Anda di halaman 1dari 5

KKR dan Demokrasi di Aceh

Fokus - 22 July 2011 | 7 Komentar

http://harian-aceh.com/2011/07/22/kkr-dan-demokrasi-di-aceh

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) direncanakan akan dibentuk di Aceh.


Amanah dalam MoU Helsinki dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh
menjamin kehadiran KKR. Namun kenyataan hingga kini belum direalisasikan.

Aryos Nivada

Berangkat dari kondisi tersebut, memunculkan tanda tanya apakah lemahnya peran dari
masyarakat sipil? atau masyarakat sipil sendiri tidak memiliki usulan dalam memperjuangkan
hadirnya KKR di Aceh dan bagaimana melihat prespektif KKR dalam sudut pandang
demokrasi dan HAM dikorelasinya dengan masyarakat sipil? Berbagai pertanyaan mendasar
itu sebagai pemandu untuk mengkonstruksikan tulisan ini.

Tulisan ini  membahas dan menganalisis peran dari masyarakat sipil dalam mewujudkan
maupun melakukan advokasi terhadap pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi di Aceh.
Kata kunci dari tulisan ini yaitu KKR dan masyarakat sipil. Rumusan masalah di artikel
adalah bagaimana peran masyarakat sipil dalam membentuk KKR di Aceh dintinjau dari
sudut pandang demokrasi dan hak asasi manusia.

Jika kita melihat studi pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh.
Kehadiran dari element masyarakat sipil dari kalangan NGO (LSM), akademisi, dan
mahasiswa dalam memperjuangkan terbentuknya KKR menarik dibahas. Tinjauan
pembahasan dari sudut pandang demokrasi.

Berbicara demokrasi ruang keterbukaan dan kebebasan mengeluarkan pendapat menjadi


penting. Ruang itu baru tersedia setelah Aceh mengalami masa kelam konflik yang
berkepanjangan. Pengakuan keberadaan masyarakat sipil diakui setelah transisi dari
pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan yang demokratis.

Tindakan otoritarianisme Pemerintah Indonesia diwujudkan dengan memberlakukan


kebijakan operasi militer antara lain daerah operasi militer (DOM) diterapkan selama hampir
sepuluh tahun (1989-1998). Pemberlakuan status Darurat Militer dan Darurat Sipil di Aceh
pada tanggal 19 Mei 2003 – 18 Mei 2005. Syarat utama dalam mengembangkan nilai-nilai
demokratis harus menyelesaikan permasalahan di masa rezim otoritarian.

Bagi Aceh, kehadiran lembaga KKR sebagai nilai terkecil dalam mengembang demokrasi.
Mengapa, dikarenakan demokrasi juga harus membuka kran keinginan dari masyarakat Aceh,
khususnya korban konflik. Keinginan itu haruslah ditindaklanjuti oleh negara melalui
representatifnya Pemerintah Indonesia. Bilamana kebutuhan akan lembaga KKR tidak
direalisasikan, hal itu sama juga pemerintah mengingkari akan sistem yang telah dibentuk
yaitu sistem demokrasi. Jikalau negara gagal mewujudkan, bisa dikatakan negara lemah
dalam menyerap aspirasi kebutuhan prioritas dari masyarakat korban konflik di Aceh.

Untuk itu, agar Pemerintah Pusat (Indonesia) tidak gagal membentuk KKR di Aceh,
kewajiban dari kalangan masyarakat sipil yang diwakili oleh NGO maupun CSO perlu
meletakan peran (role enactment) yang strategis agar terkonsolidasi gerakan untuk melakukan
advokasi KKR. Tentunya konsolidasi terkristal, apabila memiliki satu visi dan berbagai misi
untuk menjalankan strategi gerakan tersebut.

Basis konsolidasi harusnya mengedepankan nilai-nilai berdemokratis. Maka harus melalui


dimensi kultural, sistem pemerintah, dan manajemen gerakan. Kesemua itu terlebih dahulu
harus dipahami oleh CSO dan NGO di Aceh, sebelum mewujudkan hadirnya KKR.

Selain itu, sifat optimisme dan semangat jangan pernah luntur. Walaupun aliran donor tidak
mengarah pada issue HAM, karena dianggap tidak seksi lagi ataupun ancaman dari pihak-
pihak tertentu yang tidak berkeinginan terbentuknya KKR di Aceh. Disisi lain, bahwa setiap
perjuangan membutuhkan pengorbanan fisik dan non fisik. Jangan sampai bentuk
pengorbanan dari CSO/NGO memfasilitasi kebutuhan masyarakat korban konflik gagal
dimata korban konflik sendiri. Sudah negaranya tidak memiliki keseriusan (political wiil),
ditambah lagi CSO/NGO-nya mati suri dari gerakan advokasi terhadap KKR di Aceh.

Partisipasi dalam membentuk KKR haruslah melibatkan masyarakat Aceh yang terkena
dampak akibat konflik yang mendera Aceh. Kita mengetahui, bahwa partisipasi bagian dari
demokrasi itu sendiri. Jangan sampai konsep KKR lahir dari pemikiran kalangan CSO/NGO
maupun masyarakat sipil lainnya seperti akdemisi, mahasiswa, wartawan, dll. Bukan murni
dari pemikiran korban konflik. Sehingga KKR yang terbentuk nantinya, memiliki rasa
kepemilikan, bukan hanya memiliki segelintir organisasi maupun personal orang.

Faktanya, CSO/NGO dan komponen masyarakat sipil lainnya begitu masif dalam
memperjuangkan kehadiran KKR di Aceh. Buktinya sudah menghasilkan qanun (perda)
KKR, walaupun belum kunjung disahkan oleh DPRA. Menurut penulis kewajiban dari
anggota dewan di DPRA membahas qanun KKR. Apabila mengingkari, salah satu fungsi
utama anggota yaitu legislasi.

Kita mengetahui keberadaan mereka menyerap aspirasi dari masyarakat Aceh, khusus
masyarakat korban konflik. Pemerintah Aceh sendiri terlihat tidak memiliki tangggu jawab
serius, kalaupun tim membuat qanun KKR versi Pemerintah Aceh telah dibentuk namun
denyut kerjanya sama sekali tidak nampak ke publik. Apakah pembentukan KKR oleh tim
Pemerintah Aceh sebagai strategi pecitraan saja. Seakan-akan ada kepedulian serius,
kenyataan nol besar. Bahkan gubernur Aceh pun terkesan tidak mau membentuk,
dikarenakan akan menambah anggaran daerah. Sesuai dengan pernyataannya di media.
“KKR butuh biaya mahal. Jadi tidak cukup kalau dibentuk dengan qanun. Tapi harus
dengan penerbitan undang-undang,” (SI,Wed, Aug 18th 2010, 15:01).

Alasan DPRA maupun Pemerintah Aceh tidak merealisasikan KKR, disebabkan Undang-
Undang Pemerintahn Aceh (UUPA) Pasal 229, 230, dan 231 tersebut terbentur dengan UU
Nomor 27 Tahun 2004 mengenai keberadaan KKR Nasional. Dalam ayat (2) disebutkan
bahwa KKR di Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dengan KKR (Nasional).

Masalahnya UU No 27 tahun 2004 telah dibatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pda
tahun 2006. Pembatalan UU No 27 tahun 2004 Tentang KKR oleh MK adalah melalui
putusan dengan Nomor Perkara 006/PUU IV/2006 dan 020/PUU IV/2006 yang menyatakan
UU KKR bertentangan dengan UUD Republik Indonesia tahun 1945 dan UU KKR tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Otomastias pembentukan KKR Aceh juga terhambat karena payung hukumnya telah hilang.
Begitu pun, CSO/NGO, masyarakat sipil, dan korban konflik berupaya melakukan desakan
kepada pemerintah Pusat agar segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu). Selanjutnya bisa dilakukan dengan meningkatkan statusnya menjadi
undang-undang. Demi menggoalkan tujuan itu dibutuhkan kekuatan bernegosiasi dengan
Pemerintah Pusat.

Pertanyaan apakah negosiasi yang dibangun sudah intensif, jangan-jangan meredup tidak
kesibukan agenda program dari kalangan CSO/NGO maupun pribadi personal dari kalangan
masyarakat sipil?

Kembali lagi mengulas qanun KKR dihasilkan dari partisipasi berbagai komponen
masyarakat sipil, tidak hanya CSO/NGO dan masyarakat korban konflik saja. Tidak hanya
sampai disitu saja, gerakan CSO/NGO dan masyarakat sipil di Aceh telah berhasil
mendirikan wadah komunikasi guna membangun sinergisasi dan konsolidasi yaitu Koalisi
Pengungkapan Kebenaran (KPK), dimana menjadi hostnya adalah Aceh Judicial Monitoring
Institute.

Keberhasilan mendirikan wadah KPK haruslah selaras dengan bukti kerja riil dalam
memperjuangkan KKR di Aceh. Jangan sampai menjadi mandul, akibat konflik di internal
yang berujung pada materi saja. Wal hasil sibuk menyelesaikan konflik internal, kerja bagi
pembentukan KKR berjalan di tempat.

Kunci keberhasilan KKR terletak pada komunikasi, maksudnya dibutuhkan agenda


pertemuan rutin segi tiga antara Pemerintah Aceh, DPR Aceh, dan komponen masyarakat
sipil. Tujuannya untuk membangun kekuatan dalam melakukan negosiasi kepada Pemerintah
Indonesia (pusat). Kenyataan masing-masing terfriksi pada kepentingan terselubung. Tidak
menutup kemungkinan masih melekat stereotype permusuhan satu sama lainnya. Padahal,
KKR seharusnya bisa dijadikan momentum melakukan kemesraan gerakan seperti di
romantika Undang-undang Pemerintah Aceh.

Ditakutkan masyarakat korban konflik semakin menggunung keapatisannya. Setelah apatis


terhadap Pemerintah Aceh, makin diperkuat lagi apatis kepada CS/NGO. Berangkat dari
kondisi tanpa sadar mengarahkan pemikiran korban konflik”kami dijadikan komoditas dan
objek kepentingan saja” terlepas bentuk kepentingan, apakah kepentingan program
CSO/NGO di Aceh, kepentingan Pemerintah Aceh, dan kepentingan elit politik di Aceh
meraih menjadikan lumbung suara dari korban konflik pada saat pilkada dan pemilu.

KKR dan HAM di Aceh

Korban konflik dan masyarakat sipil membutuhkan kehadiran KKR di Aceh. Keinginan
pembentukan institusi terlindungi dan diakui oleh negara berdasarkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil Politik. Pada pasal 2 di UU tersebut, menjelaskan
kewajiban negara merealisasikan” Menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya
pemulihan tersebut harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, administratif,
atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem
hukum Negara tersebut, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian
peradilan”

Bila merujuk pada pasal di atas, KKR di posisikan sebagai lembaga yang dipercaya
memulihkan sekaligus mendorong penyelesaian di peradilan. Walaupun KKR bukan lembaga
yang melakukan eksekutor atau menentukan hukuman seseorang pelanggar HAM. Selain itu,
KKR juga menjalankan fungsinya yaitu memediasi hak korban konflik mencari kebenaran
dan keadilan pasca tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan, jikalau KKR terbentuk
nantinya.

Lembaga atau institusi yang dibentuk haruslah memperhatikan aspek hak asasi manusia
dalam operasional serta mekanisme menjalankannya. Di samping itu dibutuhkan keterlibatan
aktif dari masyarakat sipil di dalam struktur institusi tersebut. Sehingga keberpihakan
terhadap korban konflik dapat terwujud. Ciri khas dari institusi KKR semi negara, dikarena
keterwakilan masyarakat sipil di dalamnya.

Keberadaan institusi KKR juga harus melindungi saksi, tentunya harus bekerja sama dengan
aparat penegak hukum. Mekanisme menjalankan tertuang melalui UU Nomor 5 Tahun 1998,
memberikan perlindungan kepada saksi dan kepada korban yang melapor ke lembaga KKR
memanggil pada saat dibentuk di Aceh nantinya. Hal ini tertuang dalam pasal 13 dan 14.

Kalau melihat lebih jauh lagi, kehadiran institusi KKR karena ketidakpercayaan terhadap
institusi negara yang sudah terbentuk seperti kepolisian, pengadilan, dll. Sejalan dengan
pemikiran Cornelius Lay (Lay 2006, h. 6) mengatakan, proses kelahiran lembaga-lembaga
sampiran negara merupakan refleksi dari kontestasi dua kecenderungan klasik yang menjadi
salah satu pertanyaan-pertanyaan besar yang bersifat permanen dalam studi ilmu politik,
yakni kecenderungan sentripetal (konsentrasi kekuasaan) dan cenderungan sentrifugal
(pemencaran kekuasaan).

Institusi yang dipercaya bisa menyelesaikan permasalahan kemanusian tidak mengadopsi dan
mempraktekan hak asasi manusia dalam kenyataannya. Berangkat dari kondisi itu, korban
konflik berharap besar terhadap kehadiran KKR. Bilamana negara tidak merealisasikan
kebutuhan akan institusi KKR, maka negara tidak menegakan HAM apa yang sudah
dilakukan melalui kebijakan operasi militer di Aceh. Bentuk penegakan HAM, salah satunya
menghadirkan dan membentuk institusi KKR.

Ditinjau dari hak resparasi bagi korban konflik merupakan wujud pemenuhan dari aspke hak
asasi manusia pasca konflik, dimana melalui kebijakan operasi militernya. Selain daripada itu
pemulihan hal sipilnya bagi korban konflik yang di klaim sebagai cuak harus di
reintegrasikan ke masyarakat. Ditambah lagi bagi kalangan PETA dan Inong Bale (tentara
perempuan GAM) tidak tersentuh dalam kebijakan dan program reintegrasi yang dilakukan
Pemerintah pusat dan daerah. Kalau pun ada sebagaian kecil dari mereka yang merasakan
dampaknya tidak holistik.

Akhir Sebuah Pemikiran

Sejatinya, perjuangan untuk menegakan keadilan dan kebenaran melalui Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi di Aceh memang sangat membutuhkan kesabaran ekstra. Untuk itu
dibutuhkan kesabaran masyarakat sipil atau Civil Society Organitation dalam
memperjuangkan terbentuknya KKR di Aceh. Kunci keberhasilan masyarakat sipil atau CSO
terletak dari komunikasi yang di bangun dan konsolidasi gerakan yang dibentuk dan
dilakukan. Dinamika pasang surut dalam gerakan haruslah dimaknai sebagai khasanah dalam
melakukan advokasi.

Namun kita harus optimis, walaupun KKR terkendala lantaran payung hukum tingkat
nasional tentang KKR tidak batalkan Mahkamah Konstitusi. Seharusnya pembentukan KKR
merupakan tanggung jawab dari negara melalui perpanjang tangan perangkat pemerintah
(pusat, daerah, DPR RI, DPRA). Selain itu, pembentukan KKR sebagai wujud hadirnya
penegakan HAM pasca perdamaian di Aceh.

Solusinya bisa diupayakan melalui Kepres, Perpu, atau CSO/NGO sendiri yang membentuk
KKR. Pengalaman di negara Rwanda, di mana pembentukan KKT bukan di inisiasi oleh
pemerintah tetapi oleh CSO/NGO yang membentuk KKR sendiri. Tentunya dengan adanya
pelbagai pelibatan CSO/NGO internasional dari Amerika Serikat, Kanada, dan Perancis.
Prinsip yang harus ditanam adalah dimana keinginan pasti ada jalan.[]

Penulis Aryos Nivada, Mahasiswa UGM Jurusan Politik dan Pemerintahan

Anda mungkin juga menyukai