Anda di halaman 1dari 3

Cendikiawan dan Kekuasaan

Oleh; Aryos Nivada


Akademisi FISIP Universitas Teuku Umar

Cendikiawan dan kekuasaan merupakan dua kata yang memiliki makna, dan ruang
berbeda. Tetapi keduanya saling memiliki keterkaitan dalam realitas kehidupan. Relasinya,
ketika seorang memiliki kecerdasan intelektual maka kecederungan penggunaannya akan
selalu bermuara pada kekuasaan. Walaupun tidak bisa di generalisir semua intelektual
mengarah pemikirannya hanya kekuasaan semata. Masih ada intelektual yang berkontribusi
memberikan masukan terhadap masalah Pemerintahan Aceh kekinian. Dasarnya seseorang
semakin pintar peluang menjadi hipokrit semakin besar. Hipokrit disini di posisikan
memperoleh keinginan kekuasaan atau politik. Pemikiran tersebut, sesuai dengan Aristoteles
mengatakan bahwa manusia sebagai makluk politik. Belum lagi mereka yang lebih secara
intelektual akan berambisi memperoleh kedudukan (jabatan) dan akses – akses ekonomi.
Kekuasaan bila tidak dibatasi dalam sebuah legitimasi, maka potensi melakukan
tindakan Korupsi, Kolusi, Nepotisme meminjam istilah Amien Rais (orang yang
mempopulerkan di tahun 1998). Tentunya dibutuhkan peran – peran cendekiawan organik
dalam memberikan solusi, sekaligus menjadi aktor perubahan di sebuah kondisi sosial
masyarakat.
Menurut Daniel Dhakiadae, Cendikiawan adalah orang yang telah menempuh
pendidikan tertentu dan mengarah pada keahlian khusus. Pemberian label “intelektual”, atau
“cendekiawan”, sebutan itu hanya diberikan oleh orang lain untuk orang lain lagi, dan bukan
untuk penamanan diri sendiri. Bahkan ada pihak yang menetapkan criteria seorang
cendekiawan begitu tinggi, hampir – hampir absolut. Dari situlah Daniel mengumpamakan
cendikiawan sebagai Benda-isme, sebegitu tingginya sehingga hanya ada dalam khayalan.
Dhakidae selalu mencoba menghindari diskursus cendikiawan sebagai sebagai status sosial
statis (permanen). Tesis utama yang hendak dibangun dari pemikiran Daniel ialah, bahwa
cendikiawan merupakan variabel yang terikat oleh negara, kapital, dan kebudayaan.
Sekurang – kurangnya dua kemungkinan bisa dipakai untuk menilai kekuasaan itu.
Pertama, kekuasaan dilihat sebagai sesuatu yang barang jadi sebagai suatu subtansi, dan
kedua kekuasaan dinilai sebagai relasi, suatu pola hubungan dengan semua konsekuensinya.
Michel Foucault mengatakan, kekuasaan berarti relasi, sesuatu yang kurang lebih
terorganisasikan, hirarkis, maksudnya sekumpulan relasi yang dikoordinasikan. Dalam arti itu
kekuasaan sebagai relasi, maka kekuasaan berada dimana pun di sekujur tubuh sosial.
Intelektual dan kekuasaan juga melahirkan formasi kelas sosial, tidak hanya di masa
orde baru tetapi sejak terbentuknya negera ini. Dalam kerangka relasi dominasi kekuasaan
yang asimetris, maka biasanya akan menghadirkan dua karakter intelektual yang berhadapan.
Setiap rezim kekuasaan yang dominatif membutuhkan para intelektual yang mampu
mengawal dan memperlancar berjalannya kekuasaan. Sebaliknya, sebuah kelas sosial yang
terdomionatif juga mengalami hal yang sama meskipun berdiri dalam garis yang
berseberangan. Nah, tersebit pertanyaan Apakah sistem pengetahuan yang mereka miliki
senantiasa menjadi alat tawar yang menentukan dalam masyarakat? Bukankah kekuasaan dan
modal yang menjadi explanatory device-nya.
Lalu bagaimana realitas cendikiawan di Aceh? masih merasa sebagai orang yang
spesial yang haru dilayani, bukan bagaimana memposisikan dirinya sebagai pelayan bagi
masyarakat akar rumput (grass root) yang termarginalkan atas sebuah rezim kekuasaan.
Contoh peran apa yang harus dilakukan kaum cendikiawan, ketika Pemerintah saat ini tidak
memberikan dampak signifikan atas sebuah pembangunan. Mulai dari pembentukan tim
asistensi, staf ahli, dll. Mereka tergiur dalam gemerlap memewahan untuk memperoleh pundi
– pundi uang dan hausnya kekuasaan. Bukan berpikir bagaimana bekerja serius dalam
memperbaiki sebuah kondisi. Mirisnya lagi Aceh juga kekurangan cendikiawan yang benar-
benar mengakar sebagai tokoh panutan. Bukan lantaran memegang jabatan, lalu dikatakan
tokoh. Cendikiawan dikatakan tokoh, ketika perilakunya dan ucapan selaras. Mementingkan
urusan kemasyarakatan daripada urusan keluarga maupun pribadinya.
Anehnya, ketika kaum cendikiawan masuk ke dalam sistem malahan menjadi aktor
baru perampas hak – hak dari masyarakat Aceh sendiri. Awalnya sebagai dewa penolong,
menjadi vampire pengisap hak masyarakat dengan mengatasnamakan kepentingan
masyarakat. Buntut – buntutnya lahirnya sebuah proyek – proyek yang belum tentu menjadi
kebutuhan dasar maupun kebutuhan prioritas dari masyarakat itu sendiri. Tidak salah bila
dilabelkan sebagai pelacur intelektual atau intelektual pesanan oleh masyarakat. Karena
kelemahan institusi pendidikan di Aceh yang tidak benar-benar membangun paradigma
membela terhadap kaum tertindas, bukan malahan mengajarkan membela terhadap siapa
yang membayar. Apalagi bila menjadi benalu dari uang rakyat yang di perolehnya.
Yang paling menonjol (tampak) gejala umum dari tabiat cendikiawan di Aceh selalu
memanfaatkan peluang kekuasaan. Contohnya pada masa Daerah Operasi Militer, Darurat
Militer, Darurat Sipil. Dari ketiga operasi yang telah di berlaku pada era kelam Aceh itu,
cendikiawan yang sebagian besar mendukung penerapan operasi itu, bahkan menikmati
kehidupan diatas operasi tersebut, hingga membuat kemampanan (kesejahteraan). Lalu
mengapa saat ini para cendikiawan membisu terhadap ribuan orang yang mati tanpa
penjelasan yang pasti dan tanpa pengadilan. Sedangkan ribuan anak yatim tanpa santuan,
tidak bersekolah, perempuan menjadi janda akibat penerapan operasi yang belum tersentuh
keseluruhan untuk diberikan rehabilitasi dan hak pengungkapan kebenaran dan keadilan.
Kembali saya mempertanyakan kemanakah pertanggungjawaban dari para cendikiawan yang
mendukung operasi tersebut? Apakah menjadi mimpi tak berkesudaan bagi si korban, hingga
menenggelamkan harapan.
Jadi Poin terakhir dari tulisan ini generasi cendikiawan/intelektual di Aceh harus
mampu menjadi pijar dan pelaku perubahan paska konflik dan bencana tsunami dengan
memberikan kontribusi pemikiran menuju Aceh baru yang gemilang peradaban, sejahterah,
dan berkeadilan. Tentunya kesemua itu bagi kemashalatan orang banyak. Jangan dilupakan
adalah harus memperhatikan aspek kemanusian. Dengan katalain lebih investigatif dan
etnografis posisi-posisi masyarakat yang terpinggirkan untuk meninggikan derajat mereka
lebih manusiawi. Disisi lain cendikiawan/intelektual di Aceh harus juga mampu melampui
batas-batas primodial sempit apapun adalah kewajiban dasar dari jenis intelektual profetik
masa depan yang dibutuhkan. Namun di pihak lain dituntut peran cendikiawan/intelektual
yaitu peka konteks (memahami masalah), peka sistem (mampu membuat perubahan), dan
bebas situasi intervensi dari orang lain. Kata kunci yang ingin saya katakan, jika ada yang
mengaku dirinya cendikiawan tetapi menjadi bagian dari kekuasaan yang zalim maka dirinya
bukan termasuk golongan cendikiawan.

Anda mungkin juga menyukai