Anda di halaman 1dari 3

Cendikiawan Dan Kekuasaan

(Refleksi Pemikiran Daniel Dhakidae)

Aryos Nivada

Cendikiawan dan kekuasaan dua kata yang memiliki makna, dan ruang berbeda. Tetapi keduanya
saling keterkaitan dalam realitas kehidupan. Relasinya, ketika seorang memiliki kecerdasan intelektual
maka kecederungan penggunaannya akan selalu bermuara pada kekuasaan. Walaupun tidak bisa
generalisir semua intelektual mengarah pemikirannya hanya kekuasaan semata. Masih ada intelektual
yang berkontribusi memberikan masukan terhadap masalah Pemerintahan Indonesia. Dasarnya seseorang
semakin pintar peluang menjadi hipokrit semakin besar. Hipokrit disini di posisikan memperoleh
keinginan kekuasaan atau politik. Pemikiran tersebut, sesuai dengan Aristoteles mengatakan manusia
sebagai makluk politik. Belum lagi mereka yang lebih secara intelektual akan berambisi memperoleh
kedudukan (jabatan) dan akses – akses ekonomi.
Kekuasaan bila tidak dibatasi dalam sebuah legitimasi, maka potensi melakukan tindakan
Korupsi, Kolusi, Nepotisme meminjam istilah Amien Rais (orang yang mempopulerkan di tahun 1998).
Tentunya dibutuhkan peran – peran cendekiawan organik dalam memberikan solusi, sekaligus menjadi
aktor perubahan di sebuah kondisi sosial masyarakat.
Untuk memahami secara holistik cendekiawan dan kekuasaan. Saya memutuskan melakukan
review dan kajian mendalam terhadap pemikiran Daniel Dhakiadae dalam bukunya Cendikiawan dan
Kekuasaan (Dalam Negara Orde Baru). Apa yang menarik dari isi bukunya? Siapa saja dikatakan
cendikiawan? Apa saja jenis – jenis cendikiawan, lalu relevansinya dengan kondisi kekinian paska orde
baru? Faktor apa saja yang membuat perubahan tersebut?
Buku Daniel Dhakidae memberi ilustrasi yang menarik bagaimana pertarungan diskursif
cendekiawan terjadi di masa Orde Baru. Daniel telah menyadarkan ruang gerak intelektual terbatasi di era
Orde baru. Kondisi itu membuat gejolak gerakan pemikiran yang membuat keruntuhannya dinasti Orde
Baru. Ini tidak terlepas dari usaha-usaha cendekiawan di dalam struktur Orde Baru itu sendiri yang secara
terus menerus membangun perlawanan diskursif. Tidak dinafikan masa Orde Baru terbagi menjadi dua
golongan cendikiawan berdasarkan bukunya Daniel, pertama berpihak terhadap rezim penguasa yang
melakukan marginalisasi hak rakyat dan kedua cendikiawan yang melakukan gerakan perubahan melalui
pemikiran serta advokasi, dimana menentang ketidakadilan.
Sebelum terlalu jauh, langkah awalnya perlu dilakukan kesamaan pemahaman terhadap
cendikiawan dan kekuasaan. Setelah selesai, barulah melangkah membedah keduanya dalam kerangka
sebuah era Orde Baru. Dari situlah, maka bisa diketahui garis pemisahan antara seorang cendikiawan
dengan yang bukan cendikiawan. Serta kekuasaan dalam relasi dengan kaum cendikiawan. Di bukunya
Daniel Dhakidae memberikan pemahaman itu, walaupun dirinya memberikan ilustrasi pada sebuah film
serial yang di populerkan melalui tayangan sinetron Si Doel Anak Sekolah. Dari sinetron Daniel
Dhakiadae mencoba memberikan penjelasan akan pemahaman cendekiawan. Menurutnya, Cendikiawan
adalah orang yang telah menempuh pendidikan tertentu dan mengarah pada keahlian khusus. Pemberian
label “intelektual”, atau “cendekiawan”, sebutan itu hanya diberikan oleh orang lain untuk orang lain lagi,
dan bukan untuk penamanan diri sendiri. Bahkan ada pihak yang menetapkan criteria seorang
cendekiawan begitu tinggi, hampir – hampir absolut. Dari situlah Daniel mengumpamakan cendikiawan
sebagai Benda-isme, sebegitu tingginya sehingga hanya ada dalam khayalan. Dhakidae selalu mencoba
menghindari diskursus cendikiawan sebagai sebagai status sosial statis (permanen). Tesis utama yang
hendak dibangun dari pemikiran Daniel ialah, bahwa cendikiawan merupakan variabel yang terikat oleh
negara, kapital, dan kebudayaan.
Dasar pemikiran dari Daniel tidak terlepas dari pemikiran Antonio Gramsci yang membedakan
tipelogi intelektual. Dari pemikirannya terbagi menjadi dua tipe, dimana tipe pertama intelektual
tradisional merupakan profesi yang harus dibayar untuk pekerjaan otak/pemikiran mereka. Kegiatan
berpikir mereka adalah mengembangkan idelogi dan praxis yang memperkokoh penguasaan negera dan
modal terhadap persetujuan (consent), yang disebut”hegemoni”. Sebaliknya intelektual organik adalah
Page | 1
mereka yang secara organik muncul dari setiap kelas. Tugas dari intelektual organik adalah
mengembangkan “counter hegemony”, anti tesis dari hegemoni intelektual tradisional (James Joll 1977 :
91 – 93; Anne Showstack Sassoon 1987 : 134 : 146).
Sedikit perbeda pemikiran Daniel dengan Gramci dibukunya “Demokrasi dan Kekuasaan”
nampak jelas. Daniel menilai pemikiran Gramci hanya mempertahankan jenis cendikiawan/intelektual
partisan, tergantung pada suatu konteks dan konteks itu tidak lain dari konteks penindasan di dalam suatu
sistem sosial tertentu. Karena itu bentuk cendikiawan/intelektual beraliran kiri pada masa orde baru. Era
itu juga telah memberikan daya hidup baru bagi kalangan cendikiawan muda. Daniel juga mengaitkan
dengan pemikiran Alvin Gouldner, dimana pemikirannya disebut neo – hegelianisme kiri pengetahuan
dan sistem pengetahuan penting dalam membentuk akibat – akibat sosial, namun, sama sekali tidak
melihatnya sebagai esensi abadi tanpa bentuk kongkret.
Beralih memahami kekuasaan dari pemikiran Daniel Dhakidae. Dirinya mengibaratkan sebuah
ijazah yang diperoleh dari kaum cendikiawan merupakan produk simbolik yang diberikan dari institusi
pendidikan yang berkuasa mengeluarkan dan menetapkan simbolik ke ilmuan tertentu. Pengakuan dari
simbol itu dijadikan sumber kapital yang dimainkan atau dipergunakan oleh pihak yang berkuasa yaitu
Pemerintah melalui institusi pendidikan.
Sekurang – kurangnya dua kemungkinan bisa dipakai untuk menilai kekuasaan itu. Pertama,
kekuasaan dilihat sebagai sesuatu yang barang jadi sebagai suatu subtansi, dan kedua kekuasaan dinilai
sebagai relasi, suatu pola hubungan dengan semua konsekuensinya. Michel Foucault bertentangan dengan
pemikiran Daniel. Kekuasaan berarti relasi, sesuatu yang kurang lebih terorganisasikan, hirarkis,
maksudnya sekumpulan relasi yang dikoordinasikan. Dalam arti itu kekuasaan sebagai relasi, maka
kekuasaan berada dimana pun di sekujur tubuh sosial.
Merujuk dari pendekatan simbolik, kekuasaan bisa diperoleh dari modal simbolik. Modal
simbolik bisa di akumulasikan dan di perluas melalui strategi investasi berbentuk konversi pendidikan.
Karena kuasa sangat erat berhubungan dengan pengetahuan. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan
sebaliknya, juga tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Sehingga, kekuasaan tidak bersifat subyektif
melainkan produktif. Dalam masyarakat, dimana kaum buta huruf menjadi bagian paling besar, kegiatan
tulis menulis memiliki kemampuan luar biasa untuk menciptakan kekuasaan, baik dalam karakter yang
berbeda-beda. Kemampuan membaca dan tulis – menulis di kelas penguasa adalah simbol kekuasaan
terutama, karena disana hidup anggaran akan adanya kemampuan untuk memperolehnya.
Mengkaitkan dengan masa Orde Baru. Daniel menjelaskan, kekuasaan ternyata juga menjadi
otoritas kebenaran terhadap ilmu pengetahuan. Meskipun Daniel menggarisbawahi dunia
kecendekiawanan semasa Orde Baru yang sebagian tertaklukkan oleh rezim totalitarianisme, namun pada
dirinya kecendekiawanan adalah sosok teramat penting bagi suatu perubahan sosial, politik dan
kebudayaan itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui dalam strata masyarakat, yang disebut sebagai
kelompok cendekiawan setidaknya berada diantara the ruling class (kelas penguasa) dengan kelas yang
dikuasai. Padahal faktanya mencari sosok yang benar-benar berada dalam posisi ini selalu menyulitkan.
Apalagi secara sosiologis masyarakat seperti sekarang tidak lagi dibatasi oleh strata-strata yang begitu
ketat karena satu kelompok lebih menguasai informasi tertentu dibandingkan dengan kelompok lain.
information produced by specialists (including scientific knowledge) can no longer be wholly confined to
spesific groups, but becomes routinely interpreted and acted on by lay individuals in the course of their
everyday actions (Giddens, 1994; hal 7).
Pada era politik Orde Baru, peran dan posisi cendikiawan atau kaum intelektual organik banyak
diletakan dalam otoritas-otoritas fungsi yang sudah mapan. Perannya hampir sama dengan kaum birokrat
dan administrator Negara. Ruang perannya sangat sempit karena dibatasi oleh norma dan aturan yang
sudah mengikat. Era Orde baru adalah bukti sejarah amat kongkrit ketika intelektual banyak sekali
dipasung dan tenggelam dalam nalar rezim kekuasaan. Spirit jaman dan seluruh konteks historisnya
adalah ruang yang membingkai seluruh rumusan apapun tentang intelektual itu menjadi. Bahkan
parahnya lagi intelektual di masa Orde Baru di dilahirkan untuk kepentingan penguasa, sedangkan
intelektual penentang di hilangkan/dipinggirkan.

Page | 2
Intelektual dan kekuasaan juga melahirkan formasi kelas sosial, tidak hanya di masa orde baru
tetapi sejak terbentuknya negera ini. Dalam kerangka relasi dominasi kekuasaan yang asimetris, maka
biasanya akan menghadirkan dua karakter intelektual yang berhadapan. Setiap rezim kekuasaan yang
dominatif membutuhkan para intelektual yang mampu mengawal dan memperlancar berjalannya
kekuasaan. Sebaliknya, sebuah kelas sosial yang terdomionatif juga mengalami hal yang sama meskipun
berdiri dalam garis yang berseberangan.
Berdasarkan pijakan dari pemikiran Daniel. Lalu bagaimana realitas cendikiawan di Aceh? masih
merasa sebagai orang yang spesial yang haru dilayani, bukan bagaimana memposisikan dirinya sebagai
pelayan bagi masyarakat akar rumput (grass root) yang termarginalkan atas sebuah rezim kekuasaan.
Contoh peran apa yang harus dilakukan kaum cendikiawan, ketika Pemerintah saat ini tidak memberikan
dampak signifikan atas sebuah pembangunan. Anehnya, ketika kaum cendikiawan masuk ke dalam sistem
malahan menjadi aktor baru perampas hak – hak dari masyarakat Aceh sendiri. Awalnya sebagai dewa
penolong, menjadi vampire pengisap hak masyarakat dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat.
Buntut – buntutnya lahirnya sebuah proyek – proyek yang belum tentu menjadi kebutuhan dasar maupun
kebutuhan prioritas dari masyarakat itu sendiri. Tidak salah bila dilabelkan sebagai pelacur intelektual
atau intelektual pesanan oleh masyarakat. Karena kelemahan institusi pendidikan di Aceh yang tidak
benar-benar membangun paradigma membela terhadap kaum tertindas, bukan malahan mengajarkan
membela terhadap siapa yang membayar. Apalagi bila menjadi benalu dari uang rakyat yang di
perolehnya.
Yang paling menonjol (tampak) gejala umum dari tabiat cendikiawan di Aceh selalu
memanfaatkan peluang kekuasaan. Contohnya pada masa Daerah Operasi Militer, Darurat Militer,
Darurat Sipil. Dari ketiga operasi yang telah di berlaku pada era kelam Aceh itu, cendikiawan yang
sebagian besar mendukung penerapan operasi itu, bahkan menikmati kehidupan diatas operasi tersebut,
hingga membuat kemampanan (kesejahteraan). Lalu mengapa saat ini para cendikiawan membisu
terhadap ribuan orang yang mati tanpa penjelasan yang pasti dan tanpa pengadilan. Sedangkan ribuan
anak yatim tanpa santuan, tidak bersekolah, perempuan menjadi janda akibat penerapan operasi yang
belum tersentuh keseluruhan untuk diberikan rehabilitasi dan hak pengungkapan kebenaran dan keadilan.
Terbesit tanda tanya kemanakah pertanggungjawaban dari para cendikiawan yang mendukung operasi
tersebut? Apakah menjadi mimpi tak berkesudaan bagi si korban, hingga menenggelamkan harapan.
Jadi Poin terakhir dari tulisan ini generasi cendikiawan/intelektual di Aceh harus mampu menjadi
pijar dan pelaku perubahan paska konflik dan bencana tsunami dengan memberikan kontribusi pemikiran
menuju Aceh baru yang gemilang peradaban, sejahterah, dan berkeadilan. Tentunya kesemua itu bagi
kemashalatan orang banyak. Jangan dilupakan adalah harus memperhatikan aspek kemanusian. Dengan
katalain lebih investigatif dan etnografis posisi-posisi masyarakat yang terpinggirkan untuk meninggikan
derajat mereka lebih manusiawi. Disisi lain cendikiawan/intelektual di Aceh harus juga mampu melampui
batas-batas primodial sempit apapun adalah kewajiban dasar dari jenis intelektual profetik masa depan
yang dibutuhkan. Namun di pihak lain dituntut peran cendikiawan/intelektual yaitu peka konteks
(memahami masalah), peka sistem (mampu membuat perubahan), dan bebas situasi intervensi dari orang
lain. Kata kunci yang ingin saya katakan, jika ada yang mengaku dirinya cendikiawan tetapi menjadi
bagian dari kekuasaan yang zalim maka dirinya bukan termasuk golongan cendikiawan. Penulis adalah
Pengamat Politik dan Keamanan

Page | 3

Anda mungkin juga menyukai