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam permusyawaratan Perwakilan.Penekanan dalam sila keempat adalah

251
musyawarah atau demokrasi,bahwa segala aturan yang dikeluarkan oleh negara berasal
dari kesepakatan bersama.Apabila dikaitkan dengan perilaku LGBT yang mayoritas
masyarakat menentang adanya LGBT dan perilaku tersebut telah dianggap sebagai
perilaku menyimpang maka perilaku LGBT bertentangan dengan sila keempat sehingga
tidak boleh adanya legalisasi perkawinan sesama jenis karena bertentangan dengan
kehendak masyarakat.
Yang terakhir adalah sila kelima yang berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.Makna sila ini adalah berbicara mengenai keadilan.Keadilan yang
dimaksudkan adalah keadilan bagi kepentingan masyarakat luas bukan keadilan bagi
kepentingan individu karena keadilan sifatnya relatif dan berbeda makna antar satu dengan
yang lainnya.Fenomena LGBT telah dianggap bertentangan dengan sila kelima karena
merupakan perilaku menyimpang dan mengganggu tatanan nilai norma dalam
masyarakat.Hal tersebut dapat menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat secara
luas.Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku LGBT dapat
dikatakan bertentangan dengan nilai-nilai dasar negara yakni Pancasila sehingga
mempunyai peran untuk tidak melegalisasi aturan bagi kaum LGBT dan juga mendukung
tidak adanya regulasi perkawinan sesama jenis di Indonesia.Pancasila merupakan landasan
fundamental yang mempunyai nilai dan pedoman dalam menentukan arah dan tujuan
bangsa Indonesia sehingga dapat dijadikan pegangan dalam bersikap dan berperilaku.
Perbedaan cara pandang LGBT
Suatu kasus penyimpangan seksual yang salah satunya yaitu LGBT tentunya tidak luput
dari perhatian masyarakat.Ada berbagai macam pendapat yang setuju maupun menolak
adanya keberadaan kaum LGBT.Pihak yang menyetujui adanya kaum LGBT biasanya
mereka adalah yang tergolong aktivis Hak Asasi Manusia (HAM).Mereka
memperjuangkan adanya kesetaraan hak asasi bagi kaum LGBT terlepas dari orientasi
seksual yang dilakukan.Pandangan mereka didasarkan pada bahwa LGBT merupakan hal
yang tidak dapat dihindari atau tidak dapat dipilih.Mereka menginginkan tidak adanya
diskriminasi terhadap kaum LGBT dan memberikan kesempatan untuk hidup aman dalam
masyarakat.Tolak ukur mereka adalah keadilan bagi kaum LGBT.Seringkali kelompok
LGBT dikucilkan karena dianggap berbeda yang disebabkan perilaku mereka tidak lazim
dan bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat setempat.Meskipun berbeda hak-hak
mereka perlu dilindungi dan dihargai sebagai manusia yang berkodrat.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian dari hasil pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
• Dalam praktek dilapangan terjadi pergeseran kewenangan yang dimiliki MK yang
seharusnya secara normatif sebagai negative legislator bergeser memasuki
wilayah ranah positive legislator.Hal tersebut tercemin jelas dalam ius das sollen
(hukum yang seharusnya) dan ius das sein (hukum yang senyatanya),ketika terjadi
ketidaksesuaian antara keduanya maka disitulah timbul persoalan hukum.Dalam
persoalan tersebut terjadi dua analisa atau sudut pandang yang berbeda.Keduanya
sama-sama mempunyai nilai kebenaran sebagai ilmu hukum.Pandangan pertama
adalah bagi orang-orang yang menganut aliran yuridis normatif.Aliran tersebut
memegang erat nilai-nilai kebenaran yang berasal dari undang-undang,salah satu
252
penganutnya adalah Hans Kelsen,beliau menyatakan nilai atau aturan yang berasal
dari non hukum (ekonomi,politik,sosialbudaya,dll) dianggap bukan hukum.Hukum
harus dijauhkan dari ilmu-ilmu non hukum sehingga diperoleh kebenaran hukum
secara murni.Teori tersebut dikenal dengan nama teori hukum murni.Jika teori
tersebut dikaitkan dengan persoalan putusan MK tentang LGBT maka sudah tepat
putusan MK tersebut karena MK bertindak sebagai negative legislator dimana
hanya berperan menentukan dan menyatakan sebuah UU bertentangan atau tidak
dengan UUD.Kepastian hukum adalah tujuan utama dalam aliran yuridis normatif.
Saran
• Diharapkan aparat penegak hukum beserta masyarakat saling bekerjasama dan
mempunyai tujuan yang sama untuk mewujudkan hukum yang memiliki nilai
keadilan,kepastian dan manfaat bagi Negara Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo,Miriam,Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka


Utama,Jakarta,2011
Dianawati, Ajen,Pendidikan Seks Untuk Remaja,Kawan Pustaka,Jakarta,2006
Hartono,C.F.G.Sunaryati, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20,
Alumni, Bandung, 1992
Junaedi, Didi, 17+: Seks Menyimpang,Semesta Rakyat Merdeka,Jakarta,2010
Marzuki,Peter, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,2009
Mertokusumo,Sudikno,Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum,
RajaGrafindo,Jakarta, 2010
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-XIV/2016
Sarwono, Sarlito,Psikologi Remaja,Raja Grafindo Persada,Jakarta,2002
Soekanto, Soerjono dkk, Penelitian Hukum Normatif : suatu tinjauan singkat,Rajawali
Pers, Jakarta,2001
Soemitro,Ronny Hanitijo,Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,Ghalia
Indonesia, Jakarta,2003
Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya,
Elsam dan Huma, Jakarta,2003

253

Anda mungkin juga menyukai