Anda di halaman 1dari 3

Qanun Bendera dan Lambang, Sesuaikah?

Aryos Nivada
Peminat Politik dan Keamanan

Sungguh bagaikan magnet membuat publik Aceh maupun nasional mengenai pengesahan
Qanun No. 3 tentang Bendera dan Lambang (QBL) tahun 2013 oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh (DPRA). Inilah penyulut terbelahnya dukungan, ketika aliran ruang
pengetahuan hukum dipandang tunggal. Logika kebenaran substansi hukum ditampik, bahkan
dipandang sebelah mata. Ketika surplus pembenaran versi aktor penguasa, yaitu DPRA
menjadi harga mati. Jangan sampai terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
merumuskan sebuah produk regulasi. Bisa lebih jauh lagi, yakni kekuasaan berlebihan
(excessive) dikarenakan power of politic menjadi panglima yang membutakan aturan hukum
pembuatan Qanun Lambang dan Bendera di Provinsi Aceh.

Sebelum masuk terlalu jauh. Tulisan ini intisari penelusuran penulis melalui berbagai diskusi
dan tracking media. Hasil akhir, ditemukannya strategi tersembunyi agenda kekuasaan yang
besar membuat ketidaksambungan antara amanah MoU Helsinki dan UUPA dengan realitas
(prakteknya). Mengawali pada tataran debat pemahaman hukum QBL, logika QBL,
dilanjutkan pada kepentingan politik. Itulah pembatas isi ditulisan ini.

Perlu Dikaji Ulang

Salah fatal, jikalau segelintir pemikiran mengatakan telah sah QBL diberlakukan. Dasar
pemikiran terletak kepada Mou Helsinki point 4.2 tertulis ”Dilarang menggunakan simbol-
simbol Gerakan Aceh Merdeka”, seharusnya bukan berpatron kepada point 1.1.5 saja yang
memandatkan hak Provinsi Aceh menggunakan simbol wilayah seperti; bendera dan
lambang. Pada UUPA pasal 246 ayat 2 jelas tertera sebagai lambang kekhususan dan
keistimewaan. Maksudnya adalah produk bendera dan lambang harus mengidentifikasikan
bentuk-bentuk kekhususan dan keistimewaan berdasarkan filosofi, yuridis, dan sosiologis.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2007, anehnya tidak dimasukkan di Qanun
Bendera dan Lambang yang dibuat DPRA dalam ketentuan mengingat. Subtansi isi
menegaskan dilarang menjadikan bendera gerakan separatis sebagai bendera identitas
kelokalan, bukan bendera kedaulatan. Lebih rancu lagi dimasukan sandaran hukum yang
relatif sudah lama atas ketentuan bendera dan lambang, yaitu PP Nomor 42 Tahun 1958
tentang Panji dan Bendera Jabatan. Tergelitik memicu tanda tanya, apakah PP tersebut masih
layak diberlakukan dan dijadikan sandaran hukum?

Jika menilai pada proses pembuatan qanun saja, tidak hidup dinamika penolakan dari partai
politik yang berada di parlemen Aceh. Tafsiran logika politik mengarahkan kepada tidak
terkonsolidasinya jumlah perwakilan parpol di parlemen ataukah nilai tawar secara kekuatan
politik tidak ada. Sedangkan jumlah kursi Partai Aceh hanya 33 kursi dari total 69 selebihnya
partai nasional, bilamana digabung relatif imbang. Seharusnya pembuatan QBL terasa
dinamika argumentatif dan artikulatifnya dalam memahami QBL sebelum disahkan, tetapi
hal tersebut tidak mengalir. Mengapa dinamika berbeda pendapat tidak terjadi? Apakah ruang
berdebat dimonopoli hingga mengarah kepada oligarki kekuasaan?

Logika QBL

Bagi pribadi saya sangat sepakat bendera dan lambang sebagai identitas ke-Aceh-an.
Tujuannya membangkitkan kejayaan Aceh berbentuk identitas dan membangun peradaban
yang peduli dengan keluhuran sejarah serta nilai-nilai perekat yang mempersatukan seluruh
etnis di Aceh. Akan tetapi dengan syarat utama harus disetujui seluruh lintas masyarakat
Aceh, bukan hanya dipercayakan kepada perwakilan mereka di parlemen Aceh.
Mekanismenya harus dikuatkan dari segi penjaringan pendapat, lalu benar-benar dituangkan
dalam pembuatan identitas bendera dan lambang tersebut. Maka diperlukan tali pengikat
yang menerima atas dasar lahir dari partisipasi aktif, transparansi pembuat tanpa intrik
politik, dan ditindaklanjuti masukan bukan hanya sebatas syarat saja tanpa memperdulikan
masukan tersebut.

Apabila ada yang mengatakan bahwa pemerintah pusat melalui Mendagri tidak memiliki
kewenangan dikarenakan diluar wilayah, harus diingat bahwa pembuatan regulasi hukum
masih terkait di dalam enam hal yang tidak diberikan kepada Aceh, terdiri dari kebijakan
fiskal dan moneter, agama, keamanan dan pertahanan, hukum, dan hubungan luar negeri.
Batasan Mendagri hanya telaahan produk hukum, lalu lakukan klarifikasi terhadap produk
qanun. Anehnya, jika tidak disetujui pemerintah pusat menyebabkan tersendatnya
implementasi QBL, padahal ada kesalahan azas pembuatan qanun. Pijakan dari telaahan
Mendagri pada keilmuan tata negara. Ketika pemerintah pusat mengesahkan bendera dan
lambang Provinsi Aceh, tidak menutup kemungkinan memicu provinsi di Indonesia meminta
bendera dan lambang yang berasal dari gerakan perlawanan terhadap pemerintah dijadikan
sebagai bendera identitas, seperti bintang kejora dan lainnya.

Persoalan kemudian, jika sikap dan tindakan lost control pemerintah pusat membiarkan saja,
manakala Provinsi Aceh tetap berkeras menggunakan bendera dan lambang yang masih
menuai kontroversi. Atas dasar logika demikian itulah besar peluang akan bertikai sesama
pihak yang menolak dan mendukung. Jika masih berlangsung tetapi tidak digubris, maka
dikeluarkan keputusan presiden untuk menolaknya. Dasar penolakannya, ketika sudah
berdampak konflik horizontal antar yang pro dan kontra. Kalau tetap diterima, maka akan
terkesan pemerintah pusat dikontrol oleh provinsi, padahal provinsi tunduk terhadap aturan
yang telah ditetapkan dan disusun pemerintah pusat melalui sistem hukum tata negara.

Kepentingan Politik

Pengesahan QBL menjelang pemilu 2014 secara rational choice melahirkan cara pandang
politik, bahwa QBL sebagai upaya memperkuat posisi tawar salah satu partai di mata
pemilih. Jualan isu akan mengatakan ”Kita sudah memperjuangkan identitas Aceh melalui
bendera dan lambang”. Menariknya lagi menjadi alat konsolidasi mengarahkan masyarakat
Aceh memilih salah satu partai. Ini pun akan masuk dalam desain marketing politik partai
politik yang telah mengesahkan QBL. Bagi partai lain yang tidak bisa mengklaim akan
merugi secara dukungan pemilih dari masyarakat Aceh di pemilu 2014.

Mengakhiri tulisan ini, penulis teringat perkataan teman pemikir politik terkenal yang
mengatakan, “Janganlah ketidakselesaian transisi dan transformasi pemikiran era konflik di
kedepankan, seharusnya menjunjung tinggi ketentuan dari sistem yang dibuat melalui aturan
hukum yang berlaku”. Mari raih kebersamaan dalam bingkai Aceh Baru melalui sifat peduli
atas keinginan dan kebutuhan suku minoritas di Aceh yang idealnya dimasukan dalam QBL.
Semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangsih informasi yang jelas terhadap polemik
QBL di Provinsi Aceh.

Anda mungkin juga menyukai