Anda di halaman 1dari 2

Granat Aceh Jilid II

Aryos Nivada
Mahasiswa Aceh Pascasarjana FISIP UGM

Belum surut suasana pasca peledakan granat di kantor tim sukses Seuramoe Irwandi Yusuf
dan Muhyan. Publik kembali dikejutkan dengan penggratan lagi di Wisma Lampriet Banda
Aceh selang beberapa hari dari penggranatan pertama. Muncul kegelisahan di pikiran ini apa
motif yang melatarbelakangi? Bagaimana modus terjadinya? Lalu siapa pelaku yang
melakukan itu? Bagaimana kondisi Aceh? Keempat pertanyaan itu menjadi panduan bagi
saya menulis. Tulisan ini bentuk memberikan informasi kepada masyarakat Aceh agar bisa
bersikap waspada dan tidak jatuh korban lagi. Kalau ada pemahaman, bahwa biarkan polisi
yang memberikan informasi. Saya berpikir berbeda, kalau polisi lambat memberikan
informasi kejadian maka kewaspadaan melemah dan korban berjatuhan.

Saya mulai dengan menganalisis motif, pelaku atau orang yang mendesain ini hanya ingin
menciptakan seolah-olah Aceh dalam kondisi yang tidak kondusif (instabilitas) pada saat
pilkada berlangsung. Tujuannya untuk bagaimana mengambil keuntungan dan meraih agar
kepentingan teraplikasi. Selain tujuannya membuat nasional dan internasional melirik Aceh
kembali. Lalu, adakah relasi kuat motif ini bermuara kepada pilkada Aceh? Bagi saya,
kejadian terjadi pada saat momentum pilkada kuat arusnya mengarah kesana. Motif kedua,
saya mentelaahnya pelaku ingin mengadu domba antara sesama pihak yang sedang
berpolemik (pihak ketiga). Motif ketiga, pelaku ingin menciptakan image kepada masyarakat
Aceh bahwa salah satu kandidat terintimidasi agar meraih dukungan politik, dimana pundi-
pundi suara mengarah kepada salah satu kandidat.

Mari sekarang membahas modus pelaku. Biasanya pelaku akan melakukan cool down
suasana, baru melancarkan kembali aksinya. Faktanya berbeda untuk kasus penggranatan di
Wisma Lampriet, dimana jarak antara kasus pertama dengan kasus kedua selang beberapa
hari. Anehnya lagi granat yang digunakan berstandar sama dari kasus penggranatan
sebelumnya. Ini menunjukan modus pelaku sudah memperhitungkan dan mendesain secara
matang. Selanjutnya masih memunculkan keanehan mengapa pelaku melakukan
penggranatan di wilayah yang berdekatan dengan kasus sebelumnya hanya beberapa meter
saja dari kantor Seuramoe Irwandi dan Muhyan (kandidat Gubernur Aceh)?.

Berbicara pelaku, saya memiliki beberapa hipotesis. Pelaku pertama yaitu orang yang kontra
atau pro kepada perpolitikan dan kandidat menjelang pemilihan pilkada. Pelaku kedua yakni
pihak yang bermain untuk memanfaatkan diatas pihak yang sedang berseteru. Kalau ada
pemikiran yang mengatakan pelakunya dari unsur Pemerintah Pusat, saya nilai tidak.
Mengapa, karena sangat rugi besar investasi perdamaian yang sudah dilakukan Pemerintah
Pusat terhadap Provinsi Aceh. Otomatis harus menjaganya apa pun kondisinya. Jadi cara
berpikir itu salah. Siapa pun pelakunya janganlah membuat cacat demokrasi di Aceh. Jadikan
demokrasi di Aceh sebagai baromenter bagi provinsi lainnya di Indonesia.

Selanjutnya membahas kondisi Aceh. Saya menilai kondisi Aceh masih stabil dalam hal
keamanannya. Tidak berpengaruh signifikan terhadap perekonomian, politik, dan sosial
masyarakat. Hanya menjadi bagian friksi dan dinamika dalam pilkada di Aceh. Kesiapan dari
aparat penegakan hukum dibantu Tentara Nasional Indonesia, hal ini membuktikan kesiapan
mereka melindungi jalannya pilkada Aceh.

1
Posisi pemikiran saya terhadap kejadian penggranatan. Bagi pribadi saya menilai kejadian
tersebut, menunjukan karakter kita belum bisa terlepas dari budaya lama yakni menggunakan
jalan kekerasan fisik dan non fisik, kriminalitas berbalut politik, dll. Terlihat pada pilkada
2006 dan pemilu 2009 cara ini selalu menjadi tontontan bagi masyarakat Aceh.

Saya pernah menulis di media online the globe journal (30/11/2011) berkaitan dengan
penggranatan juga. Saya mengatakan ada penerapan yang salah dalam proses transisi pasca
konflik sekian lama menuju demokrasi. Idealnya dalam proses transisi terlebih dahulu
melakukan reintegrasi cara berpikir dan bersikap. Karena tanpa dasar kita sudah terinfiltrasi
dari sebuah kondisi konflik yang cenderung menerapkan berpikir dan bersikap ala
militeristik.

Tidak menutup kemungkinan akan menjadi sebuah kewajaran tanpa merasa bersalah atas
tindakan yang dilakukan dalam ranah berdemokratisasi. Jangan-jangan tanpa sadar kita
terhegomoni atas kondisi konflik yang selalu mengedepankan dalam menyelesaikan masalah
maupun menunjukan ketidaksukaan melalui tindakan kekerasan dan intimidasi.

Untuk solusi, saya mengharapkan kepada aparat penegak hukum Polda Aceh harus serius
mengungkapkan kasus penggranat. Bila tidak citra polisi akan jelek di mata masyarakat
Aceh. Mustahil aparat tidak bisa menangkap dan mengidentifikasikan pelaku, sedangkan
pelaku teroris saja dengan mudah di tangkap. Masa urusan dibawah kasus teroris tidak bisa
diungkap. Apalagi polisi memiliki instrumen yang memadai meliputi intelijennya, alat
komunikasi, alat utama sistem keamanan, dll. Keseluruhan itu bisa membongkar siapa pelaku
penggranatan sebanyak 2 kali terjadi di Aceh. Aparat penegak hukum harus bertugas
memberikan rasa aman kepada masyarakat Aceh, sehingga kehadiran penegak hukum
dirasakan oleh masyarakat Aceh

Di lain pihak diharapkan peran masyarakat sipil, tanpa terkecuali masyarakat membantu
kerja-kerja kepolisian di Aceh dalam bentuk menjaga keamanan dilingkungan sekitar dan
melakukan pengawasan disertai monitoring yang intensif. Tujuannya menutup ruang gerak
pelaku untuk berbuat dalam modus yang lain lagi.

Mengakhir tulisan ini, saya ingin menyampaikan mari kita semua peran aktif menjaga damai
yang sudah terwujud di Aceh. Selain itu saya berharap kita semua menjadi agen of peace
(generasi menjaga damai). Karena damai adalah harta paling berharga untuk keberlangsungan
hidup masyarakat Aceh dan membangun peradaban pembangunan yang maju. Tunjukan
bahwa Aceh adalah provinsi yang menjunjung tinggi nilai-nilai berdemokrasi yang beretika.
Dengan begitu Aceh menjadi rujukan dan laboratorium bagi siapa pun untuk di contoh dari
hal banyaknya positif. Penegasan saya jangan jadikan korbankan rakyat di atas kepentingan
kelompok. Tapi berikan rakyat hidup tenang dan damai, sehingga aktivitas kehidupannya
dalam meraih impian dan cita-cita tidak sirna.

Anda mungkin juga menyukai