Anda di halaman 1dari 3

KKR Itu "Menyehatkan"

Aryos Nivada
Mahasiswa Pascasarjana UGM Jurusan Politik dan Pemerintahan

http://www.koalisi-ham.org/kategori/acehdalamberita/kkr-itu-menyehatkan/index.php
Jum`at, 21 Oktober 2011 - 16:09 WIB

Berbicara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak pernah berhenti. Selama institusi
harapan korban konflik ini terbentuk. Bagi mereka yang menderita di era konflik berbalut
pelanggaran kemanusian yang berat hanya KKR obat pelipur lara di hati. Namun diagnosa
dokter (Pemerintah Aceh dan Pusat) tidak memberikan obat. Malahan memberikan opion
harapan kosong semata. Dampaknya membuat pengguna (korban konflik) bermimpi dalam
hayalan tanpa menyadarkan atas realitas yang terjadi.
Biasanya pengguna akan terbuai, di sinilah kesalahan fatal yang dilakukan dokter.
Idealnya dokter disini pemerintah harus mampu membuat obat dari hasil diagnosa
laboratorium penyakit. Berdasarkan diagnosa laboratorium menghasilkan temuan. Pertama;
KKR merupakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah fenomena yang timbul di era
transisi politik dari suatu rezim otoriter ke rezim demokratis, terkait dengan persoalan
penyelesaian kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rezim sebelumnya. (Asplund, D. Knut
dkk. 2008, h. 364). Tujuan untuk mengatasi masalah pelanggaran hak asasi manusia.
Pandangan lain mengatakan KKR merupakan salah satu bentuk upaya perwujudan
transitional juctice (Soeprapto 2003, h.1).
Kedua isi temuan laboratorium yaitu fokus penyelidikannya pada kejahatan masa lalu,
terbentuk beberapa saat setelah rezim otoriter tumbang. Ketiga; keberadaanya adalah jangka
waktu tertentu, biasanya berakhir setelah laporan akhirnya selesai di kerjakan. Keempat; ia
memiliki kewenangan untuk mengakses informasi ke lembaga apa pun, dan mengajukan
perlindungan untuk mereka yang memberikan kesaksian.
Kemungkinan besar dokter kurang mengetahui jenis penyakit KKR. Tapi tidak
mungkin dokter pemerintah tidak menemukan cara pengobatannya dan jenis obat yang
diberikan. Kalau dikatakan kurang kapasitas tidak masuk akal, karena keberadaan dokter
pemerintah menyebuhkan pasien yakni korban konflik, dimana pelanggaran HAM dilakukan
oleh pemerintah melalui alat negaranya.

1
Lantas memunculkan tanda tanya di benak ini. Apa yang menyebabkan KKR belum
kunjung terbentuk. Masalah terletak tidak ada keseriusan mengatasi penyakit yang dibuat
oleh Pemerintah sendiri. Karena di tangan dokter pemerintahlah keluar resep yang salah,
bahwa gerakan separatis di obatkan dengan resep darurat operasi militer (DOM), darurat
militer (DM), dan darurat sipil (DS). Atas kesalahan resep dibuat Pemerintah membuat pasien
yakni korban konflik di Aceh kehilangan banyak nyawa. Seharusnya mengedepankan proses
perundingan, wal hasil resep obat berbuah hasil. Saat ini Aceh telah dami, tapi pelanggaran
HAM yang dilakukan dokter pemerintah belum dituntaskan.
Berdasarkan pengalaman dokter pemerintah mengatasnamakan lembaga Indonesia
menyelesaikan pelanggaran berat HAM masa lalu, hanya bertumpukan kepada pemberian
kompensasi dan rehabilitasi korban konflik tanpa mengedepankan terlebih dahulu
pengungkapan kebenaran. Apalagi mengakui bahwa dokter pemerintah telah bersalah untuk
itu meminta maaf kepada pasien (korban konflik). Realitas tidak dilakukan sama sekali.
Karena kesombongan sebagai dokter telah membutakan mata batinnya.
Mau tidak mau atau suka tidak suka dokter pemerintah harus segera mewujudkan
kehadiran KKR di Aceh. Bilamana tidak terlaksana maka dokter pemerintah telah mencederai
dan mengingkari perjanjian yang tertuang dalam MoU Helsinki serta Undang-undang
Pemerintah Aceh No. 11 tahun 2006. Pasal yang mengharuskan terbentuknya Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh tertuang di pasal 229, 230, dan 231.
Bila tidak tertangani dengan serius maka merambat ke seluruh tubuh pasien sehingga
komplikasi kepada stabilitas perdamaian dan keberlanjutan hidup pasien (korban konflik)
banyak. Jangan sampai dokter pemerintah di cabut mandat prakteknya dari pasien selaku
rakyat yang melahirkan terbentuknya negara Indonesia.
Ada beberapa solusi serta menjadi fokusnisasi dari setiap langkah yang dilakukan
dokter pemerintah mengatasi kemandekan obat atau serum KKR. Hasil rujukan dari buku
kedokteran berjudul “KKR dan Obatnya” mendapatkan solusi kongkrit yang bisa diterapkan
mewujudkan dan menghadirkan KKR lokal Aceh.
Obat atau penawar yang cocok agar KKR bisa di bentuk di Aceh. Terpenting yaitu
kemauan serius dari Pemerintah Aceh. argumentasi kedokterannya adalah UU 11 tahun 2006
tentang Pemerintah Aceh merupakan produk regulasi nasional. Di sahkan atas persetujuan
DPR RI. Otomatis di turunkan teknisnya melalui qanun. Kalau obat itu tidak berhasil peran
dari masyarakat sipil melalui lembaga swadaya masyarakat berinisiatif membentuk KKR
seperti dilakukan di Rwanda bersama-sama dengan LSM dari berbagai negara terdiri dari

2
Amerika Serikat, Kanada, dan Perancis. Ketika sudah terbentuk otomatis Pemerintah Aceh
bersama Pemerintah pusat terlibat.
Tawaran obat lainnya adalah membangun kekuatan politik luar, maksudnya harus
membanguk komunikasi intensif dengan lembaga PBB yang fokus ke masalah Hak Asasi
Manusia, agar terbentuk KKR di Aceh. Obat ini pernah diterapkan di Timor Leste, dimana
atas tekanan PBB keluarlah kebijakan Pemerintah Indonesia membentuk Komisi Kebenaran
dan Persahabatan. Komisi ini tidak melalui UU hanya berupa term of reference (TOR).
Masih ada obat lainnya lagi untuk mewujudkan terbentuknya KKR di Aceh.
Masyarakat sipil di Aceh harus fokus melakukan upaya lobilisasi kepada Pemerintah Pusat.
Upaya ini merupakan bagian dari menyakinkan. Bisa juga meminta Kepres yang selanjutnya
di sahkan melalui UU sebagai payung hukum nasional.
Saya mensarankan kepada mitra dokter yaitu lembaga swadaya masyarakat atau CSO
pembentukan KKR di Aceh membutuhkan partisipasi aktif dengan melibatkan masyarakat
Aceh yang terkena dampak akibat konflik yang mendera Aceh. Kita mengetahui, bahwa
partisipasi bagian dari demokrasi itu sendiri. Jangan sampai konsep KKR lahir dari pemikiran
kalangan CSO/NGO maupun masyarakat sipil lainnya seperti akdemisi, mahasiswa,
wartawan, dll. Bukan murni dari pemikiran korban konflik. Sehingga KKR yang terbentuk
nantinya, memiliki rasa kepemilikan, bukan hanya memiliki segelintir organisasi maupun
personal orang.
Intinya terpulang semuanya kepada dokter pemerintah dan mitranya. Melalui
keduanya pasien (korban konflik) bisa sembuh dari rasa dendam dna pemulihan. Tahapan
pemulihan terdiri dari fisik dan non fisik. Keduanya harus dilakukan agar tidak terkonsentrasi
penyembuhan di fisik tapi non fisik pun terobati. Akhir dari kata di tulisan ini. KKR adalah
kesehatan jiwa bagi pasien korban konflik.

Anda mungkin juga menyukai