Anda di halaman 1dari 16

DEKONSTRUKSI KONSEP KEPAHLAWANAN OLEH JK

ROWLING DALAM KARYA DONGENGNYA BERJUDUL


THE WARLOCK’S HAIRY HEART

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Pasca-
Strukturalisme Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2012-2013

oleh:

Anandayu Suri Ardini (12/338586/PSA/7239)

PROGRAM PASCA SARAJANA ILMU SASTRA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
Dekonstruksi Konsep Kepahlawanan oleh JK Rowling dalam Karya
Dongengnya Berjudul The Warlock’s Hairy Heart

LATAR BELAKANG

Konsep yang diketahui oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan


adalah hasil ciptaan budaya. Artinya, tidak banyak lagi hal natural atau alami dalam
kehidupan masyarakat di dunia. Segala sesuatunya ditentukan atas dasar kesepakatan
atau konvensi, sementara objek yang disepakati tersebut dipilih karena mengandung
dominasi kebenaran atas objek-objek lain yang menjadi pesaingnya.

Keberadaan objek atau subjek yang lebih dominan dibandingkan dengan


objek lain yang menjadi lawannya tersebut disebabkan karena posisi yang dominan
telah terlebih dahulu mendapatkan pengakuan dari masyarakat sebagai sesuatu yang
dianggap benar (logosentrisme). Perbedaan tersebut menyebabkan adanya seuatu
oposisi yang bermula pada oposisi biner hingga akhirnya berakhir pada sebuah sistem
oposisi hierarki.

Oposisi-oposisi hierarki yang ada dan berkembang dalam masyarakat hingga


saat ini tak lain dan tak bukan adalah hasil warisan struktur yang telah berdiri selama
ratusan tahun. Oposisi-oposisi tersebut misalnya adalah mengenai apa yang baik dan
buruk, yang pahlawan dan yang pecundang atau yang cantik dan yang jelek.
Konstruksi struktur masyarakat selama bertahun-tahun membentuk pemahaman
bahwa yang baik, yang pahlawan dan yang cantai tersebut adalah sebuah kebenaran
yang sifatnya lebih tinggi atau lebih dihargai dibandingkan unsur oposisinya.

Pemahaman semacam itu adalah pemahaman para strukturalis, yang pada


kenyataannya telah mendarah daging dalam benak masyarakat. Segala sesuatu
dipandang pasti dan memiliki makna di dalamnya. Cara pandang seperti ini
diwariskan oleh Ferdinand de Saussure yang menyatakan bahwa suatu citra bahasa
atau penanda pasti memiliki sebuah petanda yang hanya miliknya sendiri. Semuanya
serba pasti dan terstruktur, hingga berujung pada kebutuhan untuk membuat oposisi-
oposisi biner dalam kehidupan manusia dengan tujuan agar tercipta struktur mengenai
mana yang lebih penting atau tinggi dibandingkan yang lain.

Namun kemudian seiring dengan berjalannya waktu, muncul paham baru


yang sama sekali menentang paham tua strukturalisme. Pemikiran ini disebut pasca-
strukturalisme. Pasca-strukturalisme menganggap bahwa apa yang dikatakan
strukturalsime mengenai makna yang pasti itu sebenarnya tidak ada. Hubungan antara
penanda dan petanda tidaklah pasti. Sebaliknya, yang ada hanyalah jalinan penanda-
penanda yang tak terputus tanpa mengacup pada suatu petanda tertentu.
Pascastrukturalisme hadir dengan membawa konsep yang lebih cair dan penuh
permainan penanda.

Salah satu pascastrukturalis yang paling terkenal karena hadir dengan


membawa konsep yang cukup ekstrim adalah Derrida. Derrida hadir membawa
konsep baru yang tidak hanya mementahkan makna penanda, melainkan juga
merusaknya. Konsep ini bernama dekonstruksi. Dekonstruksi memandang sebuah
meja tidak lagi memiliki makna yang dulunya secara strukturalis dimilikinya. Lebih
jauh lagi, dekonstruksi ini juga bekerja untuk merusak konstruksi oposisi hierarki
yang telah tertanam dalam masyarakat. Cara kerjanya adalah dengan membalkik
sebuah oposisi biner yang telah ada, kemudian merusak makna keduanya.
Menjadikan apa yang dulunya dianggap lebih rendah menjadi lebih tinggi, kemudian
menghancurkannya hingga akhirnya tidak ada lagi oposisi biner yang tersisa, bahkan
tidak juga tercipta suatu oposisi baru. Makna adalah sesuatu yang cair dan
mengambang.

Banyak hal dapat didekonstruksi menurut Derrida. Mulai dari konsep


kecantikan hingga bahkan konsep-konsep keagamaan. Dekonstruksi ini dilakukan
dengan alasan bahwa pascastrukturalis atau sang pendekonstruksi merasa jenuh dan
merasa makna yang dihadirkan oleh oposisi biner tersebut bukanlah makna yang pasti
melainkan sesuatu yang cair dan tidak “saklek”. Banyak penulis yang telah
menuangkan metode ini di dalam karya sastra, begitupun dengan para peneliti yang
mendekonstruksi karya sastra yang mengandung suatu konsep oposisi hierarki
tertentu. Namun, diantara para peneliti dan pengarang yang melakukannya, sangat
sedikit yang berorientasi dalam dekonstruksi terhadap konsep-konsep oposisi dalam
sastra anak.

Salah satu diantara yang sedikit itu adalah JK. Rowling. Ia adalah seorang
penulis buku anak fenomenal yang telah menghasilkan milyaran dolar dengan
menulis serial Harry Potter. Karyanya dikenal masyarakat terutama anak-anak di
seluruh penjuru dunia. Dengan Harry Potter sebagai focus cerita, ia menuliskan buku-
buku sekunder yang mendampingi eksistensi Harry Potter. Buku-buku tersebut
diterbitkan setelah seolah dicitrakan atau diceritakan di dalam cerita utama Harry
Potter. Salah satu buku sekunder atau pendamping tersebut adalah sebuah kumpulan
dongeng dari dunia fantasi berjudul The Tales of Beedle the Bard.

Di dalam buku ini terdapat lima cerita dongeng anak yang berisikan konsep-
konsep yang tidak umum terkandung dalam cerita anak. Salah satu yang paling
menonjol, dana akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini adalah The Warlock’s
Hairy Heart. Cerita ini menarik karena di dalamnya terkanung konsep-konsep baru
hasil dekonstruksi Rowling terhadap konsep yang lama dan konvensional di mata
masyarakat dan pembaca anak-anak.

Dalam makalah ini, penulis akan menganalisis dekonstruksi yang telah


dilakukan oleh Rowling terhadap konsep-konsep tertentu sehinga melahirkan cerita
berjudul The Warlock’s Hairy Heart tersebut. Selain itu, penulis juga akan
menyampaikan beberapa asumsi mengenai alasan Rowling melakukan dekonstruksi
tersebut dan menuangkannya dalam cerita anak-anak yang notabene adalah karya
sastra yang tersegmen untuk pembaca berusia muda. Dalam melakukan analisis
tersebut, penulis menggunakan kacamata metode dekonstruksi Derrida sehingga akan
dicapai kesimpulan yang sesuai dengan sudut pandang pascastrukturalis.
PEMBAHASAN

The Warlock’s Hairy Heart berkisah mengenai seorang penyihir pria yang
memiliki segalanya untuk dapat disebut sebagai seorang lelaki yang beruntung, yaitu
kecerdasan, kekayaan, kekuasaan dan keluarga. Penyihir tersebut layaknya seorang
ksatria yang sanggup menghadapi tantangan-tantangan berat dan didambakan oleh
para wanita. Namun The Warlock atau Sang Ksatria memilih takdirnya sendiri. Ia
cerdas namun berpikiran picik. Menurutnya kekuasaan dan kekuatan yang dimiliknya
kini adalah mutlak untuk selamanya, maka tak ada yang boleh merusaknya. Dan satu
hal yang menurutnya paling membahayakan kekuatan dan kekuasaannya adalah
emosi dan perasaan manusiawi. Maka Sang Ksatria memilih untuk membelah
dadanya sendiri, mengambil jantungnya dan menguncinya di dalam sebuah peti
selama puluhan tahun. Dengan demikian, ia tidak akan dapat merasakan emosi
apapun: cinta, penyelasan, belas kasih dan empati.

Suatu hari ketika Sang Ksatria memutuskan menikah—semi kelangsungan


citranya sebagai kaum bangsawan—dengan seorang penyihir wanita cantik dan kaya,
ia memutuskan utuk membuka peti itu dan menunjukkan isinya pada sang tunangan.
Setelah lima puluh tahun, jantungnya sudah tidak menyerupai jantung normal pada
umumnya: jantung itu hitam, berdetak tidak beraturan dan ditumbuhi rambut lebat
mengerikan. Untuk meyakinkan sang tunangan, Sang ksatria kemudian membelah
dadanya lagi kemudian memasukkan jantung itu kembali ke tempatnya. Namun
jantung yang telah lama tak bertuan itu telah berubah menjadi monster yang
menguasai emosi Sang Ksatria. Sang Ksatria pun membunuh tunangannya dibawah
kontrol jantungnya sendiri. Karena syok dan ketakutan ia pun memutuskan
membuang jantung itu selamanya. Namun, untuk kali ini Sang Ksatria tewas di
tangannya sendiri. Karena, untuk menghentikan kebrutalan si Jantung, ia harus
mengeluarkannya kembali kemudian menikamnya hingga berhenti berdetak, artinya,
menghabisi kehidupannya sendiri.
Dari cerita tersebut, yang menjadi sentral adalah tokoh pahlawan yaitu Sang
ksatra. Tokoh pahlawan secara konvensional dan terstruktur telah muncul dalam
hampir semua dongeng anak-anak dari seluruh dunia, baik itu Cinderella dari Eropa,
Mulan dari China, ataupun Bawang Merah Bawang Putih dari Indonesia. Tokoh
pahlawan mewakili sebuah konsep mengenai hero itu sendiri yaitu suatu simbol
kekuatan, kekuasaan dan pertolongan. Konsep mengenai kepahlawanan ini melekat
dan terus berkembang selama berabad abad di dalam folklor dan cerita-cerita anak.

Dalam konsep kepahlawanan, terdapat sebuah oposisi biner antara pemenang


dan pecundang. Oposisi ini terjadi karena suatu formula yang selalu muncul dalam
sebagian besar dongeng bahwa pahlawan selalu beroposisi dengan satu atau
sekelompok musuh. Musuh-musuh tersebut pada akhirnya hampir selalu dapat
dikahlahkan sehingga membuat mereka menjadi pecundang. Pahlawan selalu lebih
unggul dibandingkan dengan pecundang, maka mulai terbentuklah sebuah sistem
oposisi hierarki, yang menempatkan pahlawan pada posisi pertama, yaitu pemenang :
pecundang.

Selanjutnya, konsep kepahlawanan menghadirkan sebuah ide mengenai


harapan manusia akan satu sosok yang dapat menjadi panutan. Dengan kata lain,
sosok tersebut adalah sosok yang ideal, artinya ia memenuhi kriteria-krteria dan
standar masyarakat tertentu. Seperti misalnya sosok pahlawan James Bond yang
memenuhi standar masyarakat Inggris mengenai sosok ideal idaman semua lelaki,
yaitu kuat, tampan, cerdas dan memiliki kekasih yang cantik. Maka kemudian, sosok
ideal itulah yang akhirnya memiliki superioritas dalam benak masyarakat. Akibatnya,
sosok lain yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut tidak mendapatkan pengakuan
sebagai yang ideal sehingga termarginalkan. Misalnya saja, sosok seorang pemabuk
di jalanan sangat bertentangan dengan citra James Bond sebagai yang ideal. Maka
terciptalah sebuah oposisi biner antara yang ideal dan yang marjinal.

Kemudian, lebih jauh lagi, dalam konsep kepahlawanan tersebut sebenarnya


terkandung sebuah dikotomi moral mengenai mana yang baik dan mana yang buruk.
Dikotomi tersebut diwakili oleh keberadaan sang pahlawan sebagai pemenang dan
musuh sebagai pecundang. Pandangan dan kepercayaan masyarakat mengatakan
bahwa yang baiklah yang selalu akan menang melawan yang jahat. Artinya, dalam
benak masyarakat telah terbentuk sebuah struktur yang berisikan oposisi hierarki
mengenai baik : buruk. Cara pandang seperti itu diterapkan dan diinsersi dalam karya
sastra, terutama karya sastra untuk anak-anak. Sastra anak, selain sebagai hiburan
bagi anak-anak, dianggap sebagai media yang tepat untuk pembelajaran konsep
mengenai dikotomi baik dan buruk tersebut.

Dalam dongeng The Warlock’s Hairy Heart, semua oposisi biner dalam
konsep kepahlawanan yang secara general terdapat dalam dongeng anak-anak
didekonstruksi oleh penulisnya sendiri, yaitu JK. Rowling. Rowling mendekonstruksi
konsep kepahlawanan yang melekat kuat dalam benak masyarakat dan pembaca
cerita anak-anak dengan menciptakan tokoh Warlock atau Sang Ksatria.

Sang Ksatria digambarkan memiliki karakter dan cirri-ciri yang sesuai dengan
konsep pahlawan secara konvensional, yaitu cerdas, kaya dan memiliki kekuatan
tertentu (sihir). Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut ini, There was once a
handsome, rich and talented young warlock,… (Rowling, 2007: 45) Namun
perusakan konsep kepahlawanan dalam cerita ini mulai dilakukan bahkan sejak baris
pertama cerita, yang merupakan lanjutan dari kutipan di atas,

who observed that his friends grew foolish when they fell in love, gambolling
and preening, losing their appetites and their dignity. The young warlock
resolved never to fall prey to such weakness, and employed Dark Arts to
ensure his immunity. Unaware of his secret, the warlock's family laughed to
see him so aloof and cold.(Rowling, 2007: 45)
Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Rowling mendekonstruksi konsep
kepahlawanan dengan memasukkan sebuah pertentangan akan baik dan buruk ke
dalam sosok pahlawan itu sendiri. Sangksatria yang digambarkan memiliki sifat ideal
ternyata memiliki kecenderungan seorang musuh di dalam dirinya sendiri, yaitu
kecenderungan untuk merusak. Dalam hal ini, yang dirusak adalah kehidupannya
sendiri. sosok pahlawan dalam dongeng ini bersifat ambivalen, artinya ia memiliki
kepribadian yang dapat dijadikannya modal untuk menjadi pemenang, namun jati
dirinya yang sebenarnya adalah ia yang dingin dan memilih untuk mematikan emosi
dan perasaannya. Maka, dualism atau dikotomi antara baik dan buruk oleh Rowling
dibangun di dalam diri si paahlawan itu sendiri.

Konsep baik terwujud dalam identitas Sang Ksatria yang merupakan lelaki
terpeklajar dan cerdads, sementara konsep buruk diwujudkan dalam perilakunya yang
memilih untuk terlibat dalam sihir hitam untuk memematikan emosinya. Dari sini,
Rowling melakukan dekonstruksi lebih lanjut, yaitu menciptakan kemenangan semu
bagi Sang Pahlawan. Jika secara konvensional konsep menang atau kalah dalam
dongeng anak-anak digambarkan jelas, dalam cerita ini konsep-konsep tersebut
dibuat ambigu. Pilihan Sang Pahlawan untuk berkomitmen pada ilmu hitam, yang
biasanya identik dengan musuh atau penjahat dalam cerita, membuatnya tak
terkalahkan pada awalnya. Sang ksatria menjadi focus akan hidupnya, ia tidak
mepedulikan hal lain selain kekuatan dan kejayaannya. Kematian orang tua dan
keluarganya tidak mengganggu emosinya sama sekali, dan ia sama sekali tidak harus
meluangkan waktu untuk jatuh cinta pada seorang wanita pun. Hal ini dapat diamati
pada beberapa bagian cerita seperti kutipan berikut ini:

And once again he congratulated himself upon the wisdom of his early choice.
In due course, the warlock's aged parents died. Their son did not mourn them;
on the contrary, he considered himself blessed by their demise. Now he
reigned alone in their castle. Having transferred his greatest treasure to the
deepest dungeon, he gave himself over to a life of ease and plenty, his comfort
the only aim of his many servants. The warlock was sure that he must be an
object of immense envy to all who beheld his splendid and untroubled
solitude. (Rowling, 2007:47)
Sang Ksatria beanggapan bahwaapa yang ia lakukan telah berhasil dan
membawanya pada kejayaan, yaitu mendapatkan kekayaan dari orang tuanya yang
telah meninggal. Rowling melakukan dekonstruksi selanjutnya dengan membuat
kemenangan yang ambigu tersebut tidak dipandang sebagai keberhasilan yang layak
mendapatkan pujian dan patut dicontoh, layaknya keberhasilan pahlawan dalam
dongeng dan cerita kepahlawanan konvensional. Diceritakan bahwa orang-orang
memandang sebelah mata akan keberhasilan yang diraih oleh Sang Ksatria.
Pandangan sebelah mata tersebut bahkan datang dari pelayannya sendiri. Pelayan,
jika dalam konsep kepahlawanan yang strukturalis, posisinya berseberangan dengan
sosok ideal seorang pahlawan. Pelayan adalah orang marginal yang sama sekali tidak
memenuhi kriteria masyarakat akan sosok idaman. Namun dalam cerita ini,
kedudukan pelayan vs tuan atau pelayan vs pahlawan didekonstruksi sehingga posisi
tuan atau pahlawan tidak lagi lebih otoriter dibandingkan pelayan. Pelayan pun
mampu menyampaikan suaranya akan apa yang ia curigai dari kesuksesan tuannya.
Hal ini dapat diamati dalam kelanjutan dari kutipan sebelumnya, yaitu sebagai
berikut:

Fierce were his anger and chagrin, therefore, when he overheard two of his
lackeys discussing their master one day. The first servant expressed pity for
the warlock who, with all his wealth and power, was yet beloved by nobody.
But his companion jeered, asking why a man with so much gold and a palatial
castle to his name had been unable to attract a wife. Their words dealt
dreadful blows to the listening warlock's pride. (Rowling, 2007: 47)
Sang Ksatria merasa eksistensinya dipertanyakan dan dipergunjingkan oleh
pelayannya sendiri. Rowling menghadirkan pandangan baru yaitu bahwa munculnya
konflik dalam kehidupan tokoh pahlawan tidak lagi hanya dimulai dari keberadaan
musuh yang merupakan oposisinya, namun bahkan oleh tokoh marginal seperti
pelayan atau budak. Sindiran dan pandangan sinis tersebut mendorong harga diri
Sang Ksatria hingga akhirnya ia memutuskan untuk mencari pendamping. Proses ini
pada akhirnya menutunnya pada sebuah kekalahan mutlak sebagai akibat dari
perbuatan yang dilakukannya di awal cerita.

Seperti yang telah dituliskan dalam synopsis pada awal pembahasan ini,
pertemuan Sang Ksatria dengan calon istrinya menuntunnya untuk mengungkap
sebuah kenyataan bahwa apa yang dahulu pernah menjadi bagian dari dirinya, kini
justru berbalik menyerangnya. Bagian itu adalah jantung Sang Ksatria yang telah
disimpan selama setengah abad di dalam sebuah peti. Pada kutipan:
The touch of her soft white arms, the sound of her breath in his ear, the scent
of her heavy gold hair: all pierced the newly awakened heart like spears. But
it had grown strange during its long exile, blind and savage in the darkness to
which it had been condemned, and its appetites had grown powerful and
perverse. (Rowling, 2007: 52)

diceritakan bahwa setelah dipasangkan kembali pada tubuh Sang Ksatria,


jantung itu bereaksi sebagai sesuatu yang sama sekali asing dan liar. Jantung itu tidak
lagi dapat mengenali tubuh tuannya yang dahulu pernah memilikinya. Ia bereaksi,
mengalami personifikasi, sehingga seolah menjadi individu baru yang kejam, yang
hidup di dalam tubuh Sang Ksatria. Kemudian atas dorongan jantungnya sendiri,
Sang Ksatria membunuh kekasih dan dirinya sendiri, seperti digambarkan dalam
kutipan berikut:

The maiden lay dead upon the floor, her breast cut open, and beside her
crouched the mad warlock, holding in one bloody hand a great, smooth,
shining scarlet heart, which he licked and stroked, vowing to exchange it for
his own. In his other hand, he held his wand, trying to coax from his own
chest the shrivelled, hairy heart. But the hairy heart was stronger than he
was, and refused to relinquish its hold upon his senses or to return to the
coffin in which it had been locked for so long.
Before the horror-struck eyes of his guests, the warlock cast aside his wand,
and seized a silver dagger. Vowing never to be mastered by his own heart, he
hacked it from his chest. For one moment, the warlock knelt triumphant, with
a heart clutched in each hand; then he fell across the maiden's body, and
died. (Rowling, 2007:53-54)

Pembunuhan yang dilakukannya terhadap sang kekasih tak lain adalah sebuah
wujud kekalahan atas pertempuran yang dilakukannya dengan jantungnya. Sementara
bunuh diri yang dilakukannya adalah sebuah upaya untuk dapat memenangkan
pertempuran tersebut, meskipun kemenangan tersebut semu karena berujung pada
kematian yang menyedihkan.

Dari pembahasan di atas, dapat dianalisis bahwa Rowling melakukan


perusakan terhadap oposisi biner antara pemenang vs pecundang, ideal vs marginal
dan baik vs buruk. Penghancuran oposisi baik vs buruk dilakukan Rowling sejak
pertama cerita dimulai, yaitu dengan meletakkan kedua konsep tersebut di dalam diri
satu tokoh. Kedua konsep tersebut hidup berdampingan sehingga menciptakan
konsep baru mengenai pahlawan yang dualis dan ambivalen. Kebaikan hidup di
dalam diri sang pahlawan, dan keburukan tidak datang dari keberadaan musuh,
melainkan juga berada dalam dirinya sendiri.maka di sini, Rowling tidak hanya
sekedar membalikkan oposisi dan menciptakan oposisi baru. Ia membuat oposisi
mengenai baik dan buruk tersebut menjadi cair dan sejajar, tidak ada yang dominan,
berada dalam satu tubuh sehingga mencitrakan kesan ambivalen dan ambigu. Makna
dari konsep ini dibiarkan terus mengalir dan tidak selesai.

Sementara konsep ideal vs marginal didekonstruksi dengan penggambaran


hubungan antara Sang ksatria dengan pelayannya. Memang Derrida mengatakan
bahwa sebuah oposisi biner tidak seharusnya mendewakan unsur yang disebutkan
pertama dan menjadikannya logo kebenaran. Apa yang dominan tidak akan menjadi
dominan tanpa adanya pihak yang marginal dan inferior. Maka dari itulah, menurut
Derrida, sebuah oposisi biner perlu didekonstruksi karena pada dasarnya makna
tidaklah stabil dan bersifat subjektif. Sehingga, oposisi biner tersebut juga tidak harus
menjadi pasti selama-lamanya melainkan bisa saja menjadi cair dan rusak dari konsep
aslinya yang strukturalis. Dari pandangan Derrida tersebut, Rowling menciptakan
narasi yang menggambarkan hubungan yang terbalik, namun juga menuju kea rah
kesejajaran antara Sang Ksatria dan pelayannya. Pelayan yang marginal justru
menjadi pihak yang menantang Sang Ksatria untuk masuk ke dalam konflik cerita
yang sesungguhnya. Dengan demikian, keberadaan pihak marginal tersebut tidak lagi
dianggap sebagai tokoh yang terpinggirkan, namun secara tak langsung berperan
cukup penting dalam perkembangan perjalanan kepahlawanan Sang Ksatria.

Selanjutnya konsep pemenang vs pecundang juga telah dibongkar oleh


Rowling. Pemenang dan pecundang bukanlah lagi dua pihak yang berbeda,
melainkan seorang manusia dan jantungnya, yang notabene adalah berasal dari satu
kesatuan tubuh utuh. Keduanya memang bertentangan satu dengan yang lain, namun
pertentangan itu menjadi ambigu ketika keduanya sebenarnya adalah sebuah
kesatuan. Seorang pemenang tidak lagi identik dengan sosok pahlawan, konsep ini
diputar balikkan oleh Rowling sehingga muncul konsep baru bahwa pemenang dan
pecundang tersebut keduanya hidup dalam satu tubuh yang sama. Kemenangan Sang
ksatria melawan jantungnya sendiri mengandung ambiguitas dan ironi yang kental.
Ambigu karena Sang Ksatria menang mengalahkan anggota tubuhnya sendiri
sehingga sulit diketahui apakah Sang Ksatria memang menang ataukah kalah.
Kemenangan ambigu tersebut pada akhirnya dibayar dengan kematian Sang Ksatria.
Kematian inilah yang membuat pertempuran antara pemenang melawan pecundang
ini menjadi ironis karena kemenangan melawan diri sendiri ternyata berbuah pada
kekalahan jua.

Pada akhirnya, dekonstruksi ini mengantarkan pembaca pada pertanyaan-


pertanyaan semacam: bagaimana mungkin kemenangan mengantarkan seorang
pahlawan pada sebuah kematian? bagaimanakah bentuk kemenangan tersebut, karena
pertempuran yang terjadi berada dalam satu tubuh yang sama? bagaimana selanjutnya
status kebaikan dan keburukan dalam diri Sang Ksatria? Pertanyaan-pertanyaan
seperti itu mengalir seiring dengan makna-makna yang mengambang dan mengalir,
tidak terikat pada satu penanda yang sama. Artinya, apa yang terjadi pada cerita The
Warlock’s Hairy Heart adalah satu rangkaian panjang rantai penanda yang tidak
pernah memiliki makna yang fiks, dan begitulah memang tujuan sebuah dekonstruksi.
BAHAN BACAAN

Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory An Introduction. Oxford UK: Blackwell


Publishers.

Hourihan, Margery. 1997. Deconstructing the Hero. New York USA: Routledge.

Hunt, Peter. 1995. Criticism, Theory and Children’s Literature. Massachusets:


Blackwell Publisher, Inc.

Lukens, Rebecca J.. 1999. A Critical Handbook of Children’s Literature. Sixth


Edition. Ohio: Addison-Wesley Educational Publishers Inc.

Mitchell, Diana. 2003. Children’s Literature: An Invitation to the World.

Norris, Cristopher. 2004. Deconstruction Theory and Practice. London, UK:


Routledge.

Sarup, Madan. 1993. An Introduction Guide to Post-Structuralism and


Postmodernism. Hertfordshire, UK: Harvester Wheatsheaf.

Rowling, JK. 2007. Harry Potter and the Deathly Hallows. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Rowling, JK. 2007. The Tales of Beedle the Bard. Great Britain: Children High Level
Group and Bloomsbury.
LAMPIRAN

The Warlock’s Hairy Heart

There was once a handsome, rich and talented young warlock,who observed that his
friends grew foolish when they fell in love, gambolling and preening, losing their
appetites and their dignity. The young warlock resolved never to fall prey to such
weakness, and employed Dark Arts to ensure his immunity. Unaware of his secret, the
warlock's family laughed to see him so aloof and cold.

"All will change," they prophesied, "when a maid catches his fancy!" But the young
warlock's fancy remained untouched. Though many a maiden was intrigued by his
haughty mien, and employed her most subtle arts to please him, none succeeded in
touching his heart. The warlock gloried in his indifference and the sagacity that had
produced it. The first freshness of youth waned, and the warlock's peers began to
wed, and then to bring forth children.

"Their hearts must be husks," he sneered inwardly, as he observed the antics of the
young parents around him, "shrivelled by the demands of these mewling offspring!"
And once again he congratulated himself upon the wisdom of his early choice. In due
course, the warlock's aged parents died. Their son did not mourn them; on the
contrary, he considered himself blessed by their demise. Now he reigned alone in
their castle. Having transferred his greatest treasure to the deepest dungeon, he gave
himself over to a life of ease and plenty, his comfort the only aim of his many
servants. The warlock was sure that he must be an object of immense envy to all who
beheld his splendid and untroubled solitude.

Fierce were his anger and chagrin, therefore, when he overheard two of his lackeys
discussing their master one day. The first servant expressed pity for the warlock who,
with all his wealth and power, was yet beloved by nobody. But his companion jeered,
asking why a man with so much gold and a palatial castle to his name had been
unable to attract a wife. Their words dealt dreadful blows to the listening warlock's
pride. He resolved at once to take a wife, and that she would be a wife superior to all
others. She would possess astounding beauty, exciting envy and desire in every man
who beheld her; she would spring from magical lineage, so that their offspring would
inherit outstanding magical gifts; and she would have wealth at least equal to his
own, so that his comfortable existence would be assured, in spite of additions to his
household.
It might have taken the warlock fifty years to find such a woman, yet it so happened
that the very day after he decided to seek her, a maiden answering his every wish
arrived in the neighbourhood to visit her kinsfolk. She was a witch of prodigious skill
and possessed of much gold. Her beauty was such that it tugged at the heart of every
man who set eyes on her; of every man, that is, except one. The warlock's heart felt
nothing at all. Nevertheless, she was the prize he sought, so he began to pay her
court. All who noticed the warlock's change in manners were amazed, and told the
maiden that she had succeeded where a hundred had failed. The young woman
herself was both fascinated and repelled by the warlock's attentions. She sensed the
coldness that lay behind the warmth of his flattery, and had never met a man so
strange and remote.

Her kinsfolk, however, deemed theirs a most suitable match and, eager to promote it,
accepted the warlock's invitation to a great feast in the maiden's honour. The table
was laden with silver and gold bearing the finest wines and most sumptuous foods.
Minstrels strummed on silk-stringed lutes and sang of a love their master had never
felt. The maiden sat upon a throne beside the warlock, who spoke low, employing
words of tenderness he had stolen from the poets, without any idea of their true
meaning. The maiden listened, puzzled, and finally replied,

"You speak well, Warlock, and I would be delighted by your attentions, if only I
thought you had a heart!" The warlock smiled, and told her that she need not fear on
that score. Bidding her follow, he led her from the feast and down to the locked
dungeon where he kept his greatest treasure. Here, in an enchanted crystal casket,
was the warlock's beating heart.

Long since disconnected from eyes, ears and fingers, it had never fallen prey to
beauty, or to a musical voice, to the feel of silken skin. The maiden was terrified by
the sight of it, for the heart was shrunken and covered in long black hair.

"Oh, what have you done?" she lamented. "Put it back where it belongs, I beseech
you!" Seeing that this was necessary to please her, he warlock drew his wand,
unlocked the crystal casket, sliced open his own breast and replaced the hairy heart
in the empty cavity it had once occupied.

"Now you are healed and will know true love!" cried the maiden, and she embraced
him. The touch of her soft white arms, the sound of her breath in his ear, the scent of
her heavy gold hair: all pierced the newly awakened heart like spears. But it had
grown strange during its long exile, blind and savage in the darkness to which it had
been condemned, and its appetites had grown powerful and perverse.

The guests at the feast had noticed the absence of their host and the maiden. At first
un- troubled, they grew anxious as the hours passed, and finally began to search the
castle. They found the dungeon at last, and a most dreadful sight awaited them there.

The maiden lay dead upon the floor, her breast cut open, and beside her crouched the
mad warlock, holding in one bloody hand a great, smooth, shining scarlet heart,
which he licked and stroked, vowing to exchange it for his own. In his other hand, he
held his wand, trying to coax from his own chest the shrivelled, hairy heart. But the
hairy heart was stronger than he was, and refused to relinquish its hold upon his
senses or to return to the coffin in which it had been locked for so long.

Before the horror-struck eyes of his guests, the warlock cast aside his wand, and
seized a silver dagger. Vowing never to be mastered by his own heart, he hacked it
from his chest. For one moment, the warlock knelt triumphant, with a heart clutched
in each hand; then he fell across the maiden's body, and died.

Anda mungkin juga menyukai