Anda di halaman 1dari 35

12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Anak ( 1-15Tahun)

1. Definisi Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan terdapat dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002

tentang perlindungan anak. Pasal tersebut menjelaskan bahwa, anak adalah

siapa saja yang belum berusia 18 tahun dan termasuk anak yang masih

didalam kandungan, yang berarti segala kepentingan akan pengupayaan

perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada didalam

kandungan hingga berusia 18 tahun (Kemenkes, 2014).

Pada anak yang diharuskan dirawat akan mengalami dampak hospitalisasi,

respon ini timbul dikarnakan ketidak siapan anak untuk menjalani proses

perawatan. Perpisahan dengan orang tua serta membayangkan tindakan

prosedur invansif yang akan dijalani oleh anak akan memunculkan dampak

hospitalisasi yang timbul berbeda-beda tergantung pada usia anak. Usia anak

3-6 tahun masuk kedalam tahapan Preschool reaksi yang timbul adalah
13

menginterprestaikan hospitalisasi sebagai hukuman karena anak diharuskan

berpisah dengan orang tua sehingga anak merasakan kehilangan kasih sayang.

Sementara untuk anak yang lebih tua 6-15 tahun masuk ke dalam tahap

School reaksi yang timbul adalah anak bereaksi terhadap perpisahan dengan

menunjukan kesendirian, kebosanan, isolasi dan depresi (Adrianan, 2011).

Pada anak dengan penyakit kanker akan mengalami proses perawatan yang

sangat panjang dimana dalam rentang usia 1-12 tahun anak akan mengingat

apa yang dirasakan. Perlu diingat dalam melakukan intervensi keperawatan

anak mengalami rasa sakit maka untuk kedua kalinya dia akan mengingat dan

menolak prosedur tersebut, untuk itulah perawat harus melakukan intervensi

dengan memperhatikan prinsip autramatic care sehingga, dapat mengurangi

distres fisik maupun psikologis yang dialami anak maupun orang tuanya

(Breving, 2015).

B. Kanker Leukemia Pada Anak ( LLA dan AML )

1. Kanker

Kanker anak sangat berbeda dengan dewasa. Kanker anak paling sering

berasal dari jaringan embrional primitif (mesodermal) dan

(neuroektodermal), yang menyebabkan leukemia, limfoma, sarkoma atau

tumor sistem saraf pusat. Istilah kanker digunakan untuk penyakit di mana

sel-sel abnormal membelah tanpa kontrol dan mampu menyerang jaringan


14

lain. Sel-sel kanker dapat menyebar kebagian lain dari tubuh melalui darah

dan sistem getah bening (Duggan, 2010).

Gambar 2.1
Perubahan sel tubuh normal dengan Cancer

(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kanker)

2. Leukemia

a. Definisi Leukemia

Leukemia terbagi menjadi dua yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA)

dan acute myelogenous leukemia (AML) Leukemia merupakan

penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, ditandai

oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel

abnormal dalam darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam

pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah berproliferasi secara

tidak teratur dan tidak terkendali dan fungsinya pun menjadi tidak

normal. Karena proses tersebut fungsi-fungsi lain dari sel darah normal
15

juga terganggu hingga menimbulkan gejala leukemia yang dikenal

dalam klinik. Leukemia akut dibagi atas LLA dan LMA (Wong, 2013).

Gambar 2.2
Perbedaan sel darah normal dengan Leukemia

(Sumber: httpshttps://tazvita.wordpress.com/2015/06/12/perbedaan-leukimia-akut-

dan-leukimia-kronis:)

Leukemia merupakan gangguan utama pada sumsunm tulang, yakni

elemen normal digantikan dengan sel darah putih abnormal.

Normalnya, sel limfoid tumbuh dan berkembang menjadi limfosit, dan

sel mieloid tumbuh dan berkembang menjadi sel darah merah,

granulosit, monosit, dan trombosit (Kyle, 2014).

b. Etiologi Leukemia

Menurut Handayani & Haribowo, (2008) etiologi leukemia belum dapat

diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang terbukti dapat

menyebabkan leukemia faktor genetik, sinar radioaktif, dan virus,


16

adapun penjelasannya yaitu:

1) Faktor genetik

Kejadian leukemia pada anak dengan sindrom down adalah 20 kali

lebih banyak dari pada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat

menyebabkan terjadinya peningkatan sel darah putih yang tumbuh

secra abnormal sehingga terjadi leukemia akut.

2) Sinar Radioaktif

Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat

menyebabkan leukemia pada binatang maupun manusia. Pada anak

yang terkena sinar radioaktif sebanyak 6% akan menderita leukemia

dan hal itu baru terjadi setelah 5tahun leukemia jenis mieloblastik akut

(AML) dan leukemia granulositik kronis (LGK) jelas sekali

meningkat.

3) Virus

Sampai sekarang belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia

pada manusia adalah virus. Meskipun demikian, ada beberapa hasil

penelitian yang mendukung teori virus sebagai penyebab leukemia,

yaitu enzyme reverse trascriptase ditemukan dalam darah manusia.

Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalam virus onkogenik

seperti retrovirus tipe C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan

leukemia pada binatang. Enzim tersebut menyebabkan virus yang

bersangkutan dapat membentuk bahan genetik yang kemudian

bergabung dengan genom yang terinfeksi. Menurut (Desen, 2011)


17

penyebab dari limfoma/leukemia sel T dewasa (ATL) disebabkan

oleh virus limfosit T manusia tipe I (HTLV-1).

c. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang muncul pada anak dengan leukemia yaitu

pucat, letih, deman, ptekie, nyeri pada tulang dan persendian, nyeri

abdomen, hepatomegali, splenomegali, limfadenopati, muntah, dan

anoreksia (IDAI, 2010).

d. Klasifikasi Leukemia

1) Leukemia Akut (limfositik)

Penyakit ini ditandai dengan proliferasi klonal ganas prekursor sel

darah putih (Sel Blas) yang menempati dan menghambat fungsi

sumsum tulang. Sel tersebut dapat beredar dalam darah dan

membentuk deposit leukemik dalam banyak jaringan

(Hockenberry, 2013). Leukemia akut merupakan proliferasi sel

leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit

yang lain dari pada normal, jumlahnya berlebihan, serta dapat

menyebabkan anemia, trombositopenia, dan diakhiri dengan

kematian. Leukemia akut menurut klasifikasi FAB (French-

American-British) dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu

Leukemia Mielositik Akut /Acute myeloid leukemia (LMA/AML)

dan Leukemia Limfobitik Akut (LLA) (Kyle, 2014).


18

a). LLA (Leukemia Limfatik Akut).

Merupakan sel blas yang menyerupai prekursor primitif sel asal

limfoid 85% leukemia pada anak adalah LLA, leukemia ini dapat

terjadi selama masa kanak-kanak dengan perbandingan yang sama

pada perempuan dan laki-laki. Insiden puncaknya adalah sekitar

usia 5 tahun. Penyebab terjadinya LLA telah dikemukakan, LLA

sering dijumapai pada sindrom down dan sindrom yang berkaitan

dengan ketidakstabilan kromosom 21. Pemaparan terhadap radiasi

berlebihan juga telah dihubungkan dengan perkembangan LLA,

seperti yang tampak pada korban radiasi nuklir yang masih hidup

(Hull, 2008).

b). AML (Acute Myeloid Leukemia).

Acute myeloid leukaemia (AML), adalah leukemia yang terjadi pada

seri myeloid, meliputi (neutrofil, eosinofil, monosit, basofil,

megakariosit dan lain- lain). AML merupakan 32% dari seluruh

kasus leukemia. Tanda gejala yang sering timbul yaitu mudah

terkena penyakit infeksi, anemia dan perdarahan (IDAI, 2010).

Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang

ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi

sel – sel progenitor dari seri mieloid (Handayani& Haribowo, 2008).

8 klasifikasi morfologik menurut FAB (France-America- British)


19

(Desen Wan, 2011) seperti berikut ini :

- M–0 mielositik akut tidak berdiferensiasi


- M–1 mielositik akut dengan difrensiasi minimal
- M–2 mielositik akut dengan difrensiasi parsial.
- M–3 promielositik hipergranuler.
- M–4 mielomonositik akut.
- M–5 monositik akut.
- M–6 eritroblastik (eritroleukemia).
- M–7 megakariositik akut.

Patogenesis utama MLA yaitu peningkatan kematangan pada sel

myeloid yang terhenti dengan ditemukannya akumulasi sel-sel muda

(blas) di sumsum tulang. Penumpukan didalam sumsum tulang

menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya

mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow

failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia,

lekopenia dan trombositopenia). Penyebab LMA sampai saat ini

masih tidak diketahui, meskipun demikian ada beberapa faktor yang

diketahui dapat menyebabkan LMA, menurut (Wan D, 2011) adalah:

1. Kemoterapi

2. Radiasi ionik.

3. Sindroma down.

4. Paparan benzena.
20

2) Leukemia Kronis (Mielogenus)

Leukemia kronis dibagi menjadi dua, yaitu Leukemia myeloid-

leukemia granulositik kronis/ leukemia myeloid kronis (LGK/

LMK) dan Leukemia Limfositik Kronis. Kelainan mielopoliferatif

yang paling sering adalah leukemia mielositik kronik (LMK),

terdapat tipe dewasa dan tipe juvenilis. Keduanya ditandai oleh

produksi sel darah putih yang matur. Tipe dewasa timbul dengan

gejala anemia splenomegali masif, dan jumlah sel darah putih yang

sangat tinggi yang sebagian besar terdiri dari granulosit matur.

Pemeriksaan susum tulang sering mengidentifikasi kromosom.

Terdapat insiden tinggi transformasi maligna menjadi leukemia

akut dengan median 4-5tahun sejak diagnosis ditegakan. Tipe

juvenilis sebaliknya ditandai dengan ruam kulit, limfadenopati,

demam, perdarahan, dan peningkatan Hbf. Jumlah leukosit

biasanya sedikit meningkat dengan komponen monosit yang nyata.

Anak meninggal karena infeksi atau progresi penyakit :

transformasi sel blas akut tidak merupakan gambaran yang jelas

(Hull, 2008).

C. Kemoterapi

1. Definisi

Kemoterapi adalah pemberian antineoplastic fungsinya untuk membunuh

sel- sel tumor dengan mengganggu fungsi dan reproduksi selular.


21

Kemoterapi dapat dikombinasi dengan prosedur tindakan pembedahan atau

erapi radiasi dan keduanya. Prosedur tersebut tujuannya adalah untuk

menurunkan ukuran tumor sebelum operasi, untuk merusak semua sel- sel

tumor yang masih tertinggal pascaoperasi atau untuk mengobati beberapa

bentuk leukemia (IDAI, 2010)

2. Obat Kemoterapi

Indikasi pemberian obta kemoterapi biasanya berbeda-beda disesuaikan

dengan bagian sel yang terkena, pemberian Deoxyribo Nucleic Acid (DNA)

kerusakan sel lazim terjadi. Toksisitas juga berbeda di antara obat

kemoterapi; mielosupresi dan penyakit gastrointestinal merupakan

gangguan yang lazim. Beberapa agen kemoterapi menurut (Desen wan,

2008) adalah:

a. Dactinomycin

Cara kerja yang utama yaitu mengikat Deoxyribo Nucleic Acid (DNA)

mencegah transkripsi dan menghambat sintesis Deoxyribo Nucleic Acid

(DNA). Efek samping mieolosurpresi, sensitizer radiasi, stomatitis.

b. Cisplastin

Cara kerja yang utama yaitu sintesis Deoxyribo Nucleic Acid (DNA).

Efek samping yaitu toksisitas renal, tuli, mielosupresi, mual, muntah

c. Cyclophosphamide

Cara kerja yang utama yaitu menghambat sintesis Deoxyribo Nucleic

Acid (DNA), obat alkilator. Efek samping yaitu sistitis hemoragik,


22

mielosupresi, mual, muntah, sekresi ADH tidak sesuai, alopesia,

karsinogenik.

d. Cytarabine

Cara kerja yang utama yaitu menghambat Deoxyribo Nucleic Acid

(DNA) polymerase. Efek samping yaitu mielosupresi, mual, muntah,

diare, demam, hepatotokdisitas, stomatitis, alopesia

e. Daunorubicin dan doxorubicin

Cara kerja yang utama yaitu menghambat sintesis Deoxyribo Nucleic

Acid (DNA), Ribonucleic Acid (RNA) dan protein melalui interkalasi

Deoxyribo Nucleic Acid (DNA). Efek samping yaitu toksisitas jantung,

mielosupresi, alopesia, stomatitis, selulitis lokal akibat ekstravasasi,

alopesia, mual, muntah.

f. Etoposide

Cara kerja yang utama yaitu merusak Deoxyribo Nucleic Acid (DNA),

menghambat sintesis mitosis. Efek samping yaitu mielosupresi, reaksi

hipersensitivitas, mual, muntah.

g. Fluorouracil

Cara kerja yang utama yaitu menghambat sintesis Deoxyribo Nucleic

Acid (DNA). Efek samping yaitu mielosupresi, stomatitis, esophagitis,

alopesia, dermatitis.

h. Mercaptopurine

Cara kerja yang utama yaitu menghambat biosintesis purin de novo. Efek

samping yaitu mielosupresi, stomatistis, hepatotoksisitas. Pemberian


23

melalui Po toksisitas pembatas utama depresi sumsum tulang. Tosik lain

mual muntah, stomatitis, rudapaksa hati dll. Indikasi Leukemia akut.

i. Metotrexate

Cara kerja yang utama yaitu menghambat dihidrofolat reduktase,

membatasi sintesis pirimidin dan purin de novo. Efek samping yaitu

mielosupresi, hepatotoksisitas, toksisitas ginjal, osteoporosis, ulkus

saluran cerna dan mulut, mual, muntah. Pemberian melalui Po, IV

toksisitas pembatas utama depresi sumsum tulang, mukositis,

gastrointestinal. Toksik lain mukositis, pigmentosa. Indikasi utama

leukemia akut, karsinoma skuamosa kepala dan leher.

j. Vincristine (VCR)

Pemberian melalui IV toksisitas pembatasan utama neuritis perifer toksik

lain obstipasi indikasi Leukemia akut, limfoma. Cara kerja yang utama

yaitu menghambat pembentukan mitosis. Efek samping: neurotoksisitas,

alopesia, selulitis lokal akibat ekstravasasi, sekresi ADH tak sesuai.

k. Hidroksiurea

Pemberian melalui Po toksisitas pembatasan utama depresi sumsum

tulang, toksik lain stomatitis. Indikasi leukemia akut, karsinoma kepala

leher.
24

Tabel Gambar 2.3

Protab Pemberian Kemoterapi untuk anak Penderita Leukemia LLA

(Sumber : http://kampusfarmasi.blogspot.com/2015/06/leukemia-limfoblastik-akut.html)

3. Efek Samping Kemoterapi

Efek samping kemoterapi dapat disebabkan karena efek non spesifik dari

obat sitotoksik yang dapat menghambat proliferasi tidak hanya sel- sel

tumor melainkan juga sel normal yang berada disekitarnya. Efek samping

obat kemoterapi dapat berupa anemia, mual, muntah, mukositis, alopesia,

infertilitas serta trombositopenia. Penatalaksanaan efek samping

kemoterapi merupakan bagian terpenting dari pengobatan dan perawatan

pendukung atau suportif pada penyakit kanker (Hesketh, 2008).


25

D. Oral Mucositis

1. Definisi Oral Mucositis

Menurut (Nurhidayah, 2011) Oral mucositis adalah keadaan sel mukosa

mulut yang mengalami radang berwarna kemerahan, erosif, mengalami

inflamasi dan ulserasi disepanjang kavitas oral yaitu bibir, lidah, gingiva

dan mukosa buccal, labial dan palatum. Biasanya mucositis terjadi pada

bagian-bagian mukosa mulut (oral), faring, esophagus dan traktus

gastroinstestinal. Menurut (Mulatsih, 2016) Prevalensi oral mucositis yang

terjadi pada pasien keganasan sekitar 30% - 39%.

Cancer Care Nova Stovia, (2008); Nurhidayah, (2011) Oral mucositis

terjadi dalam beberapa fase yaitu:

a. Fase awal (Phase initial).

Pada fase ini ditandai dengan pembentukan reactive oxygen species

(ROS) oleh agen kemoterapi. ROS akan menyebabkan kerusakan sel,

jaringan dan pembuluh darah secara langsung. Aktivasi ROS akan

menstimulasi faktor transkripsi dan memulai serangkaian proses biologis

terjadinya mukositis. Fase ini biasanya terjadi segera setelah pemberian

kemoterapi atau pada hari pertama pasca kemoterapi.

b. Fase kedua (Phase regulasi dan pembentukan messenger signals).

Pada fase ini terjadi kematian klonogenik sel pada lapisan epitel karena

kerusakan DNA oleh ROS. Selanjutnya nuclear factor-kB (NF-kB) akan


26

teraktivasi dan mengaktivasi sejumlah gen (death clonologic gen) yang

menyebabkan toksisitas mukosa. Selain itu NF-kB juga akan

mengaktivasi sitokin yang merupakan substansi pro-inflamasi. Fase ini

akan terjadi pada hari pertama atau kedua pasca kemoterapi.

c. Fase Ketiga (Phase signaling dan amplifikasi).

Pada fase ini sitokin pro inflamasi akan mengaktivasi zat-zat aktivator

inflamasi yaitu TNF-α, IL- 1β dan IL-6. TNF-α akan mengaktivasi agen-

agen pathways yang menyebabkan cedera jaringan seperti agen ceramide

dan caspase. Sinyal ini selanjutnya akan semakin meningkatkan produksi

sitokin. Aktivasi ceramide dapat menjadi mekanisme sekunder terjadinya

kerusakan jaringan. Seluruh agen-agen yang telah aktif akan

menyebabkan apoptosis. Apoptosis atau kematian sel terjadi pada sel

epitel maupun jaringan sub mukosa. Inflamasi akan terus terjadi dan

menyebabkan sel epitel dan sub mukosa menjadi kemerahan, bengkak

dan nyeri. Fase ini ditandai dengan kematian atau kerusakan sel epitel

dan jaringan mukosa. Jaringan yang rusak akan memberikan tanda

eritema dan oedema. Fase ini biasanya berlangsung pada hari keempat

dan kelima pasca kemoterapi.

d. Fase Keempat (Phase ulserasi dan inflamasi).

Fase ini ditandai dengan pembentukan lesi. Lesi yang terbentuk menjadi

tempat masuk mikroorganisme. Oleh karena itu, bakteri-bakteri patogen


27

seperti bakteri gram negatif, gram positif dan bakteri anaerob dapat

masuk ke dalam lesi selama fase ini. Dinding sel bakteri memproduksi

suatu zat yang mengaktivasi makrofag dan meningkatkan sitokin pro-

inflamasi. Selanjutnya sel yang mengalami inflamasi akan memproduksi

enzim perusak jaringan. Sitokin akan mengaktivasi mediator kimia yang

mengaktivasi simpul saraf bebas (free nerve ending) pembawa respon

nyeri. Pada fase ini juga akan terjadi perubahan pada saliva yang

memperberat mukositis. Konsekuensinya ulserasi yang terjadi

menyebabkan amplifikasi, inflamasi dan nyeri. Pada fase ini pasien

sangat rentan mengalami bakteriemia dan sepsis. Biasanya fase ini terjadi

pada hari keenam sampai hari kesebelas.

e. Fase Kelima (Phase Penyembuhan).

Fase penyembuhan dimulai setelah ada sinyal dari matrik ekstraseluler

yang menstimulasi proliferasi sel epitel baru. Fase ini biasanya terjadi

saat kadar leukosit pasien mulai normal, yaitu pada hari ke-12 sampai

hari ke-14 pasca kemoterapi. Setelah fase penyembuhan, mukosa oral

kembali terlihat normal setelah 5-7 hari setelah kemoterapi, tetapi

lingkungan mukosa secara signifikan telah berubah. Angiogenesis terus

berlanjut setelah fase penyembuhan. Pasien akan memiliki risiko untuk

mengalami oral mucositis berulang saat pasien mendapatkan kemoterapi

berikutnya. Di RS Kanker Dharmais hari rawatan anak leukemia adalah

sampai dengan >7 hari, dan dilihat dari hasil pemeriksaan penunjang.
28

Gambar 2.4
Anak dengan Leukemia yang mengalami Oral Mucositis

(Sumber : Rajesh V Lalla, 2014)

Gambar 2.5
Mekanisme Mukositis Akibat Kemoterapi

(Sumber: Esquide-Gonzalo Ruiz, 2011)


Lima fase terjadinya oral mucositis
29

Gambar 2.6
Pembentukan oral mucositis fase 2-3

(Sumber: Dickson, Fall Jane, 2010)


Terbentuk Oral mucositis pada fase 2-3 dengan anak yang diberikan obat
kemoterapi 4600 cGy of a total planned dose of 6200 cGy

Gambar. 2.7
Pembentukan oral mucositis fase 4

(Sumber: Rajesh V. Lalla, 2014)


Pembentukan oral mucositis di mulut dengan menjalar ke samping lidah
30

Gambar. 2.8
Pembentukan oral mucositis fase 5

(Sumber:Gussgart, Margrete Anne, 2015)


Oral mucositis ulcer yang sudah dalam tahap fase 5 yaitu fase
penyembuhan

Mukositis biasanya akan termanifestasi setelah 5-7 hari pasca kemoterapi

dan biasanya akan sembuh dalam 2-3 minggu. Oral mucositis dapat terus

berlanjut seiring dengan berulangnya siklus kemoterapi yang dijalani anak.

Kemoterapi juga dapat menyebabkan mukositis secara indirect. Hal ini

terjadi karena kemoterapi akan menyebabkan imunosupresi. Selanjutnya

imunosupresi akan menyebabkan penurunan daya tahan tubuh dan

mencetuskan infeksi mulut yang mengakibatkan mukositis (Lalla VR,

2016).
31

2. Alat Pengkajian Oral Mukositis

Penatalaksanaan yang tepat pada Oral mukositis tergantung dari

pemeriksaan yang dilakukan saat pengkajian, sehingga dapat dengan mudah

menentukan intervensi yang sesuai. Dalam melakukan pengkajian

diperlukan instrumen atau alat pengkajian yang tepat. Menurut penelitian

yang dilakukan Nurhidayah, (2011) Ada beberapa instrumen yang dapat

dipakai untuk mengkaji oral mukositis pada pasien kanker yang sedang

menjalani kemoterapi diantaranya Oral Mucositis Index(OMI) oleh

McGuire, (2002) Oral Mucositis Assessment Scoring(OMAS) oleh Sonis,

(1995) National Cancer Institute Common Toxicity Criteria(NCI-CTC),

(1998), Oral Assessment Guide(OAG) oleh Eiler, (1988) Nursing Research

WCCNR, (1998) dan World Health Organization’s Mucositis Index, (1978).

OAG adalah alat pengkajian untuk Oral mucositis yang banyak dipakai

dilahan praktik dan juga untuk penelitian, dikarenakan dalam

penggunaaanya OAG dirancang agar sangat mudah, sederhana, reliabel dan

valid. Karena sifatnya yang mudah dipakai OAG ini dapat membantu

perawat memberikan intervensi keperawatan yang sesuai dengan cepat,

OAG juga berfungsi untuk mengetahui kebersihan dari mulut pasien.

(Nurhidayah, 2011)

OAG merupakan salah satu instrumen yang masih digunakan sampai saat

ini, dapat digunakan dalam praktik setiap hari dan berbagai penelitian telah
32

melaporkan bahwa instrumen ini valid dan reliabel, telah terstandarisasi dan

telah dipakai di seluruh dunia. Oral Assessment Guide (OAG) terdiri dari

delapan parameter pengkajian. Parameter tersebut yaitu :

a. Pengkajian objektif melihat status membran mukosa, kondisi bibir, lidah,

gingiva dan gigi.

b. Pengkajian fungsional dan subjektif mengkaji suara, saliva, kemampuan

menelan dan nyeri menelan.

Skor pengkajian setiap parameter adalah 1-3 yaitu :

Nilai satu (1) jika parameter normal atau tidak ada perubahan.

Nilai dua (2) jika parameter mengalami perubahan sedang, dan

Nilai tiga (3) jika parameter mengalami perubahan berat.

Nilai setiap parameter kemudian dijumlahkan. Nilai terendah adalah 8

dan nilai tertinggi adalah 24.

Instrumen OAG yang asli hanya mencantumkan dalam bentuk skala

numerik 8- 24 (Cancer Care Nova Stovia, 2008). Menurut Dodd, (2000) dan

Nurhidayah, (2011) mengkategorikan hasil OAG dalam dua kategori yaitu

tidak mukositis jika skor OAG < 10 dan mukositis jika skor OAG ≥ 10.

Sedangkan The Royal Children’s Hospital Australia (2009)

mengkategorikan hasil OAG menjadi tiga level kategori yaitu level 1

(normal oral hygiene) jika skor OAG 8, level 2 (mukositis ringan-sedang)

jika skor OAG 9-16 dan level 3 (mukositis berat) jika skor OAG berada

pada rentang 17-24.


33

Gambar. 2.9
Pedoman pengukuran oral mucositis dengan OAG pada anak
leukemia

(Sumber : Nurhidayah, 2011; Cheng, Chang and Yuen, 2004)

E. Penatalaksanaan Oral Mucositis.

Oral mukositis harus ditangani sesegera mungkin untuk menghindari

komplikasi lebih lanjut, orang yang menerima pengobatan untuk kanker

berisiko mengalami sakit mulut dan bisul sebagai efek samping dari

kemoterapi (Lalla, 2010). Efek samping ini disebut oral mucositis yang

mempengaruhi lebih dari 75% pasien. Oral care standar merupakan suatu

prinsip dasar pemberian perawatan di daerah mulut untuk menghilangkan

kuman, bakteri dan jamur. Ada beberapa oral care standar yang dapat di

gunakan contohnya seperti sikat gigi, obat oral, obat kumur dll. Berikut
34

merupakan oral care standar yang digunakan di Rs. Dharmais yang di

gunakan untuk mencegah dan mengobati oral mucositis.

a. Bactesyn

1). Defenisi : Bactesyn Tab 375Mg merupakan obat oral yang

mengandung Ampicillin dan Sulbactam. Zat aktif yang terkandung

di dalam obat ini adalah Sultamicin Tosylate, obat ini sebenarnya

kombinasi antara ampicillin dan juga sulbactam, ampicillin

merupakan jenis antibiotik beta lactam yang masuk ke dalam

golongan penicillin dan sulbactam.

2). Indikasi : Ampicillin adalah salah satu jenis antibiotik Penisillin

yang digunakan untuk mengatasi berbagai jenis bakteri.

Misalnya, untuk membantu mengobati infeksi pada saluran

pernapasan, saluran kemih dan telinga. Sulbactam adalah salah satu

jenis antibiotik penisilin yang digunakan untuk mengatasi berbagai

jenis bakteri dengan daya antibakteri yang lemah. Namun

kombinasi Ampicillin dan Sulbactam seperti Bactesyn Tab 375

Mg mempunyai efek lebih baik dari pada pemakaian Ampicillin

atau Sulbactam saja.

3). Efek Samping: Efek samping penggunaan Bactesyn dapat

menyebabkan diare, mual, muntah, gangguan saluran cerna, dan

sakit kepala.

4). Kontraindikasi: Obat ini kontraindikasi pada pasien yang menderita

penyakit gagal ginjal, pengunaan bactesyn pada ibu hamil dan


35

menyusui sebaiknya dihindari.

5). Untuk dosis anak-anak dapat diberikan 25 sampai dengan 50 m kg

BB/ hari bisa dibagi menjadi dua dosis. Obat ini kontraindikasi

pada pasien yang memiliki hipersnsitivitas terhadap zat yang

terkandung di dalam bactesyn.

6). Jurnal yang terkait dengan bactesyn adalah didapatkan hasil

pemberian bactesyn 375Mg dua kali sehari dibandingkan dengan

pemberian lincomycin 500Mg tiga kali sehari sesudah ondotektomi,

secara klinik tidak berbeda. Bactesyn dengan cara pemberian dua

kali sehari cukup praktis terutama bagi mereka yang banyak

melakukan kegiatan di luar rumah (Widara, 2018).

b. Chlorexidine 0,2%

1). Defenisi : Chlorhexidine 0,2% dikenal sebagai chlorhexidine

gluconate (CHG) yaitu desinfektan dan antiseptik.

2). Indikasi: Digunakan untuk desinfeksi kulit sebelum operasi ,

mensterilkan instrumen bedah, disinfeksi kulit pasien dan tangan

tim medis, membersihkan luka, mencegah plak gigi, mengobati

infeksi jamur di mulut. Chlorexidine 0,2% efektif melawan

berbagai mikroorganisme, tetapi tidak menonaktifkan spora namun

mampu melawan organisme Gram-positif dan Gram-negatif,

anaerob fakultatif, aerob, dan ragi.

3). Efek samping: Termasuk iritasi kulit, perubahan warna gigi, dan
36

reaksi alergi.

4). Kontra indikasi : Hindari menggunakan chlorhexidine jika memiliki

riwayat alergi terhadap obat ini. Berhati-hati dalam menggunakan

chlorhexidine cairan obat luar, jika memiliki luka kulit yang dalam

atau terbuka. Penggunaan chlorhexidine jangan sampai mengenai

mata, masuk ke telinga, atau mengenai bagian tubuh sensitif

lainnya. Segera basuh dengan air jika obat ini masuk ke dalam

mata.

5). Dosis chlorhexidine 0,2 % untuk anak ½ dari dosis dewasa yaitu

dengan takaran 5 ml, kumur selama 1 menit, sebanyak 2 x sehari.

Jangan menelan larutan atau mencampurkannya dengan zat lain apa

pun. Setelah menggunakan chlorhexidine, tunggu setidaknya 30

menit sebelum berkumur dengan air atau obat kumur, menyikat

gigi, makan, atau minum. Dosis didasarkan pada kondisi medis

pasien dan respons terhadap perawatan.

6). Jurnal yang terkait dengan chlorixidine adalah didapatkan hasil

bahwa tidak ada perbedaan penggunaan chlorhexidine 0,2%

dibanding dengan providone iodine1% sebagai dekontaminasi

mulut terhadap kolonisasi sthapylococus aureus pada pasien pasca

oprasi dengan anastesi umum (Willy, 2018).

c. Nistatin

1). Defenisi: Nystatin atau mycostatin nama merek obat oral anti jamur
37

polyene macrolide.

2). Indikasi: obat ini digunakan untuk mengobati infeksi candida pada

kulit termasuk ruam popok, sariawan, kandidiasis esofagus, dan

infeksi jamur vagina, penggunaanya dapat diberikan melalui mulut

atau di oleske kulit.

3). Efek samping: yang umum terjadi pada kulit terbakar, gatal, dan

ruam. Efek samping jika tidak sengaja terminum dapat

menyebabkan rasa pahit, mual, muntah dan diare.

4). Kontra indikasi: reaksi hipersensitivitas pada komposisi obat

tersebut.

5). Dosis: anak-anak dan dewasa dosis 1-6 ml (100.000-600.000 unit

nystatin) 4x sehari. Suspensi ditahan di dalam mulut selama

mungkin sebelum ditelan. Pada bayi dan anak-anak berikan ½ dosis

pada kedua sisi mulut. Pemberian dosis dapat dilanjutkan minimal

48jam, setelah gejala hilang.

6). Jurnal yang terkait dengan nystatin adalah penelitian dari Lyu, Xin:

Zhao, 2016. Hasil penelitiannya bahwa nystatin berkhasiat terhadap

kejadian candidiasis di RS.

d. Oral Cryotherapy

1). Defenisi: Oral Cryotherapy merupakan pendinginan mulut dengan

menggunakan es. Therapi tersebut membantu mencegah oral mucositis

pada orang yang mendapat kemoterapi, karena dinginnya membuat


38

pembuluh darah dimulut menyempit atau vasokontriksi, dan ini

mengurangi jumlah darah yang mengandung obat kemoterapi mencapai

mulut sehingga dapat menyebabkan oral mucositis. Ini adalah

perawatan alami dengan biaya rendah, tanpa efek samping yang serius

(Wang L, 2015).

2). Indikasi: Mencegah dan menurunkan derajat Oral mucositis akibat efek

dari kemoterapi. Teori yang mendasari mukotoksik oral cryotherapy

adalah bahwa es dapat membatasi pembuluh darah pada selaput rongga

mulut, sehingga mengurangi paparan ke mukosa mulut terhadap agents

kemoterapi (Peterson, 2013).

3). Kontra indikasi: Tidak diberikan jika anak mengalami penyakit penyerta

seperti demam, flu, mengigil dan penurunan kesadaran.

4). Dosis: Pemberian oral cryotherapi dilakukaan sebelum, sesaat dan

setelah dilakukan kemoterapi. Selama 1x sehari. Oral Cryotherapy

diharapkan dapat menyebabkan vasokontriksi pada sel epitel, sehingga

meminimalkan masuknya obat kemoterapi pada sel. Es ditempatkan di

mulut, dimulai 5 menit sebelum pemberian kemoterapi dan diisi ulang

seperti yang diperlukan untuk sampai 30 menit (Wang L, 2015).

Oral Cryotherapy merupakan pemberian Es pada pasien anak yang

mengalami Oral mucositis sebelum di lakukan kemoterapi selama 5

mnt, sewaktu kemoterapi selama 30 mnt, dan setelah kemoterapi selama

35 mnt(Cancer Care Nova Stovia, 2008).


39

5). Jurnal yang terkait dengan oral cryotherapi adalah penelitian dari Riley

P, (2016) Yang bertujuan membandingkan penggunaan es biasa, es

rasa dan perawatan standar, untuk mengevaluasi efek pada mucositis

dan untuk menentukan persepsi pasien terhadap dua bentuk oral

cryotherapy. Hasil menunjukan oral cryotherapy bermanfaat dalam

mencegah mucositis pada pasien yang menerima 5-fluorouracil.

Hasilnya 67 pasien mengungkapkan bahwa ketika peserta

menggunakan perawatan standar saja, mereka secara signifikan lebih

mungkin mengalami gejala mucositis daripada ketika mereka

menggunakan es biasa atau rasa. Maka kesimpulannya kedua bentuk

oral cryotherapy efektif dalam mengurangi keparahan mucositis oral

setelah kemoterapi dan lebih efektif daripada perawatan standar saja. Es

rasa dikaitkan dengan frekuensi tertinggi efek samping.

Penelitian selanjutnya oleh Nikoletti, (2015). Penelitian ini bertujuan

untuk membandingkan penggunaan es biasa, es rasa dan perawatan

standar, untuk mengevaluasi efek pada mucositis dan untuk

menentukan persepsi pasien dalam oral cryotherapi menggunakan rasa

dan yang tidak menggunakan rasa. Hasilnya 67 pasien mengungkapkan

bahwa ketika peserta menggunakan standar perawatan saja, mereka

secara signifikan lebih mungkin mengalami gejala oral mucositis

namun setelah menggunakan oral cryoterapi mucositis yang mereka

rasakan akibat efek kemoterapi berkurang.


40

Penelitian yang dilakukan oleh Riley P, Glenny AM, Worthington HV

dkk, (2015). Mengatakan bahwa sekitar 75% pasien yang menerima

kemoterapi, radioterapi bagian kepala dan leher, lebih banyak

menderita mucositis oral. Ulserasi memiliki tingkat keparahan yang

berbeda-beda dan dapat menyebabkan kesulitan dengan makan,

menelan, dan berbicara sehingga meningkatkan kebutuhan untuk

menghilangkan rasa sakit dan dukungan nutrisi. Ini juga memiliki efek

negatif pada kualitas hidup. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menilai efek dari oral cryotherapy untuk mencegah mucositis oral pada

pasien dengan kanker yang menerima perawatan oral cryoterapy.

Hasilnya oral cryotherapy menyebabkan penurunan besar oral

mucositis pada semua tingkat oral mucositis.

Penelitian selanjutnya dari adanya kontroversi mengenai apakah oral

cryotherapy dapat mencegah oral mucositis (OM) pada pasien dengan

keganasan hematologis yang menjalani transplantasi sel induk

hematopoietik (HSCT). Tujuan dari meta-analisis ini adalah untuk

mengevaluasi kemanjuran oral cryotherapy untuk pencegahan OM

pada pasien dengan keganasan hematologi yang menjalani HSCT.

Kesimpulan dari oral cryotherapy adalah profilaksis yang siap

digunakan dan hemat untuk OM pada pasien yang menjalani HSCT.


41

Penelitian Nawi Idayu Mat, Chui Lei dkk, (2018) Tujuan dari penelitian

ini adalah untuk mengevaluasi efek oral cryotherapy pada pencegahan

oral mucositis dan nyeri diantara pasien dengan kanker kolon rektal

yang menjalani kemoterapi berbasis fluorouracil. Hasil yang di

dapatkan Pada kelompok perawatan biasa, sebagian besar peserta

melaporkan grade 2 (sedang hingga mengancam jiwa) atau oral

mucositis yang lebih besar. Nyeri yang terkait dengan oral mucositis

lebih rendah menggunakan cryotherapy, dengan sebagian besar peserta

dalam kelompok intervensi melaporkan tidak ada rasa sakit.

Kemudian penelitian dari dalam negeri sendiri yaitu dari Furaidah,

(2016) Penelitian ini menggunakan RCT dilakukan pada pasien rawat

jalan kemoterapi, pasien secara acak menerima tiga intervensi yaitu

perawatan standar sesuai dengan prosedur, perawatan standar ditambah

es tanpa rasa, perawatan standar ditambah es rasa. Tujuannya

membandingkan penggunaan es tanpa rasa, es dengan rasa perawatan

standar. metode penelitian dengan kuantitatif menggunakan quasi

experiment desain dengan pendekatan pre tes post tes conrol group.

Hasil: dari 67 responden mengungkapkan ketika perserta mengunakan

perawatan standart saja melaporkan masih mengalami gejala mucositis

dari pada responden yang diberikan dengan menberikan es tanpa atau

dengan rasa.
42

F. Aplikasi Teori “Comfort” dalam Perawatan Mukositis Akibat

Kemoterapi.

Rasa ketidak nyamanan dapat timbul saat seseorang harus dilakukan proses

perawatan yang panjang dan harus melewati prosedur invansif seperti

kemoterapi. Banyak efek samping dari tindakan kemoterapi yang membuat

rasa ketidaknyamanan dari pasien terus meningkat sehingga diperlukan

suatu bentuk tindakan keperawatan yang mandiri untuk mengurangi atau

menghilangkan perasaan ketidaknyamanan tersebut. Teori keperawatan

“Comfort” merupakan salah satu teori yang dikembangkan pada tahun 1990

oleh Katerine kolkaba. Dalam teori ini terdapat 3 tipe comfort yaitu reli,

ease, dan transcendence. Relief diartikan sebagai keadaan dimana perasaan

ketidaknyamanan dapat berkurang, Ease diartikan sebagai hilangnya rasa

ketidaknyamanan yang spesifik, transcendence didefinisikan sebagai

keadaan dimana seseorang dapat kembali pulih dari rasa ketidak nyamanan

jika rasa ketidaknyamanan tersebut tidak bisa untuk dihindari.

Transcendence merupakan hal yang menguatkan dan meningkatkan perawat

untuk tidak boleh berputusasa dalam membantu klien dan keluarganya agar

merasa nyaman. Intervensi didalam meningkatkan transcendence bertujuan

untuk meningkatkan lingkungan, dukungan social atau mampu

menentramkan hati. Selain itu, intervensi keperawatan untuk meningkatkan

transcendence dapat lebih efektif jika berasal dari orangtua atau keluarga

dekat pasien tersebut.


43

Sementara itu aplikasi comfort theory pada keperawatan anak menurut

(Kolcaba dan Dimarco, 2005) dapat digambarkan dalam bentuk skema

sebagai berikut:

Gambar 2.10 Framework Theory of comfort.

(Sumber : Alligod, 2013)

Skema diatas dapat dilihat mulai dari konsep umum dari comfort theory

sampai contoh penerapan konsep pada keperawatan anak. Line 1 menjelaskan

tentang konsep umum comfort theory yang merupakan level tertinggi dari

konsep dan menjadi semakin nyata pada garis dibawahnya. Line 2 merupakan

tingkatan praktis dari comfort theory khususnya pada keperawatan anak. Line

3 merupakan bentuk operasional dimana setiap konsep pada garis sebelumnya

dilakukan.
44

Aplikasi comfort theory dalam penanganan oral mucositis akibat pemberian

obat kemoterapi pada anak dapat diuraikan bahwa untuk aspek Health care

need yaitu anak memiliki kebutuhan rasa nyaman dan perhatian selama

prosedur kemoterapi, dimana oral mucositis akibat efek dari kemoterapi dapat

berkurang bahkan mungkin dihilangkan. Aspek Nursing Intervension yaitu

terapi oral cryotherapy dan oral care standar untuk memberikan rasa nyaman

pada anak, dengan tujuan untuk mengurangi dan menghilangkan derajat oral

mucositis akibat kemoterapi. Pemenuhan rasa nyaman yang baik pada semua

aspek dengan tingkatan relief hingga transcendence akan mendorong

penurunan lama hari rawat anak, penurunan kebutuhan akan tindakan medis

dan peningkatan kepuasan anak dan keluarga.

G. Kerangka Teori Penelitian.

Kanker adalah penyebab terbesar dalam gangguan pada kesehatan anak.

Pemberian kemoterapi merupakan salah satu therapi yang akurat. Kemoterapi

bertujuan untuk menghambat sel kanker, namun kemoterapi memberikan

efeksamping yang berbahaya pada anak yaitu timbulnya Oral mukositis

pemberian kemoterapi yang dapat menyebabkan nyeri, risiko infeksi,

gangguan nutrisi dan pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup anak

dengan kanker.

Intervensi diruangan untuk mengatasi oral mukositis adalah dengan

pemberian obat bactesim, nystatin dan chlorhexidine0,2%, namun banyak


45

keluhan mengenai pemberian obat kumur tersebut selain rasa yang tidak enak

dan sulitnya obat kumur untuk diberikan pada anak agar tidak tertelan untuk

itu pemberian oral cryothrapy termasuk ke dalam relief. Relief diartikan

sebagai keadaan dimana rasa tidak nyaman dapat berkurang. Oral

Cryotherapy sendiri merupakan therapi pemberian es untuk bersifat baal atau

anastesi. Pemberian protokol Oral Cryotherapy dengan menggunakan es

untuk menurunkan derajat oral mucositis dan menghilangkan nyeri yang

timbul sesuai dengan prinsip teori comfort yaitu Ease yang diartikan sebagai

hilangnya rasa ketidaknyamanan yang spesifik.

Setelah anak mendapatkan intervensi Oral Cryotherapy, perawat bertanggung

jawab untuk mengevaluasi respon dari tindakan tersebut melalui pengkajian

dengan menggunakan instrumen OAG. Kemudian perawat menilai apakah

intervensi yang diberikan efektif untuk menurunkan dan mencegah derajat

oral mukositis hal ini masuk sebagai transcendence yang didefinisikan

sebagai keadaan seseorang mampu pulih dari ketidaknyamanan


46

Skema 2.11 Kerangka Teori Penelitian

Anak Usia 1-12 tahun


Nursing intervention
Dirawat dengan Leukemia Colkaba “ Comfort Teory”

Menjalani Kemoterapi Relief : Oral


Cryotherapy

Terjadi Mucositis Oral Ease:

Derajat Mucositis Berkurang

Ketidaknyamanan bagi anak


Transcendence :
Meningkatkan kenyamanan
bagi anak menurunkan nyeri
Pengkajian : Menggunakan sehingga anak dapat
OAG meningkatkan asupan nutrisi
dengan baik

Sumber: Modifikasi dari Levine dalam Tomey dan Alligood (2006); Dodd (2004);
(Li Wang, 2015) ; Cancer Care Nova Stovia (2008); UKCCSG-PONF (2006);
Eilers (2004); (Peterson, 2013).

Anda mungkin juga menyukai