Anda di halaman 1dari 3

KKR Riwayatmu Kini

Aryos Nivada
Mahasiswa Pascasarjana UGM Jurusan Politik dan Pemerintahan

Bagi kalangan aktivis yang bergerak di ranah Hak Asasi Manusia tidak asing lagi
dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Saya ingin mengulas kembali pemahaman akan
KKR itu sendiri. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah fenomena yang timbul di era transisi
politik dari suatu rezim otoriter ke rezim demokratis, terkait dengan persoalan penyelesaian kejahatan
kemanusiaan yang dilakukan rezim sebelumnya. (Asplund, D. Knut dkk. 2008, h. 364).
Pandangan saya mendefinisikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan lembaga
yang dibentuk dengan keterlibatan masyarakat sipil dan negara pasca pemerintahan otoriter. Secara
masa keberadaannya lembaga KKR terbagi menjadi dua permanen dan tidak permanen, tergantung
keputusan negara. Merujuk dari pengalaman di negara yang telah membentuk KKR, dimana lembaga
yang dibentuk tidak dipermanenkan. Tujuan untuk mengatasi masalah pelanggaran hak asasi manusia.
Pandangan lain mengatakan KKR merupakan salah satu bentuk upaya perwujudan transitional juctice
(Soeprapto 2003, h.1).
Akan tetapi pemahaman Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di negara-negara
yang memiliki institusi serupa, dimana memiliki pengertian dan penggunaan nama berbeda-
beda. Inti subtansi keberadaannya tetap menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM,
ketika sebuah pemerintah otoriter berubah menjadi pemerintah demokratis.
Sejalan dengan pemikiran Hayner, terdapat lima elemen yang dapat dikatakan
karakter umum KKR, yaitu pertama (1) fokus penyelidikannya pada kejahatan masa lalu,
kedua (2) terbentuk beberapa saat setelah rezim otoriter tumbang. Tujuannya adalah
mendapatkan gambaran yang komperhensif mengenai kejahatan hak asasi manusia dan
pelanggaran hukum internasional pada suatu kurun waktu tertentu, dan tidak memfokuskan
pada suatu kasus saja. Ketiga (3) keberadaanya adalah jangka waktu tertentu, biasanya
berakhir setelah laporan akhirnya selesai di kerjakan, keempat (4) ia memiliki kewenangan
untuk mengakses informasi ke lembaga apa pun, dan mengajukan perlindungan untuk mereka
yang memberikan kesaksian, dan kelima (5) pada umumnya dibentuk secara resmi oleh
negara baik melalui keputusan presiden atau melalui undang-undang, bahkan oleh PBB
seperti El Salvador. Ada juga diprakarsasi oleh LSM atas pembentuk KKR seperti KKR di
Uruguay, Rwanda, dan Brasil (Hayner 1994, hh. 597-665).

1
Dari pemikiran Asplund, Soeprapto, maupun Hayner. Saya memiliki pemikiran
sendiri terhadap KKR. Kehadiran KKR bukan menekankan pada kerja-kerja rekosiliasi antar
pelaku dengan korban. Akan tetapi konsep dasar KKR lebih mengutamakan pengungkapan
kebenaran dan keadilan atas kejadian pelanggaran HAM yang dilakukan pelaku atau negara
melalui alat kekerasaannya. Kebenaran dan keadilan merupakan syarat terciptanya
rekonsiliasi. Jadi sekali lagi bukan rekonsiliasi sebagai landasan utama terbentuknya KKR.
Secara umum KKR yang terbentuk secara keseluruhan di negara-negara yang sudah
membentukannya, dimana tidak memiliki batasan jelas dan tegas akan kebenaran dan
keadilan. Maka demikian pula dengan kata kebenaran itu sendiri. Salah satu definisi paling
mendasar dikemukakan oleh Jurgen Habermas yang membagi kebenaran menjadi tiga
katagori. Pertama, kebenaran faktual yaitu benar-benar terjadi atau nyata-nyata ada. Kedua,
kebenaran normatif yaitu berkaitan dengan ada yang dirasakan adil atau tidak adil, dan
ketiga, kebenaran hanya akan menjadi kebenaran jika dinyatakan dengan cara yang benar
(Habermas 1984).
Demikian juga dengan konsep rekonsiliasi. Secara etimologis istilah ini tidak terlalu
jelas. Priscilla yang mengutip Oxford English Dictionary mendefinisikan “reconcile” sebagai
“to bring (a person) again into friendly relation...after an estrangement...to bring back into
concord, to reunite (person or things) in harmony. Berbalik kembali dengan seseorang setelah
masa-masa keterasingan..mengukur kembali, menyatukan kembali ke dalam harmoni
(Hayner 1994, h. 264).
Sekali lagi menurut saya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak bisa menggantikan
fungsi daripada institusi pengadilan, karena KKR bukan badan peradilan. Di samping itu
bukan lembaga yang berhak mengirimkan seseorang masuk dan tidaknya ke penjara serta
memiliki fungsi memvonis hukum terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Jadi KKR
hanya berada memberikan penguatan dari data-data pelanggaran HAM untuk
merekomendasikan kepada institusi pengadilan. Teknis memperoleh data-data melalui
penyelidikan kasus-kasus dan tidak dibatasi pada kepada penanganan sejumlah kasus kecil
saja.
Pertumbuhan KKR begitu pesat sejak pertama kali muncul pada dekade 1980-an.
Pada rentang tahun 1980-1999, lebih kurang 35 KKR telah dibentuk diberbagai negara.
Jumlah begitu banyak di input dari berbagai referensi seperti : Briefing Paper ELSAM,
Human Right Querterly Priscilla Hayner, dari berbagai jurnal dan website. Saya hanya
mengambil sebagian dari total keseluruhan untuk dijadikan rujukan.

2
Berbicara konteks kekinian di Aceh, hal yang melatarbelakangi hadirnya KKR di
Aceh tidak terlepas dari konflik yang terjadi selama kurun waktu 32 tahun. Akibat konflik
menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas operasi yang dilakukan Pemerintah
Indonesia dimulai dari darurat operasi militer (DOM), darurat militer (DM), dan darurat sipil
(DS). Atas penerapan operasi tersebut, banyak korban jiwa dari masyarakat Aceh. Dampak
lainnya hancurnya infrastruktur dan hancurnya sosial kapital masyarakat Aceh. Berangkat
dari permasalahan pelanggaran HAM yang dilakukan negara, untuk itu dibutuhkan KKR
sebagai wujud menata ulang kembali politik Aceh ke Indonesia. Penataan ditandai dengan
perjanjian damai antara Pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 15
Agustus 2005 di Helsinky Firlandia.
Sementara itu negara, dimana representatifnya Pemerintah Pusat harus segera
mewujudkan kehadiran KKR di Aceh. Bilamana tidak terlaksana maka Pemerintah Pusat
secara politik telah mengingkari perjanjian yang tertuang dalam MoU Helsinki serta Undang-
undang Pemerintah Aceh No. 11 tahun 2006. Pasal yang mengharuskan terbentuknya Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh tertuang di pasal 229, 230, dan 231.
Kehadiran KKR menjadi bagian penting dalam menjaga kestabilitasan perdamaian
yang telah tercipta di tanah rencong ini. Padahal, bilamana Pemerintah Indonesia sadar KKR
merupakan bagian cara membangun kepercayaan rakyat Aceh kepada Pemerintah Indonesia.
Tidak hanya itu saja, sekaligus menciptakan hubungan yang sinergis tanpa memiliki rasa
dendam lagi kepada Pemerintah Indonesia. Kedua hal itu, seharus terpahami dan dilakukan,
bukan malahan seakan-akan lepas tanggung jawab tanpa memiliki kemauan keras
mewujudkan.
Terakhir saya mensarankan pembentukan KKR di Aceh membutuhkan partisipasi
aktif dengan melibatkan masyarakat Aceh yang terkena dampak akibat konflik yang mendera
Aceh. Kita mengetahui, bahwa partisipasi bagian dari demokrasi itu sendiri. Jangan sampai
konsep KKR lahir dari pemikiran kalangan CSO/NGO maupun masyarakat sipil lainnya
seperti akdemisi, mahasiswa, wartawan, dll. Bukan murni dari pemikiran korban konflik.
Sehingga KKR yang terbentuk nantinya, memiliki rasa kepemilikan, bukan hanya memiliki
segelintir organisasi maupun personal orang.

Anda mungkin juga menyukai