Anda di halaman 1dari 4

Aceh Tengah Ladang Ilegal Loging

Aryos Nivada
Pecinta Lingkungan

1. Realitas Kondisi Hutan


Hutan di Aceh dikatakan sebagai jantung khatulistiwa, karena kaya akan keragaman
satwa dan tumbuhan di dalamnya. Hutan di Aceh yang bertipe hujan tropis terbentang
seluas 3,3 juta hektar, berada di 2 (dua) kawasan, yaitu di Kawasan Ekosistem Leuser
(KEL) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Di Aceh Tengah, pemanfaatan dari
keberadaaan hutan ini berguna untuk kehidupan ekosistem serta penyediaan air
bersih/minum. Selain secara ekonomi dapat diberdayakan dengan syarat memperhatikan
pelestarian lingkungan secara kontinuitas.
Dampak positif lain keberadaan hutan di Aceh Tengah adalah peran dan fungsi
vitalnya sebagai pencegah, bilamana terjadi banjir, dan tanah longsor. Namun semua
manfaat tersebut, berbanding terbalik dengan realita sesungguhnya. Hutan Aceh Tengah
kini baik luas maupun fungsinya tengah mengalami penurunan. Faktor apakah yang
menyebabkan kerusakan dan penurunan luas hutan ini? Pertanyaan kunci ini dijadikan
sebagai panduan dalam tulisan ini.
Data Dinas Kehutanan dan Perkebunanan Aceh Tengah tahun 2008 menunjukkan
bahwa 62 % atau 256.592 Ha adalah hutan dari total luas wilayah Kabupaten Aceh Tengah
yang mencapai 413.839 Ha. Lahan yang relatif kecil adalah kolam/ tebat/ empang seluas
210 Ha. Topografi hutan di Aceh Tengah berbukit-bukit dan gunung. Menghasilkan
banyak kayu jenis pinus, selain masyarakat juga membudidayakan dan memanfaatkan
kayu kampung untuk keperluan sehari-hari. Sedangkan hasil komoditi pertanian lainnya
adalah Kopi, Nangka, Alpokat, Mangga, Kayu Manis, Durian, Kemiri, Temung, Petai dan
Jeruk. Secara umum data tersebut juga menunjukkan terdapat 41,43 % kawasan budidaya
pertanian dan 58,57 % merupakan kawasan hutan lindung dari luas wilayah Aceh Tengah.
Aceh Tengah masih menggantungkan perekonomiannya dari sektor pertanian.
Kontribusinya mencapai Rp 839,91 milyar, dimana Rp 350,95 milyar dari angka tersebut
disumbang dari perkebunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komoditi pertanian
merupakan komoditi primadona daerah ini. Rencana memacu peningkatan pendapatan dari
sektor pertanian ini salah satunya dilakukan dengan pembukaan lahan pertanian dan
perkebunan baru. Dalam beberapa tahun terakhir hutan alami di sisi sepanjang Danau

1
Laut Tawar saja, sudah berkurang seluas 1.637 Ha sebagai dampak dari perluasan areal
pertanian dan perkebunan di Aceh Tengah.
Namun untuk menjawab apa yang menjadi penyebab berkurangnya luas hutan di
Aceh Tengah dapat dilihat dari berbagai faktor seperti perluasan areal pertanian dan
perkebunan, konversi lahan, kebakaran hutan, dan program transmigrasi. Kesemua faktor
ini merupakan penyebab utama deforestasi hutan Aceh Tengah. Saya akan fokus
membahas ilegal loging saja.
Ilegal Loging
Dilihat dari definisinya, Illegal logging merupakan praktek langsung penebangan
pohon di kawasan hutan negara secara illegal. Ditinjau dari jenis kegiatannya, ruang
lingkup illegal logging terdiri dari adanya rencana penebangan meliputi semua atau
sebagian kegiatan dari pembukaan akses ke dalam hutan negara, membawa alat-alat
sarana dan prasarana untuk melakukan penebangan pohon dengan tujuan eksploitasi
kayu secara illegal dan penebangan pohon dalam makna sesungguhnya untuk tujuan
eksploitasi kayu secara illegal.
Masalah ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan relatif masih rendah
sering disebut sebagai faktor penyebab maraknya illegal logging. Alasan lainnya
adalah masyarakat tersebut juga masih bergantung pada hasil hutan yaitu penjualan
kayu. Tapi alasan ini ketika dikorelasikan dengan kebijakan yang dikeluarkan
Pemerintah Aceh berupa moratorium illegal logging (MIL) hanya menjadi isapan
jempol belaka.
Belum mampu menjawab masalah-masalah hutan di Aceh. Kenyataan dilapangan
justru menunjukkan penebangan hutan secara liar masih terus berlangsung. Buktinya
berdasarkan temuan dari Yayasan Leuser Internasional (YLI) tahun 2008, total kasus
aktivitas illegal kehutanan sebanyak 1.614 kasus dan tahun 2009 dari bulan Januari-
Juli saja, total kasus aktivitas illegal kehutanan sebanyak 547 kasus. Kasus-kasus itu
terjadi di 12 kabupaten/kota yaitu di Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh
Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Timur, Aceh Tamiang,
Aceh Tenggara dan Gayo Lues. Harapan untuk menghentikan aktivitas illegal
kehutanan dengan merekrut 3.000 orang polisi hutan, tidak menunjukkan sukses
besar. Sedangkan kebijakan moratorium logging dinilai hanya baru mengatasi
permainan cukong-cukong besar.

2
Di Aceh Tengah, penebangan liar atau Illegal loging yang terjadi sudah sangat
meresahkan. Dibuktikan berdasarkan data YLI, pemantauan praktek illegal loging
bulan April – Mei 2010. Temuannya 1 kasus yaitu di Gunung Origon, Desa Mandale
Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah sebanyak 1 ton. Untuk
mengumpulkan data mengenai pembalakan liar ini, Diprediksi aktifitas illegal
kehutanan ini terutama illegal logging akan
2,5
semakin tinggi pada pertengahan dan akhir
2
Jumlah tahun. Pada saat itu banyak kebutuhan kayu
1,5 Kasus
1
Column
untuk memenuhi pembangunan proyek-
0,5 1 proyek APBN, APBA dan APBK.
0 Column
Berdasarkan penginputan data dari
Maret
Febuari

Mei
April
Januari

2
media massa mulai dari bulan Januari – Mei
2010 atas praktek tindakan illegal loging,
khususnya Kabupaten Aceh Tengah. Media yang dijadikan referensi dalam menilai
situasional penebangan liar atau illegal loging yaitu Harian Aceh, Rakyat Aceh,
Serambi Indonesia, dan Waspada. Di dapatkan informasi di bulan Maret 1 kali dan
Mei sebanyak 2 kali praktek illegal logging terjadi.
Ungkapan senada dikatakan Koordinator Nasional Greenomics Indonesia, Vanda
Mutia Dewi yang menilai Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Aceh
(RAPBD) 2010 semakin menyuburkan praktik pembalakan liar (illegal logging).
Karena legalitas pemenuhan bahan baku kayu, yang dibutuhkan oleh proyek-proyek
yang diusulkan dalam RAPBA 2010, tak jelas.
Greenomic Indonesia mengidentifikasi sedikitnya terdapat 40 proyek dengan nilai
anggaran Rp 1,03 triliun yang membutuhkan bahan baku kayu di dalam RAPBA 2010
(Anggaran belanja Aceh 2010 suburkan ‘illegal logging, WASPADA ONLINE,
Thursday, 28 January 2010). Kebutuhan tersebut belum termasuk dari nilai anggaran
dari proyek-proyek sarana dan prasarana yang juga membutuhkan bahan baku kayu
yang akan dikerjakan lewat anggaran belanja pembangunan kabupaten/kota tahun
2010.
Memetakan siapa aktor yang terlibat, menurut Jufriadi Koordinator PB HAM
Aceh Tengah dan Ketua Puspa, pelaku illegal loging di Aceh Tengah terdiri dari
aparat keamanan, Pemkab Aceh Tengah melalui polisi hutannya, eks kombatan GAM
dan Milisi, maupun masyarakat sendiri. Modus operandinya dilakukan secara

3
personal maupun berkoordinasi dan terorganisasi. Sehingga menurut dia sangat sulit
untuk mengatasi masalah illegal loging di Aceh Tengah. Dia menilai, jika
dibandingkan antara sebelum dan sesudah perdamaian, praktek illegal loging lebih
banyak terjadi pada masa paska perdamaian. Alasannya, dulu pada saat konflik illegal
loging dilakukan oleh aparat keamanan saja yang bertujuan mencari masukan
tambahan. Tak tanggung-tanggung perselingkuhan dengan pengusaha kerap kali
menjadi masalah serius pada era konflik. Namun paska perdamaian, tidak hanya
aparat keamanan, petani kopi, petani sayur-sayuran, dan masyarakat umumnya juga
melakukan kegiatan bisnis illegal.

Rekomendasi/Solusi
Hutan memiliki arti penting bagi kelangsungan ekosistem hidup, dengan demikian
seharusnya setiap kebijakan dan rencana pembangunan di Aceh Tengah haruslah memiliki
perspektif meanstreaming perlindungan hutan. Kebijakan pembangunan yang tidak berpihak
pada perlindungan hutan dalam waktu yang tidak terlalu lama, akan melenyapkan sebutan
hutan Aceh Tengah sebagai paru-paru dunia, belum lagi kerugian yang timbul karena
musnahnya kekayaan alam berupa flora dan fauna yang didalamnya. Sedang pada jangka
panjang, kerusakan hutan ini akan mengundang bencana bagi umat manusia, tidak hanya
bencana bagi masyarakat setempat.
Kebijakan revitalisasi pertanian dan perkebunan sebagai primadona pertumbuhan
ekonomi di kabupaten Aceh Tengah ataupun juga pengembangan berbagai sektor lainnya
tidak perlu sampai dengan melakukan deforestasi. Mengejar pertumbuhan ekonomi dengan
cara melakukan praktek deforestasi hutan seperti itu hanya akan menunjukkan bahwa
pembangunan daerah Aceh tengah pro elit lokal dan pendatang, menunjukkan keserakahan
karena melahirkan praktek eksploitasi alam secara berlebihan dan meningkatkan resiko
bencana.
Langkah pertama yang tepat untuk melahirkan solusi yang menyeluruh bagi masyarakat
dan hutan Aceh Tengah adalah dengan membenahi kerangka kebijakan umum pembangunan
Aceh Tengah. Harus jelas dan ditegaskan dalam grand strategi pembangunan Aceh Tengah
bahwa pembangunan daerah Aceh Tengah dilandasi persepktif pro lingkungan dalam hal ini
diterjemahkan sebagai pro terhadap perlindungan hutan selain berpihak kepada masyarakat
miskin. Dengan demikian harapan akan masih adanya paru-paru dunia di Aceh Tengah tidak
sirna, hutan Aceh Tengah masih dapat diselamatkan. []

Anda mungkin juga menyukai