Anda di halaman 1dari 4

Bendera dan Lambang, Merdeka Aceh-kah?

Aryos Nivada
Dosen FISIP Universitas Teuku Umar Aceh Barat

Dinamika pro kontra pengesahan akan Qanun Bendera dan Lambang (QBL) No. 3
tahun 2013 belum usai. Layaknya dilautan tanpa ujung, maka harus berlabuh didaratan
mencari pijakan kaki di daratan. Banyak hal membuat saya berkontemplasi memahami
polemik QBL, hingga memunculkan tanda tanya besar, apakah QBL telah mampu menjadi
perekat suku di Aceh? Ada apakah dibalik kepentingan pengesahan QBL? Apakah telah
sesuai aturan hukum? Bagaimana dampak yang terjadi setelah disahkan QBL? Artikel di sini
disajikan untuk ikut jadi bahan catatan ataupun masukan bagi solusi mengatasi kebuntuan
penyelesaian QBL. Berangkat dari pertanyaan akan diturunkan dalam bentuk analisis.
Tujuan menganalisis polemik bendera dan lambang adalah bagian dari upaya
menjernihkan informasi sehingga tidak menimbulkan kesesatan berpikir. Hal ini terjadi
karena keterbatasan akses informasi yang diperoleh masyarakat Aceh. Untuk itulah tulisan ini
upaya kecil memberikan informasi kepada publik terkait kontroversi pengesahan Qanun No.3
tentang Bendera dan Lambang.
Di awali argumentasi penulis, bendera dan lambang telah melahirkan sejarah yang di
disimplifikasi sebagai hasil karya individual (the power of personal elite) atau kelompok
mayoritas (majority group). Siapa pun memiliki potensi mensimplifikasikan keadaan lalu
mengkonstruksikan pembenaran yang belum tentunya benar secara fakta. Disinilah letaknya
dinamika perdebatannya, bahwa bendera dan lambang di letakan identitas tunggal dari
sejarah panjang di Aceh. Seharusnya mandat pembuatan bendera dan lambang harus merujuk
kepada MoU Helsinki, Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
undang-undang lainya, dan Peraturan Pemerintah. Keseluruhan wajib difahami subtansinya
dalam membuat QBL, faktanya telah terjadi penyimpangan. Bentuk penyimpangan akan
dijelaskan pada sub tersendiri.
Sudah keseharusan dibuatnya bendera dan lambang bagi Provinsi Aceh menjadi
gerakan nasionalisme ke Acehan yang menyatukan identitas Aceh. Semangat tersebut yang
harus menginternalisasi ke dalam jiwa-jiwa aktor di eksekutif dan legislatif di Aceh. Ketika
itu terlaksana sudah dipastikan produk bendera dan lambang tidak akan dipaksakan tunggal
bendera dan lambang yang mirip Gerakan Aceh Merdeka. Bilamana menarik akar sejarah
kebelakang, bendera dan lambang dari Gerakan Aceh Merdeka diperuntukan untuk sebuah
negara yang bebas dan merdeka. Nilai kesakralan dan marwahnya bisa jatuh jikalau levelnya
hanya sebuah provinsi saja (Ligadinsyah, mantan Panglima GAM Wilayah Linge, Tabloid
Modus Aceh, Edisi : 1-7 April 2013, hal: 8-9).
Jika simplifikasi (penyederhanaan) hanya dimaknai satu sejarah tanpa melihat sejarah
lainnya, cara berpiki semacam itu masih kita pertahankan, maka sebetulnya kita memasuki
era pengingkaran akar sejarah dan tujuan awal dari gerakan persenjataan yang perjuangkan
oleh Gerakan Aceh Merdeka. Jangan sampai tujuan dan pengingkaran sejarah berhenti pada
kijang inova (urusan kesejahteraan personal), istilah yang digunakan oleh Adli Abdullah, ahli
sejarah dan hukum. Bisa ditafsirkan berhenti pada tataran ekonomi hingga menggugurkan
tujuan awal dari cita-cita perjuangan.
Dampaknya selalu akan menyederhanakan aspek filosofi, yuridis, dan sosiologis
dalam membuat regulasi, termasuk Qanun Bendera dan Lambang. Karena lebih besar
dominasi pengingkaran kenyataan daripada mengikuti fakta yang ada. Sebab utamanya
keinginan aktor yang memiliki kekuasaan dan kepentingan tertentu. Disinilah membuat fakta
hukum yang memandatkan hadirnya bendera dan lambang diputar balikan sesuai keinginan
eksekutif dan legislatif di Provinsi Aceh, bahkan mengatakan tidak bertentangan. Padahal
kajian Mendagri banyak terdapat penyimpangan terhadap aturan hukum (akan dijelaskan
pada sub tulisan ini). Jangan sampai terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
merumuskan sebuah produk regulasi tentang bendera dan lambang. Bisa lebih jauh lagi,
yakni kekuasaan berlebihan (excessive) dikarenakan power of politic menjadi panglima yang
membutakan aturan hukum dalam pembuatan Qanun Lambang dan Bendera Aceh (Aryos
Nivada, Menyoal Pengesahan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, Serambi Indonesia, 2
April 2013).

Perekat dan Penyatu Kesukuan


Respon cepat saya, jika ditanyakan apakah penting bendera dan lambang bagi Aceh?
jawabanya penting sekali, dasar pemikirannya kebaradaan bendera dan lambang merupakan
kebutuhan masyarakat Aceh untuk membangun sebuah identitas ke Acehan. Bahkan tertuang
melalui MoU Helsinki point 1.1.5 berbunyi”Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-
simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne”. Berangkat dari amanah MoU
helsinki dan UU No. 11 tentang Pemerintah Aceh terkait bendera dan lambang harus
difahami dalam perumusaannya mengedepankan partisipasi aktif secara maksimal dan masif,
apakah itu sudah dilakukan DPRA? Jawaban amatan saya “tidak”. Maka hasil produk Qanun
Bendera dan Lambang tidak akan mencerminkan kepemilikan seluruh masyarakat Aceh yang
heterogen karena kesukuan.
Tujuan partisipasi dari masyarakat Aceh lintas suku agar mengikat kembali
kebersamaan hingga menghasilkan produk identitas lambang dan bendera secara bersama-
sama. Pijakannya dari keluhuran sejarah serta nilai-nilai menghormati keberagaman suku dan
budaya yang menjadi material membuat bendera dan lambang. Akan tetapi hasil rumusan
harus dimasukan oleh DPRA bukan formalitas saja.
Mekanismenya membangun partisipasi seluruh suku yang berada di Aceh kuncinya
terletak kepada penjaringan pendapat. Kemudian dilanjutkan merancang produk Qanun
Bendera dan Lambang. Dipandu dengan hasil naskah akademis akan pembuatan produk
hukum bendera dan lambang. Realitasnya DPRA tidak memiliki naskah akademisnya sebagai
syarat utama Tata Cara Pembuatan Qanun. Mirisnya lagi masukan dari komponen masyarakat
sipil tidak digubris, bahkan dibuang mentah-mentah usulannya. Terbukti ketika penulis
mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum secara publik di AAC Dayan Dawood Unsyiah.
Buktinya bisa dilihat dari bendera dan lambang tetap sama tanpa ada perubahan sesuai
masukan dari komponen masyarakat sipil. Apalagi proses pembuatan Qanun Bendera dan
Lambang kurang transparansi dalam memberikan informasi kepada publik ditemukan ketika
saya meminta hasil dinamika dalam perumusan Bendera dan Lambang ke Sekertariat DPRA.
Ditambah lagi kurang masifnya sosialisasi atas produk QBL kepada seluruh masyarakat
Aceh.

Dibalik Kepentingan Pengesahan QBL


Bagi kepentingan politik pengesahan QBL menjelang pemilu memiliki muatan politis
yang kuat. Tulisan saya di Serambi Indonesia (2/04/2013) pengesahan Qanun Bendera dan
Lambang menjelang Pemilu 2014 secara rational choice melahirkan cara pandang politik,
bahwa Qanun Bendera dan Lambang berfungsi sebagai upaya memperkuat posisi tawar salah
satu partai di mata pemilih. Jualan isu akan mengatakan “Kita sudah memperjuangkan
identitas Aceh melalui bendera dan lambang”. Menariknya lagi menjadi alat konsolidasi
mengarahkan masyarakat Aceh memilih salah satu partai. Ini pun akan masuk dalam desain
marketing politik partai politik yang telah mengesahkan Qanun Bendera dan Lambang.
Bisa juga peluang Qanun Bendera dan Lambang menaikkan elektabilitas salah satu
partai yang kuat menggoalkan produk qanun tersebut. Namun prediksi saya tidak akan
signifikan peningkatan dukungan, karena rakyat Aceh sudah cerdas dari melihat realitas dan
pengalaman. Bagi rakyat Aceh yang paling urgent adalah pemenuhan kebutuhan dasar,
kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan daripada sibuk membuat dan mengesahkan Qanun
Bendera dan Lambang.
Teridentifikasikan hasil diskusi saya dengan beberapa kalangan politikus partai, besar
kemungkinan QBL disahkan menjadi alat bargining DPRA kepada Pemerintah Pusat agar
mengesahkan APBA 2013 yang belum kunjung disahkan Mendagri dan Kementrian
Keuangan. Penyebabnya banyak anggaran yang tidak diterima dan tidak sesuai aturan sistem
keuangan pemerintah. Kepentingan pengesahan QBL merupakan strategi test water berupa
pemetaan dukungan masyarakat Aceh terhadap Partai Aceh. Ketika sudah diketahui seberapa
kuat dan lemahnya dukungan, maka Partai Aceh mampu membuat strategi intervensi
mengatasi kelemahan tersebut.

Bertentangan Dengan Aturan


Salah fatal, jikalau segelintir pemikiran mengatakan telah sah Qanun Bendera dan
Lambang diberlakukan. Argumentasinya, disebabkan bertentang dengan perjanjian MoU
Helsinki dan aturan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Paraturan Pemerintah.
Isi di MoU Helsinki poin 4.2 tertulis “Dilarang memakai seragam maupun menunjukan
emblem atau simbol militer”, dimana bendera dan lambang merupakan simbol kemiliteran.
Dalam regulasi UUPA nomor 11 tahun 2006 BAB XXXVI tentang Bendera, Lambang dan
Himne pasal 246. Tertera ketegasan di ayat 2 dan 3 Pemerintah Aceh dapat menentukan dan
menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan
kekhususan. Bentuk bendera tidak mencerminkan bentuk kedaulatan. Membaca tafsir ayat
tersebut memberikan gambaran bahwa bendera GAM yang dahulu sebagai alat perjuangan
tidak dibenarkan untuk digunakan kembali.
Terkait perihat penjelasan tentang keistimewaan dan kekhususan, Prof.Dr Yusril Ihza
Mahendra menjelaskan di TV One (05/042013) dalam wawancara langsung dengan Gubernur
Aceh. “Dalam konsideran menyatakan istimewa karena merupakan lambang dan bendera
yang mencerminkan perjuangan rakyat Aceh dahulu kala saat melawan penjajahan Belanda
dan khusus karena mencerminkan nilai-nilai keislaman yang dianut hampir seluruh rakyat
Aceh”. Berpedoma pada pemikiran Prof Yusril memberikan informasi kepada kita semua
bahwa bendera dan lambang yang dibuat oleh Pemerintah Aceh haruslah merujuk terhadap
keistimewaan dan kekhususan tersebut.
Anehnya, PP No.77 Tahun 2007, tidak dimasukkan dalam ketentuan “mengingat”
Qanun Bendera dan Lambang yang dibuat DPRA itu. Substansi isi PP No.77 Tahun 2007,
menegaskan dilarang menjadikan bendera gerakan separatis sebagai bendera identitas
kelokalan, bukan bendera kedaulatan. Lebih rancu lagi dimasukkan sandaran hukum yang
relatif sudah lama atas ketentuan bendera dan lambang, yaitu PP No.42 Tahun 1958 tentang
Panji dan Bendera Jabatan.
Dalam pandangan ahli hukum dan pengacara Jully Fuady (wawancara:06/04/2013)
terkait dengan kontroversi Qanun Bendera dan Lambang harus di lihat (legal reasioning) dari
sudut Judicial Review (Kewenangan MA), Eksekutife Review (Kewenangan Pemerintah) dan
Legislatife Review kewenangan DPRA untuk merubah,Semua ada batasannya termasuk
kewenangan Presiden untuk mencabut Perda-perda apa saja yang bermasalah. Prinsipnya
Qanun-Qanun bermasalah harus di Review (Evaluasi dan di cabut).
Apalagi hasil klarifikasi dari Mendagri keseluruhan berpatokan kepada PP No. 77
tahun 2007. Hal jelas akan membatalkan, jika DPRA tidak mengubah bendera dan lambang.
Kalau tidak dilakukan sejalan dengan pemikiran Jully Fuady akan dicabut melalui
kewenangan presiden atas Peraturan Daerah yang bermasalah. Lebih detail lagi Mendagri
menemukan adanya penyimpangan penerapan syariat Islam terdapat di pasal 27 Qanun No. 3
tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang. Dasar pemikirannya karena melanggar syariat
Islam dan merendahkan hakekat Adzan, karena berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia,
Adzan adalah seruan untuk mengajak orang melakukan shalat.

Dampak Pengesahan QBL


Setelah disahkan Qanun Bendera dan Lambang menuai protes keras dari ribuan
masyarakat Gayo (republika, 04/04/2013). Belum lagi penolakan terhadap QBL dari
sebagaian besar masyarakat Aceh Barat dan pantai barat selatan (http://www.jpnn.com,
01/04/2013). Penolakan atas pengesahan QBL dilakukan sekitar 150 masyarakat Aceh
Tamiang yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Sipil Aceh Tamiang (SOMASI-Aceh
Tamiang) mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tamiang
dengan membawa bendera merah putih, Kamis 4 April 2013. Mereka datang menggunakan
kedaraan roda dua dan roda empat. Kedatangan mereka untuk menyampaikan aspirasi dan
mengkritik lahirnya Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh
(http://atjeh.co, 04/4/2013).
Aksi penolakan dari berbagai kabupaten kota di Provinsi Aceh menunjukan akan
memicu konflik horizontal atas pengesahan QBL. Dikarenakan kabupaten/kota paragraf di
atas berlainan suku (Kluet, Jamee, Taming, Gayo, dan Alas). Sebelum konflik horizontal
terjadi didahulukan hilangnya kepercayaan terhadap Pemerintah Aceh saat ini. Dimana kita
ketahui dari kalangan petinggi Gerakan Aceh Merdeka. Otomatis logika rational masyarakat
yang menolak, keinginan kita memberikan masukan tidak akan di dengar. Bermuara kepada
pemarginalan akan hak-hak berpendapat.
Selain daripada itu, dampak yang berpotensi akan terjadi jika tetap diberlakukan QBL
yakni terkikis jiwa nasionalisme keacehan, maksudnya nasionalisme yang tidak chauvistik
(ashabiyah) dan juga tidak menyebabkan masyarakat Aceh terkotak-kotak dengan
pandangannya, merupakan nasionalisme yang mengikat semua manusia dengan ikatan akidah
(Teuku Zulkhairi : Serambi Indonesia, 21/05/2012). Jika itu tidak ada maka berujung
komunikasi dan ketidakpercayaan (trust building) sesama suku yang berada di Aceh lambat
laun akan tergerus akibat penerapan QBL nantinya.
Dari segi dampak nasional, maka berakibat daerah yang memiliki sejarah bergolakan
panjang dan bendera separatis, seperti Papua, Maluku, dan Poso akan meminta hal serupa
dengan Pemerintah Indonesia. Dikarenakan sikap Pemerintah Indonesia menganak emaskan
Provinsi Aceh, walaupun salah langkah. Jangan sampai menjadi blunder terberat yang
berakibat stabilitas nasional jadi terganggu ketika Pemerintah pusat menurutkan keinginan
DPRA Provinsi Aceh.

Muara Solusi
Berbicara solusi maka kuncinya pada ketegasan dari pemerintah pusat terhadap
eksekutif dan legislatif Provinsi Aceh yang telah mengesahkan Qanun No. 3 tahun 2013
tentang Bendera dan Lambang. Hal terpenting yaitu harus dilakukan revisi jika terdapat celah
atau cara. Ataupun dibatalkan melalui keputusan presiden, selanjutnya membuat ulang
dengan melibatkan partisipasi masyarakat Aceh secara holistik dengan masif, transparansi
harus jadi syarat utama, dan akuntabilitas pelaksanaannya. Mari kita bangun Aceh dengan
semangat kebersamaan tanpa memarginalkan hak-hak kesukuan tertentu serta menjunjung
tinggi nilai-nilai menghormati keberagaman dan toleransi.

Anda mungkin juga menyukai